• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 POTENSI SUMBER DAYA PERKEBUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 POTENSI SUMBER DAYA PERKEBUNAN"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB

IX POTENSI SUMBER DAYA PERKEBUNAN

9.1. Perkebunan di Kabupaten Pelalawan

Perkembangan usaha perkebunan Kabupaten pelalawan mencapai 220.843,56 ha. Komoditi perkebunan pelalawan tersebar di 12 kecamatan pelalawan , dimana yang terluas berada pada kecamatan Pangkalan kuras, selanjutnya diikuti dengan kecamatan langgam. Ukui dan teluk meranti merupakan areal terkecil untuk perkebunan. Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran komoditi perkebunan di Kabupaten Pelalawan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. 1. Luas Areal Perkebunan Di Kabupaten Pelalawan

No Komoditi

Tahun Luas Area

Luas Prod TBM TM TTR Jumlah

Produksi

tahun 2008 Petani 1 Karet 19867.90 22419.6 4126.85 13459.81 2626.29 20212.95 23840.88 13807 2 Kelapa 15625.60 20604.8 804.45 10584.41 4790.16 16179.02 21210.62 10063 3 K. Sawit 177905.50 285270.3 25275.87 156375.87 1275.00 182926.19 331541.20 36143

4 Antan 1415.20 537.8 532.04 532.04 407.35 1525.40 484.26 2913

5 Sagu 653.90 526.5 77.40 77.40 404.41 654.93 206.74 484

6 Pinang 67.50 5.6 29.31 29.31 2.93 76.75 8.65 1506

7 Kopi 693.70 5.6 425.33 425.33 0.01 793.72 268.87 923

8 Jumlah 216229.30 329370.20 31271.25 181484.17 9506.15 222368.96 377561.22 65839

Pengembangan usaha perkebunan di Kabupaten Pelalawan dilakukan melalui 2 bentuk usaha perkebunan yakni perkebunan rakyat dan perkebunan Besar Swasta.

(3)

9.2. Perkembangan usaha Perkebunan rakyat

Usaha perkebunan rakyat, merupakan usaha perkebunan yang dikelola langsung oleh rakyat/petani. Keadaan luas areal perkebunan rakyat di Kabupaten Pelalawan sampaii dengan tahun 2008 menccapai 97.869,03 ha (44,3 % dari total luas areal perkebunan Kabupaten Pelalawan) dengan produksi tahun 2008 mencapai 128.960,37 ton /tahun dan diusahakan oleh 62.926 KK petani, dengan komoditas karet, kelapa, kelapa sawit, dan aneka tanaman lainnya (sagu pinang, dan kopi) , yang tersebar pada 12 kecamatan di Kabupaten Pelalawan.

Usaha pengembangan perkebunan rakyat diKabupaten Pelalawan dilaksanakan melalui 3 pola pengembangan yaitu:

1. Pola swadaya (baik swadaya murni maupun swadaya berbantuan )

2. Pola UPP ( Unit pelayanan dan pengembangan

3. Pola Pir- Bun (perusahaan inti rakyat Perkebunan) baik Pir – Trans maupun Kemitraan, berupa kebun plasma.

9.3. Perkebunan Karet

Perkebunan karet-rakyat di Kabupaten Pelalawan sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Umumnya diusahakan oleh petani dalam skala kecil (sempit) dengan sistem tradisional. Berbeda dengan yang diusahakan oleh perusahaan pemerintah/swasta, dimana pengusahaannya dilakukan dalam skala besar dengan sistem teknologi modern. Namun demikian, dilihat dari proporsi luasan, kebun karet-rakyat tetap mendominasi, sehingga usaha itu patut diperhitungkan, karena dapat menentukan dinamika perkaretan Indonesia.

(4)

Pengelolaannya dilakukan secara sederhana. Setelah bibit karet ditanam kemudian dibiarkan begitu saja tanpa perawatan yang memadai, sehingga tingkat produktivitasnya masih rendah, yaitu hanya sekitar 5,49 kw/ha/th; disamping kualitas hasil olahan- karet juga tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah faktor pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya petani masih rendah, sehingga sampai di pasaran, produk karet Indonesia dikenal sebagai yang bermutu rendah. Sementara produk karet dari negara jiran, seperti Thailand dan Malaysia tetap mampu menjaga kualitas karetnya, sehingga sampai sekarang masih menguasai pasaran karet Dunia.

Rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering dituduhkan karena jeleknya kualitas produksi karet-rakyat.

Sebaiknya ke depan, persoalan yang menimpa peta karet ini tidak dilihat hanya dari sisi rendahnya mutu karet yang dihasilkan petani karet rakyat. Namun perlu juga dilihat dari sisi faktor penyebab lainnya, misalnya sisi hubunga sosial antara petani dengan pihak lain yang ada di tingkat lokal. Artinya, persoala rendahnya harga (pendapatan) dan kehidupan petani tidak hanya disebabkan oleh persoalan teknis semata, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi dan kondisi sosi masyarakat di tingkat bawah. Iklim sosial yang dimaksud adalah adanya kenyataan bahwa penentuan harga karet di tingkat bawah justru sering ditentukan oleh keterikatan hubunga sosial antara petani kecil, petani besar dengan pedagang karet di tingkat lokal yang menggiringnya ke sudut posisi tawar petani karet-rakyat menjadi lemah. Kenyataan seperti ini, di pedesaan sulit sekali untuk dihindarkan. Keinginan yang besar dari petani untuk tetap menjaga ke-eratan hubungan sosial sering memaksa dan

(5)

lebih cenderung untuk menomor-satukan hubungan resiprositas sosial dibandingkan dengan keuntungan bisnis semata, meskipun bisnis karet tersebut merupakan penyokong kehidupan ekonomi keluarga. Realitas seperti ini bukan sesuatu yang mustahil adanya, karena sampai saat ini, di pedesaan masih banyak dijumpai para toke atau petani besar (induk somang), disamping berperan sebagai pembeli produksi karet, juga masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan petani produsen; baik itu sebagai mertua/famili, atau pemberi dana bagi kehidupan rumah tangga, dsb. Jadi karena hubungan patron-client tersebut sudah bercampur aduk dengan hubungan sosial kekeluargaan, maka hubungan resiprositas dan keterikatan sosial tersebut, secara implisit pada akhirnya menjadi rikuh-pakewuh dan dapat menyulitkan posisi petani dalam adu tawar-menawar dalam proses penentuan harga bagi produksi karetnya. Karenanya kebanyakan mereka, suka atau tidak, terpaksa atau rela, mereka pasrah dan menerima harga yang telah ditentukan (sepihak) oleh para toke atau induk semang-nya.

Variabel lain yang juga berperan ikut menentukan tingkat pendapatan petani adalah rantai pemasaran karet, sebab kenyataan menunjukkan bahwa begitu banyaknya lapisan pedagang yang terlibat, sehingga menjadikan rantai tataniaga karet di sini cukup panjang, dan kondisi demikian sudah merupakan suatu fenomena lama. Petani tidak pernah bisa langsung dalam memasarkan produksi karetnya kepada pabrik atau pedagang eksportir. Paling kurang mereka harus melalui dua atau tiga orang pedagang perantara yaitu pedagang di tingkat desa dan pedagang di tingkat kecamatan. Meski disadari; rantai tataniaga yang pendek sulit dijumpai, karena umumnya sentra produksi karet-rakyat di Riau relatif jauh dari pusat kota dengan

(6)

petani harus melalui rantai pemasaran yang panjang dan berliku, mulai dari pedagang ditingkat kelompok, di tingkat desa, pedagang di tingkat kecamatan, sampai ke pedagang agen-komisi, baru masuk ke pabrik pengolahan atau eksportir karet.

