commit to user A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan Fisiologi Mata
Bagian dari mata yang penting dalam memfokuskan bayangan adalah kornea, dan lensa.
jernih, di depan iris (bagian mata yang berwarna). Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna (James B et al, 2005; Ilyas, 2010a; Ilyas, 2010b; Vaugan, 2012). Len terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat
makula lutea (Ilyas, 2010).
Gambar 2.1
BAB II
LANDASAN TEORI
Anatomi dan Fisiologi Mata
Bagian dari mata yang penting dalam memfokuskan bayangan adalah kornea, dan lensa. Kornea adalah suatu jaringan yang transparan, jernih, di depan iris (bagian mata yang berwarna). Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna (James B et al, 2005; Ilyas, 2010a; Ilyas, 2010b; Vaugan, 2012). Len terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat fokuskan di daerah makula lutea (Ilyas, 2010).
Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata (Molenberg, 2012)
Bagian dari mata yang penting dalam memfokuskan bayangan Kornea adalah suatu jaringan yang transparan, jernih, di depan iris (bagian mata yang berwarna). Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tidak berwarna dan hampir transparan sempurna (James B et al, 2005; Ilyas, 2010a; Ilyas, 2010b; Vaugan, 2012). Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada di daerah
)
commit to user
Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudian difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu retina.
Fotoreseptor pada retina mengumpulkan informasi yang ditangkap mata, kemudian mengirimkan sinyal informasi tersebut ke otak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus bekerja simultan untuk dapat melihat suatu objek (James B et al, 2005; Ilyas, 2010a; Ilyas, 2010b; Vaugan, 2012).
Berkas cahaya akan berbelok atau berbias (mengalami refraksi) apabila berjalan dari satu medium ke medium lain dengan kerapatan yang berbeda, kecuali apabila berkas cahaya tersebut jatuh tegak lurus permukaan (Ganong, 2008).
2. Emetropisasi
Sebagian besar bayi lahir dengan mata hipermetrop, kemudian terjadi proses emetropisasi. Pada awal perkembangan post natal terjadi emetropisasi awal dimana terjadi perubahan komponen refraksi meliputi penambahan panjang aksis bola mata, serta penurunan kekuatan refraksi kornea dan lensa yang membuat aksis bola mata tumbuh dan mencapai titik fokus (Tiharyo, 2007; Siegwart, 2011).
Proses emetropisasi ini biasanya terjadi pada delapan belas bulan pertama kehidupan dan keadaan emetrop dicapai pada sekitar usia 9 sampai 14 tahun. Aksis bola mata yang lebih panjang akan berpengaruh terhadap kejadian miopia pada anak. Aksis bola mata berhubungan dengan miopia ketika proses emetropisasi tidak berhasil, sehingga orang
commit to user
miopia memiliki aksis mata yang lebih panjang daripada nonmiopia (Wilson, 2011).
3. Akomodasi
Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mengubah bentuknya karena kontraksi otot siliaris. Akomodasi berguna untuk memfokuskan benda-benda yang terletak pada jarak yang berbeda sehingga terbentuk bayangan yang fokus atau tepat di retina. Daya pembiasan lensa bertambah kuat karena adanya akomodasi. Kekuatan akomodasi yang terjadi tergantung sesuai kebutuhan dan diatur oleh refleks akomodasi, semakin dekat benda maka akomodasi yang dibutuhkan semakin kuat.
Kekuatan akomodasi ini ditentukan dengan satuan dioptri. Pertambahan usia akan menurunkan kekuatan akomodasi. Terdapat 2 titik yang ada pada sistem refraksi mata, yaitu:
a. Titik dekat (puntum proksimum), titik ini merupakan titik terdekat dimana mata dapat melihat jelas dengan akomodasi kuat.
b. Titik jauh (puntum remotum), titik ini adalah titik paling jauh yang masih bisa dilihat dengan jelas (Ilyas, 2010).
4. Kelainan Refraksi a. Definisi
Kelainan refraksi terjadi ketika susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata tidak seimbang, sehingga bayangan yang dihasilkan tidak tepat di retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik
commit to user
yang fokus. Kelainan refraksi meliputi presbiopia, miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2010).
b. Presbiopia
Kelainan refraksi ini terjadi ketika terganggunya daya akomodasi yang bersamaan dengan proses penuaan. Gangguan daya akomodasi pada usia lanjut terjadi karena; 1) kelemahan otot akomodasi, 2) berkurangnya elastisitas lensa akibat sklerosis lensa.
