• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Obesitas Dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Obesitas Dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Obesitas dengan Risiko Menderita

Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Oleh :

Belliana

090100152

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Hubungan antara Obesitas dengan Risiko Menderita

Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Karya Tulis Ilmiah

Oleh :

Belliana

090100152

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

:

Hubungan antara Obesitas dengan Risiko Menderita

Obstructive Sleep Apnea

(OSA)

Nama

: Belliana

NIM

: 090100152

Pembimbing

Penguji I

dr. Aliandri, Sp. THT-KL

dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp. PK

NIP: 19660309 200012 1 007

NIP: 19690906 200501 2 002

Penguji II

dr. Cut Aria, Sp.S

NIP: 19781109 200312 1 001

Medan, 17 Desember 2012

Dekan

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

(4)

Kata Pengantar

Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan program pendidikan S1 fakultas kedokteran USU.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing penulisan karya tulis ilmiah, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, yang dengan sepenuh hati telah mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan penulisan sampai selesainya penelitian ini. Serta untuk dosen penguji yakni dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK dan dr. Cut Aria, Sp.S yang telah memberi kritik dan saran bagi penelitian ini. Ucapan terimakasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu mendukung dan memberikan semangat demi kelancaran pembuatan hasil penelitian ini. Kepada teman-teman yang telah membantu penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan terbaik kepada orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan laporan hasil penelitian ini.

Medan, 6 Desember 2012

(5)

ABSTRAK

Latar Belakang: Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan salah satu tipe gangguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode kolapsnya saluran napas atas saat tidur yang berulang. Meningkatnya prevalensi obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko menderita OSA. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Metode: Metode penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel penelitian ini adalah para staf dan guru Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dan diambil dengan metode consecutive sampling sebanyak 52 orang, di mana 26 orangnya obesitas dan 26 orangnya lagi tidak obesitas. Data risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) diambil dengan menggunakan kuesioner penelitian yang diadaptasi dari kuesioner Berlin dan pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer.

Hasil: Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa 34.6% dari total responden adalah obesitas dan memiliki risiko tinggi menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA). Berdasarkan hasil uji chi-square, terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) (p= 0.000) (p< 0.05).

Kesimpulan: Terdapat hubungan antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA). Tingginya risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan berbagai macam penyakit pada orang yang obesitas dapat mengurangi usia harapan hidup dan kualitas dari kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, disarankan bagi pembaca untuk menjaga agar berat badan tetap ideal dengan mengatur pola hidup yang sehat.

(6)

ABSTRACT

Backgrounds: Obstructive Sleep Apnea (OSA) is the most common type of Sleep Disordered Breathing (SDB) and is characterized by recurrent episodes of upper airway collapse during sleep. Increased in the prevalence of obesity associated with the increased in the prevalence of OSA risk. For that reason, the aim of the study is to find out if there is a relationship between obesity with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Methods: This is an analytical research with cross-sectional approach. The sample was stuffs and teachers from Yayasan Perguruasn Sultan Iskandar Muda. The sampling method was consecutive sampling with a sample size of 52 people, which 26 people are obese and 26 people are non-obese. The risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA) data was taken using questionnaire that is adapted from Berlin Questionnaire and the measurement of Body Mass Index (BMI). Data analysis was performed using computer programme.

Result: The result showed that 34.6% of total respondents are obese and high risk for Obstructive Sleep Apnea (OSA). Based on the result of the chi-square test, obesity had a significant correlation with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA) (p= 0.000) (p< 0.05).

Conclusion: There is a significant correlation between obesity with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA). The high risk for Obstructive Sleep Apnea (OSA) and various disease in obese people can reduce life expectancy and quality of life itself. Because of that, it is recommended for readers to keep weight remains ideal by manage a healthy lifestyle.

(7)

DAFTAR ISI

2.3.2. Mekanisme Patofisiologi Obesitas Menyebabkan OSA ... 25

(8)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL .... 29

5.1.3. Perbandingan Berbagai Karakteristik Responden ... 40

5.1.4. Hasil Analisis Data ... 42

5.2. Pembahasan ... 44

5.2.1. Gejala Mendengkur ... 44

5.2.2. Gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS) ... 44

5.2.3. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Mendengkur dan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) ... 45

(9)

DAFTAR TABEL Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang

Dewasa Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik

4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian ... 37 ... 6

5.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 5.2.

... 38 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori

Indeks Massa Tubuh (IMT) 5.3.

... 39 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gejala

Mendengkur 5.4.

... 39 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gejala

Excessive Daytime Sleepiness (EDS) 5.5.

... 39 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Risiko

Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) 5.6.

... 40 Perbandingan Jenis Kelamin Berdasarkan Kategori Indeks

Massa Tubuh (IMT) 5.7.

... 40 Perbandingan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea

(OSA) Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) 5.8.

... 41 Perbandingan Gejala Mendengkur Berdasarkan Kategori

Indeks Massa Tubuh (IMT) 5.9.

... 41 Perbandingan Gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS)

Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) 5.10.

... 41 Hasil Uji Tabulasi Silang antara Obesitas dengan Risiko

Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) 5.11.

... 42 Hasil Uji Tabulasi Silang antara Obesitas dengan Gejala

Mendengkur 5.12.

... 42 Hasil Uji Tabulasi Silang antara Obesitas dengan Risiko

Menderita Excessive Daytime Sleepiness (EDS) 5.13.

... 43 Hasil Uji Tabulasi Silang antara Gejala Mendengkur dengan

(10)

DAFTAR GAMBAR Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut IMT dan

Karakterisitik Responden Sleep Disordered Breathing Syndromes

2.5.

... 16 Epworth Sleepiness Scale

2.6.

... 21 Gambaran Pemeriksaan Polysomnography CSA dan OSA

2.7. Kerangka Konsep Hubungan antara Obesitas dengan Risiko

Menderita OSA 5.1.

(11)

DAFTAR SINGKATAN

AHI : Apnea/Hypopnea Index

Balitbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

BB : Berat Badan

CSA : Central Sleep Apnea

CT : Computerized Tomography

EDS : Excessive Daytime Sleepiness

EEG : Electroencephalogram

EMG : Electromyogram

EOG : Electrooculogram

ESS : Epworth Sleepiness Scale

IMT : Indeks Massa tubuh

LP : Lingkar Perut

MSLT : Multiple Sleep Latency Testing

NHLBI : National Heart, Lung, and Blood Institute

NREM : Non-Rapid Eye Movement

OSA : Obstructive Sleep Apnea

OSAH : Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea

OSAHS : Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome OSAS : Obstructive Sleep Apnea Syndrome

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik RDI : Respiratory Disturbance Index

REM : Rapid Eye Movement

SDB : Sleep Disordered Breathing

TB : Tinggi Badan

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Daftar Riwayat Hidup ... 53

2. Kuesioner Berlin ... 54

3. Lembar Penjelasan dan Informed Consent ... 56

4. Data Induk Responden 5. Kuesioner Penelitian Hubungan antara Obesitas dengan Risiko ... 59

Menderita OSA 6. Validitas ... 62

... 60

7. Reliabilitas 8. ... 63

Tabel Frekuensi 9. Crosstabs ... 67

... 65

10. Surat Izin Penelitian ... 72

11. Ethical Clearance ... 73

(13)

ABSTRACT

Backgrounds: Obstructive Sleep Apnea (OSA) is the most common type of Sleep Disordered Breathing (SDB) and is characterized by recurrent episodes of upper airway collapse during sleep. Increased in the prevalence of obesity associated with the increased in the prevalence of OSA risk. For that reason, the aim of the study is to find out if there is a relationship between obesity with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Methods: This is an analytical research with cross-sectional approach. The sample was stuffs and teachers from Yayasan Perguruasn Sultan Iskandar Muda. The sampling method was consecutive sampling with a sample size of 52 people, which 26 people are obese and 26 people are non-obese. The risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA) data was taken using questionnaire that is adapted from Berlin Questionnaire and the measurement of Body Mass Index (BMI). Data analysis was performed using computer programme.