Panjangnya rantai tataniaga itu berakibat kepada rendahnya harga jual di tingkat petani, karenanya petani hanya bisa menerima harga karet apa adanya. Mubyarto dan Dewanta (1991) menyebutkan bahwa dengan adanya rantai tataniaga yang panjang tersebut petani karet di Sumatera dan Kalimantan hanya menerima sekitar 25-30% dari harga ekspor karet-alam.

Bandingkan dengan pendapatan petani karet di negara jiran Malaysia yang mampu menerima paling kurang 70-80% dari harga ekspor karet-alam. Jadi tidak mustahil bila kehidupan sosial ekonomi petani karet di pedesaan Riau masih rendah dan jauh tertinggal. Dengan begitu, meskipun produksi karet-rakyat tinggi, tapi menjadi tidak banyak berarti karena tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petaninya. Untuk itu penting adanya perhatian pemerintah terhadap upaya pembangunan perkebunan karet-rakyat yang mampu memberikan dampak positif terhadap perbaikan derajat hidup petani.

Pada Era sebelumnya yakni tahun 2004 luas perkebunan karet- rakyat (PR) di Riau mencapai 359.091 ha atau 12,97 % dari luas total PR Indonesia. Sementara luas PR di Indonesia mencapai sekitar 86 % dari seluruh luas perkebunan karet total 3,26 juta hektar (Dirjen Perkebunan, 2004). Ini merupakan potensi areal lahan perkebunan karet terbesar di dunia, meskipun sebagian besar pengelolaannya masih dilakukan oleh rakyat yang belum sepenuhnya menerapkan teknik dan manajemen usaha yang efisien. Pengelolaannya dilakukan secara sederhana. Setelah bibit

(7)

yang memadai, sehingga tingkat produktivitasnya masih rendah, yaitu hanya sekitar 5,49 kw/ha/th. disamping kualitas hasil olahan-karet juga tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah faktor pemilikan teknologi dan kemampuan sumberdaya petani masih rendah, sehingga sampai dipasaran, produk karet Indonesia dikenal sebagai yang bermutu rendah. Sementara produk karet dari negara jiran, seperti Thailand dan Malaysia tetap mampu menjaga kualitas karetnya, sehingga sampai sekarang masih menguasai pasaran karet Dunia. Dengan fenomena tersebut, maka posisi Indonesia dalam eskalase perkaretan dunia saat ini menurun; padahal menurut Mubyarto dan Dewanta (1991) dalam periode sebelum PD-II sampai 1956 karet-alam Indonesia telah berhasil mencapai kejayaan, karena menjadi produsen karet-alam terbesar di Dunia.

Gambar 9. 1. Citra Land Sat E 7 EMT Sebaran Realisasi Perkebunan.

Gambar 10. 1. Citra Land Sat E 7 EMT Sebaran Realisasi Perkebunan.

(8)
(9)

Kondisi Perkebunan Karet pada tiap kecamatan sebagai berikut 1. Kecamatan Langgam

Areal perkebunan karet dilakukan baik masyarakat menetap sebagai pekebun karet maupun masyarakat yang telah memiliki pekerjaan menetap. Wilayah perkebunan sawit pada kecamatan Langgam berkisar 4624 ha dari luas pemanfaatan lahan sebagai perkebunan karet 20213, 0 Ha yang tergarap dengan produksi pertahunnya dalam satuan ton berkisar 9147,8 Ton.

Pada umunya masyarakat pekebun karet meenjual produknya langsung ke tauke dengan kisaran harga yang ditentukan oleh tauke tersebut. Adapun jenis karet yang digunakan adalah jenis karet alami yakni berasal dari hutan dan sebagian lagi berasal dari hasil perkawinan silang maupun bantuan dari pemerintah setempat seperti bibit unggulan.

2. Banadar sikijang

Areal perkebunan sawit yang dimiliki oleh masyarakat bandar sikijang sebesar 190,5 Ha dengan kisaran produksi pertahun 9147,8 Ton. Usaha perkebunan karet ini dilakukan dengan cara bergotong royong atau pembukaan lahan secara alami.

3. Pangkalan Kerinci

Luas wilayah perkebunan karet di kecamatan Pangkalan kerinci merupakan perkebunan karet yang paling sedikit jumlah satuan lahannya dengan kisaran 152 ha dengan hasil yang didapat sekitar 158, 2. Walaupun kondisi lahan dalam jumlah yang relatif kecil , keadaan produksinya dapat dikatakan maksimal.

Keadaan ini diperkirakan karena lokasi sarana transportasi

(10)

lebih baik dibandingkan dengan kondisi kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten Pelalawan

4. Pangkalan Kuras

Luas wilayah pemanfaatan lahan untuk Kecamatan Pangkalan kuras berkisar 2055,2 dengan total produksi 2552,4 Ton pertahunnya. Kondisi ini diperkirakan karena Kecamatan Pangkalan kUras memiliki satuan lahan yang idea selain jenis tanahnyya yang memadai juga lokasi yang strategis untuk perkebunan karet.

5. Pangkalan Lesung

Perkebunan yang dimiliki dalam region kecamatan Pangkalan Lesung seluas 1909,0 dengan total produksi berkisar 1844, 2 Ton pertahunnya.

6. Kecamatan Bunut

Luas wilayah perkebunan sebagai perkebunan karet berkisar 2935,7 dengan satuan produksi dalam ton pertahunnya berkisar 2836, 3 . masyarakat biasanya melakukan aktifitas perkebunan dilakukan dengan cara yang tradisional dan bibit yang didapat merupakan bibit peninggalan dari yang terdahulu. Atau bibit di dapat dari hutan setempat.

7. Kecamatan Bandar petalangan

Kondisi satuan luas wilayah perkebunan karet masyarakat berkisar 3102, 0 Ha. Luas wilayah perkebunan karet di kecamatan bandar petalangan merupakan yang terbesar untuk satuan wilayah perkebunan Di kabupaten Pelalawan. Total produksi yang dimiliki oleh kecamatan ini berkisar 2548 Ton pertahunnya.

(11)

8. Kecamatan Pelalawan

Luas wilayah perkebunan Karet di kecamatan Pelalawan Kabupaten Pelalawan berkisar 1025 Ha dengan total produksi berkisar 438, 15 Ton per Tahunnya. Berdasar kan korelasi luas wilayah dan satuan produksi , dapat dikatan bahwa pada kecamatan Pelalawan kondisi lahannya masih banyak tidak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat atau juga dapat jalus perekonomian untuk usaha perkebunan karet dikatakan lambat terkait dengan sarana transportasi dan aspek pendukung lainnya.

9. Kecamtan Ukui

Luas wilayah perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat kecamatan Ukui berkisar 796 dalam satuan Ha dengan total peoduksi pertahunnya berkisar 971, 15 Ton pertahunnya

10.Kecamatan Kerumutan

Luas wilayah perkebunan karet di Kecamatan Kerumutan berkisar 2329 dalam satuan ha , dengan total produksi berkisar 2709 Ton pertahunnya. Kondisi perkebunan karet dikecamatn kerumutan dapat dikatakan baik hal ini di lihat dari satuan produksi dalam ton pertahunnya menunjukan hasil yang relatif baik.

