• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG BERDIRINYA NEGARA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG BERDIRINYA NEGARA ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

84

ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ASAD TENTANG

BERDIRINYA NEGARA ISLAM

A. Pendapat Muhammad Asad tentang Pengertian Negara Islam

Menurut Muhammad Asad yang disebut negara Islam adalah negara yang mengharuskan kepada warganegaranya termasuk di dalamnya pemerintahan untuk sungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam, dan ajaran Islam masuk atau dimuat dalam konstitusi negara tersebut, serta seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya berpedoman pada konstitusi yang tertinggi.

Dengan mengikuti langkah-langkah yang telah diambil oleh muslim modernis lainnya, Muhammad Asad juga ingin melihat konsep syura menjadi realitas dalam kehidupan ummat. Menurut pengamatannya, hal ini menjadi semakin mendesak, karena ummat Islam selama berabad-abad telah menjadi kurban dari setiap bentuk penindasan dan eksploitasi di tangan penguasa-penguasa durjana.

Di zaman moderen, pada penglihatan Muhammad Asad, pemilihan anggota-anggota majelis syura wajib mempunyai basis seluas mungkin, di dalamnya laki-laki dan perempuan berperan serta. Karena al-Qur'an dan sunnah tidak menyediakan suatu legislasi yang jelas-tegas tentang prosedur dan metode pemilihan, maka ijtihad ummat haruslah dilakukan untuk memutuskan mekanisme apa yang dipakai bagi pemilihan itu dengan mempertimbangkan kebutuhan waktu dan tempat. Di sini Muhammad Asad

(2)

tampaknya lebih longgar dalam teorinya bila dibandingkan dengan Zainal Abidin Ahmad yang melihat bahwa sistem demokrasi parlementer adalah refleksi terbaik dari cita-cita politik Islam.

Adapun mengenai sumber kedaulatan negara, Muhammad Asad tampaknya menempuh jalan tengah antara kubu Maududi, Khomeini dan golongan modernis. Pada satu pihak, ia mempertahankan dan membela hak-hak rakyat untuk memerintah. Pada sisi lain, mungkin karena kurang tepatnya memahami ayat al-Qur'an:

"Katakan, Ya Allah! Pemilik kekuasaan! Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau tarik kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa (berdaulat) atas segala sesuatu" (al-Qur'an surat Ali Imran (3) ayat 26).

Dari argumen ini, Muhammad Asad selanjutnya secara kurang kritis berbicara tentang konsep taat di pihak rakyat, berdasarkan suatu hadits dari al-Bukhari dan Muslim. Hadis ini berbunyi: "Siapa yang menaatiku berarti menaati Allah; dan barangsiapa membangkangku berarti membangkang Allah; dan barangsiapa menaati amir (kepala negara/penguasa) berarti menaatiku; dan barangsiapa membangkang amir berarti membangkangku."

Dengan dasar hadis ini, seakan-akan Muhammad Asad ingin mengatakan bahwa perlawanan dalam bentuk apa pun terhadap penguasa sederajat dengan perlawanan (pemberontakan) terhadap prinsip-prinsip syari'ah.

(3)

Sebenarnya tidak sedikit hadis politik adalah hadis yang patut dicurigai; dan karena itu pula teori Muhammad Asad tentang prinsip taat terhadap amir didasarkan atas hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ini.

Seperti halnya Ibn Taimiyah, Asad juga seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya pada hadis . Dengan menggunakan hadis-hadis politik yang "otentik" ini betapapun saling bertentangan satu sama lain sebagai salah satu sumber pokok teorinya, Muhammad Asad juga telah menciptakan kebingungan formal yang disengaja. Tetapi langkah semacam ini sulit untuk dihindari sampai umat Islam berhasil memeriksa kembali literatur hadis serta berani mengesampingkan hadis-hadis yang nyata-nyata berlawanan dengan ayat dan ruh al-Qur'an.

