PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun oleh :
OKY WASRIKANINGRUM
E1A011065
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun oleh :
OKY WASRIKANINGRUM
E1A011065
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun Oleh :
OKY WASRIKANINGRUM E1A011065
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan Pada Tanggal : Februari 2015
Pembimbing I/ Penguji I Pembimbing II/ Penguji II Penguji III Hj. Rochani U.S., S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 H. Suyadi, S.H.,M.Hum. NIP. 19611010 198703 1 001 Agus Mardianto, S.H.,M.H. NIP. 19650831 200312 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA OBAT PELANGSING BERDASARKAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”
Yang diajukan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merupakan hasil karya saya sendiri dan semua data yang terdapat di dalam skripsi ini dapat saya pertanggungjawabkan secara hukum.
Demikian pernyataan ini saya buat jika kemudian hari terbukti bahwa skripsi saya ini tidak sesuai dengan pernyataan saya tersebut di atas, saya bersedia menerima semua sanksi yang akan dijatuhkan termasuk penca butan gelar sarjana yang telah saya peroleh.
Purwokerto, Februari 2015
Oky Wasrikaningrum E1A011065
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Obat Pelangsing Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Latar belakang masalah penelitian ini adalah hak-hak konsumen sebagai pengguna obat pelangsing yang masih belum terpenuhi secara maksimal dikarenakan saat ini masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine yang dapat merugikan keamanan dan keselamatan konsumen.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis posivistis. Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan Kabupaten Banyumas, serta Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum dan UPT Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan telah berupaya memberikan perlindungan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa belum terpenuhi secara maksimal karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mematuhi peraturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Mengenai ha k atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakan juga belum terpenuhi secara maksimal, karena masih ada pelaku usaha yang memproduksi obat pelangsing berbahaya dengan tidak mencantumkan komposisi atau komponen obat dalam penandaan obat pelangsing sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan mengenai syarat-syarat pencantuman penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut hendaknya pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya harus menaati syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugikan karena hak-haknya telah dilanggar.
ABSTRACT
This research entitles “The Law Protection to the Consumer of the Slim Medicine User Based on the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection”. The background of the problem in this research is the consumers rights as the slim medicine user that still has not been fulfilled maximally it is caused recently there still the businessman who produces the dangerous slim medicine with the dangerous ingredient mixture such as sibutramine that can damage the security and consumer safety.
Method of approach in this research uses the method of normative juridical, it is the approach that uses the conception of legistis positivis. Method of analysis uses the qualitative normative. This research was conducted in the Department of Health and Department of Trade in the Regency of Banyumas, and the Scientific Central Information in the Faculty of Law and UPT Library in the Jenderal Soedirman University.
Based on the result of research that the Department of Health cooperates with the Board of Medicine and Food Controlling has tried to give the law protection as explained in the Article 4 Ordinance Number 8 in 1999 about the Consumer Protection, but about the right and comfort, and safety in using the goods and/service before being fulfilled maximally because ther e is still businessman that produces the dangerous slim medicine without obeying the regulation in the Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Safety Pharmacy Supply and Health tool. About the information right which is trusted, clear and honest about the condition and guarantee the good and/or service that is used it also has not be fulfilled maximally, because there is the business actor that produces the dangerous slim medicine without explaining the composition or component of medicines in the slim medicine where it is regulated in the regulation in Article 28 Government Regulation in Republic of Indonesia Number 72 in 1998 about the Pharmacy Supply Safety and Health Tool about the explanation requirement and information of the pharmacy and health tool objectively, detail and not cheating.
