• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

TINDAK TUTUR DIREKTIF

GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR

(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

Skripsi

oleh :

NUNING TRI MARDIASTUTI

X1206039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

TINDAK TUTUR DIREKTIF

GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR

(Dalam Pembelajaran di Kelas XI)

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan

Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

oleh :

NUNING TRI MARDIASTUTI

NIM X 1206039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Purwadi Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.

(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk

memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari :

Tanggal :

Tim penguji skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ...

Sekretaris : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. ...

Anggota I : Drs. Purwadi. ...

Anggota II : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ...

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (Dalam Pembelajaran di Kelas XI). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2011.

(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

MOTTO

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicaralah yang baik-baik,

kalau tidak mampu, maka diamlah saja.”

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur

dan terima kasihku kepada:

1. Kedua orang tuaku, Bapak Wagimin dan Ibu

Sumarsi atas dukungan, kasih sayang, doa

yang tak akan pernah putus;

2. Kakakku Didik, Wiwik, dan Budi yang

selalu memberiku semangat dan keceriaan;

3. Sahabatku (Fyna, Aileen, Wiwit, Niken,

Anna, Rika) semoga persahabatan kita tak

terpisahkan karena jarak;

4. Temanku curhat Pak Parno, Rumi, Murtini,

dan Narsi yang selalu memberiku semangat;

5. Calon Imamku yang selalu memberiku doa

serta semangat; dan

(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat peneliti selesaikan. Skripsi ini

peneliti tulis dan ajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan

dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu,

peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan izin penyusunan skripsi ini;

2. Drs. Suparno, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan

penyusunan skripsi ini;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia dan selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan bimbingan, dukungan dan motivasi selama menyusun skripsi

serta izin untuk menyusun skripsi ini;

4. Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa

memantau kegiatan akademik dan memberikan nasihat, saran, dan bimbingan

kepada peneliti selama kuliah;

5. Drs. H. Purwadi, M. Pd. selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan

bimbingan dan arahan dengan sabar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan dengan lancar;

6. Alim Sukarno, S. Pd. selaku Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1

Karanganyar yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian;

7. Wahyu Lestari, S.Pd. dan Ngadimin, S. Pd. selaku guru kelas XI SMA

Muhammadiyah 1 Karanganyar yang telah banyak membantu dan berperan

(9)

commit to user

ix

8. Berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak

dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan terbaik dari

Tuhan Yang Maha Esa.

Surakarta,

(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATAPENGANTAR ... viii

DAFTARISI ... x

DAFTARGAMBAR ... xii

DAFTARLAMPIRAN ... xiii

BABI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BABII. LANDASANTEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Hakikat Pragmatik ... 8

2. Tindak Tutur... 9

3. Tindak Tutur Direktif ... 13

4. Situasi Tutur ... 16

5. Prinsip-prinsip Berkomunikasi ... 17

B. Penelitian yang Relevan ... 39

C. Kerangka Berpikir ... 41

BABIII. METODEPENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 43

(11)

commit to user

xi

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44

E. Validitas Data ... 45

F. Teknik Analisis Data ... 45

G. Prosedur Penelitian... 47

BABIV. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 50

B. Hasil penelitian... 52

1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 53

2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 60

C. Pembahasan ... 67

1. Penerapan Prinsip Kesantunan ... 67

2. Penerapan Prinsip Kerja sama... ... 69

BABV. SIMPULAN, IMPLIKASI, DANSARAN A. Simpulan ... 71

B. Implikasi ... 72

C. Saran ... 73

DAFTARPUSTAKA

(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Berpikir ... 42

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

LAMPIRAN 1. TRANSKRIP REKAMAN ... 77

LAMPIRAN 2. CATATAN LAPANGAN ... 94

LAMPIRAN 3. INSTRUMEN WAWANCARA ... 104

LAMPIRAN 4. LAPORAN HASIL WAWANCARA ... 111

(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Nuning Tri Mardiastuti. X 1206039. DIRECTIVE SPEECH ACT OF TEACHERS OF SMA MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR (In Learning

Process in XI Class). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, March 2011.

(15)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat,

manusia tidak pernah terlepas dari pemakaian bahasa. Manusia sebagai makhluk

sosial pada dasarnya selalu menginginkan adanya kontak dengan manusia lain,

sedangkan alat yang paling efektif untuk keperluan itu adalah bahasa, dengan

bahasa seseorang dapat menunjukkan peranan dan keberadaannya dalam

lingkungan. Pemakaian bahasa dapat dijumpai dalam berbagai segi kehidupan.

Kenyataan menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam suatu segi kehidupan

yang satu berbeda dengan pemakaian bahasa dalam segi kehidupan yang lain.

Termasuk di dalamnya bahasa yang dipakai dalam suatu pembelajaran di lembaga

pendidikan.

Keberhasilan suatu program pembelajaran ditentukan oleh beberapa

komponen dan semua komponen tersebut harus saling berinteraksi. Salah satu

komponen tersebut adalah bahasa. Sejalan dengan pendpat di atas Nababan (1987:

68) berpendapat bahwa alat terutama dalam interaksi belajar mengajar antara

murid, guru, dan pelajaran adalah bahasa, dalam proses belajar mengajar

terjadilah komunikasi timbal balik atau komunikasi dua arah antara guru dan

siswa atau siswa dengan siswa.

Proses belajar mengajar akan berjalan efektif jika guru dan siswa

menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, dalam hal ini guru dituntut

untuk terampil dalam berkomunikasi agar apa yang disampaikan dapat dimengerti

dan dipahami siswa. Pada umumnya masyarakat Indonesia terlebih dahulu

mengenal bahasa daerah sebelum mengenal bahasa Indonesia sehingga bahasa

daerah berfungsi sebagai bahasa pertama yang digunakan sebagai alat komunikasi

sehari-hari dalam suatu etnik tertentu, sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa

kedua mengalami kontak bahasa dengan bahasa daerah. Salah satu contohnya

adalah tindak tutur guru dalam proses pembelajaran di SMA Muhammadiyah 1

(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Masyarakat pengguna bahasa dalam situasi tertentu dan untuk mencapai

tujuan tertebtu akan selalu berusaha memilih dan menggunakan kaidah-kaidah

tuturan yang sesuai dengan peraturan. Selain itu, masyarakat pengguna bahasa

juga harus memperhatikan tata cara berbahasa yang disesuaikan dengan norma

atau aspek sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat tertentu. Apabila tata

cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya, ia akan

mendapat nilai negatif, misalnya dikatakan orang yang tidak santun, sombong,

angkuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Muslich, 2006: 2).