Dengan mengkaji pengertian Negara Islam yang dikemukakan Muhammad Asad, maka penulis mendukung pemikirannya. Oleh sebab itu pendapat Muhammad Asad dapat dipertegas sebagai berikut: bahwa negara Islam merupakan negara dengan melalui kekuasaannya mengharuskan seluruh komponen bangsa melaksanakan ajaran Islam. Bila komponen bangsa yang dalam hal ini lembaga-lembaga negara dan warga negara tersebut tidak melaksanakan ajaran Islam maka bagaimana mungkin bisa tegak syari'at Islam. Tegaknya syari'at Islam tidak cukup hanya dalam bentuk pengakuan namun implementasi atau realisasi terhadap ajaran Islam merupakan pembuktian apakah negara itu benar-benar negara Islam.

(4)

Muhammad Asad melihat konstitusi negara menjadi alat ukur untuk menyatakan bahwa negara itu negara Islam. Terhadap hal ini pun penulis setuju. Karena bila konstitusinya yang tertinggi tidak mencantumkan syari'at Islam maka peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya pun tidak akan mencantumkan syari'at Islam. Jadi hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam suatu negara menjadi payung bagi peraturan perundangan lainnya. Karena itu pasal-pasal yang ada dalam konstitusi harus memuat ketentuan-ketentuan yang bernafas Islam bila hendak dikatakan sebagai negara Islam.

B. Pendapat Muhammad Asad tentang Syarat Berdirinya Negara Islam

Dalam pandangan Muhammad Asad bahwa syarat pertama yang harus dimiliki oleh suatu negara Islam adalah manakala negara mendahulukan penerapan syariat Islam pada negara-negara bagian atau negara yang memang berada dalam kekuasaannya. Di sini Muhammad Asad tampaknya memegang prinsip bahwa suatu negara baru dapat dianggap negara Islam, bila dalam konstitusinya memuat satu ketentuan bahwa semua hukum syari'ah yang berkenaan dengan kepentingan umum menjadi dasar bagi daerah-daerah atau negara bagian.

Terhadap syarat yang kedua berdirinya negara Islam, Muhammad Asad sangat menyadari bahwa konstitusi tertinggi tidak cukup untuk mengatur semua masalah karena hanya bersifat global. Karena itu menurut Muhammad Asad bahwa lembaga berwenang harus membuat undang-undang sebagai pelaksana. Namun undang-undang tersebut harus tetap merupakan dasar di dalam struktur konstitusi tertinggi negara Islam.

(5)

Mencermati pendapat Muhammad Asad bahwa dalam perspektinya, ketentuan-ketentuan syar'i yang berkenaan dengan soal-soal urusan pemerintahan harus ditambah dengan undang-undang duniawi ciptaan kita sendiri yang dapat diperbaiki dan sudah tentu dengan pengertian bahwa kita tidak boleh membuat undang-undang dengan satu cara yang berlawanan dengan bunyi dan semangat dari hukum syar'i.

Jadi dalam pandangan Muhammad Asad bahwa syarat kedua yang harus dimiliki oleh suatu negara Islam adalah adanya undang-undang ciptaan manusia, tetapi undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang tertinggi yang memuat dasar-dasar hukum syar'i.

Jika dikaji, bahwa pendapat Muhammad Asad masuk diakal. Konstitusi hukum syar'i yang tertinggi dijadikan sebagai sumber hukum maka kemungkinan sifatnya rigid (kaku), untuk itu perlu aturan yang fleksibel (luwes) dan hal ini bisa dilakukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Namun undang-undang yang di bawah konstitusi itu harus bercorak islami.

Konsekuensi pemikiran Muhammad Asad, maka bila ada undang-undang yang menyimpang dari konstitusi yang menjadi hukum dasar negara maka undang-undang tersebut tidak berlaku efektif.

