• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

11

Teori atribusi dikemukakan pertama kali dikemukakan oleh Heider pada tahun 1958. Teori atribusi mengacu tentang bagaimana seseorang menjelaskan penyebab sikap dan perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang menentukan apakah sikap dan perilaku tersebut disebabkan oleh kekuatan internal ataupun kekuatan eksternal. Kekuatan internal adalah kekuatan yang diyakini dipengaruhi oleh kendali pribadi seorang individu seperti karakter, kepribadian dan kemampuan. Sedangkan kekuatan eksternal adalah kekuatan yang dianggap sebagai akibat dari luar pribadi seorang individu seperti aturan, lingkungan dan kesempatan.

Teori ini menjelaskan juga mengenai bagaimana reaksi seseorang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan orang tersebut dengan mengetahui alasan- alasan atas kejadian yang dialami. Kekuatan internal dan eksternal akan secara bersamaan menentukan perilaku manusia. Pengaruh internal maupun eksternal dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan melakukan sesuatu (Atmaja, 2016).

Teori atribusi berkaitan dengan skeptisisme professional karena teori atribusi menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan. Faktor internal yang berasal dari dalam diri auditor yaitu skeptisisme profesional. Semakin tinggi sikap skeptisisme profesional auditor maka semakin meningkatkan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Teori atribusi juga menjelaskan bahwa perilaku auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari luar diri auditor seperti red flags dan tekanan anggaran waktu. Ketika auditor dihadapkan dengan red flags saat melaksanakan proses pemeriksaan akan berusaha mencari penyebab dan membuat kesimpulan terhadap red flags yang ada. Persepsi diri seorang auditor memainkan peranan penting dalam menyimpulkan apakah red flags mengarah pada gejala kecurangan atau hanya

(2)

merupakan kesalahan. Selain itu, auditor yang merasa waktunya kurang saat menjalankan penugasan tentunya auditor bekerja pada tekanan waktu yang terbatas maka auditor tidak terlalu detail dalam penugasannya sehingga kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan akan menurun.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa skeptisisme profesional, red flags dan tekanan anggaran waktu dapat menjadi faktor yang mendorong seorang auditor untuk mencapai efektivitas pelaksanaan prosedur audit dalam mendeteksi dan mengungkapkan adanya tindakan kecurangan.

2.1.2 Audit

2.1.2.1 Pengertian Audit

Audit adalah pemeriksaan (examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut (Mulyadi, 2017:11).

Agoes (2017:4) mengemukakan bahwa :

Audit merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

Menurut Arens (2015:2), audit adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa audit merupakan suatu proses kritis dan sistematis yang dilakukan oleh seseorang yang independen untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai informasi ekonomi yang bertujuan untuk melaporkan kesesuaian antara informasi dengan kriteria yang ditetapkan, kemudian hasilnya akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. Audit dapat mengevaluasi dan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dan dilakukan oleh seseorang yang independen dan kompeten.

(3)

2.1.2.2 Tipe – Tipe Audit

Menurut Hayes (2017:14), ada beberapa tipe audit yang dilakukan oleh auditor dalam melakukan pemeriksaan yang sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan pemeriksaan tersebut. Pada umumnya, audit dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

1. Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit)

Audit laporan keuangan dilaksanakan untuk menentukan apakah seluruh laporan keuangan (informasi yang diverifikasi) telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu. Hasil audit laporan keuangan disajikan dalam bentuk tertulis dalam bentuk laporan audit.

2. Audit Kepatuhan (Compliance Audit)

Audit kepatuhan dilaksanakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit mengikuti prosedur, aturan, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi. Audit ketaatan biasanya dilaporkan kepada manajemen, bukan kepada pengguna luar, dengan tingkat ketaatan terhadap prosedur dan peraturan yang digariskan. Hasil audit kepatuhan pada umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria.

3. Audit Operasional (Operational Audit)

Audit operasional merupakan audit mengevaluasi efisiensi dan efektivitas setiap bagian dari prosedur dan metode operasi organisasi.

Pada akhir audit operasional, manajemen biasanya mengharapkan saran-saran untuk memperbaiki operasi. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta dilakukannya audit tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada 3 jenis audit yang diakukan auditor dalam melakukan pemeriksaan yaitu audit laporan keuangan, audit kepatuan, dan audit operasional.

2.1.2.3 Tipe – Tipe Auditor

Tipe – tipe auditor dikelompokkan menjadi 3 menurut Mulyadi (2017:28) yaitu:

1. Auditor Independen (Independent Auditor)

Auditor independen merupakan auditor profesional yang menyediakan jasanya untuk masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Audit ini ditujukan untuk memenuhi kebuhutan para pemakai informasi keuangan seperti investor, kreditur, dan instansi pemerintah.

2. Auditor Pemerintah (Government Auditor)

Auditor pemerintah merupakan auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi

(4)

atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Pada umumnya yang disebut auditor pemerintah yaitu auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Instansi Pajak.

3. Auditor Internal (Internal Auditor)

Auditor internal merupakan auditor yang bekerja dalam perusahan negara maupun perusahaan swasta yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasinya. Pemakai jasa auditor internal pada umumnya yaitu Dewan Komisaris atau Direktur Utama Perusahaan.

Menurut Rusdiana (2018:255):

Tujuan pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor internal adalah untuk membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor harus melakukan kegiatan-kegiatan berikut:

1. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan dari sistem pengendalian manajemen, pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal.

2. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur- prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen.

3. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan.

4. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya.

5. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen.

6. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa auditor internal memiliki peran dalam pencegahan kecurangan, pendeteksian kecurangan dan penginvestigasian kecurangan. Dengan demikian audit internal merupakan lembaga yang secara langsung menerima dampak atas pendekatan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap kecurangan (fraud).

