• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi Balita

Status gizi bisa diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2002).

Kehandalan balita dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya adalah status gizi dan kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).

Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat kecendrungan pola asuh dengan status gizi. Semakin baik pola asuh balita maka proporsi gizi baik pada balita juga akan semakin besar. Dengan kata lain, jika pola asuh balita di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan balita juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak. Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa 40 responden terdapat 30 orang (75%) dengan pola asuh baik mempunyai status gizi yang baik pula. Dan 10 orang (25%) dengan pola asuh buruk mempunyai status gizi yang kurang.

2.1.1. Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui status gizi balita dapat dilakukan dengan penilaian status gizi secara langsung dan penilaian tidak langsung. Penilaian status gizi secara

(2)

langsung adalah dengan pemeriksaan secara antropometri, biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah dengan pemeriksaan survey makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Waryana, 2010).

Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran antropometri bertujuan mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur (BB dan TB/U) berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB) (Sibagariang, 2010).

Dari beberapa cara pengukuran status gizi, pengukuran antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan yaitu alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu. Penilaian berdasarkan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) adalah untuk mengetahui status gizi orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih yaitu dengan pengukuran berat dan tinggi badan (Arisman, 2007).

Penilaian status gizi menurut WHO (2005) adalah : 1. Antropometri

a. BB/U (Berat Badan menurut Umur)

Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif

(3)

terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat di bawah ini.

1. Gizi Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < +1 2. Gizi Kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0 3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor < -3,0

b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)

Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.

1. Tinggi : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0 3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0 4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD

c. Tinggi BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)

Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/TB dapat dilihat di bawah ini.

(4)

1. Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD 2. Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z ≤ 3,0 3. Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 ≤ Z < 2,0 4. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < 1,0 5. Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0 6. Sangat Kurus : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD

2. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Depkes RI, 2005)

3. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Depkes RI, 2005).

(5)

4. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Depkes RI, 2005).

2.2. Pola Asuh

Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut (Edwards, 2006), menyatakan bahwa “Pola asuh merupakan interaksi balita dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi balita untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat”. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.

Banyak ahli mengatakan pengasuhan balita adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan balita untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan balita menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap balita berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik balita nya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi balita dengan orang tua, balita cenderung menggunakan cara-

(6)

cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh.

Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam Joint Nutrition Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakan pada berbagai studi positive deviance di berbagai negara. Peranan determinan pola asuhan terhadap

pertumbuhan bayi cukup besar, dimana pola asuhan yang baik dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi dan kesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1992).

Pola pengasuhan balita adalah pengasuhan balita dalam pra dan pasca kelahiran, pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhan bermain (Hamzat A, 2000).

Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap balita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan balita berupa sikap dan praktik pengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan serta kasih sayang. Berdasarkan pengertian tersebut “pengasuhan” pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh orang lebih dewasa terhadap balita yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan/gizi, perawatan dasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 1995).

(7)

Disatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk balita menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Rachmadiana, 2004).

Menurut penelitian Belly (2008), bahwa faktor-faktor penyebab gizi buruk dan gizi kurang bermacam-macam, diantaranya : 1) Kurang mendapat asupan gizi yang seimbang dalam waktu yang cukup lama, 2) Menderita penyakit infeksi sehingga asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan, 3) Tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, 4) Pola asuh yang kurang memadai, 5) Akses pelayanan kesehatan terbatas, 6) Minimnya pengetahuan ibu tentang gizi keluarga, 7) Sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik.

Menurut Penelitian Pribawaningsih (2008), bahwa pola pengasuhan mempunyai kontribusi sebesar 30% terhadap penentuan status gizi balita, Adanya pengaruh ini bisa terjadi karena pola perilaku yang cenderung diikuti para anggota masyarakat dan berbagai kepercayaan, nilai dan aturan yang diciptakan lingkungan tersebut.

Menurut penelitian Nugroho (2010), bahwa pola asuh dan perilaku pengasuh berhubungan dengan status gizi balita. Balita dengan pola asuh nuclear family memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 3 kali lebih besar daripada extended family (OR = 3,0, p = 0,042) dan terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pengasuh dan status gizi balita balita. Balita balita dengan pengasuh

(8)

berperilaku buruk memiliki resiko mengalami gizi kurang atau buruk 19 kali lebih besar daripada pengasuh berperilaku baik (OR = 19,3, p = <0,001).

Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida (2004) di Kelurahan Belawan Bahari Kecamatan Medan Belawan, menunjukkan bahwa ada kecenderungan dengan semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada balita semakin besar.

Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh balita meliputi :

a. Perilaku yang patut dicontoh

Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya.

b. Kesadaran diri

Ini juga harus ditularkan pada anak-balita dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku.

c. Komunikasi

Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahannya.

(9)

2.2.1. Praktek Pemberian Makan

Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupa pemberian ASI, menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola aktivitas, asupan gizi rendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan balita melalui status gizi ibu (Pengasuhan makanan balita terdiri atas hal yang berhubungan dengan menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).

Ada 2 tujuan pengaturan makanan untuk bayi dan balita balita :

1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikomotor, serta melakukan aktivitas fisik.

2. Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik.

Makanan untuk bayi dan balita yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur.

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makanan, dan selera terhadap makan.

3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faal bayi/anak.

4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

(10)

Pertumbuhan balita usia 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi dan penyakit infeksi. Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) dengan jadwal pemberian makan yang sama yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan (diantaranya 2 kali makanan utama). Pola hidangan yang dianjurkan adalah makanan seimbang yang terdiri atas sumber zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.

Bedasarkan hasil penelitian Sarasani (2005) menyatakan bahwa balita yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik lebih banyak ditemukan balita dengan status gizi baik.

Berdasarkan penelitian Perangin-angin (2006), bahwa terdapat hubungan antara praktek pemberian makan dengan status gizi anak. Dimana dari 36 orang yang mempunyai status gizi baik terdapat 26 orang (83,87%) dengan praktek pemberian makan yang baik dan 10 orang (58,82%) dengan praktek pemberian makan yang tidak baik. Sedangkan dari 8 orang responden yang mempunyai status gizi kurang terdapat 2 orang (6,45%) dengan praktek pemberian makan yang baik dan 6 orang (35,29%) dengan praktek pemberian makan yang tidak baik.

Pada balita usia 1-3 tahun balita bersifat konsumen pasif. Makanannya tergantung pada apa yang disediakan ibu. Gigi geligi susu telah tumbuh, tetapi belum dapat digunakan untuk mengunyah makanan yang terlalu keras. Namun balita hendaknya sudah diarahkan untuk mengikuti pola makanan orang dewasa (As’ad, 2002)

(11)

Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan sebagainya sangat menetukan bersih tidaknya makanan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan binatang.

b. Alat makan dan memasak harus bersih.

c. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makan.

d. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri 2.2.2. Pengasuhan Perawatan Dasar Anak

Pengasuhan perawatan dasar balita adalah pemenuhan kebutuhan bayi yang dilakukan ibu untuk mengatasi kejadian diare, ISPA, dan memberi imunisasi pada balita yang dinyatakan cukup bila ibu mampu memberikan minum air banyak pada kasus diare, membuat oralit dan meminumkannya (sekurang-kurangnya kombinasi 2 dari 3) serta mampu memberi pelega tenggorokan dan mengatasi demam pada balita yang menderita ISPA juga memberi imunisasi pada balita (Bahar, 2002).

Pengasuhan perawatan dasar balita meliputi perawatan terhadap balita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga balita tidak sampai terkena suatu penyakit. Praktik kesehatan balita yang baik dapat ditempuh dengan cara

(12)

memperhatikan keadaaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri balita dan lingkungan dimana balita berada, serta upaya ibu dalam hal mencarikan pengobatan terhadap balita apabila balita sakit (Bahar, 2002).

Penanggulangan diare yang dapat dilakukan oleh ibu adalah dengan tetap memberi ASI pada balita sakit, dan memberi balita larutan garam gula atau oralit.

Untuk bayi usia 4-6 bulan atau lebih dapat diberi makan sedikit-sedikit tapi sering.

Makanan yang diberikan adalah makanan yang tidak merangsang dan yang disukai anak. Pada balita yang menderita diare, balita tidak dipuasakan (Bahar, 2002).

Praktek cuci tangan tiap melakukan pekerjaan terkait makanan atau menyusui, minum air yang telah dimasak, memanasi makanan sebelum diberikan pada anak, dapat mencegah diare, termasuk usaha mencegah makanan dari gangguan lalat dan kontaminasi lain, serta penggunaan jamban keluarga.