11.Kecamatan Teluk meranti

Luas areal perkebunan karet di kecamatan Meranti berkisar 1009 dengan total produksi dalah satuan ton pertahunnya berkisar 422,94.

12.Kecamatan Kuala Kampar

Kecamatan kuala kampar merupakan wilayah pesisir yang masih di pengaruhi oleh air asin sehingga satuan lahan untuk

(12)

produksi komoditi perkebunan karet dikatak rendah dengan luas wilayah berkisar 84Ha dengan total produksi dalan satuan ton pertahunnya berkisar 24, 79.

Perbandingan potensi perkebuan Karet pada masing – masing kecamatan Kabupaten Pelalawan Dapat Dilihat Pada Gambar berikut.

Gambar 9. 2. Kondisi Perkebunan Karet di Kecamatan dalam kawasan Regional Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau Lahan yang telah dimanfaatkan 24.378 Ha, terdiri dari TBM 7839 Ha, TM 15.324 Ha, TT/TR 1,215 Ha Lahan yang tersedia 117.896 Ha dengan Produksi 28.921 ton (15.324 Ha TM).

Dilihat dari diagram diatas Keberadaan Atau Potensi Perkebunan karet bisa dijadikan pusat produksi di kecamatan Langgam, Bunut, Pangkalan Kuras, Kerumutan, Pangkalan Lesung, Pelalawan. Untuk kecamatan Langgam keberadaan Perkebunan Karet sudah didukung dengan Unit pengolahan yakni PT. Mitra Unggul Pusaka.

(13)

9.3.1. Kondisi Pasar Karet

Rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering dituduhkan karena jeleknya kualitas produksi karet-rakyat. Sebaiknya ke depan, persoalan yang menimpa petani karet ini tidak dilihat hanya dari sisi rendahnya mutu karet yang dihasilkan petani karet-rakyat. Namun perlu juga dilihat dari sisi faktor penyebab lainnya, misalnya sisi hubungan sosial antara petani dengan pihak lain yang ada di tingkat lokal. Artinya, persoalan rendahnya harga (pendapatan) dan kehidupan petani tidak hanya disebabkan oleh persoalan teknis semata, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi dan kondisi sosial masyarakat di tingkat bawah. Iklim sosial yang dimaksud adalah adanya kenyataan bahwa penentuan harga karet di tingkat bawah justeru sering ditentukan oleh keterikatan hubungan sosial antara petani kecil, petani besar dengan pedagang karet di tingkat lokal yang menggiringnya ke sudut posisi tawar petani karet-rakyat menjadi lemah.

9.4. Perkebunan Kelapa

1. Kecamatan Langgam

Luas wilayah untuk arel perkebunan Kelapa di Kecamatan Langgam berkisar 71 Ha dengan produksi kelapa berkisar 98 Ton.

Pada umumnya masyarakat di sekitar kecamatan ini menjual hasil produksinya ke wilayah setempat atau dimanfaatkan sebagian hasilnya untuk kebutuhan rumah tangganya.

2. Bandar sikijang

Luas areal perkebunan kelapa di kecamatan sikijang berkisar 7,2 Ha dengan kapsitas produksi berkisar 7,3 ton pertahunnya.

(14)

3. Kecamatan Pangkalan Kerinci

Kondisi lahan pada wilayah kecamatan Pangkalan kerinci memiliki luas areal perkebunan kelapa berkisar 24,5 Ha dengan kapasitas produksi dalam satuan ton pertahunnya berkisar 24

4. Kecamatan Pangkalan Kuras

Luas areal perkebunan kelapa di wilayah kecamatan Pangkalan kuras berkisar 16, 48 dengan total produksi dalam satuan ton pertahunnya berkisar 30,822.

5. Kecamatan Pangkalan lesung

Perkebunan kelapa sawit di wilayah kecamatan pangkalan lesung memiliki satuan ha dengan kisaran luasan berkisar 38 Ha dengan total produksi berkisar 38 Ton Pertahunnya

(15)

Gambar 9. 3. Peta Eksisting Kawasan Perkebunan Kabupaten Pelalawan

(16)

6. Kecamatan Bunut

Luas Areal perkebunan kelapa dikecamatan bunut berkisar 0,4 Ha dengan total produksi pertahunnya berkisar 0,88 Ton

7. Kecamatan Bandar petalangan

Luas Areal Perkebunan Kelapa di kecamatan Bandar Petalangan Kabupaten Pelalawan berkisar 30,5 ha dengan total produksi berkisar 25 Ton pertahunnya.

8. Kecamatan Pelalawan

Luas areal perkebunan untuk komoditi Kelapa di wilayah Kecamat Pelalawan Berkisar 5,44 ha dengan total produksi pertahunnya berkisar 64 Ton.

9. Kecamatan Ukui

Luas Areal perkebunan kelapa yang dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Ukui berkisa 57,7 Ha dengan total produksi berkisar 88 Ton pertahunnya.

10.Kecamatan Krumutan

Hasil perkebunan kelapa di wilayah kecamatan kerumutan berkisar 164 ton per tahunnya dengan luas wilayah 125, 5 Ha 11.Kecamatan Teluk Meranti

Luas area perkebunan kelapa yang berada di Kecamatan Teluk Meranti merupakan luasan yang kedua untuk komoditi kelapa. Hal ini diperkirakan jenis satuan lahannya sangat cocok untuk perkebunan kelapa mengingat daerah ini merupak daerah yang berhubungan dengan wilayah pesisir. Luasan wilayah perkebunan kelapa berkisar 1580, 14 ha dengan total produksi berkisar 3016

(17)

teluk meranti adalah susahnya jalur perdagangan dan sarana pendukung lainnya. Hal ini tentu saja dapat menghambat hasil produksi atau luas lahan produksi tidak sesuai dengan out pun produksi panen.

12.Kecamatan Kuala Kampar

Kecamatan kuala kampar merupakan salah satu potensi perkebunan hasil kelapa. Keadaan ini tentu saja didukung oleh jenis satuan lahan yang ada di sekitar nya serta jumlah luasan lahan yang ada di kecamatan ini. Luasan lahan yang dimiliki untuk perkebunan kelapa di kecamatankuala kampar berkisar 14221, 72 Ha. Dilihat luasan lahannya tentu saja secara tidak langsung akan mengakibatkan dampak terhadap hasil atau out put panen yang seiring dengan luasan lahannya. Total produksi pertahun dalam satuan ton untuk komoditi perkebunan kelapa berkisar 17654, 46.

Selain buahnya dijual di luar kecamatan, masyarakat setempat juga telah mengenal pengolahan kelapa yakni dengan pengeringan kelapa atau Kopra

Gambar 9. 4. Kondisi Perkebunan Kelapa di Kecamatan dalam kawasan Regional Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau

(18)

Lahan yang telah dimanfaatkan 25.205,50 Ha, terdiri dari TBM 2.986,70 Ha, TM 20.606,90 Ha, TT/TR 1.612 Ha. Lahan yang tersedia 137.783 Ha dengan Produksi 230.715,60 ton (20.606,90 Ha TM). Pusat produksi Kelapa terdapat diwilayah kecamatan teluk meranti dan kuala kampar.

