DEWAN REDAKSI
Journal Manager Dara Angreka Soufyan S.P.,M.Si
Editor In Chief
Devi Agustia S.P., M.Si
Section Editor
Khori Suci Maifianti, S.P., M.Si
Copy Editor
Agustinur, S.Si., M.Sc
Layout Editor
Yoga Nugroho, S.P., M.M
Analisis Kelayakan Investasi Industri Karet Remah (Crumbrubber)
Di Wilayah Barat Provinsi Aceh 1-8
Rahmad Ramadhan, Fajri, Mustafa
Efektifitas Pembiayaan Modal Usaha Oleh Baitul Mal Aceh
Terhadap Usaha Agribisnis 9-23
Hendra Kusumah, Mustafa Usman, Fajri
Analisis Harga Pangan Pokok dan Saling Korelasinya Di Kabupaten Aceh Barat 24-40 Aswin Nasution, Hafnidar
Analisis Kebutuhan Bangsal dan Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Tenaga Kerja dan
Pendapatan Pengrajin Gula Aren Di Kecamatan Pinning Kabupaten Gayo 41-48 Elly Susanti, Indra, Menti Mentari
Pengaruh Modal, Jumlah Anggota, dan Volume Usaha Terhadap Sisa Hasil Usaha
(SHU) Pada Koperasi Kartika Aceh Barat Kabupaten Aceh Barat 49-59 Raidayani
Pengembangan Usaha Sapi Potong Kelompok Tani Ternak Hidayah
Kampung Laban Kenagarian Salido Kabupaten Pesisir Selatan 60-75 Hanafi Herman, Fuad Madarisa, Syahrial
Analisis Kontribusi Pendapatan Wanita Tani Dalam Kegiatan Pasca Panen
Bawang Merah Di Kabupaten Brebes 76-82
Indah Nurhayati
Pendapatan Petani Karet Di Gampong Paya Lumpat Kecamatan Samatiga
Kabupaten Aceh Barat 83-89
Sri Handayani, Aswin Nasution, Matria Gunawan
Analisis Nilai Tambah Industri Pengolahan Bubuk Kopi UD Ayam Merak
Di Desa Garot Cut Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie 90-102 Mujiburrahmad
ANALISIS KELAYAKAN INVESTASI INDUSTRI KARET REMAH (CRUMBRUBBER) DI WILAYAH BARAT PROVINSI ACEH
Rahmad Ramadhan1, Fajri2, Mustafa3
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala1, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala23
Abstract
Rubber farmers in Aceh especially in the South West Coast region generally have almost no relationship with the rubber processing plant and Their relationship is limited to merchants at the village level which directly conduct bokar transactions with farmers. Farmers produce bokar as if fulfill commitments with collecting merchants which almost never distinguishes the quality of bokar. The purpose of this research is to analyze the financial feasibility of developing a crumb rubber processing plant. Data processing methods and the analysis used in this research is quantitative analysis. Qualitative analysis is used to obtain a description of the feasibility aspects of the development of crumb rubber processing industry, that is financial aspect. Results of the research investment cost of crumb rubber processing factory (crumb rubber) capacity 13,200 tons per year (economic life 20 years) is suitable for use with NPV Rp. 550.695.026.000, - NBCR 1.75, IRR 53.62% and payback period 5 years 9 months. Based on sensitivity analysis of rubber plant construction capacity of 5 tons per hour, it is still possible to do this can be seen from the Net B/C average above 1, this shows that the construction of a rubber factory is feasible.
Keywords: Rubber, Factory Feasibility, Aceh
Abstrak
Petani karet di Aceh khususnya di wilayah Pantai Barat Daya umumnya hampir tidak memiliki hubungan dengan pabrik pengolahan karet dan hubungan mereka terbatas pada pedagang di tingkat desa yang secara langsung melakukan transaksi bokar dengan petani. Petani menghasilkan bokar seolah memenuhi komitmen dengan mengumpulkan pedagang yang hampir tidak pernah membedakan kualitas bokar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan finansial pengembangan pabrik pengolahan crumb rubber. Metode pengolahan data dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang aspek kelayakan pengembangan industri pengolahan crumb rubber, yaitu aspek keuangan. Hasil dari investasi penelitian biaya pabrik pengolahan crumb rubber (crumb rubber) kapasitas 13.200 ton per tahun (umur ekonomi 20 tahun) sangat cocok digunakan dengan NPV Rp. 550.695.026.000, - NBCR 1,75, IRR 53,62% dan waktu pengembalian modal 5 tahun 9 bulan. Berdasarkan analisis sensitivitas kapasitas konstruksi pabrik karet sebesar 5 ton per jam, masih dimungkinkan untuk melakukan hal ini dapat dilihat dari Net B / C rata-rata di atas 1, ini menunjukkan bahwa pembangunan pabrik karet layak dilakukan.
Kata Kunci: Karet, Kelayakan Usaha, Aceh
2 PENDAHULUAN
Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah penghasil karet di Indonesia sekaligus memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan komoditi karet.
Pembangunan perkebunan di Provinsi Aceh khususnya pengembangan tanaman karet yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat.Luas perkebunan karet di Aceh secara keseluruhan telah mencapai 145.650 Hadengan produksi 99.123 ton pada tahun 2016 (BPS, 2016), dimana daerah perkebunan karet terbesar berada di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Timur.
Kondisi perkebunan karet di Provinsi Aceh secara umum masih dikelola oleh rakyat.
Permasalahan yang sangat terkait dengan pengembangan investasi industri karet remah (crum rubber) di Aceh adalah ketidakseimbangan supply-demandbahan baku. Kegiatan agroindustri pengolahan karet alam sangat tergantung pada ketersedian bahan baku utamanya yaitu karet alam ber sumber dari perkebunan karet rakyat, sehingga untuk mewujudkan usaha angoindustri pengolahan karet harus memperhitungkan potensi bahan baku yang akan tersedia.
Dengan memperhatikan potensi yang ada dan prospek dimasa yang akan datang, serta untuk mengurangi permasalahan yang akan timbul dalam pengembangan agribisnis perkebunan karet di Aceh, maka diperlukan suatu analisis studi kelayakan investasi industri Crum Rubber yang komprehensif dalam rangka memberikan masukan bagi perencanaan pengembangan agroindustri karet di Provinsi Aceh.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Provinsi Aceh pada Wilayah Pantai Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja berdasarkan potensi luas areal perkebunan dan produksi karet rakyat yang dihasilkan serta pertimbangan potensi wilayah pengembangan karet.
Populasi dan sampeldalam penelitian ini kecamatan yang ada di empat kabupaten yaiyu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya dan Abdyayang memiliki perkebunan karet yang dilihat berdasarkan luas lahan, jumlah produksi, produktifitas.
Data dan informasi dikumpulkan untuk keperluan analisis aspek-aspek yang berkaitan dengan proses investasi Industri
Karet Remah atu crumb rubber. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Metode pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dlakukan secara analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang aspek- aspek kelayakan pembangunan industri pengolahan karet remah (crumb rubber).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data Statistik Karet Indonesia Tahun 2011 – 2015 produk karet Indonesia telah di ekspor ke lebih dari 56 negara di lima benua. Jenis karet yang di ekspor antara lain : karet alam, latek, Standard Indonesia Rubber (SIR), dan Ribbed Smoked Sheet (RSS). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Nilai Ekspor Produk Karet Indonesia Tahun 2011 – 2015.
