• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Sejarah Perbankan Konvensional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Sejarah Perbankan Konvensional"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pengertian dan Sejarah Perbankan Konvensional

Pengertian bank menurut UU RI No. 10 tahun 1998 tentang perbankan adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan dan sejarah perbankan mulai di kenal sejak zaman Babylonia, kemudian terus berkembang hingga zaman Yunani kuno dan Romawi. Selanjutnya kegiatan perbankan terus menyebar hingga ke daratan Eropa dan menjangkau Asia Barat melalui para pedagang Eropa. Hingga akhirnya kegiatan perbankan menyebar ke seluruh dunia, melalui daerah-daerah bekas jajahan bangsa-bangsa Eropa.

Pada awalnya kegiatan perbankan dimulai dari jasa yang paling sederhana, yakni penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, bank diartikan sebagai meja tempat menukarkan uang. Penukaran uang tersebut dilakukan oleh para pedagang yang melakukan perdagangan antar kerajaan atau antar daerah. Kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan perdagangan valuta asing (money changer).

Pada perkembangan selanjutnya kegiatan perbankan berkembang menjadi tempat penitipan uang, yang kini dikenal dengan kegiatan simpanan (saving). Kemudian kegiatan perbankan bertambah lagi sebagai tempat peminjaman uang. Kegiatan perbankan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dimana bank tidak lagi sekedar sebagai tempat menukar uang atau tempat menyimpan dan meminjam uang. Hingga akhirnya keberadaan bank sangat memengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat, hingga tingkat negara, dan bahkan sampai tingkat dunia.

(2)

Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu terdapat beberapa bank pemerintah yang memegang peranan penting di Hindia Belanda, di antaranya:

1 De Javasce NV.

2 De Post Poar Bank.

3 Hulp en Spaar Bank.

4 De Algemenevolks Crediet Bank.

5 Nederland Handles Maatscappi (NHM).

6 Nationale Handles Bank (NHB).

7 De Escompto Bank NV.

Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang asing seperti dari China, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:

1 NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank.

2 Bank Nasional Indonesia. 3 Bank Abuan Saudagar.

4 NV. Bank Boemi.

5 The Chartered Bank of India.

6 The Yokohama Species Bank.

7 The Matsui Bank.

8 The Bank of China.

9 Batavia Bank.

Setelah kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:

1 NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank

OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.

2 Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI '46.

3 Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.

4 Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo. 5 Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.

(3)

6 Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.

7 Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian

menjadi Bank Amerta.

8 NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.

9 Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.

10 Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari, kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.

Saat ini di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari'ah, dan juga BPR Syari'ah (BPRS). Dimana masing-masing bentuk lembaga perbankan tersebut memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda satu dengan la innya (Sumber: http:// infoperbankan.blogspot.com).

Berdasarkan laporan Statistik Perbankan Indonsia (SPI) bulan September 2009, jumlah perbankan konvensional di Indonesia ada sebanyak 122 yang terdiri atas (BI 2009d) :

1 Bank Persero (state owned banks) sebanyak 5 buah.

2 Bank Umum Swasta Nasional Devisa (foreign exchange commercial banks) sebanyak 33 buah.

3 Bank Umum Swasta Nasional non Devisa (non-foreign exchange commercial banks) sebanyak 32 buah.

4 Bank Pembangunan Daerah Regional (development banks) sebanyak 26 buah 5 Bank Campuran (joint ventura banks) sebanyak 16 buah.

6 Bank Asing (foreign owned banks) sebanyak 10 buah. 2.2 Pengertian dan Sejarah Perbankan Syari’ah

Bank Syari’ah secara etimologi dapat diartikan sebagai bank yang beroperasi sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Namun beberapa ahli ekonomi memberikan pengertian yang lebih luas tentang Bank Syari’ah. Beberapa diantaranya adalah:

(4)

1 Antonio dan Perwataatmadja (1997) menyatakan bahwa Bank Syari’ah adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam; (2) bank yang tatacara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits.

2 Kuncoro dan Suharjono (2002) mengatakan bahwa Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, yaitu mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Quran dan Hadits. Dengan mengacu kepada Al- Quran dan Hadits, maka diharapkan Bank Syari’ah dapat menghindari praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan usaha dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

3 Muhammad (2004) memberikan tiga pengertian Bank Syari’ah. Yaitu, Bank Syari’ah adalah (1) bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga; (2) lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al- Quran dan Hadits Nabi SAW; (3) Lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.

