• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 280/B/PK/PJK/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Mahkamah Agung Nomor : 280/B/PK/PJK/2012"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PUTUSAN

Nomor 280/B/PK/PJK/2012

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

Direktur Jenderal Pajak, berkedudukdn di Jl. Jend. Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:

1. ABC, Pjs. Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak;

2. DEF Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi Direktorat Keberatan dan Banding;

3. GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi Direktorat Keberatan dan Banding;

4. JKL, Penelaah Keberatan Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi Direktorat Keberatan dan Banding;

Keempatnya beralamat di Kantor Pusat Direktur Jenderal Pajak, berkedudukan di Jl. Jend. Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-850/PJ./2010 tanggal 24 September 2010;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT XXX, beralamat di Jalan DD Blok A, Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara 14xxx;

dalam hal ini diwakili oleh: YYY sebagai Presiden Direktur PT XXX, beralamat di Green FFF Apt.Twr. B Jl. SSS, Pondok Indah, Jakarta Selatan;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Put- 23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut: Koreksi atas DPP PPN sebesar Rp 73.670.977.034,00

bahwa Pemohon Banding keberatan atas pengenaan Pajak Keluaran atas penjualan ekspor;

bahwa pengenaan pajak keluaran atas ekspor sebesar Rp 7.406.227.174,00 yang seharusnya menurut Pemohon Banding adalah Rp 0,00;

bahwa dengan ini Pemohon Banding mohon agar dihapuskan atau dikoreksi, alasan Pemohon Banding adalah karena perusahaan Pemohon Banding adalah industri pakaian jadi dengan tujuan ekspor yang tentunya ikut menunjang pemasukan devisa bagi negara dan Pemohon selama ini menerima order dari luar negeri berdasarkan kontrak CMT (Cutting, Making, Triming);

bahwa adapun bahan baku, bahan pembantu, model dan ukuran diberikan oleh pihak luar negeri dan kemudian dikerjakan di lokasi Kawasan Berikat;

bahwa pendapatan Pemohon Banding hanya berasal dari jasa maklon, Pemohon banding merasa sangat berat jika harus membayar PPN atas Nilai Pengganti dari Buyer di luar negeri, karena Pemohon Banding tidak mungkin dapat menagih PPN tersebut dari Buyer di luar negeri, sehingga jumlah tersebut akan menjadi beban Pemohon Banding, karena tidak ada mekanisme untuk mengkreditkan kembali PPN tersebut;

(2)

1. Dasar Pengenaan Pajak

Bahwa berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan No. PHP-214/WPJ.05/KP.0505/2008 tanggal 13 Maret 2008 Terbanding melakukan koreksi berupa reklas dari penjualan ekspor ke penyerahan lokal yang PPNnya harus dipungut sebesar Rp 73.670.977.034,00;

2. Pengenaan PPN

Bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan Penanaman Modal Asing yang didirikan berdasarkan akte notaris SSS SH No. 28 Tanggal 31 Agustus 2005, disahkan oleh Menteri Hukum dan Ham tanggal 30 November 2005 No. C-3181 HT.01.01.TH.2005 berlokasi di Dalam Kawasan Berikat Nusantara, Blok A;

Bahwa Pemohon Banding menerima pekerjaan pembuatan pakaian jadi atas dasar permintaan dari pemesan di luar negeri dan juga mengerjakan atas dasar permintaan dari pemesan di dalam negeri, dimana quantity, bahan, spesifikasi tehnis berupa ukuran, model dan saat penyerahan barang jadi ditentukan oleh pihak pemesan;

Bahwa hasil produksi berupa barang jadi pesanan dari luar negeri dikirim kepada buyers di luar negeri dimana atas hasil produksi yang telah diekspor ke pihak pembeli tersebut Pemohon Banding menerima pembayaran dari pihak pemesan yang dibukukan sebagai penghasilan dari ekspor;

Bahwa atas penyerahan barang hasil produksi kepihak buyer di luar negri Pemohon Banding tidak memungut PPN, sedangkan atas penyerahan barang kepada pihak pemesan di dalam negeri dipungut PPN 10% sesuai ketentuan yang berlaku;