Tahun Jenis Karet yang di Ekspor (000 US$) Jumlah
Karet Alam Lateks RSS SIR (000 US$)
2011 11.762.317 27.214 319.001 11.416.101 23.524.633
2012 7.861.378 15.997 218.656 7.626.725 15.722.756
2013 6.906.952 9.343 190.745 6.706.864 13.813.904
2014 4.741.489 8.495 138.018 4.594.976 9.482.978
2015 3.699.055 8.236 126.731 3.564.088 7.398.110
Sumber : Statistik Karet Indonesia, 2011-2015.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah ekspor produk karet cendrung turun. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain permintaan terhadap kebutuhan karet negara pengimpor, peremajaan tanaman karet (TBM), serta kondisi alam (perubahan iklim). Permintaan akan bahan karet alam dinegara-negara industri diperkirakan akan meningkat. Oleh karena
itu upaya meningkatkan persediaan karet alam melalui industri karet merupakan langkah strategis yang perlu dilaksanakan.
Guna mendukung semua ini perlu diperhatikan perkembangan perkebunan karet dan industri hilir yang memberi nilai tambah dari hasil industri hulu.
Secara garis besar skema proses pengolahan crumb rubber disajikan pada Gambar 1. Tahap-tahap utama pada
pengolahan crumb rubber terdiri atas tahap sortasi bahan olah, pencacahan dan pencampuran, pembuatan blanket atau krep, pengeringan awal atau pre-drying, peremahan, pengeringan, dan
pengemasan. Dilihat dari diagram alur proses produksi Gambar 1, teknologi proses pengolahan crumb rubber relatif sederhana dan pada umumnya hanya menyangkut transformasi fisik bahan.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Crumb Rubber Sumber: Sianturi, 2010
Analisis kelayakan industri pengolahan karet mengacu kepada harga berlaku tahun 2016. Dalam perhitungan diasumsikan harga beli lateks petani adalah sebesar Rp 10.000 per kilogram dan harga jual produk crumb rubber yang berlaku pada saat penelitian adalah rata- rata Rp. 31.525 per kilogram atau US
$ 2,425 per kg.Biaya yang dikeluarkan untuk investasi pabrik pengolahan karet dengan kapasitas produksi sebesar 13.200 ton per tahun berupa biaya investasi fisik dan modal kerjadengan asumsi umur ekonomis selama 20 tahun adalah sebesar
Rp. 314.448.700.000,-. Dalam analisis ini juga di hitung biaya reinvestasi pada tahun ke 11 sebesar Rp. 62.889.740.000,-.
Sedangkan biaya operasional pada pembangunan pabrik pengolahan karet merupakan keseluruhan biaya yang digunakan pada proses produksi atau selam umur ekonomis 20 tahun, yang terdiri dari biaya operasional dan pajak.
Besarnya total biaya operasional diperkirakan sebesar Rp.
3.781.698.600.000,- sedangkan per tahun biaya operasional sebesar Rp.
189.084.930.000.
Tabel 2. Kreteria Investasi Pembangunan Pabrik Karet kapasitas 5 ton per jam
No Kreteria Satuan Nilai
1 NPV Rp/umur proyek 550.695.026.000
2 IRR (%) % 53,62
3 Net B/C Rasio 1,75
4 PBP Tahun 5,72
5 Tahun 9 Bulan Sumber : Data Primer (diolah), 2016
Berdasarkan hasil perhitungan pada Discount Factor (DF) sebesar 14% selama umur ekonomis 20 tahun, maka nilai NPV sebesar Rp. 550.695.026.000,- berarti pembangunan pabrik karet menguntungkan. Net Benefit Cost Ratio (NBCR) merupakan nilai perbandingan
antara present value positif dan present value negatif. Berdasarkan perhitungan pada DF 14% selama umur tanaman 20 tahun, maka diperoleh NBCR pembangunan industri karet sebesar 1,75.
Berarti pembangunan pabrik pengolahan karet cukup layak diusahakan.
Tabel 3. Analisis Sensitivitas Pembangunan Pabrik Karet Kapasitas 5 ton per jam
No Kreteria Sensitivitas
Kreteria
NPV IRR (%) Net B/C PBP
Rp (juta)
/umur proyek % Rasio Tahun
1 Kenaikan Biaya Produksi 20% 550.695 53,62 1,75 5 Thn 9 Bln
2 Penurunan Harga Produksi
10 % 533.927 49,04 1,70 6 Thn 2 Bln
3 Kenaikan Pembelihan Bahan
Baku Karet 20% 424.859 40,96 1,35 8 Thn 6 Bln
Sumber : Data Primer (diolah), 2016
Berdasarkan analisis sensitivitas pembangunan pabrik karet kapasitas 5 ton per jam, masih layak untuk dilakukan hal ini dapat dilihat dari Net B/C rata-rata di atas 1, ini menunjukan bahwa pembangunan pabrik karet layak.
KESIMPULAN
Biaya investasi pabrik pengolahan karet (crumb rubber) kapasitas 13.200 ton per tahun atau umur ekonomis 20 tahun layak untuk dijalakan dengan NPV Rp.
550.695.026.000,- , NBCR 1,75, IRR 53,62 % serta Payback Period 5 tahun 9 bulan.
Saran yang dapat diberikan adalah kepada pemerintah daerah merealisaikan pembangunan pabrik pengolahan karet, sehingga dapat menambah PAD, membuka lapangan pekerjaan serta mengangkat kesejahteraan petani karet. Selanjutnya agar dapat dibuat Peraturan Gubernur atau Pergubataupun Peraturan Daerah atau Perdauntuk Kawasan Abadi Karet, sehingga
kawasan yang telah ditetapkan tidak dialihfungsikan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anonymous. 2016. Aceh Dalam Angka 2016.
Badan Pusat Statistik (BPS). Banda Aceh
Anonymous. 2016. Aceh Barat Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik (BPS).
Meulaboh
Anonymous. 2016. Aceh Jaya Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik (BPS).
Calang
Anonymous. 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2012- 2017. Bappeda Aceh, Banda Aceh Anonymous. 2015. Statistik Karet Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS).
Jakarta
Anonymous. 2014. Statistik Karet Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS).
Jakarta
Anonymous. 2013. Statistik Karet Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS).
Jakarta
Anonymous. 2012. Statistik Karet Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS).
Jakarta
Anonymous. 2011. Statistik Karet Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS).
Jakarta
Anonymous. 2007. Gambaran Sekilas Industri Karet. Pusdatin.
Departemen Perindustrian RI.
Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet.
http://www.litbang.deptan.go.id [17 Oktober 2016].
Bahri, S,T, 2014. Analisis Kelayakan Lokasi dan Finansial Pembangunan Industri Pengolahan Kakao di Pesisir Timur Provinsi Aceh. Jurnal Agrisep Vol (15) No. 1, 2014 Choliq, dkk. 1993. Evaluasi Proyek (Suatu
Pengantar). Pionir Jaya. Bandung.
Damanik, S. 2012. Pengembangan Karet (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Bogor. Jurnal Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 91 –102 ISSN: 1412-8004.
F. Hero K. Purba. 2012. Potensi dan Perkembangan Pasar Ekspor Karet Indonesia di pasar Dunia.
http://pphp.deptan.go.id.
Ibrahim, Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis.
Rineka Cipta. Jakarta.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek, analisis Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalian Indonesia. Jakarta.
Rugesty, Y. 2014. Analisis Arah Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Agribisnis Karet Rakyat Dalam Perspektif Peranan Kelembagaan Dan Ekonomi Wilayah Di Provinsi Sumatera Selatan. Tesis Tidak di Publikasikan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Sianturi, M. 2010. Proses Pengolahan Karet
Crumb
Rubberhttp://mangasasianturi.blo gspot.com. (diakses: 28 Desember 2016)
Siregar, T. H. S., dan Suhendry, I. 2013.
