iv DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR GRAFIK xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1
B.Rumusan Masalah 16
C.Tujuan Penelitian 17
D. Asumsi Penelitian 17
E.Hipotesis Penelitian 18
G.Manfaat Penelitian 18
BAB II KONSELING BEHAVIORISTIK DAN KECEMASAN BELAJAR SISWA
A. Hakikat, Tujuan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
19
B. Kedudukan Bimbingan dan Konseling Dalam Penelitian
20
C. Karakteristik Siswa Sekolah Menengah Atas 21
D. Konsep dan Relevansi Konseling Behavioristik untuk Membantu Mengatasi Kecemasan Belajar Siswa
35
E. Pelaksanaan Konseling Behavioristik Sebagai Teknik Pendekatan untuk Membantu Mengatasi Kecemasan Belajar Siswa di Sekolah
48
F. Konsep Kecemasan Belajar 70
1. Pengertian Kecemasan 70
2. Faktor- faktor yang Penyebab Munculnya Kecemasan Belajar
76
G. Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan 83
BAB III METODE PENELITIAN
A.Pendekatan dan Metode Penelitian 88
B. Subjek Penelitian 93
C.Pengembangan Instrumen Penelitian 95
D.Definisi Operasional Variabel 100
E.Uji Validitas dan Relibialitas 108
v
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB V
A. Profil Tingkat Kecemasan Belajar Siswa SMA di Seberang Ulu II Palembang
B. Profil Upaya yang Dilakukan Siswa untuk Mengatasi Kecemasan Belajar
C. Hasil Validasi Rasional Model Konseling Behavioristik
D. Uji Coba Keefektifan Model Konseling
Behavioristik untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Belajar
E. Dinamika Perubahan Perilaku Kecemasan Belajar Siswa sebagai Dampak Intervensi
Konseling Behavioristik dalam Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Belajar
F. Model Akhir Konseling Behavioristik
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.Kesimpulan
B.Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN- LAMPIRAN
111
129
138
141
171
175
194 195
vi
DAFTAR BAGAN
Bagan
vii
DAFTAR TABEL Tabel
3.1. Subjek Penelitian Pengembangan Model Konseling Behavioristik untuk
Membantu siswa Mengatasi Kecemasan Kecemasan Belajar 94
3.2. Kisi- kisi Inventori Kecemasan Belajar Siswa 96
3.3. Kisi- kisi Inventori Upaya Konsultasi yang Dilakukan Siswa dalam Mengatasi Kecemasan Belajar 97
3.4. Penilaian Model Hipotetik Konseling Behavioristik untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Belajar 98
3.5. Uji Normalitas Data Gain 99
3.6. Uji Homogenitas Varian Data Gain 100
3.7. Frekuensi Kecemasan Belajar 110
4.1. Distribusi Persentase Kecemasan Belajar siswa 111
4.2. Profil Aspek-aspek Tingkat Kecemasan Belajar Siswa SMA di SU II Palembang 114
4.3. Profil Aspek-aspek Tingkat Kecemasan Belajar Siswa SMA PGRI II Palembang 123
4.4. Profil Aspek-aspek Tingkat Kecemasan Belajar Siswa Methodist III 127
4.5. Profil Upaya Yang Dilakukan Siswa SMA di SU II Palembang dalam Mengatasi Kecemasan Belajar 130
4.6. Profil Upaya Yang Dilakukan Siswa SMA PGRI II Palembang dan dan SMA Methodist III dalam Mengatasi Kecemasan Belajar 134
4.7. Hasil Uji Coba Perbedaan Data Gain Kelompok Eksperimen dan Kontrol 142
4.8. Hasil Uji Perbedaan Data Gain Per-aspek Kelompok Eksperimen dan Kontrol Keseluruhan 143
4.9. Hasil Uji Coba Perbedaan Data Gain Per-aspek Kelompok Eksperimen dan Kontrol SMA PGRI II Palembang 146
viii
4.11. Penurunan Kecemasan Belajar Siswa SMA SU II Pasca Intervensi Konseling Behavioristik 150
4.12.Penurunan Kecemasan Belajar Siswa SMAPGRI II Palembang Pasca Intervensi Model Konseling Behavioristik 155
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar
3.1. Rancangan Eksperimen Uji Keefektifan Model Konseling 91
x
DAFTAR GRAFIK
Grafik
4.1. Profil Tingkat Kecemasan Belajar Siswa SMA di SU II Palembang 117
4.2. Profil Aspek-aspek Kecemasan Belajar Siswa SMA PGRII Palembang 124 4.3. Profil Aspek-aspek Kecemasan Belajar Siswa SMAMethodist III
Palembang 128
4.4.Rerata Gain Aspek- aspek Kecemasan Belajar Secara Keseluruhan 144
4.5..Rerata Gain Aspek Aspek Kecemasan Belajar SMA PGRI II Palembang 147
4.6. Rerata Gain Aspek Aspek Kecemasan Belajar SMA Methodis III
Methodist III Palembang 149
4.7. Penurunan Kecemasan Belajar Siswa Pasca Intervensi Model
Model Konseling Behavioristik 151
4.8. Penurunan Kecemasan Belajar Siswa SMA PGRI II Pasca Intervensi Model Konseling Behavioristik 156
4.9.Penurunan Kecemasan Belajar Siswa SMA Methodist III Pasca Intervensi Model Konseling Behavioristik 159
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Inventori Kecemasan Belajar Siswa SMA 210
2. Inventori Upaya yang Dilakukan Siswa dalam Mengatasi Kecemasan Belajar 216
3. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Inventori Kecemasan Belajar 219
4. Data Pretest Kelompok Kontrol 231
5. Data Prtest Kelompok Eksperimen 232
6. Data Postest Kelompok Kontrol 233
7. Data Postest KelompokEksperimen 234
8. Kriteria Kecemasan Belajar dan Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi 235
9. Uji Statistik 10.Substansi dan Suplemen Model Konseling Behavioristik Untuk 256
1 BAB I
PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Belajar merupakan kegiatan utama dalam setiap usaha pendidikan. Tanpa
belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Demikian pentingnya arti
belajar sehingga sebagian besar upaya riset dan eksperimen psikologi dan
pendidikan diarahkan pada pencapaian pemahaman yang luas dan mendalam
terhadap proses perubahan perilaku manusia, oleh karena itu usaha pendidikan
tidak saja bertujuan meningkatkan kualitas akademik tetapi juga membentuk
perilaku adaptif serta meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta
didik.
Dalam proses pembelajaran banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian
tujuan belajar. Fakta menunjukkan bahwa banyak sekali bentuk-bentuk perubahan
yang diperoleh individu dari hasil belajar, sehingga kualitas peradaban individu
juga bergantung pada apa dan bagaimana individu belajar. Selain itu belajar juga
memiliki arti penting bagi siswa dalam mempertahankan jati diri di tengah
semakin tinggi tingkat persaingan, untuk itu dibutuhkan kesiapan fisik dan psikis
yang prima agar semua materi yang diberikan guru dapat diserap. Namun
kadangkala siswa merasakan kondisi yang kurang nyaman dalam proses belajar.
Ketidaknyamanan tersebut menimbulkan kecemasan sehingga siswa menjadi tidak
dapat konsentrasi dalam belajar. Kecemasan, kekhawatiran akan ketidakberhasilan
merupakan kecenderungan yang dapat mendukung munculnya minat untuk
2 berada pada batas di luar kewajaran. Jika kecemasan belajar yang dialami siswa
memacu semangat dan minat, akan membuat siswa lebih berhati-hati, berupaya
untuk tidak gagal, maka kecemasan belajar justru dapat mendorong untuk lebih
giat belajar. Masalah akan muncul manakala siswa merasa tertekanan terhadap
tugas-tugas belajar, dan kondisi lingkungan belajar yang kurang kondusif.
Terkait dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar,
faktor lingkungan sosial juga seringkali muncul sebagai gangguan yang
menyebabkan kecemasan belajar. Pada awalnya hanya kecemasan biasa, normal
sebagai wujud kekhawatiran. Perilaku cemas lama kelamaan akan mempengaruhi
aspek kognitif , siswa akan merasa gelisah, malas, menurunya perhatian terhadap
belajar, orientasinya lebih ke masa lalu daripada masa kini. Pada aspek emosional
perilaku yang muncul adalah, menarik diri dari lingkungan, mudah tersinggung,
apatis, depresi.