Pakar bahasa menyadari perlunya perhatian terhadap dimensi

kemasyarakatan bahasa, termasuk di dalamnya aspek sosial dan budaya. Hal ini

dikarenakan dimensi kemasyarakatan tersebut bukan sekedar memberi makna

terhadap bahasa, tetapi juga menyebabkan terjadinya ragam bahasa dan juga

sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topik,

aturan-aturan, dan modus pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa tidak terpisah dari

interaksi sosial, kebudayaan, dan kepribadian. Interaksi sosial merupakan sarana

pokok bagi masyarakat untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sehari-hari dan

menggunakan makna tersebut sebagai sumber pemahaman terhadap berbagai

kegiatan.

Bahasa pada prinsipnya merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat

untuk menunjukkan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur

merupakan masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi atau integrasi

simbolis dengan tetap menghormati kemampuan komunikatif penuturnya, tanpa

mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Misalnya,

masyarakat Jawa menggunakan bahasa tidak hanya sekedar untuk alat

berkomunikasi, tetapi juga sebagai identitas dan parameter kesantunan dalam

berkomunikasi. Norma kesantunan tampak dari perilaku verbal maupun perilaku

nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi direktif misalnya, terlihat pada

bagaimana penutur mengungkapkan perintah, nasihat, permohonann permintaan,

keharusan atau larangan melakukan sesuatu kepada mitra tutur. Adapun perilaku

nonverbal tampak dari gerak gerik fisik yang menyertainya. Norma sosiokultural

(17)

commit to user

Hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi

sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status

penutur dan mitra tutur. Keberhasilan menggunakan strategi-strategi ini

menciptakan suasana santun yang memungkinkan interaksi sosial berlangsung

tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur. Tata cara berbahasa, termasuk

santun berbahasa sangat penting diperhatikan oleh para peserta komunikasi

(penutur dan mitra tutur) untuk kelancaran komunikasinya. Misalnya, dalam

masyarakat Jawa, seorang penutur tidak akan menyatakan maksudnya hanya

dengan mengandalkan pikiran (rasionya), tetapi yang lebih penting adalah

perasaanya (angon rasa). Angon rasa tersebut merupakan komunikasi yang dilakukan dengan menjaga perasaan mitra tutur. Meskipun informasi yang

disampaikan didukung oleh data dan realita, tetapi jika waktu menyampaikannya

tidak tepat, harus ditunda terlebih dahulu. Jika prinsip ini dilanggar, kemungkinan

besar komunikasi dapat gagal mencapai tujuan (Pranowo, 2009: 45). Hal ini tidak

hanya terjadi dalam komunikasi sosial, tetapi juga dalam komunikasi formal

ataupun komunikasi akademik supaya selalu tercipta suasana tutur yang harmonis.

Bahasa dengan segala bentuk pemakaian, konteks, dan situasinya sangat

menarik untuk dijadikan bahan penalitian, termasuk kesantunan berbahasa. Untuk

menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi

perlu dipertimbangkan segi kesantunan berbahasa. Dewasa ini kita sering

mendengar kebanyakan orang menggunakan bahasa yang kurang sopan,

khususnya generasi muda. Bahasa yang digunakannya sering memancing emosi

seseorang sehingga menimbulkan keributan atau perselisihan, termasuk fenomena

berbahasa di kalangan siswa yang menanggalkan nilai-nilai kesantunan berbahasa

sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat yang semakin mengglobal

ini.

Pembelajaran akan mudah dilakukan jika murid-muridnya sejak kecil

sudah terbiasa untuk berbahasa Indonesia atau bahkan menjadi bahasa

pertamanya. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah permasalahan tersendiri jika

murid-muridnya belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat

(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

meraka belum menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Berkaitan

dengan hal ini, Soemiarti (2003: 37) berpendapat bahwa guru hendaknya peka

terhadap kondisi anak yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia berbeda

yang disebabkan karena datang dari daerah sehingga terhambat sosialisasinya.

Kesantunan berbahasa dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari

konflik antara penutur dengan mitra tutur. Kesantunan berbahasa merupakan hasil

pelaksanaan kaidah yaitu kaidah sosial, dan hasil pemilihan strategi komunikasi.

Kesantunan berbahasa penting di mana pun individu berada. Setiap anggota

masyarakat percaya bahwa kesantunan berbahasa yang diterapkan mencerminkan

budaya suatu masyarakat. Setiap masyarakat selalu ada hierarki sosial yang

dikenakan pada kelompok anggota masyarakat, karena mereka telah menetukan

penilaian tertentu, misalnya, antara guru dan siswa, orang tua dan anak muda,

pemimpin dan yang dipimpin, majikan dan buruh, serta status lainnya. Selain itu

faktor konteks juga menyebabkan kesantunan berbahasa karena pada dasarnya

prinsip kesantunan berbahasa tersebut merupakan kaidah berkomunikasi untuk

menjaga keseimbangan sosial, psikologis, dan keramahan hubungan antara

penutur dan mitra tutur.

Berdasarkan pernyataan di atas kebutuhan akan hadirnya sosiopragmatik

makin terasa. Apalagi, kita sering menghadapi berbagai masalah kebahasaan yang

ternyata tidak cukup diselesaikan hanya dengan pendekatan linguistik, tetapi

memerlukan pula pertimbangan-pertimbangan nonlinguistik, seperti disiplin ilmu

sosiologi dan pragmatik. Masalah demikian timbul karena studi bahasa itu sendiri

cenderung bersifat multidisipliner. Selain itu, juga karena adanya

kenyatan-kenyataan Bahwa (1) bahasa itu selalu berubah sejalan dengan perubahan

masyarakat pemakainya, (2) perubahan bahasa itu terjadi sebagaia akibata adanya

perubahan nilai masyarakat terhadap bahasa yang dipakainya, dan (3) perubahan

nilai tersebut bersumber pada perubahan-perubahan sosial budaya yang dimiliki

oleh masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang

sebagai anggota kelompok sosial. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaiannya tidak

diamati secara individual, melainkan selalu dihubungkan dengan kegiatan di

(19)

commit to user

sebagai gejala individual, tetapi juga merupakan gejala sosial, termasuk fenomena

kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan sekolah.

