Korespondensi: Agus Dwi Susanto
Email: agus_ds2000@yahoo.com; Hp: 0818657608
Peran Penyiapan Kerja Pengemudi Taksi dengan
Obstructive Sleep Apnea dan Tanpa Obstructive Sleep Apnea
terhadap Waktu Reaksi dan Risiko Kecelakaan
Agus Dwi Susanto,1,4 Barmawi Hisyam,2,3 Lientje Setyawati Maurits,3 Faisal Yunus4
1 Peserta Program Pasca Sarjana/S3, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, RS Sardjito, Yogyakarta
3 Program Pasca Sarjana/S3, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan, Jakarta Abstrak
Latar belakang: Obstructive sleep apnea (OSA) berhubungan dengan penurunan kesiagaan dan kewaspadaan, penurunan koordinasi psikomotor
perlambatan waktu reaksi dan peningkatan risiko kecelakaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran program penyiapan kerja yang baik pada pengemudi taksi dengan berat badan lebih dan obesitas yang disertai OSA atau tanpa OSA terhadap waktu reaksi dan risiko kecelakaan.
Metode: Desain penelitian adalah quasi experimental dengan sampel penelitian adalah pengemudi taksi dengan indeks massa tubuh (IMT) 23
sampai 29,9, serta terbukti OSA derajat ringan dan sedang. Sampel dipilih secara systematic random sampling dari 10 pool taksi PT X di Jakarta. Penelitian berlangsung sejak 1 November 2011 sampai 30 September 2013. Evaluasi OSA dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan polisomnografi (PSG) di tempat tinggal pengemudi. Pengemudi dengan OSA dan tanpa OSA mendapat intervensi berupa upaya penyiapan kerja yang baik dengan edukasi selama 3 bulan berturut-turut dan penerapan mandiri selama 6 bulan berikutnya. Penyiapan kerja merupakan pola hidup sehat (lifestyle programme) yang terdiri atas penyiapan kerja khusus untuk OSA dan penyiapan kerja umum untuk OSA maupun tanpa OSA. Pemeriksaan waktu reaksi dilakukan sebelum berangkat kerja dan setelah pulang kerja di awal dan akhir penelitian. Evaluasi kecelakaan dilakukan 6 bulan sebelum intervensi dan setelah intervensi sampai 6 bulan pasca intervensi.
Hasil: Total 103 pengemudi taksi ikut dalam penelitian sampai selesai. Sebanyak 54 (52,4%) terbukti OSA dan 49 (47,6%) tanpa OSA. Waktu reaksi
setelah pelaksanaan penyiapan kerja terlihat perbaikan (lebih cepat) meskipun tidak bermakna dibanding sebelumnya (p > 0,05). Waktu reaksi sebelum bekerja pengemudi OSA (pre 220,16 + 79,4 dan post 210,15 + 50,73) dan setelah pulang kerja (pre 221,27 + 60,82 dan post 212,61 + 55,71). Waktu reaksi sebelum bekerja pengemudi tanpa OSA (pre 198,28 + 52,16 dan post 195,42 + 34,14) dan setelah pulang kerja (pre 205,06 + 49,32 dan post 198,73 + 35,88). Kecelakaan setelah penyiapan kerja menunjukkan penurunan bermakna dibanding sebelumnya(p 0,001) pada pengemudi dengan OSA (pre 2,20 + 1,39 dan post 1,41 + 1,45) dan pengemudi tanpa OSA (pre 1,96 + 1,40 dan post 1,10 + 1,43).
Kesimpulan: Penyiapan kerja yang baik pada pengemudi taksi dengan OSA dan tanpa OSA terbukti memperbaiki waktu reaksi dan menurunkan
kecelakaan. (J Respir Indo. 2017; 37: 23-34)
Kata kunci: Obstructive sleep apnea, penyiapan kerja, waktu reaksi, kecelakaan, pengemudi taksi, berat badan lebih, obesitas
The Role of Working Preparation among Taxi Drivers with
Obstructive Sleep Apnea and Without Obstructive Sleep Apnea on
Time Reaction and Accident Risk
AbstractBackground: Obstructive sleep apnea (OSA) is a disease related to the decrease of alertness, psychomotor coordination, reaction time and
increasing accident risk. Purpose of this research is aimed to know the role of a good working preparation for overweight or obese taxi drivers with or without OSA toward the reaction time and accident risk.
Methods: Using quasi experimental design with taxi drivers BMI 23 to 29.9 as sample and proved to have mild or moderate OSA. Systematic ramdom
sampling was taken from 10 taxi pools/stations within one company in Jakarta. The research was held since November 1st ,2011 to September 30th, 2013.
OSA evaluation was done based on the clinical symptoms and the usage of portable polysomnography (PSG) during home monitoring to those taxi drivers. The drivers with or without OSA were educated about good working preparation for 3 months regularly and done personally for 6 months a head. Working preparation is a lifestyle programme consists of special working preparation for OSA and the general preparation for OSA or without OSA. Reaction time test is done in early and at the end of the research before and after working. Accident evaluation is done 6 months before and 6 months after the intervention.
Results : Totally 103 taxi drivers had participated in this research completely. 54 (52.4%) proved with OSA and 49 (47.6%) without OSA. Reaction
time after working preparation had showed more improvement eventhough it was not significant (p > 0,05). Time reaction before working drivers with OSA (pre 220.16 + 79.4 and post 210.15 + 50.73) and after working (pre 221.27 + 60.82 and post 212.61 + 55.71). Time reaction before working drivers without OSA (pre 198.28 + 52.16 and post 195.42 + 34.14) and after working (pre 205.06 + 49.32 and post 198.73 + 35.88). ). Accident after working preparation showed decrease significantly compared before (p 0,001) at drivers with OSA ( pre 2.20 + 1.39 dan post 1.41 + 1.45) and without OSA (pre 1.96 + 1.40 dan post 1.10 + 1.43).
Conclusion: Good working preparation done taxi drivers with or without OSA has improved the reaction time and decreasing the accident number. (J Respir Indo. 2017; 37: 23-34)
PENDAHULUAN
Obstructive sleep apnea (OSA) pada penge mudi
taksi dilaporkan oleh beberapa penelitian. Penelitian OSA
pada pengemudi taksi oleh Gulbay dkk1 menunjukkan
hasil 5,9% pengemudi taksi terdapat gejala OSA dan 23,7% terdapat excessive daytime sleepiness (EDS). Sebanyak 67,8% pengemudi taksi mem punyai riwayat kecelakaan dan terdapat hubungan signifikan antara kecelakaan lalulintas yang terjadi dengan EDS dan gejala OSA.Firestone dkk2 memperkirakan prevalensi OSA sedang dan berat pada pengemudi taksi di Wellington, Selandia Baru sekitar 18%.