Bahwa selanjutnya sesuai Ikhtisar Hasil Pembahasan Akhir pemeriksa melakukan menghitung Pajak Keluaran sebesar 10% x Rp 74.062.271.742,00 yang berarti dihitung dari seluruh penyerahan baik lokal maupun ekspor;

Bahwa menurut Pemohon Banding pengenaan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa maklon keluar negeri tidak ada dasar hukumnya karena untuk pesanan dari luar negeri tersebut Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan di dalam Daerah Pabean dimana seluruh barang jadi berupa baju yang telah selesai di jahit Pemohon kembalikan kepada pemesan di Luar Negeri;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

Bahwa selanjutnya Penjelasan Pasal 4 Huruf c menyebutkan :

Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,

penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,

penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang bersangkutan;

Bahwa dari penjelasan ini secara gamblang, jelas, bahwa jasa yang terutang PPN harus memenuhi 3 (tiga) syarat secara kumulatip sebagaimana tersebut di atas;

Bahwa oleh karena imbalan Jasa Maklon atas pembuatan pakaian jadi yang Pemohon lakukan berdasarkan order dari Luar Negeri dan hasil pekerjaan berupa barang jadi tersebut Pemohon serahkan kepada buyers di Luar Negeri (bukan di dalam Daerah Pabean) hal ini dapat di buktikan dari dokumen ekspor dimana semua barang jadi pesanan dari Luar Negeri tersebut dikirim langsung kepada buyers di Luar Negeri maka atas penyerahan jasa maklon tersebut tidak memenuhi ke 3 syarat tersebut dan karenanya tidak dikenakan PPN sebesar 10%;

3. Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp 232.162.319,00

Bahwa Pemohon Banding tidak dapat menerima koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp 232.162.319,00 karena Pemohon banding telah melakukan pembayaran atas Pajak Masukan tersebut kepada para supplier;

Bahwa berdasarkan uraian diatas Pemohon tidak dapat menerima penghitungan maupun pengenaan PPN sebagaimana yang tercantum dalam SKPKB PPN No. 00160/207/06/057/08 tanggal 26 Maret 2008 tersebut;

Bahwa PPN terutang menurut Pemohon Banding adalah sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak

a. Ekspor Rp 73.670.977.034,00

b. Penyerahan yang PPNnya harus dipungut

Rp 391.977.708,00

Jumlah Rp 74.062.954.742,00

Pajak Keluaran Seluruhnya Rp 39.197.771,00 Pajak yang dapat diperhitungkan :

a. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

Rp 4.637.536.581,00 b. Dibayar dengan NPWP sendiri Rp 0,00 Jumlah pajak yang dapat

diperhitungkan

Rp 4.637.536.581,00 PPN yang lebih dibayar Rp 4.598.338.810,00

(3)

Dikompensasikan ke Masa Pajak Berikutnya

Rp 598.338.810,00 PPN yang kurang dibayar Nihil

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Put-23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP- 629/PJ.07/2008 tanggal 17 November 2008 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 Nomor: 00160/207/06/057/08 tanggal 26 Maret 2008 atas nama: PT XXX, NPWP: 02.193.059.9-xxx, alamat Keputusan: Jalan DD Blok A, Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara 14xxx, Alamat Korespondensi: Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Blok A, Jalan Raya CC, Jakarta 14xxx, sehingga jumlah pajak yang harus dibayar menjadi sebagai berikut :

1 Dasar Pengenaan Pajak

a. Ekspor Rp 73.670.977.034,00

b. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut/ditunda/dst

Rp 0,00 b. Penyerahan yang PPN-nya

harus dipungut: Tarif Umum

Rp 391.977.708,00

Jumlah Rp 74.062.954.742,00

2 Pajak keluaran Seluruhnya:

tarif Umum

Rp 39.197.771,00 Dikurangi:

a. Pajak Keluaran dipungut oleh Pemungut PPN

Rp 0,00 b. PPN disetor dimuka dalam

Masa Pajak sama

Rp 0,00 c. Jumlah Pajak yang harus

dipungut sendiri

Rp 39.197.771,00 3 Pajak yang dapat

diperhitungkan

a. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

Rp 4.634.427.648,00 b. Dibayar dengan NPWP

sendiri

Rp 0,00 c. Kompensasi kelebihan

bulan lalu

Rp 0,00 4 PPN yang kurang / (lebih)

dibayar

Rp ( 4.595.229.877,00) 5 Kelebihan pajak yang sdh

dikompensasi ke masa pajak berikutnya

Rp 4.598.338.810,00

6 PPN Kurang Dibayar Rp 3.108.933,00 7 Sanksi Administrasi:

a. Bunga Pasal 13 (2) KUP Rp 66.357,00 b. Kenaikan Pasal 13 (3) KUP Rp 3.108.933,00 8 Jumlah yang masih harus

dibayar

Rp 6.284.223,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Put-23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 6 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 24 September 2010 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak Jakarta pada tanggal 29 September 2010, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 29 September 2010;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama

(4)

pada tanggal 11 Oktober 2010, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 3 Nopember 2010;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, joncto Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka oleh karena itu permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

A. Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 telah cacat hukum karena diputus dengan telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

1. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/ 2010 tanggal 19 Mei 2010 nyata-nyata telah cacat hukum karena telah melewati jangka waktu pemeriksaan banding sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini khususnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

2. Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor:

Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010, maka dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa proses pemeriksaan dan persidangan atas sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali semula Pemohon Banding terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-629/PJ.07/2008 tanggal 17 November 2008, dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara biasa sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Bab IV, Hukum Acara, Bagian Kelima perihal Pemeriksaan Dengan Acara Biasa, antara lain ketentuan Pasal 49, Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 59 dan Pasal 64;

3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:

Ayat(1): "Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima";

Ayat(3): "Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan";

Berdasarkan Penjelasan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:

Ayat(1): "Penghitungan jangka waktu 12 (dua belas) bulan dalam pengambilan putusan dapat diberikan contoh sebagai berikut: Banding diterima tanggal 5 April 2002, putusan harus diambil selambatlambatnya tanggal 4 April 2003";

Ayat (3): "Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal khusus" antara lain pembuktian sengketa rumit, pemanggilan saksi memerlukan waktu yang cukup lama";

4. Bahwa berdasarkan pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak dan berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010, dapat diketahui fakta-fakta sebagai berikut:

a. Bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor:

001/FA/HIU/II/09 tanggal 11 Februari 2009 diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 16 Februari 2009 (diantar) dan tercatat dalam berkas sengketa pajak nomor: 16-039997-2006;

b. Bahwa berdasarkan pemeriksaan pemenuhan ketentuan formal atas pengajuan permohonan banding yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, diketahui bahwa formal pengajuan banding, formal penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-629/PJ.07/2008 tanggal 17 November 2008 (objek sengketa banding), formal pengajuan keberatan dan formal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 Nomor:

00160/207/06/057/08 tanggal 26 Maret 2008, atas nama: PT. XXX, NPWP: 02.193.059.9-xxx, telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding sebagaimana yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (vide Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/ PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010, halaman 15 – 18);

(5)

c. Bahwa oleh karena pemenuhan ketentuan formal pengajuan banding di Pengadilan Pajak telah terpenuhi, maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, melakukan pemeriksaan terhadap materi sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) di dalam Surat Banding Nomor: 001/FA/HIU/II/09 tanggal 11 Februari 2009;

d. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak kemudian telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 17 Februari 2010 melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 dan putusannya tersebut kemudian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 19 Mei 2010;

e. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor: 001/FA/HIU/II/09 tanggal 11 Februari 2009 telah diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 16 Februari 2009;

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-

lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 16 Februari 2009 atau pada tanggal 15 Februari 2010, kecuali ada hal-hal khusus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undangundang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

5. Bahwa fakta yang terjadi adalah Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 17 Februari 2010 atau telah diputus dengan lewat 2 hari dari jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya;

6. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak berwenang untuk memperpanjang jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud untuk paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal jatuh tempo putusan bilamana hal-hal yang bersifat khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 81 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terpenuhi;

7. Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor:

Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut, maka diketahui tidak ditemukan satupun amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab hams adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud;

8. Bahwa dengan demikian, oleh karena tidak adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab harus adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-lambatnya pada tanggal 15 Februari 2010;

9. Bahwa oleh karena itu, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, telah terbukti dengan nyata-nyata telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem) dengan memutus sengketa banding dimaksud dengan melewati jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya;

10. Bahwa dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut secara nyata-nyata telah terbukti sebagai suatu Putusan yang cacat hukum. Oleh karenanya, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/ PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut harus dibatalkan demi hukum;

B. Tentang Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.23672/PP/M.VIII/16/ 2010 tanggal 19 Mei 2010 yang telah cacat hukum karena telah dikirimkan kepada para pihak dengan melewati jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku.

1. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/ 2010 tanggal 19 Mei 2010 nyata-nyata telah cacat hukum karena telah dikirimkan melewati jangka waktu pengiriman putusan kepada para pihak

sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku, dalam hal ini khususnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

2. Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 1 Anqka 11

"Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung";

Pasal 88 ayat (1)

"Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan";

(6)

3. Bahwa berdasarkan pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak dan berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010, dapat diketahui fakta-fakta sebagai berikut:

a. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak kemudian telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 17 Februari 2010 melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VI 11/16/2010 dan

putusannya tersebut kemudian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 19 Mei 2010 dengan demikian jatuh tempo pengiriman putusan adalah tanggal 17 Juni 2010;

b. Bahwa berdasarkan register penerimaan surat nomor: 2010070900360001 diketahui bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh sekretaris Pengadilan Pajak dan diantar langsung ke Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tanggal 1 Juli 2010;

c. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 19 Mei 2010. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka sengketa banding tersebut seharusnya dikirimkan kepada para pihak selambatlambatnya 30 hari sejak tanggal 19 Mei 2010 atau pada tanggal 17 Juni 2010;

d. Bahwa fakta yang terjadi adalah salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirimkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 1 Juli 2010 sehingga melewati jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

e. Bahwa dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut secara nyata-nyata telah terbukti sebagai suatu Putusan yang cacat hukum. Sehingga oleh karenanya, Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut harus dibatalkan demi hukum;

C. Tentang Koreksi Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus dipungut Masa Pajak Januari sampai dengan Oesember 2006 sebesar Rp73.670.294.034,00 dan nilai ekspor sebesar Rp(73.670.294.034,00).

1. Bahwa jika seandainya-pun, Majelis Hakim Mahkamah Agung Yang Terhormat, yang memeriksa dan mengadili sengketa peninjauan kembali ini berpendapat lain selain daripada dalil-dalil yang disampaikan dan diuraikan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut pada poin A dan B di atas, namun pada pokoknya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap tidak sependapat dan keberatan atas pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put. 23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010;

2. Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VI11/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena nyata-nyata amar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyimpulkan bahwa atas penyerahan jasa yang melekat pada atau untuk barang bergerak sebesar Rp73.670.294.034,00 yang dilakukan Pemohon Banding untuk pembuatan pakaian jadi yang dilakukan berdasarkan pesanan dari pemesan kepada ZZZ Co., Ltd, Korea dan kemudian hasil pekerjaan berupa pakaian jadi tersebut Pemohon Banding serahkan ke orang atau badan di Amerika Serikat, merupakan penjualan ekspor dimana Faktur Pajak berupa Pemberitahuan Ekspor Barang dan Invoice sebagai satu kesatuan sudah Pemohon Banding terbitkan secara lengkap adalah tidak tepat dan telah keliru, sehingga menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

"bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas fakta-fakta dan bukti-bukti serta penjelasan Terbanding dan

Pemohon Banding yang terungkap dalam persidangan, Majelis berkesimpulan bahwa atas penyerahan jasa yang melekat pada atau untuk barang bergerak sebesar Rp73.670.294.034,00 yang dilakukan Pemohon Banding untuk pembuatan pakaian jadi yang dilakukan berdasarkan pesanan dari pemesan kepada ZZZ Co., Ltd, Korea dan kemudian hasil pekerjaan berupa pakaian jadi tersebut Pemohon Banding serahkan ke orang atau badan di Amerika Serikat, merupakan penjualan ekspor dimana Faktur Pajak berupa Pemberitahuan Ekspor Barang dan Invoice sebagai satu kesatuan sudah Pemohon Banding terbitkan secara lengkap, oleh karenanya Majelis berkesimpulan bahwa atas penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen), sehingga tidak terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang kurang/tidak dibayar, oleh karenanya Majelis

berketetapan koreksi Terbanding atas penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus dipungut Masa Pajak Januari s.d. Desember 2006 sebesar Rp73.670.294.034,00 dan nilai ekspor sebesar Rp{73.670.294.034,00) tidak dapat dipertahankan";

4. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut di atas, maka Pemohon

(7)

Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah dan keliru atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan- pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan atau prinsip perpajakan yang berlaku dalam menentukan koreksi Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus dipungut Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp73.670.294.034,00 dan nilai ekspor sebesar Rp(73.670.294.034,00);

5. Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena nyata-nyata amar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta-fakta yang Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) ajukan dan telah tidak tepat dan keliru dengan menyimpulkan bahwa atas penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen), sehingga tidak terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang kurang/tidak dibayar;

6. Bahwa pasal 69 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 69 ayat 1

"Alat bukti dapat berupa:

a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli;

c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau e. pengetahuan Hakim;

Kemudian dalam penjelasan pasal 69 ayat 1 menyebutkan bahwa "Pengadilan Pajak menganut prinsip

pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain";

7. Bahwa pasal 76 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa "Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)";

Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;

Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak";

8. Bahwa pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang- undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.";

Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;

9. Bahwa dasar hukum yang terkait dengan sengketa atas koreksi penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus dipungut Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp73.670.294.034,00 dan nilai ekspor sebesar Rp (73.670.294.034,00) adalah Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 7; Pasal 4; Pasal 11 ayat(1);

Pasal 4Aayat(3); serta Pasal 16B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1996 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1997, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 291/KMK.05/1997 s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 101/PMK.04/2005, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2000 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002;

10. Bahwa Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 7; Pasal 4; Pasal 11; Pasal 4A ayat (3); serta Pasal 16B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 2

"Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud."

angka 3

"Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan

(8)

Undang-undang ini."

angka 4 .

"Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3."

angka 5

"Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan."

angka 6

"Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang- undang ini."

angka 7

"Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6."

Pasal 4

"Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak."

Pasal 11 ayat (1);

"Terutangnya pajak terjadi pada saat:

a. penyerahan Barang Kena Pajak;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau f. ekspor Barang Kena Pajak.

Pasal 4A ayat (3)

"Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:

a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;

b. Jasa di bidang pelayanan sosial;

c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;

e. Jasa di bidang keagamaan;

f. Jasa di bidang pendidikan;

g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan;

h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;

i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;

j. Jasa di bidang tenaga kerja;

k. Jasa di bidang perhotelan; dan Jasa yang disediakan oleh' Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum."

Pasal 16B ayat (1) huruf a

"Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, balk untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;"

11. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 7, Pasal 4, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dapat disimpulkan pada prinsipnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas barang yang termasuk kriteria Barang Kena Pajak dan jasa yang termasuk kriteria Jasa Kena Pajak secara terpisah/sendiri-sendiri;

12. Bahwa Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entreport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB) menyebutkan sebagai berikut:

(9)

Pasal 1 ayat (2)

"Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor."

Pasal 3 ayat (2)

"Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor."

13. Bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1996 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1997 menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1

"Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu di dalam daerah Pabean yang digunakan untuk menimbun, mengolah, memamerkan, dan/atau menyediakan barang untuk dijual dengan mendapatkan perlakuan khusus di bidang kepabeanan, Cukai dan perpajakan yang dapat berbentuk Kawasan Berikat, Pergudangan Berikat, Entreport untuk Tujuan Pameran, atau Toko Bebas Bea;"

Pasal 2 ayat d)

"Barang atau bahan impor yang dimasukkan ke Tempat Penimbunan Berikat diberikan fasilitas berupa:

Penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22."

Pasal 2 ayat (2)

"Penyerahan Barang Kena Pajak dalam negeri ke Tempat Penimbunan Berikat diberikan fasilitas berupa tidak dipungut PPN dan PPnBM."

Pasal 2 ayat (4)

"Barang atau bahan yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bukan merupakan barang untuk dikonsumsi sendiri di Tempat Penimbunan Berikat yang bersangkutan."

Pasal 13 Ayat d)

"PDKB dapat mengsubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahannya kepada perusahaan industri yang berada di dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya atau PDKB lainnya kecuali pekerjaan pengetesan, sortasi, atau pengepakan."

Pasal 13 Ayat (5)

"Ketentuan mengenai tata cara pekerjaan subkontrak bag! para PDKB diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan."