Result: The result showed that 34.6% of total respondents are obese and high risk for Obstructive Sleep Apnea (OSA). Based on the result of the chi-square test, obesity had a significant correlation with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA) (p= 0.000) (p< 0.05).

Conclusion: There is a significant correlation between obesity with the risk of Obstructive Sleep Apnea (OSA). The high risk for Obstructive Sleep Apnea (OSA) and various disease in obese people can reduce life expectancy and quality of life itself. Because of that, it is recommended for readers to keep weight remains ideal by manage a healthy lifestyle.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep

Apnea/Hypopnea (OSAH) adalah suatu gangguan tidur yang melibatkan penghentian

atau penurunan yang signifikan dari aliran udara di mana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe gangguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode kolapsnya saluran napas atas saat tidur yang berulang. Gejala–gejala OSA pada umumnya tidak disadari tetapi dapat menjadi berat secara spontan dan biasanya telah ada selama bertahun-tahun sebelum pasien disarankan untuk dievaluasi. Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu gejala yang timbul pada saat tidur dan gejala yang timbul pada siang hari. Gejala yang timbul pada saat tidur berupa mendengkur, apnea/hypopnea, tidur tidak nyenyak, dan lain-lain. Sedangkan gejala yang timbul pada siang hari dapat berupa rasa lelah saat bangun tidur, sakit kepala di pagi hari, rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau lebih dikenal dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS), menurunnya kewaspadaan, dan lain-lain. OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS). OSAS tidak begitu dikenali oleh banyak petugas kesehatan di Amerika Serikat, sehingga ada sekitar 80% orang Amerika dengan OSAS yang tidak terdiagnosis (Downey, 2012). Data di Indonesia mengenai jumlah penderita OSA sampai saat ini juga masih belum ada.

Orang-orang yang mudah mengantuk sering tidak sadar bahwa mereka sedang menderita OSA dan menganggap bahwa mereka adalah “good sleepers”, karena dapat tidur kapanpun dan dimanapun (misalnya di ruang tunggu dokter, lalu lintas, kelas,

(15)

suatu penelitian yang mempaparkan bahwa prevalensi kemungkinan OSA pada pengemudi taksi X di Jakarta berdasarkan pemeriksaan kuesioner Berlin diperoleh sebesar 25% (Wiadnyana, et al., 2010). Menurut National Sleep Foundation (2008), berdasarkan penelitian Sleep in America, terdapat data yang memaparkan bahwa 36% orang Amerika mengantuk atau tertidur saat mengendarai kendaraan, 29% merasa

sangat mengantuk atau tertidur saat bekerja, 20% kehilangan keinginan untuk melakukan hubungan seksual karena merasa sangat mengantuk, dan 14% melupakan acara-acara keluarga, pekerjaan, dan aktivitas liburan bulan-bulan lalu oleh karena rasa kantuk.

Faktor-faktor risiko OSA terdiri dari faktor struktural, faktor nonstruktural, dan faktor genetik. Faktor struktural berhubungan dengan anatomi tulang kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal, dan obstruksi retroglossal seperti retrognathia dan micrognathia, polip hidung, palatum dan uvula yang memanjang dan letaknya lebih ke posterior, hipertropi tonsil dan adenoid, makroglossia, dan lain-lain. Sedangkan faktor nonstruktural dapat berupa obesitas, mengonsumsi alkohol atau obat sedatif, merokok, posisi tidur terlentang, dan lain-lain (Downey, 2012).

Salah satu faktor nonstruktural dari OSA, yaitu obesitas merupakan suatu faktor risiko yang dapat dikontrol karena dipengaruhi oleh lingkungan, kebiasaan makan, dan kurangnya kegiatan fisik serta merupakan faktor risiko yang paling sering menyebabkan OSA. Diduga bahwa peningkatan prevalensi obesitas akan mencapai 50% pada tahun 2025 di negara-negara maju (Sidartawan, 2006). Selain itu, obesitas sudah menjadi suatu epidemik di negara-negara industri. Di Amerika Serikat, 20% pria dan 25% wanita memiliki IMT ≥30 kg/m2. Suatu penelitian menunjukkan bahwa jumlah orang dengan IMT ≥40 kg/m2 meningkat tiga kali lipat jumlahnya sejak tahun 1990-2000. Hal ini akan sangat meningkatkan risiko seseorang menderita berbagai macam penyakit (Freedman et al., 2002). Diperkirakan hampir 30% pasien dengan

IMT ≥30 kg/m2 dan 50% pasien dengan IMT ≥40 kg/m 2 menderita OSA (Downey,

(16)

Berdasarkan keterangan di atas, terlihat adanya hubungan erat antara obesitas dengan kejadian OSA. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai adakah hubungan antara obesitas dengan risiko menderita OSA karena hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA atau tidak (Netzer et al., 1999). Selain itu,

peneliti juga merasa penting melakukan penelitian karena tidak banyak petugas kesehatan termasuk dokter yang menyadari kondisi pasien yang memiliki risiko OSA ini dan pada akhirnya banyak pasien yang menderita kondisi ini tidak terdiagnosis dan tidak diterapi. Sehingga pada pasien, selain timbul masalah kesehatan juga timbul masalah-masalah sosial seperti mengurangi kualitas hidup, mengganggu aktivitas pada siang hari, dan mengakibatkan defisit pada neurokognitif.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah mengenai apakah terdapat hubungan antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)?

1.3. 1.3.1.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA).

1.3.2. Tujuan Khusus

1.

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

2.

(17)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Bagi petugas kesehatan

Memberikan informasi kepada petugas kesehatan mengenai

2. Bagi masyarakat

faktor risiko dari OSA dan gejala-gejala dari OSA sehingga pasien bisa dievaluasi dan diterapi

lebih dini.

Sebagai masukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat bahwa obesitas yang mana merupakan faktor risiko OSA yang dapat dikontrol dapat menyebabkan terjadinya OSA serta mengenal gejala-gejala dari OSA sehingga pasien bisa dievaluasi dan diterapi lebih dini.