Penelitian kesantunan berbahasa Indonesia ini akan dibatasi bentuk

tuturan direktif dalam pembelajaran di kelas. Tindak tutur direktif tersebut

merupakan salah satu tindak tutur yang sangat penting dan banyak digunakan oleh

sekelompok penutur untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti halnya di

lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar-mengajar. Tindak tutur direktif

sangat mendominasi dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang menarik

adalah untuk mengungkapkan maksud yang sama, misalnya ‘perintah penutur

kepada mitra tutur’, ternyata dapat dibanggun atau direalisasikan dengan

menggunakan bentuk-bentuk afirmatif, imperatif, bahkan bentuk interogatif.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sangatlah beralasan jika, Leech

(1983: 121) menyatakan bahwa prinsip sopan santun berbahasa tidak boleh

dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekedar ditambahkan saja pada prinsip

kerja sama, tetapi prinsip sopan santun ini merupakan prinsip berkomunikasi

penting yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang

serius. Oleh karena itu diasumsikan bahwa prinsip kerja sama kedudukannya

sangat penting, tetapi pertimbangan prinsip kesantunan tampaknya tidak dapat

dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam interaksi belajar-mengajar antara guru

dan siswa ataupun antarsiswa di lingkungan sekolah.

Agar penelitian ini lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan

yang akan dikaji, adapun pembatasan tersebut, yaitu (1) penarapan prinsip

kesantunan dalam berbahasa; dan (2) penerapan prinsip kerja sama dalam

berbahasa.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang

digunakan guru SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar?

2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang

(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini bertujuan untuk

mendiskripsikan:

1. Penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru

SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.

2. Penerapan prinsip kerja sama dalam tindak tutur direktif yang digunakan guru

SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoretis

a. Memperluas pengetahuan dan wawasan mengenai tindak tutur, khususnya

penerapan prinsip kesantunan yang digunakan guru dalam pembelajaran di

SMA.

b. Menambah wawasan mengenai tindak tutur para siswa.

c. Menambah kekayaan penelitian di bidang pragmatik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

1) Guru dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dalam

pembelajaran sehingga apa yang disampaikan dapat diterima dengan

baik.

2) Guru dapat membiasakan siswa untuk belajar menggunakan tindak

tutur dengan santun.

b. Bagi Orang Tua Murid

1) Dengan mengetahui tuturan anak, orang tua dapat membiasakan

menggunakan tuturan yang baik.

2) Dengan mengetahui arti penting bertutur, maka orang tua dapat

melakukan upaya tertentu agar merangsang anak untuk berbicara

(21)

commit to user

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memperdalam pengetahuan tentang fenomena

(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1. Pragmatik

Levinson (1983: 27) mendefinisikan pragmatik adalah penelitian atau

kajian di bidang dieksis atau implikatur, praanggapan, pertuturan atau tindak

bahasa, dan struktur wacana. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah

bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi

tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis

(Wijana, 1996: 2-3). Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik sebagai

bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran.

Kridalaksana (1984: 159) menjelaskan pengertian pragmatik

(pragmatics), yaitu (1) cabang semiotik yang mempelajari asal-usul, pemakaian

dan akibat lambang dan tanda; (2) ilmu yang menyelidiki peraturan, konteksnya,

dan maknanya. Nababan (1987: 1) memakai istilah pragmatik secara lebih luas

yang mengacu pada ”aturan-aturan pemakaian bahasa, yaitu pemilihan bentuk

bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai

dengan konteks dan keadaan”.

Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik

dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah

bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang,

asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai

contoh: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara.

Kerugian yang besar adalah bahwa semua konsep manusia ini sulit dianalisis

(23)

commit to user

2. Hakikat Tindak Tutur

a. Bentuk Tindak Tutur

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the acts of saying something. Konsep ini berkaitan dengan proposisi kalimat, yaitu di dalamnya terdapat subjek atau topik

dan predikat atau comment. Tindak tutur ini berwujud tindak bertutur dengan fonem, kata, frasa, dan kalimat bahkan sampai dengan wacana sesuai dengan

makna yang dikandung dalam konstruksi fonem, kata, frasa, kalimat, dan wacana

itu. Dalam tindak tutur ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang

dikemukakan oleh penutur. Semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu

mitra tutur bahwa pada saat penutur bertutur Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada berarti ‘penutur mengetahui ada iklan melintang di jalan Gajah Mada. Oleh sebab itu tuturan ini di dalam studi pragmatik dianggap kurang menarik sebab

tidak terdapatnya maksud interpersonal.

Tindak tutur ilokusi dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dan

melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini dinamakan sebagai the acts of doing something. Untuk menafsirkan tindak tutur ilokusi ini diperlukan pemahaman terhadap situasi tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu terdapatnya iklan yang melintang di jalan Gajah Mada, namun lebih dari itu bahwa maksud

yang hendak dituju adalah penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan

menurunkan iklan yang melintang di jalan Gajah Mada.

Tuturan perlokusi mempunyai pengaruh (perlocitionary force) terhadap

mitra tutur. Untuk itu, tindak ini dinamakan dengan the act of effecting some one. Tindak tutur ini dituturkan oleh penutur untuk menumbuhkan pengaruh (effect)

kepada mitra tutur. Jadi, tuturan Ada iklan melintang di jalan Gajah Mada, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra

(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

b. Jenis Tindak Tutur

Klasifikasi tindak tutur yang dibicarakan di sini adalah klasifikasi

berdasarkan daya ilokusi pada khususnya, karena klasifikasi ini sebagai patokan

dalam mengklasifikasikan berbagai tuturan yang berimplikatur dalam bahasa

Indonesia. Oleh karena itu, peneliti tidak membicarakan klasifikasi tindak tutur

yang lain, seperti tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak

tutur literal dan tindak tutur tidak literal (Wijana, 1996: 32). Maka peneliti

simpulkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur harfiah atau sesuai dengan

kenmyataan, dan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur tidak sesuai dengan

kenyataan.

Secara garis besar kategori-kategori dalam Leech (1993: 164-165)

dikelompokkan menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan

deklarasi.

a. Asertif (assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran preposisi yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual,

mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun

ilokusi cenderung netral, yakni, mereka termasuk kategori bekerja sama

(collaborative). Tetapi ada beberapa perkecualian: misalnya membual biasanya dianggap tidak sopan, dari segi semantik ilokusi asertif bersifat

proporsional.

b. Direktif (directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, ilokusi misalnya, memesan, memerintah,

memohon, menutut, memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dapat

dimasukkan ke dalam kategori kompetitif (competitive) karena mencakup juga kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun negatif. Namun di

pihak lain terdapat juga beberapa ilokusi direktif, seperti mengundang yang

secara intrinsik sopan. Agar istilah direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi

langsung dan tidak langsung, digunakan istilah imposif (impositive) khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif.