Based on the result of research it is supposed to the businessman in running their business activities must obey the conditions and regulation in the regulation of Ordinance and there is no any consumers that feel being cheated because their rights have been broken.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
SURAT PERNYATAAN ... iv ABSTRAK ... v ABCTRACT ... vi PRAKATA ... vii DAFTAR ISI ... ix BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Hukum ... 11
B. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Perlindungan Konsumen ... 13
2. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen ... 14
3. Tujuan Perlindungan Konsumen ... 15
4. Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen ... 17
5. Konsumen ... 20
6. Pelaku Usaha ... 24
8. Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha ... 28
9. Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha ... 31
10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 33
11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen ... 36
C. Obat 1. Definisi ... 41
2. Obat Pelangsing ... 49
BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ... 56
B. Spesifikasi Penelitian ... 56
C. Lokasi Penelitian ... 56
D. Sumber Data ... 57
E. Metode Pengumpulan Data ... 58
F. Metode Penyajian Data ... 58
G. Metode Analisis Data ... 58
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 59 B. Pembahasan ... 82 BAB V. PENUTUP A. Simpulan ... 112 B. Saran ... 113 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Konsumen merupakan pihak yang sangat berperan dalam perkembangan dunia perdagangan. Hampir setiap orang menjadi konsumen bahkan pelaku usaha sekali pun dapat menjadi konsumen dalam memenuhi kebutuhan untuk kehidupannya sehari-hari. Kedudukan konsumen di Indonesia saat ini masih lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, meskipun sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen, tetapi masih ada pelaku usaha yang menyimpang dari peraturan dalam melakukan kegiatan usahanya yang dapat merugikan konsumen.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Akhir -akhir ini sering terdengar masalah yang berkaitan dengan konsumen, dimulai dari hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dan sering terabaikan oleh pelaku usaha atau pun dari sikap pelaku usaha yang berbuat curang dalam menjalankan kegiatan usahanya. Konsumen yang haknya tidak terpenuhi akan merasa dirugikan dan hal inilah yang membuat permasalahan dalam perlindungan konsumen tidak kunjung selesai.
Kerugian-kerugian yang dialami konsumen dapat ditimbulkan sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tidak hanya itu, kerugian yang dialami konsumen juga dapat disebabkan karena kurang kritisnya konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya tingkat pendidikan konsumen yang rendah, sedangkan teknologi komunikasi semakin maju, kondisi seperti ini pula yang dapat dimanfaatka n oleh pelaku usaha untuk memberikan informasi yang tidak benar atau bahkan menyesatkan tentang produk yang dipasarkan dan menggunakan segala cara agar produknya dapat terjual di pasaran.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Semakin hari jumlah pelaku usaha semakin meningkat, hal ini juga dapat menyebabkan adanya persaingan yang semakin ketat antar pelaku usaha, dimana mereka melakukan berbagai cara supaya produknya dapat terjual di pasaran tanpa memperhatikan apakah ada hak konsumen yang dilanggarnya atau tidak. Pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai pihak yang kuat diharapkan mampu untuk beritikad baik dalam memberikan pelayanan kepada konsumen dan jangan hanya untuk mengejar keuntungan semata.
Tidak hanya dilihat dari sisi konsumen dan pelaku usaha saja, perkembangan zaman juga mempengaruhi adanya sengketa dalam perlindungan konsumen, yakni di era globalisasi saat ini dengan adanya perdagangan bebas membuat banyak produk barang atau pelayanan jasa bermunculan. Produk barang yang dihasilkan oleh para pelaku usaha menjadi beraneka ragam dan dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian konsumen.
“Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain, menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.”1
Konsumen diharapkan untuk lebih berhati-hati dan pintar dalam memilih barang dan/atau jasa yang akan dibeli atau dikonsumsi, jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa maka konsumen hanya akan menjadi objek yang akan dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, dimana konsumen hanya akan menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsinya meskipun informasinya tidak jelas bahkan menyesatkan mengenai barang dan/atau jasa tersebut.
Permasalahan yang dihadapi konsumen sebenarnya tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang dan/atau jasa yang diinginkan, tetapi jauh lebih dari itu yakni menyangkut pada kesadaran semua pihak antara lain baik pengusaha,
1
Sri Redjeki Hartono, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam buku Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, hlm. 34
pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.
Menurut Adrian Sutedi bahwa:
“Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya.”2
Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahka n dari kegiatan perekonomian yang sehat, dimana dalam kegiatan perekonomian yang sehat terdapat adanya keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha. Artinya, apabila tidak ada perlindungan yang seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha maka akan menyebabkan konsumen berada pada posisi atau kedudukan yang lemah. Pelaku usaha hendaknya menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai.