9.5. Perkebunan Sagu

Sagu adalah salah satu sumber pangan bagi sebagian masyarakat Indonesia di Propinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Riau Kepulauan, dan Nangro Aceh Darussalam. Walaupun akhir-akhir ini sagu sebagai makanan pokok bagi generasi muda, sudah mulai dialihkan sebagian sumber karbohidratnya ke beras, yang dianggap lebih mudah didapat dan praktis dalam pengolahan sebagai makanan pokok.

Namun demikian, sebagai sumber karbohidrat potensinya sangat besar. Peluang pengembangan sagu sebagai substitusi bahan makanan lainnya, seperti mie, roti, biskuit, kue, makanan penyedap, dan berbagai jenis minuman sirup berkadar fruktosa tinggi, serta bahan baku bukan makanan, seperti bahan perekat, farmasi, biodegradable plastic, serta sumber bahan baku etanol sangat terbuka dan menjanjikan.

Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu Indonesia menurut Prof. Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,4-13,6 juta ton per tahun. Tetapi data luas areal sagu ini, perlu diteliti lagi ketepatannya melalui metode dan teknik yang lebih akurat dan mutakhir, karena berbagai sumber informasi lainnya, khususnya provinsi Papua dan Papua Barat yang mencakup 90%

sagu di Indonesia, sangat besar perbedaannya yaitu dari 600.000-5 juta ha. Data sagu perlu diperbaiki, apalagi data yang dipakai selama ini,

(19)

selain sudah puluhan tahun, dan ternyata sebagian besar merupakan data perkiraan.

Dari sekian banyak kecamatan maka daerah penghasil sagu di Kabupaten Pelalawan adalah

a. Kecamatan Kerumutan

Pada kecamatan kerumutan luas areal untuk pemanfaatan lahan sebagai komoditi Sagu berkisar 1,7 Ha dengan produksi rata-rata 0,2 Ton Pertahunnnya. Kondisi perkebunan sagu dilakukan oleh penduduk setempat dengan cara sambilan atau tidak terpaku kepada hasil Sagu.

Hal ini diperkirakan karena rendahnya tingkat jual di daerah tersebut.

b. Kecamatan teluk Meranti dan Kuala Kampar

Pada kecamatan teluk meranti luas area pemanfaatan hasil perkebunan berupa sagu berkisar 653,23 dengan total produksi dalam satuan ton pertahunnya berkisar 206,54 . untuk wilayah kecamatan kuala kampar luas area pemanfaatan perkebunan sagu berkisar 654,93 dengan total produksi berkisar 206,74 ton pertahunnnya.

Perkebunan sagu di Meranti dan kecamatan kuala kampar telah menjadi sumber penghasilan utama hampir 20% masyarakat Meranti.

Sagu di Meranti bukanlah tumbuhan hutan yang liar seperti di Papua dan Maluku. Batas-batas tanah telah disepakati oleh pemilik dan pemerintah. Sebagian besar perkebunan sagu tersebut merupakan warisan keluarga sehingga pertumbuhan luasan areal perkebunan sangat kecil. Hal ini dikarenakan masyarakat jarang melakukan perluasan tanaman sagu (penanaman tanaman baru) pada tanah mereka. Sebagian petani yang hanya memiliki luasan kurang dari 20 Ha biasanya menjual sagu batangan kepada pemilik kilang sagu (pabrik pengolahan) dan sebagian ada yang titip olah dan kemudian hasilnya dibagi sesuai kesepakatan dengan pemilik kilang.

(20)

Pertumbuhan tinggi pohon sagu pertahun diperkirakan 1,5 meter.

Pohon sagu masak tebang (siap panen) biasanya berumur 8 – 12 tahun.

Tahapan ini ditandai dengan terjadinya penurunan dalam ukuran pelepah yang baru terbentuk pada bagian pucuknya dan terlihat warna keputihan menyerupai serbuk pada pelepah. (Rostiawati, Shoon, Natadiwirya, Balitbanghutbun, Jkt)

Perkebunan sagu rakyat di Meranti masih dibudidayakan secara tradisional. Hal ini bisa dilihat dari kerapatan tanaman sagu pada perkebunan rakyat. Jarak tanam yang terlalu rapat mengakibatkan kurangnya ruang bagi pertumbuhan anakan (tunas).

Proses Produksi Sagu Rakyat di Meranti dan kecamatan Kuala Kampar

Kilang-kilang sagu di Meranti berkapasitas 600 - 3.500 ton tepung sagu pertahun. Dengan mengandalkan mesin diesel berkekuatan 12 – 30 Horse Power untuk mengoperasikan mesin pompa air guna mensuplai kebutuhan air (proses pencucian), menjalankan kanban serta alat parut yang dimodifikasi secara sederhana sehingga menghasilkan tepung sagu dengan kandungan air 15 – 18%.

Panen dan Pengangkutan Hasil Panen

Pohon sagu ditebang dengan memotong batang pada bagian dasar, diusahakan dekat dengan permukaan tanah agar mendapatkan berat batang maksimal. Batang sagu dipotong sepanjang + 1,2 meter (log) dengan menggunakan gergaji mesin untuk mempermudah proses pengangkutan ke pengolahan. Kemudian log-log tersebut dibawa ke pabrik pengolahan dengan digulingkan atau didorong dengan perlengkapan sederhana ke sungai. Log-log tersebut kemudian dikumpulkan dalam satu bentuk ikatan yang menyerupai rakit kemudian

(21)

Sebagai catatan, proses panen yang biasa dilakukan petani ini belum optimal. Proses pemotongan log berpotensi menghilangan berat log. Hal ini bisa diminimalisir dengan memperpanjang ukuran log, namun akan mennyulit proses transportasi log ke tempat pengolahan.

Proses pengolahan sagu

Log-log sagu yang akan diolah terlebihdahulu dikuliti (dikupas) bagian luarnya. Bagian kulit luar ini keras dan tebal kulit 2 – 3 cm.

Pengupasan ini biasanya mengunakan kapak atau pisau yang agak besar.

Tujuan proses pengupasan adalah memisahkan bagian dalam yang berbentuk seperti gabus dengan kulit luarnya yang keras dan tebal.

Kemudian bagian dalamnya ini dipotong kecil dan dimasukan kedalam mesin parutan yang berbentuk drum berpaku yang berputar. Belakangan mesin parut ini digantikan dengan mesin parut dengan bejana berbahan stainless steel dengan motor diesel berkekuatan 7 HP, mesin parut ini prinsip kerjanyanya mirip dengan mesin parut kelapa.

Hasil parutan akan dibawa oleh kanban secara mekanis dan jatuh pada bak penampungan. Parutan tersebut kemudian dicampur dengan air dan diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia (kadang memakai sistem mekanis), proses ini adalah proses ekstraksi sagu menjadi tepung (starch). Pengadukan didalam media aduk ini sebenarnya merupakan proses pelumatan daging batang sagu (yang berbentuk gabus) dengan bantuan air sebagai katalis. Hasil ekstraksi ini menghasilkan serat (fiber) dan butiran untuk kemudian disaring dengan kain yang terbuat dari nylon dengan ukuran + 200 mesh. Proses ekstraksi ini menghasilkan ampas yang oleh masyarak Meranti disebut dengan “repu” yang kemudian menjadi penyebab pencemaran sungai-sungai di sekitar meranti karena kilang-kilang sagu di Meranti berada dipinggir sungai.