Istilah perbankan syari’ah atau kata Bank seperti yang dipraktekkan saat ini, belum dikenal pada masa awal Islam. Istilah tersebut baru dikenal dan menjadi perhatian dunia Islam pada akhir abad kedua puluh. Meskipun demikian, sebagian fungsi-fungsi perbankan seperti menerima simpanan, menyalurkan dana, transfer dan pengalihan dana sudah dijalankan oleh generasi awal Islam dalam bentuk yang masih sederhana.

Sejarah Islam mencatat, Nabi Muhammad SAW dikenal dengan sebutan Al-Amin atau orang yang amat terpercaya bagi masyarakat Quraisy pada waktu itu. Berdasarkan kepercayaan (trust) tersebut, Nabi Muhammad SAW menjalankan aktivitas ekonomi dengan kejujuran dan integritas moral yang tinggi. Terbukti bahwa ia menjadi pedagang yang sukses dan sekaligus merupakan orang yang dipercaya oleh masyarakat untuk menerima titipan harta dari orang-orang kaya yang ada di Mekah. Hal tersebut bahkan masih dilakukan menjelang hijrah Beliau ke Madinah.

(5)

Praktik fungsi perbankan juga sudah dilaksanakan oleh para sahabat Nabi, seperti Zubair bin Al- Awwam, Ibn AbbasdanAbdullah bin Zubair. Mereka biasa menerima pinjaman kemudian mengembalikan pinjaman tersebut, melakukan pengiriman uang ke Iran dan Irak. Umar bin Khattab pernah menggunakan alat tukar yang berfungsi semacam “cek” untuk membayar tunjangan (kafalah) kepada mereka yang berhak. Dengan alat tukar ini mereka mengambil gandum di Baitul Maal yang ketika itu diimpor dari Mesir.

Bank Syari’ah atau Bank Islam (Islamic Bank) sebagai institusi, pertama kali dipraktikkan pada tahun 1940-an, dalam bentuk pengelolaan dana haji secara non konvensional di Pakistan dan Malaysia. Sebagai tonggak (pioneer) dalam sejarah perkembangan sistem perbankan syari’ah adalah didirikannya Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr di Kairo pada tahun 1963. Perintisnya, Ahmad El Najjar, berusaha menggabungkan gagasan dari German Saving Bank dengan prinsip-prinsip Rural Banking. Proyek Mit Ghamr menyediakan pelayanan dasar perbankan seperti saving account, investment account, dan zakat account. Namun Islamic Rural Bank tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1967 bank ini terpaksa ditutup karena persoalan politik. Meskipun demikian pada tahun 1970-an, di Mesir telah berdiri setidaknya sembilan bank yang tidak memungut maupun menerima bunga. Sebagian besar bank tersebut berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk kerja sama (partnership) dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung (Nasution 2008).

Tonggak sejarah lainnya bagi perkembangan Bank Syari’ah adalah dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah yang diprakarsai oleh negara-negara anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI). OKI merupakan organisasi bagi negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam yang didirikan pada tanggal 25 September 1969 di Rabbat, Maroko. IDB kemudian memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan dana bagi negara-negara Islam untuk pembangunan. IDB secara aktif memberi pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Disamping itu, berdirinya IDB juga memotivasi banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah. Maka, pada akhir dekade 1970- an dan awal dekade 1980-an, Bank-bank Syari’ah

(6)

bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki.

Perkembangan industri keuangan syari’ah di Indonesia telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syari’ah. Sebelumnya telah ada beberapa badan usaha pembiayaan non bank yang telah menetapkan sistem bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Lokakarya Ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990 memberikan rekomendasi dan kesepakatan untuk mendirikan Bank Syari’ah yang bebas bunga. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang menginginkan bank bebas bunga, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru, yakni Undang- Undang No. 7 tahun 1992 tetang perbankan. Undang-undang ini secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil. Setelah itu, berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1992 (27 Syawal 1412 H), yang merupakan Bank Islam pertama beroperasi di Indonesia. Pembentukan BMI ini diikuti oleh berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Namun lembaga ini masih sulit menjangkau masyarakat lapisan bawah secara langsung. Oleh karena itu dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Bait al Maal wa Tamwil (BMT) atau Bait al Qiradh menurut masyarakat Aceh (Nasution 2008).