(25)

commit to user

Jenis ilokusi ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat

kompetitif, karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada

kepentingan petutur.

d. ekspresif (Ekspressives): fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam

ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat,

memberi maaf, mengencam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan

sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi komisif, ilokusi ekspresif

cenderung menyenangkan, karena itu secara intrinsik ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti ‘mengencam’, dan

‘menuduh’.

e. Deklarasi (Deklarations): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas,

misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama,

menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat, (pegawai),

dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa tindakan-tindakan ini merupakan

kategori tindak ujar yang sangat khusus, karena tindakan-tindakan ini

biasanya dilakukan oleh seseorang yang dalam sebuah kerangka acuan

kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. (Contoh klasik ialah

hakim yang menjatuhkan hukuman pada pelanggar undang-undang, pendeta

yang membaptis bayi, pejabat yang memberi nama pada sebuah kapal baru,

dan sebagainya). Sebagai suatu tindakan kelembagaan (dan bukan sebagai

tindakan pribadi) tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor

sopan santun.

Lima macam tindak tutur tersebut juga dikemukakan oleh Mey (1994:

163) dan levinson (1983: 240). Keduanya juga mengutip pendapat Searle (1974:

34). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat mengetahui bahwa

pendapat mereka semua sama, yaitu tuturan dapat dibedakan ke dalam lima

(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

menyatakan, menjelaskan, mengadukan, menyarankan, mengeluh, dan membual.

Direktif adalah tuturan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh adalah permohonan,

suruhan, permintaan, perintah, nasihat, anjuran, dan ajakan. Komisif menuntut

penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya

menawarkan, berjanji. Ekspresif adalah tuturan yang berfungsi mengungkapkan

sikap penutur tentang sesuatu baik yang bersifat positif maupun negatif, yang

bersifat positif misalnya, pujian, pernyataan maaf; dan yang bersifat negatif

misalnya, tuduhan, menyelahkan orang lain. Deklarasi biasanya diungkapkan oleh

orang yang berwenang dalam lembaga sosial, agama, hukum, dan tidak berkaitan

dengan hubungan personal dengan orang lain. Misalnya tuturan yang digunakan

oleh majelis hakim dalam pemberian keputusan kepada terdakwa, atau pejabat

yang meresmikan hasil pembangunan.

Berdasarkan kelima macam tuturan tersebut peneliti akan

mengklasifikasikan tindak tutur ke dalam empat macam, yaitu asertif, direktif,

ekspresif, dan komisif. Deklarasi tidak peneliti bahas karena topik yang peneliti

bahas adalah tentang implikatur tindak tutur. Dengan demikian, tidak mungkin

deklarasi diungkapkan secara tidak jelas dalam suatu tuturan.

c. Strategi Bertutur

Prinsip pemilihan strategi betutur pada garis besarnya menyatakan bahwa

bertutur (berbicara) itu tidak “asbun” asal bunyi saja. Bertutur memerlukan pilihan

strategi, terutama dalam rangka menjaga muka mitra tutur dan atau peserta

interaksi yang lain. Untuk ini, Gunarwan (2005: 4-5) mengingatkan pentingnya

berhati-hati dalam bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (a)

bagaimana membedakan status atau kekuasaan diantara penutur dan mitra tutur,

(b) bagaimana jarak sosial diantara penutur dan mitra tutur, (c) bagaimana bobot

relatif pengungkapannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Strategi betutur langsung dilakukan dengan menggunakan tipe-tipe

kalimat sesuai dengan fungsi tipe kalimat itu. Misalnya, kalimat berita digunakan

(27)

commit to user

menanyakan sesuatu dan seterusnya kalimat perintah digunakan untuk

menyatakan perintah, ajakan, pemintaan atau permohonan.

(1) Anak didik sedang belajar di kelas.

(2) Apakah anak didik sedang belajar di kelas?

(3) Anak didik supaya belajar di kelas!

Berdasarkan strategi bertuturnya, tuturan (1), (2), dan (3) dapat

dinyatakan sebagai tuturan langsung apabila tuturan (1) mengandung ,maksud

memberitahukan ada anak didik sedang belajar di kelas,’ tuturan (2) mengandung maksud ‘menanyakan apakah anak didik sedanng belajar di dalam kelas,’ dan (3) mengandung maksud ‘memerintahkan agar anak didik belajar di kelas.’

Sebaliknya, tuturan tidak langsung digunakan dengan cara mengubah

fungsi jenis kalimat, misalnya, untuk menyatakan perintah dapat digunakan

kalimat berita atau untuk menyatakan perintah dapat digunakan kalimat tanya, dll.

Contoh;

(4) Papan tulisnya kelihatan kotor.

(5) Mengapa papan tulisnya kelihatan kotor?

Tuturan (4) dan (5) dapat dinyatakan sebagai tuturan tidak langsung

apabila tuturan (4) mengandung maksud ‘menyuruh mitra tutur untuk menghapus

papan tulis yang memang kotor’ dan tuturan (5) bermaksud ‘penutur menghendaki

papan tulisnya dihapus atau dibersihkan’.

3. Tindak Tutur Direktif

a. Konsep Tindak Tutur Direktif

Austin (1962: 151), Searle (1974: 23), dan Leech (1983: 106)

menempatkan tindak tutur direktif sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi.

Tindak ilokusi merupakan salah satu dari pembagian tentang tindak tutur, dua

yang lainnya adalah tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindak ilokusi

(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

makna yang dikatakan. Lebih lanjut lagi tindak perlokusi berhubunga dengan

pengaruh yang dihasilkan dari apa yang dikatakan.

Searle (1990: 358-364) menyatakan bahwa tindak tutur direktif adalah

bentuk tindak tutur yang merupakan usaha penutur agar mitra tutur melakukan

sesuatu tindakan. Tindak tutur ini digambarkan ke dalam bentuk tindak tutur

memerintah (command), menyuruh (request), meminta (beg), memohon (plead), mengundang (invite), dan menasehati (advise).

Tindak tutur pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan efek berupa

tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif cenderung

dikategorikan sebagai tindak tutur yang mengandung unsur kompetitif dan bersifat

prospektif. Realisasi kompetitif tindak tutur ini adalah adanya permintaan penutur

kepada mitra tutur untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya. Larangan

penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan tertentu. Sifat

prospektif tindak tutur ini adalah bahwa permintaan penutur kepada mitra tutur

untuk melakukan sesuatu tindakan setelah penutur menuturkan sesuatu untuk

mengandung permintaan. Tindak tutur ini tidak bisa mengandung permintaan

untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum dituturkannya sesuatu yang

mengandung permintaan.

