• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Batasan Geomorfologi, Bentuklahan, Medan dan Lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. Batasan Geomorfologi, Bentuklahan, Medan dan Lahan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Modul 1.

Definisi, Ruang lingkup,dan Kontribusi geomorfologi dalam ilmu geografi,

Oleh

Dr. Suprapto Dibyosaputro, M.Sc.

1. Pendahuluan

Matakuliah Geomorfologi Dasar diikuti lebih dari 150 mahasiswa sehingga sistm pengajarannya dilakukan secara paralel. Agar supaya mahasiswa antar klas mendapat kedalaman lukanmateri yang sama, maka dilakukan pengajaran menggunakan Edmoko. Untuk itu diperlukan menyusunan modul tiap sesi pembelaajaran yang disusun oleh semua kelompok pengampu matakuliah tersebut. Modul 1 berisikan tentang Definisi, Ruang lingkup,dan Kontribusi geomorfologi dalam ilmu geografi disusun dengan tujuan agar supaya:

1. Mahasiswa mengerti, menguasai, dan mampu menjelaskan daari geomorfologi.

2. Mahasiswa mengerti, meguasai, dan mempu menjelaaskan lingkup geomorfologi, dan

3. Mahasiswa mengerti dan mempunyai cakrawal yag luas apa-apa saja kontribusi geomorfologi dalam ilmu yang dipelaajari dalam geografi

Pengertian, ruang lingkup geomorfologi sebagai ilmu dan perkembangannya perlu diketahui dan dipahami sebagai dasar untuk dapat menerapkannya pada bergaia kajian geografi.

Dalam Modul I ini, definisi, ruang lingkup dan kontribusi geomorfologi dalam ilmu geografi secara singkat diuraikan untuk menunjukkan bahwa secara keilmuan geomorfologi mempunyai konsep dasar yang kuat, terus berkembang dari waktu ke waktu.

2. Batasan Geomorfologi, Bentuklahan, Medan dan Lahan 2.1. Batasan Geomorfologi

Geomorfologi berasal dari kata Yunani Greek): Ge: yang berarti bumi; morphe yang berarti bentuk, dan logos yang berarti uraian. Arti filologis geomorfologi adalah uraian tentang bentuk muka bumi (Kardono Darmoyuwono, 1972, Chorley, at al., 1984; Panizza, 1996). Arti filologis geomorfologi adalah bentuk bumi, tetapi bukan bentuk bumi secara keseluruhan melainkan lebih ditekankan kepada bentuk kenampakan geometrik dari permukaan buminya (Chorley, et al.,1984). Meskipun sasaran (obyek) yang dikaji geomorfologi itu adalah bentuk muka bumi, tetapi ternyata penekanan kajiannya menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu.

Hal tersebut dapat diketahui dari definisi-definisi yang dikemukakan penulis terdahulu seperti Lobeck (1939); Thornbury (1954); Small (1968); Cooke, at al., (1974), Van Zuidam (1979) Verstappen (1983), dan Anderson, et al,.(2011),.,seperti tersebut di bawah ini.

1) Geomorfologi adalah studi bentuklahan (Lobeck, 1939).

2) Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan tentang bentuklahan (Thornbury, 1954).

3) Geomorfologi adalah studi evolusi bentuklahan, terutama yang dihasilkan oleh erosi (Small, 1968).

4) Geomorfologi adalah studi bentuklahan, terutama mengenai watak/sifat alaminya, asal mula (genesis), proses perkembangan dan komposisi materialnya (Cooke, at al., 1974).

5) Geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuklahan dan proses-proses yang

mempengaruhi pembentukannya, dan menyelidiki hubungan antara bentuklahan dan proses menurut tatanan keruangannya (Van Zuidam, et al., 1979).

6) Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang bentuklahan, pembentuk muka bumi, baik di atas maupun di bawah muka air laut, yang menekankan pada genesis dan

▸ Baca selengkapnya: satuan geomorfologi van zuidam

(2)

perkembangannya di masa datang, serta kaitannya (konteksnya) dengan lingkungan (Verstappen, 1983).

7) Geomorfologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji bentuk permukaan Bumi, dan proses- proses yang mempengaruhi perkembangannya (Anderson, et al., 2011).