(5)

2.1.3 Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan merupakan upaya untuk mendapatkan indikasi awal yang cukup mengenai tindak kecurangan, sekaligus mempersempit ruang gerak para pelaku kecurangan, seperti ketika pelaku menyadari prakteknya telah diketahui maka sudah terlambat untuk berkelit (Kumaat, 2011:156). Kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan merupakan tindakan untuk mengetahui bahwa fraud terjadi siapa pelakunya, siapa korbannya, dan apa penyebabnya (Umar, 2021:66).

Menurut Schafer (2019), kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah proses penemuan suatu tindakan yang direncanakan atau disengaja oleh individu, kelompok, atau pihak ketiga yang melibatkan manipulasi pengguna untuk mendapatkan keuntungan yang melanggar hukum.

Gizta (2019) mengemukakan bahwa:

“Kemampuan mendeteksi kecurangan merupakan kemampuan yang dimiliki auditor untuk menyadari dan mengembangkan pencarian informasi yang berkaitan dengan tanda – tanda kecurangan seperti gejala korporat, gejala yang berkaitan dengan pelaku dan gejala yang berkaitan dengan praktik akuntansi dan catatan keuangan.”

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah upaya auditor untuk mendapatkan indikasi awal suatu tindakan yang direncanakan dan mengidentifikasi secara cepat kemungkinan penyebab terjadinya kecurangan sekaligus mempersempit ruang gerak para pelaku tindakan kecurangan untuk mendapatkan keuntungan yang melanggar hukum dengan cara yang instan.

Tidak semua auditor dapat mendeteksi dan menemukan kecurangan, karena pada umumnya bukti adanya kecurangan hanya dapat diketahui melalui tanda, gejala atau sinyal dari tindakan yang diduga menimbulkan adanya kecurangan tersebut. Tanggungjawab dalam mendeteksi kecurangan berada pada tingkat manajemen, meskipun demikian auditor harus ikut serta dalam memberikan kontribusi kepada manajemen. Kontribusi auditor dapat dilakukan dengan memberikan peringatan dini terhadap potensi terjadinya kecurangan dan rekomendasi untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pengendalian intern.

(6)

Rekomendasi ini dapat berupa perbaikan kebijakan dan prosedur untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan lebih awal agar dapat meminimalisir dampak atau risiko kecurangan.

Tujuan auditor bukan hanya sebatas untuk menentukan ada atau tidaknya salah saji yang material dalam laporan keuangan. Tetapi tujuan auditor juga untuk merencanakan serta melaksanakan kegiatan audit berdasarkan peraturan yang berlaku untuk memperoleh bukti audit yang memadai, sehingga dapat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi apakah laporan keuangan klien bebas dari salah saji yang material tanpa memerdulikan penyebab dari tindakan tersebut, baik sengaja maupun tidak disengaja (Umar, 2018:67).

Menurut Kumaat (2011:156) ada 2 faktor untuk mendeteksi kecurangan, yaitu:

1. Faktor dari pihak pelaku, yaitu kemampuan menyiasati sistem atau menutup celah dari praktik kecurangannya, sehingga menentukan tingkat kerumitan suatu tindak kecurangan.

2. Faktor yang ditentukan oleh kapasitas auditor, yaitu kemampuan mengembangkan audit berbasis risiko dan membangun jaringan informan dengan tetap bersikap hati-hati.

Menurut Peuranda (2019), kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dapat diukur dengan beberapa indikator, yaitu:

1. Pengetahuan tentang kecurangan

Pengetahuan tentang kecurangan merupakan orang yang memiliki wawasan mengenai tindakan kecurangan. Dalam standar umum disebutkan bahwa auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawabnya. Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Auditor harus memiliki dan meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program dan kegiatan pemerintahan. Auditor diharapkan memiliki keinginan yang selalu ingin belajar sendiri (otodidak) maupun melalui pendidikan formal. Pada kenyataannya, auditor memiliki pengetahuan yang berbeda.

Pengetahuan mengenai kecurangan itu sendiri itu antara lain, mengenai karakteristik kecurangan, teknik yang digunakan oleh pelaku dalam melakukan kecurangan, dan bentuk kecurangan sesuai dengan aktivitas yang sedang diaudit. Semakin tinggi pengetahuan auditor tentang

(7)

kecurangan, maka akan semakin tinggi pula kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

2. Kesanggupan dalam tahap pendeteksian

Kesanggupan dalam tahap pendeteksian merupakan kemampuan seseorang dalam menemukan dan mendeteksi tindakan kecurangan yang dilakukan secara sengaja. Kesanggupan seorang auditor dalam menemukan atau menentukan tindakan ilegal yang mengakibatkan salah saji material dalam pelaporan keuangan yang dilakukan secara sengaja, kecakapan dan keterampilan khususnya dalam melaksanakan tugas untuk mendeteksi kecurangan dan menguasai teknik-teknik dalam audit investigatif dalam mengaudit laporan keuangan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dapat diukur dengan indikator pengetahuan tentang kecurangan dan kesanggupan dalam tahap pendeteksian kecurangan.

Auditor harus memiliki dan meningkatkan pengetahuan mengenai pengauditan, akuntansi, dan industri klien untuk melakukan tugas pengauditan. Semakin tinggi pengetahuan auditor tentang kecurangan maka akan semakin tinggi kemampuan auditor untuk mendeteksi kecurangan. Kesanggupan auditor dalam menemukan atau menentukan tindakan ilegal yang mengakibatkan kecurangan dalam laporan keuangan, khususnya dalam menguasai teknik audit dan melaksanakan tugas untuk mendeteksi adanya kecurangan dalam mengaudit laporan keuangan.