Ilustrasi bentuk dan sifat tindak tutur ini memunculkan problematika baru

yakni seberapa lama jarak waktu yang dibutuhkan oleh mitra tutur untuk

melakukan sesuatu sebagaimana yang diperintahkan penutur. Tuturan (6) berikut

mengandung permintaan agar mitra tutur menurunkan iklan yang melintang di

jalan Gajah Mada secepatnya. Maksud secepatnya ini dapat berarti ‘sekarang

juga’ atau ‘sekarang tetapi beberapa menit kemudian’ atau ‘ segera setelah tuturan

ini’ atau ‘sekarang siang nanti’ atau ‘sekarang pada waktu yang sama dengan

penerbitan periode ini, dll.

(6) Ada iklan melintang di Jalan Gajah Mada.

Berdasarkan konsep teoretis di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur

direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan

oleh mitra tutur. Tindak tutur ditektif mengekspresikan dua hal pokok, yaitu, (a)

(29)

commit to user

dan (b) mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan

dijadikan alasan bagi mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan

dalam tuturan itu.

Deskripsi realisasi perwujudan tindak tutur direktif sebagaimana di atas

menunjukkan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya penutur mununtut mitra

tutur melakukan sesuatu, bertindak dan berkata, tetapi penutur menuntut mitra

tutur melakukannya sesuai dengan rencana penutur. Rencana tindak tutur yang

dimaksud menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan, dan apa yang

dilakukan di sini berkaitan dengan tuturan sosial-budaya di antara penutur-mitra

tutur.

b. Bentuk dan Fungsi Tindak Tutur Direktif

Searle (1980: 23) dan Leech (1983: 104-107) mengklasifikasikan ragam

tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu: (1) tindak memerintah, (2)

tindak memohon, (3) tindak memberi saran, dan (4) tindak memberi izin.

Pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian

saran, dan pemberian izin.

Bentuk tindak tutur direktif menurut Searle dan Leech itu berdasarkan

konteksnya dapat memiliki fungsi kompetitif (competitive), bertentangan (conflictive), menyenangkan (convival), atau bekerjasama (collaborative). Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial, fungsi konfliktif bertentangan dengan

tujuan sosial. Fungsi menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial-fungsi

kerjasama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku

interaksi dalam konteks sosiobudaya tertentu.

Ragam dan fungsi tindak tutur direktif itu akan bermakna jika

ditempatkan pada kewenangan dan keharusan bertindak antara penutur dan mitra

tutur. Kaitannya dengan tindak tutur direktif dalam peristiwa pembelajaran di

kelas maka tindak tutur direktif mengemban tugas untuk menyediakan modus

penyampaian sehubungan dengan untung-rugi, langsung-tidak langsung, dan

alternatif tindakan yang dapat dimanfaatkan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu,

(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

komponen tutur merupakan kesatuan integratif. Realisasi perwujudan tindak tutur

direktif berhubungan dengan fungsi dan komponen tutur.

Tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan

prospek mitra tutur dan kehendak penutur terhadap tindakan mitra tutur. Tindak

ini merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat

mitra tutur melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku

maupun sebagai pengontrol mitra tutur dalam bertindak. Hubungan antara prospek

dan kehendak penutur dengan pengatur dan pengontrol mitra tutur inilah yang

kemudian menjadi dasar sebuah tindak tutur direktif itu dapat mengemban fungsi

menyenangkan, kerja sama atau kompetitif, bertentangan.

Kekuatan tindak tutur direktif kaitannya dengan fungsinya dapat

dikarakteristikkan menurut (a) situasi mental penutur-mitra tutur yang

dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan informasi serta penjelas yang

dipahami penutur dan mitra tutur, dan (b) situasi interaksi yang dihasilkan oleh

tindakan dari tuturan direktif tersebut. Realisasi tindak tutur direktif guru dalam

peristiwa pembelajaran didasarkan pada asumsi bahwa (a) setiap penutur memiliki

sesuatu dalam pikirannya sehingga mitra tutur harus membuat inferensi maksud

tindakan yang diharapkan penutur, dan (b) setiap tindak tutur direktif membawa

dampak tertentu. Dampak reaksi tindak tutur ini menurut Ibrahim (1996: 51)

dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) simetris, berarti menunjukkan adanya sifat kerja

sama antara penutur-mitra tutur, (b) asimetris, berarti menunjukkan adanya

kewenangan penutur atas mitra tutur. Sementara itu, Brown dan Levinson (1978:

60) mengidentifikasikan dampak kekuatan tindak tutur direktif berkisar pada dua

aspek, yaitu: nosi muka positif atau nosi muka negatif.

4. Situasi Tutur

Konteks situasi tutur yang dimaksudkan dalam kajian pragmatik adalah

segala sesuatu yang mengiringi direalisasikannya suatu pertuturan. Segala sesuatu

itu bisa berupa latar belakang pengetahuan yang muncul dipahami secara bersama

(31)

commit to user

non-kebahasaan lainnya yang mengiringi, menyertai, dan melatarbelakangi

digunakannya suatu pertuturan tertentu.

Konteks situasi tutur dalam kajian pragmatik memegang peran penting.

Konteks situasi tutur inilah yang menjadi pengendali maksud sebuah pertuturan.

Konteks situasi tutur ini pulalah yang menjadi pilar lahirnya bidang kajian

pragmatik. Hal ini seperti dikemukakan oleh Firth (dalam Rohmadi, 2004: 1)

bahwa kajian bahasa tidak akan dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan

konteks situasi. Konteks situasi tutur menurut Leech (1983: 19-20) meliputi:

penutur dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan

sebagai bentuk tindakan dan kegiatan, tuturan sebagai produk tindak verbal.

Sementara itu, ahli lain Purwo (1990: 16) lebih banyak menggunakan

sebutan pembicara dan lawan bicara. Sebutan penutur dan lawan tutur lazim

digunakan oleh Wijana (1996: 10), Rahardi (2003: 18). Gunarwan (2004: 1)

menggunakan sebutan penyampai pesan dan lawan peserta pada kesempatan

lainnya menggunakan si penutur dan si petutur dan pada kesempatan yang lainnya

menggunakan O1, O2, dan O3.