Menurut hukum positif di Indonesia, perlindungan hukum terhadap konsumen sudah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun pada kenyata annya konsumen di Indonesia saat ini belum merasa cukup terlindungi, karena masih ada pelaku usaha yang melakukan berbagai macam penyimpangan dalam melakukan kegiatan usahanya.
2
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, hlm. 9.
Masih ada pelaku usaha yang dalam menjalankan kegiatan usahanya menghasilkan produk-produk yang justru membahayakan konsumen, contohnya adalah seperti memproduksi produk obat pelangsing berbahaya. Obat pelangsing dikatakan berbahaya karena terdapat campuran dengan bahan berbahaya seperti sibutramine yang efeknya dapat mengga nggu ke amanan dan keselamatan konsumen, karena penggunaan dosis yang belum tentu tepat. Berbagai cara dilakukan seperti melakukan penawaran dengan kata-kata yang menarik perhatian konsumen, melalui iklan dengan kata -kata yang begitu meyakinkan, menggunakan model sebagai contoh dalam iklannya yang sebenarnya itu tidak benar karena model yang digunakan hanyalah untuk mempengaruhi konsumen supaya berkeinginan untuk membeli produk obat pelangsing tersebut.
Sekarang ini kehidupan masyarakat memang banyak mengalami perubahan, salah satunya adalah bahwa seseorang akan lebih percaya diri apabila memiliki postur tubuh yang langsing. Kodrat wanita untuk selalu mempercantik dan memperindah tubuh itulah yang menjadi sasaran pelaku usaha yang memproduksi alat-alat kecantikan untuk memasarkan produknya , termasuk produk-produk obat pelangsing ilegal. Seorang wanita yang memiliki tubuh terlalu gemuk maka akan terganggu kegesitannya dan memang terkesan kurang menarik saat dipandang. Tren “langsing” seperti menjadi suatu keharusan terutama bagi seorang wanita, sehingga bagi sebagian orang diantaranya wanita tidak dapat dipungkiri usaha untuk memiliki tubuh dengan berat badan ideal adalah dambaan. Adanya persepsi yang seperti ini juga dapat menjebak konsumen, yakni untuk mendapatkan postur tubuh langsing sesuai dengan keinginan maka berbagai cara dilakukan seperti diet
ketat, olahraga secara rutin, bahkan dengan cara instan sekali pun yakni dengan mengkonsumsi obat pelangsing yang tanpa disadari bahwa obat pelangsing tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.
Sisi lain dari tren “langsing” juga dijadikan sebagai salah satu celah bagi pelaku usaha untuk meyakinkan kepada konsumen bahwa obat pelangsing yang dihasilkannya tidak berbahaya, namun pada kenyataannya di dalam obat pelangsing tersebut dicampur dengan bahan-bahan yang membahayakan diri konsumen, seperti yang sudah sering ditemukan adalah bahan berbahaya seperti sibutramine.
Berdasarkan keterangan pers Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor PN : PN.01.04.1.31.10.10.9829 yang menyatakan bahwa sibutramine merupakan obat yang dihasilkan sebagai pengobatan adjuvant dalam membantu penurunan kelebihan berat badan (overweight dan obesity) disamping olah raga dan pengaturan diet, adanya inf ormasi mengenai aspek keamanan penggunaan sibutramine jangka panjang dari hasil studi Sibutramine on Cardiovascular Outcomes Trial (SCOUT) yang menunjukkan adanya peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, oleh karena itu penjualan segala bentuk obat jadi seperti obat pelangsing yang mengandung sibutramine telah dilarang. Sibutramine merupakan salah satu bahan obat keras yang digunakan untuk campuran obat pelangsing, dimana obat ini dapat diperoleh dan digunakan berdasarkan resep dokter untuk menentukan dosis yang tepat, tetapi pada kenyataannya obat ini banyak ditemukan dan dijual bebas di pasaran.
Obat merupakan salah satu hasil sediaan farmasi, sehingga dalam pembuatan sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangsing pelaku usaha atau badan usaha harus memiliki izin usaha industri dalam melaksanakan kegiatan produksinya. Sediaan farmasi dalam hal ini adalah obat pelangs ing yang diedarkan di pasaran juga harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi menyebutkan bahwa:
“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia”.