Budidaya dan Teknologi Karet.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Susanto T, 2016. Kajian Kelayakan Pengembangan Industri Inovatif Skala Kecil Menengah Untuk Produk Karet Otomotif. Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik Ke-5 ISSN : 2477-3298 Yogyakarta, 26 Oktober 2016 Syarifa LF, 2010. Estimasi Elastisitas
Permintaan Ekspor Karet Alam Malaysia Menggunakan Error Correction Model (Ecm). Jurnal Penelitian Karet Vol 28, 2010 Utomo, T. P. dan E. Suroso. 2004. Aplikasi
Sistem Pakar pada Pengendalian Mutu Karet RSS. Jurnal Penelitian Program Pasca Sarjana IPB Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung
Widjaja T, Hidayati U, 2003. Evaluasi lahan untuk Pengembangan Tanaman Karet di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Jurnal Penelitian Karet Vol 2, 2003 Yuniarti, R. 2012. Perencanaan Fasilitas,
Manajemen Trasportasi dan Logistik. Universitas Brawijaya.
Yuprin. 2009. Analisis pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Tesis S2 (Tidak dipublikasikan) Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang
Efektifitas Pembiayaan Modal Usaha Oleh Baitul Mal Aceh Terhadap Usaha Agribisnis
Hendra Kusumah1), Mustafa Usman2), Fajri2) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala1, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala2
ABSTRACT
One of the main problems in the development of the agricultural sector is the lack of capital.Baitul Mal Aceh as one of the Zakat Management Board has issued productive zakat used for business activities.The results showed that the implementation of agribusiness-based business financing program by Baitul Mal Aceh has been effective with the form of qardul hasan or without interest and profit sharing,business capital is revolving,the amount of business capital financing varies from Rp 2.000.000, - - Rp 10.000.000, -, this has an impact on the increase of income mustahik from Rp 2.300.000 - Rp 10.000.000, -From the time side of the mustahik return the current collectability is 91.04%,less current 5.67%,Doubtful 3.28% and no business returns are stalled.The average income of the mustahik after receiving agribusiness-based business financing of Rp 4.310.000 has fulfilled the Decent Living Needs. Revenue mustahik be better since the existence of such financing activities and give multiplier effect to the previous income with an average amount of Rp 2,261,429. The increase of income of the mustahik in the research is 100.75%.
Keywords : Baitul Mal, mustahik, zakat
Abstrak
Salah satu masalah utama dalam pembangunan sektor pertanian adalah kurangnya modal. Baitul Mal Aceh sebagai salah satu Badan Pengelola Zakat telah mengeluarkan zakat produktif yang digunakan untuk kegiatan bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program pembiayaan bisnis berbasis agribisnis oleh Baitul Mal Aceh telah efektif dengan bentuk qardul hasan atau tanpa bunga dan bagi hasil, modal usaha berputar, jumlah pembiayaan modal usaha bervariasi dari Rp 2.000.000, - - Rp 10.000.000, -, ini memiliki berdampak pada peningkatan penghasilan mustahik dari Rp2.300.000 - Rp10.000.000, -Dari sisi waktu mustahik pengembalian kolektibilitas lancar adalah 91,04%, kurang lancar 5,67%, Diragukan 3,28% dan tidak ada pengembalian usaha yang terhenti. rata-rata penghasilan mustahik setelah menerima pembiayaan usaha berbasis agribisnis sebesar Rp 4.310.000 telah memenuhi Kebutuhan Hidup Layak. Pendapatan mustahik menjadi lebih baik karena adanya kegiatan pembiayaan tersebut dan memberikan efek berganda terhadap penghasilan sebelumnya dengan rata-rata sebesar Rp 2.261.429. Peningkatan pendapatan mustahik dalam penelitian adalah 100,75%.
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan utama dalam pembangunan di sektor pertanian adalah lemahnya permodalan.
Pemerintah telah berusaha mengatasi permasalahan tersebut dengan meluncurkan beberapa kredit program untuk sektor pertanian. Kredit program yang memakai sistem bunga menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, bahkan menimbulkan permasalahan baru seperti membengkaknya hutang petani serta kredit macet. Berdasarkan hal tersebut perlu dicari model pembiayaan alternatif, salah satu di antaranya adalah dengan skim syariah. Berbeda dengan model kredit, pembiayaan syariah ini bebas bunga, pembagian keuntungan didasarkan atas bagi hasil yang dilakukan setelah periode transaksi berakhir (Ashari dan Saptana, 2005).
Menurut Tampubolon
(2002)kredit merupakan salah satu alat penting untuk memutuskan lingkaran setan dari pendapatan rendah, kemampuan memupuk modal rendah, kemampuan membeli sarana produksi rendah, produktivitas usahatani rendah, pendapatan rendah. Namun dari pengalaman selama ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan kredit di Indonesia masih belum optimal.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal dijelaskan bahwa pemberlakuan Syariat Islam di Aceh berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah mendorong Pemerintah Aceh untuk membentuk lembaga-lembaga yang didasarkan pada ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh. Dalam Qanun tersebut menetapkan bahwa Baitul Mal Aceh adalah sebuah lembaga daerah non struktural yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan atau pengelola harta warisan yang tidak memiliki wali berdasarkan Syariat Islam. Baitul Mal Aceh sebagai salah satu dari Badan Pengelola Zakat yang ada di Indonesia dan salah satu zakat yang diberikan disebut sebagai zakat produktif.
Zakat produktif adalah zakat yang dikelola dengan cara produktif, yang dilakukan dengan cara pembiayaan modal usaha kepada para fakir dan miskin sebagai penerima zakat dan kemudian dikembangkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk masa yang akan datang (Asnainu, 2008).
Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) produktif adalah unit kerja yang dibentuk untuk mengelola program pembiayaan modal usaha tanpa bunga bagi pengembangan usaha mustahik terutama pelaku usaha mikro.Sasarannya adalah para pelaku usaha mikro di Kota Banda Aceh dan sebagian Kabupaten Aceh Besar (mustahik baru) dan mustahik binaan Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif Baitul Mal Aceh (mustahik lama). Sedangkan bentuk programnya adalah: 1) Pembiayaan modal usaha dalam bentuk (tanpa bunga dan bagi hasil); dan 2) Modal usaha yang diberikan secara bergulir kepada mustahik binaan dengan penambahan modal bervariasi.
Tabel 1. Jumlah Mustahik Pembiayaan Modal Usaha dengan berbagai katagori usaha Dari Baitul Mal Aceh
N
o. Tahun Jumlah Mustahik
Realisasi Modal Usaha (Rp).
1. 2012 309 1.265.000.000
2. 2013 860 2.864.500.000
3. 2014 914 3.833.850.000
4. 2015 794 3.842.400.000
5. 2016 637 4.176.000.000
Total 3514 15.981.750.000 Sumber : Baitul Mal Aceh, 2017.