Perawatan ISPA ringan dapat dilakukan dengan kompres, obat demam, balsam/inhaler pelega tenggorokan atau inhalasi uap. Balita dibersihkan dengan memakai kain atau tisu yang dibentuk jadi batangan, diulirkan ke lobang hidung.

Balita diberi minuman dan makanan yang cukup. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menempatkan balita dalam ruang yang sirkulasi udara dan pencahayaan baik, dan balita dilindungi dari kondisi ekstrim. Penyakit ini menyebar dengan droplet, sedapat mungkin hindarkan balita sehat dari penderita ISPA. Perawatan dasar balita juga terkait aktivitas mencegah balita jangan sakit. Pencegahan dimaksudkan memberi balita imunisasi. Untuk itu dibutuhkan kemauan dan kemampuan ibu membawa balita diimunisasi ke posyandu atau institusi terkait. Untuk balita usia 2

(13)

bulan atau lebih tetapi kurang dari 14 bulan dan belum imunisasi, dapat diberi imunisasi dengan urutan dan interval pemberian serupa dengan balita yang diberi imunisasi dengan jadwal tepat (Bahar, 2002).

Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus menerus. Lingkungan yang sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, balita perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut : 1. Mandi 2 kali sehari

2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan 3. Makan teratur, 3 kali sehari

4. Menyikat gigi sebelum tidur

5. Membuang sampah pada tempatnya 6. Buang air kecil pada tempatnya

2.2.3. Praktek Kebersihan/Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

Pengasuhan balita dari aspek higine perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan balita berkenaan dengan kemampuan ibu menjaga balita agar tetap segar dan bersih, balita mendapat lingkungan yang sehat, serta terhindar dari cedera atau kecelakaan. Untuk itu dibutuhkan kemampuan orangtua untuk memandikan anak.

Menjaga kebersihan pakaian bayi dan membersihkan bagian tubuh anak, ganti popok ketika akan tidur malam hari. Dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak, kamar balita dan lingkungan tempat balita diasuh.

Diperlukan kemampuan ibu untuk mencegah balita dari terkena luka dan kecelakaan.

(14)

Praktek pengasuhan hygiene perorangan balita terkait perhatian khusus pada kebersihan daerah lipatan kulit, daerah anogenital (terutama tiap selesai berkemih atau BAB), kebersihan kuku dan gigi (bagi balita yang telah tumbuh gigi). Perhatian juga ditujukan pada kebersihan tali pusat, apakah sudah bersih atau malah infeksi.

Hygiene perorangan balita juga meliputi perawatan terhadap rambut dan kulit kepala

anak. Penjagaan kebersihan mulut balita termasuk perhatian terhadap adanya Moniliasis dalam mulut ditandai bercak putih pada mukosa mulut dan atau lidah.

Lingkungan terdekat yang harus sehat bagi balita adalah tempat tidur balita dan tempat bermain anak. Pada tempat tidur, ada bantal dan kasur serta sarung bantal yang perlu dibersihkan secara rutin. Gunakan kelambu bagi bayi siang maupun malam bila balita tidur, untuk mencegah balita digigit nyamuk (Bahar, 2002).

Kondisi lingkungan balita harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/air kotor (limbah), kamar mandi dan kakus (jamban/WC) dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya, yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak penuh sesak, cukup leluasa bagi balita untuk bermain, dan bebas polusi (Soetjiningsih, 1995).

(15)

2.2.4. Faktor- faktor yang Memengaruhi Pola Asuh

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh balita adalah: (Edwards, 2006) adalah :

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan balita akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-balita dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh balita akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

(16)

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik balita kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh balita juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).

2.2.5. Hubungan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak

Perawatan atau pola pengasuhan ibu terhadap balita yang baik merupakan hal yang sangat penting, karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Pola pengasuhan ibu terhadap anaknya berkaitan erat dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan balita (WHO Suharsi, 2001).

Menurut Rahayu (2001) balita yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan lebih berinteraksi secara positif dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya.

Pengasuhan balita oleh ibunya sendiri akan terjadi hubungan balita merasa aman, balita akan memperoleh pasangan dalam berkomunikasi dan ibu sebagai peran model bagi balita yang berkaitan dengan keterampilan verbal secara langsung.

