• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM

KEADAAN MEMBERATKAN

(Studi Kasus Putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MUHAMMAD RIVAI NIM : 110200274

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 8

(2)
(3)

ABSTRAK Muhammad Rivai*

Nurmalawaty **

Mahmud Mulyadi **

Anak yang telah melakukan perbuatan atau tindak pidana, maka terhadap orang tersebut diancam suatu hukuman atau pemidanaan. Pemidanaan diartikan sebagai suatu upaya untuk menyadarkan para pelaku tindak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sosial dan keagamaan, sehingga tercapai masyarakat yang aman, tertib dan damai.

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (field research). Analisis data yang digunakan adalah data kualitatif.

Pengaturan tentang tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 365 KUHPidana yaitu tindak pidana pencurian ini dilakukan dengan melakukan modus kekerasan yang dilakukan pelaku kepada korbannya. Peraturan yang mengatur tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh anak tersebut yaitu memberikan sanksi pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Anak. Ketentuan hukum tentang peradilan anak di Indonesia adalah bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Anak antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan berdasarkan putusan Nomor 42/Pid.Sus- Anak/2016/PN.Mdn, maka terhadap anak dijatuhi pidana dengan penjara selama 4 (empat) bulan di Lembaga Pemasyarakat Khusus (LPKA) sudah tepat dan sesuai dengan rasa keadilan dan juga mempertimbangan masa depan anak

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis penjatkan yang tidak henti-hentinya kehadirat Allah Swt karena dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntut umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul : " Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan (Studi Kasus Putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)”. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah dengan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Rektor USU Medan 2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum sebagai Dekan FH. USU

Medan.

(5)

3. Bapak Dr. O.K Saidin, SH.M.Hum, sebagai Wakil Dekan I FH. USU Medan 4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH.MHum sebagai Wakil Dekan II FH. USU

Medan.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU Medan

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH.MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

7. Ibu Liza Erwina, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

8. Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum sebagai Pembimbing I yang bersedia memberikan masukan dan perbaikan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum sebagai Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan pembuatan skripsi.

10. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini juga staf administrasi yang terlalu banyak membantu penulis dalam penyelesaian administrasi di Fakultas Hukum USU Medan

11. Terima kasih yang sebesar-besarnya dari penulis kepada ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kasih sayang, perhatian dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

(6)

12. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukung penulis, terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

13. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Allah Swt yang dapat membalas budi baik semuanya

Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Maret 2018 Penulis

Muhammad Rivai

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI. ... vi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

a. Latar Belakang ... 1

b. Rumusan Masalah ... 10

c. Tujuan Penulisan ... 11

d. Manfaat Penulisan ... 11

e. Keaslian Penulisan ... 11

f. Tinjauan Kepustakaan ... 12

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ... 12

a. Tindak Pidana ... 12

b. Tindak Pidana Pencurian ... 17

c. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan ... 18

2. Batasan Usia Anak ... 18

a. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak ... 18

b. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 21

g. Metode Penelitian ... 21

h. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II : PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ... 24

A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencurian ... 24

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian ... 31

C. Ketentuan Sanksi Tindak Pidana Pencurian ... 38

(8)

BAB III : KETENTUAN HUKUM TENTANG PERADILAN PIDANA

ANAK DI INDONESIA ... 46

A. Fungsi dan Tujuan Peradilan Pidana Anak ... 46

B. Sanksi Pidana Terhadap Anak ... 67

BAB IV : PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 42/PID.SUS-ANAK/2016/PN.MDN ... 79

A. Posisi Kasus ... 79

1. Kronologi ... 79

2. Dakwaan... 81

3. Fakta-Fakta Hukum... 81

4. Tuntutan ... 82

5. Putusan ... 83

B. Analisa Kasus ... 83

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai tindak kejahatan sering terjadi di masyarakat, misalnya pencurian, perampokan, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Dari semua tindak kejahatan tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, seperti keterpaksaan seseorang melakukan tindak kejahatan pencurian yang dikarenakan faktor ekonomi, faktor lingkungan atau terikut dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan sebagainya. Kesemua tindak kejahatan yang terjadi tersebut harus mendapat ganjaran yang setimpal atau seimbang, sehingga dengan demikian agar ketertiban, ketentraman dan rasa keadilan di masyarakat dapat tercapai dengan baik.

Membahas hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek sifat melawan hukum, kesalahan dan pidana) akan selalu menarik perhatian, berhubungan dengan sifat dan fungsinya yang istimewa. Sering dikatakan bahwa hukum pidana mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder yaitu sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar.1

1 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002, hlm.16.

