commit to user
i
TINDAK TUTUR DIREKTIF
GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR
(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi
oleh :
NUNING TRI MARDIASTUTI
X1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
TINDAK TUTUR DIREKTIF
GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR
(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan
Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
oleh :
NUNING TRI MARDIASTUTI
NIM X 1206039
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. Purwadi Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim penguji skripsi:
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ...
Sekretaris : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. ...
Anggota I : Drs. Purwadi. ...
Anggota II : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ...
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
commit to user
v
ABSTRAK
Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
“ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicaralah yang baik-baik,
kalau tidak mampu, maka diamlah saja.”
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur
dan terima kasihku kepada:
1. Kedua orang tuaku, Bapak Wagimin dan Ibu
Sumarsi atas dukungan, kasih sayang, doa
yang tak akan pernah putus;
2. Kakakku Didik, Wiwik, dan Budi yang
selalu memberiku semangat dan keceriaan;
3. Sahabatku (Fyna, Aileen, Wiwit, Niken,
Anna, Rika) semoga persahabatan kita tak
terpisahkan karena jarak;
4. Temanku curhat Pak Parno, Rumi, Murtini,
dan Narsi yang selalu memberiku semangat;
5. Calon Imamku yang selalu memberiku doa
serta semangat; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini
peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan
dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,
peneliti menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penyusunan skripsi ini;
2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan
penyusunan skripsi ini;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi selama menyusun skripsi
serta izin untuk menyusun skripsi ini;
4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa
memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan
kepada peneliti selama kuliah;
5. Drs. H. Purwadi, M. Pd. selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dengan sabar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan lancar;
6. Alim Sukarno, S. Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1
Karanganyar yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian;
7. Wahyu Lestari, S.Pd. dan Ngadimin, S. Pd. selaku guru kelas XI SMA
Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah banyak membantu dan berperan
commit to user
ix
8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak
dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Surakarta,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PENGAJUAN ... ii
PERSETUJUAN ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATAPENGANTAR ... viii
DAFTARISI ... x
DAFTARGAMBAR ... xii
DAFTARLAMPIRAN ... xiii
BABI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BABII. LANDASANTEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8
1. Hakikat Pragmatik ... 8
2. Tindak Tutur... 9
3. Tindak Tutur Direktif ... 13
4. Situasi Tutur ... 16
5. Prinsip-prinsip Berkomunikasi ... 17
B. Penelitian yang Relevan ... 39
C. Kerangka Berpikir ... 41
BABIII. METODEPENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 43
commit to user
xi
D. Teknik Pengumpulan Data ... 44
E. Validitas Data ... 45
F. Teknik Analisis Data ... 45
G. Prosedur Penelitian... 47
BABIV. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 50
B. Hasil penelitian... 52
1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 53
2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 60
C. Pembahasan ... 67
1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 67
2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 69
BABV. SIMPULAN, IMPLIKASI, DANSARAN A. Simpulan ... 71
B. Implikasi ... 72
C. Saran ... 73
DAFTARPUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir ... 42
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
LAMPIRAN 1. TRANSKRIP REKAMAN ... 77
LAMPIRAN 2. CATATAN LAPANGAN ... 94
LAMPIRAN 3. INSTRUMEN WAWANCARA ... 104
LAMPIRAN 4. LAPORAN HASIL WAWANCARA ... 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. DIRECTIVE SPEECH ACT OF TEACHERS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (In Learning
Process in XI Class). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, March 2011.
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk
sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain,
sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan
bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam
lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan
yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain.
Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga
pendidikan.
Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa
komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu
komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan (1987:
68) berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara
murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar
terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan
siswa atau siswa dengan siswa.
Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut
untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti
dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu
mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa
daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi
sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya
adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai
tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah
tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa
juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma
atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata
cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan
mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong,
angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 2).
Pakar bahasa menyadari perlunya perhatian terhadap dimensi
kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini
dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna
terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga
sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik,
aturan-aturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari
interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana
pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan
menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai
kegiatan.
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat
untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur
merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi
simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa
mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya,
masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat
berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam
berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku
nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada
bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan,
keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku
nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural
commit to user
Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi
sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status
penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini
menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung
tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk
santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi
(penutur dan mitra tutur) untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam
masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya
dengan mengandalkan pikiran (rasionya), tetapi yang lebih penting adalah
perasaanya (angon rasa). Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang
disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya
tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan
besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan (Pranowo, 2009: 45). Hal ini tidak
hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal
ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis.
Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat
menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk
menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi
perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering
mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan,
khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi
seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena
berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa
sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal
ini.
Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil
sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa
pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika
murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan
dengan hal ini, Soemiarti (2003: 37) berpendapat bahwa guru hendaknya peka
terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda
yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya.
Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari
konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil
pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi.
Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota
masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan
budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang
dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan
penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda,
pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu
faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya
prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk
menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara
penutur dan mitra tutur.
Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik
makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang
ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi
memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu
sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri
cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya
kenyatan-kenyataan Bahwa (1) bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan
masyarakat pemakainya, (2) perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya
perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan (3) perubahan
nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki
oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang
sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak
diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di
commit to user
sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena
kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah.
Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk
tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut
merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh
sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di
lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif
sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik
adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur
kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan
menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech
(1983: 121) menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh
dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip
kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi
penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang
serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya
sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru
dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah.
Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan
yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu (1) penarapan prinsip
kesantunan dalam berbahasa; dan (2) penerapan prinsip kerja sama dalam
berbahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang
digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?
2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini bertujuan untuk
mendiskripsikan:
1. Penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
2. Penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru
SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
a. Memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai tindak tutur, khususnya
penerapan prinsip kesantunan yang digunakan guru dalam pembelajaran di
SMA.
b. Menambah wawasan mengenai tindak tutur para siswa.
c. Menambah kekayaan penelitian di bidang pragmatik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
1) Guru dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dalam
pembelajaran sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan
baik.
2) Guru dapat membiasakan siswa untuk belajar menggunakan tindak
tutur dengan santun.
b. Bagi Orang Tua Murid
1) Dengan mengetahui tuturan anak, orang tua dapat membiasakan
menggunakan tuturan yang baik.
2) Dengan mengetahui arti penting bertutur, maka orang tua dapat
melakukan upaya tertentu agar merangsang anak untuk berbicara
commit to user
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memperdalam pengetahuan tentang fenomena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Tinjauan Pustaka
1. Pragmatik
Levinson (1983: 27) mendefinisikan pragmatik adalah penelitian atau
kajian di bidang dieksis atau implikatur, praanggapan, pertuturan atau tindak
bahasa, dan struktur wacana. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah
bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi
tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis
(Wijana, 1996: 2-3). Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik sebagai
bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran.
Kridalaksana (1984: 159) menjelaskan pengertian pragmatik
(pragmatics), yaitu (1) cabang semiotik yang mempelajari asal-usul, pemakaian
dan akibat lambang dan tanda; (2) ilmu yang menyelidiki peraturan, konteksnya,
dan maknanya. Nababan (1987: 1) memakai istilah pragmatik secara lebih luas
yang mengacu pada ”aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk
bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai
dengan konteks dan keadaan”.
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik
dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah
bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang,
asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai
contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara.
Kerugian yang besar adalah bahwa semua konsep manusia ini sulit dianalisis
commit to user
2. Hakikat Tindak Tutur
a. Bentuk Tindak Tutur
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the acts of saying something. Konsep ini berkaitan dengan proposisi kalimat, yaitu di dalamnya terdapat subjek atau topik
dan predikat atau comment. Tindak tutur ini berwujud tindak bertutur dengan fonem, kata, frasa, dan kalimat bahkan sampai dengan wacana sesuai dengan
makna yang dikandung dalam konstruksi fonem, kata, frasa, kalimat, dan wacana
itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang
dikemukakan oleh penutur. Semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu
mitra tutur bahwa pada saat penutur bertutur Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada berarti ‘penutur mengetahui ada iklan melintang di jalan Gajah Mada. Oleh sebab itu tuturan ini di dalam studi pragmatik dianggap kurang menarik sebab
tidak terdapatnya maksud interpersonal.
Tindak tutur ilokusi dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dan
melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini dinamakan sebagai the acts of doing something. Untuk menafsirkan tindak tutur ilokusi ini diperlukan pemahaman terhadap situasi tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu terdapatnya iklan yang melintang di jalan Gajah Mada, namun lebih dari itu bahwa maksud
yang hendak dituju adalah penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan
menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada.