Pola pengasuhan balita akan berkaitan dengan keadaan gizi balita dan usaha ibu merangsang balita untuk makan turut menentukan volume makan pada balita (Jus’at, 2000).

(17)

Hasil penelitian Khomsan, dkk (1999) menunjukkan bahwa ibu memegang peranan utama dalam pengasuhan anak. Penyuluhan stimulasi psikososial kepada ibu dengan menggunakan paket “Ibu maju Balita Bermutu” berdampak meningkatkan stimulasi psikososial balita dalam keluarga. Artinya, ibu menjadi lebih proaktif di dalam mengasuh balita dengan memberikan stimulasi psikososial. Dalam jangka panjang hal ini akan berdampak positif bagi tumbuh kembang anak.

Studi Suharsi (2001) di Kabupaten Demak menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan secara statistik pola asuh ibu dengan balita balita kurang energi dan protein, namun pola asuh ibu yang tidak baik terhadap balita balita mempunyai risiko lebih besar terhadap kejadian kurang energi protein dibandingkan pola asuh yang baik.

Studi penyimpangan positif (positive deviance) masalah KEP di Jakarta Utara dan Bogor oleh Jus’at, dkk (2000) menyimpulkan bahwa pengasuhan balita berkaitan dengan keadaan gizi anak. Pemberian Kolostrum pada bayi di hari-hari pertama kehidupannya berdampak positif pada keadaan gizi balita diumur-umur selanjutnya terutama di Bogor. Interaksi ibu dengan balita yang diamati mendalam, melalui participant obversation, berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-balita

yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapat respon ketika berceloteh, dan selalu mendapat senyuman dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang memperoleh perhatian orang tuanya.

(18)

Bahar (2002) dalam penelitian tentang pengaruh pola pengasuhan terhadap pertumbuhan balita di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa kualitas pengasuhan makanan balita yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan perawatan dasar balita yang dimiliki ibu, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Kualitas pengasuhan hygiene perorangan balita kesehatan lingkungan dan keamanan anak, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.

2.3. Lama Kerja

Lama kerja merupakan beban aktivitas fisik, mental, sosial yang diterima oleh seseorang yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, sesuai dengan kemampuan fisik, maupun keterbatasan pekerja yang menerima beban tersebut. Herrianto (2010) menyatakan bahwa lama kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang, selama periode waktu tertentu dalam keadaan normal. Menurut Nurmianto (2003) lama kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh tenaga kerja dalam jangka waktu tertentu.

Semua pekerjaan harus selalu diusahakan dengan sikap kerja yang ergonomis. Lama kerja dapat dibedakan atas lama kerja berlebih dan lama kerja terlalu sedikit atau kurang (Munandar, 2008).

Lama kerja berlebih, timbul sebagai akibat dari kegiatan yang terlalu banyak diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu. Munandar (2008) menyatakan bahwa lama kerja berlebih secara fisik dan mental adalah

(19)

melakukan terlalu banyak kegiatan baik fisik maupun mental, dan ini dapat merupakan sumber stres pekerjaan.

Lama kerja berlebih, akan membutuhkan waktu untuk bekerja dengan jumlah jam yang sangat banyak untuk menyelesaikan semua tugas yang telah ditetapkan, dan ini yang merupakan sumber tambahan lama kerja. Setiap pekerjaan diharapkan dapat diselesaikan secara cepat, dalam waktu sesingkat mungkin. Waktu merupakan salah satu ukuran, namun bila desakan waktu dapat menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan pekerja menurun, maka itulah yang merupakan cerminan adanya lama kerja berlebih.

Lama kerja yang berlebihan mempunyai pengaruh yang tidak baik pada kesehatan pekerja. Menurut Munandar (2008) yang mengutip pendapat Friedmen dan Rosenman (1974) menunjukkan bahwa desakan waktu tampaknya memberikan pengaruh tidak baik, pada sistem cardiovascular.