Menurut Yen Han dalam penelitianya tentang kecemasan belajar (2003)
menunjukkan bahwa : 9% dari seluruh populasi penelitiannya memiliki
kecemasan tinggi dalam belajar bahasa Inggris, sedangkan 59% mengalami
kecemasan moderat dan 32% dengan tingkat kecemasan yang rendah.
Penelitiannya juga menunjukkan bahwa tingkat kecemasan yang paling tinggi
dijumpai ketika seseorang diminta untuk berbicara dan menulis. Interviu lanjutan
menunjukkan bahwa penyebab utama munculnya kecemasan adalah kecemasan
pribadi (68%) dan kecemasan interpersonal (21,52%) hal ini disebabkan karena
adanya kekhawatiran terjadinya penilaian sosial yang negatif terhadap mereka dan
3 Hasil penelitian Jack Canfield (1992) menggambarkan seorang anak yang
terbiasa menerima 460 komentar negatif dan 75 komentar positif dari orang tua,
dan guru, keyakinannya menjadi goyah dan rasa percaya dirinya menurun,
sehingga siswa tumbuh menjadi ragu-ragu, menghindar, cemas dan menjadi takut
Sangat bertolak belakang dengan kondisi sebelumnya, awalnya anak memiliki
keberanian, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, suka akan tantangan. Dampak
lebih jauh, belajar dirasakan sebagai sebuah beban bukan sebagai suatu
kebutuhan, siswa menjadi pesimis, mudah menyerah, dikendalikan keadaan, dan
sibuk dengan alasan-alasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
belajar.
Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kecemasan belajar perlu
mendapat perhatian dari guru dan pendidik, bahwa faktor lingkungan sosial,
tekanan, sikap dan perlakuan guru bisa menjadi pemicu munculnya kecemasan
belajar. Selanjutnya munculnya kecemasan dapat juga disebabkan karena kondisi
aktivitas belajar di kelas yang berlangsung secara tidak baik. Kenyataan ini
seringkali dijumpai dalam proses pembelajaran, dimana perbedaan kemampuan
individu yang beragam menjadi penyebab munculnya kecemasan.
Kecemasan menjadi salah satu penghambat dalam belajar apabila sampai
mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif siswa. Awalnya pemikiran tentang
kecemasan belajar muncul dari sikap dan perlakuan guru, iklim sekolah yang
kurang nyaman, ketidakpercayaan pada kemampuan yang dimiliki, siswa merasa
kehilangan makna dan harapan serta muncul bayangan kegagalan.
4 karena memprediksi hasil yang buruk. Kondisi ini tidak dapat dipandang sebelah
mata, dibutuhkan tindakan penanggulangan yang cepat dan tepat dalam upaya
membantu mengatasi kecemasan belajar siswa, karena apabila dibiarkan akan
merugikan siswa secara fisik dan psikologis.
Program bimbingan dan konseling di sekolah sebagai wadah yang
memfasilitasi kebutuhan psikologis siswa dapat membantu mengatasi
masalah-masalah, dipandang cukup efektif untuk memberi arahan, dorongan, dan memberi
kesempatan pada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas
tugas dan pekerjaan yang ia lakukan. Selanjutnya berdasar pada visi dan misi
bimbingan , kebutuhan serta tujuan bimbingan dan konseling, salah satunya
adalah layanan responsif yang bersifat preventif dan kuratif, mencakup: (1)
bidang pendidikan, (2) bidang belajar, (3) bidang sosial, (4) bidang pribadi, (5)
bidang disiplin, (6) bidang narkotika, dan (7) bidang perilaku seksual. Secara
menyeluruh layanan bimbingan dan konseling yang komprehensif dapat dilakukan
dalam membantu siswa mencapai kemandirian dan optimalisasi diri.
Meskipun demikian dalam prakteknya keberadaan layanan bimbingan dan
konseling belum banyak dimanfaatkan siswa. Rendahnya kunjungan siswa ke
ruang bimbingan tidak semata-mata karena faktor siswa, tetapi didukung pula
karena kemampuan profesional guru bimbingan dan konseling yang kurang
memadai sehingga dipersepsi siswa sebagai sikap yang kurang simpati.
Hakikatnya di dalam proses belajar siswa tidak akan terlepas dari interaksi
dan komunikasi, antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
5 lingkungannya membangun pola interaksi dan komunikasi yang harmonis. Dalam
proses pembelajaran guru memberi kontribusi cukup besar dalam membentuk
kepribadian siswa. Kegagalan membangun komunikasi akan menimbulkan
persepsi yang salah dan akan menambah tingkat kecemasan belajar siswa.
Dihadapan siswa, guru dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat
memberi hukuman, oleh karena itu sepantasnya guru hadir sebagai sosok yang
bersahabat, menyenangkan, melindungi, memiliki empati dan dapat diteladani
bukan menjadi sumber kecemasan.
Merebaknya isu kecemasan belajar secara langsung bersinggungan dengan
isu kualitas belajar, terutama jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannya. Selain
berdampak pada aspek kognitif juga pada aspek afektif siswa. Hasil survei awal,
dalam wawancara peneliti dengan siswa pada bulan Mei 2009 di SMA Seberang
Ulu II Palembang didapat informasi bahwa kecemasan belajar yang dialami
penyebabnya karena sikap guru dan lingkungan belajar yang tidak ramah. Siswa
mengaku sering merasa cemas ketika menghadapi materi pelajaran Matematika
dan Fisika. Selain gurunya galak juga sering melontarkan kata-kata yang memberi
label negatif. Kondisi ini semakin meruncing manakala siswa yang masuk ke
ruang layanan bimbingan konseling diberi label sebagai siswa “bermasalah”,
sehingga secara tidak langsung siswa membentuk perilaku menghindar dan
mencari tempat lain sebagai solusi untuk mengatasi masalahnya.
Teori belajar dalam konteks psikologi behavioristik menjelaskan bahwa
tingkah laku individu dikendalikan oleh penguatan dan ganjaran dari lingkungan
6 behavioral dengan stimulasinya. Sepanjang rasa cemas tersebut intensitasnya
masih berada pada batas kewajaran justru dapat menjadi pendorong, tetapi apabila
kecemasan menjadi berlebihan siswa akan mengalami gangguan yaitu
kekhawatiran, cemas, menjadi tidak rasional dalam berpikir. Seseorang dikatakan
mengalami kecemasan yang tidak rasional apabila aktivitas dalam kehidupannya
terganggu dan menghambat fungsi sosial dalam dirinya. Karena belajar
merupakan proses berpikir yang berhubungan dengan intelegensi atau
kemampuan seringkali kita beranggapan bahwa faktor inteligensi yang rendah
sebagai satu-satunya faktor yang membuat seorang siswa merasa cemas dalam
belajar, padahal faktor-faktor non intelegensi seperti yang digambarkan di atas
tidak sedikit yang menjadi penyebab munculnya rasa cemas.
Kegiatan belajar merupakan suatu proses psikologis yang terjadi pada diri
individu dan merupakan proses aktif dari subjek belajar untuk merekonstruksi
makna, kegiatan dialog, dan pengalaman fisik dan psikis. Belajar merupakan
proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman serta bahan yang
dipelajari sehingga hasil belajar akan dipengaruhi pula oleh bagaimana
pengalaman siswa dengan lingkungannya.
Menurut Madnesen & Peter Sheal Burton (1993) bahwa kebermaknaan
belajar sangat tergantung bagaimana cara siswa belajar. Jika belajar hanya dengan
membaca kebermaknaan hanya 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%,
mendengar dan melihat 50%, mengatakan- mengkomunikasikan kebermaknaan
mencapai 70%, dan belajar dengan melakukan serta mengkomunikasikan
7 kompetensi, dan kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan kognitif
berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40%. Sedangkan kompetensi
lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik berkaitan dengan
kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri berkontribusi
terhadap sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan
sekaligus menunjukkan bahwa faktor kognitif , afektif dan psikomotorik sebagai
satu- kesatuan modalitas dalam proses belajar menuju kemandirian.