Tuturan perlokusi mempunyai pengaruh (perlocitionary force) terhadap
mitra tutur. Untuk itu, tindak ini dinamakan dengan the act of effecting some one. Tindak tutur ini dituturkan oleh penutur untuk menumbuhkan pengaruh (effect)
kepada mitra tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
b. Jenis Tindak Tutur
Klasifikasi tindak tutur yang dibicarakan di sini adalah klasifikasi
berdasarkan daya ilokusi pada khususnya, karena klasifikasi ini sebagai patokan
dalam mengklasifikasikan berbagai tuturan yang berimplikatur dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tidak membicarakan klasifikasi tindak tutur
yang lain, seperti tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak
tutur literal dan tindak tutur tidak literal (Wijana, 1996: 32). Maka peneliti
simpulkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur harfiah atau sesuai dengan
kenmyataan, dan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur tidak sesuai dengan
kenyataan.
Secara garis besar kategori-kategori dalam Leech (1993: 164-165)
dikelompokkan menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan
deklarasi.
a. Asertif (assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun
ilokusi cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja sama
(collaborative). Tetapi ada beberapa perkecualian: misalnya membual biasanya dianggap tidak sopan, dari segi semantik ilokusi asertif bersifat
proporsional.
b. Direktif (directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, ilokusi misalnya, memesan, memerintah,
memohon, menutut, memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dapat
dimasukkan ke dalam kategori kompetitif (competitive) karena mencakup juga kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif. Namun di
pihak lain terdapat juga beberapa ilokusi direktif, seperti mengundang yang
secara intrinsik sopan. Agar istilah direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi
langsung dan tidak langsung, digunakan istilah imposif (impositive) khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif.
commit to user
Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat
kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada
kepentingan petutur.
d. ekspresif (Ekspressives): fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,
memberi maaf, mengencam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan
sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi komisif, ilokusi ekspresif
cenderung menyenangkan, karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti ‘mengencam’, dan
‘menuduh’.
e. Deklarasi (Deklarations): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas,
misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,
menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat, (pegawai),
dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa tindakan-tindakan ini merupakan
kategori tindak ujar yang sangat khusus, karena tindakan-tindakan ini
biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan
kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. (Contoh klasik ialah
hakim yang menjatuhkan hukuman pada pelanggar undang-undang, pendeta
yang membaptis bayi, pejabat yang memberi nama pada sebuah kapal baru,
dan sebagainya). Sebagai suatu tindakan kelembagaan (dan bukan sebagai
tindakan pribadi) tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor
sopan santun.
Lima macam tindak tutur tersebut juga dikemukakan oleh Mey (1994:
163) dan levinson (1983: 240). Keduanya juga mengutip pendapat Searle (1974:
34). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat mengetahui bahwa
pendapat mereka semua sama, yaitu tuturan dapat dibedakan ke dalam lima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menyatakan, menjelaskan, mengadukan, menyarankan, mengeluh, dan membual.
Direktif adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh adalah permohonan,
suruhan, permintaan, perintah, nasihat, anjuran, dan ajakan. Komisif menuntut
penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya
menawarkan, berjanji. Ekspresif adalah tuturan yang berfungsi mengungkapkan
sikap penutur tentang sesuatu baik yang bersifat positif maupun negatif, yang
bersifat positif misalnya, pujian, pernyataan maaf; dan yang bersifat negatif
misalnya, tuduhan, menyelahkan orang lain. Deklarasi biasanya diungkapkan oleh
orang yang berwenang dalam lembaga sosial, agama, hukum, dan tidak berkaitan
dengan hubungan personal dengan orang lain. Misalnya tuturan yang digunakan
oleh majelis hakim dalam pemberian keputusan kepada terdakwa, atau pejabat
yang meresmikan hasil pembangunan.