3. Bagi peneliti

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

2.1.1. Definisi Obesitas Obesitas

Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi di mana perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Barrett et al., 2010). Menurut Flier (2008), seseorang dinyatakan mengalami obesitas dengan keadaan di mana massa sel lemak berlebihan serta tidak hanya berdasarkan berat badan saja karena pada orang-orang dengan massa otot besar dapat dianggap overweight tanpa peningkatan sel-sel lemak. Selain itu, menurut Sidartawan (2006),

secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.

2.1.2. Pengukuran Obesitas

Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, ada berbagai cara yang bisa digunakan. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau dikenal juga dengan Quetelet Index, merupakan salah satu cara yang sering digunakan. Cara mengukur IMT, yaitu BB/TB2, di mana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Hamdy, 2012). Menurut WHO (2000), seseorang dikatakan obesitas jika nilai IMT ≥30 kg/m 2. Sedangkan menurut Kriteria Asia Pasifik (2000), dikatakan obesitas jika IMT ≥25

(19)

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan IMT menurut WHO (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.1. Sedangkan klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut Kriteria Asia Pasifik (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Sidartawan, 2006).

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa BerdasarkanIMT Menurut WHO (2000)

Klasifikasi IMT(kg/m2)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5-24,9

Berat Badan Lebih >25,0

Pre-Obes 25,0-29,9

Obes- Tingkat I 30,0-34,9

Obes- Tingkat II 35,0-39,9

Obes- Tingkat III >40,0

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000)

Risiko Ko-Morbiditas

Cara lain untuk menilai obesitas adalah dengan mengukur lingkar perut (LP).

(20)

menahan perutnya. Menurut kriteria Asia Pasifik (2000), pria dengan LP ≥90 cmdan wanita dengan LP ≥80 cm masuk kategori obesitas (Sidartawan, 2006).

Menurut Deurenberg (2000), pemeriksaan obesitas juga bisa dilakukan dengan cara mengukur persentase lemak tubuh secara tidak langsung. Obesitas menunjukkan suatu kondisi di mana terdapat simpanan jaringan lemak yang berlebih

pada tubuh. Pada keadaan normal, persentase lemak tubuh pada pria adalah sekitar 15-20%, sedangkan pada wanita sekitar 25-30%. Rumus untuk mengukur persentase lemak tubuh, yaitu sebagai berikut:

Lemak tubuh dewasa = (1,20 x IMT) + (0,23 x USIA) – (10,8 x JENIS KELAMIN) – 5,4

JENIS KELAMIN : Pria = 1; Wanita = 0.

Berdasarkan rumus di atas, maka seseorang disebut obesitas bila, persentase lemak tubuh pada pria >25% dan pada wanita >33%.

2.1.3.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) (2010) pada laporan Riskesdas, prevalensi penduduk usia dewasa menurut status IMT di masing-masing provinsi di Indonesia tahun 2007, secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 12,6% kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah di Provinsi Sulawesi Utara (37,1%), dan yang terendah adalah 13,0 persen di provinsi Nusa Tenggara Timur.

(21)

Gambar 2.1. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut Kategori IMT dan Provensi (Balitbangkes, 2010)

Pada tahun 2010, Balitbangkes juga menampilkan hasil tabulasi silang status gizi penduduk dewasa menurut IMT dengan beberapa variabel karakteristik

(22)

meningkat setelah usia 35 tahun keatas, dan kemudian menurun kembali setelah usia 60 tahun keatas, baik pada laki-laki maupun perempuan. Selain itu, prevalensi obesitas juga lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan dan kelompok penduduk dewasa yang juga berpendidikan lebih tinggi, dan bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai.

(23)

2.1.4. Pencegahan dan Penatalaksanaan Obesitas

Obesitas dapat dicegah dan ditatalaksana dengan cara manajemen gaya hidup. Terdapat tiga elemen dari gaya hidup yang harus diperhatikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan obesitas, yaitu diet sehari-hari yang sehat, aktivitas fisik yang teratur, dan modifikasi prilaku untuk menetapkan prilaku hidup sehat (Flier, 2008). Secara

paradigma, penyebab obesitas adalah ketidakseimbangan antara asupan energi dengan energi yang digunakan (Hamdy, 2012). Obesitas terjadi jika, selama periode waktu tertentu, kilokalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2001). Oleh karena itu, pasien harus tahu bagaimana dan kapan energi dikonsumsi (diet), digunakan (aktivitas fisik), dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (modifikasi prilaku). Suatu penelitian menunjukkan bahwa manajemen gaya hidup dapat menurunkan berat badan sekitar 3-5 kg dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan penatalaksanaan dan perhatian apapun (Flier, 2008).

Fokus primer dari terapi diet pada pasien obesitas adalah menurunkan konsumsi kalori pasien. National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) guidelines merekomendasikan terapi awal dengan penurunan kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dari diet sehari-hari pasien. Terapi awal ini dapat menurunkan sekitar 1-2 pound per minggu dari berat badan pasien. Penurunan konsumsi kalori pada pasien dapat diganti dengan diet lain yang lebih dianjurkan seperti makanan dalam porsi kecil, buah-buahan, sayur-sayuran, gandum, dan lain-lain. Selain itu, American College of Sports Medicine juga merekomendasikan pada pasien overweight dan obesitas untuk melakukan aktivitas fisik sedang selama 150 menit per minggu sebagai target utama dalam menurunkan berat badan. Akan tetapi, untuk pasien yang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menurunkan berat badan, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih berat selama 200-300

(24)

pasien dalam diet sehari-hari dan aktivitas pasien sebelumnya dan menetapkan prilaku hidup sehat seperti diet sehat dan aktivitas fisik yang teratur (Flier, 2008).

Untuk pasien yang memiliki IMT ≥30 kg/m 2 atau IMT ≥27 kg/m2 dengan penyakit penyerta yang berhubungan dengan keadaan obesitasnya, pasien dapat diberi farmakoterapi. Sedangkan pada pasien yang IMT-nya sudah ≥40 kg/m 2 atau IMT ≥35 kg/m2

disertai kondisi medis yang serius, tindakan bedah bisa dipertimbangkan untuk menurunkan berat badan (Flier, 2008).

2.2. 2.2.1.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) Fisiologi Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan fisiologi dan tingkah laku yang ditandai dengan karakteristik penurunan kewaspadaan atau kesadaran dan reaksi atau gerakan yang bersifat reversibel terhadap rangsangan eksternal (Welch, 2008). Tidur berbeda dengan keadaan tidak sadar lainnya karena pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Saat proses tidur, otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan visual, auditori, dan rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensorik. Akan tetapi, mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor homeostatik (Faktor S) dan faktor sirkardian (Faktor C) juga bersama-sama berperan untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Stevens, 2011).