Atas dasar definisi tersebut di atas jelas bahwa obyek kajian geomorfologi adalah bentuklahan. Bentuklahan yang menjadi pusat perhatian kajian geomorfologi adalah watak (sifat) alaminya, proses geomorfik, material penyusun, genesis (asal mula), konteksnya dengan lingkungan dan aspek keruangannya. Pada awal perkembangannya yang menjadi pusat kajiannya terbatas pada bentuklahan di daratan saja. Munculnya definisi geomorfologi yang dikemukakan oleh Verstappen 1983 maka obyek kajian geomorfologi merambah ke dasar perairan laut (lautan). Hal tersebut diperkuat oleh Chorley, et al., (1984), yang menyebutkan bahwa obyek kajian geomorfologi tidak terbatas pada bentuklahan di kontinen dan tepiannya saja, tetapi termasuk juga morfologi dasar laut, yang oleh . Anderson et al, (2011) bentuk lahan baik bentuklahan di daratan dan bentuk permukaan dasar laut tersebut cukup disebut dengan bentuk permukaan Bumi.

2.2. Bentuklahan

Bentuklahan yang menjadi sasaran utama dalam geomorfologi perlu batasan yang jelas.

Howard dan Spok (1940, dalam Fairbridge, 1968) memberikan definisi bentuklahan: setiap unsur bentanglahan yang dicirikan oleh ekspresi permukaan yang jelas, struktur internal, atau kedua- duanya dan menjadi pembeda yang cukup mencolok dalam membuat deskripsi fisiografik.

Secara sederhana Tuttle (1970) menyebutkan bahwa bentuklahan adalah kenampakan individual yang terlihat di permukaan bumi, dan kombinasi kenampakan tersebut disebut bentanglahan (landscapes). Contoh sederhana dari bentuklahan adalah bukit, lembah, gunungapi, sedangkan contoh bentanglahan adalah seperti: bukit dengan variasi lereng dan lembah. Way (1973, dalam van Zuidam, 1985) memberikan batasan bentuklahan lebih komprehensif, bahwa bentuklahan adalah kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alami, memiliki komposisi tertentu, memiliki julat karakteristik fisikal dan visual tertentu dimanapun kenampakan medan tersebut terjadi. Misalnya beting gisik (beach ridge) yang terdapat di Glagah (Kulon Progo) akan mirip (dengan julat tertentu) dengan beting gisik yang terjadi di Kroya, Kebumen, Jawa Tengah.

Gunungapi Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah mempunyai karaktersitik fisikal dan visual yang mirip dengan Gunungapi Semeru di Jawa Timur, yang kedua-duanya merupakan bentuklahan gunungapi strato.

2.3. Medan (terrain) dan Lahan (land)

Batasan bentuklahan yang dikemukakan oleh Way (1973) tersebut di atas masih terdapat satu istilah yang memerlukan penjelasan yaitu medan (terrain). Medan adalah sebidang lahan yang dicirikan oleh kompleksitas atribut fisik dari permukaan dan dekat permukaan lahan (van Zuidam, 1979). Batasan medan tersebut masih mengandung kata yang perlu penjelasan, yaitu lahan. Lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan semua atribut yang agak stabil atau diperkirakan siklik dari geosfer, yang secara vertikal meliputi atmosfer, tanah, geologi, geomorfologi, hidrologi, tumbuhan dan hewan, dan hasil aktivitas manusia masa lalu dan sekarang; yang selanjutnya atribut tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap penggunaan lahan saat sekarang dan masa yang akan datang (FAO, 1976).

(3)

Berdasarkan batasan bentuklahan yang seterusnya diikuti penjelasan medan dan lahan maka dapat dinyatakan bahwa istilah bentuklahan itu terletak pada kenampakan yang ada di daratan saja. Padahal obyek kajian geomorfologi itu tidak hanya terbatas pada daratan tetapi juga pada dasar laut (lautan). Oleh sebab itu perlu suatu definisi geomorfologi yang mencakup obyek kajian di daratan dan tepiannya dan di dasar laut (lautan) serta mencakup semua aspek geomorfologi. Istilah bentuklahan yang jelas itu berlaku pada kenampakan di daratan saja, sedangkan kenampakan yang terdapat di dasar laut disebut bentuk dasar laut. Atas dasar obyek kajian geomorfologi dan memperhatikan enam (6) definisi geomorfologi di atas dapat disintesakan definisi geomorfologi sebagai berikut:

“Geomorfologi: adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuklahan dan bentuk dasar laut (an) yang menekankan kepada sifat alami, proses perkembangan, komposisi material, genesis (asal-mula), tatanan keruangannya dan konteksnya dengan lingkungan”.