2.1.4 Kecurangan

2.1.4.1 Pengertian Kecurangan

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2017) menyatakan bahwa :

“Kecurangan adalah perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, niat, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, penipuan, penyembunyian atau penggelapan dan penyalahgunaan kepercayaan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah yang dapat berupa uang, barang/harta, jasa dan tidak membayar jasa, yang dilakukan oleh satu individu atau lebih dari pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, pegawai atau pihak ketiga”.

Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2016) : Kecurangan adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) yang dilakukan orang- orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan

(8)

pribadi ataupun kelompok baik secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

Menurut International Standards on Auditing (ISA) seksi 240, kecurangan adalah tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang berperan dalam governance perusahaan, karyawan atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal.

Istilah kecurangan (fraud) berbeda dengan istilah kekeliruan (errors).

Faktor utama yang membedakan antara kecurangan dengan kekeliruan adalah tindakan yang mendasarinya, apakah termasuk tindakan yang disengaja atau tidak disengaja yang dapat mengakibatkan terjadinya salah saji (misstatement) dalam laporan keuangan. Jika tindakan yang menyebabkan salah saji tersebut dilakukan secara sengaja, maka disebut kecurangan (fraud). Sedangkan tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja disebut dengan kekeliruan (errors) (Laitupa, 2020).

Kecurangan merupakan salah satu bentuk kejahatan keuangan yang dilakukan oleh siapapun, baik para eksekutif maupun para staf. Kecurangan dapat menguntungkan individu maupun organisasi baik yang melakukan maupun yang hanya memfasilitasi.

Berdasarkan definisi kecurangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kecurangan merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menguntungkan diri sendiri maupun kelompok seperti penipuan, mengelabui dan cara tidak jujur lainnya. Kecurangan pada umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan peluang yang ada dan adanya pembenaran atas tindakan kecurangan tersebut.

2.1.4.2 Konsep Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

Dalam fraud triangle theory, terdapat 3 unsur yang menyebabkan tindakan kecurangan terjadi yaitu adanya tekanan, peluang, dan rasionalisasi (Ardianingsih, 2018:79).

1. Tekanan (Pressure)

Tekanan merupakan situasi dimana seseorang merasa atau memiliki kebutuhan untuk melakukan kecurangan, pengaruh desakan dalam pikiran dan keinginan inilah yang menjadi kekuatan moral. Tekanan

(9)

mengacu pada sesuatu yang telah terjadi di kehidupan pribadi pelaku yang menciptakan kebutuhan yang memotivasinya untuk melakukan kecurangan.

2. Peluang (Opportunity)

Peluang (opportunity) merupakan situasi dimana seseorang percaya adanya kemungkinkan untuk melakukan kecurangan dan percaya bahwa kecurangan tersebut tidak terdeteksi. Kecurangan yang disebabkan oleh peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang baik dan penggunaan posisi. Kegagalan dalam menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi kecurangan juga meningkatkan kesempatan terjadinya kecurangan.

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi merupakan kondisi dimana seseorang yang telah melakukan kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya, namun alasan tersebut tidak tepat. Rasionalisasi diperlukan agar pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya.

Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit untuk diukur. Bagi mereka yang umumnya tidak jujur, akan lebih mudah untuk merasionalisasi penipuan, dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki standar moral yang tinggi.

Gambar 2.1 Fraud Triangle

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa disebut dengan fraud triangle theory dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan. Hal ini dikarenakan fraud triangle karena dalam proses kecurangan yang terjadi, terdapat 3 kondisi dalam memengaruhi seseorang untuk melakukan kecurangan yaitu tekanan, peluang dan rasionalisasi. Seseorang tidak akan terpengaruh untuk melakukan tindakan kecurangan jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi.

(10)

2.1.4.3 Tipe – Tipe Kecurangan

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) (2016) mengklasifikasikan kecurangan (fraud) ke dalam tiga bentuk berdasarkan perbuatan, yaitu:

1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement) Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption)

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan. Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tipe-tipe kecurangan dapat diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan perbuatan yaitu penyimpangan atas aset, pernyataan palsu, dan korupsi. Banyak jenis kecurangan yang terjadi sehingga auditor harus mampu meminimalisir risiko yang mungkin terjadi. Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan terdapat dalam segitiga kecurangan (triangle fraud). Dimana tekanan dapat terjadi pada manajemen perusahaan maupun pegawai yang menyebabkan kesempatan untuk melakukan kecurangan menjadi tinggi sehingga para pelaku akan merasionalisasikan apa yang dilakukannya.

(11)

2.1.5 Skeptisisme Profesional

Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2017) menyatakan bahwa pemeriksa harus merencanakan, melaksanakan dan melaporkan hasil pemeriksaan dengan sikap skeptisisme profesional. Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional dalam menilai risiko terjadinya kecurangan yang secara signifikan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pekerjaan pemeriksa apabila kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi.

Skeptisisme profesional merupakan sikap yang mencakup pikiran yang selalu bertanya, waspada terhadap kondisi yang dapat mengindikasikan kemungkinan salah saji karena kesalahan atau kecurangan, dan penilaian kritis terhadap bukti.

American Institute of Certified Public (AICPA) (2020) mendefinisikan skeptisisme profesional sebagai sikap yang mencakup pikiran yang selalu bertanya dan penilaian kritis atas bukti audit tanpa obsesif mencurigakan atau skeptis. Seorang auditor yang menerapkan sikap skeptisisme profesional tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan alasan dan bukti serta konfirmasi mengenai objek yang menjadi masalah.

Auditor mengevaluasi bukti audit dengan melakukan pengujian audit untuk memperoleh kebenaran akan gejala kemungkinan terjadinya kecurangan.

Dalam mengumpulkan bukti audit dan menilai bukti auditnya, auditor menggunakan pengetahuan, keahlian serta kemampuannya secara cermat dan teliti.