Lahirnya bentuk-bentuk tuturan yang digunakan oleh seseorang guru

sangat berkaitan dengan tujuan tutur yang hendak dicapainya. Semakin konkret

tuturan yang digunakan oleh seorang guru akan semakin jelas pulalah tujuan

tuturnya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma bahwa satu bentuk tuturan

dimungkinkan memiliki tujuan dan bermacam-macam. Sebaliknya satu tujuan

tutur dapat diwujudkan dengan bentuk-bentuk tuturan yang berbeda.

5. Prinsip-Prinsip Berkomunikasi

a. Prinsip karjasama

Suatu percakapan, penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan

lancar karena mereka memiliki latar belakang pengetahuan yang sama terhadap

suatu yang dipertuturkan. Di antara mereka terdapat semacam “kesepakatan

bersama” diantaranya berupa kontrak tidak tetulis bahwa ikhwal yang dibicarakan

itu saling berhubungan dan berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak

(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

tidak terungkap secara harfiah pada kalimat itu sendiri. Ini yang disebut

implikatur percakapan. Oleh karena itu, apabila terjadi suatu komunikasi yang

tidak lancar dimungkinkan kedua orang yang sedang terlibat percakapan tersebut

tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama untuk mengetahui

implikatur percakapan. Mari kita perhatikan percakapan berikut;

(7) Nonton film yo dik.

(8) Besok ada ulangan.

Tuturan (8) bukan sekedar merupakan informasi kepada mitra tutur

bahwa ‘Besok ada ulangan’, namun lebih dari itu bahwa penutur menolak ajakan

mitra tuturnya dengan cara mengemukakan alasannya saja, tanpa menolak secara

langsung bahwa dia tidak dapat mengikuti ajakan mitra tuturnya. Namun

demikian, di dalam percakapan sering terjadi adanya

penyimpangan-penyimpangan yang tentu saja ada implikasi-implikasi tertentu yang ingin dicapai

oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan

tadak melaksanakan kerjasama atau tidak kooperatif (Wijana, 1996: 46)

Implikatur diturunkan dari asas umum percakapan (asas kerja sama),

yaitu ‘kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara’ ditambah sejumlah petuah yang

biasanya dipatuhi para penutur. Grice menunjukkan bahwa asas-asas kerjasama

itu sudah tuntas, namun ‘asas sopan santun’ juga perlu diperhatikan (dalam Brown

dan Yule, 1996: 32).

Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja

sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan

(conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim

kualitas (maxim of quality), maksim relevansi/hubungan (maxim of

relevance/relation), dan maksim pelaksanaan/cara (maxim of manner) (Grice,

1975: 45-47; Yule, 1996: 35-37; Mey, 1994: 65; Leech, 1993: 128,144,154;

Wijana, 1996: 45-53).

Keempat maksim yang mendukung pelaksanaannya prinsip kerjasama

dalam berkomunikasi tersebut dapat disimak berikut.

1) Maksim kuantitas

(33)

commit to user

‘Berilah keterangan sejelas/seinformatif mungkin;’

(10) Do not make your contribution more informative than required;

‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’

(Mey, 1994: 65)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan

keterangan/kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh

mitra tuturnya. Misalnya penutur yang bebicara secara wajar tentu akan

memilih (11) dibandingkan dengan (12) berikut ini;

(11) There is a male adult human being in unpright stance using his legs as a

mens of locomotion to propel himself up a series of flat-topped

structures of some six o seven inches high.

(12) There is a man going upstair.

2) Maksim kualitas

(13) Do not say what you believe to be false;

‘Jangan mengatakan sesuatu yang menurut anda sendiri salah’;

(14) Do not say that for which you lack adequate evidence.

‘Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya’.

(Mey, 1994: 65)

Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan

hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan

pada bukti-bukti yang memadai. Apabila penutur mengatakan hal yang

bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, tentu ada alasan-alasan

mengapa hal itu bisa terjadi. Perhatikan wacana berikut ini;

(15) + Ini sate ayam atau kambing?

- Ayam berkepala kambing.

Jawaban (-) jelas melanggar maksim kualitas, karena tidak umum (tidak

mungkin ada ayam yang berkepala kambing). Namun, karena ada tujuan atau

efek tertentu (efek lucu) yang akan diraih, tuturan seperti itu menjadi sah dan

diterima oleh mitra tutur sebagai lelucon.

3) Maksim relevansi/hubungan

(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

‘Bicaralah yang relevan.’

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan

kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Untuk lebih jelasnya

perhatikan wacana berikut;

(17) What time is it?

‘Jam berapa sekarang?’

(18) Well, the postman’s been already.

‘Tukang pos sudah datang’

(Brown dan Levinson, 1978: 63)

Jawaban (18) di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati,

hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Dengan memperhatikan

kebiasaan tukang pos mengantarkan surat kepada mereka, penutur (17) dapat

membuat kesimpulan jam berapa ketika itu.

4) Maksim pelaksanaan/cara

Be perspicacious and specifically

(19) Avoid obscurity ’Hindari ketidakjelasan’

(20) Avoid ambiguity ‘Hindari ketaksaan’

(21) Be brief ‘Bicaralah dengan singkat’

(22) Be orderly ‘Bicaralah dengan teratur’

Maksim cara mengharuskan setia peserta percakapan berbicara secara

langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

Berkaitan dengan prinsip ini (Parker, 1986: 23 dalam Wijana, 1996: 51)

memberi contoh sebagai berikut;

(23) + Let’s stop and get something to eat.

‘Mari kita berhenti dan makan sesuatu.’

- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.

‘Baiklah, tetapi bukan M-C-D-O-N-A-L-D-S.

Dalam (23) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara tidak langsung, yakni

dengan mengeja satu per satu kata Mc. Donalds. penyimpangan ini dilakukan

karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu

(35)

commit to user

akan sulit atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu

per satu.

Leech (1993: 80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan

untuk memudahkan penjelasan hubungan antara makna dan daya. Penjelasan

demikian sangat memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di

dalam semantik yang menggunakan pendekatan berdasarkan kebenaran ( truth-based approach). Akan tetapi, prinsip kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung di

dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga tidak dapat menjelaskan

hubungan antara makna dan daya kalimat non-deklaratif. Untuk mengatasi

kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerjasama, yang

dikenal sebagai prinsip kesantunan.

b. Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia merupakan

sebuah kaidah berkomunikasi untuk menjaga keseimbangan sosial, psikologis,

dan keramahan hubungan antara penutur dan mitra tutur (Harun Joko Prayitno,

2009: 7). Muslich (2006: 1-2) menjelaskan bahwa kesantunan dapat dilihat dari

berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan

sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, dalam diri seseorang tergambar nilai sopan

santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang

itu mengambil bagiab sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun,

masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara

seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu

lama).