Presbiopia bisa dikoreksi dengan lensa paruh, bagian bawah lensa positif dan bagian atas untuk lensa negatif (Vaughan dan Asbury, 2010; Ilyas 2010).
c. Hipermetropia
Hipermetropia atau dikenal sebagai rabun dekat adalah keadaan ketika sinar yang masuk ke mata tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina (Ilyas, 2010). Hal ini disebabkan karena berkurangnya panjang sumbu (hipemetropia aksial), penurunan indeks refraksi (hipermetropia refraktif), berkurangnya kelengkungan kornea atau lensa (hipermetropia kurvatur) (Vaugan, Ilyas, 2010).
commit to user d. Astigmatisme
Astigmatisme terjadi akibat sinar tidak difokuskan pada satu titik yang sama di retina, akan tetapi pada 2 garis titik
saling tegak lurus. Hal ini karena adanya kelainan pada kelengkungan permukaan kornea (Ilyas, 2010).
e. Miopia
1) Definisi
Miopia adalah kondisi di
jauh jatuh tidak tepat pada retina karena sinar jatuh sebelum mengenai retina, atau sinar tersebut terbentuk di depan retina (WHO, 2004)
Gambar 2.2 2) Klasifikasi
Miopia dapat dibedakan menurut beberapa kriteria (Zejmo ,2009). Bila sumbu bola mata lebih panjang daripada normal, maka kelainannya disebut miopia aksial. Ketika unsur Astigmatisme
Astigmatisme terjadi akibat sinar tidak difokuskan pada satu titik yang sama di retina, akan tetapi pada 2 garis titik fokus saling tegak lurus. Hal ini karena adanya kelainan pada kelengkungan permukaan kornea (Ilyas, 2010).
Miopia adalah kondisi di mana bayangan dari objek yang jauh jatuh tidak tepat pada retina karena sinar jatuh sebelum mengenai retina, atau sinar tersebut terbentuk di depan retina (WHO, 2004).
Gambar 2.2 Skema Gambar Miopia (Molenberg, 2012 Klasifikasi
Miopia dapat dibedakan menurut beberapa kriteria (Zejmo ,2009). Bila sumbu bola mata lebih panjang daripada normal, maka kelainannya disebut miopia aksial. Ketika unsur
Astigmatisme terjadi akibat sinar tidak difokuskan pada satu fokus yang saling tegak lurus. Hal ini karena adanya kelainan pada
mana bayangan dari objek yang jauh jatuh tidak tepat pada retina karena sinar jatuh sebelum mengenai retina, atau sinar tersebut terbentuk di depan retina
, 2012)
Miopia dapat dibedakan menurut beberapa kriteria (Zejmo ,2009). Bila sumbu bola mata lebih panjang daripada normal, maka kelainannya disebut miopia aksial. Ketika unsur-unsur
commit to user
pembiasan lebih refraktif dibandingkan rata-rata atau terdapat pertambahan indeks bias media penglihatan maka akan terjadi kelainan yang disebut miopia kurvatura atau miopia bias (Vaughan dan Asbury, Ilyas, 2010).
Menurut perjalanannya miopia dikenal dengan bentuk; a) Miopia stasioner, miopia ini menetap setelah dewasa, b) Miopia progresif, miopia yang bertambah secara terus-menerus pada usia dewasa akibat pertambahan panjang bola mata, c) Miopia maligna, miopia ini berjalan secara progessif dimana nanti bisa menyebabkan ablasi retina dan kebutaan (Ilyas, 2010).
American Optometric Association (2006) mengklasifikasikan miopia sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Miopia
Type of Classification Classes of Myopia
Clinical Entity Simple myopia
Degenerative myopia Low myopia (< 3.00 D) Medium myopia (3.00 D-6.00 D)
High myopia (> 6.00 D) Degree Low myopia (< 3.00 D) Congenital myopia (present at
birth and persisting through infancy) Youth-onset myopia
commit to user
(<20 years of age) Early adult-onset myopia
(2-40 years of age) Late adult-onset myopia
( > 40 years of age)
3) Manifestasi klinis
Gejala yang dialami oleh penderita miopia pada awalnya adalah menurunnya penglihatan jauh (Widodo dan Prilia, 2007), untuk mengkompensasi, penderita akan mengernyitkan matanya untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Keluhan lain adalah adanya rasa sakit kepala disertai mata juling dan celah kelopak mata yang sempit (Ilyas, 2010).
4) Faktor Risiko a) Faktor Genetik
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, faktor genetik dan lingkungan berpengaruh dalam kejadian miopia. American Optometric Association (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara orang tua menderita miopia dengan kejadian miopia pada anaknya.
Hasil studi yang sudah dilakukan didapatkan prevalensi terjadinya miopia pada anak dengan kedua orang tua
commit to user
menderita miopia adalah 33-60%. Anak dengan salah satu orang tua menderita miopia mempunyai prevalensi 23-40%.