Apabila diperhatikan dari definisi geomorfologi tersebut di atas dan kenyataan dalam praktek sehari-hari hingga kini, sasaran kajian geomorfologi lebih banyak pada bentuklahan, sedangkan bentuk dasar laut baru dalam taraf perintisan. Memang dapat dimengerti mengapa studi bentuk dasar laut baru mulai berkembang, karena prasarana pada masa lalu masih kurang mendukung. Perkembangan ilmu geofisika dan oseanografi memungkinkan untuk mengkaji konfigurasi bentuk dasar laut. Kemajuan teknologi dan transportasi laut memungkinkan untuk mempelajari karakter dasar laut.

Ilmu pengetahuan itu selalu berkembang, baik metoda maupun obyek kajiannya, demikian juga halnya dengan geomorfologi. Salah satu pendorong bagi perkembangan ilmu pengetahuan adalah manfaat dari ilmu pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Sebagai akibat pertumbuhan penduduk dunia yang cepat, maka perlu penambahan sumberdaya untuk mengimbangi kebutuhannya. Sumberdaya alam di daratan bagi beberapa daerah telah begitu intensif dimanfaatkan sehingga telah menimbulkan degradasi lahan di daratan. Sumberdaya kelautan kiranya dapat menjadi satu alternatif pemecahannya. Geomorfologi yang juga mempelajari bentuk dasar laut (an) dengan segala karakter fisiknya diharapkan dapat memberikan informasi penting yang dapat dijadikan dasar perencanaan dan pengembangan sumberdaya kelautan.

2.3. Fisiografi dan Geomorfologi

Istilah fisiografi sering digunakan untuk menjelaskan subyek yang terkandung dalam geomorfologi. Huxley (dalam Fairbridge, 1968) dalam bukunya berjudul “Physiography”

menyebutkan bahwa fisiografi merupakan uraian tentang hubungan kausal dari fenomena alam.

Morgan (dalam Fairbridge, 1968) menyebutkan bahwa fisiografi itu mencakup faktor utama dan pokok dari unsur fisik, seperti geologi, oseanografi, meteorologi dan astronomi. Fisiografi, terutama yang digunakan di Eropa, mancakup klimatologi, meteorologi, oseanografi dan geografi matematika (Thornbury, 1954). Lobeck (1939) menyebutkan bahwa fisiografi adalah studi tentang daratan (geomorfologi), atmosfer (meteorologi dan klimatologi) dan lautan (oseanografi).

Lingkup dari fisiografi yang dikemukakan oleh Lobeck (1939) tersebut dapat ditunjukkan dengan Gambar 1.1 dan Gambar 1.2. Gambar 1.1 menegaskan bahwa cakupan fisiografi itu meliputi daratan yang dikaji oleh geomorfologi, udara dikaji oleh meteorologi dan klimatologi, sedangkan laut(an) dipelajari oleh oseanografi..Gambar 1.2 menunjukkan kaitan antara fisiografi dan geologi, dan geomorfologi merupakan perpotongan di antara keduanya.

Makna dari kedudukan geomorfologi tersebut adalah dalam mempelajari geomorfologi harus

(4)

dilandasi oleh fisiografi dan geologi. Dalam “Kamus Geografi” (Monkhouse, 1972) fisiografi adalah uraian dari kenampakan alami dan hubungan timbal baliknya. Dalam perkembangan lebih lanjut fisiografi disamaartikan dengan geografi fisik, dan khususnya di Amerika Serikat fisiografi terbatas pada studi bentuklahan yang identik dengan geomorfologi. Van Zuidam (1979) menyebutkan bahwa fisiografi dapat mempunyai dua arti, yaitu : (1) uraian bentuklahan atau medan yang hanya menekankan pada aspek fisik (abiotik) dari lahan; (2) uraian bentanglahan yang mencakup aspek penggunaan lahan, vegetasi dan pengaruh manusia. Dalam terapan praktisnya pengertian pertama yang banyak digunakan, sedangkan pengertian kedua telah banyak ditinggalkan.