Pusat pengaturan tidur adalah ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) dari bagian anterior hipotalamus. Area ini menjadi aktif saat tidur dan menggunakan neurotransmitter inhibitorik seperti GABA dan galanin untuk menginisiasi tidur dengan cara menghambat area untuk proses bangun di otak (Stevens, 2011). Adanya eksistensi dari sleep-inducing chemicals seperti adenosine juga berperan dalam mengatur seseorang tetap dalam kondisi tertidur. Adenosine akan berikatan dengan reseptor A1 dan menginhibisi neuron kolinergik dari reticular activating system (RAS) yang berpartisipasi dalam proses bangun sehingga aktifitas RAS

(25)

Stadium tidur pada manusia ditentukan berdasarkan karakteristik dari

pemeriksaan polysomnography yang mencakup

pemeriksaan electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), dan electromyogram (EMG) yang diukur sekaligus sebagai parameter electrophysiologic. Berdasarkan polysomnographic profiles, stadium tidur dibagi menjadi dua, yaitu non-rapid eye movement (NREM) sleep atau disebut juga quiet sleep dan rapid eye movement (REM) sleep atau disebut juga active sleep

(Barrett et al., 2010). NREM sleep a.

terdiri dari empat fase yaitu: Fase 1

Fase ini merupakan fase transisi dari keadaan bangun ke fase tidur yang normalnya berlangsung antara 1-7 menit (Tortora & Derrickson, 2009). Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG. Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG (Barrett et al.,

b.

2010). Pada fase ini, orang bisa dibangunkan dengan mudah.

Fase 2

Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep (Tortora & Derrickson, 2009). Pada EEG tampak kumparan tidur atau sleep spindles (12-14 Hz) dan kompleks K (Barrett et al., 2010). Kompleks K adalah suatu gelombang diphasic dengan amplitudo tinggi (>100 V) dan durasi yang panjang (>200 ms) serta bersifat sementara (Benbadis, 2012). Tidak tampak gerakan cepat mata atau REM pada EOG tetapi ada sedikit gerakan berputar atau rolling yang lambat. Potensial EMG lebih rendah dari fase 1 (Barrett et al., 2010).

c.

Fase 3

Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora & Derrickson,

(26)

EMG menetap dengan potensial yang lebih rendah (Barrett et al., 2010). Pada fase ini, suhu tubuh dan tekanan darah menurun. Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan (Tortora & Derrickson, 2009).

d.

Fase 4

Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam (Tortora & Derrickson,

2009). Gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta, tidak ada REM pada EOG, dan potensial EMG rendah (Barrett et al., 2010). Pada fase ini, metabolisme otak menurun secara signifikan dan suhu tubuh juga menurun. Akan tetapi kebanyakan refleks tubuh masih menetap dan tonus otot sedikit menurun (Tortora & Derrickson, 2009).

REM sleep ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan denyut jantung, peningkatan laju pernapasan, dan peningkatan tekanan darah yang berfluktuasi secara luas (Kaplan et al., 2010). Pada EEG tampak gelombang dengan frekuensi campuran dan amplitudo rendah yang serupa dengan fase 1 dari NREM sleep. EOG memperlihatkan adanya gerakan mata cepat atau REM serupa dengan yang terlihat pada kondisi bangun dengan mata terbuka. Oleh karena itu, REM sleep disebut juga dengan paradoxical sleep. Selain itu, aktivitas pada EMG juga tidak ada sehingga terlihat atonia otot pada fase ini (Barrett et al., 2010).

Tidur nokturnal normal pada orang dewasa umumnya sekitar 7-8 jam dan konstan setiap malam. Setelah inisiasi tidur, biasanya tidur dimulai dari NREM sleep fase 1-4 dalam 45-60 menit. Sebesar 15-26% dari total tidur nokturnal orang dewasa merupakan tidur gelombang lambat (fase 3 dan 4 dari NREM sleep) (Barrett et al., 2010). Dalam 1 periode tidur nokturnal, terdapat 3-5 episode REM sleep yaitu sekitar 90-120 menit. Stadium pada NREM sleep harus berbalik terlebih dahulu ke fase 2 NREM sleep sebelum memasuki fase REM sleep. Episode pertama dari REM sleep biasanya berlangsung selama 10-20 menit. Kemudian setelah episode REM sleep berakhir, maka fase tidur akan kembali lagi ke fase NREM sleep. REM sleep akan muncul setiap 90 menit dan biasanya episode terakhir REM sleep

(27)

tidur ini akan terjadi secara berganti-gantian sepanjang malam. Dipaparkan bahwa 50% tidur bayi, 35% tidur anak, dan 25% tidur orang dewasa merupakan REM sleep. Oleh karena itu, seiring dengan usia maka persentase REM sleep akan menurun (Tortora & Derrickson, 2009).

Gambar 2.3. Stadium Tidur Manusia (Czeisler et al., 1999)

2.2.2. Sistem Pernapasan saat Tidur

(28)

sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga menurun sehingga frekuensi

napas juga ikut menurun. Ventilasi selama REM sleep juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ventilasi selama REM sleep sedikit lebih tinggi dari NREM sleep (0,9-7,1%). Akan tetapi beberapa

penelitian juga menunjukkan bahwa ventilasi selama REM sleep selanjutnya menjadi menurun. Oleh karena itu, ventilasi selama REM sleep bervariasi pada tiap orang.

Frekuensi napas bisa bertambah cepat, dangkal, dan tak menentu sesuai dengan variasi ventilasi selama REM sleep tiap orang (Pack, 2008).

Otot-otot saluran napas atas bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan napas saat bernapas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang sama dari batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran napas atas bekerja seirama dengan pernapasan (Lapinsky et al., 1997). Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal adalah akibat meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma, dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan refleks

batuk juga terjadi selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan yang lain (Pack, 2008).

Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat 10 kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali lipat. Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran napas atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan penurunan atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin (SaO2) mengalami penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas, peningkatan resistensi

(29)

Oleh sebab itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal ini dapat mengurangi kualitas tidur, mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan resistensi

insulin, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk (Downey, 2012).

2.2.3. Gangguan Pernapasaan saat Tidur

Gangguan pernapasan saat tidur atau lebih dikenal dengan nama Sleep Disordered Breathing (SDB) menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur. SDB terjadi jika ada episode berulang penghentian aliran udara (apnea) atau penurunan aliran udara (hypopnea) selama tidur disertai dengan adanya fragmentasi tidur, sering terbangun, dan penurunan saturasi oksigen. SDB memiliki suatu spektrum perjalanan penyakit dari mendengkur menjadi obesity hypoventilation syndrome sehingga disebut SDB syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006).

Gambar 2.4. Sleep Disordered Breathing Syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006)

(30)

akan meningkatkan mortilitas hingga 10% berhubungan dengan penyakit kardiovaskular seperti stroke, myocardial infarction, dan arrythmia. Severe sleep apnea syndrome juga berhubungan erat dengan peningkatan IMT (Rodriguez &

Berggren, 2006). Obesity hypoventilation syndrome merupakan gangguan pernapasan saat tidur atau SDB yang paling berat dan dikarakteristik dengan chronic alveolar hypoventilation, obesitas, daytime hypercapnia (PaCO2 >45mmHg). Hal ini dapat

bermanifestasi menjadi hipertensi pulmonar dan gagal jantung kanan (Welch, 2008).

2.2.4. Definisi OSA

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep

Apnea/Hypopnea (OSAH) adalah suatu gangguan tidur yang melibatkan penghentian

atau penurunan yang signifikan dari aliran udara di mana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe gangguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode kolapsnya saluran napas atas saat tidur yang berulang (Downey, 2012).