Hasil saringan dari proses ekstraksi dialirkan ke bak penampungan (bak beton atau ember kayu besar) untuk proses pengendapan, proses ini

(22)

akan memisahkan air dengan hasil ekstraksi (tepung basah) Setelah bak penampungan penuh dengan endapan kemudian untuk yang keduakalinya endapan tersebut diaduk dalam media adukan untuk kemudian dialirkan ke bak penampungan untuk diendapkan. Setelah pengendapan, tepung basah dijemur dengan memanfaatkan sinar matahari.

Sebenarnya ampas pengolahan sagu (repu) ini biasanya sebagai pakan ternak terutama babi. Tapi karena produksi kilang sagu sudah demikian tinggi amaps pengolahan sagu ini menjadi menggunung. Baru- baru ini ada riset yang menyatakan bahwa amapas pengolahan sagu dapat dicampur sampai sebesar 25% untuk pakan unggas.

Permasalahan Limbah Cemaran Produksi Petani Sagu

Hal inilah yang sebenarnya harus menjadi perhatian serius pemerintah. Kilang sagu mini milik petani sagu di Meranti tidak akan mungkin membangun IPAL karena investasinya begitu mahal. Penataan kawasan industry pengolahan kecil milik petani bisa dilakukan dari sekarang. Pemerintah Daerah harus membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah yang akan dimanfaatkan secara bersama oleh petani sagu.

Sehingga efek pembuangan air limbah proses pengolahan bisa terkendali. Pemerintah juga dengan teknologi yang telah berkembang bisa memanfaatkan ampas pengolahan sagu atau repu untuk pakan ternak. Sehingga Industri Sagu sebagai Zero Waste Industry akan terwujud.

Namun begitu kebijakan tersebut akan meyisakan permasalahan bagi pemilik kilang dan petani sagu eksisting. Jarak pabrik pengolahan yang biasanya dekat dengan perkebunan kini harus memperpanjang waktu tempuh. Mesin dan fasilitas pabrik harus direlokasi kekawasan terpadu yang lebih bersahabat dengan lingkungan sesuai dengan kebijakan pemerintah. Pemilik kilang harus memperhitungkan biaya

(23)

lainnya. Kajian terhadap permasalahan ini akan menjadi acuan pemerintah dalam memutuskan kebijakan mengenai relokasi kilang- kilang sagu rakyat di Meranti. Secara Rinci pemanfaatan lahan hasil sagu dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 9. 5. Kondisi Perkebunan Sagu di Kecamatan dalam kawasan Regional Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau.

Lahan yang telah dimanfaatkan 1.412 Ha, terdiri dari TBM 41 Ha, TM 1.371 Ha. Namun keadaan ini masih kurang maksimal hal ini mengingat bahwa layan yang tersedia 125.383 Ha.

(24)

Gambar 9. 6. Konsensi Perkebunan di Kabupaten Pelalawan

9.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Perkebunan

Adanya kenyataan bahwa kondisi sosial dan ekonomi petani di pedesaan kurang baik, Pemerintah Indonesia dewasa ini semakin intensif melaksanakan berbagai program pembangunan di daerah pedesaan.

Kartodirdjo (1990) menyebut istilah itu dengan syndrome pedesaan.

Jadi, jika akan memecahkan berbagai persoalan di pedesaan, maka harus bertitik tolak dari syndrome tersebut. Menurutnya ada dua jenis syndrome pedesaan, yaitu syndrome kemiskinan (berkait dengan rendahnya produktivitas, pengangguran, tuan tanah, dan kurang gizi) dan syndrome inertia (adanya sifat serba patuh, pasivisme, fatalisme dan ketergantungan) yang sudah lama berakar. Kedua syndrome ini merupakan persoalan pokok yang sudah laten yang perlu segera dipecahkan dalam program pembangunan. Dengan upaya mengatasi kedua syndrome tersebut diharapkan semua sumberdaya alam dan manusia yang sangat potensial di negeri ini dapat dikembangkan untuk mempertinggi martabat kehidupan rakyat.

Upaya untuk mengatasi persoalan pedesaan di Pelalawan, Pemerintah (Pusat dan Daerah) telah melakukan pembangunan dengan menerapkan strategi modernisasi. Secara umum strategi yang diterapkan untuk membangun perkebunan karet-rakyat adalah melaui cara:

Pertama, pemerintah membentuk pusat-pusat pengolahan karet di

(25)

mengolah lateks dari hasil perkebunan rakyat. Program ini bertujuan untuk memperbaiki mutu olahan karet-rakyat. Kedua, melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP). Di daerah Propinsi Riau, program ini lebih dikenal dengan istilah proyek SRDP. Sistem ini diharapkan mampu berfungsi sebagai pembina petani karet secara menyeluruh, meliputi dari masalah penanaman hingga persoalan pemasaran.

Strategi program pembangunan yang diterapkan pemerintah tersebut selain untuk memperbaiki kondisi pendaptan petani, juga dalam jangka panjang diaharapkan mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial petani. Strategi dan program pertama dilaksanakan hampir di seluruh daerah yang menjadi sentra-sentara produksi karet-rakyat di Riau. Di tahap-tahap awal pelaksanaan program ini banyak sekali petani yang merespon positif. Karena dipandang dalam menyukseskan program tersebut, pemerintah.

9.6. Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika.

Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.

Pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditas perkebunan selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah dalam bentuk Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun

(26)

oleh perusahaan swasta dalam bentuk Perkebunan Besar Swasta (PBS).

Pada masa kolonial Belanda, perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa alasan, mengapa perkebunan kelapa sawit tidak muncul dikalangan masyarakat petani. Salah satu alasan yang penting adalah karena membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan sumberdaya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Sampai saat ini belum ditemukan suatu teknologi yang sederhana yang bisa digunakan oleh petani untuk memproses buah kelapa sawit menjadi minyak sawit yang siap untuk dipasarkan oleh petani.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan yang memberikan kontribusi penting pada pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya pada pengembangan agroindustri. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 1996 mencapai 2 juta Ha dengan produksi CPO hampir 5 juta ton. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit direncanakan akan mencapai 7 juta Ha, dengan produksi CPO lebih dari 12 juta ton. Pada tahun tersebut Indonesia diharapkan akan menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Diwilayah kabuapten pelalawan perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit sampai akhir tahun 2008 mencapai 177.905, 5 Ha dengan total produksi 331.541, 20 Ton. Secara umum perkebunanan sawit diwilayah kabupaten pelalawan dilakukan oleh masyarakat , pemerintah dan swasta.

Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk jantan. Hasil persilangan tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Varietas unggul hasil persilangan antara lain: Dura Deli Marihat (keturunan 434B x 34C; 425B x 435B; 34C x 43C), Dura Deli D. Sinumbah, Pabatu, Bah Jambi, Tinjowan, D. Ilir (keturunan 533 x 533; 544 x 571), Dura Dumpy Pabatu, Dura Deli

(27)

Melayu), Pisifera D. Sinumbah dan Bah Jambi (berasal dari Yangambi), Pisifera Marihat (berasal dari Kamerun), Pisifera SP 540T (berasal dari Kongo dan ditanam di Sei Pancur). Beberapa ciri yang dapat digunakan untuk menandai kecambah yang dikategorikan baik dan layak untuk ditanam antara lain sebagai berikut:

· Warna radikula kekuning-kuningan, sedangkan plumula keputih-putihan

· Ukuran radikula lebih panjang daripada plumula

· Pertumbuhan radikula dan plumula lurus dan berlawanan arah

· Panjang maksimum radikula 5 cm, sedangkan plumula 3 cm.