Berdasarkan kelima macam tuturan tersebut peneliti akan
mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam empat macam, yaitu asertif, direktif,
ekspresif, dan komisif. Deklarasi tidak peneliti bahas karena topik yang peneliti
bahas adalah tentang implikatur tindak tutur. Dengan demikian, tidak mungkin
deklarasi diungkapkan secara tidak jelas dalam suatu tuturan.
c. Strategi Bertutur
Prinsip pemilihan strategi betutur pada garis besarnya menyatakan bahwa
bertutur (berbicara) itu tidak “asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan
strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur dan atau peserta
interaksi yang lain. Untuk ini, Gunarwan (2005: 4-5) mengingatkan pentingnya
berhati-hati dalam bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (a)
bagaimana membedakan status atau kekuasaan diantara penutur dan mitra tutur,
(b) bagaimana jarak sosial diantara penutur dan mitra tutur, (c) bagaimana bobot
relatif pengungkapannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Strategi betutur langsung dilakukan dengan menggunakan tipe-tipe
kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Misalnya, kalimat berita digunakan
commit to user
menanyakan sesuatu dan seterusnya kalimat perintah digunakan untuk
menyatakan perintah, ajakan, pemintaan atau permohonan.
(1) Anak didik sedang belajar di kelas.
(2) Apakah anak didik sedang belajar di kelas?
(3) Anak didik supaya belajar di kelas!
Berdasarkan strategi bertuturnya, tuturan (1), (2), dan (3) dapat
dinyatakan sebagai tuturan langsung apabila tuturan (1) mengandung ,maksud
‘memberitahukan ada anak didik sedang belajar di kelas,’ tuturan (2) mengandung maksud ‘menanyakan apakah anak didik sedanng belajar di dalam kelas,’ dan (3) mengandung maksud ‘memerintahkan agar anak didik belajar di kelas.’
Sebaliknya, tuturan tidak langsung digunakan dengan cara mengubah
fungsi jenis kalimat, misalnya, untuk menyatakan perintah dapat digunakan
kalimat berita atau untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat tanya, dll.
Contoh;
(4) Papan tulisnya kelihatan kotor.
(5) Mengapa papan tulisnya kelihatan kotor?
Tuturan (4) dan (5) dapat dinyatakan sebagai tuturan tidak langsung
apabila tuturan (4) mengandung maksud ‘menyuruh mitra tutur untuk menghapus
papan tulis yang memang kotor’ dan tuturan (5) bermaksud ‘penutur menghendaki
papan tulisnya dihapus atau dibersihkan’.
3. Tindak Tutur Direktif
a. Konsep Tindak Tutur Direktif
Austin (1962: 151), Searle (1974: 23), dan Leech (1983: 106)
menempatkan tindak tutur direktif sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi.
Tindak ilokusi merupakan salah satu dari pembagian tentang tindak tutur, dua
yang lainnya adalah tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindak ilokusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
makna yang dikatakan. Lebih lanjut lagi tindak perlokusi berhubunga dengan
pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dikatakan.
Searle (1990: 358-364) menyatakan bahwa tindak tutur direktif adalah
bentuk tindak tutur yang merupakan usaha penutur agar mitra tutur melakukan
sesuatu tindakan. Tindak tutur ini digambarkan ke dalam bentuk tindak tutur
memerintah (command), menyuruh (request), meminta (beg), memohon (plead), mengundang (invite), dan menasehati (advise).
Tindak tutur pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif cenderung
dikategorikan sebagai tindak tutur yang mengandung unsur kompetitif dan bersifat
prospektif. Realisasi kompetitif tindak tutur ini adalah adanya permintaan penutur
kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya. Larangan
penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Sifat
prospektif tindak tutur ini adalah bahwa permintaan penutur kepada mitra tutur
untuk melakukan sesuatu tindakan setelah penutur menuturkan sesuatu untuk
mengandung permintaan. Tindak tutur ini tidak bisa mengandung permintaan
untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum dituturkannya sesuatu yang
mengandung permintaan.
Ilustrasi bentuk dan sifat tindak tutur ini memunculkan problematika baru
yakni seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan oleh mitra tutur untuk
melakukan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan penutur. Tuturan (6) berikut
mengandung permintaan agar mitra tutur menurunkan iklan yang melintang di
jalan Gajah Mada secepatnya. Maksud secepatnya ini dapat berarti ‘sekarang
juga’ atau ‘sekarang tetapi beberapa menit kemudian’ atau ‘ segera setelah tuturan
ini’ atau ‘sekarang siang nanti’ atau ‘sekarang pada waktu yang sama dengan
penerbitan periode ini, dll.
(6) Ada iklan melintang di Jalan Gajah Mada.