OSA merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai dengan adanya episode berulang dari obstruksi saluran napas atas sehingga aliran udara dari hidung atau mulut berkurang (hypopnea) atau tidak ada (apnea). Episode-episode berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang sehingga menyebabkan adanya fragmentasi tidur. Pasien biasanya tidak sadar bahwa dirinya terbangun secara berulang. Adanya fragmentasi tidur dapat menurunkan kualitas tidur pasien dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau disebut juga dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) (WHO, 2007). OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome

(OSAHS) (Downey, 2012).

(31)

Hypopnea merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan 10-70% aliran

udara dibandingkan orang normal selama 10 detik. Sedangkan apnea merupakan suatu kondisi di mana tidak ada sama sekali aliran udara dari hidung atau mulut selama 10 detik. Apnea/hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index (RDI) merupakan jumlah dari kondisi apnea/hypopnea per jam saat tidur. AHI atau RDI dapat dinilai dengan pemeriksaan polysomnography (Welch, 2008).

OSA terjadi jika RDI ≥5 kali/jam. OSA diklasifikasikan menjadi OSA ringan dengan RDI 5-15 kali/jam, sedang dengan RDI 15-30 kali/jam, dan berat dengan RDI >30 kali/ jam. Seseorang didiagnosa menderita OSAS jika RDI >15 kali/jam serta mengalami nocturnal dan daytime symptoms (Welch, 2008).

2.2.6. Epidemiologi OSA

OSA merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi di Amerika Serikat. National Commission on Sleep Disorders Research mengestimasi bahwa OSA ringan (RDI >5) ada sekitar 7-8 juta orang dan pada kasus OSA berat (RDI >15) sekitar 1,8-4 juta orang di Amerika Serikat. OSA sering tidak terdiagnosa pada 92% wanita dan 80% pria yang menderita OSA (Downey, 2012).

Wisconsin Cohort Study, suatu studi tentang OSA yang dilakukan pada 1069

pria dan wanita yang berusia 30-60 tahun dengan menggunakan polysomnography, memaparkan bahwa prevalensi OSA pada orang berusia 30-60 tahun adalah 9% pada wanita dan 24% pada pria dengan RDI >5, tetapi estimasi prevalensi OSA dengan RDI >5 yang disertai dengan gejala EDS atau disebut juga dengan OSAS adalah 2% pada wanita dan 4% pada pria (WHO, 2007). Sedangkan untuk prevalensi OSA di populasi non-Amerika yang hanya diteliti pada pria, ada sekitar 0,3% di Inggris, 20-25% di Israel dan Australia (Downey, 2012).

Prevalensi OSA juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu umur, jenis kelamin, dan etnis. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali pada orang yang berusia >65

(32)

American, dan Pacific Islanders juga lebih berisiko menderita OSA dibandingkan orang kulit putih dan orang Asia. Faktor-faktor ini berhubungan dengan meningkatnya IMT yang menjadi faktor risiko dari OSA (Downey, 2012).

2.2.7. Faktor Risiko OSA

Faktor risiko OSA terdiri dari faktor struktural, faktor non-struktural, dan faktor genetik. Faktor struktural berhubungan dengan adanya abnormalitas saluran napas atas, yaitu kelainan anatomi kraniofasial seperti retrognathia dan micrognathia, hipoplasia mandibular, bentuk kepala brachycephalic, penderita Down syndrome, Pierre Robin syndrome, dan Marfan syndrome; obstruksi nasal

seperti polip hidung, deviasi septal hidung, adanya tumor, trauma, dan stenosis di hidung; obstruksi retropalatal seperti palatum dan uvula yang memanjang dan letaknya lebih ke posterior, hipertropi tonsil dan adenoid; obstruksi retroglossal seperti makroglossia dan tumor. Faktor-faktor struktural dapat menjadi predisposisi dari OSA karena menyebabkan kolapsnya faring pada saat tidur (Downey, 2012).

Sedangkan faktor non-struktural dapat berupa obesitas (diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m 2 dan 50% pasien dengan IMT ≥40 kg/m2 menderita OSA); jenis kelamin pria lebih sering dibandingkan wanita; pertambahan usia; wanita postmenopause; penggunaan alkohol atau obat tidur; merokok; posisi tidur supine; riwayat keluarga yang menderita OSA; kelainan endokrin seperti hipotiroid dan akromegali (Downey, 2012).

2.2.8. Diagnosis OSA

OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep

Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS). Setiap orang yang mengeluh tentang rasa

kantuk dan menganggap bahwa dirinya adalah “good sleepers” karena dapat tidur

(33)

insomnia), mendengkur, apnea (terbangun karena merasa tercekik, sulit bernapas), daytime sleepiness (tidur saat kerja, mengantuk saat mengendarai kendaraan), kebiasaan sehari-hari (mengkonsumsi alkohol, rokok), dan riwayat penyakit yang diderita (hipertensi, penyakit kardiopulmonar). Untuk menilai apakah rasa kantuk seseorang berlebihan, maka dapat digunakan kuesioner Epworth Sleepiness Scale. Jika nilainya >11, maka seseorang dikatakan memiliki rasa kantuk

yang berlebih. Hal ini dapat bermasalah bagi kesehatan dirinya, oleh karena itu pasien perlu dirujuk untuk didiagnosis dan diterapi (Douglas, 2008).

Diagnosis pada OSA dapat ditentukan berdasarkan riwayat tidur, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan khusus) (Douglas, 2008).

Gejala–gejala OSA pada umumnya tidak disadari tetapi dapat menjadi berats ecara spontan dan biasanya telah ada selama bertahun-tahun sebelum pasien dirujuk untuk dievaluasi. Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu gejala yang timbul pada saat tidur (Nocturnal Symptoms) dan gejala yang timbul pada siang hari (Daytime Symptoms). Nocturnal Symptoms terdiri dari: mendengkur, biasanya suaranya kuat, terjadi sehari-hari, dan mengganggu orang di sekitarnya; apnea/hypopnea, biasanya pada saat akhir dengkuran; rasa tercekik, gejala ini yang membuat pasien sering terbangun dari tidur; nokturia; insomnia; tidur tidak nyenyak, oleh karena sering terbangun dari tidur. Sedangkan Daytime Symptoms terdiri dari: rasa lelah saat bangun tidur; sakit kepala di pagi hari; Excessive Daytime Sleepiness (EDS); rasa lelah di siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan intelektual; penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian (seperti depresi dan ansietas); disfungsi seksual; gastroesophageal reflux; hipertensi (Downey, 2012).

Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik,

(34)

berhubungan dengan beratnya penyakit OSA. Selain itu pengukuran IMT dan lingkar leher juga dilakukan karena pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara IMT dan lingkar leher dengan OSA. Dipaparkan bahwa ada hubungan antara IMT >27.8 kg/m2; lingkar leher >17 inches pada pria dan IMT >27.3 kg/m2; lingkar leher >15 inches pada wanita dengan kejadian OSA. Pemeriksaan

kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan anatomi kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal ataupun obstruksi retroglossal yang bisa menjadi faktor risiko kejadian OSA. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan radiologi seperti cephalometry dan x-rays untuk menunjang pemeriksaan fisik dan memastikan apakah ada abnormalitas dari anatomi kraniofasial atau CT scanning dan MRI juga bisa digunakan untuk menunjang diagnosa (Welch, 2008).