Hampir kebanyakan studi yang sudah dilakukan, hanya 6- 15% prevalensi untuk anak miopia dengan orang tua tanpa miopia. Salah satu penelitian yang dilakukan Mutti (2002) didapatkan prevalensi miopia untuk mencari hubungan orang tua miopia dan anaknya adalah 40% berkurang hingga 18,2% pada anak dengan salah satu orang tua miopia dan kurang dari 6,3% pada anak tanpa orang tua miopia.
Miopia bisa disebabkan oleh satu gen saja atau suatu kompleks gen yang dapat disebabkan karena berbagai faktor genetik atau lingkungan tergantung dari mekanisme yang mendasarinya. Sejauh ini, lebih dari 20 area di kromosom telah diketahui mempunyai potensi untuk terjadinya miopia (Tang, 2008). Penelitan yang dilakukan Tsai (2008) didapatkan bahwa orang yang mempunyai polimorfisme gen PAX6 akan mengalami miopia yang ekstrem >10D, sedangkan yang tidak punya gen tersebut hanya akan mengalami miopia tinggi 6-10D. Gen PAX6 ini terletak di kromosom 11p13 dimana ini merupakan lokus yang memungkinkan untuk terjadinya miopia. Gen PAX6 ini berperan dalam okulogenesis, jadi kemungkinan SNP
commit to user
(Single-nucleotide polymorphism) dari gen ini berhubungan dengan terjadinya miopia.
Suatu penelitian yang dilakukan pada anak kembar mendapatkan hasil bahwa panjang aksis bola mata mempunyai pengaruh yang besar terhadap efek dari herediter dan genetik sebesar 88% (He M, 2008; Lopes, 2009). Anak dengan orang tua menderia miopia akan mempunyai risiko terkena miopia juga dan panjang aksis bola mata pada anak tersebut lebih panjang daripada anak tanpa orang tua miopia (Kurtz, 2007). Terlebih lagi, sebuah proporsi yang besar mengenai korelasi antara panjang aksis bola mata dan miopia bisa dijelaskan melalui efek dari genetik, di mana diindikasikan antara panjang aksis bola mata dan miopia mempunyai gen yang sama (Dirani, 2008).
Penelitian telah menunjukkan bahwa panjang aksis bola mata diturunkan melalui kedalaman bilik anterior mata (Klein, 2009). Panjang aksis bola mata menggambarkan ketebalan dari lensa dan kedalaman bilik mata depan (Philip, 2005). Biino (2005) menemukan sebuah lokus di kromosom 2p24 kemungkinan membawa sebuah gen untuk panjang aksis bola mata.
Faktor genetik berpengaruh terhadap pertumbuhan dari panjang aksis bola mata di mana faktor genetik mengontrol
commit to user
aktivitas sel fibroblas sklera, jumlah kolagen yang dihasilkan fibroblas, jumlah dan ketebalan lamella sklera, komposisi lain dari sklera seperti glikosaminoglikan, adhesin, dan lain-lain. Faktor genetik mempengaruhi panjang aksis bola mata tidak hanya saat prenatal tetapi sampai anak-anak hingga remaja. Panjang aksis bola mata anak dengan miopi jaraknya terlalu jauh dari focal plane, sehingga mekanisme elongasi aksial pada anak tersebut terganggu. Akibatnya mekanisme emetropisasi tidak berjalan dengan sempurna pada anak dengan miopia (Siegwart, 2011).
b) Bekerja Jarak Dekat
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas bekerja jarak dekat dengan timbulnya miopia. Penelitian yang dilakukan oleh Jenni (2008) didapatkan hasil bahwa membaca dalam jarak yang dekat (kurang dari 30 cm) menyebabkan perubahan dari akomodasi mata yang nantinya menimbulkan miopia.
Menurut teori, bekerja dalam jarak yang terlalu dekat dari yang disarankan akan menyebabkan mata memfokuskan benda pada jarak yang dekat (akomodasi), jika dibiarkan terus-menerus, maka aksis bola mata akan memanjang dan akhirnya menyebabkan miopia.
commit to user 5) Diagnosis dan Pemeriksaan
Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Hasil anamnesis yang diperoleh jika pasien menderita miopia adalah adanya keluhan penglihatan yang kabur ketika melihat jauh, cepat lelah saat membaca atau melihat benda dari jarak yang dekat. Pada pemeriksaan oftalmologis dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksaan subjektif dan objektif. Pemeriksaan secara subjektif dilakukan dengan memakai kartu snellen (optotipe Snellen) dan trial lense, sedangkan pemeriksaan secara objektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi. (Vaughan dan Asbury, 2012).
a) Pemeriksaan Visus
Visus atau tajam penglihatan biasanya diukur dengan menggunakan kartu Snellen. Tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku pada kartu. Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa dan penderita sebesar 5-6 m, sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun penderita. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: (Vaughan dan Asbury, 2012; Ilyas, 2010).
commit to user
Jarak antara penderita dengan huruf kartu snellen Jarak yang seharusnya dilihat oleh penderita yang normal
Terdapat beberapa macam jenis kartu gambar untuk pemeriksaan visus. Untuk anak-anak yang belum mengenal huruf atau angka atau orang buta huruf dapat dipakai kartu E (Syarif dan Sukmawati, 2008).