Obstructive sleep apnea (OSA) berhubungan
dengan disfungsi neurokognitif. Disfungsi neurokognitif timbul sebagai akibat tidur yang terfragmentasi dan
hipoksemia yang terjadi selama tidur.3,4 Berbagai
kondisi tersebut pada subjek OSA berimplikasi pada kecenderungan tertidur (microsleep), penurunan ke
sia gaan dan kewaspadaan, penurunan koordinator
psikomotor dan akhirnya terjadi perlambatan waktu reaksi.3,4,5 Waktu reaksi subjek dengan OSA umumnya lebih lambat (memanjang) dibandingkan subjek tanpa
OSA.68 Perlambatan waktu reaksi pada OSA kemung
kinan berhubungan dengan kelelahan, rasa mengantuk (sleepiness), kecenderungan tertidur (microsleep), penu runan kewaspadaan, gangguan psikomotor serta disfungsi kognitif lainnya.3,4 Kondisi OSA berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih rendah, termasuk kualitas tidur yang kurang, fungsi kognitif yang kurang, penurunan kesiagaan dan kewaspadaan serta produk tivitas yang rendah.5,9 Kondisi tersebut pada akhirnya akhirnya meningkatkan risiko kecelakaan kendaraan bermotor.
Risiko kecelakaan selama mengemudi dapat disebabkan oleh faktor manusia, faktor kendaraan
dan faktor lingkungan. Carter10 menyatakan bahwa
lebih dari 95% kasus kecelakaan kendaraan bermotor disebabkan oleh faktor manusia (pengemudi) dan kurang dari 5% disebabkan oleh faktor kendaraan atau lingkungan. Intervensi pada faktor manusia (pengemudi) menjadi sangat penting dilakukan untuk mengurangi risiko kecelakaan. Beberapa faktor manusia yang diindikasikan sebagai penyebab kecelakaan adalah
usia, status gizi, tingkat agresivitas, perilaku tidak aman, keterampilan mengemudi, penggunaan obat obatan atau alkohol selama mengemudi dan kondisi
kesehatan.11 Obstructive sleep apnea (OSA) meru
pakan salah satu kondisi kesehatan yang terkait dengan kejadian kecelakaan transportasi.5,10 Risiko kecelakaan 210 kali lebih tinggi pada pengemudi
dengan OSA dibandingkan tanpa OSA.12
Berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat bahwa potensi kejadian OSA pada pengemudi taksi cukup tinggi sehingga meningkatkan risiko kece lakaan. Kecelakaan pada taksi akan berdampak pada pengemudi, penumpang dan perusahaan. Melihat besarnya masalah OSA dan risiko kecelakaan yang ditimbulkannya, diperlukan pengendalian OSA pada pengemudi kendaraan pada umumnya dan khususnya pada profesi pengemudi taksi. Tatalaksana OSA pada pengemudi taksi dengan OSA diharapkan terjadi perbaikan fungsi kognitif, performa mengemudi, kewas padaan selama mengemudi meningkat dan angka kecelakaan menurun. Berbagai modalitas terapi OSA tersedia mulai dari modifikasi pola hidup, continuous
positive airway pressure (CPAP), oral appliance dan
pembedahan. Pemilihan modalitas terapi bersifat indi vidual, tergantung pada beratnya OSA dan karakteristik masingmasing individu.13
Penggunaan CPAP merupakan pilihan utama
(treatment of choice) terapi pasien OSA.14 Penggu
naan secara aktif CPAP pada pengemudi dengan OSA menunjukkan perbaikan bermakna performans mengemudi dan perbaikan waktu reaksi.15 Penggunaan CPAP juga terbukti menurunkan kejadian kecelakaan
pada pasien OSA. Findley dkk16 melaporkan bahwa
pasien OSA yang diterapi nasal CPAP mempunyai ratarata kecelakaan lebih rendah dibanding sebelum diterapi (0,07 vs 0 kecelakaan per pengemudi pertahun). Sampai saat ini CPAP merupakan pilihan utama terapi pasien OSA, tetapi mempunyai keterbatasan terkait kepatuhan penggunaan (compliance) dan ketidaknyamanan serta relatif mahal.14,17,18
Penggunaan CPAP sangat baik untuk penge mudi taksi dengan OSA, tetapi akan sulit dilaksanakan terutama masalah biaya. Pengendalian OSA yang mu dah dan aplikatif pada profesi pengemudi dalam hal ini
perlu dipikirkan untuk menurunkan risiko kecelakaan. Salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan adalah penyiapan sebelum dan selama bekerja atau penyiapan kerja. Penyiapan kerja berupa modifikasi pola hidup (lifestyle programme) pada pengemudi baik bersifat fisik dan mental termasuk didalamnya modifikasi pola hidup untuk OSA. Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup.19 Hal ini sejalan dengan pernyataan Yamaguchi bahwa total health pro motion
plan merupakan kunci keberhasilan mengen dalikan kecelakaan dalam kerja melalui pengen dalian kelelahan.20
Total health promotion plan dapat dilakukan melalui lifestyle programme antara lain menjauhi asap rokok,
nutrisi, minum air minimal 2 liter perhari, olahraga teratur, kontrol berat badan ideal, cukup tidur, konsultasi dengan dokter apabila stress dan ada gangguan kesehatan disamping untuk pemeliharaan kesehatan.20 Lifestyle
programme meru pakan bentuk penyiapan kerja yang baik. Life style programme diharapkan dapat meningkatkan fungsi kognitif sehingga perhatian, waktu reaksi selama mengemudi menjadi lebih baik dan risiko kecelakaa npun menurun. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya peran penyiapan kerja berupa lifestyle programe pengemudi taksi dengan
obstructive sleep apnea (OSA) dan tanpa OSA pada
waktu reaksi dan risiko kecelakaan.