Ilustrasi beberapa jenis varietas bibit kelapa sawit yang dikategorikan memenuhi syarat seperti pada

Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat

(28)

pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah).

Selain minyaknya, ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kalium dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang dihasilkan. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) mencapai 23 % dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik sehingga memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi. Bagi perkebunan kelapa sawit, dapat menghemat penggunaan pupuk sintetis sampai dengan 50 %. Ada beberapa alternatif pemanfaatan TKKS yang dapat dilakukan, yaitu sebagai pupuk kompos, merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme.

Kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain :

• Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan.

• Membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

• Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman.

• Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah.

• Dapat diaplikasikan pada sembarang musim.

Selain sebagai pupuk kompos TKKS juga sebagai pupuk kalium karena abu tandan tersebut memiliki kandungan 30 - 40 % K2O, 7 % P2O5, 9 % CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200

(29)

juga sebagi bahan serat untuk bahan pengisi jok mobil dan matras, polipot, dll.

• Pelepah pohon dan CPO dapat dijadikan ekstrak untuk Vitamin E

• Batang pohon dapat dijadikan “Fiber Board” untuk bahan baku mebel, kursi, meja, lemari dan

• Ampas tandan/buangan sisa pabrik dapat dijadikan serbuk pengisi kasur, bantalan kursi, dan sebagainya.

Karakteristik Konsumsi/Pemanfaatan Komoditi Kelapa Sawit dan Ikutannya

Keberadaan perkebunan kelapa sawit dikabupaten pelalawan sangat berperan aktif dalam menunjang perokonomian. Keberadaan ini ditunjang pula dengan adanya unit pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Nama Perusahaan Lokasi

Kecamatan Kapasitas Pabrik Terpasang Terpakai

PT. Serikat Putra Bunut 60 45

PT. Sari Lembah Subur Pangkalan Lesung 60 30

PT. Musim Mas Pangkalan Kuras 60 60

PT. Sinar Siak dian Permai Langgam 60 45

PT. Mitra Unggul Pusaka Langgam 60 30

PT. Iis Ukui Ukui 60 60

PT. IIS Buatan Pangkalan Kerinci 60 30

PT. Surya Brata Sena Pangkalan Kuras 60 30

PT. Gandaerah Hendana Ukui 60 45

PT. Adei Plantation Pelalawan 120 90

PT. Multi Palma Sejahtera Pangkalan Kerinci 45 45

PT. Jalus Pusaka Pangkalan Kerinci 10 5

PT. Sinar Agro Raya Pangkalan Kerinci 45 45

PT. Sumber Sawit

Sejahtera Pangkalan Kuras 60 45

Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan 2008

(30)

Selain sebagai sumber minyak goreng kelapa sawit, produk turunan kelapa sawit ternyata masih banyak manfaatnya dan sangat prospektif untuk dapat lebih dikembangkan, antara lain:

Produk turunan CPO. Produk turunan CPO selain minyak goreng kelapa sawit, dapat dihasilkan margarine, shortening, Vanaspati (Vegetable ghee), Ice creams, Bakery Fats, Instans Noodle, Sabun dan Detergent, Cocoa Butter Extender, Chocolate dan Coatings, Specialty Fats, Dry Soap Mixes, Sugar Confectionary, Biskuit Cream Fats, Filled Milk, Lubrication, Textiles Oils dan Bio Diesel. Khusus untuk biodiesel, permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk menggunakan renewable energy.

Produk Turunan Minyak Inti Sawit. Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan Shortening, Cocoa Butter Substitute, Specialty Fats, Ice Cream, Coffee Whitener/Cream, Sugar Confectionary, Biscuit Cream Fats, Filled Mild, Imitation Cream, Sabun, Detergent, Shampoo dan Kosmetik.

Produk Turunan Oleochemicals kelapa sawit. Dari produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat dihasilkan Methyl Esters, Plastic, Textile Processing, Metal Processing, Lubricants, Emulsifiers, Detergent, Glicerine, Cosmetic, Explosives, Pharmaceutical Products dan Food Protective Coatings.

Dari gambaran tersebut dapat disampaikan bahwa prospek kelapa sawit masih sangat luas, tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan minyak goreng kelapa sawit, tetapi juga untuk kebutuhan produkproduk turunannya. Untuk lebih meningkatkan daya saing produk kelapa sawit

(31)

farm, dukungan sarana dan prasarana serta jasa-jasa penunjangnya sangat diperlukan.

Proses Produksi Komoditi Kelapa Sawit Di Kabupaten Pelalawan

Pembibitan

Masyarakat Kabupaten Pelalawan melukan pembibitan Pembibitan dimulai paling lambat satu tahun sebelum penanaman di lapangan.

Standar yang biasa dilakukan, kapasitas pembibitan 1 ha kelapa sawit dapat menyediakan bibit tanaman untuk kebun seluas 71 ha. Lokasi pembibitan harus mendapat perhatian, terutama hal-hal sebagai berikut:

• dekat dengan sumber air

• bebas genangan air atau banjir

dekat dari pengawasan, mudah dikunjungi

tidak jauh dari areal yang akan ditanami

tidak terlalu jauh dengan sumber tanah (top soil) untuk mengisi polybag.

Untuk memperoleh bibit yang berasal dari biji dapat dilakukan dengan mengusahakan sendiri atau memesan ke produsen resmi bibit kelapa sawit yang telah ditunjuk pemerintah. Kegiatan mengusahakan bibit kelapa sawit dimulai dengan melakukan seleksi biji, mengecambahkan, menyemai, dan membibitkannya.

Sistem Pembibitan

Pada dasarnya dikenal dua sistem pembibitan yaitu sistem pembibitan ganda (double stage system) dan sistem pembibitan tunggal (single stage system). Pada penerapan sistem tahap ganda, penanaman bibit

(32)

dilakukan sebanyak dua kali. Tahap pertama disebut pembibitan pendahuluan, yaitu kecambah ditanam dengan menggunakan plastik polibag kecil sampai bibit berumur 3 bulan, kemudian tahap kedua bibit tersebut ditanam ke pembibitan utama yang menggunakan plastik polibag besar selama 9 bulan. Pada sistem pembibitan tahap tunggal, bibit langsung di tanam di dalam plastik polibag besar hingga berumur 12 bulan tanpa harus ditanam di dalam plastik polibag kecil. Pada prinsipnya sistem manapun yang dipilih tujuannya sama, yaitu untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dengan daya tahan tinggi dan kemampuan adaptasinya yang besar sehingga faktor kematian bibit di pembibitan dan setelah dilapangan dapat ditekan.

Waktu Tanam

Biasanya masyarakat di Wilayah Kabupaten Pelalawan Penanaman dilakukan pada awal musim hujan karena persediaan air sangat berperan dalam menjaga pertumbuhan bibit tanaman yang baru dipindahkan.