Tidak semua obat pelangsing aman untuk dikonsumsi, bisa saja obat pelangsing dari luar kemasannya terlihat menarik iklannya pun meyakinkan, namun tanpa disadari di dalamnya mengandung bahan berbahaya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.
Beberapa efek samping dari penggunaan obat pelangsing berbahaya dengan campuran bahan berbahaya seperti sibutramine adalah sakit kepala, insomnia, konstipasi, migrain, depresi, hipertensi, takikardia, mulut kering.
“Resiko lain mengkonsumsi obat-obat diet tanpa pengawasan dokter ialah : membuat tubuh lemas dan sistem kekebalan tubuh menurun karena jarang makan (tetapi tidak merasa lapar), jantung berdebar-debar, dehidrasi, sulit tidur, diare, penurunan tekanan darah, nyeri kepala, dan gula darah menurun drastis. Namun, resiko yang timbul pada setiap orang tidak sama, karena itu konsumsi obat-obat diet harus di bawah pengawasan dokter.”3
3
https://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/usir -gemuk -dengan-obat-2/, diakses tanggal 20 November 2014.
“Menurut pengakuan salah seorang konsumen yang diwawancarai oleh tim Sigi dari SCTV menyatakan bahwa dalam waktu tiga bulan setelah mengkonsumsi kapsul Arma Sin Gang San, satu di antara banyak obat pelangsing tubuh, berat badannya turun namun disertai dengan rasa gelisah, sulit untuk tidur dan tidak mempunyai nafsu makan. Produk PT. Warisan Jaya, Semarang, Jawa Tengah itu memang topcer. Harganya pun relatif murah, sekitar Rp 10 ribu per kapsul. Tapi, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah melarang peredaran jamu ini. Pasalnya, berdasarkan hasil uji laboratorium, Arma Sin Gang San mengandung sibutramine, bahan kimia obat berbahaya.”4
Hal tersebut di atas dapat dijadikan sebagai contoh bahwa tidak semua obat pelangsing yang beredar di pasaran itu aman, karena bisa mengandung campuran dengan bahan berbahaya yang tidak diketahui oleh konsumen, selain itu mengkonsumsi obat pelangsing tanpa menggunakan resep dokter juga berbahaya. Informasi mengenai komposisi dan penggunaan obat, serta efek samping obat juga merupakan hal yang sangat penting untuk diberitahukan kepada konsumen sebagai pengguna obat pelangsing supaya tidak ada lagi konsumen yang merasa haknya dirugikan yakni hak yang berkaitan untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dari barang yang dikonsumsinya.
Pelaku usaha sering memberikan informasi ya ng tidak benar atau bahkan menyesatkan yang dapat merugikan konsumen sebagai pihak pembeli, hal seperti ini lah yang dapat menimbulkan adanya sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Konsumen akan merasa dirugikan karena hak-haknya tidak terpenuhi, dikarenakan pelaku usaha yang tidak memperhatikan kepentingan dan hak-hak konsumen karena didesak dengan adanya persaingan antar pelaku usaha untuk mencari keuntungan.
4 Ibid.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan mengenai obat pelangsing berbahaya yang menimbulkan beberapa efek negatif terhadap penggunanya yang mana di dalamnya mengandung bahan berbahaya seperti sibutramine. Dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan karena hak-haknya sebagai konsumen tidak terpenuhi, terutama hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak yang secara tertulis dituangkan dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, penulis menyusun skripsi dengan judul : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Obat Pelangsing berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B . Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelit ian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai pengguna obat pelangsing berbahaya berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama hukum perlindungan konsumen.
2. Kegunaan Praktis
Untuk dapat memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai hak-haknya sebagai konsumen dalam Hukum Perlindungan Konsumen terhadap pengguna dan pemakai obat pelangsing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan.