Terhadap syarat yang ketiga dari Muhammad Asad, maka menurut analisis penulis bahwa di sini pemerintah bisa memaksakan kehendak sepanjang masih dalam koridor syari'at Islam. Akan tetapi jika di lingkungan pejabat pemerintahan itu ada yang bukan Islam maka lembaga atau instansi

(6)

seperti itu tidak bisa memaksakan kehendak dan warganegara tidak perlu patuh. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an:

ﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﺯﺎﻨﺗ ﻥِﺈﹶﻓ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ِﺮﻣَﻷﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃﻭ ﹶﻝﻮﺳﺮﻟﺍ ﹾﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃﻭ ﻪﹼﻠﻟﺍ ﹾﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃ ﹾﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬ

ِﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ ِﻪﹼﻠﻟﺎِﺑ ﹶﻥﻮﻨِﻣﺆﺗ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﻥِﺇ ِﻝﻮﺳﺮﻟﺍﻭ ِﻪﹼﻠﻟﺍ ﻰﹶﻟِﺇ ﻩﻭﺩﺮﹶﻓ ٍﺀﻲﺷ ﻲِﻓ ﻢﺘﻋ

ﹰﻼﻳِﻭﹾﺄﺗ ﻦﺴﺣﹶﺃﻭ ﺮﻴﺧ ﻚِﻟﹶﺫ ِﺮِﺧﻵﺍ

}

59

{

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisaa (4): 59).

Ayat ini mengandung satu pernyataan bahwa pemaksaan suatu kekuasaan dari luar lingkungan jama'ah Islam sendiri menurut moral tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap seseorang muslim. Sedangkan sebaliknya adalah satu kewajiban keagamaan dari seorang muslim untuk patuh kepada satu pemerintahan Islam yang diangkat sebagaimana layaknya. Patuh kepada pemerintah itu sudah tentu merupakan satu prinsip kewarganegaraan yang diakui sebagai fundamental di semua masyarakat yang beradab. Tetapi patut diperhatikan bahwa di dalam lingkungan peraturan satu negara Islam, kewajiban ini tetap menjadi satu kewajiban, hanya selama pemerintah tidak menghalalkan tindakan-tindakan yang diharamkan oleh syari'ah, atau melarang perbuatan yang disuruh oleh hukum agama. Jika kebetulan terjadi

(7)

hal serupa itu, maka kewajiban patuh kepada pemerintah tidak mengikat lagi bagi umat Islam.

ﹶﻠﺼﻤﹾﻟﺎِﺑ ﹲﻁﻮﻨﻣ ِﺔﻴِﻋﺮﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ِﻡﺎﻣﺎِﻟﹾﺍ ﻑﺮﺼﺗ

ِﺔﺤ

1

Artinya: Tasharruf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemashlahatan.

Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban umat.

Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi'i:

ِﻢﻴِﺘﻴﻟﹾﺍ ﻦِﻣ ﻰِﻟﻮﻟﹾﺍ ﹸﺔﹶﻟِﺰﻨﻣ ِﺔﻴِﻋﺮﻟﺍ ﻦِﻣ ِﻡﺎﻣِﺎﹾﻟﺍ ﹸﺔﹶﻟِﺰﻨﻣ

2

Artinya: Kedudukan Imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim.

Dalam konteksnya dengan pengangkatan pemerintah atau kepala negara, maka pendapat Muhammad Asad bila dibandingkan dengan konsep Imam al-Mawardi bahwa ternyata konsep Muhammad Asad lebih jelas, maksudnya Imam al-Mawardi tidak menjelaskan suatu keharusan kepala negara diangkat oleh rakyat, sedangkan Muhanmmad Asad menganggap mutlak pengangkatan melalui suara rakyat.

Mawardi yang terkenal dengan sebutan political scientist. Dia merupakan tokoh perumus konsep imamah. Alasan mengapa Mawardi menggagas perlunya imamah, pertama adalah untuk merealisasi ketertiban

1

Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta: Kalam Mulia, 2001, hlm. 61 2

(8)

dan perselisihan, kedua, berdasarkan kepada surat al-Nisa' (4):59. Dengan begitu, kata (uli al-'amr)menurut Mawardi adalah imamah (kepemimpinan). Lebih dari itu, dalam karyanya al-Ahkam al-Sultaniyyah (Principles of Government), al-Mawardi mengemukakan bahwa imamah atau khalifah adalah penggantian posisi Nabi untuk menjaga kelangsungan agama dan urusan dunia. 3Dari definisi tersebut, mengandung tiga unsur, yaitu a) imamah itu, adalah tidak lain daripada mengganti kedudukan Nabi; b) obyek khilafah, ialah menjaga agama; dan c) mengendalikan masyarakat.4