Penanaman yang dilakukan pada musim kemarau dapat menyebabkan kematian dan memerlukan biaya yang lebih karena perlu persediaan air.

Minimum 10 hari setelah penanaman diharapkan dapat turun hujan secara berturut-turut. Di Indonesia, saat terbaik untuk melakukan penanaman adalah pada bulan Oktober atau November.

Panen dan Produksi

Umur panen

Kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun dan buahnya masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen jika tanaman berumur 31 bulan, sedikitnya 60 % buah telah matang panen, dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah matang panen. Satu tandan beratnya berkisar 10 kg lebih.

(33)

Periode Panen

Panen dilakukan 5 hari dalam seminggu, 2 hari untuk pemeliharaan alat.

Tingkat produksi dipengaruhi kualitas tanaman, kesuburan tanah, keadaan iklim, umur tanaman, pemeliharaan tanaman dan serangan hama - penyakit. Contoh kapasitas produksi kelapa sawit jenis dura:

• Umur tanaman 4 tahun hasil minyak = 500 kg/ha, hasil inti = 100 kg/ha

• Umur tanaman 6 tahun hasil minyak = 1.000 kg/ha, hasil inti = 200 kg/ha

• Umur tanaman 8 tahun hasil minyak = 1.600 kg/ha, hasil inti = 320 kg/ha

• Umur tanaman 10 tahun hasil minyak= 2000 kg/ha, hasil inti = 400 kg/ha

• Umur tanaman 12 tahun hasil minyak = 2250 kg/ha, hasil inti = 450 kg/ha.

Pada dasarnya, ada dua macam hasil olahan utama TBS di pabrik yaitu minyak sawit yang merupakan hasil pengolahan daging buah dan minyak inti sawit yang dihasilkan dari ekstraksi inti sawit. Secara ringkas, tahap- tahap proses pengolahan TBS sampai dihasilkan minyak diuraikan sebagai berikut:

1. Pengangkutan TBS ke Pabrik 2. Perebusan TBS

3. Perontokan dan Pelumatan Buah

4. Pemerasan atau Ekstraksi Minyak Sawit 5. Pemurnian dan Penjernihan Minyak Sawit 6. Pengeringan dan Pemecahan Kulit

(34)

Keberhasilan panen dan produksi sangat tergantung kepada bahan tanaman yang digunakan, SDM dengan kapasitas kerjanya, peralatan yang digunakan pada saat panen, kelancaran tranformasi serta faktor pendukung lainnya seperti organisasi, keadaan areal. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksaan panen adalah sebagai berikut : persiapan panen, sistem dan organisasi panen, kapasitas, kualitas dan sortasi panen, ramalan produksi, angkutan panen. Penggunaan teknologi pada pengolahan kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit mentah (CPO), merupakan teknologi yang sederhana antara lain meliputi proses pemurnian dengan melakukan penguapan kadar air dengan menggunakan mesin bertekanan tinggi.

Skala Usaha Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit Di Kabupaten Pelalawan

Perkebunan kelapa sawit dan unit pengolahan minyak sawit (CPO mill) membutuhkan modal intensif, teknologi, dan pasar dalam investasinya. Perkebunan kelapa sawit memerlukan area yang sangat luas agar bisa menghasilkan tandan buah sawit dan memproduksi CPO secara berkesinambungan dan cadangan area juga mungkin diperlukan untuk perluasan perkebunan. Mengikuti peraturan yang ada, tidak mungkin membangun CPO mill tanpa perkebunan tersebut (yang mampu menghasilkan bahan baku secara terus-menerus). Karenanya, investasi pada komoditi CPO dan perkebunan kelapa sawit merupakan investasi yang terkategori proyek padat modal (capital intensive). Untuk mengetahui suatu usaha layak atau tidak, maka diperlukan perhitungan skala usahanya. Untuk kelayakan komoditi kelapa sawit, skala usaha untuk investasi besar yang menjanjikan keuntungan yang cukup besar dapat dilakukan pada luas lahan kurang lebih 6.000 ha. Data mengenai

(35)

Produksi TBS, Minyak Sawit Dan Inti Sawit Tiap Tahun untuk Luas Lahan 6.000 Ha

Pusat Produksi

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil di Kabupaten Pelalawan. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah

(36)

Kabupaten Pelalawan untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.

Berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam perijinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta

Lahan Lahan yang telah dimanfaatkan 147.493 Ha, terdiri dari TBM 42.606,50 Ha, TM 104.887 Ha. Lahan yang tersedia 123.347 Ha dengan produksi 150.486 ton (104.887 Ha TM). Adapun kecamatan yang dijadikan pusat produksi perkebunan kelapa sawit adalah Ukui, Bunut, Pelalawan, Pangkalan Kuras, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Lesung.

Peluang Investasi

Dilihat dari segi peluang Hasil Perkebunan Kelapa Sawit maka, pengembangan wilayah yang berpotensi dapat ditujukan di Kecamatan Langgam, Pangkalan Kuras, Bunut, Pelalawan, dan Kerumutan Kondisi ini didukung oleh beberapa faktor seperti

Jalan yang akan dibangun pada pengembangan perkebunan kelapa sawit rata-rata sudah memiliki:

• jalan utama, merupakan jalan penghubung yang menghubungkan afdeling ke pusat kebun, pabrik dan merupakan jalan keluar masuk kebun dengan kualitas cukup baik sehingga dapat dilalui walaupun dalam kondisi musim penghujan. Arah jalan utama ialah Utara – Selatan dengan panjang jalan per hektar lebih kurang 2 % dari luas areal,

(37)

• jalan produksi, merupakan jalan lalu lintas pengankutan hasil dari kebun ke pabrik. Lebar jalan 4 – 5 m dengan arah tegak lurus dengan arah barisan tanaman,

jalan blok (jalan kontrol), yaitu jalan yang membatasi blok yang satu dengan yang lainnya yang sewaktu-waktu berfungsi sebagai jalan produksi. Fungsi utama jalan ini adalah sebagai jalankontrol.

Lebar jalan ini 3 m,

• jalan piringan adalah jalan yang dibuat pada perbatasan antar afdeling atau dengan perkampungan,

• jalan pembantu adalah jalan yang dibuat pada daerah bergelombang berguna untuk pengangkutan produksi dan menuju jalan produksi,

• jalan putaran adalah jalan yang digunakan untuk tempat berputar, biasanya dibuat di punggung bukit,

• jalan pikul adalah jalan yang dibuat menurut barisan tanaman dengan sling atau gawangan, berguna untuk mengankut hasil panen ke tempat pengumpul hasil (TPH).

Keberadaan minyak kelapa sawit sebagai salah satu sumber minyak nabati relatif cepat diterima oleh pasar domestik dan pasar dunia. Peningkatan konsumsi minyak nabati dalam negeri terlihat dari tahun 1987 hingga tahun 1995, permintaan lokal akan minyak nabati naik dengan laju rata-rata 5.6% per tahunnya. Peningkatan ini sebagian disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk sebesar 1.98% dan peningkatan konsumsi minyak nabati per kapita sebesar 2.27%.

Sedangkan laju peningkatan permintaan akan minyak kelapa sawit adalah 9% (hampir dua kali dari laju peningkatan permintaan akan minyak nabati). Dalam rangka mengantisipasi melimpahnya produksi

(38)

CPO, maka diperlukan usaha untuk mengolah CPO menjadi produk hilir.