Lama kerja terlalu sedikit atau kurang, merupakan sebagai akibat dari terlalu sedikit pekerjaan yang akan diselesaikan, dibandingkan waktu yang tersedia menurut standar waktu kerja, dan ini juga akan menjadi pembangkit stress. Pekerjaan yang terlalu sedikit dibebankan setiap hari, dapat mempengaruhi beban mental atau psikologis dari tenaga kerja. Berdasarkan pendapat Munandar (2008) dapat disimpulkan bahwa lama kerja terlalu sedikit, karena tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya atau untuk mengembangkan kecakapan potensinya secara penuh. Keadaan ini menimbulkan kebosanan dan akan menurunkan semangat kerja serta motivasi kerja, timbul rasa

(20)

ketidakpuasan bekerja, kecenderungan meninggalkan pekerjaan, depresi, peningkatan kecemasan, mudah tersinggung dan keluhan psikosomatik.

Waktu kerja merupakan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan pekerjaan, yang dapat dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Waktu kerja adalah penggunaan tenaga dan penggunaan organ tubuh secara terorganisasi dalam waktu tertentu. Semakin lama waktu kerja yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja maka akan menambah berat lama kerja yang diterimanya dan sebaliknya jika waktu yang digunakan oleh tenaga kerja itu dibawah waktu kerja sebenarnya maka akan mengurangi lama kerja. Suma’mur (2009) menyatakan bahwa aspek terpenting dalam hal waktu kerja meliputi, lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik, hubungan antara waktu kerja dan istirahat, dan waktu bekerja menurut periode waktu (pagi, sore, dan malam hari)

Lamanya seseorang bekerja secara normal dalam sehari pada umumnya 8 jam, sisanya 16 jam lagi dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan, biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas. Bekerja dalam waktu yang berkepanjangan, timbul kecenderungan terjadi kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan kerja serta ketidakpuasan. Dalam seminggu, seseorang umumnya dapat bekerja dengan baik selama 40 jam.

Menurut UU No 13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 1, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja meliputi, 7 jam dalam sehari dan 40 jam

(21)

seminggu untuk 6 hari kerja, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tersebut, wajib membayar upah kerja lembur. Selanjutnya pasal 79 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu istirahat dan cuti meliputi, istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam, setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu, dan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

2.3.1. Lama Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan jenis pekerjaan, lama kerja dapat dibedakan atas lama kerja ringan, sedang dan berat. Menurut WHO dalam Santoso (2004) penggolongan pekerjaan/lama kerja meliputi kerja ringan yaitu jenis pekerjaan di kantor, dokter, perawat, guru dan pekerjaan rumah tangga (dengan menggunakan mesin). Kerja sedang adalah jenis pekerjaan pada industri ringan, mahasiswa, buruh bangunan, petani, kerja di toko dan pekerjaan rumah tangga (tanpa menggunakan mesin). Kerja berat adalah jenis pekerjaan petani tanpa mesin, kuli angkat dan angkut, pekerja tambang, tukang kayu tanpa mesin, tukang besi, penari dan atlit.

2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Lama kerja

Menurut Tarwaka (2004) secara umum lama kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, baik faktor external maupun internal. Pengaruh faktor

(22)

external adalah faktor yang mempengaruhi lama kerja yang berasal dari luar tubuh

pekerja antara lain tugas-tugas yang dilakukan bersifat fisik seperti tempat kerja, sarana kerja dan sikap kerja. Selain itu organisasi kerja juga dapat memengaruhi lama kerja seperti, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam dan sistem pengupahan. Lingkungan kerja dapat memberikan beban tambahan pada pekerja seperti suhu udara, intensitas penerangan, kebisingan, pencemaran udara, bakteri, virus, parasit, jamur dan serangga.

2.3.3. Kapasitas Kerja

Kapasitas Kerja merupakan berat ringannya lama kerja yang dapat diterima oleh tenaga kerja, dan dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang tenaga kerja dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya. Semakin berat lama kerja, akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya.

Herrianto (2010) menyatakan bahwa untuk pekerjaan manual di sektor industri yang menggunakan waktu selama 8 jam per hari, seseorang dapat bekerja paling banyak 33 %, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Sedangkan untuk pekerjaan manual selama 10 jam per hari, seseorang dapat bekerja hanya 28 %, dari kapasitas maksimal tanpa merasa kelelahan. Kapasitas kerja individu tergantung pada derajat kebugaran tubuh, kapasitas kerja otot dan kapasitas kerja jantung.