14. Bahwa Pasal 14 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 291/KMK.05/1997 s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 101/PMK.04/2005 menyebutkan sebagai berikut:

"Terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan/atau dari Kawasan Berikat (KB) diberikan fasilitas sebagai berikut:

a. atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 impor;

b. atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;

c. atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;

d. atas pemasukan BKP dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;

e. atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;

f. atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak, tidak dipungut PPN dan PPnBM;

g. atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan sub kontrak oleh PKP di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;

h. atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;

(10)

i. atas pemasukan BKC dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai;

j. penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor;

k. pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka impor, diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;

l. atas pemasukan alat pengemas (packing material) dan alat bantu pengemas dari DPIL ke KB untuk menjadi satu kesatuan dengan barang hasil olahan PDKB, tidak dipungut PPN dan PPnBM."

15. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat dengan demikian pemberian Fasilitas PPN Terutang Tidak Dipungut atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa maklon dan atau sub kontrak tidak diatur secara khusus dalam aturan pelaksanaan dari Undang-undang baik dalam Peraturan Pemerintah maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan, sehingga pengaturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa tersebut merujuk pada Undang-undang PPN dan PPn BM yang berlaku;

16. Bahwa dengan demikian atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa maklon dan atau sub kontrak oleh Pengusaha baik yang dilakukan di/ke/dari Kawasan Berikat selain Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam terutang PPN. Oleh karena itu, PPN yang terutang tersebut harus dipungut oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar 10% dari nilai penggantian;

17. Bahwa Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2000 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2002 menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 13 avat (4)

"Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya."

18. Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) jasa maklon termasuk Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UU PPN, karena tidak termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) UU PPN juncto Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN, mengingat Undang-Undang PPN yang menganut prinsip negative list;

19. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat sesuai dengan fakta-fakta yang ada dalam persidangan, penyerahan jasa maklon yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) secara nyata-nyata telah dilakukan di dalam Daerah Pabean atau dilakukan di dalam wilayah Republik Indonesia, dimana kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut juga berada di dalam daerah Pabean karena Kawasan Berikat juga termasuk Daerah Pabean dan kegiatan tersebut dilakukan dalam lingkungan kegiatan usahanya;

20. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, sehingga ketika pesanan telah selesai maka jasa sudah diserahkan, yang artinya penyerahan jasa dilakukan di dalam Daerah Pabean;

21. Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pengenaan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf c UU PPN, ditentukan berdasarkan tempat di mana penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan, bukan ditentukan di mana atau kapan pemanfaatannya terjadi;

22. Bahwa dengan demikian, penyerahan jasa maklon yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah memenuhi syarat-syarat sebagai penyerahan jasa yang terutang pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf c UU PPN beserta penjelasannya, dengan alasan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak dan penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean;

23. Bahwa untuk mendukung pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) bahwa atas Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean menggunakan terminology penyerahan dipengaruhi oleh berbagai faktor

diantaranya legal character dari PPN dan mekanisme pemungutan PPN serta nature dari transaksi jasa itu sendiri, berikut dikemukakan pendapat para ahli perpajakan, diantaranya :

Ben Terra, dalam bukunya yang berjudul "Sales Taxation : the case of Value Added Tax in The European Community", Deventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988, Halaman 7:

"Basically it means that the intrinsic nature of tax should be the guding principle in determining its consequences and not just the lebel, or the name of a tax."

Dr.Haula Rosdiana dan Drs. Rasin Tarigan, M.Si, dalam bukunya yang berjudul "Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT RRR Persada, 2005, Halaman 204-207 dan 224-225, menyatakan :

"Legal character Pajak Pertambahan Nilai adalah :

(11)

a. General Yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai adalah seluruh konsumsi di dalam negeri atas barang dan/atau jasa;

b. Neutral Dengan tidak dibedakannya pengenaan Pajak Pertambahan Nilain baik atas konsumsi barang maupun jasa, hal ini tidak mempengaruhi pola konsumsi masyarakat;

c. Consumption Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas seluruh konsumsi dalam negeri atas barang dan jasa, tanpa membedakan asal barang dan jasa, tanpa membedakan asal barang dan/atau jasa tersebut, apakah diproduksi di dalam negeri atau berasal dari luar negeri;

d. Indirect Tax Beban pajaknya dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting."