Pengolahan CPO menjadi produk hilir memberikan nilai tambah tinggi.

Produk olahan dari CPO dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak goreng dan margarin. Produk non pangan terutama oleokimia yaitu ester, asam lemak, surfaktan, gliserin dan turunan-turunannya. Industri penghasil oleokimia termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry) yaitu industri yang mengolah bahan baku yang dapat diperbaharui (renewable), merupakan industri yang bersifat resources-based industries dan mempunyai peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat luas (basic needs) seperti kosmetika, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya. Selain itu industri tersebut berperan pula dalam pemerataan dan pertumbuhan ekonomi (economic growth with equality) serta pemberdayaan ekonomi rakyat.

Sampai saat ini beberapa produk industri bahan kimia khusus yang berbasis CPO sepenuhnya masih tergantung impor, seperti produk isopropyl palmitat, isopropyl miristat, asam palmitat dan asam oleat.

Pengembangan industri bahan kimia khusus di dalam negeri yang menghasilkan produk-produk tersebut mempunyai prospek yang baik. Hal ini didukung potensi pasar dalam negeri cukup besar seperti industri kosmetika yang berjumlah sekitar 600 perusahaan besar dan kecil serta industri farmasi, yang sebagian besar membutuhkan produk-produk kimia khusus yang berbasis CPO. Produk olahan CPO yang merupakan non pangan diantaranya adalah oleokimia. Salah satu produk turunan oleokimia adalah ester, contohnya adalah metil ester. Asam lemak metil ester mempunyai peranan utama dalam industri oleokimia. Metil ester digunakan sebagai senyawa intermediate untuk sejumlah oleokimia yaitu seperti fatty alcohol, alkanolamida, a-sulfonat, metil ester, gliserol monostearat, surfaktan gliserin dan asam lemak lainnya. Perusahaan Lion

(39)

sabun mandi yang berkualitas, selain itu metil ester saat ini telah digunakan untuk membuat minyak diesel sebagai bahan bakar alternatif.

Metil ester mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan asam lemak, diantaranya yaitu: 1) Pemakaian energi sedikit karena membutuhkan suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak; 2) Peralatan yang digunakan murah. Metil ester bersifat non korosif dan metil ester dihasilkan pada suhu dan tekanan lebih rendah, oleh karena itu proses pembuatan metil ester menggunakan peralatan yang terbuat dari karbon steel, sedangkan asam lemak bersifat korosif sehingga membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat; 3) lebih banyak menghasilkan hasil samping gliserin yaitu konsentrat gliserin melalui reaksi transesterifikasi kering sehingga menghasilkan konsentrat gliserin, sedangkan asam lemak, proses pemecahan lemak menghasilkan gliserin yang masih mengandung air lebih dari 80%, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak; 4) metil ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan lebih stabil terhadap panas; 5) dalam memproduksi alkanolamida, ester dapat menghasilkan superamida dengan kemurnian lebih dari 90% dibandingkan dengan asamlemak yang menghasilkan amida dengan kemurnian hanya 65-70%;

6) metil ester mudah dipindahkan dibandingkan asam lemak karena sifat kimianya lebih stabil dan non korosif. Metil ester dihasilkan melalui reaksi kimia esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi adalah reaksi asam dengan alkohol menggunakan katalis asam menghasilkan ester.

Kajian Pasar

Pengembangan produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan mengingat peningkatan nilai tambah yang dapat diperoleh. Sebagai bahan perbandingan, pada Gambar dibawah ini

(40)

Dari Gambar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan Gliserin diperkirakan dari tahun ketahunnya akan semakin meningkat atau perkembangn harga produk-produk oleokimia yang menggunakan CPO sebagai bahan baku. Produk hilir sawit lanjutan yang dapat dihasilkan melalui penerapan proses lanjutan terhadap produk-produk oleokimia yang telah berkembang diIndonesia akan memberikan tambahan nilai tambah yang cukup besar. Nilai tambah produk hilir sawit tersebut akan lebih besar dibandingkan nilai tambah produk-produk oleokimia.

Peluang pengembangan produk turunan (hilir) minyak sawit mengingat lembaga-lembaga riset di Indonesia telah melakukan riset- riset mengenai produk hilir sawit. Riset-riset produk hilir sawit yang telah dikembangkan hingga skala produksi pilot plant oleh lembaga riset di Indonesia sangat baik untuk diaplikasikan ke skala industri.

Ekspor Impor Oleokimia

Ekspor industri oleokimia telah dilakukan ke berbagai negara. Pasar ekspor yang selama ini prospektif untuk komoditi asam lemak adalah

(41)

deterjen adalah Amerika Serikat (29,1 kg/kapita/tahun), Eropa (15,5 kg/

kapita/tahun), Singapura (7,8 kg/kapita/tahun) dan Jepang (7,2 kg/kapita/tahun); sedangkan konsumen utama sabun berturut-turut adalah Singapura (4,5 kg/kapita/tahun), Amerika Serikat (2,8 kg/kapita/

tahun) dan Eropa (2,3 kg/kapita/tahun). Sejalan dengan peningkatan jumlah dan pendapatan penduduk, kebutuhan akan kedua produk tersebut (deterjen dan sabun) tampaknya akan semakin meningkat (AP31, 1993;Tri Karya Pecindo, 1995).

_______________

______

9.1. Perkebunan di Kabupaten Pelalawan ... 156

9.2. Perkembangan usaha Perkebunan rakyat ... 157

9.3. Perkebunan Karet ... 157

9.3.1. Kondisi Pasar Karet ... 167

9.4. Perkebunan Kelapa ... 167

9.5. Perkebunan Sagu ... 172

9.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Perkebunan ... 178

9.6. Perkebunan Kelapa Sawit ... 179

(42)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan cara pengambilan datanya berupa observasi dengan wawancara narasumber dan pengguna, dokumentasi, pengukuran

a) Guru memberikan beberapa soal tiket masuk kelas (menggunakan kartu soal) untuk mengingatkan materi yang sudah dipelajari yaitu pembulatan ke satuan terdekat dengan

Selanjutnya pada tanggal 24 April 2013 pukul 11.45 WIB implementasi yang dilakukan oleh perawat adalah membina hubungan saling percaya, mengevaluasi kembali

• Dengan demikian, pemahaman terhadap persepsi petani tentang peru Dengan demikian, pemahaman terhadap persepsi petani tentang perubahan iklim sangat Dengan demikian,

Berdasarkan uraian diatas akan po- tensi sumber daya alam khususnya pem- anfaatan ubi jalar ungu, maka pada penelitian ini peneliti akan membuat diver- sifikasi

Penyuluhan kesehatan pada individu dapat dilakukan di Puskesmas, keluarga binaan dan masyarakat binaan bersama pemegang program Perkesmas dan pelaksana program.. Penyuluh kesehatan

Ma’rifatun Diniyah, selaku guru PAI menyatakan bahwa, dalam tahap perencanaan harus disesuaikan dengan materi dan ketika awal pembelajaran guru mentargetkan agar

Adapun biaya manufkatur yang dikeluarkan dalam proses pembuatan kendaraan bermotor roda tiga sebagai alat transportasi jarak jauh bagi penyandang disabilitas adalah seperti