FISIOGRAFI

GEOLOGI

METEOROLOGI- KLIMATOLOGI

OSEANOGRAFI

MINERALOGI- PETROGRAFI

STRATIGRAFI- PALEONTOLOGI

GEOMORFOLOGI

Gambar 1.2. Kedudukan dan kaitan fisiografi dengan ilmu kebumian lain (Lobeck, 1939)

Fisiografi :

Daratan : Geomorfologi

Atmosfer: Meteorologi- Klimatologi

Laut(an): Oseanografi

Gambar 1. Ruang lingkup obyek kajian fisiografi (Lobeck, 1939)

(5)

Atas dasar batasan dan pengertian dari beberapa rujukan tersebut dapat ditegaskan bahwa fisiografi dalam artian luas mempelajari/menguraikan daratan, atmosfer dan laut (an). Bagian fisiografi yang mempelajari daratan tercakup dalam geomorfologi. Meteorologi dan klimatologi bagian fisiografi yang mempelajari udara, sedangkan oseanografi bagian fisiografi yang mempelajari laut (an). Oleh sebab itu apabila dalam karangan ilmiah terdapat sub bab fisiografi daerah (wilayah), maka seharusnya berisikan uraian tentang geomorfologi, meteorologi, klimatologi dan oseanografi. Apabila yang diuraikan hanya bentang daratan saja maka uraian tersebut seharusnya termasuk uraian geomorfologi.

Apabila dikaitkan dengan pengertian fisiografi dan geomorfologi seperti tersebut di atas maka penggunaan batasan fisiografi dan geomorfologi akan lebih tegas. Fisiografi digunakan apabila uraiannya mencakup seluruh aspek fisik, daratan, udara dan laut (an), dan apabila batasan pada aspek fisik daratan saja maka yang digunakan adalah geomorfologi.

3. Kedudukan Geomorfologi dalam Geografi

Sebelum mempelajari geomorfologi lebih lanjut, perlu kiranya mengetahui kedudukannya dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam geografi. Geografi adalah studi tentang karakteristik dan organisasi dari permukaan Bumi. Cakupan geografi itu cukup luas, sehingga untuk mengkajinya dikelompokkan menjadi geografi regional dan geografi sistematik. Geografi regional menekankan pada diferensiasi perwilayahan dari permukaan Bumi.

Geografi sistematik dibedakan menjadi geografi manusia yang mengkaji proses-proses sosial, ekonomi dan perilaku manusia, dan geografi fisik yang mengkaji proses-proses alamiah yang terjadi di permukaan Bumi yang menjadi tempat manusia beraktivitas. Geografi sistematik sebagai pembingkai geografi fisik dan geografi sosial, dan disiplin ilmu pendukungnya tercantum pada Gambar 3. Disiplin ilmu pendukung geografi fisik terletak di sisi kiri dari Gambar 3. yang salah dia antaranya adalah geomorfologi. Geografi fisik sebagai induk dari geomorfologi perlu diketahui penegrtian dan lingkup kajiannya.

Geografi Fisik adalah cabang geografi yang berkaitan dengan identifikasi, uraian, analisis elemen bio-khemikal lingkungan; interpretasi sistem lingkungan pada semua skala, baik spasial maupun temporal, pada bidang temu antara atmosfer, biosfer, hidrosfer, litosfer dan masyarakat, dan penentuan daya lenting dari suatu sistem terhadap gangguan, termasuk aktivitas manusia (Strahler and Strahler, 2003). Obyek kajian geografi fisik adalah lapisan hidup, yaitu lapisan tipis di permukaan Bumi tempat hidup kebanyakan kehidupan, tempat pertemuan daratan, lautan dan atmosfer, dan menyelidiki proses-proses yang terjadi pada lapisan kehidupan. Bidang kajiannya meliputi biogeografi, klimatologi, geomorfologi, geografi tanah dan hidrologi, yang substansinya meliputi tumbuhan dan binatang, cuaca dan iklim, bentuklahan dan proses- geomorfik, tanah dan tata air secara spasial. Semua substansi dalam geografi fisik tersebut sebagai sumberdaya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan mahkluk hidup termasuk manusia, dan disamping itu rawan terhadap kerusakan dan pencemaran. Geomorfologi merupakan bagian atau cabang geografi fisik yang menekankan pada bentuklahan dan proses- proses yang mempengaruhinya. Dengan demikian kedudukan geomorfologi dalam ilmu geografi termasuk kelompok geografi fisik, dan menjadi salah satu subyek pokok dalam geografi.