Berdasarkan konsep teoretis di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur
direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan
oleh mitra tutur. Tindak tutur ditektif mengekspresikan dua hal pokok, yaitu, (a)
commit to user
dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan
dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan
dalam tuturan itu.
Deskripsi realisasi perwujudan tindak tutur direktif sebagaimana di atas
menunjukkan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya penutur mununtut mitra
tutur melakukan sesuatu, bertindak dan berkata, tetapi penutur menuntut mitra
tutur melakukannya sesuai dengan rencana penutur. Rencana tindak tutur yang
dimaksud menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang
dilakukan di sini berkaitan dengan tuturan sosial-budaya di antara penutur-mitra
tutur.
b. Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Direktif
Searle (1980: 23) dan Leech (1983: 104-107) mengklasifikasikan ragam
tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu: (1) tindak memerintah, (2)
tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin.
Pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian
saran, dan pemberian izin.
Bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech itu berdasarkan
konteksnya dapat memiliki fungsi kompetitif (competitive), bertentangan (conflictive), menyenangkan (convival), atau bekerjasama (collaborative). Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, fungsi konfliktif bertentangan dengan
tujuan sosial. Fungsi menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial-fungsi
kerjasama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku
interaksi dalam konteks sosiobudaya tertentu.
Ragam dan fungsi tindak tutur direktif itu akan bermakna jika
ditempatkan pada kewenangan dan keharusan bertindak antara penutur dan mitra
tutur. Kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam peristiwa pembelajaran di
kelas maka tindak tutur direktif mengemban tugas untuk menyediakan modus
penyampaian sehubungan dengan untung-rugi, langsung-tidak langsung, dan
alternatif tindakan yang dapat dimanfaatkan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
komponen tutur merupakan kesatuan integratif. Realisasi perwujudan tindak tutur
direktif berhubungan dengan fungsi dan komponen tutur.
Tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan
prospek mitra tutur dan kehendak penutur terhadap tindakan mitra tutur. Tindak
ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat
mitra tutur melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku
maupun sebagai pengontrol mitra tutur dalam bertindak. Hubungan antara prospek
dan kehendak penutur dengan pengatur dan pengontrol mitra tutur inilah yang
kemudian menjadi dasar sebuah tindak tutur direktif itu dapat mengemban fungsi
menyenangkan, kerja sama atau kompetitif, bertentangan.
Kekuatan tindak tutur direktif kaitannya dengan fungsinya dapat
dikarakteristikkan menurut (a) situasi mental penutur-mitra tutur yang
dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi serta penjelas yang
dipahami penutur dan mitra tutur, dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh
tindakan dari tuturan direktif tersebut. Realisasi tindak tutur direktif guru dalam
peristiwa pembelajaran didasarkan pada asumsi bahwa (a) setiap penutur memiliki
sesuatu dalam pikirannya sehingga mitra tutur harus membuat inferensi maksud
tindakan yang diharapkan penutur, dan (b) setiap tindak tutur direktif membawa
dampak tertentu. Dampak reaksi tindak tutur ini menurut Ibrahim (1996: 51)
dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) simetris, berarti menunjukkan adanya sifat kerja
sama antara penutur-mitra tutur, (b) asimetris, berarti menunjukkan adanya
kewenangan penutur atas mitra tutur. Sementara itu, Brown dan Levinson (1978:
60) mengidentifikasikan dampak kekuatan tindak tutur direktif berkisar pada dua
aspek, yaitu: nosi muka positif atau nosi muka negatif.
4. Situasi Tutur
Konteks situasi tutur yang dimaksudkan dalam kajian pragmatik adalah
segala sesuatu yang mengiringi direalisasikannya suatu pertuturan. Segala sesuatu
itu bisa berupa latar belakang pengetahuan yang muncul dipahami secara bersama
commit to user
non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi
digunakannya suatu pertuturan tertentu.
Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting.
Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan.
Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian
pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth (dalam Rohmadi, 2004: 1)
bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan
konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech (1983: 19-20) meliputi:
penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan
sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal.
Sementara itu, ahli lain Purwo (1990: 16) lebih banyak menggunakan
sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim
digunakan oleh Wijana (1996: 10), Rahardi (2003: 18). Gunarwan (2004: 1)
menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan
lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya
menggunakan O1, O2, dan O3.
Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru
sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret
tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan
tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan
dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan
tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.
5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi
a. Prinsip karjasama
Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan
lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap
suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam “kesepakatan
bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan
itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut
implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang
tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut
tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui
implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut;
(7) Nonton film yo dik.