2.3.4. Analisis Lama kerja

Analisis lama kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang digunakan atau dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu

(23)

tertentu, atau dengan kata lain analisis lama kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau lama kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang pekerja. Menurut Suyudi (2004), analisa lama kerja adalah upaya menghitung lama kerja pada satuan kerja dengan cara menjumlah semua lama kerja dan selanjutnya membagi dengan kapasitas kerja perorangan persatuan kerja.

2.4. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Pada saat ini masalah gizi utama di Indonesia masih adalah kurang Energi Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan Kurang Vitamin A (KVA) dan juga Gizi Lebih. Analisis masalah gizi kurang yang dilakukan oleh Atmarita dan Falah (2004) pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 37,5 % menurun menjadi 27,5 % pada tahun 2003, ini berarti terjadi penurunan gizi kurang sebesar 10 %. Sementara itu terjadi penurunan gizi buruk sampai tahun 2003 yaitu 8,3 %. Pada tahun 2005 ini dilaporkan terjadi peningkatan kasus gizi buruk atau yang lebih dikenal dengan busung lapar.

Menurut Rimbawan dan Baliwati (2004), KEP terjadi akibat konsumsi pangan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Soekirman (1999).

Penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah makanan yang

(24)

tidak seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan.

Pada balita yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Azwar, 2004).

Sedangkan penyebab tidak langsung berupa ketersediaan makanan, pola asuh serta sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan, pengetahuan dan keterampilan.

2.5. Landasan Teori

Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan antara pengeluaran energi lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan terjadi kekurangan energi dan begitu juga sebaliknya akan terjadi kelebihan, jika berlangsung lama akan timbul masalah gizi (Waspadji, 2010).

Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2001).

Menurut UNICEF (1998) gizi kurang disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah seperti dibawah ini :

(25)

Dampak

Penyebab

Langsung

Penyebab Tidak langsung

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok maslah Di masyarakat

Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan dan Kemiskinan

Akar masalah (Nasional)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi Menurut UNICEF 1998.

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa akar permasalahan gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi dan

KURANG GIZI

Makan Tidak Infeksi Seimbang

Tidak cukup persediaan

pangan

Pola asuh balita tidak

memadai

Sanitasi dan air bersih/pelayanan

kesehatan dasar tidak memadai

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan

sumberdaya masyarakat

Krisi Ekonomi, Politik dan Sosial

(26)

pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan wanita sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Adapun faktor tidak langsung menyebabkan kurang gizi adalah tidak cukup persediaan pangan akibat krisis ekonomi dan rendahnya daya beli masyarakat, pola asuh balita yang tidak memadai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan orang tua dan buruknya sanitasi lingkungan dan akses kepelayanan kesehatan dasar masih sulit sehingga berdampak terhadap pola konsumsi dan terjadi penyakit infeksi yang secara langsung menyebabkan gizi kurang.

2.6. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Lama kerja

Pola asuh ibu :

1. Praktek Pemberian Makan 2. Praktek Perawatan Dasar Anak 3. Praktek Higiene dan Sanitasi

Status gizi

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi Menurut UNICEF 1998.
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Lama  kerja

Referensi

Dokumen terkait

4 2009 Identifikasi Kesalahan Dalam Penyusunan Peraturan (Legal Drafting) di Universitas Negeri Yogyakarta Periode Tahun 2004 - 2008 (Anggota). 5 2009 Nilai Pendidikan

Pengukuran ini tidak hanya melihat dari rasio keuangan tetapi juga mengukur rasio-rasio non keuangan, yaitu dari perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal,

Dari analisis yang dilakukan akan didapat masalah yang lebih spesifik dan terfokus yang selanjutnya akan dijadikan substansi atau materi muatan yang kemudian

Metode pencarian yang digunakan pada mesin pencari string ini adalah menggunakan metode pencarian fuzzy string matching dengan menggunakan algoritma

Konsep epistemologi tersebut juga dapat diterapkan bagi Integrasi dan interkoneksi antara agama dan sains yang selama ini dianggap sebagai suatu distingsi. Dengan

Sistem koordinat yang dipakai oleh input adalah sistem koordinat layar komputer bukan sistem koordinat cartesius yang digunakan oleh Unistoke Kanji, sehingga untuk

Jadi secara Alkitabiah, Gerakan Oikumene Berwawasan Kebangsaan yang dimaksud di sini, adalah sebuah gerakan yang bertolak dari kesatuan secara rohani, yang dalam

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan (bersama-sama)