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja

dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak

santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal.

(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

sedang makan dengan orang banyak disebuah perjamuan, namun hal itu tidak

begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara orang yang masih muda dan orang yang

lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan

guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Berdasarkan butir terakhir, kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Namun,

dalam kajian teori ini hanya akan dijelaskan kesantunan berbahasa yang menjadi

topik penelitian.

Kesantunan bahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda

verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada

norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata

cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam

masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam

berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan

norma-norma budaya, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang

yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya

(Muslich, 2006: 3). Hal tersebut senada dengan pendapat Leech (1983: 139),

yaitu sebagai berikut.

“Politeness is manifested not only in the content of conversation, but also in the way conversation is managed and structured by its participans. For example, conversational behaviour such as speaking at the wrong time (interrupting) or being silent of the wrong time has impolite implications.”

Sebagaimana disinggung di depan bahwa kesantunan berbahasa

menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Menurut Leech

(1983: 206-207) kesantunan berbahasa pada hakikatnya harus memperhatikan

empat prinsip sebagai berikut.

Pertama, penerapan prinsip kesopanan atau kesantunan (politeness

(37)

commit to user

mendiskripsikan sejumlah maksim sopan santun yang memiliki kesamaan dengan

prinsip kerja sama (cooperative principle) yang ditemukan oleh Grice. Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech tersebut, antara lain (1) Maksim-maksim kearifan

(tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekspresi kepercayaan yang memberikan keuntungan untuk orang

lain’, (2) maksim kemurahan hati atau kedermawanan (the generosity maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekspresi yang menguntungkan

diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang

lain, (3) maksim pujian atau penerimaan (the approbation maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan

memaksimalkan ekspresi persetujuan terhadap orang lain, (4) maksim kerendahan

hati atau kesederhanaan (the modesty maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri, (5) maksim kesepakatan atau persetujuan (the agreement maxim), yang menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dengan

orang lain, dan (6) maksim simpati (sympathy maxim), yang menuntut diri kita untuk mengurangi rasa antipasti antara diri dengan orang lain dan tingkatkan rasa

simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.

Kedua, penghindaran kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang

lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada suatu benda yang

menjijikkan, dan kata-kata “kotor” atau “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak

lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan tertentu.

ketiga, penggunaan atau pemakaian eufimisme, yaitu ungkapan penghalus sebagai salah satu cara untuk menghindari kata-kata tabu. Penggunaan eufimisme ini perlu

diterapkan untuk menghindari kesan negatif dalam bertutur.

Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak

hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi

(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa

krama Inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan tingkat usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang

yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal

tingkatan, sebutan kata diri, seperti Engkau, Anda, Saudara, Bapak/Bu

mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita gunakan untuk menyapa

orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.

(24) “Engkau mau ke mana?” (25)“Saudara mau ke mana?” (26)“Anda mau ke mana?” (27)“Bapak mau ke mana?”

Dalam konteks tersebut, kalimat (24) dan (25) tidak atau kurang sopan

diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (27) yang sepatutnya

diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan, kalimat (26) lazim

diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya,

walaupun lebih pantas menggunakan kalimat (27).

Percakapan yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat

mengakibatkan kekurangsantunan bagi penutur (Suharsih, 2009). Percakapan

yang tidak menggunakan kata sapaan pun dapat mengakibatkan kekurangsantunan

bagi penutur.

(28) “Saya sudah mengumpulkan kok.” (29) “Buku yang mana?”

Tuturan di atas dituturkan oleh siswa kepada gurunya. Jelas tuturan

tersebut tidak menunjukkan kesantunan berbahasa. Hal ini dikarenakan tuturan

tersebut tidak menggunakan bentuk sapaan, seperti Pak dan Bu. Seharusnya kalimat di atas diubah sebagai berikut agar terdengar santun.

(30a) ”Saya sudah mengumpulkan kok, Pak.”

(30b) “Buku yang mana Bu?”

Tujuan utama kesantunan berbahasa, termasuk bahasa Indonesia adalah

(39)

commit to user

dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang

sebenarnya karena segan kepada orang yang lebih tua juga merupakan

ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di sebagian masyarakat

Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan

perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak

bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak

tahu apa yang dimaksudkan.

Brown dan Levinson (dalam Gunarwan, 1994: 90) menjelaskan bahwa

prinsip kesantunan berbahasa berkisar atas nosi (face) yang dibagi menjadi dua jenis ‘muka’, yaitu muka negatif (negative face) dan muka positif (positive face). Muka nagatif itu mengacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia

dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau

membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sebaliknya, muka

positif mangacu ke citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang

dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia

yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang

patut dihargai, dan sebagainya. Selain itu ada dua jenis kesantunan yang menjadi

perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan.

Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan (Suharsih, 2009).

Kesantunan bahasa, Cruse (dalam Gunarwan 2007: 164) menyarankan

bahwa kita harus menghindari beberapa hal atau bentuk berikut.

(a) memperlakukan petutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur, yakni

dengan menghendaki agar penutur melakukan sesuatu yang menyebabkan ia

mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dan sebagainya);

(b) mengatakan hal-hal yang jelek mengenai diri penutur atau orang atau orang

atau barang yang ada kaitannya dengan penutur;

(c) mengungkapkan rasa senang atas kemalangan penutur;

(d) menyatakan ketidaksetujuan dengan petutur sehingga petutur merasa

(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

(e) memuji diri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri penutur.

Berdasarkan penjelasan di atas, penutur harus menghindari kelima hal

tersebut apabila ingin dikatakan santun dalam berbahasa. Namun, apabila kelima

hal tersebut tidak dihindari atau justru digunakan, maka si penutur akan dikatakan

tidak santun dalam berbahasa. Berdasarkan kelima hal di atas mengindikasikan

bentuk ketidaksantunan berbahasa.

Pranowo (2009: 37-39) mengemukakan tujuh prinsip yang dapat

mengukur santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketujuh prinsip tersebut adalah

sebagai berikut.

(a) kemampuan mengendalikan emosi agar tidak “lepas kontrol” dalam

berbicara. Keadaan emosi tersebut sangat menentukan kesantunan seseorang

dalam melakukan tindak tutur, yaitu sangat menetukan gaya berbicara, tingkat

tutur, dan penggunaan kata-katanya.

(b) kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Hal

tersebut dapat diperlihatkan melalui kemauan seseorang mendengarkan

dengan sungguh-sungguh tentang apa yang disampaikan oleh orang lain.