(35)
(36)

Gambar 2.6. Gambaran Pemeriksaan Polysomnography CSA dan OSA (Plen & Pack, 2010)

2.2.9. Pencegahan OSA

a.

Walaupun terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat dikontrol seperti jenis kelamin, etnis, dan faktor genetik, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah kejadian OSA. Pencegahan OSA dapat berupa (Webmed, 2009):

Diet Sehat

(37)

teratur untuk menjaga supaya berat badan tetap ideal. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan olahraga 3-4 jam sebelum tidur dan tidak mengemil di larut malam.

b. Memonitor Tekanan Darah

c.

Seseorang dengan tekanan darah tinggi lebih mungkin menderita OSA dan

sekitar 30% dari orang-orang dengan tekanan darah tinggi menderita OSA. Akan tetapi, seseorang yang menderita OSA juga lebih cenderung mengalami tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, memonitor dan menjaga supaya tekanan darah tetap normal tidak hanya membantu mencegah OSA tetapi juga mencegah terjadinya penyakit lain.

Mencegah Penggunaan Alkohol, Obat Tidur, dan Merokok

Mengkonsumsi alkohol dan obat tidur lebih cenderung membuat jalan napas menjadi kolaps. Akibatnya, periode apnea menjadi meningkat. Alkohol dan obat tidur dapat memperberat kolapsnya saluran napas atas saat tidur karena otot pernapasan menjadi rileks dan jatuh sehingga menyebabkan OSA. Sama halnya dengan merokok yang dapat menyebabkan saluran napas atas membengkak dan membuat jalan napas menjadi sempit sehingga timbul gejala mendengkur dan juga menyebabkan OSA. Oleh karena itu, pencegahan konsumsi alkohol, obat tidur, dan merokok dapat mencegah OSA

d.

. Mengubah Posisi Tidur

Untuk seseorang yang lebih cenderung menderita OSA (misalnya pada orang yang obesitas), tidur terlentang harus dihindari karena pada beberapa kasus lidah mejadi lebih cenderung jatuh dan menutupi jalan napas. Posisi tidur terbaik untuk mencegah OSA adalah posisi tidur menyamping.

2.3. 2.3.1.

Hubungan antara Obesitas dengan OSA Anatomi Saluran Napas

(38)

yang berhubungan. Sedangkan saluran napas bawah terdiri dari laring, trakea, bronkus, dan paru-paru (Tortora & Derrickson, 2009).

Fungsi sistem pernapasan juga dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu conducting zone dan respiratory zone. Pada conducting zone, sistem pernapasan

berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara dari luar kemudian mengkonduksi udara tersebut masuk ke dalam paru. Conducting zone terdiri dari

hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal. Sedangkan pada respiratory zone, fungsi sistem pernapasan adalah lokasi utama dalam pertukaran gas dengan darah. Respiratory zone terdiri dari bronkiolus respiratori, alveolar ducts, alveolar sacs, dan alveoli (Tortora & Derrickson, 2009).

Gambar 2.7. Anatomi Sistem Pernapasan (Tortora & Derrickson, 2009)

Pada penderita OSA, terjadi gangguan tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara oleh karena adanya obstruksi jalan napas.

(39)

prediktor terjadinya OSA karena menyebabkan penyempitan jalan napas di daerah leher (Downey, 2012).

Gambar 2.8. Anatomi Saluran Napas Atas pada Orang Normal dan Orang Obesitas (Victor, 1999)

2.3.2. Mekanisme Patofisiologi Obesitas Menyebabkan OSA

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering menyebabkan OSA. Diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m 2 dan 50% pasien dengan IMT ≥40 kg/m2 menderita OSA ( Downey, 2012). Pada pasien obesitas yang sebagian lemaknya lebih terakumulasi di daerah leher ataupun lidah, akan lebih berisiko menderita OSA. Suatu penelitian New Zealand Obese mouse melakukan penelitian terhadap polygenetic mouse yang obesitas, didapatkan adanya pembesaran dari ukuran lidah dengan menggunakan three-dimensional MRI (Plen & Pack, 2010).

Penumpukan lemak di daerah lidah sehingga ukuran lidah menjadi lebih besar ataupun di daerah leher tersebut menyebabkan penyempitan saluran napas atas pasien.

(40)

Pada pasien obesitas yang tidur dengan posisi supine, hal ini dapat memperberat keadaan pasien karena ukuran lidah yang lebih besar dan posisinya menjadi lebih jatuh ke arah bawah sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia sehingga memicu penderita terbangun dari tidur. Oleh sebab itu,

pada penderita OSA sering terjadi fragmentasi tidur dan menimbulkan gejala EDS (Arifin et al., 2010).

Penderita OSA dengan obesitas juga berkonsekuensi menderita keadaan patologis lainnya seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan resistensi insulin, dan lain-lain (Plen & Pack, 2010).

Gambar 2.9. Mekanisme Patofisiologi OSA (Plen & Pack, 2010)

(41)

mengendarai kendaraan per tahun berhubungan dengan rasa kantuk dan 1500 diantaranya meninggal tiap tahun (Rodriguez & Berggren, 2006).

2.3.3.

Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA. Pada tahun 1999, Netzer et al., membuat

kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki RDI >5 (Netzer et al., 1999).

Pengukuran Risiko Menderita OSA

Kuesioner Berlin merupakan hasil diskusi dari Conference on Sleep in Primary Care, yang mana melibatkan 120 orang Amerika Serikat dan Jerman yang

merupakan pulmonary dan primary care physicians dan diadakan pada bulan April 1996 di Berlin. Pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner dipilih berdasarkan faktor-faktor risiko (obesitas, hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari) yang berhubungan dengan timbulnya gangguan pernapasan saat tidur. Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu kategori 1 (Pertanyaan-pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaan- (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS); kategori 3 ((pertanyaan-pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi) (Netzer et al., 1999).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) pada ≥2

(42)

(lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30kg/m 2. Jika seseorang berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer et al., 1999).

(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian

ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Obesitas Risiko

Menderita OSA

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan antara Obesitas dengan Risiko Menderita OSA

3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Bebas

• Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa (Sidartawan, 2006).

• Cara ukur: Mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan cara berat

badan (BB) dalam kg dibagi dengan tinggi badan (TB) kuadrat dalam m2

BB (kg) IMT =

. Berikut rumus IMT:

(TB)2 (m2

• Alat ukur: Menggunakan timbangan injak untuk mengukur tinggi

badan dan microtoise stature meter untuk mengukur tinggi badan. )

(44)

- Obesitas : IMT ≥25 kg/m - Tidak obesitas : IMT <25 kg/m

2

• Skala pengukuran: skala ordinal

2

3.2.2. Variabel Terikat

• Risiko menderita OSA pada penelitian ini merupakan risiko di mana

seseorang berpotensial menderita suatu gangguan pernapasan saat tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara akan tetapi masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas serta dapat dinilai apakah seseorang berisiko tinggi atau rendah

• Cara ukur: Angket

berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan seperti mendengkur, rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, dan salah satu faktor risiko OSA (obesitas).