Pembelajaran geografi tanpa dilandasi oleh geomorfologi ibarat bangunan tanpa pondasi atau tanaman tanpa media tanam

(6)
(7)

Gambar 3. Bidang Geografi sistematik, yang menunjukkan kedudukan Geomorfologi dalam geografi fisik (Strahler dan Strahler, 2003)

3. Ruang Lingkup dan Perkembangan Geomorfologi

Ruang Linkup dan peomorfologi yang kita pelajari seperti saat sekarang ini telah melalui pengalaman panjang dalam membangun konsep dasar dan metodologinya. Ada lima fase perkembangan geomorfologi yang dapat ditelusuri, yang masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut ini (Sutikno, 1987).

3.1. Fase pertama (sebelum abad ke 17)

Ruang lingkup fase ini merupakan fase peletak dasar pemikiran geologi dan geomorfologi yang telah dimulai lima abad sebelum Masehi (Thornbury, 1954).

Pandangan kuno yang terkait dengan geologi dan geomorfologi seperti dikemukakan oleh Herodutus (485-425 SM), Aristotle (384-322 SM), Strabo (54 SM – 25 M) dan Senecca (- SM – 65 M).

Herodutus, mengamati penimbunan geluh (loam) dan lempung (clay) oleh S. Nil, sehingga memberikan julukan “Mesir adalah pemberian S. Nil”. Pandangan Herodutus yang lain adalah perbukitan di Mesir yang mengandung kerang, pada masa lampau pernah di bawah permukaan laut.

Aristotle, berpandangan bahwa air yang keluar dari mata air itu berasal dari air hujan yang mengalami perkolasi ke bawah permukan tanah; air yang ada di dalam bumi berasal

Geografi Sistematik Geo.

Fisik

Geo.

Sosial Klimatologi

Geomorfologi Geografi Kepesisiran

Geografi Tanah Biogeografi Sumberdaya Air

Asesmen Bahaya Geografi Rekreasi, Pari.

Geografi Kesehatan

Geografi Budaya Geografi Politik

Geografi Perilaku dan Persepsi Lingkungan Geografi Kependudukan

Geografi Ekonomi Geografi Industri Geografi Kesejarahan

Geografi Pertanian dan Land usea

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Geografi Transportasi

(8)

dari kondensasi di udara yang masuk ke permukaan bumi, dan air yang berada di dalam bumi menguap dengan berbagai jalan.

Strabo, mengamati dan mencatat adanya penenggelaman lokal dan munculnya daratan.

Strabo berpendapat bahwa “Vale of Tompe” merupakan hasil gempa bumi, selain itu juga mengatakan bahwa G. Vesuvius adalah gunungapi, meskipun semasa hidupnya gunungapi tersebut belum pernah meletus. Pandangan Strabo yang lain adalah bahwa delta dari sungai bervariasi menurut daerah aliran sungainya; delta yang besar terbentuk bila daerah yang dialiri luas dan batuannya lemah, dan pembentukan delta terpengaruh oleh pasang surut dan aliran sungai.

Seneca, mengenal gempa bumi lokal alami, tetapi masih menganggap bahwa gempa bumi terjadi sebagai akibat bencana internal dari angin daratan. Seneca juga beranggapan bahwa air hujan cukup untuk mengisi sungai-sungai, dan juga berpandangan bahwa tenaga aliran sungai dapat mengikis lembah-lembahnya.

Avicenna (Ibnu Sina, 987-1037) berpan-dangan bahwa asal mula pegunungan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengangkatan seperti yang terjadi oleh gempa bumi, dan oleh pengaruh air yang mengalir dan embusan angin yang membentuk lembah- lembah pada batuan lunak.

Leonardo da Vinci (1452-1519) berpan-dangan bahwa lembah terkikis oleh sungai dan sungai tersebut mengangkut material dari suatu tempat di permukaan bumi dan mengendapkannya di mana saja.

Dalam fase pertama ini sebagian besar pandangan memberikan teori dasar terutama tentang proses berdasarkan pengamatan lokal, dan berusaha memberikan penjelasan bagaimanakah suatu fenomena alam tersebut terjadi. Pada fase ini ilmu geomorfologi belum muncul, tetapi pandangan-pandangan yang dikemukakan sebagian masih relevan dengan konsep yang berlaku hingga saat ini.