(c) gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa

dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah

dipahami oleh mitra tutur, misalnya: (1) tuturannya lengkap, (2) tuturannya

logis, (3) sungguh-sungguh verbal, dan (4) menggunakan ragam bahasa

sesuai dengan konteksnya.

(d) kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan

situasi. Tuturan dengan topik yang menyenangkan mitra tutur adalah tuturan

yang sopan. Hindarilah topik yang tidak menjadi minat mitra tutur.

(e) kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun tidak harus seperti

bahasa proposal. Untuk menjaga kesantunan, tujuan hendaknya diungkapkan

dengan jelas dan tidak berbelit-belit. Apalagi bila tujuan tuturan itu berkenaan

dengan kebutuhan pribadi penutur.

(f) penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang baik dan diucapkan dengan

enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula.

(41)

commit to user

terlalu lembut, jangan berbicara terlalu cepat, tetapi juga jangan terlalu

lambat.

(g) perhatikan norma tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur) dan urutan tuturan.

Jika ingin menyela, katakana maaf. Hindari keseringan menyela pembicaraan orang. Mengenai gerakan tubuh (gestur) pada saat berbicara, tunjukkan wajah

berseri dan penuh perhatian terhadap mitra tutur. Tunjukkan sikap badan dan

tangan yang sopan saat berbicara.

Nababan (1987: 67) menunjukkan empat cara mengatur tata cara bertutur

yang juga merupakan prinsip atau dasar bertindak tutur, yaitu faktor waktu dan

keadaan, ragam bahasa, giliran bicara, dan saat harus diam atau tidak bicara.

Berikut ini penjelasan keempat faktor tersebut secara singkat.

(1) Faktor Waktu dan Keadaan

Faktor waktu dan keadaan menentukan apa yang seharusnya dikatakan oleh

seseorang. Misalnya, pada waktu siang hari seseorang dapat bertutur lebih

keras dari pada malam hari. Contoh lain, yaitu pada keadaan kesusahan atau

kesedihan, tidak pantas sekiranya kita membuat humor atau banyolan.

(2) Ragam Bahasa

Pemilihan ragam bahasa hendaknya tepat dan wajar dalam situasi linguistik

tertentu, artinya pemakai bahasa hendaknya memilih ragam bahasa

berdasarkan kepada siapa ia bicara, dalam suasana apa, untuk keperluan apa,

bagaimana tempat dan waktunya, apakah ada kehadiran orang ketiga atau

tidak, dan sebagainya.

(3) Giliran Bicara

Penutur sering tidak mengetahui tata cara giliran bicara. Orang jawa

menyebut ‘nyathek’ bagi orang muda yang tidak mengerti menggunakan

giliran bicara secara tepat atau menyela semaunya sendiri. Hal ini juga

berlaku jika seseorang harus menyela pembicaraan orang lain. Orang yang

lebih muda atau lebih rendah kedudukannya, tuturan bicaranya harus

mengalah dan jika akan menyela pembicaraan harus menunggu diberi

(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

(4) Saat Harus Diam atau Tidak Bicara

Apabila seseorang tidak mengetahui secara tepat suatu permasalahan, lebih

baik ia diam atau tidak ikut bicara. Di depan orang yang lebih tua atau lebih

tinggi kedudukannya, sikap lebih banyak diam kiranya lebih baik dari pada

kesan ‘nyinyir’, kecuali jika orang tersebut diberi kesempatan untuk

memberikan pendapatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa keasantunan berbahasa

atau bertutur tersebut bertalian erat dengan norma tutur. Norma tutur yang

dimaksud adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif

pemilihan bentuk tutur Hymes (dalam Suwito 1997: 141). Lebih lanjut Hymes

membedakan norma tutur menjadi dua macam, yaitu (1) norma interaksi (norm of interaction) dan (2) norma interpretasi (norm of interpretation). Norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh tidaknya sesuatu dilakukan oleh

masing-masing penutur ketika interaksi verbal berlangsung. Norma ini

menyangkut hal-hal yang merupakan etika umum dalam bertutur sehingga

sifatnya relatif objektif. Norma interpretasi merupakan norma yang didasarkan

pada interpretasi sekelompok masyarakat tertentu terhadap suatu aturan, yang

dilatarbelakangi oleh nilai sosiokultural yang berlaku di dalam masyarakat yang

bersangkutan. Hal ini senada dengan pendapat Brown dan Levinson (dalam Aziz

2003: 172) yang menyatakn sebagai berikut.

Before taking a particular action, a speaker must determint seriouseness of face-threatening act. They thus posit three independent and culturally-sensitive variables, with they claims subsume all others that play principal role: (1) the social distance (D) of S and H (a symmetric relation), indicating the degree of familiarity and solidarity shared by the S and H, (2) the relative “power” of S and H (a symmetric relation) indicatingthe degree to which the S can impose will on H, (3) the “absolute ranking (R) of impositions in particular culture” both in term of the expenditure of goods and/or service by the H, the right of the S to perform the act and the degree to which the H welcomes to imposition.

Norma interaksi tampak apabila terjadi interaksi verbal langsung

antarpenutur. Untuk dapat mencapai komunikasi seperti itu, kedua belah pihak

harus selalu menjaga apa-apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa-apa yang

Gambar

Gambar
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
Tabel 1. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian
Gambar 2.  Model Analisis Interaktif (Sutopo, 2002: 96)

Referensi

Dokumen terkait

langsung menggunakan perspektif agama lain, tetapi lebih kepada perspektif bidang kajian tertentu mengenai studi agama-agama, dimana konsep tersebut merupakan

Rencana Strategis (Renstra) Deputi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Tahun 2020-2024 merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Dapat disimpulkan bahwa analisis hukum Islam terhadap jual beli HP rekondisi di Kelurahan Putat Gede Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya adalah tidak sah karena tidak

Ada dua cara untuk menentukantitik impasyaitu dengan pendekatan teknik persamaan dan pendekatan grafik.. Secara teoritis, suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Agustus 2014, dapat disimpulkan bahwa gambaran pola makan lansia yang menderita hipertensi di Desa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap keberadaan peternakan ayam ras petelur di Dusun Passau Timur Desa Bukit Samang Kecamatan Sendana, Kabupaten

Penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan aplikasi Android sebagai media pembelajaran yang menggunakan telepon seluler ber platform Android untuk mendukung

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan pengelolaan sumber daya manusia pada sektor formal lebih baik dibandingkan dengan sektor informal, selain