Saat ini keberadaan Bank Syari’ah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang yaitu UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara sebagai pengganti UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah. Sampai akhir September 2009, terdapat setidaknya 5 institusi Bank Umum Syari’ah (BUS) di Indonesia yaitu Bank Muamalat, Bank Syari’ah Mandiri, Bank Syari’ah Mega, Bank BRI Syari’ah dan Bank Syari’ah Bukopin. Sementara bank umum yang telah memiliki Unit Usaha Syari’ah (UUS) ada 24 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia ’46 (Persero) dan Bank Danamon (Persero). Sistem syari’ah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 137 BPR Syari’ah. Sedangkan total aset

(7)

perbankan syari’ah (BUS dan UUS) periode September 2009 sebesar 58.03 triliun rupiah ( BI 2009c).

2.3 Perbedaan Perbankan Konvensional dan Perbankan Syari’ah

Bank Islam di Indonesia lebih populer disebut dengan istilah Bank Syari’ah. Pengertian Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam atau bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits. Pengertian syari’ah secara harfiah adalah jalan Allah SWT seperti yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As Sunnah/Hadits.

Prinsip-prinsip syari’ah Islam di dalam penelitian ini adalah prinsip-prinsip atau ketentuan mengenai hukum muamalat. Dalam ketentuan hukum muamalat, prinsip utama dalam kegiatan muamalat/ekonomi dan dalam sistem perbankan Islam adalah menghindarkan diri dan menjauhkan diri dari unsur-unsur riba dengan menggantinya dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Quran (BI 2007): Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (Ali ‘Imran [3]: 130). Larangan tersebut juga diperkuat dengan ayat lain dalam Al- Quran (BI 2007): Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al- Baqoroh [2]: 275). Selain itu pengharaman riba juga diperkuat oleh Hadits Nabi Muhammad SAW (BI 2007): Dari Jabir r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim). Selain itu keempat agama terbesar di dunia, Budha, Kristen, Islam dan Hindu juga telah melarang riba yang telah melekat pada sistem keungan dunia lebih dari 2000 tahun yang lalu (Chapra 2007).

(8)

Tabel 1 Perbedaan konsep sistem perbankan dan konsep imbalan antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional

Bank Syari’ah Bank Konvensional

(1) (2)

v Berdasarkan margin keuntungan v Memakai perangkat bunga dan atau bagi hasil

v Profit dan falah oriented v Profit oriented

v Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan

v Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur – kreditur

v Users of real funds v Creator of money suplly

v Melakukan investasi – investasi yang halal saja

v Investasi yang halal dan haram

v Pengerahan dan penyaluran dana harus sesuai dengan syari’ah Islam yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’ah.

v Tidak terdapat Dewan Pengawas Syari’ah atau sejenisnya

v Imbalan berupa bagi hasil (profit sharing)

v Imbalan berupa bunga (interest)

v Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

v Penentuan bunga dibuat pada waktu akad tanpa berpedoman pada untung rugi.

v Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

v Besarnya persentase bunga berdasarkan pada jumlah uang yang dipinjamkan.

v Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Sekiranya tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

v Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.

v Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

v Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang ”booming”

v Tidak ada yang meragukan keabsahan keuntungan bagi hasil.

v Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.

(9)

Riba secara bahasa berarti al-ziyadah yang berarti tambahan. Sedangkan menurut istilahnya, riba dalam pandangan Manan (2008) dalam bukunya ”Teori dan Praktek Ekonomi Islam” adalah perpanjangan batas waktu dengan penambahan jumlah pinjaman uang, sehingga pada akhir jangka waktu peminjaman, si peminjam akan mengembalikan kepada orang yang meminjamkan sejumlah dua kali lipat atau lebih dari jumlah pokok yang dipinjamkannya. Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang perjanjikan sebelumnya. Dan hal inilah yang disebut riba nasi’ah yakni riba menurut ketetapan Al-Quran dan As Sunnah/Hadits (BI 2007).

Perbedaan mendasar antara Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional secara umum terletak pada dua konsep yaitu konsep sistem perbankan dan konsep imbalan. Perbedaan konsep sistem dan konsep imbalan antara Bank Syari’ah dan Bank Konvensional dapat dilihat dalam Tabel 1. Berdasarkan perbedaan prinsip-prinsip tersebut, dimungkinkan terjadi perbedaan kinerja keuangan antara perbankan syari’ah dan konvensional di Indonesia sebelum dan di saat krisis finansial global berlangsung.

2.4 Investasi dan Industri Perbankan Nasional

Tabungan dan investasi merupakan dua indikator yang dapat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang (developing countries) termasuk di dalamnya upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memerlukan dana yang cukup besar. Oleh karena itu, pemerintah di setiap negara akan melakukan berbagai usaha agar mampu mengumpulkan dana yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan di negara tersebut. Di Indonesia, untuk membiayai pembangunan nasional yang mencakup investasi domestik, dana yang digunakan bersumber dari tabungan nasional dan pinjaman luar negeri. Namun, karena terbatasnya jumlah dana serta pinjaman yang diperoleh dari luar negeri, maka diperlukan tabungan nasional yang lebih tinggi sebagai sumber dana yang utama.