Dari Tabel 1.2. dapat diketahui bahwa realisasi modal usaha yang disalurkan oleh Baitul Mal Aceh setiap tahunnya meningkat dan ini berarti bahwa program pemberian modal usaha oleh Baitul Mal Aceh dinilai sangat membantu dalam mensejahterakan masyarakat. Salah satu bidang usaha yang dibantu permodalan melalui Baitul Mal Aceh adalah usaha Agribisnis. Usaha Agribisnis termasuk usaha yang berkembang di Banda Aceh dan Aceh Besar, namun pelaku usaha ini pada umumnya masyarakat dengan ekonmi kurang atau dapat dikatakan sebagai masyarakat miskin. Sebagaimana program yang dilakukan Baitul Mal Aceh dalam membantu modal kerja usaha masyarakat miskin yang bergerak di sektor Agribisnis maka penelitian dengan judulefektivitas pembiayaan modal usaha oleh Baitul Mal Aceh terhadap usaha berbasis agribisnis ini menarik untuk dibahas.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini di lakukan pada Baitul Mal Aceh, juga di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai domisili 35 orang responden penerima bantuan modal usaha dari Baitul Mal Aceh yang berusaha di bidang Agribisnis. Penelitian ini dilakukan : 1) untuk mengetahui
pelaksanaan program pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis oleh Baitul Mal Aceh sudah berjalan efektif; 2) untuk mengetahui perbedaan pendapatan para mustahik sebelum dan sesudah pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis oleh Baitul Mal Aceh; dan 3) untuk mengetahui multiplayer efek pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis oleh Baitul Mal Aceh terhadap pendapatan para mustahik.
Untuk melihat efektivitas bantuan modal usaha dari Baitul Mal Aceh bagi usaha agribisnis ini digunakan 4 indikator yaitu: 1) tingkat kualitas yaitu pelayanan yang baik diberikan oleh pihak penyalur dana; 2) tingkat kuantitas yang dilihat dari modal yang diberikan dengan jenis usaha yang digunakan; 3) dampak dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan yang diterima dan dari tingkat waktu; dan 4) Pengembalian dilihat dari sisi waktu pengembalian yang dilakukan oleh peminjam. (Rully Hikmatullah M, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Tingkat Kualitas Pelayanan oleh Baitul Mal Aceh Terhadap Mustahik Pembiayaan modal usaha yang bersumber dari zakat produktif dalam bentuk modal usaha oleh Baitul mal Aceh mengacu pada Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengurusan Zakat di
Aceh dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Zakat dari baitul Mal Aceh dibagikan dalam bentuk konsumtif dan produktif kepada asnaf.
Dalam pendistribusiannya ditetapkan bahwa pembiayaan modal usaha harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan agar zakat diterima oleh orang yang memang berhak untuk menerimanya dan dapat menaikkan taraf ekonomi mereka. Persyaratan tersebut adalah : 1) penerima zakat berasal dari keluarga miskin; 2) memiliki kemampuan dan pengalaman wirausaha; 3) berkomitmen mengembalikan dana dalam periode satu tahun; 4) bersedia mengikuti pengajian bulanan; 4) mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati dalam kelompok atau group;
dan 5) bersedia mematuhi perjanjian atau aqad kerjasama.
Bersarakan keenam persyaratan bagi penerima zakat ada satu persyaratan yang memunculkan kontroversi dalam kalangan pengamat zakat yaitu syarat adanya pengembalian zakat oleh penerima zakat merupakan suatu permasalahan yang belum disepakati oleh para pakar zakat. Mereka berpendapat dana zakat hendaklah menjadi milik orang miskin sepenuhnya sehingga tidak perlu dikembalikan lagi.
Namun, berdasarkan wawancara penulis
dengan Bapak Bobby, Bidang Distribusi Zakat Baitul Mal Aceh dikatakan bahwa hal itu merupakan keputusan para ulama dan pakar dalam Dewan Pertimbangan Syariah sehingga harus dilaksanakan.
Skema penyaluran Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) produktif dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
Gambar 1 . Mekanisme Pemberian Modal Usaha
Keterangan : 1) Muzakki menyerahkan Zakat, Infak dan Sedekahnya kepada pihak Baitul Mal Aceh; 2) Baitul Mal Aceh menyalurkan Zakat, Infak dan Sedekah dari muzakki kepada para mustahik melalui produk pembiayaan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) produktif; dan 3) Mustahik membayar angsuran bulanan kepada pihak Baitul Mal Aceh.
Beberapa program unggulan pada Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan antara lain Zakat di Baitul Mal Aceh adalah : 1) Program Zakat Produktif; 2)Program Fakir Uzur;
3)Program Beasiswa; 4) Program Rumah Fakir Miskin; dan 4)Program Pembinaan Daerah Rawan Aqidah.
Adapun sasaran pendistribusian zakat, infaq dan shadaqah yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh adalah : 1)Petani holtikultura di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar; 2) Usaha mikro di pasar-pasar tradisional; dan 3) Kaum dhuafa yang memiliki potensi berwirausaha. Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa Jumlah pembiayaan modal usaha oleh Baitul Mal Aceh untuk usaha produktif berbasis agribisnis tahun 2016 berjumlah 335 orang mustahik dengan realisasi anggaran sebesar Rp 2.162.000.000,-.
Efektivitas Tingkat Kuantitas Pembiayaan Modal Usaha Terhadap Mustahik
Penerima zakat produktif Baitul Mal Aceh merupakan golongan fakir miskin yang telah memiliki usaha, namun masih mengalami kekurangan modal untuk memajukan usaha mereka. Oleh karena itu pendapatan mereka masih belum cukup memenuhi keperluan keluarga untuk dapat hidup sejahtera.
Pada tahun 2016 Baitul Mal Aceh melalui Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif telah memberikan pembiayaan modal usaha kepada 637 mustahik pada berbagai jenis usaha.
Baitul Mal
Mustahi q Muzakki
Tabel 2. Distribusi Modal Usaha Oleh Baitul Mal Aceh Kepada Mustahik Usaha Berbasis Agribisnis
No Tahun Jumlah
Mustahik Jumlah Dana (Rp)
1. 2012 206 837.000.000,-
2. 2013 548 1,742,000,000,-
3. 2014 606 2,491,250,000,-
4. 2015 518 2,415,500,000,-
5. 2016 335 2,162,000,000,-
Tota
l 2.515 9,647,750,000,-
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
Tabel 3. Jumlah Mustahik Dalam Wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2016
No. Wilayah Jumlah
Mustahik
1. Kota Banda Aceh 106
2. Kabupaten Aceh Besar 229
Jumlah 335
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
Tabel 4. Alokasi Penyaluran Zakat Baitul Mal Aceh Berdasarkan Asnaf
No. Alokasi Penyaluran Dana Zakat
Asnaf % Jumlah (Rp)
1 Fakir 15.62 7,200,000,000,- 2 Miskin 44.08 20,319,826,761,-
3 Amil 1.88 867,143,828,-
4 Muallaf 6.14 2,829,200,000,-
5 Raqab - -
6 Gharimin 0.33 150,000,000,- 7 Fisabilillah 1.97 910,000,000,- 8 Ibnu Sabil 29.98 13,819,300,000,- Total 100 46,095,470,589,- Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
Dapat dilihat bahwa pada Tabel 4.
dari jumlah dana zakat pada tahun 2016 yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh sebesar Rp 50.426.717.952,- hanya Rp 46,095,470,589,- yang terealisasi disalurkan kepada 8 sanif dalam berbagai bentuk kegiatan, sedangkan sisanya sebesar Rp 4,331,247,363,- dikelola dalam tahun 2017.
Dengan adanya kegiatan pemberian modal usaha kepada mustahik berbasis agribisnis, diharapkan mampu mensejahterakan mustahik baik dari perspektif sosial maupun ekonomi. Dari perspektif ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak. Sedangkan dari sisi sosial, mustahik dituntut dapat hidup sejajar
dengan masyarakat yang lain. Berikut persentase penyaluran dana zakat yang disalurkan kepada usaha berbasis agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada Gambar2. dapat dilihat bahwa jumlah dana zakat yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh pada tahun 2016 dengan realisasi keseluruhan sebesar Rp 46.095.470.589,- yang disalurkan kepada kegiatan berbasis agribisnis sebesar Rp 2.162.000.000,- atau 4.92 %.