"Prinsip yang berkaitan dengan yuridiksi atau kewenangan pemungutan pajak, yaitu:

1. Prinsip asal tempat barang (origin Principle)

Berdasarkan origin principle, negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara dimana barang diproduksi atau dimana barang tersebut berasal;

2. Prinsip tujuan barang (destination principle)

Berdasarkan destination principle, negara yang berhak mengenakan pajak adalah negara di mana barang tersebut dikonsumsi.";

Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak., dalam artikel yang berjudul "Pajak Pertambahan Nilai Transaksi Lintas Juridiksi", Jakarta, Majalah Berita Pajak Edisi Februari 2009, halaman 11-16, menyatakan :

"Dalam penyerahan jasa lintas yuridiksi, seperti halnya penyerahan barang, juga dapat diberlakukan prinsip origin atau destinasi, Namun untuk penerapan prinsip destinasi atas jasa Terra menyatakan, untuk keperluan administrasi dan pengawasan kepabeanan agak lemah. Pengawasan fisik bahwa telah nyata-nyata terjadi ekspor jasa agak sulit dilakukan karena kebanyakan jasa bersifat invisible. Begitu juga dokumentasi pendukung atas ekspor jasa sulit pembuktiannya;

Karena itu, berdasarkan pada Sixth Derictive tersebut, Terra menyatakan bahwa tempat penyerahan dan terutangnya VAT atas jasa mengikuti "purchase principle" dan expenditure yang dianggap mewakili konsumen terjadi pada saat pembelian. Konsep pemanfaatan (enjoyment atau economic use) kurang relevan terhadap jasa karena kebanyakan jasa selain economic usenya tidak eksis juga meragukan dan gampang direkayasa. Sehingga kalau konsep pemanfaatan ('economic use') diterapkan, secara legal akan banyak jasa yang tidak dapat dikenakan VAT;

Salah satu rujukan yang dapat dipedomani adalah bahwa pada saat itu beberapa Negara pengikut PPN atau VAT adalah Eropa Barat yang berpedoman pada EEC Sixt Directive yang berlaku sejak 17 Mei 1977.

Menurut Ben Terra pada saat itu ekspor dan impor jasa tidak dimasukkan dalam sistem VAT dengan tidak mengatur tempat dan saat terutangnya pajak. Terdapat pemikiran bahwa secara administrative dan pengawasan (oleh pabean) tempat terutang VAT yang paling efektif adalah tempat pembelian jasa (purchase principle).

Pembelian jasa terjadi di tempat pemberi jasa (pengusaha) terdaftar. Pembelian menunjukkan adanya pengeluaran yang mewakili ketersediaan jasa untuk dikonsumsi;

Perbedaan karakter antara barang dan jasa memerlukan perbedaan perlakuan administratif. Barang umumnya bersifat visible dan controllable (secara fisik) oleh pabean, sedangkan jasa kebanyakan invisible dan petugas pabean hampir tidak pernah secara fisik mampu melihat lalu lintas ekspor jasa;

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, boleh jadi bahwa untuk ekspor jasa, UU PPN menganut purchase principle (sebagaimana diperkenalkan EEC Sixth Derictive) agar terjadi efisiensi adminitrasi pemungutan PPN mengurangi moral hazard penyalahgunaan tarif pajak 0% atas ekspor jasa dalam rangka pengamanan hak fiskal negara dan masyarakat (public fisc).

Maka berdasarkan purchase principle setiap penyerahan JKP oleh PKP dalam daerah pabean Indonesia tanpa memperhatikan pemanfaatannya apakah terjadi di luar daerah pabean akan selalu dikenakan PPN karena pembelian JKP terjadi di dalam daerah pabean Indonesia";

24. Bahwa mengenai pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang berkesimpulan bahwa atas penyerahan jasa yang melekat pada atau untuk barang bergerak sebesar Rp73.670.294.034,00 merupakan penjualan ekspor, menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak tepat dan tidak berdasar mengingat:

kegiatan yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang pajak pada saat barang selesai dikerjakan yang berarti penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean;

pemberian Fasilitas PPN Terutang Tidak Dipungut atas penyerahan Jasa Kena Pajak berupa jasa maklon dan atau sub kontrak tidak diatur secara khusus dalam aturan pelaksanaan dari Undang-undang baik dalam Peraturan Pemerintah maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan, sehingga pengaturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan jasa tersebut merujuk pada Undang-undang PPN dan PPn BM yang berlaku;