METODE
Penelitian ini menilai peran penyiapan ker ja pada pengemudi taksi dengan OSA dan tan pa OSA terhadap waktu reaksi dan kecelakaan, sehingga menggunakan rancangan penelitian kuasi eksperimental (quasi-experimental). Pada penelitian ini dilakukan pembagian kelompok perlakuan dengan kelompok pembanding, setiap subjek yang terbukti OSA pada pemeriksaan PSG menjadi kelompok perlakuan dan yang tidak terbukti OSA menjadi kelompok pembanding. Pemeriksaan waktu reaksi dan penilaian kecelakaan dilakukan pada pengemudi dengan OSA dan tanpa OSA sebelum dan setelah intervensi berupa edukasi penyiapan kerja selama 3 bulan yang diikuti dengan evaluasi (follow up)
penerapan mandiri penyiapan kerja selama 6 bulan. Rancangan penelitian ini sering disebut sebagai
pretest and posttest design yang merupakan bagian
dari penelitian kuasi eksperimental.
Populasi target dalam penelitian ini adalah pengemudi taksi di Jakarta. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pengemudi taksi PT X di Jakarta. Populasi sampel penelitian ini adalah pengemudi taksi dengan OSA dan tanpa OSA yang belum pernah melakukan penyiapan kerja. Kriteria Inklusi adalah lakilaki, indeks massa tubuh (IMT) 23 sampai 29,9, pengemudi aktif dengan masa kerja > 1 tahun, usia antara 2558 tahun, mempunyai OSA derajat ringan atau sedang (kelompok perlakuan) dan tidak mempunyai OSA (kelompok pembanding), nilai saturasi O2 >90% sebelum pemeriksaan PSG,dan bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi persetujuan tertulis. Untuk kriteria eksklusi adalah mempunyai gangguan tidur selain OSA, riwayat penyakit jantung, riwayat stroke, penyalahguna obatobatan terlarang dan alkohol, gangguan jiwa, terdapat gangguan penglihatan dan terdapat gangguan pendengaran. Jumlah sampel minimal yang diperlukan penelitian ini adalah 48 orang tiap kelompok.
Sampel di ambil pada pool taksi PT X dari 10 pool taksi yang ada yaitu pool Garuda, Buncit, Ciputat, Kramat Djati, Kelapa Gading, Penggilingan, Puri Indah, Raden Intan, Halim dan Kalibata. Sampel pengemudi akan diambil menggunakan metode pencuplikan sistematis.
Diagnosis obstructive sleep apnea (OSA) atau obstructive sleep apnea-hypopnea (OSAH) ber dasarkan kriteria AASM 200521 yaitu :
1. Apnea-hypopnea indeks (AHI) > 15
2. AHI > 5 disertai dengan 1 atau lebih gejala berikut : a) episode tertidur unintentional selama periode terjaga, mengantuk sepanjang hari (daytime
sleepiness), tidak segar setelah tidur, lelah,
atau insomnia
b) terbangun dari tidur dengan menahan napas, tersengalsengal atau tersedak/choking c) pasangan tidur melaporkan ada mengorok
keras, berhenti napas atau keduanya selama tidur.
Waktu reaksi yaitu waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respons terhadap rangsang tersebut.22 Pengukuran waktu reaksi menggunakan alat reaction timer L77 Lakassidaya. Hasil pengukuran waktu reaksi dalam satuan milidetik dengan angka normal 150,0 – 240,0 milidetik.
Kecelakaan yang dimaksud adalah menye rempet, menabrak, tergelincir, atau terguling yang terjadi karena kesalahan pengemudi secara aktif selama bekerja mengemudikan taksi (in the job accident) baik di dalam pool ataupun di luar pool. Data kecelakaan diperoleh dari catatan kronologis kecelakaan di HRD PT X dan wawancara langsung dengan pengemudi. Evaluasi kecelakaan dilakukan 6 bulan sebelum intervensi dan 6 bulan setelah intervensi. Kecelakaan 6 bulan sebelum intervensi adalah kecelakaan yang terjadi sejak 6 bulan sebelum intervensi sampai tanggal hari pertama intervensi diberikan. Kecelakaan 6 bulan setelah intervensi adalah kecelakaan yang terjadi sejak hari terakhir dari 3 bulan masa intervensi sampai 6 bulan kemudian. Jumlah kecelakaan yang terjadi dibuat dalam ratarata perpengemudi dalam 6 bulan.
Penelitian dimulai dengan melakukan pena pisan pengemudi dengan wawancara menggu nakan kuesioner. Pengemudi akan menjalani peme riksaan polisomnografi untuk membuktikan OSA atau bukan OSA (tanpa OSA). Penilaian awal dengan peme riksaan waktu reaksi dan penilaian riwayat kecelakaan dilakukan pada pengemudi dengan OSA dan tanpa OSA. Pengemudi baik yang terbukti OSA ataupun tanpa OSA akan diintervensi dengan upaya penyiapan sebelum dan selama bekerja (penyiapan kerja) selama 3 bulan. Pengemudi akan mendapatkan buku modul penyiapan kerja sebagai petunjuk pelaksanaan penyia pan kerja. Selanjutnya pengemudi menjalankan secara mandiri penyiapan kerja selama 6 bulan berikutnya dengan pengawasan teratur.
Penyiapan kerja adalah kegiatankegiatan yang harus dilakukan pengemudi taksi dengan OSA ataupun tanpa OSA sebelum mulai bekerja dan selama bekerja mengemudi taksi. Penyiapan kerja terdiri atas penyiapan kerja umum dan khusus. Penyiapan kerja umum adalah pola hidup sehat meliputi menjaga
kebersihan tubuh sebelum bekerja, konsumsi makanan teratur dan bergizi dengan lima porsi sayuran dan buah buahan, minum air minimal 2000 ml perhari, cukup istirahat minimal 7 sampai 8 jam perhari, aktivitas fisik/ olah raga teratur, konsultasi kesehatan dengan dokter apabila sakit atau mengalami stress, tidak merokok, tidak konsumsi obatobatan dan alkohol dan menjaga berat badan ideal. Penyiapan kerja khusus untuk OSA adalah tatalaksana OSA dalam bentuk modifikasi pola hidup berupa penurunan berat badan, istirahat cukup, meninggikan kepala saat tidur atau tidur miring, tidak minum sedatif dan alkohol serta kopi sebelum tidur, tidak melakukan aktivitas fisik berat sebelum tidur dan tidak merokok.
Langkah selanjutnya adalah diikuti selama 6 bulan dan dinilai kembali waktu reaksi dan kecelakaan yang terjadi. Evaluasi penyiapan kerja dilakukan disetiap pertemuan berikutnya dengan wawancara menggunakan formulir evaluasi. Evaluasi kecelakaan dimulai setelah intervensi selesai sampai dengan 6 bulan pascaintervensi. Evaluasi waktu reaksi dilakukan dengan pemeriksaan kembali waktu reaksi pada akhir 6 bulan pascaintervensi.
HASIL
Sebanyak 103 pengemudi mengikuti pene litian ini. Hasil wawancara dan pemeriksaan polisom nografi menemukan 54 (52,4%) terbukti OSA dan 49 (47,6%) bukan OSA. Hasil pemeriksaan polisom nografi pada 103 subjek terlihat perbedaan bermakna pada nilai rerata AHI, apnea, apnea obstruktif, apnea sentral, hipopnea, mendengkur, rerata saturasi oksigen terendah, total desaturasi dan desaturasi indeks antara subjek dengan OSA dan bukan OSA (p<0,05). Perbandingan variabel sosiodemografi dan pekerjaan antara OSA dan tanpa OSA terlihat pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara OSA dan bukan OSA pada variabel usia, pendidikan, suku, status perkawinan, masa kerja, jadwal kerja dan shift kerja (uji Chi square).
Tabel 1. Karakteristik subjek
Variabel OSA Bukan OSA Nilai p
N % N % Usia 2030 thn 3140 thn 4150 thn 5160 thn 1 20 23 10 14,3 55,6 53,5 58,8 6 16 20 7 85,7 44,4 46,5 41,2 0,708 0,823 0,070 Pendidikan Dasar Menengah Tinggi 29 18 7 50,0 51,4 70,0 29 17 3 50,0 48,6 30,0 0,8940,251 Suku Jawa Bukan jawa 3618 53,750,0 3118 46,350,0 0,877 Status perkawinan Tidak menikah Menikah Duda 0 53 1 0 52,5 100 1 48 0 100 47,5 0 Masa kerja ≤ 5 tahun >5 – 10 tahun > 10 tahun 32 19 3 48,5 61,3 50,0 34 12 3 51,5 38,7 50,0 0,6080,943 Jadwal kerja Rendah Tinggi 4311 51,855,0 409 48,245,0 0,994 Shift kerja Siang Malam 477 53,446,7 418 46,653,3 0,839
Tabel 2. Perbandingan waktu reaksi sebelum dan setelah intervensi pada subjek dengan OSA dan tanpa OSA
Variabel Mean SD T test Nilai p 95%CI
Subjek dengan OSA Waktu reaksi Sebelum intervensi 1 220,16 79,40 Setelah intervensi 1 210,15 50,73 0,93 0,354 (11,46 – 31,47) Waktu reaksi Sebelum intervensi 2 221,27 60,82 Setelah intervensi 2
Subjek tanpa OSA Waktu reaksi Sebelum intervensi 1 Setelah intervensi 1 Waktu reaksi Sebelum intervensi 2 Setelah intervensi 2 212,61 198,28 195,42 205,06 198,73 55,71 52,16 34,14 49,32 35,88 1,07 0,42 1,12 0,287 0,678 0,268 (7,48 – 24,79) (10,91 16,64) (5,02 – 17,69)
Catatan: 1 adalah sebelum berangkat kerja, 2 adalah setelah pulang kerja
Perbandingan waktu reaksi dan kecelakaan antara sebelum dengan setelah penyiapan kerja
a. Waktu reaksi sebelum dan setelah penyiapan kerja. Waktu reaksi pada subjek OSA dan tanpa OSA setelah intervensi berupa pelaksanaan penyiapan kerja terjadi perbaikan (waktu reaksi lebih cepat) dibandingkan sebelum intervensi, meskipun secara
statitistik tidak berbeda bermakna Kondisi tersebut terlihat baik waktu reaksi sebelum berangkat kerja maupun setelah pulang kerja Tabel 2.
b. Kecelakaan sebelum dan setelah penyiapan kerja Tabel 3 dan Gambar 1 menunjukkan per ban dingan ratarata kecelakaan sebelum dan setelah pelak sanaan penyiapan kerja. Ratarata kecelakaan dalam 6 bulan setelah intervensi mengalami penurunan secara bermakna bila dibandingkan dengan 6 bulan sebelum intervensi, baik pada subjek OSA maupun subjek tanpa OSA (p < 0,05).
Tabel 3. Perbandingan kecelakaan sebelum dan setelah intervensi pada subjek OSA dan tanpa OSA
Variabel Mean SD T test Nilai p
Subjek dengan OSA
6 bulan sebelum intervensi 2,20 1,39
6 bulan setelah intervensi 1,41 1,45 3,88 0,001 Subjek tanpa OSA
6 bulan sebelum intervensi 1,96 1,40
6 bulan setelah intervensi 1,10 1,43 3,70 0,001
Gambar 1. Perbandingan kecelakaan sebelum dan setelah intervensi pada subjek OSA dan tanpa OSA
Intervensi berupa penyiapan kerja yang dilakukan pengemudi taksi pada kecelakaan menunjukkan penurunan jumlah kecelakaan. Jumlah kecelakaan yang terjadi 6 bulan pascapenyiapan kerja menurun secara bermakna baik pada subjek OSA maupun subjek tanpa OSA. Hasil penelitian menunjukkan setelah pelaksanaan penyiapan kerja, jumlah subjek yang mengalami kecelakaan lebih sedikit dibanding sebelumnya pada subjek OSA dan tanpa OSA. (Tabel 4).
Tabel 4. Distribusi jumlah subjek dan kecelakaan antara sebelum dan setelah intervensi
Variabel Kecelakaan 95% CI Nilai p Ya Tidak
Subjek OSA
Sebelum intervensi Setelah intervensi Subjek tanpa OSA Sebelum intervensi Setelah intervensi 51 39 44 25 3 15 5 24 0,338 – 0,950 0,137 – 2,160 0,044 0,378
Tabel 5. Perbandingan perubahan waktu reaksi (∆ waktu reaksi) dan kecelakaan (∆ kecelakaan) sebelum dan setelah intervensi antara subjek OSA dan tanpa OSA
Variabel Mean SD T
test Nilai p 95%CI Waktu reaksi sebelum berangkat kerja OSA 10,00 78,65 Tanpa OSA 2,86 47,95 0,55 0,584 18,64 – 32,92 Waktu reaksi
setelah pulang kerja
OSA 8,66 59,12
Tanpa OSA 6,33 39,54 0,23 0,817 17,54 – 22,19 Kecelakaan
OSA 0,80 1,51
Tanpa OSA 0,86 1,62 0,20 0,844 0,67 – 0,55
c. Perbandingan hasil pelaksanaan penyiapan kerja antara subjek OSA dan tanpa OSA
Hasil intervensi berupa pelaksanaan penyia pan kerja menunjukkan perbaikan waktu reaksi dan penurunan kecelakaan baik pada subjek OSA maupun subjek tanpa OSA. Perubahan waktu reaksi (∆ waktu reaksi) maupun kecelakaan (∆ kecelakaan) yang terjadi bila dibandingkan antara subjek OSA dan tanpa OSA secara statistik tidak berbeda bermakna (Tabel 5).
PEMBAHASAN Waktu reaksi
Waktu reaksi sebelum berangkat kerja pada subjek OSA menurun dari 220,16 milidetik menjadi 210,15 milidetik (p 0,354). Sedangkan waktu reaksi setelah pulang kerja pada subjek OSA menurun dari 221,27 milidetik menjadi 212,61 milidetik (p 0,287). Pelaksanaan penyiapan kerja pada waktu reaksi sebelum berangkat kerja dan setelah pulang kerja pada subjek OSA terdapat perbaikan dibanding
sebelumnya meskipun tidak berbeda bermakna.Hal
ini dapat dijelaskan bahwa waktu reaksi sebelum
berangkat kerja dipengaruhi beberapa kondisi lain sebelum pemeriksaan. Kondisi tersebut antara lain stress di rumah, pekerjaan yang dilakukan di rumah, kondisi perjalanan menuju tempat kerja dan
jumlah jam tidur sebelum pemeriksaan.22 Kondisi
tersebut berbedabeda setiap pengemudi dan hal ini berpengaruh saat pemeriksaan waktu reaksi.
Setelah intervensi berupa pelaksanaan penyia pan kerja, waktu reaksi setelah pulang kerja pada subjek OSA terdapat perbaikan dibanding sebelum intervensi meskipun tidak berbeda bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa waktu reaksi setelah pulang kerja juga dipengaruhi oleh beberapa kondisi sebelum pemeriksaan. Kondisi tersebut adalah kondisi di perjalanan, stress di jalan, lama kerja
sebelum pemeriksaan dan jarak tempuh.22 Kondisi
tersebut berbedabeda setiap pengemudi dan hal ini berpengaruh saat pemeriksaan waktu reaksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modi fikasi pola hidup pada OSA (penyiapan kerja khusus) dikombinasi dengan pola hidup sehat (penyiapan kerja umum) dapat memperbaiki waktu reaksi. Berbagai penelitian tatalaksana OSA dengan CPAP maupun pembedahan telah terbukti memperbaiki
waktu reaksi. George dkk15 melakukan penelitian
pengaruh penggunaan CPAP aktif pada pengemudi dengan OSA terhadap kemampuan mengemudi dan waktu reaksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan secara aktif CPAP terjadi perbaikan waktu reaksi. Waktu reaksi menurun dari 3,2 detik sebelum terapi menjadi 2,8 detik setelah terapi CPAP. Orth dkk23 melakukan penelitian performa pasien OSA pada simulator mengemudi dan tes neuropsikologi dengan terapi CPAP. Parameter waktu reaksi menunjukkan perbaikan dari 432,1 + 90,5 milidetik sebelum terapi menjadi 391,9 + 56,8 milidetik setelah
terapi CPAP selama 42 hari. Mazza dkk24 melakukan
penelitian tentang kemampuan mengemudi dan waktu reaksi pasien OSA sebelum dan sesudah terapi CPAP. Hasil penelitian menunjukkan per baikan waktu reaksi pengemudi dengan OSA dari 380,09±49,11 milidetik menjadi 377,52±42,95 mili
detik setelah terapi CPAP. Woodson dkk25 menilai
radiofrequency tissue ablation (TCRFTA) pada
subjek OSA terhadap kualitas hidup, sleepiness dan waktu reaksi. Teknik pembedahan TCRFTA pada pasien OSA terbukti memperbaiki kualitas hidup,
sleepiness dan waktu reaksi.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai peran modifikasi pola hidup pada OSA ter hadap waktu reaksi. Penelitian modifikasi pola hidup pada OSA umumnya menilai dampaknya terhadap kualitas hidup, gejala OSA dan parameter derajat
OSA. Kansanen dkk26 melakukan penelitian pengaruh
modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan melalui diet ketat terhadap derajat OSA. Hasil penelitian menunjukkan perbaikan oksigenasi malam hari dan penurunan respiratory disturbance index (RDI).
Kajaste dkk27 melakukan penelitian modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA dengan atau tanpa CPAP. Parameter hasil yang dinilai adalah penurunan berat badan
oxygen desaturation index (ODI). Modifikasi pola hidup
dengan penurunan berat badan terbukti memperbaiki indeks desaturasi oksigen pasien OSA. Kemppainen
dkk28 melakukan penelitian prospektif, randomized
controlled parallel dengan konseling diet dan intervensi
pola hidup (lifestyle) selama lebih dari 3 bulan pada pasien OSA. Intervensi menunjukkan perubahan nilai AHI lebih besar (3,2 kali/jam) dibandingkan kelompok kontrol (1,3 kali/jam).
Tuomilehto dkk19 melakukan penelitian modi
fikasi pola hidup pada OSA ringan dan hubungannya dengan gejala OSA, kualitas hidup dan derajat OSA. Modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup. Johansson dkk29 melakukan penelitian modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan melalui diet pada OSA sedang dan berat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan apnea hypopnea index (AHI), perbaikan oksigenasi di malam hari dan pengurangan rasa mengantuk di siang hari.
Perbaikan gejala, derajat dan kualitas hidup pada subjek OSA secara teori akan berdampak pada perbaikan kewaspadaan, kesiapsiagaan dan respons
pengemudi dalam bereaksi. Pasien OSAsecara jelas
mempunyai rasa mengantuk (sleepiness) sepanjang
hari/EDS.15 Peningkatan sleepiness menyebabkan
kecen derungan tertidur, penurunan kesiagaan dan
kewaspadaan, perlambatan waktu reaksi dan penurunan koordinasi psikomotor.5 Beberapa penelitian modifikasi pola hidup pada OSA telah terbukti dapat memperbaiki kualitas hidup dan perbaikan sleepiness.19,29
Berdasar penjelasan tersebut, dapat dipahami apabila penerapan modifikasi pola hidup pada OSA dapat memperbaiki waktu reaksi. Meskipun begitu, sampai saat ini belum pernah ada penelitian yang menilai pengaruh modifikasi pola hidup pada OSA terhadap waktu reaksi. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh modifikasi
pola hidup pada OSA terhadap waktu reaksi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa modifikasi pola hidup untuk OSA berupa penyiapan kerja khusus dikombinasikan dengan penyiapan kerja umum dapat memperbaiki waktu reaksi pada subjek OSA.
Penyiapan kerja umum maupun khusus meru pakan upaya nonmedika mentosa yang berupa pola hidup sehat setiap hari pada pengemudi taksi. Penyiapan kerja umum dalam bentuk total health
promotion plan merupakan cara untuk pengendalian
kelelahan pada pekerja termasuk pengemudi.20
Penyiapan kerja khusus dalam bentuk modifikasi pola hidup pada subjek OSA terbukti menunjukkan
perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup.19
Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran dasar dari penelitian bahwa kombinasi penyiapan kerja umum dan khusus diharapkan dapat mengendalikan kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup pengemudi taksi dan berdampak pada kesiapsiagaan serta waktu reaksi menjadi lebih baik.
Kecelakaan
Ratarata kecelakaan dalam 6 bulan setelah intervensi mengalami penurunan secara bermakna bila dibandingkan dengan 6 bulan sebelum intervensi. Subjek OSA mengalami penurunan ratarata kece lakaan dalam 6 bulan dari 2,20 menjadi 1,41 (p 0,001). Subjek tanpa OSA mengalami penurunan ratarata kecelakaan dalam 6 bulan dari 1,96 menjadi 1,10 (p 0,001).
Berbagai penelitian tatalaksana OSA dengan CPAP maupun pembedahan telah terbukti menurunkan risiko kecelakaan. Haraldsson30 melakukan penelitian terkait pengaruh pembedahan uvulophalatoplasty pada pasien OSA terhadap kemampuan mengemudi dan risiko kecelakaan. Hasil penelitian menunjukkan
uvulophalatoplasty pada pasien OSA berhubungan
dengan perbaikan kewaspadaan, performa menge mudi dan menurunkan risiko kecelakaan di jalan
raya. Krieger dkk31 melakukan penelitian pengaruh
penggunaan CPAP pada pasien OSA terhadap kecelakaan. Penilaian kecelakaan dilakukan 1 tahun sebelum dan 1 tahun sesudah terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan CPAP berhubungan dengan penurunan risiko kecelakaan. Ratarata kece lakaan tiap pasien selama 1 tahun menurun dari 1,57 kali menjadi 1,11 kali setelah terapi CPAP. Findley dkk16 melakukan penelitian tentang penggunaan CPAP pada pasien OSA dan hubungannya dengan kecelakaan di Colorado. Penilaian kecelakaan dilakukan 2 tahun sebelum diagnosis dan 2 tahun setelah diagnosis. Pasien OSA yang mendapatkan terapi nasal CPAP secara terus menerus menunjukkan penurunan ke ce la kaan dibanding sebelum diterapi yaitu 0,07 kali kece lakaan pertahun menjadi tidak mengalami kecelakaan selama 1 tahun.
George15 melakukan penelitian risiko kecelakaan pasien OSA setelah mendapat terapi CPAP. Kecelakaan dinilai selama 3 tahun sebelum terapi dan 3 tahun sesudah terapi. Hasil penelitian menunjukkan ratarata kecelakaan tiap pengemudi pertahun menurun dari 0,18 sebelum terapi menjadi 0,06 setelah terapi.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai peran modifikasi pola hidup pada OSA terhadap risiko kecelakaan. Penelitian modifikasi pola hidup pada OSA umumnya menilai dampaknya terhadap kualitas hidup, gejala OSA dan parameter derajat OSA. Beberapa penelitian tersebut antara lain penelitian Kansanen
dkk26 yang menunjukkan perbaikan oksigenasi malam
hari dan penurunan respiratory disturbance index (RDI) setelah menjalani modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan melalui diet. Penelitian Kajaste dkk27 menunjukkan modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan terbukti memperbaiki indeks desaturasi oksigen pasien OSA.
Kemppainen dkk28 menunjukkan konseling diet
dan intervensi pola hidup (lifestyle) selama lebih dari 3 bulan pada pasien OSA menunjukkan perubahan nilai AHI lebih besar (3,2 kali/jam) dibandingkan kelompok kontrol (1,3 kali/jam). Tuomilehto dkk19 menunjukkan modifikasi pola hidup dengan penurunan berat badan pada pasien OSA ringan terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup.
Johansson dkk29 menunjukkan modifikasi pola hidup
dengan penurunan berat badan melalui diet pada OSA sedang dan berat menurunkan apnea hypopnea
index (AHI), perbaikan oksigenasi di malam hari dan
pengurangan rasa mengantuk di siang hari.
Perbaikan gejala, derajat dan kualitas hidup pada subjek OSA secara teori akan berdampak pada perbaikan neurokognitif, peningkatan kewaspadaan dan performa pengemudi. Seperti diketahui, pasien OSA mengalami disfungsi neurokognitif. Disfungsi neurokognitif timbul sebagai akibat tidur yang terfrag
mentasi.3,4 Kondisi tersebut berhubungan dengan
kualitas hidup yang lebih rendah, termasuk kualitas tidur yang kurang, fungsi kognitif yang kurang, produktivitas yang rendah serta risiko kecelakaan yang tinggi.9
Sleep apnea secara jelas meningkatkan rasa
mengantuk (sleepiness) sepanjang hari/EDS.6 Pening katan sleepiness menyebabkan kecen derungan ter tidur, penurunan kesiagaan dan kewaspadaan, per lambatan waktu reaksi dan penurunan koordinasi psikomotor.7 Kondisi tersebut pada akhirnya mening katkan risiko kecelakaan kendaraan bermotor.6 Bebe rapa penelitian modifikasi pola hidup pada OSA telah terbukti dapat memperbaiki kualitas hidup dan perbaikan sleepiness.19,29
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipa hami apabila penerapan modifikasi pola hidup pada OSA dapat menurunkan risiko kecelakaan. Meskipun begitu, sampai saat ini belum pernah ada penelitian yang menilai pengaruh modifikasi pola hidup pada OSA terhadap risiko kecelakaan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai pengaruh modifikasi pola hidup pada OSA terhadap risiko kecelakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi pola hidup untuk OSA berupa penyiapan kerja khusus
dikombinasikan dengan penyiapan kerja umum dapat menurunkan risiko kecelakaan pada subjek OSA.
Penyiapan kerja umum prinsipnya bertujuan untuk mengendalikan kelelahan sedangkan penyiapan kerja khusus bertujuan sebagai tatalaksana OSA. Pengendalian kelelahan pada pekerja merupakan salah satu komponen yang terbukti dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja termasuk risiko kecelakaan pada profesi pengemudi. Penyiapan kerja umum dalam bentuk total health promotion plan merupakan cara untuk pengendalian kelelahan pada pekerja
termasuk pengemudi.20Tucker32 mengatakan bahwa
managemen kelelahan yang baik pada pengemudi truk dapat menurunkan kecelakaan yang disebabkan oleh kelelahan.
Penyiapan kerja khusus merupakan modi fikasi pola hidup sebagai bentuk tatalaksana non
medikamentosa pada subjek dengan OSA.Tuomilehto
dkk19 menunjukkan bahwa modifikasi pola hidup pada
subjek OSA terbukti menunjukkan perbaikan gejala, derajat OSA dan kualitas hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modifikasi pola hidup pada OSA sebagai penyiapan kerja khusus dikombinasi dengan penyiapan kerja umum untuk pengendalian kelelahan dapat menurunkan risiko kecelakaan.
Perbandingan hasil pelaksanaan penyiapan kerja antara subjek dengan OSA dan tanpa OSA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyia pan kerja yang dilakukan pada subjek OSA dan tanpa OSA memperbaiki waktu reaksi dan menurunkan kecelakaan. Perubahan waktu reaksi (∆ waktu reaksi) dan kecelakaan (∆ kecelakaan) yang terjadi pada subjek OSA dan tanpa OSA tidak berbeda bermakna. Hasil ini menunjukkan bahwa intervensi berupa penyia pan kerja baik pada subjek OSA maupun tanpa OSA memberikan hasil yang sama baik. Hal ini sesuai dengan dasar pemikiran penelitian yaitu terjadi per baikan waktu reaksi dan penurunan kecelakaan. Perbaikan waktu reaksi dan penurunan kecelakaan yang terjadi tidak ada perbedaan bermakna baik pada subjek OSA dan tanpa OSA.
Penyiapan kerja dalam bentuk penyiapan kerja umum merupakan cara untuk pengendalian
kelelahan.20 Sedangkan penyiapan kerja khusus
pada subjek OSA merupakan tatalaksana nonmedika mentosa subjek OSA yang terbukti memperbaiki kualitas hidup.19 Kombinasi penyiapan kerja umum dan khusus diharapkan dapat mengendalikan kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup pengemudi taksi dan berdampak pada kesiapsiagaan, perbaikan waktu reaksi serta penurunan risiko kecelakaan.Hasil penelitian sejalan dengan konsep work-based health
protection and promotion strategies menurut Robert
Wood Johnson Foundation33 Berbagai upaya harus
dilakukan untuk mencapai derajat sehat para pekerja. Upaya tersebut merupakan bentuk penyiapan kerja yang baik secara keseluruhan dari aspek pekerja, lingkungan kerja dan lingkungan rumah.
Program penyiapan kerja pada penelitian ini diberikan melalui edukasi atau konseling secara kelompok dan individu kepada pengemudi setiap bulan selama 3 bulan berturutturut. Selanjutnya pengemudi taksi menjalankan penyiapan kerja secara mandiri dibawah pengawasan selama 6 bulan berikutnya. Edukasi atau konseling dan pelaksanaan mandiri menggunakan panduan modul penyiapan kerja berbentuk buku saku. Penelitian ini menunjukkan bahwa edukasi atau konseling dan pelaksanaan mandiri menggunakan buku modul penyiapan kerja pada pengemudi OSA dan tanpa OSA cukup efektif.
Beberapa penelitian sudah membuktikan bah wa edukasi melalui konseling pola hidup (lifestyle) selama 12 minggu atau lebih sudah cukup efektif meningkatkan perubahan perilaku subjek dengan
OSA. Tuomilehto dkk19 membuktikan bahwa konseling
modifikasi pola hidup, diet dan olah raga selama 12 minggu cukup baik dalam melihat perubahan
perilaku pasien OSA. Kemppainen dkk28 memberikan
konseling diet dan intervensi pola hidup (lifestyle) pada pasien OSA selama lebih dari 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan perilaku subjek yang dibuktikan dengan penurunan bermakna
IMT 5,4 kg/m2 pada kelompok yang mendapatkan
intervensi dibandingkan 0,49 kg/m2 pada kelompok
kontrol (p< 0,001).
Edukasi atau penyuluhan kesehatan mungkin membantu pekerja meminimalisasi dampak negatif
dari kombinasi pola hidup tidak baik dan pajanan bahan di tempat kerja. Penyuluhan kesehatan tentang upaya pola hidup sehat dan dukungannya melalui informasi, konseling dan edukasi diperlukan sebagai bagian dari program kesehatan dan keselamatan ekrja (K3).
Aktivitas penyuluhan kesehatan diimplemen tasikan
dalam berbagai bentuk petunjuk praktis, pengem bangan toolkits, modul dan bahanbahan edukasi atau pelatihan.34 Penggunaan modul meru pakan salah satu motode dalam penyuluhan kesehatan untuk mencapai tujuan yaitu perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja. Keberhasilan penyuluhan kesehatan dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor masukan, metode, materi, pemberi materi dan alat bantu atau peraga yang digunakan.35
Penggunaan modul dalam penyuluhan kese hatan untuk perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja telah dilakukan oleh beberapa pene
litian. Penelitian Duma36 menunjukkan bahwa modul
menuju selamatsehat sebagai metode dan media penyuluhan K3 efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap operator alat berat dalam pengendalian kelelahan kerja di perusahaan tambang batubara.
KESIMPULAN
Penelitian tentang peran penyiapan kerja pengemudi taksi dengan OSA dan tanpa OSA menda patkan kesimpulan bahwa waktu reaksi setelah pelaksanaan penyiapan kerja terlihat perbaikan tetapi tidak bermakna dibanding sebelum pelaksanaan penyiapan kerja baik sebelum bekerja maupun setelah pulang kerja. Kecelakaan setelah pelaksanaan penyiapan kerja menunjukkan penurunan bermakna dibanding sebelum pelaksanaan penyiapan kerja pada pengemudi dengan OSA dan pengemudi tanpa OSA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gulbay BE, Acican T, Dogan R, Baccioglu A, Gullu E, Karadag G. The evaluation of excessive daytime sleepiness in taxi drivers. Tuberk Toraks. 2003;51:3859.
2. Firestone RT, Mihaere K, Gander PH. Obstructive sleep apnoea among professional taxi drivers: A pilot study. Acc An Prev.2009;41:5526.
3. Durmer JS, Dinges DF. Neurocognitive conse quences of sleep deprivation. Semin Neurol. 2005;25:11729.
4. Bucks R, Olaithe M, Eastwood P. Neurocognitive function in obstructive sleep apnoea: A meta review. Respirology.2013;18:6170.
5. Scott AJ. Sleepiness and fatigue risk for the transportation industry. Occupational and Eviron mental Med. 2003;3:81108.
6. Mazza S, Pepin JL, Naegele B, Plante J, Deschaux C, Levy P. Most obstructive sleep apnea patients exhibit vigilance and attention deficits on an extended battery of tests. Eur Respir J. 2005;25:7580
7. Stoohs R, Philip P, Andries D, Finlayson EVA, Guilleminault C. Reaction time performance in upper air way resistance syndrome versus obstruc tive sleep apnea syndrome. Sleep Med. 2009;10:10004. 8. Gelir E, Basaran C, Bayrak S, Yagcioglu S,
Budak MT, Firat H, et al. Electrophysiological assessment of the effects of obstructive sleep apnea on cognition. Plos One. 2014;9:16. 9. Eckert DJ, Malhotra A. Pathophysiology of adult
obstructive sleep apnea. Proc Am Thorac Soc. 2008; 5:14453
10. Carter T. Driver impairment and the risk of road crash. In: Fitness to drive: a guide for health professionals. Royal Society of Medicine Press ltd. London. 2006.p.920.
11. University Health and Safety Policy Committee .Health and Safety Guide for WorkRelated Driving. UniversityWide Guidelines. University of Ballarat. Australia. 2007.
12. Hartenbaum N, Collop N, Rosen IM. Philips B, George CFP, Rowley JA, et al. Sleep apnea and commercial motor vehicle operators. Statement From the Joint Task Force of the American College of Chest Physicians, American College of Occupational and Environmental Medicine, and the National Sleep Foundation JOEM. 2006;48:437. 13. Scottish Intercollogiate Guidelines Network.
Management of Obstructive Sleep Apnoea/ Hypopnoea Syndrome in Adults. A National
Clinical Guediline. Scottish Intercollogiate Guidelines Network. Edinburg. 2003.
14. Ballester E, Badia JR, Hernandez L, Carrasco E, de Pablo J, Fornas C, et al. Evidence of the effectiveness of continuous positive airway pressure in the treatment of sleep apnea/ hypopnea syndrome. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:495–501.
15. George CFP, Boudreau AC, Smiley A. Effect of nasal CPAP on simulated driving performance in patients with obstructive sleep apnea. Thorax . 1997;52:64853.
16. Findley L, Smith C, Hooper J, Dineen M, Suratt PM. Treatment with nasal CPAP decreases automobile accidents in patients with sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:8579. 17. Ballard RD. Management patients with obstructive
sleep apnea. The J Fam Pract . 2008;57.s24s30. 18. Boughton J. Obstructive sleep apnea: the
cost of a good night’s sleep. [online] 2010. [cited September 2010. Available from : http:// aleksandreia.wordpress.com/2010/09/15/ obstructivesleepapneathecostofagood nightssleep.
19. Tuomilehto HPI, Seppa JM, Partinen MM, Peltonen M, Gylling H, Tuomilehto JOI, et al. Lifestyle Intervention with Weight reduction. Firstline treatment in mild obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 2009;179:3207. 20. Setyawati L. Penyakit Akibat Kerja, Diagnosis,dan
Pencegahannya. Disampaikan pada : Pelatihan Hiperkes bagi dokter perusahaan. Balai Hiperkes & KK provinsi DI Yogyakarta. 18 Februari 2009. 21. Shiomi T, Sasanabe R. Advances in Diagnosis
and Treatment of Sleep Apnea Syndrome in Japan. JMAJ. 2009;52:22430.
22. Setyawati, L. Selintas tentang kelelahan kerja. Amara Books. Yogyakarta. 2010.
23. Orth M, Duchna HW, Leidag M, Widdig W, Ras che K, Bauer TT, et al. Driving Simulator and neuro psychological testing in OSAS before and under CPAP therapy. Eur Respir J. 2005;26: 898903.
24. Mazza S, Pepin JL. Naegel B, Rauch E, Deschaux C, Ficheux P, et al.Driving ability in sleep apnoea patients before and after CPAP treatment: evaluation on a road safety platform. Eur Respir J. 2006;28:10208.
25. Woodson BT, Steward DL, Weaver EM, Javaheri S. A randomized trial of temperaturecontrolled radiofrequency, continuous positive airway pres sure, and placebo for obstructive sleep apnea syndrome. Otolaryngol Head Neck Surg. 2003;128:8481861. 26. Kansanen M, Vanninen E, Tuunainen A.
The effect of a very lowcalorie dietinduced weight loss on the severity of obstructive sleep apnoea and autonomic nervous function in obese patients with obstructive sleep apnoea syndrome. Clinical Physiology. 1998;18:377–85. 27. Kajaste S, Brander PE, Telakivi T, Partinen
M, Mustajoki P. A cognitivebehavioral weight reduction program in the treatment of obstructive sleep apnea syndrome with or without initial nasal CPAP: a randomized study. Sleep. 2004;5:12531. 28. Kemppainen T, Ruoppi P, Sepp¨a J. Effect of
weight reduction on rhinometric measurements in overweight patients with obstructive sleep apnea. American Journal of Rhinology. 2008;22:410–15. 29. Johansson K, Neovius M, Lagerros YT. Effect
of a very low energy diet on moderate and severe obstructive sleep apnoea in obese men: a randomised controlled trial. British Medical Journal. 2009;339:b4609.
30. Haraldsson PO, Carenfelt C, Lysdal M. Does uvulophalatoplasty inhibits automobile accident ? Laryngoscope. 1995;105:65761.
31. Krieger I.Sleep apnea and driving; how can this be deal with? Eur Respir Rev. 2007;16.18995. 32. Tucker A. Fatigue is a Major Cause in Truck
Crashes. [online]. 2013. [cited December 2013] Available from : http://optalert.com/truck crashesfatigue.
33. Robert Wood Johnson Foundation. Workbased strategies to improve health. Commision to Build a Healthier America. Issues Breif 4: Work and Health. 2008.
34. Zucconi A, Goldstein G. Task force 6: Health pro mo tion activity. [online] 2014. [cited Mei 2014]. Available from: http://www.who.int/occu pational_ health/topics/workplace/en/.
35. Notoatmojo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. 2007.
36. Duma K. Modul Menuju SelamatSehat: Inovasi Penyuluhan Keselamatan dan Kesehatan Dalam Pengendalian Kelelahan Kerja. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2011;14:21323.