3. 2. Fase kedua (Abad 17 dan 18).

Ruang Lingkup pada fase ini mecakup dua konsep yang menonjol, yaitu konsep katastrofisme dan konsep uniformitarianisme (King, 1976). Konsep katastrofisme dikemukakan oleh Abraham Kitlob Wenner (1979-1817). Konsep tersebut muncul atas dasar pengamatan Wenner pada strata batuan yang ternyata setiap stratum (lapisan) memiliki sifat yang khas. Hasil pengamatan tersebut diformulasikan menjadi konsep lahirnya bumi yang berasal dari basin lautan yang besar. Wenner berpandangan bahwa setiap stratum batuan terjadi pada suatu dasar tubuh perairan yang luas kemudian mengendapkan sedimennya di atas stratum yang ada sebelumnya. Material yang lebih mampat terendapkan oleh larutan yang pekat/kental. Pada waktu material secara berangsur-angsur diendapkan, laut (an) secara berangsur-angsur menyusut sehingga terbentuk daerah yang sekarang ini. Pandangan Wenner lain yang terkait dengan konsep dasar geomorfologi adalah:

a. batuan dasar yang berupa batuan granit tidak berfosil;

b. setiap gradien sungai akan mencapai tingkat keseimbangan, dan gradien sungai merupakan fungsi dari kecepatan, debit dan muatan sedimen;

c. seluruh sistem sungai merupakan suatu sistem yang terintegrasi.

(9)

3.3. Fase Ketiga (Awal abad 19).

Pada fase ke tiga dari perkembangan geomorfologi ada tiga tokoh yang terkenal yaitu: Sir Charles Lyell (1797-1875), Dean William Buckland (1784-1856) dan Louis Agassiz (1807-1873).

Lyell sebenarnya ruang lingkup geomorfologi lebih antusias dalam geologi daripada ke geomorfologi, dengan bukti karyanya yang berjudul “Principle of Geology”. Sumbangan pemikirannya dalam geomorfologi adalah tentang perkembangan bentuklahan yang lambat bahkan melebihi waktu geologi. Meskipun Lyell banyak mengadakan pengamatan terhadap muatan suspensi, debit dan peubah-peubah lainnya, tetapi memberikan suatu konsep yang mendasar. Dalam pengamatannya terhadap gletser (es), Lyell tidak mempercayai kapasitas daya angkutnya dalam memindahkan bongkah dan endapan gletser.

Buckland, sangat setuju dengan siklus hidrologi, akan tetapi tidak begitu mengerti mengapa sungai dapat membentuk lembahnya sendiri. Buah fikiran Buckland yang lain adalah:

a. relief merupakan hasil dari struktur geologi dan bukan oleh proses erosi;

b. material yang terangkut dari hulu dan melalui lembah sungai akan terendapkan di laut;

c. pasang surut merupakan tenaga utama dalam transportasi material di bawah permukaan air laut.

Agassiz, terkenal dengan teori glasialnya, bersama-sama dengan Buckland mengadakan perjalanan ke Swiss. Mereka mengadakan pengamatan terhadap pantai dasar glasial, yang akhirnya menghasilkan formulasi tentang struktur endapan glasial, endapan “till”, karakteristik “moraine”, striasi dan gravel glasial.

3.4. Fase ke empat (Akhir abad 19).

Ruang lingkup kajian geomorfologi pada fase ke empat ini paling tidak ada lima tokoh yang terkenal, yaitu: Sir Andrew Ramsey; G.K. Gilbert; J.W. Powell; C.G.

Greenwood dan J.B. Jukes. Sumbangan fikiran Ramsey (1814-1891) dalam geomorfologi terutama dalam proses glasial. Pendapat penting dari Ramsey, antara lain:

a. ada hubungan penting antara teori glasial dengan teori fluvial; terutama untuk mengetahui tenaga gletser untuk mengerosi;

b. kejadian danau di daerah bergletser tidak dapat dijelaskan dengan proses fluvial, tetapi dapat dijelaskan dengan proses glasial;

c. tenaga erosi dari gletser terutama terdapat pada bagian bawah;

d. ada hubungan antara retakan/lenturan dengan arah sungai.