(10)

Sumber: Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Gambar 1 Perkembangan proporsi pembiayaan dalam APBN.

Perlunya peningkatan tabungan nasional ini dibuktikan dengan adanya

saving-investment gap yang semakin melebar dari tahun ke tahun yang

menandakan bahwa pertumbuhan investasi domestik melebihi kemampuan dalam mengakumulasi tabungan nasional, sebagai sumber dananya. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan proporsi pembiayaan (penyeimbang untuk menutupi defisit dalam APBN) yang bersumber dari Bank yang semakin turun dari waktu kewaktu, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1. Secara umum, usaha pengerahan modal dari masyarakat (tabungan) dapat berupa pengerahan modal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pengklasifikasian ini didasarkan pada sumber modal yang dapat digunakan dalam pembangunan. Pengerahan modal yang bersumber dari dalam negeri berasal dari tiga sumber utama (Sukirno 1985) yaitu: tabungan sukarela masyarakat, tabungan pemerintah, dan ketiga tabungan paksa (forced saving or involuntary saving). Sedangkan modal yang berasal dari luar negeri diperoleh melalui pinjaman resmi pemerintah kepada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), World Bank, maupun pinjaman resmi bilateral dan multilateral, juga melalui foreign direct investment (FDI).

Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi saving-investment gap adalah meningkatkan tabungan dan investasi masyarakat melalui sektor perbankan syari’ah. Hal ini dilakukan sebab jumlah investasi masyarakat

0% 20% 40% 60% 80% 100% 2005 2006 2007 2008 2009 Persen

(11)

dalam bentuk tabungan yang dikumpulkan oleh perbankan konvensional belum mampu memenuhi besaran dana yang diperlukan pemerintah, meskipun perbankan konvensional menguasai lebih dari 95% pangsa pasar industri perbankan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan masih digunakannya instrumen pos pinjaman luar negeri untuk menutupi defisit anggaran pemerintah, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perbankan konvensional tidak mampu memenuhi kebutuhan pinjaman pemerintah dalam menutupi defisit anggaran, meskipun mampu mengumpulkan investasi masyarakat dalam bentuk tabungan. Diantaranya adalah perbankan konvensional menyebabkan terjadinya bubble growth dan adanya keraguan masyarakat terhadap bunga bank.

2.4.1 Perbankan Konvensional Menyebabkan Terjadinya Bubble Growth Kruggman (1999) menyatakan bahwa saat ini terjadi pertumbuhan “tidak nyata” (bubble growth) karena sektor finansial tumbuh tidak proporsional dibandingkan sektor riil. Hal ini disebabkan perbankan konvensional cendrung menginvestasikan tabungan nasabah pada sektor finansial seperti perdagangan saham dan valuta asing. Sedangkan sektor riil cendrung ditinggalkan.

Yusanto (2009) mengatakan, perbankan konvensional turut menyebabkan Bubble Growth sebab:

1 Penerapan sistembunga (riba)

Perbankan konvensional memperlakukan uang tidak lagi sebagai alat tukar saja namun menjadikan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dalam setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang. Akibatnya, peningkatan nilai mata uang (yang disebabkan adanya bunga) tidak diimbangi dengan peningkatan sektor riil yang menghasilkan barang dan jasa.

2 Melakukan spekulasi (judi)

Berkembangnya kegiatan ekonomi judi (maysir) dan penuh spekulasi (gharar) seperti dalam perdagangan saham dan produk keuangan derivatif. Sehingga masyarakat cendrung meninggalkan sektor riil dan menggunakan dana yang

(12)

dimilikinya untuk mencari keuntungan dengan melakukan investasi forto folio (membeli saham atau obligasi).

3 Adanya persoalan mata uang

Penggunaan uang kertas dan nilai mata uang suatu negara terikat dengan negara lain, tidak pada dirinya sendiri (nilai nominalnya tidak sama dengan nilai intrinsiknya), sehingga nilainya tidak pernah stabil. Akibatnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara yang disebabkan oleh menguatnya nilai tukar mata uang negara tersebut, dapat langsung terhapus dengan turunnya nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap negara lain.