(8) Besok ada ulangan.
Tuturan (8) bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur
bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan
mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara
langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun
demikian, di dalam percakapan sering terjadi adanya
penyimpangan-penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai
oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan
tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif (Wijana, 1996: 46)
Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan (asas kerja sama),
yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang
biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama
itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan (dalam Brown
dan Yule, 1996: 32).
Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja
sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan
(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi/hubungan (maxim of
relevance/relation), dan maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner) (Grice,
1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154;
Wijana, 1996: 45-53).
Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama
dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut.
1) Maksim kuantitas
commit to user
‘Berilah keterangan sejelas/seinformatif mungkin;’
(10) Do not make your contribution more informative than required;
‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’
(Mey, 1994: 65)
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
keterangan/kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh
mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan
memilih (11) dibandingkan dengan (12) berikut ini;
(11) There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a
mens of locomotion to propel himself up a series of flat-topped
structures of some six o seven inches high.
(12) There is a man going upstair.
2) Maksim kualitas
(13) Do not say what you believe to be false;
‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’;
(14) Do not say that for which you lack adequate evidence.
‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’.
(Mey, 1994: 65)
Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan
hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan
pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang
bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan
mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini;
(15) + Ini sate ayam atau kambing?
- Ayam berkepala kambing.
Jawaban (-) jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum (tidak
mungkin ada ayam yang berkepala kambing). Namun, karena ada tujuan atau
efek tertentu (efek lucu) yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan
diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon.
3) Maksim relevansi/hubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
‘Bicaralah yang relevan.’
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan wacana berikut;
(17) What time is it?
‘Jam berapa sekarang?’
(18) Well, the postman’s been already.
‘Tukang pos sudah datang’
(Brown dan Levinson, 1978: 63)
Jawaban (18) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati,
hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan
kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur (17) dapat
membuat kesimpulan jam berapa ketika itu.
4) Maksim pelaksanaan/cara
Be perspicacious and specifically
(19) Avoid obscurity ’Hindari ketidakjelasan’
(20) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’
(21) Be brief ‘Bicaralah dengan singkat’
(22) Be orderly ‘Bicaralah dengan teratur’
Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.
Berkaitan dengan prinsip ini (Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51)
memberi contoh sebagai berikut;
(23) + Let’s stop and get something to eat.
‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.
‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S.
Dalam (23) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni
dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan
karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu
commit to user
akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu
per satu.
Leech (1993: 80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan
untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan
demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di
dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran ( truth-based approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di
dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan
hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi
kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang
dikenal sebagai prinsip kesantunan.
b. Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia merupakan
sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis,
dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno,
2009: 7). Muslich (2006: 1-2) menjelaskan bahwa kesantunan dapat dilihat dari
berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan
sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang tergambar nilai sopan
santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang
itu mengambil bagiab sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun,
masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara
seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu
lama).
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja
dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak
santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan, namun hal itu tidak
begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang
lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan
guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).
Berdasarkan butir terakhir, kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Namun,
dalam kajian teori ini hanya akan dijelaskan kesantunan berbahasa yang menjadi
topik penelitian.
Kesantunan bahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda
verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada
norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata
cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam
berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan
norma-norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang
yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya
(Muslich, 2006: 3). Hal tersebut senada dengan pendapat Leech (1983: 139),
yaitu sebagai berikut.
“Politeness is manifested not only in the content of conversation, but also in the way conversation is managed and structured by its participans. For example, conversational behaviour such as speaking at the wrong time (interrupting) or being silent of the wrong time has impolite implications.”
Sebagaimana disinggung di depan bahwa kesantunan berbahasa
menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Menurut Leech
(1983: 206-207) kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan
empat prinsip sebagai berikut.
Pertama, penerapan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness
commit to user
mendiskripsikan sejumlah maksim sopan santun yang memiliki kesamaan dengan
prinsip kerja sama (cooperative principle) yang ditemukan oleh Grice. Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech tersebut, antara lain (1) Maksim-maksim kearifan
(tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang
lain’, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan (the generosity maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan
diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang
lain, (3) maksim pujian atau penerimaan (the approbation maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan
memaksimalkan ekspresi persetujuan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan
hati atau kesederhanaan (the modesty maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan (the agreement maxim), yang menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dengan
orang lain, dan (6) maksim simpati (sympathy maxim), yang menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa
simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.