(10)

Penuangan ketentuan pidana ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah realisasi dari pada usaha manusia untuk melindungi kesejahteraan bersama, kesentosaan dan keadilan sebagaimana dicita-citakan dalam hukum sesuatu bangsa khususnya dan umat manusia umumnya.

Seseorang yang telah melakukan perbuatan atau tindak pidana, maka terhadap orang tersebut diancam suatu pidana. Bagian yang tidak terpisahkan dalam hukum pidana adalah masalah pemidanaan. Bukan merupakan hukum pidana apabila suatu peraturan hanya norma tanpa diikuti dengan suatu ancaman pidana. Meski bukan yang terutama akan tetapi sifat dari pidana merupakan suatu penderitaan. Pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang dianggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalaninya walaupun demikian sanksi pidana bukanlah semata-mata bertujuan untuk memberikan rasa derita.

Pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2

Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran yang dilakukan anak tersebut dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak

2 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 3

(11)

berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu dilakukan.1

Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Deliquency. Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.2 Sedangkan Juvenile Deliquency menurut Romli Atmasasmita merupakan perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma- norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.3

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

1 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, 2010, hlm. 103.

2 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2007, hlm.11.

3 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 2003, hlm. 40.

(12)

Anak dalam tata kehidupan masih berada dalam masa perkembangan atau pertumbuhan fisik dan mental yang belum stabil/matang. Pada umumnya anak mengalami krisis identitas pada tahap kehidupannya. Krisis identitas anak tergantung pada lingkungan yang ikut menentukan pembentukan identitas atau pribadinya bila lingkungan yang menentukan akan memungkinkan dia menjadi seorang yang matang pribadinya sedang lingkungan buruk biasanya mendorong ke hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas tersebut.

Kejahatan anak secara psikologis berangkat dari terputusnya harapan anak dalam mencari identitas diri. Anak-anak demikian sering terjebak dalam pergaulan yang melanggar hukum, seperti minum-minuman keras, narkotika dan tindak pidana serta perbuatan kriminil lainnya. Sikap dan perilaku anak yang melanggar ketertiban, melanggar hukum disertai tindak kriminal, selalu berakhir berurusan dengan aparat penegak hukum. Anak kurang memahami bahwa hukum ada dalam kehidupan masyarakat, dan dijunjung tinggi sebagai bagian kehidupan dalam masyarakat. Umumnya anak kurang memahami bahwa tujuan pokok diadakan hukum, termasuk hukum pidana adalah untuk melindungi individu atau warga negara Indonesia dari kemungkinan tindak kejahatan. Jika ditindak karena anak melanggar hukum berarti berusaha memberi perlindungan kepada warga masyarakat dari gangguan pelanggaran hukum seperti : pencurian, pemerasan, ancaman dan tindak pidana lainnya yang terjadi dalam masyarakat. Tindakan anak

(13)

melakukan pencurian termasuk tindakan yang melanggar hukum, dan menimbulkan kerugian pada masyarakat lingkungannya serta keluarga.

Menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan dan pengembangan perilaku anak tersebut. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap pelaku kejahatan di bawah umur diupayakan agar anak yang dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya, seperti yang dikatakan Soeaidy Sholeh bilamana hubungan antara orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap di pertimbangkan bahwa pemisahan tadi adalah semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.4

Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang dengan baik. Perbedaan itu dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi keluarga dan masyarakat.

Seorang anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan.

Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang

4 Soeaidy Sholeh, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hlm. 24

(14)

berlaku. Perlindungan ini perlu, karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan, perawatan dan penanganan khusus.

Upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Perspektif peradilan pidana anak, dalam sistim peradilan anak mempunyai kekhususan, dimana terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Sama halnya dengan orang dewasa, ketika seorang anak berhadapan dengan hukum maka kepadanya juga diancam dengan hukuman pidana. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka peraturan yang dipergunakan adalah yang ada dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 45, 46 dan 47. Hukuman yang dijatuhkan sama dengan hukuman orang dewasa hanya dikurangi sepertiganya dengan pengecualian hukuman mati.

Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, telah membawa perubahan baru terkait dengan pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak khususnya anak

(15)

sebagai pelaku kejahatan sehingga ketentuan didalam Pasal 10, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 KUHP tidak lagi digunakan untuk anak. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak dikenal adanya pembatasan umur untuk anak dapat diadili pada sidang anak yaitu Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Secara tertulis dalam hukum pidana Indonesia tidak pernah dijumpai aturan yang menggariskan suatu pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan hukuman pidana penjara sehingga cenderung membawa konsekwensi karena tidak adanya landasan hukum berpijak bagi Hakim sebagai pedoman di dalam memberikan dasar pertimbangan tersebut.