Secara umum yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, yakni keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
“Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sasaran atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis.”5
Menurut Surojo Wignojodipuro:
“Hukum mempunyai peranan dalam mengatur dan menjaga ketertiban masyarakat, yang diantaranya adalah mengatur hubungan antara sesama warga masyarakat yang satu dengan yang lain. Adanya kaidah hukum itu
5
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Edisi Ke-5), Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, hlm. 40.
bertujuan untuk mengusahakan kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat.”6
Beberapa sarjana hukum di Indonesia yang mendefinisikan hukum sebagai berikut:7
a. S. M. Amin
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.
b. J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.
c. M. H. Tirtaatmadja
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam semua tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan hilang kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
6
Surojo Wignojodipuro, 1974, Pengantar Ilmu Hukum , Alumni, Bandung, hlm. 1. 7
CST. Kansil, 1997, Pengantar Hukum Indonesia (Cetakan Ke-6), Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 38.
Pengertian hukum dari beberapa sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum terdiri dari berbagai unsur yaitu:
a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dan pergaulan masyarakat; b) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan yang berwajib;
c) Peraturan itu bersifat memaksa;
d) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Sudikno Mertokusumo memberikan gambaran terhadap pengertian perlindungan hukum sebagai berikut:
“Segala upaya yang dilakukan untuk menjamin adanya kepastian hukum berdasarkan pada keseluruhan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam suatu kehidupan bersama. Keseluruhan peraturan ini dapat dilihat baik di Undang-Undang maupun Diratifikasi dari Konvensi Internasional.”8
B. Hukum Perlindungan Konsumen 1 . Perlindungan Konsumen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
8
tentang Perlindungan Konsumen tersebut diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Shidarta berpendapat bahwa :
“Perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan bukan sekedar fisik, melainkan juga ha k-haknya yang bersifat abstrak, dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen”.9
2 . Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen memiliki kedudukan lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu kosumen harus dilindungi oleh hukum. Perlindungan yang diberikan oleh hukum ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sekaligus sebagai pelaksanaan dari tujuan hukum yakni memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.
“Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik.”10
Az. Nasution berpendapat bahwa :
“Hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
9
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Grasindo, hlm. 19. 10
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa kosumen, di dalam pergaulan hidup.”11
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen yang memuat asas -asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
“Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan konsumen dan pelaku usaha yang disertai sanksi bagi pelanggarnya.”12
Dapat disimpulkan bahwa hukum konsumen lebih luas dari pada hukum perlindungan konsumen, karena hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur lebih rinci asas-asas perlindungan bagi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha.
3 . Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen merupakan sebagai sasaran akhir yang memang harus dicapai dalam bidang hukum perlindungan konsumen. Masing-masing undang-undang yang dibentuk pasti memiliki tujuan khusus dalam pelaksanannya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini megatur mengenai tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri.
11
Ibid., hlm. 9-10. 12
Suyadi, 2007, Buku Ajar Dasar -Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, hlm. 6.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Ta hun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi:
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan permberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka:
1. tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.
2. tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan b, termasuk juga huruf c dan d, serta huruf f.
3. tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.13
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.
13
Ahmadi Miru dan Sutarma Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34.
4 . Para Pihak dalam Perlindungan Konsumen
Pihak yang ikut berperan dalam perlindungan konsumen sebenarnya tidak hanya konsumen dan pelaku usaha saja, tetapi ada juga peran pemerintah. Pemerintah, konsumen dan pelaku usaha harus dapat memahami perannya masing-masing dan melaksanakan asas perlindungan hukum supaya tercipta perekonomian yang baik serta bersih dan stabil dan tidak ada yang dirugikan dalam proses kegiatan perekonomian.
Secara umum pihak-pihak yang berkaitan dalam praktik perlindungan konsumen dapat dibedakan antara lain:
a. Konsumen
Hakikatnya setiap or ang adalah konsumen, bahkan pelaku usaha juga menjadi konsumen untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari. Konsumen memiliki kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha, oleh karena itu perlu adanya jaminan untuk memperoleh perlindungan secara hukum.
Disebutkan dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Konsumen akhir berbeda dengan pembeli akhir, karena pengertian konsumen akhir lebih luas daripada pembeli akhir.