Tanpa menerapkan sikap skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan (errors) dan akan akan sulit untuk menemukan salah saji karena ada kecurangan. Skeptisme profesional sangat penting untuk dimiliki, karena auditor perlu informasi yang kuat untuk dijadikan dasar bukti audit yang relevan dalam mendukung pemberian opini terhadap kewajaran laporan keuangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya (Rinaldi, 2017).

Menurut Laitupa (2020), ada enam karakteristik yang dimiliki seseorang ketika menerapkan sikap skeptisisme profesional, yaitu:

(12)

1. Questioning mind (Pola pikir yang selalu bertanya-tanya)

Questioning mind merupakan karakter skeptisisme seseorang yang selalu mempertanyakan apakah alasan, penyesuaian dan pembuktian akan suatu objek yang diperoleh menunjukkan adanya salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan yang terjadi.

2. Suspension of judgment (Penundaan pengambilan keputusan)

Suspension of judgment merupakan karakter skeptisisme yang mengindikasikan seseorang untuk membutuhkan waktu lebih lama dalam membuat keputusan yang matang serta menambahkan informasi untuk mendukung pertimbangan tersebut.

3. Search for knowledge (Mencari pengetahuan)

Search for knowledge merupakan karakter skeptisisme seseorang yang didasari oleh rasa ingin tahu.

4. Interpersonal understanding (Pemahaman interpersonal)

Interpersonal understanding merupakan karakter skeptisisme seseorang yang dibentuk dari pemahaman tujuan, motivasi serta integritas dari penyedia suatu informasi.

5. Self confidence (Percaya diri)

Self confidence merupakan karakter skeptisisme seseorang untuk percaya diri secara profesional dalam bertindak terhadap bukti yang sudah dikumpulkan.

6. Self determination (Keteguhan hati)

Self determination merupakan karakter skeptisisme seseorang dalam menyimpulkan secara objektif terhadap bukti yang sudah dikumpulkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional merupakan suatu sikap yang selalu mempertanyakan dan mengevaluasi bukti secara kritis sehingga secara signifikan dapat mengindikasikan kemungkinan salah saji karena kesalahan atau kecurangan.

2.1.6 Red flags

Red flags merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal. Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kecurangan (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, 2017). Red flags tidak mutlak menunjukan apakah seseorang bersalah atau tidak tetapi merupakan tanda-tanda peringatan bahwa kecurangan sedang atau telah terjadi (Arsendy, 2017). Banyak studi yang membahas kecurangan, dimana pada saat kecurangan tersebut sedang terjadi, red flags pun muncul, baik itu di laporan keuangan perusahaan atau terlihat pada saat auditor

(13)

sedang melakukan pemeriksaan. Penggunaan red flags dalam mendeteksi kecurangan ketika ada hal yang dicurigai dan menjadi salah satu tanda, maka tanda tersebut dapat digunakan untuk membantu auditor untuk lebih memfokuskan kinerja mereka dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan.

Gizta (2019) mendefinisikan red flags sebagai keadaan yang berbeda dari aktivitas normal yang mengindikasikan adanya gejala atau sesuatu yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut, yang dapat menjadi faktor risiko dan peringatan kemungkinan kecurangan. Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flags tidak mutlak menunjukan apakah seseorang bersalah atau tidak tetapi merupakan tanda-tanda peringatan bahwa kecurangan sedang atau telah terjadi. Red flags dikatakan penting sebagaimana dikutip dalam SAS 99 – Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit yang menyatakan bahwa auditor diminta untuk secara spesifik menilai risiko salah saji yang disebabkan oleh kecurangan dan SAS 99 ini juga menyediakan pedoman operasi bagi auditor saat menilai kecurangan ditengah proses audit. Red flags dikategorikan menjadi tiga menurut Laitupa (2020) yaitu:

1. Tekanan (Pressure)

Tekanan merupakan situasi dimana seseorang merasa atau memiliki kebutuhan untuk melakukan kecurangan, pengaruh desakan dalam pikiran dan keinginan inilah yang menjadi kekuatan moral. Tekanan mengacu pada sesuatu yang telah terjadi di kehidupan pribadi pelaku yang menciptakan kebutuhan yang memotivasinya untuk melakukan kecurangan.

2. Peluang (Opportunity)

Peluang (opportunity) merupakan situasi dimana seseorang percaya adanya kemungkinkan untuk melakukan kecurangan dan percaya bahwa kecurangan tersebut tidak terdeteksi. Kecurangan yang disebabkan oleh peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang baik dan penggunaan posisi. Kegagalan dalam menetapkan prosedur yang memadai untuk mendeteksi kecurangan juga meningkatkan kesempatan terjadinya kecurangan.

3. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi merupakan kondisi dimana seseorang yang telah melakukan kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya, namun alasan tersebut tidak tepat. Rasionalisasi diperlukan agar pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap

(14)

mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya.

Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit untuk diukur. Bagi mereka yang umumnya tidak jujur, akan lebih mudah untuk merasionalisasi penipuan, dibandingkan dengan orang- orang yang memiliki standar moral yang tinggi.

Tiga kategori red flags ini telah dijelaskan pada bagian mengenai teori segitiga kecurangan (fraud triangle), dimana red flags memang diciptakan dengan berdasarkan konsep teori segitiga kecurangan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa akan lebih mudah bagi auditor untuk mengambil tindakan pencegahan atas kecurangan yang ditemukan segera mungkin jika auditor dapat menemukan red flags ketika memeriksa laporan keuangan. Dalam mendeteksi kecurangan, auditor yang baik akan lebih sensitif dalam mendeteksi adanya kecurangan jika memiliki pengetahuan tentang red flags dibandingkan dengan auditor yang kurang mengetahui tentang red flags.