Oleh karena itu yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak yang terpenting adalah pertimbangan yuridis yakni menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul yang merupakan konklusi dari keterangan para saksi dan keterangan terdakwa anak dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di sidang pengadilan. Setelah itu barulah pertimbangan subjektif Hakim atau keyakinannya dengan dasar Moral Justice dan Social Justice, serta asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum atau pertimbangan non yuridis.5

Moral Justice berarti Hakim mendasari pertimbangan dalam mengadili dan memutus perkara tindak pidana anak selain memperhatikan hukum positif, harus juga memperhatikan faktor kriminologi, sosiologi dan psikologi. Dari sisi

5 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung, 2009. hlm. 93

(16)

sosiologis perkembangan anak, dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana adalah kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Sedangkan dari aspek psikologis, anak bisa dikategorikan sebagai manusia yang belum cakap, dalam artian dalam memutuskan untuk melakukan perbuatan, pikiran, kejiwaan dan alam sadarnya lebih didorong oleh faktor emosionalnya, bukan logika berpikirnya yang sempurna selayaknya orang dewasa. Oleh karena itu anak nakal cenderung berasal dari keluarga yang tidak harmonis dimana sang anak mencontoh perbuatan dari orang-orang terdekatnya yaitu keluarga.6

Aspek berikutnya adalah Social Justice, dimana Hakim tidak hidup di singgasana melainkan hidup bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya yang bersifat heterogen. Dengan demikian Hakim dalam menegakan hukum positif (law in book) dapat mewujudkan keadilan sosial (law in action), sehingga putusan Hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi memberikan keadilan yang bermanfaat demi kepentingan anak tersebut juga kepada lingkungan sosialnya termasuk orang tua serta masyarakat sekitarnya. Fakta-fakta dalam persidangan dan asas-asas tersebutlah yang menjadi dasar apakah cukup adil hukuman pidana yang dijatuhkan dengan perbuatan yang dilakukan.7

Terkait dengan sanksi bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang berupa sanksi pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok, ada 5 (lima) macam sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, yaitu:

6 Ibid. hlm. 94.

7 Ibid. hlm. 95.

(17)

1. Pidana peringatan 2. Pidana dengan syarat:

a. Pembinaan di luar lembaga b. Pelayanan masyarakat.

c. Pengawasan 3. Pelatihan kerja

4. Pembinaan dalam lembaga.

5. Penjara

Mengenai pidana tambahan berdasarkan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 ada dua macam, yakni:

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

2. Pemenuhan kewajiban adat

3. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain pidana pokok dan pidana tambahan yang dapat dikenakan pada anak pelaku tindak pidana, maka terdapat tindakan yang dapat dijatuhkan adalah : 1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja;

(18)

3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Pidana perampasan kemerdekaan yang berupa pidana penjara ini dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak nakal tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama 10 tahun.

Penjatuhan pidana pada anak-anak menurut Jonkers, bahwa titik beratnya bukan pada pembalasan atau kehendak penguasa untuk memberi nestapa, tetapi adanya keinginan untuk memberikan kesempatan yang baik pada anak yang berbakat sebagai penjahat, untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna, apabila ditempatkan di luar lingkungan yang jahat atau tidak mengenal tata tertib.8

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dalam penulisan skripsi ini dipilih judul tentang: Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan (Studi Kasus Putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan ? 2. Bagaimana ketentuan hukum tentang peradilan pidana anak di Indonesia ?

8 Jonkers, Buku Pedoman Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 330.

(19)

3. Bagaimana penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan berdasarkan putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

2. Untuk mengetahui ketentuan hukum tentang peradilan pidana anak di Indonesia.

3. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan berdasarkan putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn.

D. Manfaat penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan adalah:

1. Secara teoritis memberikan sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum pidana.

2. Secara praktis bermanfaat kepada masyarakat umum agar mendapatkan pemahaman hukum secara praktis tentang penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan berdasarkan putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian

(20)

dengan Kekerasan dalam Keadaan Memberatkan (Studi Kasus Putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian a. Tindak Pidana

Seperti diketahui bahwa istilah het strafbare feit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang artinya antara lain sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dapat/boleh dihukum.

2) Peristiwa pidana 3) Perbuatan pidana 4) Tindak pidana.9

Tentang apa yang diartikan dengan strafbaar feit (tindak pidana) para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda.

Menurut M Hamdan merumuskan strafbaar feit adalah

Suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur yaitu :

9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hm.26

(21)

1) Unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan.

2) Unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.10

Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya Mulyatno menyebutkan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan- perbuatan yang melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. 11

R. Tresna menyebutkan bahwa :

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang- undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Ia juga menyatakan bahwa supaya suatu perbuatan dapat disebut peristiwa pidana, perbuatan itu harus memenuhi beberapa syarat yaitu :

1) Harus ada suatu perbuatan manusia

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan umum

3) Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat yaitu orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan.

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam Undang-Undang.12

R. Soesilo menyebutkan bahwa :

Tindak pidana adalah sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman. Dalam hal ini tindak pidana itu juga terdiri dari dua unsur yaitu :

1) Unsur yang bersifat objektif yang meliputi :

a) Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana.

10 M. Hamdan., Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm.8

11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.54

12 R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 2009, hlm.28

(22)

b) Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.

c) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.

d) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.

2) Unsur yang bersifat subjektif yaitu unsur yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar. 13

Perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : 1) Melawan hukum

2) Merugikan masyarakat 3) Dilarang oleh aturan pidana

4) Pelakunya diancam dengan hukuman pidana.14

Perbuatan itu menjadi suatu tindak pidana adalah dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, sedangkan melawan hukum dan merugikan masyarakat menunjukkan sifat perbuatan tersebut. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan merugikan masyarakat belum tentu hal itu merupakan suatu tindak pidana sebelum dipastikan adanya larangan atau aturan pidananya (Pasal 1 KUHPidana) yang diancamkan terhadap pelakunya. Perbuatan yang bersifat melawan hukum dan yang merugikan masyarakat banyak sekali, tetapi baru masuk dalam lapangan hukum pidana apabila telah ada larangan oleh peraturan pidana dan pelakunya diancam dengan hukuman.

Sesuatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak, haruslah dilihat pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (hukum pidana positif). Di dalam KUH.Pidana yang berlaku sekarang ini, tindak pidana ini dibagi menjadi

13 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 2008, hlm.26

14 M. Hamdan., Op.Cit, hlm.10

(23)

dua kelompok yaitu kejahatan yang diatur dalam Buku Kedua dan pelanggaran yang diatur dalam Buku Ketiga. Apa kriteria yang dipergunakan untuk mengelompokkan dari dua bentuk tindak pidana ini, KUH.Pidana sendiri tidak ada memberikan penjelasan sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang berat, dan pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang ringan. Hal ini juga didasari bahwa pada kejahatan umumnya sanksi pidana yang diancamkan adalah lebih berat daripada ancaman pidana yang ada pada pelanggaran.

Ilmu Hukum Pidana mengenal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya adalah :

1) Tindak pidana formil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Jadi tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantum atau dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan (pidana). Misalnya Pasal 362 KUH.Pidana perbuatan yang dilarang tersebut adalah mengambil milik orang lain.

2) Tindak pidana materil

Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang dilarang (dalam suatu Undang-Undang).

Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang (dari suatu perbuatan) itu telah terjadi. Misalnya Pasal 338 KUH.Pidana, akibat yang dilarang tersebut adalah hilangnya nyawa orang lain.

3) Tindak pidana comisionis

Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Undang- Undang.

4) Tindak pidana omisionis.

Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh Undang- Undang. Misalnya Pasal 522 KUH.Pidana, tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan.

5) Tindak pidana aduan (klachtdelict).

Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat dilakukan penuntutan, apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan, maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut. Misalnya Pasal 284

(24)

KUH.Pidana, tindak pidana perzinahan, dengan demikian delik aduan ini dapat diketahui langsung dari bunyi rumusan pasal.15

Menurut Sudarto, bahwa secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal yaitu :

1) Perbuatan yang dilarang

2) Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu

3) Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu.16

Mengenai kata perbuatan yang dilarang, dalam hukum pidana mempunyai banyak istilah yang berasal dari bahasa Belanda (Het Strafbare feit) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia antara lain :

1) Perbuatan yang dilarang hukum 2) Perbuatan yang dapat dihukum 3) Perbuatan pidana

4) Peristiwa pidana 5) Tindak pidana.

6) Delik (berasal dari bahasa Latin delictum).17

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu Undang-Undang. Pertanggung jawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

15 R.Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHLM.Pidana Indonesia, Eresco,Bandung, 2002, hlm.106

16 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 2003, hlm.62

17 M. Hamdan, Op.Cit, hlm.8

(25)

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar Undang-Undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun hukuman tambahan.

b. Tindak Pidana Pencurian

Pengertian Tindak Pidana Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama- lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh rupiah”.

Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan “mengambil”. Menerjemahkan perkataan “zich toe eigenen” dengan

“menguasai”, oleh karena didalam pembahasan selanjutnya pembaca akan dapat memahami, bahwa “zich toeeigenen” itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari pengertian “memiliki”, yang ternyata sampai sekarang banyak dipakai di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun benar bahwa perbuatan “memiliki” itu sendiri termasuk di dalam pengertian “zich toeeigenen” seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut.18

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007, hlm. 49

(26)

c. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan.

Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Pasal 362 KUHP dikatakan‚

pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian‛. Dengan demikian perampokan juga dapat dikatakan sebagai pencurian atas suatu barang.19

Pencurian dengan kekerasan memang sangat berbeda dengan pencurian.

Namun substansi yang ada dalam pencurian dengan kekerasan sama dengan pencurian. Letak perbedaan keduanya pada teknis dilapangan, pencurian dengan kekerasan adalah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui sang korban, sedangkan pencurian identik dilakukan saat tidak diketahui korban.

Pencurian dengan kekerasan pada hukum positif (KUHP) dikategorikan dalam delik pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam pasal 365 KUHP yaitu pencurian yang didahului, disertai, diikuti dengan kekerasan yang ditujukan pada orang dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan aksinya.

2. Batasan Usia Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang

19 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, h.12

(27)

memiliki peranan strategis, mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental dan sosial, secara utuh selaras dan seimbang.

Anak sebagai generasi penerus yang sering dikumandangkan sebagai pewaris bangsa, tunas-tunas muda harapan bangsa, pada setiap zamannya mempunyai tanggung jawab untuk melangsungkan perjuangan bangsa dalam mencapai cita-cita nasional seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.

Meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian hukum nasional telah dirumuskan ke dalam bangunan-bangunan pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hukum, seperti berikut ini:

a. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 ayat (3) merumuskan bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

(28)

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak. Batas usia anak yang dimaksud adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.

Untuk menetapkan ketentuan hukum yang lebih berprospek dalam meletakkan batas usia maksimum seorang anak, akan ditemukan pendapat yang sangat beraneka ragam kedudukan hukum yang diberikan pada status kedewasaan seseorang anak.

Menurut Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan:

(1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana

(2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut

Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana

(4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

b. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

(29)

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

D. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang bertitik tolak dari pemasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik

(30)

dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap20 yaitu tentang penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalari data primer dan data sekunder.

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder diperoleh melalui:

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini dipergunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Alat Pengumpul Data

Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

4. Analisis Hasil

Data yang terkumpul tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan menggunakan analisis kualitatif atau dijabarkan dengan kalimat. Analisis

20 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003, hlm.16.

(31)

kualitatif adalah analisa yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan

BAB II : Pengaturan tentang Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan yang terdiri dari sub bab : Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencurian, Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian, Ketentuan Sanksi Tindak Pidana Pencurian.

BAB III Ketentuan Hukum Tentang Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, terdiri dari sub bab : Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak, Sanksi Pidana Terhadap Anak

Bab IV penerapan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan berdasarkan putusan Nomor 42/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Mdn terdiri dari sub bab : Posisi Kasus, dan Analisa Kasus.

BAB V Kesimpulan dan Saran.

(32)

BAB II

PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pencurian

Pencurian menunjukkan kecenderungan meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, hal ini tentunya meresahkan masyarakat dan menjadi salah satu penyakit masyarakat yang harus ditindak secara seksama. Mengenai tindak pidana pencurian diatur dalam BAB XXII Buku II Pasal 362 KUHP yang berbunyi

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

KUHP tidak memberikan pengertian dari pencurian, hal ini dapat diketahui dalam KUHP BAB IX buku I tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang tersebut tidak dijelaskan. Di dalam rumusan Pasal 362 KUHP dapat diketahui bahwa tindak pidana pencurian itu merupakan tindak pidana yang diancam hukuman adalah suatu perbuatan yang dalam hal ini adalah

“mengambil” barang orang lain. Tetapi tidak setiap mengambil barang orang lain adalah pencurian, sebab ada juga mengambil barang orang lain dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya dan untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah setiap mengambil barang melainkan ditambah dengan unsur maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Sedangkan unsur objektif dari tindak pencurian adalah perbuatan mengambil, barang yang keseluruhan atau sebagian

(33)

milik orang lain,secara melawan hukum,sedangkan unsur subyektifnya adalah untuk dimiliki secara melawan hukum.

KUHP tidak menerangkan mengenai pengertian tindak pidana pencurian secara jelas karena hanya disebutkan tentang unsur-unsur dari tindak pidana tersebut. R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan unsur khas dari tindak pidana pencurian adalah mengambil barang milik orang lain untuk dimilikinya.21 Moelyatno mengemukakan bahwa arti dari tindak pidana pencurian diterangkan mengenai unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang dilarang. Mengenai perbuatan yang dilarang unsur pokoknya adalah mengambil barang milik orang lain.22

Berdasarkan pendapat di atas yaitu mengenai tindak pidana pencurian bertitik tolak dari perbuatan mengambil barang milik orang lain, sehingga dapat diketahui bahwa yang dimaksud pencurian adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain untuk dimiliki secara melawan hukum.

Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu pengertian unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur dalam arti luas. Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP.

21R. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 31

22 Moeljatno, Op.Cit, hlm.16

(34)

Seseorang dapat dikatakan melakukan pencurian biasa jika unsur-unsur tersebut telah terpenuhi dalam tindakan tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Dalam Pasal ini syarat untuk dapat telah terjadinya suatu perbuatan pidana pencurian adalah barang yang curi sudah berpindah tempat, bila barang itu baru dipegang saja maka orang tersebut belum dapat dikatakan telah melakukan pencurian, akan tetapi ia baru melakukan percobaan pencurian.

KUHP mengenal 5 (lima) macam pencurian yaitu:

1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP).

Istilah pencurian biasa digunakan oleh beberapa pakar hukum pidana untuk menunjuk pengertian “pencurian dalam arti pokok”. Pencurian biasa ini perumusannya diatur dalam Pasal 362 KUHP. Menurut R. Susilo menjelaskan unsur-unsur pencurian biasa yaitu sebagai berikut:

a. Elemen-elemen pencurian biasa sebagai berikut:

1) Perbuatan “mengambil”

2) Yang diambil harus “sesuatu barang”

3) Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”

4) Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk “memiliki”

barang itu dengan “melawan hukum” (melawan hak).

b. “Mengambil” = mengambil hak untuk dikuasainya, maksudnya waktu pencuri mengambil barang itu, barang tersebut belum ada dalam kekuasaannya, apabila waktu memiliki itu barangnya sudah ada ditangannya, maka perbuatan ini bukan pencurian tetapi penggelapan (Pasal 372 KUHP). Pengambilan (pencurian) itu sudah dapat dikatakan selesai, apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri.

c. “Sesuatu barang” = segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk), misalnya uang, baju, kalung dan sebagainya. Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan

“gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat attau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang- kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.

(35)

d. Barang itu harus “seluruhnya atau sebagian milik orang lain”.

“Sebagian kepunyaan orang lain” misalnya: A bersama B disimpan dirumah A, kemudian “dicuri” oleh B, atau A dan B menerima barang warisan dari C, disimpan dirumah A kemudian “dicuri” oleh B, suatu barang yang bukan kepunyaan seseorang tidak menimbulkan pencurian, misalnya binatang liar yang hidup di alam, barang-barang yang sudah “dibuang” oleh yang punya dan sebagainya.

e. “Pengambilan” itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk memilikinya. Orang “karena keliru” mengambil barang orang lain itu bukan pencurian. Seorang “menemui” barang di jalan kemudian diambilnya. Bila waktu mengambil itu sudah ada maksud “untuk memiliki” barang itu, masuk pencurian. Jika waktu mengambil itu pikiran terdakwa barang akan diserahkan ke polisi, akan tetapi setelah datang di rumah barang itu dimiliki untuk diri sendir (tidak diserahkan ke polisi), ia salah “menggelapkan” (Pasal 372), karena waktu barang itu dimilikinya sudah berada ditangannya.23

2. Pencurian ringan

Jenis pencurian ini diatur dalam ketentuan Pasal 364 KUHP yang menyatakan: “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 363 ke-4 begitu juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 365 ke-5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Berdasarkan rumusan pasal 364 KUHP, maka unsur-unsur pencurian ringan adalah:

a. Pencurian dalam bentuk yang pokok (Pasal 362)

b. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP).

c. Tindak pidana pencurian yang untuk mengusahakan masuk ke dalam tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang

23 R. Susilo, Op.Cit, hlm. 249.

(36)

bersalah telah melakukan pembongkaran, pengrusakan, pemanjatan atau telah memakai kunci palsu, perintah palsu atau jabatan palsu. Dengan syarat:

1) Tidak dilakukan di dalam sebuah tempat kediaman/rumah

2) Nilai dari benda yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.

3. Pencurian dengan pemberatan

Suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai pencurian berat apabila memenuhi unsur-unsur Pasal 362 KUHP, juga harus memenuhi unsure lain yang terdapat dalam Pasal 363 KUHP. Andi Hamzah menerjemahkan Pasal 363 KUHP sebagai berikut:

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:

1) Pencurian ternak.

2) Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang.

3) Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau dikehendaki oleh orang yang berhak.

4) Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

5) Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(37)

b. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5 maka diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.24

4. Pencurian dengan kekerasan

Pencurian dengan pemberatan kedua adalah pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. Jenis pencurian ini lazim disebut dengan istilah “pencurian dengan kekerasan” atau popular dengan istilah “curas”. Pencurian dengan kekerasan yaitu pencurian yang didahului, disertai, dan diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang seperti yang diatur dalam Pasal 365 KUHP.

Unsur kekerasan dapat berupa mengikat orang yang mempunyai rumah, menutup di dalam kamar dan sebagainya. Kekerasan harus dilakukan pada orang bukan kepada barang dan dapat dilakukan sebelumnya, bersama-sama, atau setelah pencurian dilakukan, asal maksudnya untuk menyiapkan atau memudahkan pencurian, dan jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya atau kawannya yang turut melakukan akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap berada di tangannya.

Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam Pasal 365 KUHP adalah sebagai berikut:

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal

24 Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.173.

(38)

tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.

b. Diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun:

Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.

Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

Ke-tiga jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan dengan membongkar, merusak, atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

c. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

d. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai oleh salah satu hal yang diterang dalam ayat (2) ke-1 dan ke-3.25

5. Pencurian dalam Kalangan Keluarga

Pencurian dalam keluarga ini diatur dalam KUHP Pasal 367, dimana dalam hal ini yang melakukan pencurian itu adalah orang-orang yang berada dalam satu lingkungan keluarga dan oleh karena itu tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu, jika perbuatan itu dilakukan sebelum mereka bercerai meja makan dan tempat tidur maka mereka tidak dapat dihukum karena kedua orang itu sama-sama memiliki harta benda suami isteri dan hal ini juga didasarkan pada tata susila.

Pencurian ini diatur dalam Pasal 367 KUHP yang menyatakan:

(1) Jika perbuatan atau pembantu salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini ada suami (istri) orang yang kena kejahatan itu, yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta benda, maka pembuat atau pembantu itu tidak dapat dituntut hukuman.

(2) Jika suaminya (istrinya) yang sudah diceraikan meja makan tempat tidur atau harta benda, atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin, baik dalam keturuan yang lurus, maupun keturunan yang

25R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 253

(39)

menyimpang dalam derajat yang kedua, maka bagi ia sendiri hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

(3) Jika menuntut adat istiadat keturuan ibu, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari bapak kandung, maka ketentuan dalam ayat kedua berlaku juga bagi orang itu.

Pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 367 KUHP ini merupakan pencurian di kalangan keluarga. Artinya baik pelaku maupun korbannya masih dalam satu keluarga, misalnya yang terjadi, apabila seorang suami atau istri melakukan (sendiri) atau membantu (orang lain) pencurian terhadap harta benda istri atau suaminya.

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian

Unsur-unsur dari kejahatan pencurian tersebut dibagi menjadi dua yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. 26Unsur-unsur tersebut antara lain:

1. Unsur Obyektif :

a. Unsur “mengambil” barang

Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan

“mengambil” barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang dan mengalihkannya ke lain tempat. Sudah lazim masuk istilah pencurian, apabila orang mencuri barang cair seperti misalnya bir, dengan membuka suatu keran untuk mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan di bawah keran itu. Bahkan tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan sepotong kawat yang mengalirkan tenaga listrik itu ke suatu tempat lain yang telah ditentukan.

26 R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 17.

(40)

Perbuatan “mengambil” barang itu tidak ada, apabila barangnya oleh yang berhak diserahkan kepada pelaku. Apabila penyerahan ini disebabkan oleh pembujukan dengan tipu muslihat, maka ada tindak pidana “penipuan”.

Jika penyerahan ini disebabkan ada paksanaan dengan kekerasan oleh si pelaku, maka ada tindak pidana kekerasan, jika paksaan ini berupa kekerasan langsung, itu disebut tindak pidana pengancaman (afdreiging) jika paksaan ini berupa mengancam akan membuka rahasia.27

Unsur perbuatan mengambil barang dengan maksud bahwa suatu barang berada dalam penguasaan mutlak dan mengakibatkan putusnya hubungan antara barang dengan orang yang memilikinya. Menurut PAF.

Lamintang yang secara lengkap dalam bahasa Belanda berbunyi: “Wegnemen is ene gendraging wa ardor man het goed brengthinzijn feitolijke heerrchappij, bedoeling die men ten opzichte van dat goed verder koestert”.

(Mengambil itu adalah suatu perilaku yang membuat suatu benda berada dalam penguasaannya yang nyata atau berada dalam kekuasaannya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksud tentang apa yang diinginkan dengan benda tersebut).28

Mengambil adalah mengambil untuk dikuasai. Maksudnya untuk mengambil barang itu dan barang tersebut belum dalam kekuasaannya, apabila sewaktu memiliki barang itu telah berada ditangannya, maka perbuatan bukan pencurian tapi penggelapan (Pasal 372 KUHP).