Artinya, bahwa konsumen akhir tidaklah harus berperan sebagai pembeli barang atau produk, ka rena bisa saja menerima barang karena pemberian dari orang lain. Konsumen yang cerdas harus sadar akan hak-hak yang dimilikinya sebagai seorang konsumen, sehingga dapat melakukan kontrol sosial terhadap perilaku pelaku usaha yang berbuat curang dalam kegia tan usahanya.
b. Pelaku Usaha
Pelaku usaha juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam perlindungan konsumen, karena hak-hak konsumen akan terpenuhi apabila pelaku usaha menjalankan kewajiban kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya diharapkan dapat menghormati hak-hak konsumen dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, serta mengikuti standar peraturan yang berlaku dengan harga yang sesuai.
c. Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat suatu peraturan kebijakan, peraturan itu dibuat agar ditaati oleh para pihak yang ada dalam wilayah kekuasannya, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam perlindungan konsumen ini berperan untuk mengawasi jalannya peraturan undang-undang tersebut dengan baik, supaya tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.
Disamping pihak-pihak yang telah disebutkan di atas, ada juga beberapa pihak yang terkait satu dengan yang lainnya, antara lain sebagai berikut:
a. Departemen atau Instansi Pemerintah yang terkait dengan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Departemen atau instansi yang dimaksud di sini adalah departemen atau instansi yang terkait dengan produk yang menangani produk yang bersangkutan, antara lain mengenai masalah peirizinan, pemenuhan standar mutu dan sebagainya.
b. Organisasi Pelaku Usaha
Merupakan organisasi yang secara khusus memberikan perlindungan maupun secara khusus mengatur tentang kegiatan pelaku usaha yang bersangkutan. Pelaku usaha sebagai anggota dari suatu organisasi wajib mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, organisasi itu juga wajib menegur anggotanya jika melakukan suatu kesalahan, jika perlu menerapkan sanksi yang tegas.
c. Organisasi Konsumen
Merupakan organisasi yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk melindungi hak-hak konsumen. Mewakili konsumen jika ada permasalahan dengan pelaku usaha. Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sejak tahun 1973.
5 . Konsumen
Konsumen merupakan salah satu pelaku kegiatan perekonomian dalam suatu negara. Konsumen merupakan individu atau sekelompok orang yang mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang disediakan oleh produsen atau pelaku usaha.
“Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukkan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris -Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.”14
Ada beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang konsumen, antara lain adalah :
a. Munir Fuady
Konsumen adalah pengguna terakhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
b. Homby
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
14
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, hlm. 3.
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
c. Az. Nasution
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diberikan rumusan definisi terhadap konsumen, yaitu:15
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya pada orang perorangan namun juga mencakup badan hukum.
15
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta -merta hasil dari transaksi jual beli.
c. Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.
d. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Perdagangan yang ma kin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni:
a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
b. konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
c. konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).16 Konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini adalah konsumen akhir, dimana konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk. Kalimat tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas merupakan konsumen akhir yang tujuan penggunaan barang atau jasa bukan untuk dijual kembali. Artinya, konsumen yang sebagai pemakai atau pengguna suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat digunakan baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain maupun untuk makhluk hidup lain karena tidak untuk dijual kembali, sehingga tidak mempunyai tujuan yang komersia l.
16
Menurut Az. Nasution, berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan mengenai konsumen akhir, antara lain:
a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan.
b. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain tidak untuk diperdagangkan kembali.
c. Setiap orang atau keluarga yang mendapat barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.17
6 . Pelaku Usaha
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.”
“Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.”18
Menurut Az. Nasution pelaku usaha berdasarkan pasal tersebut terdiri dari :
a. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.
b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. c. Pengusaha jasa.19 17 Ibid., 18 Ibid., hlm. 17. 19 Ibid., hlm. 10.
Pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan pelaku usaha yang dapat berupa perorangan atau badan hukum. Pengertian pelaku usaha tersebut tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.
7 . Hak dan Kewajiban
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Kondisi konsumen yang masih banyak merasa dirugikan memerlukan adanya peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin adanya hak-hak konsumen. Kepastian menjamin hak-hak konsumen yang diperkuat dengan undang-undang khusus ini memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang melakukan perbuatan yang dapat merugikan konsumen.