2.1.7 Tekanan Anggaran Waktu (Time Budget Pressure)

Laitupa (2020) mengemukakan bahwa “Time pressure adalah suatu kondisi yang terjadi dimana waktu yang dianggarkan kurang dari waktu yang telah tersedia untuk menyelesaikan prosedur audit yang telah ditetapkan.”

Time pressure yang diberikan tersebut berguna mengurangi biaya audit.

Semakin cepat waktu pengerjaan maka biaya pelaksanaan audit akan semakin kecil. Tekanan waktu menyebabkan stres individual yang mucul akibat ketidakseimbangan antara tugas dan waktu yang tersedia serta mempengaruhi etika professional melalui sikap, niat perhatian dan perilaku auditor. Time pressure yang dialami auditor dibagi menjadi dua dimensi menurut Sofie (2018) yaitu:

1. Time Budget Pressure

Time budget pressure merupakan suatu kondisi yang mana auditor dituntut atau diharuskan untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah ditetapkan, atau pembatasan waktu di dalam anggaran ketat.

2. Time Deadline Pressure.

Time deadline pressure merupakan suatu keadaan yang mana seorang auditor dituntut dan diharuskan untuk dapat menyelesaikan tugas auditnya secara tepat waktu.

(15)

Tekanan anggaran waktu (time budget pressure) merupakan ciri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu dalam penyelesaian tugas audit membuat auditor mempunyai masa sibuk sehingga dituntut untuk bekerja cepat (Yuara, 2018). Menurut Aprianto (2018), “Auditor akan cenderung kurang cermat dalam mengaudit, terlebih lagi dapat gagal dalam mendeteksi kecurangan”. Auditor harus pandai dalam mengestimasikan waktunya dalam melakukan audit, sehingga dapat mengaudit tanpa merasa terbebankan.

Membagi waktu dan bekerja dengan cepat dalam mengaudit, mengumpulkan bukti audit yang mendukung dalam laporan auditnya. Tekanan anggaran waktu timbul karena adanya tekanan yang muncul dari keterbatasan sumber yang tersedia dalam melaksanakan tugas.

Menurut Sofie (2018), ada dua cara auditor dalam memberikan respon pada saat menerima tekanan waktu, yaitu:

1. Tipe fungsional merupakan perilaku (attitude) auditor yang cenderung untuk meningkatkan kinerjanya dengan bekerja lebih baik serta pemanfaatan waktu secara efektif.

2. Tipe disfungsional merupakan perilaku (attitude) auditor yang dapat menurunkan kualitas auditor karena lebih cenderung memprioritaskan beberapa tugas.

Seorang auditor yang memiliki tekanan waktu akan kurang dapat mendeteksi adanya kecurangan dan sebaliknya jika seorang auditor tidak memiliki tekanan waktu, maka auditor akan lebih dapat mendeteksi adanya kecurangan. Hal ini disebabkan auditor hanya berfokus pada penyelesaian auditnya dari pada kualitas auditnya. Tekanan anggaran waktu merupakan bentuk tantangan bagi auditor yang tidak dapat dihindari karena auditor harus mampu mengestimasikan waktunya terutama dalam membagi waktu untuk bekerja cepat dalam mengaudit dan untuk mengumpulkan bukti audit yang mendukung laporan auditnya.

Jika waktu dan biaya yang dialokasikan dalam menyelesaikan auditnya tidak cukup, auditor akan bekerja cepat dengan tidak memperhatikan prosedur audit yang ada. Sehingga memungkinkan hasil audit menjadi tidak berkualitas.

Bahkan tidak dapat mendeteksi adanya kesalahan dalam laporan keuangan klien.

(16)

26 2.2 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan dari penelitian – penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan dengan menggunakan tabel seperti berikut : Tabel 2.1

Daftar Penelitian Terdahulu

NO PENELITI JUDUL VARIABEL METODE HASIL

1 Ahmad Badjuri, Jaeni, Sunarto, Pranadita (2019)

Determinan Terhadap Deteksi Kecurangan Auditor Sektor Publik

X1 = Independensi X2 = Kompetensi X3 = Skeptisisme Profesional X4 = Pengalaman X5 = Beban Kerja X6 = Tekanan Waktu Y = Pendeteksian

Kecurangan

Teknik Purposive Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Independensi berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan 2. Kompetensi berpengaruh positif

terhadap pendeteksian kecurangan 3. Skeptisisme professional

berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan 4. Pengalaman berpengaruh positif

terhadap pendeteksian kecurangan 5. Beban kerja berpengaruh negatif

terhadap pendeteksian kecurangan 6. Tekanan waktu berpengaruh negatif

terhadap pendeteksian kecurangan 2 Anak Agung Putu

Gede Bagus Arie Susandya, Ni Nyoman Ayu Suryandari (2019)

Pengaruh Pengalaman Auditor, Skeptisisme Profesional dan Tekanan Waktu Terhadap Pendeteksian Kecurangan

X1 = Pengalaman X2 = Skeptisisme

Profesional X3 = Tekanan Waktu Y = Pendeteksian

Kecurangan

Teknik Sampel Jenuh, Regresi Linear

Berganda

1. Pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan

2. Skeptisisme professional berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan

3. Tekanan waktu tidak berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan 3 Lily Lovita,

Rustiana (2016)

Pengaruh Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap

X1 = Skeptisisme Profesional Y = Kemampuan

Tenik Sampel Sensus, Regresi Linear

1. Skeptisisme professional berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor mendeteksi

(17)

27

NO PENELITI JUDUL VARIABEL METODE HASIL

Kemampuan Auditor Mendeteksi

Kecurangan

Auditor Mendeteksi Kecurangan

Sederhana kecurangan

4 Erdita Faradilla, Juliyanty Sidik Tjan, Andika Pramukti (2021)

Pengaruh Pengalaman Auditor,

Independensi, dan Skeptisme Profesional Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan

X1 = Pengalaman Kerja

X2 = Independensi X3 = Skeptisisme

Profesional Y = Pendeteksian

Kecurangan

Teknik Sampel Sensus, Regresi Linear

Berganda

1. Pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan

2. Independensi berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan 3. Skeptisisme professional

berpengaruh negatif terhadap pendeteksian kecurangan 5 Muhammad

Rafnes, Nora Hilmia Primasari (2020)

Pengaruh Skeptisisme Profesional,

Pengalaman Auditor, Kompetensi Auditor dan Beban Kerja Terhadap Pendeteksian Kecurangan

X1 = Skeptisisme Profesional X2 = Pengalaman

Auditor X3 = Kompetensi

Auditor X4 = Beban Kerja Y = Pendeteksian Kecurangan

Teknik Simple Random Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Skeptisisme professional tidak berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan

2. Pengalaman auditor berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan

3. Kompetensi auditor tidak

berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan

4. Beban kerja berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan 6 Puspita Wulan

Dari, Wahyudin Nor, Rasidah (2021)

Determinan Kemampuan Pemeriksa Dalam Mendeteksi Fraud

X1 = Pengalaman Pemeriksaan X2 = Red Flags X3 = Tekanan

Anggaran Waktu X4 = Skeptisisme

Profesional X5 = Beban Kerja

Teknik Sampel Sensus, Regresi Linear

Berganda

1. Pengalaman pemeriksaan berpegaruh positif terhadap kemampuan

pemeriksa dalam mendeteksi kecurangan

2. Red flag berpengaruh positif terhadap kemampuan pemeriksa dalam

mendeteksi kecurangan 3. Tekanan anggaran waktu tidak

(18)

28

NO PENELITI JUDUL VARIABEL METODE HASIL

X6 = Tipe Kepribadian Y = Kemampuan

Pemeriksa dalam Mendeteksi Kecurangan

berpengaruh terhadap kemampuan pemeriksa dalam mendeteksi kecurangan

4. Skeptisisme profesional tidak berpengaruh terhadap kemampuan pemeriksa dalam mendeteksi kecurangan

5. Beban kerja tidak berpengaruh terhadap kemampuan pemeriksa dalam mendeteksi kecurangan 6. Tipe kepribadian tidak berpengaruh

terhadap kemampuan pemeriksa dalam mendeteksi kecurangan 7 Muhammad

Teguh Arsendy (2017)

Pengaruh Pengalaman Audit, Skeptisme Profesional, Red Flags, dan Tekanan Anggaran Waktu Terhadap

Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan

X1 = Pengalaman Audit X2 = Skeptisisme

Profesional X3 = Red Flags X4 = Tekanan

Anggaran Waktu Y = Kemampuan

Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Teknik Convenience Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Pengalaman audit berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

2. Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

3. Red flags berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan 4. Tekanan anggaran waktu

berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

8 Bayu Hendra Prakosa (2020)

Pengaruh Pengalaman Auditor, Beban Kerja, Red Flags, dan Tipe Kepribadian Terhadap

X1 = Pengalaman Auditor X2 = Beban Kerja X3 = Red Flags

Teknik Purposive Sampling, Regresi Linear

1. Pengalaman auditor berpengaruh posifit terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

2. Beban kerja berpengaruh negatif

(19)

29

NO PENELITI JUDUL VARIABEL METODE HASIL

Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan

X4 = Tipe Kepribadian Y = Kemampuan

Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Berganda terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

3. Red flags tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

4. Tipe kepribadian tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan 9 Safriani Yuara,

Ridwan Ibrahim, Yossi Diantimala (2019)

Pengaruh Sikap Skeptisme Profesional Auditor, Kompetensi Bukti Audit dan Tekanan Waktu Terhadap Pendeteksian Kecurangan

X1 = Skeptisisme Profesional X2 = Kompetensi

Bukti Audit X3 = Tekanan Waktu Y = Pendeteksian

Kecurangan

Teknik Sampel Jenuh, Regresi Linear

Berganda

1. Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap pendeteksian

kecurangan

2. Kompetensi bukti audit berpengaruh positif terhadap pendeteksian kecurangan

3. Tekanan waktu berpengaruh negatif terhadap pendeteksian kecurangan 10 Molina, Safitri

Wulandari (2018)

Pengaruh

Pengalaman, Beban Kerja dan Tekanan Waktu Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan

X1 = Pengalaman X2 = Beban Kerja X3 = Tekanan Waktu Y = Kemampuan

Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Teknik Convenience Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Pengalaman berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

2. Beban kerja berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

3. Tekanan waktu berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan 11 Nurwahyuni, Atik

Isniawati (2021)

Analisis Faktor-Faktor Kemampuan Auditor Mendeteksi

Kecurangan

X1 = Tekanan

Anggaran Waktu X2 = Pengalaman

Audit X3 = Skeptisisme

Teknik Convenience Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Tekanan anggaran waktu berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

2. Pengalaman audit berpengaruh

(20)

30

NO PENELITI JUDUL VARIABEL METODE HASIL

Profesional Y = Kemampuan

Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

3. Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

12 Almaghfuroh Sania,

Widaryanti, Eman Sukanto (2019)

Skeptisme Profesional, Independensi, Tekanan Waktu, Pengalaman Audit dan Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan

X1 = Skeptisisme Profesional X2 = Independensi X3 = Tekanan Waktu X4 = Pengalaman

Audit Y = Kemampuan

Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Teknik Purposive Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

2. Independensi tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

3. Tekanan waktu tidak berpengaruh terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan 4. Pengalaman audit berpengaruh

positif terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan

13 Anita Wahyu Indrasti, Conni Novita Sari (2019)

Determinan Terhadap Pendeteksian

Kecurangan

X1 = Skeptisisme Profesional X2 = Pengalaman X3 = Whistleblowing X4 = Red Flags Y = Pendeteksian