Kedua, penghindaran kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang
lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang
menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak
lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan tertentu.
ketiga, penggunaan atau pemakaian eufimisme, yaitu ungkapan penghalus sebagai salah satu cara untuk menghindari kata-kata tabu. Penggunaan eufimisme ini perlu
diterapkan untuk menghindari kesan negatif dalam bertutur.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak
hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa
krama Inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan tingkat usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang
yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal
tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Bu
mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa
orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
(24) “Engkau mau ke mana?” (25)“Saudara mau ke mana?” (26)“Anda mau ke mana?” (27)“Bapak mau ke mana?”
Dalam konteks tersebut, kalimat (24) dan (25) tidak atau kurang sopan
diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (27) yang sepatutnya
diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan, kalimat (26) lazim
diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya,
walaupun lebih pantas menggunakan kalimat (27).
Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat
mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur (Suharsih, 2009). Percakapan
yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan
bagi penutur.
(28) “Saya sudah mengumpulkan kok.” (29) “Buku yang mana?”
Tuturan di atas dituturkan oleh siswa kepada gurunya. Jelas tuturan
tersebut tidak menunjukkan kesantunan berbahasa. Hal ini dikarenakan tuturan
tersebut tidak menggunakan bentuk sapaan, seperti Pak dan Bu. Seharusnya kalimat di atas diubah sebagai berikut agar terdengar santun.
(30a) ”Saya sudah mengumpulkan kok, Pak.”
(30b) “Buku yang mana Bu?”
Tujuan utama kesantunan berbahasa, termasuk bahasa Indonesia adalah
commit to user
dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang
sebenarnya karena segan kepada orang yang lebih tua juga merupakan
ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di sebagian masyarakat
Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan
perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak
bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak
tahu apa yang dimaksudkan.
Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 1994: 90) menjelaskan bahwa
prinsip kesantunan berbahasa berkisar atas nosi (face) yang dibagi menjadi dua jenis ‘muka’, yaitu muka negatif (negative face) dan muka positif (positive face). Muka nagatif itu mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia
dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sebaliknya, muka
positif mangacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang
dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia
yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang
patut dihargai, dan sebagainya. Selain itu ada dua jenis kesantunan yang menjadi
perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan.
Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan (Suharsih, 2009).
Kesantunan bahasa, Cruse (dalam Gunarwan 2007: 164) menyarankan
bahwa kita harus menghindari beberapa hal atau bentuk berikut.
(a) memperlakukan petutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur, yakni
dengan menghendaki agar penutur melakukan sesuatu yang menyebabkan ia
mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dan sebagainya);
(b) mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri penutur atau orang atau orang
atau barang yang ada kaitannya dengan penutur;
(c) mengungkapkan rasa senang atas kemalangan penutur;
(d) menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur merasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
(e) memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri penutur.
Berdasarkan penjelasan di atas, penutur harus menghindari kelima hal
tersebut apabila ingin dikatakan santun dalam berbahasa. Namun, apabila kelima
hal tersebut tidak dihindari atau justru digunakan, maka si penutur akan dikatakan
tidak santun dalam berbahasa. Berdasarkan kelima hal di atas mengindikasikan
bentuk ketidaksantunan berbahasa.
Pranowo (2009: 37-39) mengemukakan tujuh prinsip yang dapat
mengukur santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketujuh prinsip tersebut adalah
sebagai berikut.
(a) kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam
berbicara. Keadaan emosi tersebut sangat menentukan kesantunan seseorang
dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menetukan gaya berbicara, tingkat
tutur, dan penggunaan kata-katanya.
(b) kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Hal
tersebut dapat diperlihatkan melalui kemauan seseorang mendengarkan
dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan oleh orang lain.
(c) gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa
dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah
dipahami oleh mitra tutur, misalnya: (1) tuturannya lengkap, (2) tuturannya
logis, (3) sungguh-sungguh verbal, dan (4) menggunakan ragam bahasa
sesuai dengan konteksnya.
(d) kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan
situasi. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra tutur adalah tuturan
yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur.
(e) kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti
bahasa proposal. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan
dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Apalagi bila tujuan tuturan itu berkenaan
dengan kebutuhan pribadi penutur.