Pengambilan (pencurian) itu sudah dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila mana seseorang baru memegang saja barang

27 Ibid, hlm..14

28 PAF. Lamintang , Op.Cit, hlm.13

(41)

tersebut dan belum berpindah tempat, maka perbuatan itu belum dikatakan pencurian, melainkan “mencoba mencuri”.29

Perkembangan dalam Hukum Pidana menyebabkan pengertian perbuatan “mengambil” dapat pula mengalami penafsiran yang luas, seperti yang dipakai oleh pembuat Undang-Undang yaitu tidak terbatas dengan tangan saja melainkan bisa juga mengambil dengan kaki, atau dengan menggunakan satu macam alat lain, sebagaimana teori alat dalam hukum pidana. Misalnya, dengan sepotong kayu atau besi ataupun menghabiskan bensin dalam mengendarai kendaraan tanpa seizin pemiliknya, walaupun tidak berniat mengambil kendaraan itu.

Disamping itu mengambil aliran listrik dari suatu tempat yang dikehendaki dengan cara menempatkan sepotong kabel untuk mengalirkan muatan aliran listrik tanpa melalui alat ukur Perusahaan Listrik Negara (PLN), telah dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan pencurian.

Beberapa teori yang terdapat di dalam doktrin menjelaskan tentang bilamana suatu perbuatan mengambil dapat dipandang sebagai telah terjadi, masing-masing ialah:

1) Teori Kontrektasi

Menurut teori ini adanya suatu perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa dengan sentuhan badaniah, pelaku telah memindahkan benda yang bersangutan dari tempatnya semula.

2) Teori Ablasi

ini mengatakan untuk selesainya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku.

29 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 2005, hlm. 250

(42)

3) Teori Aprehensi

Menurut teori ini, untuk adanya perbuatan mengambil itu diisyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaan yang nyata.30

b. Unsur barang yang diambil

Sifat tindak pidana pencurian ialah merugikan kekayaan korban, maka barang yang diambil harus berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis.

Misalnya barang yang diambil itu tidak mungkin akan terjual kepada orang lain, tetapi bagi si korban sangat dihargai sebagai suatu kenang-kenangan.

Barang yang diambil dapat sebagian dimiliki oleh pencuri, yaitu apabila merupakan suatu barang warisan yang belum dibagi-bagi dan si pencuri adalah seorang ahli waris yang turut berhak atas barang itu. Hanya jika barang yang siambil itu, tidak dimiliki oleh siapapun juga (res nullius), misalnya sudah dibuang oleh si pemilik, maka tidak ada tindak pidana pencurian.

Menurut R. Soesilo memberikan pengertian sesuatu barang adalah segala sesuatu yang berwujud dan bernilai ekonomis termasuk pula binatang (manusia tidak termasuk), misalnya uang, baju, kalung, dan sebagainya.31 Dalam pengertian barang masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat atau pipa. Barang disini tidak perlu mempunyai harga ekonomis. Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas

30 P.A.F Lamintang, OpCit, hlm. 5.

31 R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 250.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah rangkaian sensor force sensitive resistor selesai dirangkai pada arduino maka program di upload pada arduino. Kemudian dipasang pada instrumen pengujian yaitu pada

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang dinamika historis Madrasah Muallimin UNIVA Medan dari Tahun 1958 sampai Tahun 2018. Jenis penelitian ini adalah

Menurut Abu Abdillah Muhammad (1997) dalam kitab al-jawab al-kafi liman saala an dawa kafi, dosa-dosa itu akan mengakibatkan; 1) Tertutupnya seseorang dari mendapatkan

Pedagang (sektor informal) yang sebagian menempati lahan pada elevasi di bawah 90 baik di tempat wisata Wonoharjo Kecamatan Kemusu Kabupaten Boyolali maupun di

merumuskan masalah yang akan dibahas dalam Laporan Akhir ini adalah “ Bagaimana membuat dan merancang suatu aplikasi penilaian jabatan fungsional dengan Daftar Usulan

Praktek Pengenalan Lapangan adalah suatu kegiatan kurikuler yang wajib dilaksanakan oleh seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang khususnya jurusan kependidikan

Sebelum peneliti mengadakan uji coba produk (buku ajar), terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan pakar bidang penyusunan buku ajar bahasa Arab untuk

Tuwoti merupakan varietas yang memiliki anakan terbanyak dan tidak berbeda nyata dibandingkan varietas Inpago 6, Situ Bagendit, dan Limboto, tetapi berbeda