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: 1. Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety );
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right to choose); 4. Hak untuk didengar (the right to be heard).20
20
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamana n, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mengatur mengenai hak-hak konsumen saja, tetapi juga mengatur mengenai kewajiban sebagai penyeimbang hak konsumen.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Tidak hanya hak dan kewajiban konsumen saja yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur didalamnya. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha ini untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak dan kewajiban yang diberikan kepada konsumen, karena Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini bukan semata -mata untuk membalikan kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi kuat dan sebaliknya pelaku usaha yang menjadi lemah, oleh karena itu hak dan kewajiban pelaku usaha juga diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutubarang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji barang dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sebagai upaya perlindungan konsumen merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
Pasal 1338 ayat (3) berbunyi:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
8 . Hubungan Hukum antara Konsumen dengan Pelaku Usaha
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena antara pelaku usaha dan konsumen memang saling
menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara pelaku usaha dengan konsumen.
“Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat tergantung dari hasil produksi pelaku usaha.”21
Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Hubungan Langsung
“Hubungan langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.”22
Hubungan antara pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa dengan konsumen adalah hubungan perjanjian jual beli. Pengertian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat unsur-unsur jual beli yakni perjanjian, penjual dan pembeli, harga dan barang.
Suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
21 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, ed., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 36.
22
Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Edisi I, Cetakan Ke-2), Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 34.
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mengenai sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yakni sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Hubungan langsung yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha yang memproduksi barang dan/atau jasa merupakan hubungan kontraktual (perjanjian). Artinya, apabila produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha menimbulkan kerugian pada konsumen, maka konsumen dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual liability). Tanggung jawab kontraktual ini didasarkan pada tanggung jawab atas dasar wanprestasi atau ingkar janji, karena salah satu pihak tidak memenuhi perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut.
2. Hubungan Tidak Langsung
Hubungan tidak langsung di sini merupakan transaksi usaha yang berkembang ke arah hubungan yang tidak langsung yakni melalui suatu kegiatan distribusi, dimana dari pelaku usaha disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru sampai ke konsumen. Hubungan tidak langsung ini di dalamnya tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian) antara pelaku usaha dengan konsumen.
Konsumen di sini tidak bisa untuk meminta ganti rugi dari pelaku usaha atas dasar tanggung jawab kontraktual, karena konsumen hanya memiliki hubungan kontraktual dengan pengecer, padaha l produk yang menimbulkan kerugian dihasilkan oleh pelaku usaha bukan pengecer. Artinya, apabila ternyata bahwa pelaku usaha adalah pihak yang merugikan konsumen, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang timbul tersebut. Pertanggungjawaban pelaku usaha atas produknya yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dinamakan tanggung jawab produk (product liability ). Pertanggungjawaban produk tidak didasarkan pada contractual liability, tetapi didasarkan pada tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum.
9 . Perbuatan yang dilarang Bagi Pelaku Usaha
Salah satu tujuan dalam perlindungan konsumen adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif sebagai akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari segala aktivitas perdagangan pelaku usaha. Upaya yang dilakukan untuk menghindarkan akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen diatur juga mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa :
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai denga n kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang
yangmemuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atau barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang mempegunakan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.”
Menurut Gunawan Widjaja, secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dapat dibagi dalam dua larangan pokok, yaitu:
1) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak dipenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
2) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.23
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tentang beberapa larangan bagi pelaku usaha sebagai bagian dari kaidah hukum Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Adanya larangan tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang dipasarkan atau diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan cara melanggar hukum.
10. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Tanggung jawab tersebut adalah “minimal” dalam arti tanggung jawab pelaku usaha tidak sekedar yang ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen saja, dapat meliputi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana mestinya seba gai pelaku usaha, dapat berdasarkan undang-undang selain Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, seperti dalam ketentuan-ketentuan lain yakni kebiasaan, doktrin dan lain-lain.
23
Johanes Gunawan, 1994, “Produk Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta: Projustisia, Tahun XII, hlm. 39.
Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai de ngan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Shidarta mengatakan bahwa :
“Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus -kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.”24 Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha seba gaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:
a. yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.
b. apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.
c. apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut. 25
Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.