(f) penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan diucapkan dengan
enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula.
commit to user
terlalu lembut, jangan berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu
lambat.
(g) perhatikan norma tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur) dan urutan tuturan.
Jika ingin menyela, katakana maaf. Hindari keseringan menyela pembicaraan orang. Mengenai gerakan tubuh (gestur) pada saat berbicara, tunjukkan wajah
berseri dan penuh perhatian terhadap mitra tutur. Tunjukkan sikap badan dan
tangan yang sopan saat berbicara.
Nababan (1987: 67) menunjukkan empat cara mengatur tata cara bertutur
yang juga merupakan prinsip atau dasar bertindak tutur, yaitu faktor waktu dan
keadaan, ragam bahasa, giliran bicara, dan saat harus diam atau tidak bicara.
Berikut ini penjelasan keempat faktor tersebut secara singkat.
(1) Faktor Waktu dan Keadaan
Faktor waktu dan keadaan menentukan apa yang seharusnya dikatakan oleh
seseorang. Misalnya, pada waktu siang hari seseorang dapat bertutur lebih
keras dari pada malam hari. Contoh lain, yaitu pada keadaan kesusahan atau
kesedihan, tidak pantas sekiranya kita membuat humor atau banyolan.
(2) Ragam Bahasa
Pemilihan ragam bahasa hendaknya tepat dan wajar dalam situasi linguistik
tertentu, artinya pemakai bahasa hendaknya memilih ragam bahasa
berdasarkan kepada siapa ia bicara, dalam suasana apa, untuk keperluan apa,
bagaimana tempat dan waktunya, apakah ada kehadiran orang ketiga atau
tidak, dan sebagainya.
(3) Giliran Bicara
Penutur sering tidak mengetahui tata cara giliran bicara. Orang jawa
menyebut ‘nyathek’ bagi orang muda yang tidak mengerti menggunakan
giliran bicara secara tepat atau menyela semaunya sendiri. Hal ini juga
berlaku jika seseorang harus menyela pembicaraan orang lain. Orang yang
lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tuturan bicaranya harus
mengalah dan jika akan menyela pembicaraan harus menunggu diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
(4) Saat Harus Diam atau Tidak Bicara
Apabila seseorang tidak mengetahui secara tepat suatu permasalahan, lebih
baik ia diam atau tidak ikut bicara. Di depan orang yang lebih tua atau lebih
tinggi kedudukannya, sikap lebih banyak diam kiranya lebih baik dari pada
kesan ‘nyinyir’, kecuali jika orang tersebut diberi kesempatan untuk
memberikan pendapatnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa keasantunan berbahasa
atau bertutur tersebut bertalian erat dengan norma tutur. Norma tutur yang
dimaksud adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif
pemilihan bentuk tutur Hymes (dalam Suwito 1997: 141). Lebih lanjut Hymes
membedakan norma tutur menjadi dua macam, yaitu (1) norma interaksi (norm of interaction) dan (2) norma interpretasi (norm of interpretation). Norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh
masing-masing penutur ketika interaksi verbal berlangsung. Norma ini
menyangkut hal-hal yang merupakan etika umum dalam bertutur sehingga
sifatnya relatif objektif. Norma interpretasi merupakan norma yang didasarkan
pada interpretasi sekelompok masyarakat tertentu terhadap suatu aturan, yang
dilatarbelakangi oleh nilai sosiokultural yang berlaku di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Hal ini senada dengan pendapat Brown dan Levinson (dalam Aziz
2003: 172) yang menyatakn sebagai berikut.
Before taking a particular action, a speaker must determint seriouseness of face-threatening act. They thus posit three independent and culturally-sensitive variables, with they claims subsume all others that play principal role: (1) the social distance (D) of S and H (a symmetric relation), indicating the degree of familiarity and solidarity shared by the S and H, (2) the relative “power” of S and H (a symmetric relation) indicatingthe degree to which the S can impose will on H, (3) the “absolute ranking (R) of impositions in particular culture” both in term of the expenditure of goods and/or service by the H, the right of the S to perform the act and the degree to which the H welcomes to imposition.
Norma interaksi tampak apabila terjadi interaksi verbal langsung
antarpenutur. Untuk dapat mencapai komunikasi seperti itu, kedua belah pihak
harus selalu menjaga apa-apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa-apa yang