Pengalokasian dana zakat kepada usaha berbasis agribisnis tersebut tentunya berdasarkan jumlah mustahik yang mengajukan permohonan pembiayaan sebagai modal usaha berbasis agribisnis dan mendapatkan rekomendasi Geuchik
tempat mustahik berdomisili. Jumlah penerima pembiayaan modal usaha dengan jenis usaha berbasis agribisnis berjumlah 335 mustahik dari jumlah keseluruhan 635 mustahik dengan berbagai jenis usaha.
Gambar 3. menunjukkan bahwa 52.59 % Baitul Mal Aceh melalui Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif memberikan pembiayaan modal usaha kepada jenis usaha berbasis agribisnis dan 47.40 % pada jenis usaha pertukangan, perbengkelan, industri rumah tangga dan perdagangan.
Gambar 2. Persentase Penyaluran Dana Zakat Yang Diprioritaskan Kepada Usaha Berbasis
Agribisnis
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
2,162,000,000
4.92 43,933,470,589
95.31
1 2
Sektor Agribisnis Sektor Lainnya
Bila kita membandingkan dengan Bank Aceh Syariah dalam Buku Laporan Tahunan 2016, jumlah pembiayaan dalam sektor pertanian sebesar Rp 28.072.000.00,-. Jumlah tersebut merupakan suatu nilai rasional, karena Bank Aceh Syariah merupakan satu- satunya bank yang seluruh saham keuangannya dipegang oleh Pemerintah Aceh dengan jumlah keseluruhan yang dikelola pada tahun 2016 sebesar Rp
18.76 triliun. Sedangkan Baitul Mal Aceh merupakan sebuah lembaga daerah non struktural yang hanya memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan atau pengelola harta warisan yang tidak memiliki wali berdasarkan Syariat Islam.
Jumlah keseluruhan dana yang dikelola pada tahun 2016 sebesar Rp 50.426.717.952,35,- atau jumlah keseluruhan dana yang dikelola pada 23 Kabupaten/Kota serta provinsi sebesar Rp 237.132.596.461,53,-. Tujuan pemberian modal usaha ini untuk mengurangi beban ekonomi mustahik
serta meningkatkan pendapatan mereka, sehingga suatu hari nanti mereka tidak lagi berstatus miskin, lebih bagus lagi sampai mereka mampu membayar zakat atau berstatus muzakki.
Gambar 3. Jumlah dan Presentase Pembiayaan Modal Usaha Oleh Baitul Mal Aceh Pada Beberapa Jenis Usaha
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
335
52.59 302
47.41
Jumlah Mustahik Presentase
Agribisnis pertukangan, perbengkelan, industri rumah tangga,
Efektivitas Dampak Peningkatan Pendapatan Mustahik
Indikator lainnya untuk mengukur efektivitas suatu program adalah dampak dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan yang diterima berdasarkan waktu.Islam menyediakan mekanisme distribusi pendapatan melalui konsep zakat dalam rangka mengurangi ketimpangan pendapatan yang menyebabkan kemiskinan. Pembiayaan modal usaha yang berasal dari zakat produktif Baitul Mal diberikan kepada mustahik akan sangat berperan sebagai pendukung peningkatan pendapatan jika digunakan pada kegiatan produktif.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan menjadikannya sebagai pembiayaan modal usaha atau pemberdayaan ekonomi penerimanya maka akan membantu para mustahik yang menjalankan usahanya mendapatkan penghasilan tetapdan meningkatkan usaha dengan mengembangkan usaha mereka.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa setelah menerima zakat produktif dalam bentuk pembiayaan modal usaha terjadi kenaikan pendapatan dari sebelum menerima pembiayaan modal usaha dan setelah menerima modal usaha. Tujuan akhir dari program ini diharapkan bmustahik yang sudah mendapatkan
modal dan usahanya berkembang dapat berkontribusi kepada mustahik lainnya melalui penyaluran modal melaluikelompok sehingga memudahkan Baitul Mal Aceh dalam pembinaan dan pengkontrolannya.
Jumlah pembiayaan modal usaha yang dilakukan oleh Baitul Mal Aceh melalui Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif sangat bervariasi. Bagi mustahik yang baru mengusulkan modal usaha diberikan sebesar Rp 2.000.000,- dan bagi mustahik yang lama akan dinilai karakteristik mustahik penerima modal usaha. Apabila mustahik tersebut mampu amanah dengan ketentuan yang disepakati antara kedua belah pihak, akan ditambah pembiayaan modal usaha sampai dengan Rp 10.000.000,-.
Pinjaman di atas maksimal tersebut sudah dikatagorikan keluarga mampu oleh Baitul Mal Aceh, sehingga pada umumnya para mustahik yang menerima pembiayaan modal usaha pada jumlah Rp 10.000.000,- mereka memiliki pendapatan rata-rata telah layak mengeluarkan zakat mal. Jumlah yang diberikan tersebut sangat tergantung keseriusan mustahik dalam mengelola kegiatan usahanya dan tanggung jawab terhadap kepercayaan yang diberikan oleh Baitul Mal Aceh kepada masing- masing mustahik. Para mustahik yang
diberikan modal usaha juga mendapatkan pembinaan dan pendampingan agar kegiatan usahanya dapat berjalan efektif dan efisien, para mustahik juga memperoleh pembinaan rohani dan intelektual keagamaan agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keislamannya.
Strategi pembiayaan modal usaha oleh Baitul Mal Aceh mengikuti strategi pembiayaan qardul hasan atau pinjaman kebajikan. Qardul hasan yang sifatnya dana bergulir, ialah suatu pembiayaan yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dalam hal ini si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apa pun kecuali sejumlah pinjaman. Sifat dari qardul hasan ini tidak memberi keuntungan yang berkaitan dengan keuangan. Alasan kondisional kenapa zakat melalui qardul hasan tidak menjadi hak milik penerima pembiayaan modal usaha, dikarenakan apabila zakat ini menjadi hak milik seseorang maka mustahik yang lain tidak akan mendapatkan dana zakat produktif dalam bentuk modal usaha secara merata.
penerima pembiayaan modal usaha oleh Baitul Mal Aceh yang bergerak pada sektor agribisnis dapat dilihat bahwa terjadinya penambahan pendapatan mustahik dari sebelum dan setelah menerima modal usaha pada sektor
agribisnis. Pendapatan yang didapatkan dari hasil usaha responden sebanyak 35 orang dalam penelitian ini adalah mulai sebesar dari Rp 2.300.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,-.
Efektvitas Pengembalian Modal Usaha Oleh Mustahik
Indikator efektivitas lainnya untuk melihat suatu program adalah dengan menilai waktu pengembalian yang dilakukan oleh peminjam. Berdasarkan wawancara degan Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif Baitul Mal Aceh, untuk menilai kinerja lembaga pembiayaan baik Bank/Lembaga Keuangan mikro. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, kolektibilitas suatu pinjaman dapat di kelompokkan dalam empat kelompok, yaitu katagori lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.