Kecurangan

Teknik Convenience Sampling, Regresi Linear Berganda

1. Skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap pendeteksian

kecurangan

2. Pengalaman tidak berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan 3. Whistleblowing tidak berpengaruh terhadap pendeteksian kecurangan 4. Red flags tidak berpengaruh terhadap

pendeteksian kecurangan

(21)

H1

H3 H2

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

H4 2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh skeptisisme profesional, red flags, dan tekanan anggaran waktu sebagai variabel independen terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan sebagai variabel dependen. Berdasarkan tinjauan pustaka dan penelitian sebelumnya terkait faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, maka penulis membuat struktur kerangka kerja seperti pada skema di bawah ini:

2.4 Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Skeptisisme Profesional terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Skeptisisme professional berkaitan dengan teori atribusi karena teori atribusi menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan. Faktor internal yang berasal dari dalam diri auditor yaitu skeptisisme profesional. Auditor dituntut untuk memiliki sikap skeptisisme profesional yang tinggi dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, terutama dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya tindakan kecurangan meskipun kecurangan tersebut belum tentu terjadi. Seorang auditor yang

Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

(Y) Skeptisisme Profesional

(X1)

Tekanan Anggaran Waktu

(X3) Red flags

(X2)

(22)

menerapkan sikap skeptisisme profesional tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, namun akan mengenal objek yang menjadi masalah. Tanpa menerapkan sikap skeptisisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan dan akan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan.

Rendahnya sikap skeptisisme profesional seorang auditor akan menyebabkan auditor tidak mampu dalam mendeteksi kecurangan karena auditor dengan mudahnya percaya terhadap penjelasan yang diberikan oleh klien tanpa didukung dengan bukti yang jelas. Semakin tinggi sikap skeptisisme profesional seorang auditor, maka auditor akan lebih mudah mendeteksi kecurangan dalam pemeriksaan laporan keuangan.

Auditor yang memiliki sikap skeptisisme profesional yang tinggi akan meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi kecurangan dengan mengembangkan pencarian mengenai informasi-informasi tambahan ketika dihadapkan dengan tanda-tanda terjadinya kecurangan yang mendukung kesimpulan auditor. Menurut PSA No. 5 (SA seksi 230 dalam SPAP IAPI, 2011) pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif menurut auditor mempertimbangkan kompetensi dan kecukupan bukti karena bukti dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, sehingga skeptisisme profesional harus digunakan selama proses pemeriksaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2019) dan Susandaya (2021) menyatakan bahwa skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan karena sikap skeptisisme profesional yang tinggi akan meminimalisir terjadinya kecurangan yang tidak terdeteksi semakin kecil. Skeptisisme profesional sangat penting untuk dimiliki, karena auditor perlu informasi yang kuat untuk dijadikan dasar bukti yang relevan dalam mendukung pemberian opini terhadap kewajaran laporan keuangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan pelakunya. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah:

H1 : Skeptisisme Profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

(23)

2.4.2 Pengaruh Red flags terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Red flags berkaitan dengan teori atribusi karena teori atribusi menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan. Faktor eksternal yang berasal dari luar diri auditor yaitu red flags. Ketika auditor dihadapkan dengan red flags saat melaksanakan proses pemeriksaan akan berusaha mencari penyebab dan membuat kesimpulan terhadap red flags yang ada. Persepsi diri seorang auditor memainkan peranan penting dalam menyimpulkan apakah red flags mengarah pada gejala kecurangan atau hanya merupakan kesalahan.

Dalam pemeriksaan laporan keuangan, selain memiliki sikap profesional yang tinggi, auditor juga dituntut untuk mampu memahami adanya red flags (indikasi awal kecurangan). Red flags merupakan keadaan yang berbeda dari aktivitas normal yang mengindikasikan adanya tanda-tanda atau sesuatu yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang dapat menjadi faktor risiko serta peringatan kemungkinan terjadi kecurangan. Meskipun red flags tidak selalu menandakan adanya kecurangan, pengungkapan kecurangan sering kali ditandai dengan pengetahuan mengenai gejala red flags. Ketika terdapat hal yang dicurigai, maka kondisi ini merupakan red flags yang dapat membantu auditor untuk lebih memfokuskan pemeriksaan mereka dalam melakukan pendeteksian terjadinya kecurangan.

Jika seorang auditor dapat menemukan red flags ketika memeriksa laporan keuangan klien maka kemampuannya untuk mendeteksi kecurangan akan lebih baik karena red flags akan memudahkan seorang auditor untuk mengambil tindakan pencegahan secepat mungkin atas kecurangan yang ditemukan. Auditor yang memiliki pengetahuan tentang red flags yang baik akan lebih peka dalam hal mendeteksi adanya kecurangan dibandingkan auditor yang kurang memiliki pengetahuan tentang red flags (Arsendy, 2017). Dengan demikian, red flags dapat digunakan oleh auditor sebagai tanda atau peringatan awal yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut kepada hal-hal yang mencurigakan. Hal ini dapat

(24)

membantu langkah auditor selanjutnya untuk dapat memperoleh bukti-bukti yang diperlukan untuk mengungkap kecurangan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsendy (2017) dan Dari (2021) menyatakan bahwa red flags berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Jika seorang auditor yang memiliki pengetahuan mengenai red flags yang baik, auditor akan lebih peka ketika mendeteksi adanya kecurangan dibandingkan dengan auditor yang kurang memiliki pengetahuan mengenai red flags. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah:

H2 : Red flags berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

2.4.3 Pengaruh Tekanan Anggaran Waktu terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan.

Tekanan anggaran waktu berkaitan dengan teori atribusi karena teori atribusi menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku auditor untuk dapat mendeteksi kecurangan. Faktor eksternal yang berasal dari luar diri auditor yaitu Tekanan anggaran waktu. Auditor yang merasa waktunya kurang saat menjalankan penugasan tentunya auditor bekerja pada tekanan waktu yang terbatas maka auditor tidak terlalu detail dalam penugasannya sehingga kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan akan menurun.