Deskripsi di atas membuktikan bahwa indikator dari satu tindakan belajar
yang berhasil adalah apabila subjek didik mampu mengembangkan
kemampuannya, berhasil menemukan jati dirinya “learning to be”. Adalah tugas
pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan
belajar secara efektif. Kondisi kondusif tersebut tentu lebih dari sekedar
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, tetapi
juga mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu
subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Inilah
fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik. (Wetherington,
dalam Ahmadi :2004)).
Sejalan dengan pendapat tersebut Hatif (1977) menunjukkan bahwa
atribusi adjustive cenderung membantu mengembangkan stabilitas emosional
peserta didik dalam belajar, sebaliknya atribusi maladjustive dipandang sebagai
faktor penyebab munculnya kecemasan.
Kegiatan belajar dipandang sebagai suatu cara bagaimana berfungsinya
8 yang disajikan mudah ditransfer. Kemampuan memahami bagi masing-masing
individu tentu tidaklah sama, mereka memiliki perbedaan karakteristik, perbedaan
kekuatan untuk menghindari dan menghadapi tantangan dalam belajar serta
perbedaan kematangan dalam cara berpikir. Bagi siswa yang kematangan cara
berpikirnya rendah akan muncul berbagai masalah seperti, merasa bimbang ,tidak
dapat kosentrasi, cemas, dan menghindar, namun sebagian siswa lainnya justru
tidak mengalami hal tersebut. Untuk mengatasi masalah-masalah yang
berhubungan dengan kecemasan belajar, siswa membutuhkan bantuan bimbingan
yang dapat mengarahkan mereka keluar dari masalah.
Terkait dengan upaya bantuan yang dapat dilakukan oleh konselor
sekolah, agar siswa dapat konsentrasi penuh dalam belajar, Kartadinata (2003)
menegaskan bahwa lingkungan akan selalu berubah, sehingga menuntut setiap
individu untuk senantiasa dapat menyesuaikan diri, memperbaiki, mengubah dan
meningkatkan kualitas perilaku dan dapat memfungsikannya secara efektif dalam
kehidupannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa adanya tuntutan terhadap sejumlah
kemampuan yang harus dimiliki siswa, dijelaskan dalam standar kompetensi
lulusan (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006), bahwa lulusan SMA hendaknya :
(1) memiliki kemampuan mengembangkan diri secara optimal dengan
memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya, (2) menunjukkan
sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan dan
pekerjaannya, (3) menunjukkan cara berpikir logis, kritis dan inovatif dalam
mengambil keputusan, (4) menunjukkan sikap kompetitip untuk mendapatkan
9 masalah kompleks, (6) menghasilkan karya kreatif, baik individu atau kelompok,
(7) menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi.
Kompleksitas permasalahan serta kehidupan yang penuh dengan
tantangan, tekanan dan persaingan tersebut sangat mungkin dialami dan dirasakan
oleh siswa. Kompleksitas tersebut cenderung dipertajam apabila tuntutan
pemenuhan kebutuhan layanan tidak terpenuhi dalam periodesasi transisi
perkembangan remaja yang penuh dengan gejolak. Dengan demikian belajar akan
berhasil baik jika didukung oleh sikap dan kesiapan siswa yang baik pula.
Freud (dalam Syamsu 2006) menjelaskan bahwa masalah kecemasan
dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu : kecemasan realistik, perasaan takut
terhadap sebuah ancaman nyata yang berasal dari luar atau dari lingkungan;
kecemasan neurotik, kecemasan terhadap hukuman yang akan menimpanya yang
berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya; kecemasan moral takut
terhadap suara hati (super ego). Kecemasan moral sama halnya dengan kecemasan
neurotik ia berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya terkait
dengan hukuman dan ancaman dari orang-orang yang mempunyai otoritas jika ia
melakukan perbuatan yang melanggar norma. Lebih jauh dijelaskannya bahwa
kecemasan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian individu.
Pada dasarnya gejala kecemasan yang kita amati hanyalah sebagian kecil
saja dari masalah kecemasan yang sesungguhnya. Ibarat gunung es di lautan jika
ditelusuri lebih dalam akan ditemukan persoalan-persoalan yang lebih kompleks.
Demikian kompleksnya faktor-faktor pemicu kecemasan siswa di sekolah mulai
10 suasana kelas yang tidak kondusip, disiplin sekolah yang ketat dan lebih
mengedepankan hukuman, menambah terbentuknya kecemasan belajar.
Kecemasan tersebut dapat dialami oleh siapapun tidak terkecuali oleh siswa SMA
yang berada pada masa peralihan pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan
fisik dan psikis yang dialami remaja sering menjadi pemicu timbulnya masalah.
Kecemasan dengan intensitas yang rendah dapat memiliki nilai positif sebagai
pendorong tetapi bila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru akan
menimbulkan masalah.
Kecemasan belajar yang berlebihan selain menghambat dan mengganggu
fungsi afektif juga mempengaruhi fungsi kognitif siswa seperti, tidak dapat
berkosentrasi, sulit untuk mengingat. Pada tingkat kronis gangguan kecemasan
akan berdampak pada kesehatan fisik dan psikis. Mengingat dampak negatif yang
ditimbulkan akan berpengaruh pada kegiatan belajar siswa dipandang perlu
dilakukannya upaya preventif, kuratif dan development yang dilakukan oleh
konselor sekolah.
Idealnya layanan bimbingan konseling di sekolah dapat memfasilitasi
siswa dalam masa transisi menuju kedewasaan agar mereka mampu membuat
keputusan yang tepat, positif, efektif, tidak diwarnai dengan kecemasan yang
berlebihan terhadap aktivitas pembelajaran yang menuntut penguasaan
kompetensi pada setiap mata pelajaran. Diharapkan bahwa siswa memiliki
kemampuan antisipatif dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala,
responsif dalam menghadapi peluang yang muncul untuk mengaktualisasikan
11 muncul sebagai kekhawatiran yang realistik berkembang menjadi kecenderungan
negatif karena ketidaktahuan siswa pada upaya yang dapat ia lakukan, kurangnya
kerjasama antara guru mata pelajaran dan guru pembimbing dalam memahami
permasalahan-permasalah siswa.
Keberagaman masalah yang dihadapi siswa di atas menuntut perlunya
layanan bimbingan dan konseling responsif yang menyediakan program terapeutik
untuk mengubah perasaan-perasaan negatif dan menggantikannya dengan
perasaan-perasaan yang positif. Hakekatnya keberadaan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah adalah suatu proses bantuan yang dilakukan melalui
komunikasi dialogis, terstruktur, antar pribadi, mendalam, terarah kepada
pemecahan masalah dan, upaya optimalsisasi perkembangan individu.
Guru bimbingan dan konseling sebagai konselor sekolah dapat melakukan
beragam pendekatan konseling dalam upaya membantu mengatasi kesulitan
belajar dan pemecahan masalah siswa. Namun perlu dipertanyakan apakah
kompetensi profesional telah dimiliki dan diterapkan dalam penyelenggaraan
kegiatan bimbingan di sekolah? Untuk dapat melakukan pendekatan yang sesuai
dengan kebutuhan, syarat mutlak adalah dimilikinya kemampuan untuk
melaksanakan teknik pendekatan. Kesediaan guru pembimbing untuk melatih dan
memiliki keterampilan konseling akan sangat mendukung kegiatan layanan
konseling.
Salah satu teknik pendekatan yang ditawarkan untuk membantu siswa
mengatasi kecemasan belajar adalah model pendekatan behavioristik. Model
12 membantu siswa bagaimana mereduksi perasaan cemas, perasaan takut gagal,
perasaan menyalahkan orang lain dan diri sendiri. Pendekatan behavioristik
bertujuan memperkuat perilaku yang diharapkan dan mengubah perilaku yang
tidak diharapkan.
Sejatinya perasaan cemas dapat memacu siswa untuk belajar tetapi, justru
cenderung melemahkan semangat, minat , merasa akan gagal dan tidak dapat
berbuat sesuatu. Disadari atau tidak bahwa masalah-masalah yang dihadapi dan
dialami siswa SMA salah satunya disebabkan karena adanya ketidakseimbangan
antara perkembangan intelektual dan emosional remaja, hal ini diperkuat Wibowo
(2007) bahwa permasalahan- permasalahan yang biasanya muncul dikalangan
remaja berkaitan dengan :
1). Perilaku bermasalah; perilaku yang dialami remaja di sekolah masih dalam
kategori wajar yang tidak merugikan dirinya dan orang lain, namun dampaknya
akan menghambat dirinya dalam proses sosialisasinya dengan, remaja lainnya,
guru, dan masyarakat
2). Perilaku menyimpang : perilaku yang kacau yang menyebabkan remaja
menjadi cemas, nervous, rendahnya self control. Perilaku menyimpang lebih
banyak disebabkan karena persoalan psikologis
3). Penyesuaian diri yang salah : perilaku karena didorong oleh rasa keinginan
mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara
cermat akibat yang akan timbul, seperti menyontek, bolos sekolah
4). Perilaku tidak dapat membedakan benar dan salah : perilaku anti sosial baik
13 5. Tidak dapat menerima impuls- impuls sehingga gerakannya tidak terkontrol
dan menjadi hiperaktif
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa bimbingan dan konseling
yang diberikan mencakup sisi-sisi psikologis perkembangan, tidak hanya sekedar
mengatasi gangguan emosional tetapi juga harus memperhatikan penguasaan pada
tugas-tugas perkembangan. Kegiatan bimbingan dan konseling sangat diperlukan
oleh seluruh siswa sebagai upaya preventif agar diperoleh pemahaman,
kematangan berinteraksi, membuat suatu keputusan dan memiliki tanggung jawab
sebagai kontrol diri.
Terkait dengan paparan di atas disimpulkan bahwa permasalahan yang
dialami siswa SMA di Seberang Ulu II Palembang tidak jauh berbeda dengan
siswa dikota-kota lainnya. Ketidahtahuan siswa untuk mencari solusi dan bantuan
yang tepat menjadi semakin kompleks, karena guru bimbingan dalam kegiatan
layanan belum menggunakan teknik pendekatan yang memadai. Pelaksanaan
kegiatan konseling masih menggunakan teknik yang konvensional yang belum
tentu sesuai dengan kebutuhan dan masalah siswa.
Menurut Samad dalam penelitiannya tahun (2007) bahwa, model
konseling berorientasi pengalaman efektif dalam pemecahan masalah-masalah
pendidikan. Model konseling ini dapat diberlakukan untuk peubah penyesuaian
diri, peningkatan konsep diri, mengurangi kecemasan, pengembangan sikap
positif atau perasaan terisolasi. Hasil penelitian serupa dilakukan pula oleh
Oemarjoedi tahun (2002) bahwa selama rentang waktu lima tahun
14 salah satu pendekatan konseling cukup ampuh untuk menangani permasalahan
individu yang terkait dengan aspek emosi dan kognitif
Secara keseluruhan temuan hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa,
guru bimbingan dan konseling harus dapat melakukan upaya pemberian layanan
dengan menggunakan strategi atau pendekatan yang sesuai dengan dengan
masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Sekolah Menengah Umum di Seberang
Ulu II Palembang perlu menata dan meningkatkan teknik layanan, yang lebih
komprehensif agar dapat memfasilitasi tugas-tugas perkembangan peserta didik.
Hal ini merupakan tantangan bagi mereka untuk memiliki kepekaan mengenali
kapan kecemasan menjadi masalah bagi siswa, dan bagaimana menemukan
cara-cara yang efektif untuk dapat mengontrol, mengeliminir bahkan menghilangkan
kecemasan belajar siswa.
Melihat kondisi aktual kecemasan belajar seperti dipaparkan di atas serta
implikasi psikologisnya bahwa, kecemasan belajar merupakan salah satu
penghambat dalam proses belajar karena dapat mempengaruhi dan mengganggu
kinerja fungsi-fungsi kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik. Sebagaimana
dikemukakan dalam penelitian Ahman tahun (2006) bahwa permasalahan yang
paling banyak dialami peserta didik adalah masalah-masalah yang berhubungan
dengan pendidikan dan pembelajaran mencapai angka (27,12%), pada tahun
ajaran berikutnya permasalahan yang dihadapi peserta dididik meningkat menjadi
(30%). Meningkatnya masalah bukan hanya sekedar fenomena, tetapi sudah
menjadi isu aktual yang perlu mendapatkan perhatian serius dikalangan pendidik.
15 kecenderungan meningkatnya kecemasan belajar siswa di sekolah, dan tuntutan
terhadap fungsi layanan bimbingan disekolah dalam keikutsertaannya membantu
siswa mengatasi masalah kecemasan belajar.
Merujuk pada hasil-hasil penelitian dan fakta empiris mengapa
permasalahan banyak dialami oleh siswa khususnya pada usia sekolah menengah
disebabkan karena dipengaruhi oleh perubahan fisik dan psikologis. Masalah yang
muncul disebabkan oleh banyak faktor, seperti kesiapan belajar, kurangnya
kemampuan dalam menyerap materi pelajaran, disiplin waktu, sarana dan
prasarana belajar, dan fakktor emosional. Umumnya kecemasan belajar yang
dialami siswa karena kesalahan mempersepsi dalam membuat sebuah keputusan
atau menentukan sikap. Kondisi kecemasan belajar yang bervariasi
menggambarkan tingkat kemampuan siswa yang berbeda dalam menyikapi, dan
mempersepsi lingkungan. Salah satu upaya untuk mengubah perilaku salah
tersebut adalah melalui pendekatan model konseling keprilakuan atau
behavioristik. Pendekatan konseling behavioristik lebih bersifat pada suatu
pelatihan terhadap perilaku. Teknik pendekatan diarahkan pada prosedur untuk
memfasilitasi perubahan pada diri konseli. Perubahan perilaku dlakukan melalui
proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning).
Gambaran empirik dilapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan
layanan bimbingan di SMA Seberang Ulu II masih belum dilaksanakan secara
profesional, teknik- teknik pendekatan dalam bimbingan konseling masih sebatas
pemahaman guru dari sisi praktis. Sementara siswa sangat berharap mendapatkan
16 terarah. Selain kompetensi guru pembimbing yang kurang memadai, sarana dan
prasarana tempat melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling belum
memadai. Sehingga kegiatan konseling yang terselenggara hanya bersifat
konsultasi atau curhat.
Berdasarkan pada pertimbangan bahwa siswa memerlukan bantuan segera
untuk memfasilitasi proses perkembangan, khususnya untuk membantu mengatasi
kecemasan belajar, sebagai langkah awal guru bimbingan dan konseling
menentukan pendekatan konseling yang sesuai dengan permasalahan dan
kebutuhan siswa.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah, dan agar penelitian ini lebih
fokus serta bermakna, masalah penelitian dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut: ”Model konseling seperti apa yang efektif untuk membantu siswa
mengatasi kecemasan belajar di SMA Seberang Ulu II Palembang”. Secara rinci
pertanyaan penelitian dideskripsikan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kecemasan belajar siswa SMA di Seberang Ulu II
Palembang?
2. Usaha-usaha apa yang dilakukan siswa untuk mengatasi kecemasan belajar?
3. Sejauhmana Model Konseling Behavioristik efektif untuk membantu
17 C. Tujuan Penelitian
Tujuan akhir penelitian adalah menghasilkan rumusan model konseling
behavioristik yang efektif untuk membantu mengatasi kecemasan belajar. Secara
operasional model konseling behavioristik bertujuan untuk mengetahui gambaran:
1. Kondisi kecemasan belajar siswa SMA di Seberang Ulu II Palembang
2. Upaya-upaya yang dilakukan siswa dalam mengatasi kecemasan belajar
3. Keefektifan model konseling behavioristik untuk membantu mengatasi
kecemasan belajar siswa SMA di Seberang Ulu II Palembang
D.Asumsi Penelitian
Penelitian model konseling behavioristik untuk membantu mengatasi
kecemasan belajar siswa dilandasi oleh beberapa asumsi sebagai berikut :
1. Segenap tingkah laku manusia diperoleh dari hasil belajar, dan tingkah lakunya
ditentukan oleh lingkungan sosial budaya, oleh karena itu manusia dipandang
memiliki kecenderungan-kecenderungan bertindak positif dan negatif yang
sama. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri
(Corey, 2005)
2. Kegiatan layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu media untuk
membantu mengatasi permasalahan kecemasan belajar dan perilaku (Lightsey,
2002).
3. Partisipasi aktif individu dalam mengambil keputusan, penguatan diri dan
strategi yang mengacu pada self regulation melalui konseling kognitif-perilaku
membantu mengubah perilaku negatif yang mempengaruhi aspek emosional
18 E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada asumsi di atas maka, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian adalah:
1. Model konseling behavioristik efektif untuk membantu siswa mengatasi
kecemasan belajar
2. Model konseling behavioristik efektif menurunkan kecemasan belajar dalam
berbagai aspek dan indikator
G. Manfaat Penelitian
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dalam pengembangan layanan model
konseling behavioristik di sekolah adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan model konseling behavioristik dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan kompetensi dan keyakinan guru bimbingan dan konseling
dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
2. Hasil pengembangan model konseling behavioristik dapat dijadikan rujukan
bagi guru bimbing dan konseling dalam membantu siswa mengatasi kecemasan
88 BAB III
METODE PENELITIAN
A.Pendekatan dan Metode Penelitian
Tujuan akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersusunya model
konseling behavioristik untuk membantu mengatasi kecemasan belajar. Strategi
penelitian yang dipandang tepat adalah dalam penelitian ini adah penelitian
pengembangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, yang
digunakan secara bersama-sama melalui model pendekatan mixed methodology
design (Creswell, 2002). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji tingkat
kecemasan belajar siswa dan menguji keefektifan model konseling behavioristik.
Sementara pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional
model hipotetik konseling behavioristik untuk membantu siswa mengatasi
kecemasan belajar.
Menurut Borg & Gall, (2003) penelitian dan pengembangan penelitian
merupakan ”… a process used to develop and validate educational product”
Produk yang dimaksud adalah model konseling behavioristik untuk mengatasi
kecemasan belajar siswa. Penelitian dan pengembangan merupakan penelitian
penghubung antara penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan
(applied research). Analisis terhadap kebutuhan dilakukan untuk
mengembangkan model hipotetik dengan menggunakan penelitian dasar.
Pengujian model hipotetik dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen
89 Secara konseptual Borg & Gall (2003) menyusun langkah-langkah
pendekatan penelitian dan pengembangan yaitu : (1) studi pendahulan (research
and information collecting), (2) perencanaan (planning), (3) pengembangan
model awal (develop preliminary form of product), (4) revisi model awal (main
product revision), (5) uji coba terbatas (main field testing), (6) revisi model
ujicoba (operational product process), (7) ujicoba lebih luas (operasional field
testing), (8) finalisasi model (final product revision), (9) diseminasi dan
implementasi model (dissemination and implementation).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini hanya sampai pada
finalisasi model. Secara operasional prosedur penelitian tersebut di atas
dirangkum ke dalam empat tahapan yaitu : (1) studi pendahuluan, (2) penyusunan
dan pengembangan validasi model, (3) uji coba model, (4) revisi dan finalisasi
model, setiap tahapan dijelaskan sebagai berikut :
1. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan untuk memperoleh informasi awal sebagai
dasar untuk pengembangan model. Informasi yang diperoleh digunakan untuk
merancang model hipotetik. Studi pendahuluan terdiri dari dua kegiatan yaitu, (a)
studi pustaka dan (b) kajian empiris kecemasan belajar.
Studi pustaka dilakukan untuk menelaah konsep kecemasan belajar,
konsep konseling behavioristik, hasil penelitian terdahulu tentang kecemasan
belajar dan keefektifan model konseling behavioristik. Sumber-sumber yang
90 konseling behavioristik adalah buku teks, jurnal, artikel, dan laporan penelitian
yang relevan di internet.
Telaah empiris dilakukan untuk memperoleh gambaran kondisi kecemasan
belajar yang terkait dengan aspek-aspek frekuensi partisipasi, pengalaman
komunikasi, penghindaran diri, kontrol diri dan pernyataan diri. Telaah empiris
juga dilakukan untuk mengetahui pilihan seperti apakah yang dilakukan siswa
untuk mengatasi kecemasan belajar, sehingga kecenderungan kekeliruan memilih
kepada siapa seharusnya ia melakukan konsultasi dapat dapat diarahkan.
2. Penyusunan dan Pengembangan Validasi Model
Berdasarkan hasil analisis teoritis dan empiris kecemasan belajar, serta
usaha-usaha yang dilakukan siswa untuk mengatasi kecemasan belajar
dikembangkan model hipotetik konseling behavioristik untuk membantu
mengatasi kecemasan belajar siswa SMA. Untuk kebutuhan tersebut
dikembangkan dua dokumen yaitu: (a) substansi model hipotetik konseling
behavioristik dan (b) suplemen model dalam bentuk intervensi konseling.
Substansi model yang memuat unsur-unsur teoritik, filosofi dan inferensi
teoritis dari kajian teori dan empiris tentang kecemasan. Subtansi model hipotetik
yang dikembangkan berisi rumusan rasional, tujuan, asumsi, prinsip, target
intervensi, komponen, struktur intervensi, kompetensi konselor, garis besar
substansi intervensi, evaluasi, indikator keberhasilan. Suplemen model intervensi
berisi rumusan deskripsi program intervensi, karakteristik hubungan,
norma-norma intervensi, komposisi anggota intervensi, peran konselor dan konseli,
91 Validasi dan revisi model dilakukan untuk mengetahui ketepatan model
sebagai modus intervensi konseling. Validasi model diarahkan pada validitas isi
sehingga kelayakan dapat dipertanggungjawabkan. Validasi model ditimbang oleh
tiga orang pakar konseling yang memiliki kualifikasi Doktor lulusan Universitas
Pendidikan Indonesia yaitu Prof. Syamsu Yusuf, L.N, M.Pd., Dr. Suherman,,
M.Pd dan Dr. Mubiar Agustin, M.Pd. Hasil validasi rasional ditindaklanjuti
dengan melakukan revisi sebagai finalisasi model agar menjadi lebih operasional.
3. Uji Coba Lapangan
Hasil validasi pakar dan revisi terhadap model konseling behavioristk
diujicobakan untuk mengetahui keefektifannya. Uji keefektifan model dilakukan
dengan metode quasi eksperimen dengan disain pretest- posttest control group
design. Rancangan penelitian disajikan melalui gambar 3.1.
Gambar 3.1
Rancangan Eksperimen Uji Keefektifan Model Konseling Behavioristik Untuk Membantu Kecemasan Belajar
Pre Test Intervensi
Konseling
Pasca Test
Kelompok Eksperimen
(KE)
Intervensi Konseling Behavioristik
Kelompok Eksperimen
(KE)
Kelompok Kontrol (KK)
Tanpa Intervensi Kelompok Kontrol
[image:30.595.113.513.416.713.2]92 Sasaran uji coba model adalah siswa SMA di Seberang Ulu II Palembang.
Uji coba model dilakukan di dua SMA yang mengalami kecemasan pada kategori
cukup cemas. Pertimbangannya efikasi model konseling behavioristik untuk
membantu siswa mengatasi kecemasan belajar akan dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti, karakteristik subjek didik, adegan, kondisi intervensi, dan hasil yang
diharapkan. Uji coba model pada kelompok perlakuan berlangsung selama 8 sesi.
Sesi pertama dan terakhir digunakan untuk pretest dan posttest dengan durasi 60
menit pada setiap sesi. Evaluasi intervensi dilakukan dua minggu setelah
perlakuan berakhir. Interval selama dua minggu sebelum post test dilakukan
dengan tujuan untuk memberikan perembesan pada dampak intervensi konseling.
4. Revisi dan Finalisasi Model
Fokus kegiatan revisi model pada analisis dampak perlakuan, bertujuan
untuk mengetahui keefektifan model konseling behavioristik dalam membantu
mengatasi kecemasan belajar. Sumber informasi revisi selain rujukan hasil posttes
secara kuantitatif juga mengakomodasi pandangan dan harapan subjek penelitian,
input guru mata pelajaran dan guru pembimbing selama sesi intervensi konseling
berlangsung. Hasil revisi adalah diperolehnya model akhir konseling behavioristik
untuk membantu mengatasi kecemasan belajar siswa. Rangkaian kegiatan
93 Secara skematis tahapan kegiatan penelitian digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.2 Alur Riset Pengembangan Model B.Subjek Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan model konseling
behavioristik untuk membantu mengatasi kecemasan belajar siswa. Pada tahap
studi pendahuluan subjek adalah siswa SMA kelas XI tahun ajaran 2008/2009 di
Seberang Ulu II Palembang berjumlah 192 orang ditentukan secara purposive.
Dasar pertimbangan pemilihan subjek karena; 1) setiap individu cenderung
mengalami kecemasan, 2) pada usia ini terjadi perubahan pisik dan psikis yang
disebabkan perubahan hormon sehingga emosi siswa tidak stabil dan ini dialami HASIL
KEGIATAN TAHAPAN
- Kajian Literatur
- Kondisi Objektif lapangan - Rancangan Model
Model Draft Studi
Pendahuluan
Model Operasional Pengembangan
Validasi Model
-Penimbangan ahli -Validasi Empirik -Revisi Model
Model Teruji Uji Lapangan - Latih Pembimbing
- Uji Efektifitas
-Revisi/ Finalisasi
94 oleh remaja pada umumnya, 3) siswa kelas II berada pada situasi persiapan untuk
naik ke-kelas III mereka dibayangi kecemasan menghadapi ujian akhir nasional.
Pada tahap pengembangan dan validasi model hipotetik, subjek adalah
pakar bimbingan dan konseling berjumlah tiga orang, selanjutnya pada tahap uji
coba model, subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA PGRI II Palembang
dan siswa kelas XI SMA Methodist III Palembang, masing-masing dibentuk
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Komposisi kelompok untuk
kegiatan intervensi terdiri dari 15 orang siswa. Pertimbangan dalam pembentukan
kelompok berdasarkan pada perspektif bimbingan konseling kelompok bahwa
jumlah anggota akan lebih efektif berkisar antara 8-15 orang (Winkel, 1977,
[image:33.595.112.515.361.737.2]Rochman, 1987). Rincian subjek penelitian disajikan dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1
Subjek Penelitian Pengembangan Model Konseling Behavioristik untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Belajar
Tahap Penelitian Subjek Jumlah
1. Studi Pendahuluan 1. Siswa Sekolah Menengah Atas di SU II Palembang
• Siswa kelas XI SMA PGRI
• Siswa kelas XI SMA
Methodist III
2. Guru /Guru Pembimbing
192 orang 98 orang 94 orang
5 orang
3. Validasi Model Pakar Bimbingan dan Konseling 3 orang 4. Uji Coba Model Siswa Sekolah Menengah Atas
1. Siswa Kelas XI SMA PGRI II •Kelompok Kontrol
•Kelompok Eksperimen
2. Siswa Kelas XI SMA Methodist III
•Kelompok Kontrol •Kelompok Eksperimen
30 orang
15 orang 15 orang
95 C.Pengembangan Instrumen Penelitian
Berdasarkan jenis data yang diperlukan dan subjek penelitian,
dikembangkan tiga instrumen penelitian yaitu : (1) kecemasan belajar siswa, (2)
usaha-usaha yang dilakukan siswa dalam mengatasi kecemasan belajar, dan (3)
pedoman penilaian model hipotetik konseling behavioristik untuk membantu
siswa mengatasi kecemasan belajar. Deskripsi dan langkah-langkah
pengembangan instrumen disajikan seperti berikut :
1. Pengembangan Instrumen Penelitian
Berdasarkan jenis data yang diperlukan untuk kebutuhan pengungkapan
kecemasan belajar siswa digunakan dua perangkat instrumen penelitian yaitu (a)
inventori kecemasan belajar, (b) inventori upaya-upaya yang dilakukan siswa
dalam mengatasi kecemasan. Pada inventori kedua siswa diperkenankan memilih
lebih dari satu pernyataan sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan dalam
mengatasi kecemasan belajar, (c) pedoman penilaian model hipotetik konseling
behavioristik untuk membantu siswa mengatasi kecemasan belajar
a. Kisi-kisi Instrumen Pengumpul Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, selayaknya data yang diungkap meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, karena dalam penelitian kualitatif hasil
akhir banyak bergantung pada seberapa rinci, akurat dan ekstensif pencatatan hasil
pengumpulan data. Inventori kecemasan belajar siswa, digunakan untuk
menjaring data kecemasan belajar. Skala penilaian terhadap butir item inventori
kecemasan belajar menggunakan model likert dengan lima alternatif jawaban
96 tidak sesuai. Berikut disajikan rincian kisi-kisi inventori kecemasan belajar
melalui tabel 3.2.
Tabel 3.2
Kisi-kisi Kecemasan Belajar Siswa
Variabel Aspek Indikator item
Pernyataan Kecemasan
Belajar Siswa
1. Frekuensi partisipasi
2.Pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan
a. Merasa rendah diri b. Tidak percaya pada
Kemampuan diri
c. Merasa akan gagal dalam belajar d. Kurang pengenalan
terhadap lingkungan belajar
a. Kehilangan gairah belajar
b. Merasa Tidak sehat, tidak fit
1, 2, 3
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14
15, 16, 17, 18
19, 20, 21, 22
23, 24, 25, 26
27, 28, 29, 30, 31, 32
3. Penghindaran diri a.a.Menyalahkan orang lain
b.Tidak berempati pada
kehadiran guru di kelas
c.Menarik diri dari lingkungan belajar
33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40 41, 42, 43, 44, 45, 46
47, 48, 49, 50
4.Kontrol diri
5.Pernyataan Diri
a. Tidak dapat mengelola waktu
b. Tidak mampu
mengendalikan emosi diri c. Sulit kosentrasi dalam belajar
a. Mudah lupa
b. Tidak mendapat
perhatian guru di sekolah c. Menuntut perhatian lebih
51, 52, 53, 54, 55
56, 57, 58, 59
60, 61, 62, 63
64, 65, 66, 67, 68
69, 70, 71, 72, 73
74, 75
Jumlah item 75
Selanjutnya untuk melihat usaha seperti apa yang dilakukan siswa dalam
memilih konsultasi untuk mengatasi kecemasan belajarnya dijaring melalui
inventori upaya-upaya konsultasi yang dilakukan siswa, disajikan dalam tabel 3.3.
97 Tabel 3.3
Kisi-Kisi Upaya Konsultasi yang Dilakukan Siswa
Variabel Aspek Indikator Item
Pernyataan Upaya yang dilakukan
siswa Untuk Mengatasi Kecemasan Belajar
1. Pilihan Konsultasi
2. Kompensasi
3. Pengaturan waktu Teman Orang tua Guru Wali Pacar Kakak Guru BP Bermain
Menulis di buku Diary Merokok Mendengar lagu Nonton TV Olah raga begadang Belajar dirumah Belajar kelompok Disiplin waktu Sholat Kursus Bertanya 1 2 3 4 5 6
7, 8, 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18, 19 20 21 22
b.Skala Penilaian Model Konseling Behavioristik untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Bealajar
Instrumen ini dikembangkan untuk kepentingan validasi rasional model
hipotetik konseling behavioristik. Instrumen validasi model konseling berbentuk
skala penilaian untuk mengukur aspek substansi dan aspek suplemen. Skala
penilaian model menggunakan model Likert dengan lima alternatif penilaian
yaitu; (1) tidak memadai, (2) kurang memadai, (3) agak memadai, (4) memadai
(5) sangat memadai. Proses penilaian validasi model dilakukan tiga orang pakar
bimbingan konseling. Seluruh aspek yang dinilai melalui skala penilaian model
98 Tabel 3.4
Penilaian Model Hipotetik Konseling Behavioristik untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Belajar
No Aspek Item
1 Rumusan Judul 1
2 Penggunaan istilah 2
3 Sistematika model 3
4 Rumusan rasional model 4
5 Rumusan tujuan model 5
6 Rumusan asumsi model 6
7 Rumusan komponen model 7
8 Rumusan Kompetensi konselor 8
9 Kesesuaian antara komponen model 9
10 Struktur Intervensi 10
11 Garis besar intervensi model 1-8 11-18
12 Teknik Evaluasi 19-20
13 Rumusan indikator keberhasilan 21
c. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan menghitung
koefisien korelasi product moment, untuk menguji nilai signifikansi butir soal
menggunakan uji t dengan menggunakan bantuan program Ms.Excel 2007. Hasil
99 Reliabiliatas instrumen berhubungan dengan konsistensi tes. Hasil uji reliabilitas
sebesar 0,94 menunjukkan tingkat kepercayaan sangat kuat (Sugiyono, 1999).
Revisi dan finalisasi ditindaklanjuti dengan penataan bentuk instrumen, dan
penyusunan pedoman pengerjaan lembar jawaban.
Uji normalitas data gain menggunakan uji Z Kolmogrov-Smirnov (p>0,05) dan uji
homogenitas varians data gain menggunakan uji Levenes (p>0,05). Hasil uji normalitas dan homogenitas varians menunjukan bahwa data tersebut memiliki distribusi
[image:38.595.114.515.297.555.2]normal dan varians yang homogen seperti disajikan pada tabel 3.5.
Tabel 3.5
Uji Normalitas Data Gain
Kelompok Sekolah Z Nilai p Keterangan Eksperimen
Keseluruhan 0.721 0.677 Normal
SMA PGRI II 0.616 0.843 Normal
SMA Methodist III 0.644 0.802 Normal
Kontrol
Keseluruhan 0.905 0.386 Normal
SMA PGRI II 0.835 0.488 Normal
SMA Methodist III 0.839 0.483 Normal
Uji normalitas data gain menunjukkan bahwa semua data, pada
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol berasal dari populasi yang
berdistribusi normal karena mempunyai nilai p > 0,05.
Uji homogenitas varians data gain siswa SMA PGRI II dan, varian data
gain siswa SMA Methodist III tahun ajaran 2008/2009 menunjukkan varians yang
100 Tabel 3.6
Uji Homogenitas Varians Data Gain
Sekolah df 1 df 2 F Nilai p Keterangan
Keseluruhan 1 58 2.087 0.197 Homogen
SMA PGRI II 1 28 1.763 0.226 Homogen
SMA Methodist
III 1 28 3.025 0.086 Homogen
D.Definisi Operasional Variabel 1. Kecemasan Belajar
Kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang
ditandai oleh, perasaan-perasaan subjektif seperti ; ketegangan, kekhawatiran,
kecurigaan. Freud dalam Arndt (dalam Arndt 1974) menjelaskan kecemasan
sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi
fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Manifestasi
kecemasan secara umum berpengaruh terhadap fisik dan psikhis, dan akan
mengganggu proses belajar. National Health Committee (2005) menjelaskan
dampak kecemasan terhadap kesehatan fisik dan psikis sebagai berikut :
a. Respons fisik seperti sulit tidur, dada berdebar-debar, tubuh berkeringat meskipun tidak gerah, tubuh panas atau dingin, sakit kepala, otot tegang atau kaku, sakit perut atau sembelit, terengah-engah atau sesak nafas. b. Respons perasaan seperti merasa diri berada dalam khayalan,
derealization, merasa tidak berdaya dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi.
c. Respons pikiran seperti mengira sesuatu yang buruk akan terjadi dan sering memikirkan kegagalan.
d. Respons tingkah laku seperti menjauhi situasi yang menakutkan, mudah terkejut, hyperventilation dan mengurangi rutinitas.
Terkait dengan kecemasan, Kanfer dan Karoly (1982) menggunakan
101 belajar. Menurutnya dengan menggunakan self control dan self statement positif
mempunyai dampak yang besar dalam menurunkan tingkat kecemasan.
Kondisi kecemasan yang dialami siswa menimbulkan ketidaknyamanan,
spekulasi serta kompensasi pilihan positif- negatif muncul sebagai suatu
keinginan untuk keluar dari masalah yang dihadapi. Namun pada gejolak usia
remaja upaya yang dilakukan masih bersifat sporadis, belum terarah. Fakta
menunjukkan bahwa siswa bukan tidak berusaha untuk keluar dari masalannya,
tetapi apakah tindakan yang mereka lakukan sudah tepat atau keliru, hal inilah
yang perlu diarahkan dan diberikan penguatan. Kecenderungan bertindak bagi
siswa SMA lebih diwarnai oleh unsur afeksi (feeling). Sepanjang unsur afeksi
yang menyertai perilaku individu terhadap objek bersifat positif maka tidak akan
membawa dampat negatif pada proses belajar.
Berdasarkan pada kristalisasi pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa
kecemasan belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kecenderungan
munculnya perasaan siswa merasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan,
merasa akan gagal dalam belajar, kurang pengenalan terhadap lingkungan belajar,
kehilangan gairah belajar, merasa tidak sehat, menyalahkan orang lain, tidak
berempati pada kehadiran guru di kelas, menarik diri dari lingkungan belajar,
tidak dapat mengelola waktu, sulit mengendalikan emosi, sulit kosentrasi dalam
belajar, mudah lupa, merasa tidak mendapat perhatian guru, menuntut perhatian
lebih. Individu yang mengalami kecemasan belajar memandang proses belajar
sebagai sebuah tekanan bukan sebagai kebutuhan untuk mencapai optimalisasi
102 2. Konseling Behavioristik
Menurut teori belajar psikologi behavioristik bahwa tingkah laku manusia
dikendalikan oleh ganjaran dan penguatan dari lingkungan, manusia mahluk
reaktif yang tingkah lakunya dikontrol/dipengaruhi oleh faktor- faktor dari luar
Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap
lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian Tingkah laku belajar behubungan erat, antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya. Perubahan dalam perilaku harus
diusahakan melalui suatu proses atau belajar kembali yang berlangsung dalam
proses konseling. Pendekatan behavior memandang bahwa masalah yang dihadapi
individu dikarenakan individu tersebut salah dalam membuat keputusan atau
mengambil sikap untuk menentukan suatu tindakan.
Model behavior yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori
belajar perilaku operan dari Skinner. Penekanan pada peran lingkungan lebih
ditonjolkan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti perilaku.
Skinner (dalam Rachman 1993) menegaskan bahwa perilaku individu terbentuk
dan dipertahankan ditentukan oleh konsekuensi yang menyertai, jika
konsekuensinya menyenangkan memperoleh reinforcement, perilaku cenderung
diulang dan dipertahankan, sebaliknya jika konsekuensi tidak menyenangkan
memperoleh hukuman (punishment), maka perilaku akan dikurangi atau
dihilangkan. Terkait dengan hal di atas Skinner dan Watson (dalam Corey, 2007)
membahas tentang hakikat manusia adalah : (1) manusia dipandang memiliki
103 dasarnya dibentuk dan pengaruhi oleh lingkungan sosial budayanya, (3) segenap
tingkah laku manusia adalah karena dipelajari, (4) manusia tidak memiliki
kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri.
Pendekatan behavioristik menitikberatkan pada perubahan nyata dalam
perilaku konseli sebagai hasil dari konseling. Keyakinan dasar yang dipegang
dalam pendekatan ini adalah bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari suatu
proses belajar, maka dapat diubah dengan belajar baru. Konseling behavioristik
memiliki ciri-ciri, antara lain: (a).berfokus pada perilaku yang tampak atau nyata,
(b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik/konseling, (c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli,
(d) penafsiran objektif atas tujuan terapeutik/konseling, (e) filosopis bantuan pada
upaya kuratif.
Dimensi struktur model konseling behavioristik dalam penelitian ini terdiri
dari: (1) judul, (2) penggunaan istilah, (3) sistematika keterbacaan, (4)
kelengkapan dan (5) kesesuaian antar sesi. Unsur-unsur rasional rumusan model
terdiri dari, rasional tujuan, asumsi, intervensi, langkah- langkah, evaluasi serta
indikator keberhasilan. Kesesuaian antara judul dan penggunaan istilah,
sistematika, dan keterbacaan telah mendapat penilaian dari para pakar konseling,
hasilnya berada pada klasifikasi memadai. Penilaian ini secara teoritis
menunjukkan bahwa srtuktur model sudah memenuhi standar kelayakan sebagai
modus intervensi. Beberapa saran dari pakar konseling sebaiknya penggunaan dan
pemakaian istilah asing dapat diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, dengan
104 Dimensi isi model meliputi, rasional model, tujuan, kompetensi konselor,
struktur intervensi, evaluasi, serta indikator keberhasilan konseling behavioristik
sebagai berikut:
a. Rasional Model
Rasional model merupakan pertimbangan- pertimbangan dasar teoritis dan
empiris pengembangan model yang berkaitan dengan urgensi kecemasan
belajar siswa berdasarkan pada studi pendahuluan dan terhadap perbandingan
studi penelitian yang relevan. Hasil penilaian pakar bimbingan dan konseling
rasional model sudah memadai, alur pikir cukup jelas baik secara teoritik dan
hasil-hasil penelitian terhadap penggunaan model.
b. Tujuan Model
tujuan umum adalah mengurangi perilaku kecemasan setelah dilakukan
intervensi konseling. Secara khusus Model konseling Behavioristik bertujuan
agar siswa memiliki kemampuan mengatasi kecemasan belajar dan
mengembangkan dan mengelola kompetensi berpikir positif. Hasil penilaian
pakar terhadap rumusan judul, pada kategori memadai. Masih perlu dilakukan
penajaman rumusan pada setiap sesi intervensi.
c. Asumsi Model
Asumsi model merupakan anggapan yang melandasi pengembangan
model terkait dengan essensi masalah, substansi bantuan, variasi hubungan
antara konselor- konseli, teknik intervensi. Penilaian pakar terhadap asumsi
105 d. Target Intervensi konseling
Target intervensi adalalah mengatasi kecemasan belajar dengan latihan
yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran, kesiapan diri siswa
melakukan usaha belajar.
e. Komponen Model
Komponen model meliputi unsur- unsur yang ada di dalam Model
Konseling Behavioristik yaitu, analisis fungsional, latihan keterampilan,
pekerjaan rumah (homework). Penilaian pakar bimbingan dan konseling sangat
memadai dan diterima sebagai bagian integral model.
f. Kompetensi Konselor
Dalam intervensi model kompetensi konselor merupakan kunci
keberhasilan dalam implementasi konseling. Rumusan indikator menunjukkan
bahwa implementasi model merupakan upaya profesionalisasi kerja konselor
g. Struktur Isi dan Layanan
Struktur isi dan layanan konseling memberikan gambaran sistematika
kegiatan dalam implementasi model. Kelayakan intervensi dinilai pakar cukup
jelas baik pada rumusan dan keterkaitan antar sesi dalam intervensi konseling
h. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan hasil penilaian pakar secara keseluruhan,
aspek teknik, alat, waktu evaluasi dan indikator keefektifan model hasil
penilaian pakar secara teoretis memadai.
Hackney dan Cormier (1994) menjelaskan bahwa pendekatan perilaku di
dalam konseling behavior menekankan pada perilaku spesifik, yaitu perilaku yang
106 pendekatan ini bersifat pelatihan terhadap perilaku klien maka, pendekatan ini
menekankan pada teknik dan prosedur untuk memfasilitasi perubahan perilaku
pada diri klien. Sehingga pendekatan behavioristik lebih mementingkan
penggunaan teknik pengubahan perilaku. Peran konselor dalam pendekatan
behavior adalah sebagai model bagi klien.
Menurut Bellack & Hersen (dalam Laidlaw, 2003) terdapat 158 teknik
terapi dalam konseling behavioristik, sementara Mahoney & Lyddon dalam
(Bond, 2002) menjelaskan bahwa lebih kurang terdapat 20 teknik Cognitive
Behavioral Therapy digunakan . Sementara Goldenberg, (1983) menjelaskan
bahwa teknik-teknik spesifik konseling berjumlah lebih dari 30 teknik. Dalam
prakteknya enam teknik saja yang lazim digunakan dalam terapi keperilakuan.
Secara operasional konseling behavioristik memiliki teknik spesifik
sebagai berikut: Pertama, teknik desensitisasi sistematik merupakan teknik
relaksasi yang diggunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara
negatif biasanya berupa kecemasan, menyatakan respon berlawanan dengan
perilaku yang akan dihilangkan. Kedua, latihan asertivitas digunakan untuk
melatih klien yang mengalami kesulitan menyatakan tindakannya layak untuk
dilakukan. Contohnya untuk membantu individu yang tidak memiliki kemampuan
untuk menyatakan “tidak”, mengungkapkan afeksi respon positif lainnya dengan
bermain peran. Diskusi kelompok dipakai sebagai latihan asertif. Ketiga, teknik
implosion flooding terapi lanjutan mendesensitisasi klien dengan cara meminta
kesediaan klien untuk membayangkan suatu situasi yang menimbulkan kecemasan
107 yang dibayangkan tidak akan menimbulkan efek negatif. Terapi dikembangkan
berdasar pada asumsi bahwa seseorang apabila secara berulang dihadapkan pada
suatu penyebab kecemasan, konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata
tidak muncul maka kecemasan akan menghilang. Atas dasar asumsi inilah klien
diminta untuk membayangkan stimulus yang menimbulkan kecemasan. Sampai
pada penilaian stimulus yang mengancam tidak memiliki kekuatan dan rasa
cemasnya hilang, keempat, pengkondisian aversi dilakukan untuk meredakan
prilaku simtomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan
hingga perilaku tidak dikehendaki terhambat kemunculannya. Teknik ini
dilakukan pada perilaku maladaftif misalnya, merokok, obsesi kompulsi, pemakai
zat adiktif. Perilaku tidak dihentikan secara seketika, tetapi dibiarkan tetap terjadi,
pada waktu bersamaan dikondisikan dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Terapi ini menahan perilaku maladaftif, individu memiliki kesempatan
memperoleh alternatif perilaku yang adaftif, Kelima kontrak perilaku adalah
persetujuan antara konselor dan klien untuk mengubah perilaku tertentu klien.
Konselor menentukan perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh kedua pihak.
Terapi mengedepankan ganjaran positif terhadap perilaku dibandingkan hukuman
jika kontrak perilaku tidak berhasil, Keenam, perilaku model, konselor
mencontohkan kepada klien tentang perilaku melalui audio, model fisik, model
hidup atau lainnya yang dapat diamati. Perilaku yang berhasil dicontoh klien akan
diberi ganjaran oleh konselor berupa pujian.
Model konseling behavioristik memiliki pandangan yang optimis terhadap
108 mengembangkan diri, merancang, mengembangkan tingkah laku positif, dan
menjauhi konflik. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan
merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan
mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Manusia cenderung akan
mengambil stimulus yang menyenangkan dan menghindarkan stimulus yang tidak
menyenangkan.
Berdasarkan pada teori pendekatan konseling maka disimpulkan bahwa,
konseling behavioristik adalah sebuah pendekatan terapi perilaku yang bertujuan
untuk mengubah dan membentuk perilaku individu yang lebih adaptif dalam
penyesuaian diri dengan lingkungannya. Terapi dilakukan dengan cara melatih
dan memperkuat munculnya perilaku yang diharapkan. Keberhasilan individu
merespon tingkahlaku baru yang lebih adaptif adalah merupakan hasil belajar
yang diharapkan.
E.Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan menghitung
koefisien korelasi product moment, dan untuk menguji nilai signifikansi butir soal
menggunakan uji t dengan menggunakan bantuan program Ms.Excel 2007. Hasil
uji reliabilitas sebesar 0,94 termasuk pada kategori sangat kuat dan menunjukkan
tingkat reliabilitas sangat tinggi. Revisi dan finalisasi ditindaklanjuti dengan
penataan bentuk instrumen, dan penyusunan pedoman,
109 F. Teknik Analisis Data
Terdapat dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data
kuantitatif dan data kualitatif. Data kecemasan belajar dan karakteristik perilaku
siswa sebagian berbentuk kuantitatif, sedangkan data pendapat siswa pada setiap
akhir sesi intervensi dan saran dari pakar bimbingan dan konseling terhadap
model konseling berbentuk kualitatif. Untuk menganalisis data kuantitatif
digunakan analisis statistik, sedangkan untuk menganalisa data kualitatif
digunakan analisis nonstatistik melalui inferensi yang logis berdasarkan
pertim