Berikut tingkat pengembalian modal usaha oleh mustahik berbasis agribisnis Unit ZIS Produktif Baitul Mal Aceh periode Januari s/d Desember 2016 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Pengembalian Modal Usaha
Kolektabilitas Jumlah
Mustahik Persen (%)
Lancar 305
91.04 Kurang lancar 19
Diragukan 11 5.67
Macet - 3.28-
Jumlah 335 100
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
Dari Tabel 5. dapat diketahui bahwa tingkat pengembalian modal usaha pada kegiatan usaha berbasis agribisnis oleh mustahik 91.04 % kolektabilitas lancar dengan jumlah 305 mustahik, artinya tingkat pengembaliaan modal usaha oleh mustahik sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak antara mustahik dengan Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif Baitul Mal Aceh. Adapun 5.67 % kolektabilitas kurang lancar dengan jumlah 19 mustahik, artinya tingkat pengembalian modal usaha oleh mustahik meskipun dapat dibayarkan tagihan sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, namun mustahik yang bersangkutan sering harus diingatkan terlebih dahulu mengenai jadwal jatuh tempo. Pada kolektabilitas diragukan terdapat 3.28 % atau terdiri dari 11 mustahik, artinya tingkat pengembalian modal usaha sangat tidak sesuai dengan kesepakatan.
Meskipun pengembalian berjalan lancar namun jumlah 11 mustahik tersebut harus dijemput ke tempat usaha guna tercapainya pengembalian modal usaha yang di pinjamkan kepada mustahik tersebut.
Multiplaplayer Efek Pembiayaan Modal Usaha Baitul Mal Aceh Terhadap Ekonomi dan Sosial
Dalam penelitian ini didapatkan multiplayer efek dari perspektif ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya pembiayaan yang memberikan dampak menguntungkan mustahik melalui peningkatan pendapatan. Hal ini dianggap telah memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Regulasi ini menjadi pertimbangan lahirnya Peraturan Gubernur Aceh Nomor 72 Tahun 2015 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2016, disebutkan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh Tahun 2017 ditetapkan sebesar Rp 2.500.000. Jumlah tersebut sebagai angka minimal pendapatan pekerja formal di Aceh dengan sangat rasional.
Multiplayer efek dari perspektif ekonomi yang ditimbulkan lainnya dengan zakat dijadikan sebagai modal usaha dari perspektif ekonomi adalah zakat mal tentunya ditentukan pada harta
diam yang dimiliki seseorang dalam satu tahun. Harta yang bergerak tidak dijadikan zakat. Artinya bila seseorang menginvestasikan hartanya, dengan maksud tidak menghindari mengeluarkan zakat, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Dengan demikian ini dipandang mendorong produktifitas perekonomian, karena uang yang diedarkan, pada akhirnya
bertambah. Kegiatan ini dapat meningkatkan perekonoian suatu Negara.
Berikut nilai rata-rata pendapatan dan persentase perubahan pendapatan para mustahik sebelum dan setelah menerima modal usaha oleh Baitul Mal Aceh tahun 2016 melalui Unit Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) Produktif adalah sebagai berikut :
Gambar 4. Nilai Rata-Rata Serta Persentase Jumlah Pendapatan Mustahik
Sumber : Data Primer (2017) Diolah.
2,261,429
4,310,000
100,75
Pendapatan Sebelum (Rp)
Pendapatan Sesudah (Rp)
Presentase Peningkatan Pendapatan
Dari Gambar 4. nilai rata-rata pendapatan para mustahik setelah menerima pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis sebesar Rp 4.310.000.
Artinya pendapatan dengan jumlah tersebut telah memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Peningkatan pendapatan tersebut menimbulkan efek pengganda terhadap pendapatan yang sebelumnya dengan jumlah rata-rata sebesar Rp 2,261,429.
Persentase kenaikan pendapatan para mustahik dalam penelitian diperoleh sebesar 100.75 %.
Multiplayer efek sosial yang ditimbulkan dengan adanya pembiayaan modal usaha yang bersumber dari zakat adalah Zakat merupakan fasilitas untuk membantu memenuhi kebutuhan para fakir miskin yang merupakan kelompok yang membutuhkan bantuan harta, memberikan motivasi dan kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Zakat bisa menghilangkan kecemburuan sosial antara si miskin dan si kaya. Zakat dapat memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah dengan memperluas peredaran uang, karena ketika uang dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang merasakan manfaat tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Pelaksanaan program pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis oleh Baitul Mal Aceh sudah berjalan efektif dengan indikatornya adalah :
a. Tingkat kualitas yaitu pelayanan yang baik diberikan oleh pihak penyalur dana seperti : modal usaha dalam bentuk qardul hasan atau tanpa bunga dan bagi hasil dan modal usaha bersifat revolving fund yang diberikan secara bergulir kepada mustahik binaan dengan penambahan modal bervariasi;
b. Jumlah pembiayaan modal usaha yang oleh Baitul Mal Aceh sangat bervariasi. Mulai sebesar Rp 2.000.000,- sampai dengan sejumlah Rp 10.000.000,-. Pinjaman di atas maksimal tersebut sudah dikatagorikan keluarga mampu sehingga pembiayaan pada jumlah Rp 10.000.000,- mereka memiliki pendapatan rata-rata telah layak mengeluarkan zakat mal;
c. Dampak dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan.
Pendapatan yang didapatkan mustahik sebesar dari Rp 2.300.000 sampai dengan Rp 10.000.000 meskipun sangat tergantung pada jumlah pembiayaan yang diberikan oleh Baitul Mal Aceh dan bidang
usaha yang dijalankan oleh mustahik;
dan
d. Pengembalian dilihat dari sisi waktu pengembalian yang dilakukan oleh peminjam. Dari jumlah para mustahik yang pembiayaan modal usaha dengan kolektabilitas lancar sebesar 91,04 %, kurang lancar sebesar 5,67
%, diragukan sebesar 3,28 % dan tidak ditemukan pengembalian modal usaha yang macet.
2. Pendapatan mustahik yang didapatkan dari pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis mulai sebesar dari Rp 2.300.000,- sampai dengan sejumlah Rp 10.000.000; dan
3. Nilai rata-rata para mustahik setelah menerima pembiayaan modal usaha berbasis agribisnis memperoleh pendapatan sebesar Rp 4.310.000telah memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pendapatan mustahik menjadi lebih baik sejak adanya kegiatan pembiayaan tersebut dan menimbulkan efek pengganda terhadap pendapatan yang sebelumnya dengan jumlah rata- rata sebesar Rp 2.261.429. Kenaikan pendapatan para mustahik dalam penelitian diperoleh sebesar 100,75 %.
Saran
1. Baitul Mal Aceh sebagai lembaga yang diberikan kewenangan penuh oleh Pemerintah Aceh untuk mengelola
zakat, infaq dan shadaqah, harus bekerja sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah yang mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di bidang penegakan Perda/Qanun, Perlindungan Masyrakat, Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan Pelaksanaan Syariat Islam, guna menjemput zakat, infaq dan shadaqah pada instansi baik swasta maupun pemerintah yang dianggap telah sampai hisap mengeluarkan zakat mal guna mengoptimalkan pendapatan melalui zakat.
2. Mengadakan kajian-kajian lanjutan secara berkelanjutan dan terus- menerus guna mencari model pengembalian zakat yang terbaik dan sesuai syari’at, yang benar-benar dapat memenuhi keperluan mustahiq dan segera dapat menjadi muzakki.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abubakar, Al Yasa’. 2009. Kebijakan Pemerintah Di Bidang Pemberdayaan Zakat. Banda Aceh.
Amrullah. 2009. Kisi-kisi Perjalanan Baitul Mal Aceh. Tanpa penerbit Banda Aceh.
Antonio Ms. 2001. Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek (Gema Insani Press bekerjasama dengan yayasan Tazkia Cendekia).