(12)

pada prinsipnya PPN dikenakan atas barang yang termasuk kriteria Barang Kena Pajak dan jasa yang termasuk kriteria Jasa Kena Pajak secara terpisah/sendiri-sendiri sehingga jasanya tidak dapat dikatakan melekat pada barang yang diekspor, sebagaimana pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak;

25. Bahwa dengan demikian telah terbukti secara jelas dan nyata-nyata bahwa terhadap Penyerahan jasa maklon yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah terbukti secara nyata- nyata merupakan Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan PPN berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Tarif Normal atau Tarif 10% (sepuluh persen);

26. Bahwa dengan demikian telah terbukti secara jelas dan nyata-nyata bahwa koreksi yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terhadap Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya harus

dipungut Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp73.670.294.034,00 dan nilai ekspor sebesar Rp73.670.294.034,00 adalah sudah tepat dan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku;

D. Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor:

Put.23672/PP/M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta yang ada dan yang telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa banding tersebut, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (1), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Penjelasannya dan oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/M.VI11/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 tersebut adalah cacat secara hukum dan harus dibatalkan demi hukum;

E. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.23672/PP/ M.VIII/16/2010 tanggal 19 Mei 2010 yang menyatakan : • Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-629/PJ.07/2008 tanggal 17 November 2008 tentang Keberatan atas Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 Nomor: 00160/207/06/057/08, tanggal 26 Maret 2008, atas nama: PT. XXX, NPWP: 02.193.059.9-057.000, alamat keputusan: Jalan DD Blok A, Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Utara 14xxx, alamat korespondensi:

Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Blok A Jalan Raya CC, Jakarta 14xxx, dengan perhitungan sebagaimana tersebut di atas, adalah tidak benar sama sekali serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa Judex facti Putusan Pengadilan Pajak sudah benar, alasan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan:

1. Bahwa alasan A dan B yang menyangkut jangka waktu berkaitan dengan proses Administrasi yang tidak membatalkan putusan;

2. Bahwa subtansi koreksi PPN harus dipungut untuk masa Pajak Januari s/d Desember 2006 sebesar

Rp.73.670.294.034,00 tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf (e) Undang-Undang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang dikalahkan, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

(13)

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (Dua Juta Limaratus Ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis tanggal 22 Nopember 2012 oleh CCC, SH. MSc. Ketua Muda Pembinaan yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. AAA, SH. MS. dan BBB, SH. MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD, SH. MH.

Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis : ttd.

Dr. H. AAA, SH.

MS.

ttd.

BBB, SH. MH.

Ketua Majelis, ttd.

CCC, SH. MSc.

Biaya - biaya : 1.

Meterai...

Rp 6.000,00 2. Redaksi ... Rp 5.000,00

3. Administrasi ... Rp 2.489.000,00

Jumlah ... Rp 2.500.000,00

Panitera Pengganti, ttd.

DDD, SH. MH.

Untuk salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.

a.n. Panitera

Panitera Muda Tata Usaha Negara,

(NN, S.H.) NIP xxxxxxxx

Referensi

Dokumen terkait

Pada amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.58658/PP/M.VIA/99/2014 tanggal 22 Desember 2014, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan gugatan Pemohon PK (sebelumnya Penggugat)

Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor

Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36702/PP/M.I/16/2012 tanggal

Bahwa sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor: KEP-076/WPJ.06/BD.06/2008 tertanggal 25 Januari 2008 tentang Penolakan atas permohonan surat keberatan Pemohon

Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.34005/PP/M.XIII/15/2011 tanggal 4 Oktober 2011,

Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam Peninjauan Kembali ini adalah penetapan nilai pabean atas PIB No : 253124 tanggal 29 Juli 2008 atas importasi Polyol Polyurethane 2025SG

Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.24384/PP/M.IV/16/2010 tanggal 30 Juni 2010 tersebut

Bahwa berdasarkan pada Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka tanggal dikirim salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.27644/PP/M.II/12/2010 tanggal