Untuk menjaga dua aspek-aspek tersebut, Mawardi sebagaimana dikutip Kamaruzzaman5 menawarkan enam sendi negara yaitu: pertama, agama yang dihayati. Agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hari nurani manusia, karenanya merupakan sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara. Kedua, penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi- aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur, dan menjaga agama yang dihayati, melindungi jiwa dan kehormatan warga negara, serta menjaga mata pencaharian mereka. Penguasa itu adalah imam dan khalifah. Ketiga, keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan akan tercipta keakraban antara sesama warga negara,

3

Imam al-Mawardi, Al-Ahkan as-Sultaniyyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, "Hukum Tatanegara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam", Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 15

4

TM.Hasbi Ash Shiddiqie, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 37

5

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, Magelang: Indonesia Tera, 2001, hlm. 43

(9)

menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pimpinan, menyemarakkan kehidupan rakyat dan membangun minat rakyat untuk berkarya dan berprestasi. Keempat, keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat menikmati ketenangan batin, dan dengan tidak adanya rasa takut akan berkembang inisiatif dan kegiatan serta daya kreasi rakyat. Meratanya keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan. Kelima, kesuburan tanah yang berkesinambungan. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat dipenuhi, dan dengan demikian dapat menghindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya. Keenam, harapan kelangsungan hidup. Dalam kehidupan manusia terdapat kaitan erat antara kelangsungan generasi dengan generasi yang lain.6

Dari enam sendi di atas, tampak bahwa bentuk negara yang ditawarkan oleh Mawardi tidak begitu jelas. Dengan kata lain, sikap Mawardi dapat diartikan bahwa baik sumber awal praktek politik Islam maupun fakta sejarah, dia memang tidak menemukan bentuk pemerintahan yang baku yang dapat dikatakan sebagai bentuk pemerintahan yang islami. Namun ia menawarkan perangkat kenegaraan mulai pemilihan kepala negara, menteri, dan tata cara pemberhentian mereka. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa pandangan tersebut mendekati apa yang sekarang dikenal dengan konsep negara kesejahteraan atau social service state (negara yang memberi pelayanan kepada masyarakat).

6

(10)

Adapun bila dicermati pengangkatan kepala negara pada masa khulafa al-Rasidin, maka dapat diketahui bahwa semasa empat Al-Khulafa al-Rasyidin tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala negara. Abu Bakar diangkat melalui pemilihan dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu, yakni Muhajirin dan Ansar, baik dari suku Khazraj maupun dari suku Aus, meskipun karena keadaan yang mendesak banyak tokoh-tokoh masyarakat yang lain tidak diikutsertakan dalam perundingan itu. Umar bin Khattab diangkat melalui penunjukan oleh pendahulunya, dan tidak melalui pemilihan dalam pertemuan terbuka. Setelah Abu Bakar pribadi memutuskan bahwa Umarlah yang paling tepat untuk menggantikannya, dia mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior. Utsman bin Affan diangkat melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh "dewan formatur" yang terdiri dari lima di antara enam orang yang ditunjuk oleh pendahulunya, dan penunjukannya tidak berdasarkan perwakilan unsur tetapi atas dasar pertimbangan kualitas pribadi masing-masing, yakni karena mereka menurut Nabi adalah calon-calon penghuni surga. Mereka semua berenam dari unsur Muhajirin. Perlu pula ditambahkan di sini bahwa Umar, pendahulu Utsman, berpesan supaya menindak tegas mereka yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas - musyawarah tanpa hak untuk berbeda pendapat. Ali bin Abu Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau, dan ketika hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di

(11)

Madinah. Oleh karenanya keabsahan pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat, termasuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Suria).

Menurut analisis penulis bahwa Muhammad Asad termasuk tipologi pemikir politik Islam organik tradisionalis. Dikatakan demikian karena tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara. Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua kesatuan yang utuh dan menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik di mana negara berdasarkan syariah islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Quthub, Abu al-‘Ala al-Maududi, dan di Indonesia barangkali Muhammad Natsir.