Anwar. 2014. Pemberdayaan Zakat
Produktif Menurut Hukum Islam.
Proceeding of the International Conference on Masjid, Zakat and Waqf. Malaysia: Desember.
Armiadi. 2008. Zakat produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Umat Protret dan praktek Baitul Mal Aceh. Banda Aceh.
Armiadi. 2014. Kontribusi Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat di Aceh (Kontestasi Penerapan Asas Lex Specialis dan Lex Generalis, Banda Aceh: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar- Raniry Aceh. Juni. Vol. 16 No. 1.
Aryati. 2006. Analisis Permintaan dan Efektivitas Pembiayaan Usaha Kecil Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Bogor: Skripsi Institut Pertanian Bogor.
Asnainu. 2008. Zakat Produktif Dalam Persfektif Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Asnainu. 2008. Zakat Produktif Dalam Perspektif Islam. Bengkulu: Pustaka Pelajar.
Ashari dan Saptana. 2005. Prospek Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Desember. Volume 23. No.
2.
Baitul Mal Aceh. 2016. Laporan Penyaluran Zakat dan Infaq. Banda Aceh.
Bangun, Wilson. 2007. Teori Ekonomi Mikro.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Bank Aceh, 2016, Laporan Tahunan. Banda Aceh.
Beik, Irfan Syauqi. 2009. Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika. Jurnal Pemikiran
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Pers Rajawali.
Hafiduddin, D. 2003. Islam Aplikatif. Jakarta:
Bina Insani.
Hamdan, Umar dan Andi Wijaya. 2006.
Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan Syariah. Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya. Juni.
Vol.4. No.7.
Harun Nasition, et.al. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Djambatan.
Herwinsyah, Reynold dkk. 2017, Analisis Penyaluran Dana Infaq Sebagai Upaya Dalam Meningkatkan Pendapatan Mustahiq (Studi Kasus Baitul Mal Aceh Utara). Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Agustus. Vol 18.
No. 2.
Ibrahim, Muslim. 2002. Baitul Mal Sebagai Lembaga Pengelolaan Kekayaan Daerah. Pusat studi hukum islam dan masyarakat fakultas syari'ah IAIN Ar- Raniry.
Kuncoro, Mudrajat. 2006. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Jogjakarta: UPP STIM YKPN.
Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Kanisius.
Listyawan dan Ardi Nugraha. 2011.
Pengaruh Modal Usaha, Tingkat
Pendidikan, dan Sikap
Kewirausahaan terhadap
Pendapatan Usaha Pengusaha Industri Kerajinan Perak Di Desa Sodo Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunung Kidul. Universita Negeri Yogyakarta.
Modern. Jakarta: Rineka Cipta.
Moehar, Daniel. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT. Buni Aksara.
Muhammad Ridwan (2005). Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: Tanpa Penerbit
Muhammad dan Ridwan Mas’ud. 2005.
Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat.
Yogyakarta: Rineka Cipta.
Nasrullah, Muhammad. 2010. Peran Zakat Sebagai Pendorong Multiplier Ekonomi. Jurnal Hukum Islam (JHI).
Juni. Volume 8 Nomor 1.
Nasrullah. 2015. Regulasi Zakat Dan Penerapan Zakat Produktif Sebagai
Penunjang Pemberdayaan
Masyarakat (Studi Kasus Pada Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara). STAIN Malikussaleh Lhokseumawe. Juni. Vol.
9. No. 1.
Oktavi K.S. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengambilan Pembiayaan dan Efektivitas Pembiayaan Usaha Kecil pada Lembaga Keuangan. Mikro Syariah Studi Kasus : KJKS BMT Bina Umat Sejahtera. Lasem. Jawa Tengah.
Skripsi Instititut Pertanian Bogor.
Peraturan Menteri Kementerian Agama Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat Dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal Dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 72 Tahun 2015 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Aceh Tahun 2016.
Puspitasari, Candri Maharani. 2016. Studi
Efektivitas Dana Bergulir Pada Usaha Mikro Di Kota Kendari. Kendari:
Skripsi Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Qardhawi, Yusuf. 2005. Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Cet. I, Jakarta: Zikrul Hakim.
Rahim, Abdul dkk. 2007. Ekonomika Pertanian (Pengantar, teori dan kasus). Jakarta: Penebar Swadaya.
Rini, Nova. 2012. Peran Dana Zakat Dalam
Mengurangi Ketimpangan
Pendapatan Dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Maret. Vol 17.
Nomor 1.
Rusli dkk. 2013. Analisis Dampak Pemberian Modal Zakat Produktif Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Februari. Vol 1. No. 1.
Riyaldi, Muhammad Haris. 2015. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Penerima Zakat Produktif Baitul Mal Aceh: Satu Analisis. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam. September. Volume 1 Nomor 2.
Sulistiawati, Rini. 2002, PengaruhUpah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia.
Jurnal Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak.
Oktober. Volume 8. Nomor 3.
Syukur, M.H. 2000. Peningkatan Peranan Kredit dalam Menunjang Agribisnis di Pedesaan. Bogor: Rineka Cipta.
Tampubolon, S.M.H. 2006. Kredit untuk
Petani dalam Suara dari Bogor Sistem dan Usaha Agribisnis: Kacamata sang Pemikir. Harianto, R. Pambudy, Tungkot S, dan Burhanudin. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Desember.
Volume 24 No. 2.
Zuhra, Fatimah dkk. 2014. Kajian Zakat di Propinsi Aceh, Jurnal Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.
Februari. Vol 2. No. 1.
24
ANALISIS HARGA PANGAN POKOK DAN SALING KORELASINYA DI KABUPATEN ACEH BARAT
Aswin Nasution1), dan Hafnidar2)
1Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar
2)Dinas Pangan Kabupaten Aceh Barat
[email protected],[email protected]
Abstract
Food is a human physiological need that occupies the first herarchy of basic human needs.In addition to its availability, the others important factors of food are price,rising food prices will potentially lead to social problems.This study was conducted to find outfluctuation of 19 staple food prices and mutual correlation between one another in West Aceh District.Staple food prices that experience significant fluctuations in the district of West Aceh in 017 aregarlic,Cayenne pepper,red chili pepperandbeef.This price fluctuation is caused by the imbalance between the needs and supply, the price of staple foods that do not experience significant fluctuations are rice, sweet potatoes, sugar, sweet corn, soybeans and cassava.Between one staple food price and the others have a moderate to very strong correlation, positive and negative correlations. Sugar prices have almost no correlationwith other staple food so the price is stable relatively.
Key words :Food price, staple food, correlation analysis, price fluctuations.
Abstrak
Makanan adalah kebutuhan fisiologis manusia yang menempati herarki pertama kebutuhan dasar manusia. Selain ketersediaannya, faktor-faktor lain yang penting dari makanan adalah harga, kenaikan harga pangan akan berpotensi mengarah pada masalah sosial. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan fluktuasi 19 harga pangan pokok dan korelasi timbal balik antara satu sama lain di Kabupaten Aceh Barat. Harga pangan pokok yang mengalami fluktuasi yang signifikan di kabupaten Aceh Barat di 017 aregarlic, cabai rawit, cabai merah danbeef. Fluktuasi harga ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan, harga makanan pokok yang tidak mengalami fluktuasi yang signifikan adalah beras, ubi jalar, gula, jagung manis, kedelai dan singkong. Antara satu harga makanan pokok dan yang lain memiliki korelasi sedang hingga sangat kuat, korelasi positif dan negatif. Harga gula hampir tidak ada korelasi dengan makanan pokok lainnya sehingga harganya relatif stabil.