24
Shidarta, Op. Cit., hlm. 59. 25
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:26
a. Kesalahan (liability based on fault)
Seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
1. adanya perbuatan; 2. adanya unsur kesalahan; 3. adanya kerugian yang diderita;
4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Kesalahan di sini adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, dimana hukum itu artinya tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan di dalam masyarakat.
b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability) Tergugat yang dalam hal ini adalah pelaku usaha selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai pelaku usaha dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian dalam prinsip praduga selalu bertanggung jawab ini ada pada pelaku usaha sebagai tergugat.
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 92.
c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)
“Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle ) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.”27
d. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab mutlak merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun terhadap prinsip tanggung jawab mutlak ini ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur.
e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa pelaku usaha seharusnya tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya.
27
11. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen
Happy Susanto menyatakan bahwa:
“Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang dan/atau jasa.”28
Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
“Penjelasan resmi Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen itu pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.”29
28
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visi Media, hlm. 2. 29
Beberapa peraturan yang dijadikan sumber hukum perlindungan konsumen diantaranya sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945
1) Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Penjelasan dari pasal ini bahwa ketentuan ini mengenai hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 ini adalah warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, yakni hak untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang segala barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
2) Pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan.
Berbagai hak yang dimiliki konsumen telah masuk dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD 1945
merupakan suatu sumber hukum bagi perlindungan konsumen karena hak konsumen terdapat di dalamnya.
b. Ketetapan MPR
Menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1993 (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) secara eksplisit dicantumkan kata “Perlindungan Konsumen”, sekalipun tidak diuraikan lebih jauh mengenai pengertian dan substansinya. Secara implisit dapat ditemukan berbagai hal yang berhubungan dengan kepentingan konsumen seperti keharusan menghasilkan atau meningkatkan:
1) Barang yang bermutu;
2) Kualitas dan pemerataan pendidikan; 3) Kualitas pelayanan kesehatan;
4) Kualitas hunian dan lingkungan hidup;
5) Sistem transportasi yang tertib, lancar, aman, dan nyaman; 6) Kompetisi yang sehat;
7) Kesadaran hukum.30
c. Berbagai peraturan perundang-undangan lain, diantaranya:
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan.
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
30
5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup.
8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 9) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang yang dapat menambah kepastian hukum bagi konsumen, walaupun demikian masih perlu adanya peraturan pemerintah untuk menunjang pelaksanaan perlindungan konsumen, sebab Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sifatnya masih umum dan pelaksanaan beberapa pasal harus dengan peraturan pemerintah seperti Pasal 29, Pasal 30, Pasal 44 dan Pasal 46. Adapun peraturan pemerintah yang menunjang berlakunya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain: a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001
tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
b. Peraturan Pemerintah Repbulik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. C. Obat
1 . Definisi
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi bahwa :
“Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.”
Peraturan Menter i Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, obat digolongkan dalam lima golongan, yaitu:31
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter. Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SKA/I/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Obat bebas disertai dengan brosur yang berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch,
31
http://dentalhealthridhafajarnugroho.blogspot.com/2013/03/penggolongan-obat-menurut-uu-farmasi.html, diakses tanggal 26 November 2014.
nomor registrasi, nama dan alamat pabrik serta cara penyimpanannya.
2. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual atau dipasarkan tanpa resep dokter, tetapi dengan menggunakan izin dari Dinas Kesehatan dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
3. Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Obat-obat yang digolongkan dalam obat wajib apoteker ini adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita oleh pasien. 4. Obat Keras
Obat keras yaitu obat yang berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus menggunakan resep dokter, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986 penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwar na hitam serta huruf “K” yang menyentuh garis tepi. 5. Obat Psikotropika dan Narkotika
Psikotropika adalah zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya
ha lusinasi (mengkhayal), ilusi, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.
Berbagai bentuk dan tujuan penggunaan obat yaitu: 1. Serbuk (pulvis)
Serbuk (pulvis) merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian luar.
2. Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi bobot kurang lebih sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum. 3. Tablet (compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaan rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.