Tekanan waktu akan membuat auditor memiliki masa sibuk karena menyesuaikan tugas yang harus diselesaikan dengan waktu yang tersedia. Seorang auditor yang memiliki tekanan waktu akan kurang dapat mendeteksi adanya kecurangan dan sebaliknya jika seorang auditor tidak memiliki tekanan waktu, maka auditor akan lebih dapat mendeteksi adanya kecurangan. Hal ini disebabkan auditor hanya berfokus pada penyelesaian auditnya dari pada kualitas auditnya.

Maka auditor hanya berfokus untuk menyelesaikan laporan audit tepat waktu dari pada kualitas auditnya.

Tekanan anggaran waktu (time pressure) merupakan ciri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu dalam penyelesaian tugas audit membuat auditor mempunyai masa sibuk sehingga dituntut untuk bekerja cepat

(25)

(Yuara, 2018). Auditor harus mampu mengestimasikan waktunya terutama dalam membagi waktu untuk bekerja cepat dalam mengaudit dan untuk mengumpulkan bukti audit yang mendukung laporan auditnya.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsendy (2017) dan Yuara (2018) menyatakan bahwa tekanan anggaran waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Semakin tinggi tekanan anggaran waktu yang dihadapi seorang auditor, maka kualitas audit yang dihasilkan semakin rendah karena auditor hanya berfokus untuk menyelesaikan laporan audit tepat waktu dari pada kualitas auditnya. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah :

H3 : Tekanan anggaran waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

2.4.4 Pengaruh Skeptisisme Profesional, Red Flags dan Tekanan Anggaran Waktu terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan

Peneliti juga menguji pengaruh skeptisisme profesional, red flags, dan tekanan anggaran waktu secara bersamaan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan secara simultan. Menurut Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (2017), pemeriksa harus merencanakan, melaksanakan dan melaporkan hasil pemeriksaan dengan sikap skeptisisme profesional. Pemeriksa harus menggunakan skeptisisme profesional dalam menilai risiko terjadinya kecurangan yang secara signifikan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pekerjaan pemeriksa apabila kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi.

Auditor yang memiliki sikap skeptisisme profesional yang tinggi akan meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi kecurangan dengan mengembangkan pencarian mengenai informasi-informasi tambahan ketika dihadapkan dengan tanda-tanda terjadinya kecurangan yang mendukung kesimpulan auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Badjuri (2019) dan Susandaya (2021) menyatakan bahwa skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan karena sikap skeptisisme

(26)

profesional yang tinggi akan meminimalisir terjadinya kecurangan yang tidak terdeteksi semakin kecil.

Dalam pemeriksaan laporan keuangan, selain memiliki sikap profesional yang tinggi, auditor juga dituntut untuk mampu memahami adanya red flags (indikasi awal kecurangan). Red flags merupakan keadaan yang berbeda dari aktivitas normal yang mengindikasikan adanya tanda-tanda atau sesuatu yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang dapat menjadi faktor risiko serta peringatan kemungkinan terjadi kecurangan Jika seorang auditor dapat menemukan red flags ketika memeriksa laporan keuangan klien maka kemampuannya untuk mendeteksi kecurangan akan lebih baik karena red flags akan memudahkan seorang auditor untuk mengambil tindakan pencegahan secepat mungkin atas kecurangan yang ditemukan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsendy (2017) dan Dari (2021) menyatakan bahwa red flags berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Jika seorang auditor yang memiliki pengetahuan mengenai red flags yang baik, auditor akan lebih peka ketika mendeteksi adanya kecurangan dibandingkan dengan auditor yang kurang memiliki pengetahuan mengenai red flags.

Tekanan anggaran waktu (time pressure) merupakan ciri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu dalam penyelesaian tugas audit membuat auditor mempunyai masa sibuk sehingga dituntut untuk bekerja cepat (Yuara, 2018). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsendy (2017) dan Yuara (2018) menyatakan bahwa tekanan anggaran waktu berpengaruh negatif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Semakin tinggi tekanan anggaran waktu yang dihadapi seorang auditor, maka kualitas audit yang dihasilkan semakin rendah karena auditor hanya berfokus untuk menyelesaikan laporan audit tepat waktu dari pada kualitas auditnya. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah :

H4 : Skeptisisme Profesional, Red Flags dan Tekanan Anggaran Waktu berpengaruh secara bersama-sama terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman dana bergulir dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang dapat membantu meningkatkan produk, omzet penjualan,

Departemen Agama Repub lik Indonesia , selanjutnya di sebut sebagai DEPAG, Dan Yayasan Makkah Almukarramah yang didi rikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

Setting (latar) merupakan sekumpulan properti yang membentuk latar bersama seluruh latarnya, properti berupa objek yang diam seperti perabotan, pintu, jendela,

MMK telah meluluskan permohonan berkenaan dengan syarat bahawa keperluan dan kebajikan setinggan diberi perhatian (MMK mengarahkan supaya surat kelulusan tidak

Keseluruhan hasil uji akurasi habitat terumbu karang diatas menunjukkan bahwa metode klasifikasi ANN supervised masih memiliki tingkat akurasi relatif baik,

Insidensi tumor pada kelompok perlakuan ekstrak dosis 250 mg/kg BB mencapai 4/10 dalam waktu 16 minggu, artinya hanya 4 ekor tikus yang terkena tumor mamae (n=10).. Adapun