Kata Kunci: Harga pangan, pangan pokok, analisis korelasi, fluktuasi harga
PENDAHULUAN
Persoalan paling dasar bagi setiap orang atau individu adalah bagaimana memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk mempertahankan hidup secara fisik.Salah
satu kebutuhan mempertahankan hidup diantara berbagai kebutuhan dasar manusia adalah pangan.Sebagai makluk hidup,tanpa pangan manusia tidak mungkin dapatmelangsungkan hidup dan kehidupanya untukberkembang biak dan
bermasyarakat (Sari, 2014).Pangan sebagai kebutuhan fisiologis menempati hierarki pertama dalam kebutuhan dasar manusia.Pangan dikatakan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap manusia karena berkaitan dengan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan manusia (Suradi, 2015), sehingga pangan merupakan komponen penting pada konsumsi rumah tangga (Isvilanonda et al., 2008).
Suatu negara tidak akan mampu mewujudkan tujuan nasionalnya dan akan selalu dalam kondisi konflik sosial jika negara tersebut tidak memiliki ketahanan pangan nasional yang kuat. Hasil penelitian yang dilakukan FAO tahun 2000membuktikan bahwa negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Salah satu penyebab ambruknya negara adidaya Uni Soviet diduga karena pemenuhan kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan dari negara- negara NATO (Adie, 2010). Kejadian Uni Soviet dapat juga terjadi di negara manapun termasuk Indonesia apabila kita tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional (Suradi, 2015).
Selain faktor ketersediaan,
factorpenting lain pada pangan adalah harga.Harga pangan merupakan salah satu aspek penting yang selalu dimonitor oleh pemerintah secara berkala karena jika terjadi kenaikan harga yang tajam akan berpotensi menimbulkan gejolak sosial (Resnia, 2012). Menurut Ivanic dan Martin (2008) harga bahan makanan pokok dunia sejak tahun 2005 telah mengalami kenaikan yang luar biasa, antara tahun 2005 – 2007 harga jagung meningkat 80%, susu bubuk 90%, gandum 70%, dan beras 25%. Harga ini meningkat jauh lebih tinggi pada awal hingga pertengahan 2008.Kenaikan harga ini tentunya mengakibatkan permasalahan yang serius bagi masyarakat miskin berpenghasilan rendah. Penelitian yang dilakukan Resnia (2012) menunjukkan bahwa tahun 1999–
2011 di Indonesia terjadi kenaikan rata- rata harga 9 bahan pokok sebesar 4-10%, dalam tahun 2008–2011 sebesar 18 % sementara pendapatan masyarakat hanya tumbuh 7-10%.
Menurut Cranfield et al. ( 2007) permasalahan kenaikan harga pangan berdampak serius di negara-negara miskin, dimana penduduk miskin harus menggunakan 75 % penghasilannya untuk bahan pangan pokok, di Indonesia sendiri penduduk miskin pedesaan dan perkotaan menggunakan 64 % penghasilannya untuk
pangan (Puskadagri, 2011).Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak paling buruk dari kenaikan atau tingginya harga pangan adalah rumah tangga miskin yang memiliki keterbatasan aset (Zezza, et al., 2009).
Pangan merupakan salah satu penyumbang inflasi (Nuryati, 2010), naik turunnya harga pangan pokok akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya inflasi, pada gilirannya berdampak pada daya beli masyarakat terutama bagi yang memiliki penghasilan rendah (Resnia, 2012), sehingga dalam jangka pendek kenaikan harga pangan pokok akan meningkatkan kemiskinan secara substansial (Ivanic dan Martin, 2008).
Keseimbangan harga akan terjadi jika jumlah penawaran sama dengan jumlah permintaan produk, harga akan stabil selama tidak ada determinan penawaran maupun permintaan yang berubah, harga juga sangat terkait dengan perilaku pasar yang terjadi. Pergerakan penawaran-permintaan produk ditentukan oleh faktor produksi, pengaruh pajak dan subsidi, kontrol harga terhadap penawaran-permintaan, dan hargaproduk itu sendiri (Nurhayati, 2010).Selain itu kenaikan harga barang kebutuhan pokok juga dapat diakibatkan kenaikan barang lainnya (Widayatsari dan Yovita, 2015),
jika pengaruh ini berlangsung secara terus menerus maka dapat dikatakan sebagai inflasi (Budiono, 2001).
Menurut Satya (2016) harga yang terjadi sangat dipengaruhi jumlah barang yang ditransaksikan, untuk komoditas pangan atau pertanian pembentukan harga lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan trendnya.Pada dasarnya ada dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga komoditas pangan atau pertanian, yakni faktor produksi atau panen, perilaku penyimpanan dan distribusi.
Menurut data Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Aceh Barat Tahun 2017 jumlah penduduk Aceh Barat 189.119 jiwa.Jumlah ini tentunya membutuhkan pasokan bahan pangan pokok yang harus tersediadalam jumlah banyak.Ketersedian bahan pangan pokok selain ditentukan oleh keberadaannya juga ditentukan oleh harga yang menjadi syarat pertukaran yang harus dipenuhi masyarakat selaku konsumen.Selanjutnya sebagian besar bahan pangan pokok di Kabupaten Aceh Barat berasal dari luar daerah sehingga ketersediaannya tergantung pasokan.
Sebagaimana penjelasan yang
telah dikemukakan bahwa faktor harga pangan sangat mempengaruhi harga pangan lain, perilaku penyimpanan dan distribusi, mengakibatkan fluktuasi permintaan-penawaran, berpengaruh pada konsumsi masyarakat miskin dan juga sebagai penyumbang inflasi. Maka menarik untuk dilakukan penelitian analisis harga pangan pokok dan saling korelasi satu dengan lainnya di Kabupaten Aceh Barat.
METODE PENELITIAN
Lokasi, Waktu dan Responden Penelitian Penelitian ini merupakan penelitiandeskriptif yang dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2017 di empat titik pasar Kabupaten Aceh Barat yaitu : 1) Pasar Bina Usaha Meulaboh yang mewakili kecamatan Johan Pahlawan, Samatiga dan Mereubo;
2) Pasar Simpang 4 Arongan yang mewakili kecamatan Arongan Lambalek, Bubon dan Woyla Barat; 3) Pasar Tajong Kaway XVI yang mewakili kecamatan Kaway XVI, Pante Ceureumen dan Panton Reu; 4) Pasar Woyla yang mewakili kecamatan Woyla, Woyla Timur dan Sungai Mas. Responden penelitian adalah pedagang grosir dan pedagang eceran yang berjualan di titik pasar tersebut dengan masing-masing titik 10 pedagang
atau responden, sehingga ada 40 responden yang diambil secara porposif.
Metode Pengumpulan Data
Data penelitian yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan pedagang untuk mengetahui harga 19 bahan pangan pokok yaitu : 1) Beras Medium; 2) Tomat; 3) Ubi Jalar; 4) Gula Pasir; 5) Minyak Goreng; 6) Bawang Merah; 7) Bawang Putih; 8) Jagung Manis; 9) Kacang Tanah; 10) Kacang Hijau; 11) Kedelai; 12) Terigu; 13) Cabe Rawit; 14) Cabe Merah; 15) Ubi Kayu; 16) Kelapa; 17) Daging Ayam Ras;
18) Daging Sapi; 19) Telur Ayam.
Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian yaitu KantorDinas Pangan Kabupaten Aceh Barat, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Aceh Barat yang meliputi keadaan umum daerah penelitian, keadaan, kependudukan dan matapencaharian dan data lain yang berhubungan dengan kebutuhan penelitian.