• Alat ukur: Menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari kuesioner

Berlin

Kuesioner terdiri dari 3 kategori :

- Kategori 1 yang terdiri dari 5 pertanyaan Jika total skor ≥2, maka kategori 1 positif (+) - Kategori 2 yang terdiri dari 4 pertanyaan

Jika total skor ≥2, maka kategori 2 positif (+) - Kategori 3 yang terdiri dari 1 pertanyaan

Jika IMT ≥25kg/m2

• Hasil ukur:

, maka kategori 3 positif (+)

- Risiko tinggi : ≥2 kategori pada kuesioner positif (+) - Risiko rendah : ≤1 kategori pada kuesioner positif (+)

(45)

3.3. Hipotesis

(46)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

analitik yang akan menilai hubungan antara obesitas dengan risiko menderita OSA. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional study.

Penelitian analitik merupakan penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi dan melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau antara faktor risiko dengan faktor efek. Cross sectional study adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli s.d. November 2012.

4.2.2. Tempat Penelitian

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) (2010) pada laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi obesitas lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan dan kelompok penduduk dewasa yang juga berpendidikan lebih tinggi, seperti guru. Maka penelitian ini telah dilakukan di salah satu sekolah yaitu Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

(47)

Perguruan Sultan Iskandar Muda tahun ajaran 2012-2013 yang berjumlah 131 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari seluruh objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi penelitian. (Notoatmodjo, 2010). Perkiraan besar sampel

minimal untuk penelitian ini diambil berdasarkan rumus di bawah ini (Sastroasmoro & Ismael, 2011):

= Nilai distribusi normal baku pada α tertentu

β =

S = Simpangan baku gabungan

Nilai distribusi normal baku pada β tertentu

X1-X2 = Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna

(48)

Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel minimum sebesar 32 orang. Akan tetapi, akan diambil jumlah sampel sebanyak 52 orang pada penelitian ini, yaitu 26 orang yang obesitas dan 26 orang yang tidak obesitas. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah teknik consecutive sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Wahyuni, 2007). Sampel yang

diambil pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yaitu:

• Kriteria inklusi:

- Usia antara 20-60 tahun. - Bersedia mengikuti penelitian.

• Kriteria eksklusi:

- Memiliki kelainan anatomi (seperti hipertropi tonsil dan adenoid, polip hidung, dan lain-lain).

- Mengkonsumsi alkohol dan obat tidur.

- Memiliki riwayat gangguan pernapasan yang kronis (seperti PPOK, asthma, dan lain-lain).

4.4. Teknik Pengumpulan Data

(49)

Muda mengenai jumlah staf dan guru tahun ajaran 2012-2013.

4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur atau alat pengumpul data, maka perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Validitas

adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Sedangkan reliabilitas adalah suatu indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Kuesioner penelitian ini diadaptasi dari kuesioner Berlin dengan jumlah pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan. Kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap modifikasi kuesioner tersebut. Sampel untuk uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian ini adalah 20 orang yang memiliki karakteristik yang mirip dengan sampel penelitian. Uji validitas dan reliabilitas ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012, dan kemudian diuji korelasi antara skors masing-masing pertanyaan dengan skors total kuesioner tersebut. Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi product moment yang rumusnya sebagai berikut:

n(∑XY)-(∑X)(∑Y) r =

√ [(n∑X2)-(∑X)2] [(n∑Y2)-(∑Y)2]

Setelah diperoleh nilai korelasi untuk setiap pertanyaan dengan skors total, nilai tersebut dibandingkan dengan nilai r pada tabel product moment. Nilai r pada tabel product moment untuk jumlah responden 20 orang dengan taraf signifikansi 5% (P

0,05) adalah 0,444. Jika nilai korelasi untuk setiap pertanyaan dengan skors total kuesioner tersebut memenuhi taraf signifikansi (di atas 0,444), maka pertanyaan itu valid. Untuk uji reliabilitas, maka hasil pengukuran pertama tadi yang diukur dengan menggunakan teknik korelasi product moment dikorelasikan dengan hasil pengukuran

(50)

dari angka kritis pada derajat kemaknaan: P 0,05 (Tabel r product moment), maka alat ukur atau kuesioner tersebut reliabel (Notoatmodjo, 2010).

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari jawaban kuesioner responden akan diolah dengan menggunakan program komputer dengan tahap-tahap sebagai berikut (Notoatmodjo,

2010):

1. Editing

Mengecek nama dan kelengkapan identitas responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi dengan lengkap.

2. Coding

Memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah tabulasi dan analisa data.

3. Entry

Memasukkan data ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS versi 17.0.

4. Cleaning

Melakukan pembersihan data dengan cara mengecek kembali data yang telah di-entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Setelah tahap-tahap pengolahan data selesai, selanjutnya dilakukan analisis bivariat terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Dalam analisis bivariat ini dilakukan beberapa tahap, antara lain (Notoatmodjo, 2010):

1. Analisis proporsi atau persentase

Dengan membandingkan distribusi silang antara dua variabel yang bersangkutan.

2. Analisis dari hasil uji statistik

(51)

Tabel: 4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian

Variabel Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Alpha Status

Risiko Menderita

OSA

1 0.735 Valid 0.930 Reliabel

2 0.849 Valid Reliabel

3 0.842 Valid Reliabel

4 0.885 Valid Reliabel

5 0.932 Valid Reliabel

6 0.672 Valid Reliabel

7 0.675 Valid Reliabel

8 0.765 Valid Reliabel

9 0.777 Valid Reliabel

(52)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal

10 November 2012 di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 52 orang. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan dianalisa, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda. Sekolah ini terletak di kota Medan dan berlokasi di Gang Bakul, Kecamatan Medan Sunggal, Provinsi Sumatera Utara. Sekolah ini memiliki tanah seluas lebih kurang 1500 m2.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel penelitian ini adalah para guru dan staf Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 32 orang. Berikut adalah tabel-tabel yang mendeskripsikan karakteristik responden dalam penelitian ini:

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki- Laki 25 48.1

Perempuan 27 51.9

Total 52 100

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah

(53)

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Indeks Massa

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat distribusi frekuensi responden berdasarkan kategori IMT pada penelitian ini yang obesitas dan tidak obesitas adalah sama banyak.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gejala Mendengkur

Gejala Mendengkur N %

Positif 38 73.1

Negatif 14 26.9

Total 52 100

Dari Tabel 5.3, terlihat distribusi frekuensi responden pada penelitian ini yang memiliki gejala mendengkur adalah 38 orang (73.1%) dan yang tidak memiliki gejala mendengkur ada sebanyak 14 orang (26.9%).

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gejala Excessive

Daytime Sleepiness (EDS)

Gejala EDS N %

Positif 12 23.1

Negatif 40 76.9

Total 52 100

Berdasarkan tabel 5.4, dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi responden pada penelitian ini yang memiliki gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS) adalah 12 orang (23.1%) dan yang tidak memiliki gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS)

(54)

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Risiko Menderita

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA), responden yang memiliki risiko tinggi menderita

OSA ada sebanyak 21 orang (40.4%) dan 31 orang (59.6%) memiliki risiko rendah menderita OSA.