Dengan demikian sisi persamaan antara Muhammad Asad dengan dengan tokoh yang disebut di atas khususnya dengan Maududi dan Natsir, bahwa ketiga tokoh ini memiliki persamaan yang dominan yaitu mereka anti sekularisme. Begitu juga denga Muhammad Asad yang sangat menetang paham pemisahan antara agama dan negara. Karena itu, dalam kategori respon terhadap sekulerasme mereka cenderung sama. Natsir menghadapi kelompok nasionalis sekular dan hal yang sama juga dilakukan Muhammad Asad dan Maududi. Karena mereka anti terhadap sekularisme, maka mereka mendukung berdirinya negara Islam.

(12)

Adapun perbedaan yang mencolok antara Muhammad Asad dengan Natsir dan Maududi terdapat dalam dua aspek. Pertama, boleh dan tidaknya mencontoh Barat dalam sistem kenegaraan. Kedua, wilayah negara. Natsir menganggap bahwa meniru sistem kenegaraan Barat tanpa seleksi atau filterisasi (saringan) bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Hal ini menyiratkan bahwa Natsir menerapkan filterisasi terhadap Barat tapi tidak menolak sepenuhnya. Sebaliknya Asad dan Maududi malah sebaliknya tidak meniru Barat dalam segala aspek sistem kenegaraan. Karena sebagai fundamentalisme yang rasionalis mencari semua sistem kenegaraan dalam Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan mengenai wilayah negara, Natsir membatasinya. Artinya, negara dalam pandangan Natsir adalah negara seperti yang tampak pada era modem. Pada masa tersebut, sebuah negara dibatasi oleh negara lain. Dalam hal ini, Indonesia adalah negara yang mengenai batas seperti layaknya negara-negara modern. Sebaliknya, Muhammad Asad dan Maududi tidak mengenal batas wilayah. Karenanya, negara Islam dalam pemikiran Asad dan Maududi negara yang bisa dipraktekkan di seluruh pelosok dunia. Artinya, model kekhalifahan pada abad ke-8 adalah model di mana wilayah negara tidak mengenal batas sehingga yang terjadi adalah penaklukan demi penaklukan yang pada gilirannya, negara Islam sampai ke benua Eropa. Demikianlah beberapa titik temu dan titik perbedaan pemikiran Muhammad Asad, Natsir dan Maududi dalam bidang kenegaraan. Apa yang ingin ditegaskan adalah bahwa ketiga tokoh ini sangat dipengaruhi oleh kenyataan sosial politik ketika mereka hidup. Dari sisi tersebut, penulis

(13)

berpendapat bahwa sebenarnya gelar modernisme dan fundamentalisme pada ketiga tokoh ini dapat diberikan secara bersamaan.

Referensi

Dokumen terkait

Aspek Inkoatif adalah aspek yang menyatakan kegiatan mulai berlangsung. Adapun aspek ini dikategorikan pada subkelas imperfektif. Adverbia yang berprefiks /ma-/

Diharapkan dengan adanya pengukuran kerja menggunakan metode work sampling ini dapat diketahui waktu standar kerja sehingga dapat ditentukan jumlah tenaga kerja

Komputer telah berkembang hampir disegala bidang usaha diantaranya usaha biro perjalanan PT.SETIA SARANA TOUR & TRAVEL adalah sebuah perusahaan yang melayani pemesanan dan

Penanganan AAT yang telah terbentuk, yang berpotensi keluar dari lokasi penambangan, dilakukan untuk mencapai kondisi kualitas air seperti yang disyaratkan dalam peraturan

Perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh nyata terhadap parameter umur panen, jumlah buah, bobot 1000 butir dan produksi benih per hektar, serta memberikan pengaruh yang

Memperhatikan pernyataan dan pandangan dari ulama-ulama kenamaan dari masing-masing mazhab empat tersebut di atas, kiranya hampir semua ulama melarang dan menyatakan

Algoritma pencarian rute yang digunakan yakni A-star memiliki fungsi pencarian heuristik dan juga dalam penentuan lokasi awal dan tujuan bisa saja tidak berada dalam jaringan

Dalam hubungannya dengan waris mewarisi pada keluarga beda agama, maka ini menunjukkan adanya anggota keluarga yang beragama Islam dan anggota keluarga yang