Powell (1834-1902) banyak memberikan konsep dasar dalam geomorfologi, antara lain : a. prinsip dari “base level” yang menyatakan bahwa “base level” akhir adalah

permukaan air laut;

b. proses erosi itu memiliki potensi relatif;

c. mengusulkan dua klasifikasi lembah sungai, yaitu atas dasar hubungan antara strata lembah daerah yang dilalui dan klasifikasi lembah menurut genetiknya.

Gilbert (1843-1918), memberikan dasar-dasar geomorfologi yang hingga kini masih digunakan. Gilbert terkenal sebagai penulis metode ilmiah dan memformulasikan pemikiran-pemikiran induktif dan deduktif dalam analisis geomorfik. Konsep-konsep geomorfologis yang dikemukakan Gilbert, antara lain:

(10)

a. teori “grade” yang menunjukkan adanya suatu rangkaian hubungan antara proses dan kenampakan, yang kemudian diasosiasikan dengan konsep penyesuaian dinamis;

b. pengangkutan material di sungai meliputi pengangkutan material hasil erosi, erosi dasar sungai dan pengurangan ukuran material dasar oleh proses gesekan/benturan;

c. lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap transportasi material oleh air;

d. bertambahnya debit (luah) akan menyebabkan meningkatnya kecepatan aliran yang selanjutnya memperbesar kecepatan pengangkutan;

e. dalam penyelidikan komponen fisikal harus dilandasi dengan formulasi teori- teori.

Greenwood (1793-1875) adalah pendukung Hutton dan Playfair. Konsep yang dikemukakan oleh Greenwood adalah:

a. proses denudasi pada suatu lahan dapat dijelaskan dengan hujan dan sungai; air hujan yang jatuh di permukaan bumi membawa material halus di sepanjang lereng membentuk alur-alur dan akhirnya membentuk sungai-sungai kecil;

b. lembah dan lereng merupakan suatu sistem yang terintegrasi.

Jukes (1811-1869), mengemukakan pandangannya bahwa erosi marin tidak dapat membentuk lembah. Jukes adalah orang pertama yang mengidentifikasikan peranan vegetasi dalam pembentukan bentuklahan.

3. 5. Fase ke lima (Awal abad 20)

Dalam fase lima ini tokoh yang paling terkenal adalah William Moris Davis (1850-1934). Ruang lingkup kajian geomorfologi mengemukakan tentang Teori “Siklus Geomorfik” yang diterbitkan tahun 1889 dalam makalahnya yang berjudul “The rivers and valleys in Pennsylvania”. Dalam siklus geomorfik tersebut disebutkan bahwa semua bentuklahan akan berkembang menurut tiga stadium, yaitu : stadium muda, dewasa, dan tua. Konsep Davis lainnya yang terkenal adalah trilogi. Konsep trilogi tersebut menjelaskan bahwa bentuklahan ditentukan oleh struktur, proses dan stadium.

Walther Penk dalam tahun 1920 dan 1930 mengemukakan keberatannya terhadap teori Davis. Perbedaannya terletak pada pandangannya terhadap perkembangan bentuklahan. Menurut Penck perkembangan bentanglahan tergantung oleh pengaruh tektonik yang aktif dan iklim. Akhirnya Penck menyadari bahwa pendekatan yang dilakukannya bersifat geologis, sedangkan pendekatan Davis lebih bersifat geografis.

Setelah periode Davis dan Penck banyak buku teks geomorfologi yang terbit, akan tetapi hingga tahun 1960 (an) sebagian besar masih mengikuti konsep Davis, antara lain: Lobeck (1939), Thornbury (1954), Wooldridge (1959) dan Spark (1960). Setelah tahun 1960 (an) buku-buku teks geomorfologi dapat dikelompokkan menjadi empat atas dasar pokok bahasannya sebagai berikut.

a. Kelompok topikal, yaitu yang menekankan pada salah satu aspek geomorfologi seperti proses pelapukan (Ollier, 1969), proses fluvial (Leopold, et al, 1964), Morisawa, 1968 dan Richard, 1982); gunungapi (Olier, 1969) dan pantai (Pethick, 1979).

b. Kelompok metode dan tehnik penelitian dalam geomorfologi seperti King 1976, dan Goudie (1981, 1990), Dackombe (1983) dan Verstappen (1976).

Referensi

Dokumen terkait