5.1.3. Perbandingan Berbagai Karakteristik Responden

Dari berbagai karakteristik yang telah dipaparkan, berikut ini akan disajikan berbagai perbandingan dari berbagai karakteristik responden pada penelitian:

Tabel 5.6. Perbandingan Jenis Kelamin Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

(55)

Tabel 5.7. Perbandingan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa kategori IMT yang obesitas cenderung memiliki risiko tinggi menderita OSA (34.6%) bila dibandingkan dengan kategori IMT yang tidak obesitas (5.8%).

Tabel 5.8. Perbandingan Gejala Mendengkur Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

Berdasarkan Tabel 5.8, dapat dilihat bahwa pada kategori IMT yang obesitas cenderung memiliki gejala mendengkur (50%) bila dibandingkan dengan kategori IMT yang tidak obesitas (23.1%).

(56)

Dari Tabel 5.9, terlihat bahwa pada kategori IMT yang tidak obesitas cenderung tidak memiliki gejala EDS (42.3%) bila dibandingkan dengan kategori IMT yang obesitas (34.6%).

5.1.4. Hasil Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA), digunakan uji chi-square. Berdasarkan hasil uji

tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 5.10. Hasil Uji Tabulasi Silang antara Obesitas dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA) Berdasarkan uji tabulasi silang di atas, analisa dengan uji statistik chi-square didapati nilai p =0.000 (p <0.05) artinya terdapat hubungan antara obesitas dengan risiko menderita menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA).

(57)

Berdasarkan tabulasi silang di atas, analisa dengan uji statistik chi-square didapati nilai p =0.000 (p <0.05) artinya terdapat hubungan antara obesitas dengan timbulnya gejala mendengkur.

Tabel 5.12. Hasil Uji Tabulasi Silang antara Obesitas dengan Gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS)

Gejala EDS

Positif Negatif Total

Kategori IMT Obesitas 8 (15.4%) 18 (34.6%) 26 (50%) Tidak Obesitas 4 (7.7%) 22 (42.3%) 26 (50%)

Total 12 (23.1%) 40 (76.9%) 52 (100%) p =0.188 Berdasarkan tabulasi silang di atas, analisa dengan uji statistik chi-square didapati nilai p =0.188 (p >0.05) artinya tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan timbulnya gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS).

Tabel 5.13. Hasil Uji Tabulasi Silang antara Gejala Mendengkur dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Risiko Menderita OSA

Tinggi Rendah Total

Gejala Mendengkur Positif 21 (40.4%) 17 (32.7%) 14 (73.1%) Negatif 0 (0%) 14 (26.9%) 18 (26.9%)

(58)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Gejala Mendengkur

Hasil penelitian ini menunjukkan 73.1% dari total responden memiliki keluhan atau dikeluhkan mendengkur oleh orang yang tinggal serumah dengan responden. Gejala mendengkur ini merupakan gejala dini akibat adanya penyempitan

saluran napas atas saat tidur (Downey, 2012). Saat tidur, proses pernapasan akan melambat, otot-otot pernapasan akan rileks, dan saluran pernapasan akan menyempit. Akan tetapi, proses inspirasi dan ekspirasi terus berlangsung sehingga menimbulkan getaran dinding orofaring dan menghasilkan bunyi yang disebut dengkuran. Intensitas bunyi dengkuran dipengaruhi oleh besarnya penyempitan yang terjadi pada saluran napas atas (Febrina, 2011). Jika terjadi penyempitan saluran napas atas yang progresif pada pasien, maka dapat menyebabkan terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) (Downey, 2012).

5.2.2. Gejala Excessive Daytime Sleepiness (EDS)

Hasil penelitian ini menunjukkan 23.1% dari total responden memiliki keluhan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS). Excessive Daytime Sleepiness (EDS) merupakan salah satu gejala

penyakit gangguan tidur yang paling sering dan hal ini dialami oleh sekitar 20% populasi orang dewasa di Amerika Serikat (Pagel, 2009). Pada pasien obesitas yang cenderung menderita OSA dan tidur dengan posisi supine, hal ini dapat memperberat keadaan pasien karena ukuran lidah yang lebih besar dan posisinya menjadi lebih jatuh ke arah bawah sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia sehingga memicu penderita terbangun dari tidur. Oleh sebab itu, pada

(59)

5.2.3. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Mendengkur dan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Hasil penelitian ini menunjukkan IMT ≥25 kg/m 2

Obesitas merupakan prediktor utama untuk gangguan pernapasan saat tidur atau Sleep Disordered Breathing (SDB). Berdasarkan studi lainnya, obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering menyebabkan terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA).

(obesitas) memiliki hubungan yang bermakna dengan gejala mendengkur dan risiko menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA). Pada penelitian yang dilakukan oleh Siska Febrina,

pada tahun 2011, diperoleh adanya perbedaan yang signifikan antara indeks massa tubuh dengan kejadian mendengkur, di mana responden yang obesitas dan memiliki gejala mendengkur ada sebanyak 58.6%. Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiadnyana et al., pada tahun 2010 di Jakarta, didapatkan prevalensi kemungkinan OSA pada pengemudi taksi X di Jakarta memiliki kaitan yang erat dengan obesitas berdasarkan pemeriksaan kuesioner Berlin, yaitu sebesar 25%.

Diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m2 dan 50% pasien dengan IMT ≥40 kg/m2 menderita OSA (Downey, 2012).

5.2.4. Hubungan antara Obesitas dengan Gejala Excessive Daytime Sleepiness

(EDS)

(60)

Gambar 5.1. Data Beberapa Penelitian tentang EDS dan Obesitas (Vgontzas et al., 2008)

Gambar

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa
Gambar 2.1. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut Kategori
Gambar 2.2.  Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut IMT dan
Gambar 2.3. Stadium Tidur Manusia (Czeisler et al., 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan obesitas dengan risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada masyarakat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan penderita diabetes melitus dengan faktor risiko terjadinya OSA di Program Layanan

Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan diabetes melitus terkontrol dan tidak terkontrol dengan faktor risiko obstructive sleep apnea. Kata Kunci: Diabetes Melitus, DM, Risiko

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, didapatkan kesimpulan hasil penelitian ini adalah responden yang mengalami obesitas adalah sebanyak 71 orang dengan laki-laki

Pengkatagorian riwayat Penyakit * Beban Kardiovaskuler Crosstab Count Beban Kardiovaskuler Pemotongan Tanaman.. Usia &lt;5tahun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran program penyiapan kerja yang baik pada pengemudi taksi dengan berat badan lebih dan obesitas yang disertai OSA atau tanpa OSA

Penelitian lain melaporkan penggunaan CPAP pada pasien OSA dan hipertensi, menyimpulkan bahwa terapi CPAP mampu menurunkan tekanan darah pada pasien OSA terutama yang memiliki keluhan

HUBUNGAN KADAR LEPTIN DENGAN DERAJAT KEPARAHAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA OSA Hasil Penelitian untuk Karya Ilmiah/Tesis Andyna Cylvia 22041318310007 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS