• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. Definisi Obesitas Obesitas - Hubungan Antara Obesitas Dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.1.1. Definisi Obesitas Obesitas - Hubungan Antara Obesitas Dengan Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea (OSA)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

2.1.1. Definisi Obesitas Obesitas

Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi di mana perbandingan berat badan

dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah

kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian

tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan

kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Barrett

et al., 2010). Menurut Flier (2008), seseorang dinyatakan mengalami obesitas dengan

keadaan di mana massa sel lemak berlebihan serta tidak hanya berdasarkan berat

badan saja karena pada orang-orang dengan massa otot besar dapat dianggap

overweight tanpa peningkatan sel-sel lemak. Selain itu, menurut Sidartawan (2006),

secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi

lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas merupakan

suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang

dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.

2.1.2. Pengukuran Obesitas

Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, ada

berbagai cara yang bisa digunakan. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau

dikenal juga dengan Quetelet Index, merupakan salah satu cara yang sering

digunakan. Cara mengukur IMT, yaitu BB/TB2, di mana BB adalah berat badan

dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Hamdy, 2012). Menurut

WHO (2000), seseorang dikatakan obesitas jika nilai IMT ≥30 kg/m 2. Sedangkan

menurut Kriteria Asia Pasifik (2000), dikatakan obesitas jika IMT ≥25

(2)

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa berdasarkan

IMT menurut WHO (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.1. Sedangkan klasifikasi berat

badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut Kriteria Asia

Pasifik (2000), dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Sidartawan, 2006).

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO (2000)

Klasifikasi IMT(kg/m2)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5-24,9

Berat Badan Lebih >25,0

Pre-Obes 25,0-29,9

Obes- Tingkat I 30,0-34,9

Obes- Tingkat II 35,0-39,9

Obes- Tingkat III >40,0

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000)

Risiko Ko-Morbiditas

Cara lain untuk menilai obesitas adalah dengan mengukur lingkar perut (LP).

WHO menganjurkan LP sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan

krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir

(3)

menahan perutnya. Menurut kriteria Asia Pasifik (2000), pria dengan LP ≥90 cmdan

wanita dengan LP ≥80 cm masuk kategori obesitas (Sidartawan, 2006).

Menurut Deurenberg (2000), pemeriksaan obesitas juga bisa dilakukan

dengan cara mengukur persentase lemak tubuh secara tidak langsung. Obesitas

menunjukkan suatu kondisi di mana terdapat simpanan jaringan lemak yang berlebih

pada tubuh. Pada keadaan normal, persentase lemak tubuh pada pria adalah sekitar

15-20%, sedangkan pada wanita sekitar 25-30%. Rumus untuk mengukur persentase

lemak tubuh, yaitu sebagai berikut:

Lemak tubuh dewasa = (1,20 x IMT) + (0,23 x USIA) – (10,8 x JENIS KELAMIN) –

5,4

JENIS KELAMIN : Pria = 1; Wanita = 0.

Berdasarkan rumus di atas, maka seseorang disebut obesitas bila, persentase lemak

tubuh pada pria >25% dan pada wanita >33%.

2.1.3.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)

(2010) pada laporan Riskesdas, prevalensi penduduk usia dewasa menurut status IMT

di masing-masing provinsi di Indonesia tahun 2007, secara nasional dapat dilihat

masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 12,6% kurus, dan 21,7%

gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas.

Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk kelebihan

berat badan. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah di Provinsi Sulawesi Utara

(4)

Gambar 2.1. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut Kategori IMT dan Provensi (Balitbangkes, 2010)

Pada tahun 2010, Balitbangkes juga menampilkan hasil tabulasi silang status

gizi penduduk dewasa menurut IMT dengan beberapa variabel karakteristik

(5)

meningkat setelah usia 35 tahun keatas, dan kemudian menurun kembali setelah usia

60 tahun keatas, baik pada laki-laki maupun perempuan. Selain itu, prevalensi

obesitas juga lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan dan

kelompok penduduk dewasa yang juga berpendidikan lebih tinggi, dan bekerja

sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai.

(6)

2.1.4. Pencegahan dan Penatalaksanaan Obesitas

Obesitas dapat dicegah dan ditatalaksana dengan cara manajemen gaya hidup.

Terdapat tiga elemen dari gaya hidup yang harus diperhatikan untuk pencegahan dan

penatalaksanaan obesitas, yaitu diet sehari-hari yang sehat, aktivitas fisik yang teratur,

dan modifikasi prilaku untuk menetapkan prilaku hidup sehat (Flier, 2008). Secara

paradigma, penyebab obesitas adalah ketidakseimbangan antara asupan energi dengan

energi yang digunakan (Hamdy, 2012). Obesitas terjadi jika, selama periode waktu

tertentu, kilokalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang

digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dan kelebihan energi tersebut

disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2001). Oleh karena itu,

pasien harus tahu bagaimana dan kapan energi dikonsumsi (diet), digunakan

(aktivitas fisik), dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (modifikasi prilaku).

Suatu penelitian menunjukkan bahwa manajemen gaya hidup dapat menurunkan berat

badan sekitar 3-5 kg dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan

penatalaksanaan dan perhatian apapun (Flier, 2008).

Fokus primer dari terapi diet pada pasien obesitas adalah menurunkan

konsumsi kalori pasien. National Heart, Lung, and Blood

Institute (NHLBI) guidelines merekomendasikan terapi awal dengan penurunan

kalori sebesar 500-1000 kkal/hari dari diet sehari-hari pasien. Terapi awal ini dapat

menurunkan sekitar 1-2 pound per minggu dari berat badan pasien. Penurunan

konsumsi kalori pada pasien dapat diganti dengan diet lain yang lebih dianjurkan

seperti makanan dalam porsi kecil, buah-buahan, sayur-sayuran, gandum, dan

lain-lain. Selain itu, American College of Sports Medicine juga merekomendasikan pada

pasien overweight dan obesitas untuk melakukan aktivitas fisik sedang selama 150

menit per minggu sebagai target utama dalam menurunkan berat badan. Akan tetapi,

untuk pasien yang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menurunkan berat

badan, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih berat selama 200-300

(7)

pasien dalam diet sehari-hari dan aktivitas pasien sebelumnya dan menetapkan

prilaku hidup sehat seperti diet sehat dan aktivitas fisik yang teratur (Flier, 2008).

Untuk pasien yang memiliki IMT ≥30 kg/m 2 atau IMT ≥27 kg/m2 dengan

penyakit penyerta yang berhubungan dengan keadaan obesitasnya, pasien dapat diberi

farmakoterapi. Sedangkan pada pasien yang IMT-nya sudah ≥40 kg/m 2 atau IMT ≥35 kg/m2

disertai kondisi medis yang serius, tindakan bedah bisa dipertimbangkan

untuk menurunkan berat badan (Flier, 2008).

2.2. 2.2.1.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) Fisiologi Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan fisiologi dan tingkah laku yang ditandai

dengan karakteristik penurunan kewaspadaan atau kesadaran dan reaksi atau gerakan

yang bersifat reversibel terhadap rangsangan eksternal (Welch, 2008). Tidur berbeda

dengan keadaan tidak sadar lainnya karena pada keadaan tidur siklusnya dapat

diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Saat proses tidur, otak

berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan visual, auditori, dan

rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai

dari input sensorik. Akan tetapi, mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi

keadaan tidur. Faktor homeostatik (Faktor S) dan faktor sirkardian (Faktor C) juga

bersama-sama berperan untuk menentukan waktu dan kualitas tidur (Stevens, 2011).

Pusat pengaturan tidur adalah ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) dari

bagian anterior hipotalamus. Area ini menjadi aktif saat tidur dan menggunakan

neurotransmitter inhibitorik seperti GABA dan galanin untuk menginisiasi tidur

dengan cara menghambat area untuk proses bangun di otak (Stevens, 2011). Adanya

eksistensi dari sleep-inducing chemicals seperti adenosine juga berperan dalam

mengatur seseorang tetap dalam kondisi tertidur. Adenosine akan berikatan dengan

reseptor A1 dan menginhibisi neuron kolinergik dari reticular activating

system (RAS) yang berpartisipasi dalam proses bangun sehingga aktifitas RAS

(8)

Stadium tidur pada manusia ditentukan berdasarkan karakteristik dari

pemeriksaan polysomnography yang mencakup

pemeriksaan electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG),

dan electromyogram (EMG) yang diukur sekaligus sebagai

parameter electrophysiologic. Berdasarkan polysomnographic profiles, stadium tidur

dibagi menjadi dua, yaitu non-rapid eye movement (NREM) sleep atau disebut

juga quiet sleep dan rapid eye movement (REM) sleep atau disebut juga active sleep

(Barrett et al., 2010). NREM sleep

a.

terdiri dari empat fase yaitu:

Fase 1

Fase ini merupakan fase transisi dari keadaan bangun ke fase tidur yang

normalnya berlangsung antara 1-7 menit (Tortora & Derrickson, 2009). Fase

ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang

teta (4-7 Hz) pada gelombang EEG. Pada EOG tidak tampak kedip mata atau

REM, tetapi lebih banyak gerakan mata berputar yang lambat dan terjadi

penurunan potensial EMG (Barrett et al.,

b.

2010). Pada fase ini, orang bisa

dibangunkan dengan mudah.

Fase 2

Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true

sleep (Tortora & Derrickson, 2009). Pada EEG tampak kumparan tidur

atau sleep spindles (12-14 Hz) dan kompleks K (Barrett et al., 2010).

Kompleks K adalah suatu gelombang diphasic dengan amplitudo tinggi (>100

V) dan durasi yang panjang (>200 ms) serta bersifat sementara (Benbadis,

2012). Tidak tampak gerakan cepat mata atau REM pada EOG tetapi ada

sedikit gerakan berputar atau rolling yang lambat. Potensial EMG lebih

rendah dari fase 1 (Barrett et al., 2010).

c.

Fase 3

Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora & Derrickson,

2009). Pada EEG tampak adanya gelombang delta amplitudo tinggi (0,5-4 Hz),

(9)

EMG menetap dengan potensial yang lebih rendah (Barrett et al., 2010). Pada

fase ini, suhu tubuh dan tekanan darah menurun. Orang yang sudah berada di

fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan (Tortora & Derrickson, 2009).

d.

Fase 4

Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam (Tortora & Derrickson,

2009). Gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta, tidak ada REM

pada EOG, dan potensial EMG rendah (Barrett et al., 2010). Pada fase ini,

metabolisme otak menurun secara signifikan dan suhu tubuh juga menurun.

Akan tetapi kebanyakan refleks tubuh masih menetap dan tonus otot sedikit

menurun (Tortora & Derrickson, 2009).

REM sleep ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan

denyut jantung, peningkatan laju pernapasan, dan peningkatan tekanan darah yang

berfluktuasi secara luas (Kaplan et al., 2010). Pada EEG tampak gelombang dengan

frekuensi campuran dan amplitudo rendah yang serupa dengan fase 1 dari

NREM sleep. EOG memperlihatkan adanya gerakan mata cepat atau REM serupa

dengan yang terlihat pada kondisi bangun dengan mata terbuka. Oleh karena itu,

REM sleep disebut juga dengan paradoxical sleep. Selain itu, aktivitas pada EMG

juga tidak ada sehingga terlihat atonia otot pada fase ini (Barrett et al., 2010).

Tidur nokturnal normal pada orang dewasa umumnya sekitar 7-8 jam dan

konstan setiap malam. Setelah inisiasi tidur, biasanya tidur dimulai dari NREM sleep

fase 1-4 dalam 45-60 menit. Sebesar 15-26% dari total tidur nokturnal orang dewasa

merupakan tidur gelombang lambat (fase 3 dan 4 dari NREM sleep) (Barrett et al.,

2010). Dalam 1 periode tidur nokturnal, terdapat 3-5 episode REM sleep yaitu sekitar

90-120 menit. Stadium pada NREM sleep harus berbalik terlebih dahulu ke fase 2

NREM sleep sebelum memasuki fase REM sleep. Episode pertama dari REM sleep

biasanya berlangsung selama 10-20 menit. Kemudian setelah episode

REM sleep berakhir, maka fase tidur akan kembali lagi ke fase NREM sleep. REM

sleep akan muncul setiap 90 menit dan biasanya episode terakhir REM sleep

(10)

tidur ini akan terjadi secara berganti-gantian sepanjang malam. Dipaparkan bahwa 50%

tidur bayi, 35% tidur anak, dan 25% tidur orang dewasa merupakan REM sleep. Oleh

karena itu, seiring dengan usia maka persentase REM sleep akan menurun (Tortora &

Derrickson, 2009).

Gambar 2.3. Stadium Tidur Manusia (Czeisler et al., 1999)

2.2.2. Sistem Pernapasan saat Tidur

Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena adanya

hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami perubahan saat

(11)

sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga menurun sehingga frekuensi

napas juga ikut menurun. Ventilasi selama REM sleep juga menurun dibandingkan

saat kondisi bangun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ventilasi selama REM

sleep sedikit lebih tinggi dari NREM sleep (0,9-7,1%). Akan tetapi beberapa

penelitian juga menunjukkan bahwa ventilasi selama REM sleep selanjutnya menjadi

menurun. Oleh karena itu, ventilasi selama REM sleep bervariasi pada tiap orang.

Frekuensi napas bisa bertambah cepat, dangkal, dan tak menentu sesuai dengan

variasi ventilasi selama REM sleep tiap orang (Pack, 2008).

Otot-otot saluran napas atas bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan

napas saat bernapas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang

sama dari batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot

diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran napas atas bekerja seirama

dengan pernapasan (Lapinsky et al., 1997). Penurunan fungsi respirasi yang terjadi

selama tidur pada orang normal adalah akibat meningkatnya tahanan atau resistensi

dari saluran napas atas yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft

palate, diafragma, dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan refleks

batuk juga terjadi selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan

ini kurang berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang

mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan

sistem pernapasan yang lain (Pack, 2008).

Pada penderita OSA, tahanan atau resistensi saluran napas atas meningkat 10

kali lipat dibandingkan dengan orang normal yang hanya meningkat 2-4 kali lipat.

Sehingga pada keadaan tidur, sistem respirasi penderita OSA akan mendapat

tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan tahanan saluran napas

atas. Peningkatan tahanan saluran napas atas yang progresif menyebabkan penurunan

atau penghentian aliran udara sehingga saturasi oksihemoglobin (SaO2) mengalami

penurunan. Keadaan seperti adanya hambatan jalan napas, peningkatan resistensi

saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan stimulus dari sistem

(12)

Oleh sebab itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang berulang

dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal ini

dapat mengurangi kualitas tidur, mengganggu aktivitas pada siang hari,

mengakibatkan defisit pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang

sangat lemah seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan resistensi

insulin, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk (Downey,

2012).

2.2.3. Gangguan Pernapasaan saat Tidur

Gangguan pernapasan saat tidur atau lebih dikenal dengan nama Sleep

Disordered Breathing (SDB) menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur.

SDB terjadi jika ada episode berulang penghentian aliran udara (apnea) atau

penurunan aliran udara (hypopnea) selama tidur disertai dengan adanya fragmentasi

tidur, sering terbangun, dan penurunan saturasi oksigen. SDB memiliki suatu

spektrum perjalanan penyakit dari mendengkur menjadi obesity hypoventilation

syndrome sehingga disebut SDB syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006).

Gambar 2.4. Sleep Disordered Breathing Syndromes (Rodriguez & Berggren, 2006)

Mendengkur disebabkan oleh adanya turbulensi udara karena kolapsnya

(13)

akan meningkatkan mortilitas hingga 10% berhubungan dengan penyakit

kardiovaskular seperti stroke, myocardial infarction, dan arrythmia. Severe sleep

apnea syndrome juga berhubungan erat dengan peningkatan IMT (Rodriguez &

Berggren, 2006). Obesity hypoventilation syndrome merupakan gangguan pernapasan

saat tidur atau SDB yang paling berat dan dikarakteristik dengan chronic alveolar

hypoventilation, obesitas, daytime hypercapnia (PaCO2 >45mmHg). Hal ini dapat

bermanifestasi menjadi hipertensi pulmonar dan gagal jantung kanan (Welch, 2008).

2.2.4. Definisi OSA

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep

Apnea/Hypopnea (OSAH) adalah suatu gangguan tidur yang melibatkan penghentian

atau penurunan yang signifikan dari aliran udara di mana masih bisa ditemukan

adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe gangguan pernapasan

saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode kolapsnya saluran napas

atas saat tidur yang berulang (Downey, 2012).

OSA merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai dengan adanya episode

berulang dari obstruksi saluran napas atas sehingga aliran udara dari hidung atau

mulut berkurang (hypopnea) atau tidak ada (apnea). Episode-episode berulang ini

biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan hipoksemia, dan biasanya

diakhiri dengan terbangun secara berulang sehingga menyebabkan adanya

fragmentasi tidur. Pasien biasanya tidak sadar bahwa dirinya terbangun secara

berulang. Adanya fragmentasi tidur dapat menurunkan kualitas tidur pasien dan

menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau disebut juga

dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) (WHO, 2007). OSA yang disertai

dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive Sleep Apnea

Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea

Syndrome

(OSAHS) (Downey, 2012).

(14)

Hypopnea merupakan suatu kondisi di mana terjadi penurunan 10-70% aliran

udara dibandingkan orang normal selama 10 detik. Sedangkan apnea merupakan

suatu kondisi di mana tidak ada sama sekali aliran udara dari hidung atau mulut

selama 10 detik. Apnea/hypopnea index (AHI) atau respiratory disturbance index

(RDI) merupakan jumlah dari kondisi apnea/hypopnea per jam saat tidur. AHI atau

RDI dapat dinilai dengan pemeriksaan polysomnography (Welch, 2008).

OSA terjadi jika RDI ≥5 kali/jam. OSA diklasifikasikan menjadi OSA ringan

dengan RDI 5-15 kali/jam, sedang dengan RDI 15-30 kali/jam, dan berat dengan

RDI >30 kali/ jam. Seseorang didiagnosa menderita OSAS jika RDI >15 kali/jam

serta mengalami nocturnal dan daytime symptoms (Welch, 2008).

2.2.6. Epidemiologi OSA

OSA merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi di Amerika

Serikat. National Commission on Sleep Disorders Research mengestimasi bahwa

OSA ringan (RDI >5) ada sekitar 7-8 juta orang dan pada kasus OSA berat (RDI >15)

sekitar 1,8-4 juta orang di Amerika Serikat. OSA sering tidak terdiagnosa pada 92%

wanita dan 80% pria yang menderita OSA (Downey, 2012).

Wisconsin Cohort Study, suatu studi tentang OSA yang dilakukan pada 1069

pria dan wanita yang berusia 30-60 tahun dengan menggunakan polysomnography,

memaparkan bahwa prevalensi OSA pada orang berusia 30-60 tahun adalah 9% pada

wanita dan 24% pada pria dengan RDI >5, tetapi estimasi prevalensi OSA dengan

RDI >5 yang disertai dengan gejala EDS atau disebut juga dengan OSAS adalah 2%

pada wanita dan 4% pada pria (WHO, 2007). Sedangkan untuk prevalensi OSA di

populasi non-Amerika yang hanya diteliti pada pria, ada sekitar 0,3% di Inggris,

20-25% di Israel dan Australia (Downey, 2012).

Prevalensi OSA juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu umur, jenis

kelamin, dan etnis. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali pada orang yang berusia >65

tahun dibandingkan dengan yang berusia 30-64 tahun. Pria juga 2-3 kali lebih sering

(15)

American, dan Pacific Islanders juga lebih berisiko menderita OSA dibandingkan

orang kulit putih dan orang Asia. Faktor-faktor ini berhubungan dengan

meningkatnya IMT yang menjadi faktor risiko dari OSA (Downey, 2012).

2.2.7. Faktor Risiko OSA

Faktor risiko OSA terdiri dari faktor struktural, faktor non-struktural, dan

faktor genetik. Faktor struktural berhubungan dengan adanya abnormalitas saluran

napas atas, yaitu kelainan anatomi kraniofasial seperti retrognathia dan micrognathia,

hipoplasia mandibular, bentuk kepala brachycephalic, penderita Down

syndrome, Pierre Robin syndrome, dan Marfan syndrome; obstruksi nasal

seperti polip hidung, deviasi septal hidung, adanya tumor, trauma, dan stenosis di

hidung; obstruksi retropalatal seperti palatum dan uvula yang memanjang dan

letaknya lebih ke posterior, hipertropi tonsil dan adenoid; obstruksi retroglossal

seperti makroglossia dan tumor. Faktor-faktor struktural dapat menjadi predisposisi

dari OSA karena menyebabkan kolapsnya faring pada saat tidur (Downey, 2012).

Sedangkan faktor non-struktural dapat berupa obesitas (diperkirakan hampir

30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m 2 dan 50% pasien dengan IMT ≥40

kg/m2 menderita OSA); jenis kelamin pria lebih sering dibandingkan wanita;

pertambahan usia; wanita postmenopause; penggunaan alkohol atau obat tidur;

merokok; posisi tidur supine; riwayat keluarga yang menderita OSA; kelainan

endokrin seperti hipotiroid dan akromegali (Downey, 2012).

2.2.8. Diagnosis OSA

OSA yang disertai dengan gejala EDS biasanya disebut sebagai Obstructive

Sleep Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep

Apnea/Hypopnea Syndrome (OSAHS). Setiap orang yang mengeluh tentang rasa

kantuk dan menganggap bahwa dirinya adalah “good sleepers” karena dapat tidur

kapanpun dan dimanapun (Downey, 2012), dapat ditanyai riwayat tidurnya tentang

(16)

insomnia), mendengkur, apnea (terbangun karena merasa tercekik, sulit

bernapas), daytime sleepiness (tidur saat kerja, mengantuk saat mengendarai

kendaraan), kebiasaan sehari-hari (mengkonsumsi alkohol, rokok), dan riwayat

penyakit yang diderita (hipertensi, penyakit kardiopulmonar). Untuk menilai apakah

rasa kantuk seseorang berlebihan, maka dapat digunakan kuesioner Epworth

Sleepiness Scale. Jika nilainya >11, maka seseorang dikatakan memiliki rasa kantuk

yang berlebih. Hal ini dapat bermasalah bagi kesehatan dirinya, oleh karena itu pasien

perlu dirujuk untuk didiagnosis dan diterapi (Douglas, 2008).

Diagnosis pada OSA dapat ditentukan berdasarkan riwayat tidur, manifestasi

klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologi dan

pemeriksaan khusus) (Douglas, 2008).

Gejala–gejala OSA pada umumnya tidak disadari tetapi dapat menjadi berats

ecara spontan dan biasanya telah ada selama bertahun-tahun sebelum pasien dirujuk

untuk dievaluasi. Gejala-gejala OSA dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu

gejala yang timbul pada saat tidur (Nocturnal Symptoms) dan gejala yang timbul

pada siang hari (Daytime Symptoms). Nocturnal Symptoms terdiri dari: mendengkur,

biasanya suaranya kuat, terjadi sehari-hari, dan mengganggu orang di

sekitarnya; apnea/hypopnea, biasanya pada saat akhir dengkuran; rasa tercekik, gejala

ini yang membuat pasien sering terbangun dari tidur; nokturia; insomnia; tidur tidak

nyenyak, oleh karena sering terbangun dari tidur. Sedangkan Daytime Symptoms

terdiri dari: rasa lelah saat bangun tidur; sakit kepala di pagi hari; Excessive Daytime

Sleepiness (EDS); rasa lelah di siang hari; defisit kognitif; gangguan memori dan

intelektual; penurunan kewaspadaan; perubahan mood dan kepribadian (seperti

depresi dan ansietas); disfungsi seksual; gastroesophageal reflux; hipertensi (Downey,

2012).

Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan

kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik,

dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher. Pengukuran tekanan

(17)

berhubungan dengan beratnya penyakit OSA. Selain itu pengukuran IMT dan lingkar

leher juga dilakukan karena pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada

hubungan positif antara IMT dan lingkar leher dengan OSA. Dipaparkan bahwa ada

hubungan antara IMT >27.8 kg/m2; lingkar leher >17 inches pada pria dan IMT >27.3

kg/m2; lingkar leher >15 inches pada wanita dengan kejadian OSA. Pemeriksaan

kepala dan leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring dilakukan untuk menilai

apakah ada kelainan anatomi kraniofasial, obstruksi nasal, obstruksi retropalatal

ataupun obstruksi retroglossal yang bisa menjadi faktor risiko kejadian

OSA. Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan

radiologi seperti cephalometry dan x-rays untuk menunjang pemeriksaan fisik dan

memastikan apakah ada abnormalitas dari anatomi kraniofasial atau CT scanning dan

MRI juga bisa digunakan untuk menunjang diagnosa (Welch, 2008).

Selain itu, ada juga pemeriksaan khusus untuk diagnosa OSA, yaitu uji

subjektivitas seperti Epworth Sleepiness Scale (ESS), Multiple Sleep Latency Testing

(18)
(19)

Gambar 2.6. Gambaran Pemeriksaan Polysomnography CSA dan OSA (Plen & Pack, 2010)

2.2.9. Pencegahan OSA

a.

Walaupun terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat dikontrol seperti

jenis kelamin, etnis, dan faktor genetik, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan

untuk mencegah kejadian OSA. Pencegahan OSA dapat berupa (Webmed, 2009):

Diet Sehat

Cara terbaik untuk mencegah OSA adalah menjaga kondisi tubuh supaya tetap

sehat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, obesitas merupakan faktor

risiko paling besar dan sering menyebabkan OSA. Solusi untuk mencegah

(20)

teratur untuk menjaga supaya berat badan tetap ideal. Hal tersebut dapat

dicapai dengan melakukan olahraga 3-4 jam sebelum tidur dan tidak

mengemil di larut malam.

b. Memonitor Tekanan Darah

c.

Seseorang dengan tekanan darah tinggi lebih mungkin menderita OSA dan

sekitar 30% dari orang-orang dengan tekanan darah tinggi menderita OSA.

Akan tetapi, seseorang yang menderita OSA juga lebih cenderung mengalami

tekanan darah tinggi. Oleh karena itu, memonitor dan menjaga supaya tekanan

darah tetap normal tidak hanya membantu mencegah OSA tetapi juga

mencegah terjadinya penyakit lain.

Mencegah Penggunaan Alkohol, Obat Tidur, dan Merokok

Mengkonsumsi alkohol dan obat tidur lebih cenderung membuat jalan napas

menjadi kolaps. Akibatnya, periode apnea menjadi meningkat. Alkohol dan

obat tidur dapat memperberat kolapsnya saluran napas atas saat tidur karena

otot pernapasan menjadi rileks dan jatuh sehingga menyebabkan OSA. Sama

halnya dengan merokok yang dapat menyebabkan saluran napas atas

membengkak dan membuat jalan napas menjadi sempit sehingga timbul

gejala mendengkur dan juga menyebabkan OSA. Oleh karena itu, pencegahan

konsumsi alkohol, obat tidur, dan merokok dapat mencegah OSA

d.

.

Mengubah Posisi Tidur

Untuk seseorang yang lebih cenderung menderita OSA (misalnya pada orang

yang obesitas), tidur terlentang harus dihindari karena pada beberapa kasus

lidah mejadi lebih cenderung jatuh dan menutupi jalan napas. Posisi tidur

terbaik untuk mencegah OSA adalah posisi tidur menyamping.

2.3. 2.3.1.

Hubungan antara Obesitas dengan OSA Anatomi Saluran Napas

Secara struktural, sistem pernapasan dibagi menjadi saluran napas atas dan

(21)

yang berhubungan. Sedangkan saluran napas bawah terdiri dari laring, trakea,

bronkus, dan paru-paru (Tortora & Derrickson, 2009).

Fungsi sistem pernapasan juga dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu

conducting zone dan respiratory zone. Pada conducting zone, sistem pernapasan

berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara dari luar kemudian

mengkonduksi udara tersebut masuk ke dalam paru. Conducting zone terdiri dari

hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminal.

Sedangkan pada respiratory zone, fungsi sistem pernapasan adalah lokasi utama

dalam pertukaran gas dengan darah. Respiratory zone terdiri dari bronkiolus

respiratori, alveolar ducts, alveolar sacs, dan alveoli (Tortora & Derrickson, 2009).

Gambar 2.7. Anatomi Sistem Pernapasan (Tortora & Derrickson, 2009)

Pada penderita OSA, terjadi gangguan tidur yang melibatkan penghentian atau

penurunan yang signifikan dari aliran udara oleh karena adanya obstruksi jalan napas.

Penyebab dari obstruksi jalan napas pada OSA bisa karena faktor struktural seperti

(22)

prediktor terjadinya OSA karena menyebabkan penyempitan jalan napas di daerah

leher (Downey, 2012).

Gambar 2.8. Anatomi Saluran Napas Atas pada Orang Normal dan Orang Obesitas (Victor, 1999)

2.3.2. Mekanisme Patofisiologi Obesitas Menyebabkan OSA

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering menyebabkan

OSA. Diperkirakan hampir 30% pasien dengan IMT ≥30 kg/m 2 dan 50% pasien

dengan IMT ≥40 kg/m2 menderita OSA ( Downey, 2012). Pada pasien obesitas yang

sebagian lemaknya lebih terakumulasi di daerah leher ataupun lidah, akan lebih

berisiko menderita OSA. Suatu penelitian New Zealand Obese mouse melakukan

penelitian terhadap polygenetic mouse yang obesitas, didapatkan adanya pembesaran

dari ukuran lidah dengan menggunakan three-dimensional MRI (Plen & Pack, 2010).

Penumpukan lemak di daerah lidah sehingga ukuran lidah menjadi lebih besar

ataupun di daerah leher tersebut menyebabkan penyempitan saluran napas atas pasien.

Hal ini akan menimbulkan gejala mendengkur saat tidur. Mendengkur merupakan

gejala dini akibat adanya penyempitan saluran napas atas saat tidur. Jika terjadi

penyempitan saluran napas atas yang progresif pada pasien, maka dapat

(23)

Pada pasien obesitas yang tidur dengan posisi supine, hal ini dapat

memperberat keadaan pasien karena ukuran lidah yang lebih besar dan posisinya

menjadi lebih jatuh ke arah bawah sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas.

Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas atas, hipoksia,

dan hypercapnia sehingga memicu penderita terbangun dari tidur. Oleh sebab itu,

pada penderita OSA sering terjadi fragmentasi tidur dan menimbulkan gejala EDS

(Arifin et al., 2010).

Penderita OSA dengan obesitas juga berkonsekuensi menderita keadaan

patologis lainnya seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes dengan

resistensi insulin, dan lain-lain (Plen & Pack, 2010).

Gambar 2.9. Mekanisme Patofisiologi OSA (Plen & Pack, 2010)

Gejala EDS paling sering dihubungkan dengan kecelakaan lalu lintas.

(24)

mengendarai kendaraan per tahun berhubungan dengan rasa kantuk dan 1500

diantaranya meninggal tiap tahun (Rodriguez & Berggren, 2006).

2.3.3.

Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui

apakah seseorang berisiko menderita OSA. Pada tahun 1999, Netzer et al., membuat

kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam

menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner

Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki RDI >5

(Netzer et al., 1999).

Pengukuran Risiko Menderita OSA

Kuesioner Berlin merupakan hasil diskusi dari Conference on Sleep in

Primary Care, yang mana melibatkan 120 orang Amerika Serikat dan Jerman yang

merupakan pulmonary dan primary care physicians dan diadakan pada bulan April

1996 di Berlin. Pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner dipilih berdasarkan

faktor-faktor risiko (obesitas, hipertensi) dan prilaku (mendengkur, rasa kantuk yang

berlebihan pada siang hari) yang berhubungan dengan timbulnya gangguan

pernapasan saat tidur. Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu

pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur;

tiga pertanyaan utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan

satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu kategori 1 (Pertanyaan-pertanyaan-

pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaan-

(pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS); kategori 3 ((pertanyaan-pertanyaan tentang

riwayat tekanan darah tinggi) (Netzer et al., 1999).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika

terdapat gejala yang persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) pada ≥2

pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi

(25)

(lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika

memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30kg/m 2. Jika seseorang

berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki

risiko tinggi menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori

pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer

et al., 1999).

Gambar

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa
Gambar 2.1. Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut Kategori
Gambar 2.2.  Persentase Status Gizi Penduduk Dewasa Menurut IMT dan
Gambar 2.3. Stadium Tidur Manusia (Czeisler et al., 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi telah diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Peternakan Universitas

Penelitian dengan pendekatan pengelolahan tanaman terpadu (PTT) pada jagung dilaksanakan di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada musim kemarau 2006, pada lahan sawah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kasus kejahatan tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya masuk dalam jenis tindak pidana korupsi gratifikasi

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Di situlah tempat tinggal orang yang berahi kepada Allah, berahikan surga pun tidak, dengan neraka pun dia tidak takut, karena pada orang berahi yang wasal jannah (sampai

Penggunakan sistem informasi sumber daya informasi dengan menggabungkan model DSS dan metode fuzzy logic dapat memberikan solusi bagi manajemen dalam proses pengadaan

Sampel urin yang digunakan untuk urinalisa khususnya dalam pemeriksaan skrining maupun diagnosa infeksi saluran kemih tidak boleh dilakukan penundaan transport

Sindrom ini termasuk ke dalam golongan Obstructive Sleep Apneu (OSA), dengan nilai AHI &gt; 5/jam, didapatkan 90% dari mereka dengan OHS selain dari itu ada yang tidak memiliki OSA