1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang memiliki kontribusi besar untuk membiayai semua pengeluaran negara serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dalam pengoptimalan penerimaan pajak, dibutuhkan peran pemerintah agar membentuk undang-undang perpajakan untuk memperkuat kepatuhan wajib pajak (Pamungkas, 2021). Semakin banyak perusahaan yang ada di Indonesia tentu saja membuat penghasilan yang didapatkan negara dari pajak juga akan semakin banyak. Akan tetapi, pajak dapat merugikan wajib pajak khususnya perusahaan karena dianggap sebagai suatu beban yang dapat mengurangi pendapatan dan laba bersih suatu perusahaan.
Dengan begitu, banyak perusahaan yang melakukan upaya untuk meminimalisir beban pajak dengan memanfaatkan celah dalam undang-undang perpajakan.
Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan sebenarnya yang menunjukkan bahwa realisasi pajak di berbagai sektor perusahaan Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah memenuhi target yang telah dianggarkan. Salah satu yaitu pada perusahaan sektor industri pengolahan.
Tabel 1. 1 Realisasi Penerimaan Pajak dari Perusahaan Sektor Industri Pengolahan Tahun 2018 – 2020
Tahun Realisasi Penerimaan Pajak (Rp) Target Penerimaan Pajak
2018 315,13 T 30 %
2019 365,39 T 29,4 %
2020 291,54 T 19,86 %
Sumber : APBN tahun 2018 – 2020 (data diolah sendiri)
Berdasarkan data dari APBN (Tabel 1.1) menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak pada tahun 2018 ke 2019 mengalami peningkatan. Sedangkan pada tahun 2020, realisasi penerimaan pajak mengalami penurunan yaitu sebesar Rp 291,54 T dengan target penerimaan 19,86%. Meskipun realisasi penerimaan pajak dari sektor industri lebih tinggi daripada sektor-sektor lain, akan tetapi persentase penerimaan pajak masih belum dapat memenuhi target. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa penurunan penerimaan pajak pada tahun 2020 dan penurunan persentase pertumbuhan penerimaan pajak disebabkan oleh adanya pandemi Covid-19 yang mempengaruhi perekonomian Indonesia (Prakoso, 2021). Selain itu, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa salah satu terjadinya realisasi penerimaan pajak belum mencapai target karena terdapat indikasi perusahaan dalam meminimalisir laba. Dimana laba perusahaan yang kecil akan membuat beban pajak yang akan dibayarkan juga akan semakin kecil, sehingga realisasi penerimaan pajak tidak dapat mencapai target (Ramli, 2020).
Terkait kasus di atas, hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor perusahaan melakukan tindakan agresivitas pajak. Agresivitas pajak dapat menguntungkan perusahaan pada saat pembayaran pajak karena perusahaan dapat merekayasa laba sehingga mengurangi beban pajaknya dengan menggunakan cara legal maupun ilegal. Akan tetapi di sisi lain melakukan agresivitas pajak tersebut tidak diinginkan karena dapat merugikan negara (Octaviani & Sofie, 2019). Dan saat ini perusahaan lebih mudah melakukan agresivitas pajak karena adanya perubahan sistem dalam perpajakan. Awalnya
sistem di Indonesia menggunakan official assessment system, kemudian pemerintah menerapkan menjadi self assessment system.
Dalam teori agensi, praktik agresivitas pajak dapat dilakukan oleh pihak manajemen secara maksimal dikarenakan memiliki informasi pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan pemegang saham. Munculnya konflik keagenan juga dapat mempengaruhi kualitas informasi laporan keuangan perusahaan (Syifak, 2021). Jensen & Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan keagenan berawal dari principal yang mempekerjakan seorang agent dalam mengelola perusahaan dan memberikan keputusan terbaik untuk pemegang saham.
Praktik agresivitas pajak muncul karena wajib pajak ingin mencari kelemahan peraturan perundang-undangan agar pajak yang dibayarkan dapat seminimal mungkin. Seringkali perusahaan melakukan rekayasa laba kena pajak dengan menggunakan cara yang legal (tax avoidance). Faktor yang mempengaruhi terjadinya agresivitas pajak yaitu komisaris independen. Komisaris independen merupakan indikator tata kelola perusahaan yang mencangkup hubungan antara manajer dan pemilik perusahaan. Komisaris independen juga dapat dilihat dari keadaan baik-buruknya tata kelola perusahaan dalam mengambil keputusan perpajakan (Jati et al., 2019). Karena komisaris independen memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengawasi agar perusahaan lebih transparan dan menjalankan kegiatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu Financial Distress. Financial Distress merupakan keadaan dimana perusahaan sedang mengalami kondisi penurunan keuangan atau sedang dalam masa bangkrut. Dengan kata lain, financial distress
dapat dikatakan bahwa perusahaan sedang tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendek maupun jangka panjangnya. Kondisi seperti itu dapat memicu perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajak perusahaan (Sumantri & Indradi, 2020).
Transfer Pricing juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya agresivitas pajak pada suatu perusahaan. Transfer Pricing adalah kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan dalam menetapkan harga atas barang, jasa, harta ataupun transaksi yang dilakukan oleh perusahaan (Setiawan, 2013).