Kartu Snellen Kartu E
commit to user
Kartu Lea
Gambar 2.3 Macam-Macam Kartu Gambar (allaboutvision, 2008)
Interpretasi untuk pemeriksaan pada visus normal adalah 6/6 yang mempunyai arti bahwa pasien dapat membaca kartu Snellen yang seharusnya dapat terlihat pada jarak 6 meter. Apabila seorang pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan hitung jari pada jarak 3 meter. Normalnya jari dapat dilihat secara terpisah pada jarak 60 meter. Jika pasien dapat menghitung jari pada jarak 3 meter, maka visusnya dapat ditulis 3/60, jika tidak bisa maka pemeriksa maju 1 meter sampai pasien dapat menghitung jumlah jari. Jika sampai 1 meter pasien masih belum dapat melihat, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan
commit to user
lambaian tangan. Pemeriksaan lambaian tangan digunakan untuk mata yang berpenglihatan atau visusnya < 1/60.
Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan dari jarak 300 meter. Pemeriksaan ini dilakukan dari jarak 1 meter, visusnya dapat ditulis 1/300. Terakhir pemeriksaan dengan senter, untuk visus < 1/300. Orang normal dapat melihat sinar dari jarak tak terhingga. Jika pasien dapat melihat cahaya, berarti visusnya adalah 1/~ dengan proyeksi (+) ataupun proyeksi (-). Proyeksi (+) maksudnya pasien dapat mengetahui arah datangnya cahaya, sedangkan proyeksi (-) pasien tidak dapat mengetahui arah cahaya.
Bila pasien tidak dapat melihat cahaya senter, inilah yang disebut visusnya 0 atau buta total (Vaughan dan Asbury, 2012; Ilyas, 2010).
b) Pemeriksaan Retinoskopi
Retina diiluminasi atau diterangi melalui pupil dengan cara seberkas cahaya (intercept) diproyeksikan ke mata pasien supaya menghasilkan refleks seperti retinoscopic reflex di pupil. Bila hasil dari retinoskopi menunjukkan intercept dan retinocospic reflex, berarti ada kelainan sferis.
Hasil yang sama juga bisa menunjukkan ada tambahan gangguan silindris yang bertepatan dengan satu meridian utama (Vaughan dan Asbury, 2012; Lang, 2006).
commit to user
c) Pemeriksaan Automated Refractometry
Pemeriksaan ini mengukur refraksi secara otomatis, memakai cahaya infrared, dan detektor cahaya yang sensitif, dan komputer (Vaughan dan Asbury, 2012; Lang, 2006).
6) Penatalaksanaan
Penderita miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis – (S-). Lensa sferis negatif yang digunakan adalah lensa terkecil yang dapat menghasilkan bayangan yang jelas saat melihat jauh tanpa melakukan akomodasi (Vaughan dan Asbury, Ilyas, 2010).
7) Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan mencegah terjadinya miopia anak atau mencegah jangan sampai parah.
Beberapa tindakan yang dilakukan dokter untuk miopia di- antaranya operasi lasik, pengobatan laser, penggunaan lensa kontak atau kacamata.
Pencegahan lain adalah dengan melakukan visual hygiene berikut:
a) Mencegah kebiasaan buruk
(1.) Membiasakan anak-anak duduk dengan benar.
(2.) Istirahatkan mata setiap 30 menit setelah membaca atau melihat TV.
commit to user
(3.) Mengatur jarak baca yang tepat (30 sentimeter) dengan penerangan yang cukup.
(4.) Menghindari membaca dengan posisi yang salah seperti sambil tiduran atau tengkurap.
b) Mengenali kelainan pada mata sejak dini, jangan sampai ada gangguan pada mata. Jika kelainan tidak diperbaiki sejak dini, kemungkinan kelainan yang terjadi bisa menjadi permanen.
c) Memeriksakan mata sedini mungkin jika dalam keluarga terdapat orang yang memakai kacamata.
d) Untuk anak-anak dengan miopia tinggi baik mata kanan dan kiri, dianjurkan untuk segera menemui dokter spesialis. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya juling.
e) Sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak di sekolah (Curtin, 2002).
commit to user B. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
--- = variabel perancu
= variabel yang diteliti
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara orang tua menderita kelainan refraksi dengan munculnya miopia pada anaknya.
Aksis bola mata anak lebih panjang
Bayangan jatuh (terbentuk) di depan retina
Miopia
Kebiasaan bekerja jarak dekat (jarak membaca
buku, cara membaca buku, jarak melihat TV,
Komputer, dan laptop) Orang tua menderita miopia