Pada awalnya transfer pricing dianggap seperti transaksi yang wajar, namun kenyataannya perusahaan memanfaatkan laba agar dialihkan ke perusahaan afiliasi di suatu negara yang tarif pajaknya rendah (Fitriani et al., 2021). Hal tersebut yang membuat transfer pricing mendapatkan konotasi negatif. Dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan pihak otorisasi pajak negara lain dalam menentukan kembali besarnya harga transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa melalui uji penerapan prinsip kewajaran arm’s length principle (ALP).
Akan tetapi, manipulasi transfer pricing masih terus terjadi hingga saat ini.
Diketahui bahwa pandemi saat ini, perusahaan berupaya melakukan tindak agresif dengan dengan fokus memanipulasi harga transfer. Hal tersebut dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan Pratomo dan Triswidyaria (2021) pada perusahaan manufaktur masih melakukan tindakan agresif dengan mengalihkan labanya ke perusahaan berafiliasi, dimana hasil semakin tinggi nilai transfer pricing maka
akan semakin besar tindak pajak agresif yang dilakukan perusahaan.
Penelitian Wiratmoko (2018) yang meneliti tentang pengaruh corporate governance terhadap penghindaran pajak yang dilakukan menggunakan proksi
komisaris independen sebagai pengukuran corporate governance. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa komisaris independen berpengaruh terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2016. Penelitian Wiratmoko (2018) sejalan dengan Nugroho & Rosidy (2019) dan Setyawan et al (2019), yang memaparkan bahwa komisaris independen dalam perusahaan memiliki pengaruh terhadap tax avoidance. Akan tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hanim
(2018) dan Yahya et al (2021) yang mana hasil penelitian komisaris independen tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Dimana proporsi komisaris independen dalam tata kelola perusahaan tidak mempengaruhi perusahaan dalam melakukan penghindaran pajak.
Pada penelitian Sumantri & Indradi (2020) meneliti analisis penghindaran pajak dengan pendekatan financial distress. Hasil dari penelitian tersebut menemukan bahwa financial distress berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penghindaran pajak pada suatu perusahaan manufaktur. Penelitian ini bertolak belakang dengan hasil yang diperoleh Putri & Chariri (2017) bahwa financial distress berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Dan juga tidak sejalan dengan
penelitian Cita & Supadmi (2019) dan Octaviani & Sofie (2019) yang menjelaskan bahwa financial distress tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak pada perusahaan pertambangan.
Fitriani et al. (2021) menguji pengaruh transfer pricing, kepemilikan asing, kepemilikan institusional terhadap agresivitas pajak. Pada penelitian ini transfer pricing dan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
pajak. Sedangkan kepemilikan asing tidak berpengaruh signifikan. Hasil penelitian yang dilakukan Herianti & Chairina (2019) juga transfer pricing memiliki pengaruh terhadap agresivitas pajak. Akan tetapi tidak sejalan dengan hasil penelitian yang mengatakan dihasilkan Falbo & Firmansyah (2018) dan Utami et al (2020) yang menyatakan bahwa transfer pricing tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak dikarenakan terdapat peraturan pemerintah yang diperketat mengenai transfer pricing.
Dari beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa hasil dari setiap peneliti menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hal tersebut membuat peneliti menjadi termotivasi untuk melakukan kajian kembali mengenai faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan praktik agresivitas pajak. Penelitian ini dibuat berbeda dari penelitian sebelumnya mulai dari variabel, periode, hingga objek penelitian. Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2018-2020.
Pemilihan perusahaan sektor industri dasar dan kimia karena pada penelitian sebelumnya banyak yang menggunakan perusahaan manufaktur, pertambangan, dan transportasi, jadi peneliti ingin menggunakan objek perusahaan penelitian yang berbeda. Selain itu, dari beberapa sektor industri pengolahan, perusahaan sektor industri dasar dan kimia lah yang penerimaan pajaknya lebih besar walau belum memenuhi target. Untuk pemilihan periode tahun 2018-2020 karena
memperlihatkan keadaan saat ini.
Berdasarkan latar belakang diatas yang membedakan dari penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Komisaris Independen, Financial Distress, dan Transfer Pricing Terhadap Agresivitas Pajak (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Dasar dan Kimia yang terdaftar di BEI pada Tahun 2018-2020)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah Komisaris Independen berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak?
2. Apakah Financial Distress berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak?
3. Apakah Transfer Pricing berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Komisaris Independen terhadap Agresivitas Pajak
2. Membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Financial Distress terhadap Agresivitas Pajak
3. Membuktikan secara empiris mengenai pengaruh Transfer Pricing terhadap Agresivitas Pajak
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan wawasan mengenai bukti empiris pengaruh komisaris independen, financial distress, dan transfer pricing terhadap agresivitas pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Dan dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya sebagai pedoman melakukan penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat menjelaskan bahwa komisaris independen, financial distress, dan transfer pricing merupakan faktor yang mempengaruhi
adanya agresivitas pajak. Penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai agresivitas pajak yang apabila dilakukan oleh perusahaan maka dapat mengakibatkan penurunan penerimaan suatu negara. Dengan begitu, perusahaan dapat lebih bijak dapat mengambil keputusan dan tetap sesuai dengan peraturan yang diterapkan perusahaan agar tidak terjadi rekayasa laba untuk menaikkan beban pajak. Dan bagi pihak akademisi dapat memberikan kontribusi lebih dalam mengembangkan teori mengenai agresivitas pajak.