2.4.2 Adanya Keraguan Masyarakat terhadap Bunga Bank

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2004 menyatakan bunga bank haram bagi para pemeluk agama Islam. Hal ini tentu saja menyebabkan turunnya minat masyarakat untuk menabung di Bank Konvensional, sebab mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sehingga masyarakat mengalihkan bentuk tabungannya ke dalam bentuk lain yakni dalam bentuk mas atau logam mulia lainnya, rumah, kendaraan atau barang konsumsi lainnya yang kurang produktif (BI 2007).

Kedua hal tersebut (bubble growth dan riba) menyebabkan kurangnya minat masyarakat untuk menabung di Bank Konvensional. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan perbankan konvensional tidak mampu memenuhi kebutuhan pinjaman pemerintah. Oleh karena itu pemerintah sangat berharap bahwa dengan kehadiran perbankan syari’ah di Indonesia dapat memberikan solusi bagi kedua permasalahan tersebut.

2.5 Teori- Teori Investasi

Kehadiran perbankan syari’ah di Indonesia tidak menjamin peningkatan investasi masyarakat dalam bentuk tabungan. Sebab ada banyak faktor yang akan memengaruhi keputusan seseorang untuk berinvestasi. Ada beberapa teori mengenai faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam berinvestasi. Diantaranya adalah teori the accelerator hypothesis of investment dan teori net present value.

(13)

2.5.1 Teori The Accelerator Hypothesis of Investment

Teori the accelerator hypothesis of investment menyatakan bahwa tingkat investasi neto (net investment) tergantung kepada perubahan ekspektasi output. Langkah pertama dalam hipotesis ini adalah mengukur penjualan yang diharapkan (expected sales) atau Yte yang diestimasi berdasarkan revisi penjualan tahun sebelumnya (Yt-1e) oleh suatu proporsi (j) terhadap perbedaan antara penjualan tahun sebelumnya (Yt-1) dan hasil penjualan yang diharapkan (Yt-1e), sehingga didapat persamaan: Yt e = Yt-1 e +j (Yt-1 - Yt-1 e ) = j Yt-1 + (1-j) Yt-1e ……….. (2.1)

Langkah selanjutnya adalah asumsi dari teori ini bahwa persediaan modal, yaitu bangunan dan perlengkapan, yang dibutuhkan perusahaan (Kt*) adalah perkalian antara keinginan perusahaan untuk meningkatkan persediaan modalnya (?t*) dengan ekspektasi penjualannya (Yte):

Kt* = ?t*. (Yte) ……….. (2.2)

Investasi neto adalah perubahan pada persediaan modal (? K) yang terjadi setiap periode:

In = ?K = Kt* – Kt-1* ……….. (2.3)

Asumsi lain adalah bahwa perusahaan berkeinginann untuk meningkatkan persediaan modalnya dalam jumlah yang sama setiap periode:

In = Kt* – Kt-1*

= ?* (Yte - Yt-1e) = ?*. ? Ye ……….. (2.4) Jadi, jika terjadi akselerasi usaha dalam perusahaan dan ekspektasi output meningkat, investasi neto pun akan meningkat, tetapi jika akselerasinya negatif dan ekspektasi output menurun, investasi pun menurun (Gordon 2008).

2.5.2 Teori Net Present Value

Dornbusch (2004) menyebutkan beberapa hal yang menjadi pertimbangan seseorang dalam berinvestasi yakni:

1 Nilai Depresiasi

Yaitu besarnya penurunan nilai barang modal (capital) yang dijadikan barang investasi.

(14)

2 Net present value dari ekspektasi keuntungan

Ekspektasi present value adalah nilai discount dari ekspektasi keuntungan tahun depan ditambah dengan nilai discount dari ekspektasi keuntungan dua tahun ke depan (dengan memperhitungkan depresiasi mesin), dan seterusnya. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

. . . (2.5) Keterangan:

V(Yte) = Ekspektasi present value

Yt+1, Yt+2, = Nilai keuntungan pada tahun pertama dan kedua rt , rt+1 = Nilai bunga (interest) pada tahun pertama dan kedua

d = Tingkat depresiasi

3 Resiko yang kecil

Resiko dan keuntungan (profit) dalam dunia keuangan dan perbankan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Semakin besar resiko yang dihadapi biasanya diikuti dengan besarnya keuntungan yang akan dicapai. Hal ini tentu saja menjadi perhatian tersendiri bagi orang yang ingin berinvestasi.

Selain ketiga faktor di atas, Dornbusch (2004) mengatakan masih ada beberapa faktor lain yang menjadi pertimbangan nasabah untuk menabung yakni jumlah tabungan yang dijamin pemerintah, kesehatan industri perbankan, nilai inflasi dan lain-lain.

2.6 Analisis Investasi Industri Perbankan

Berdasarkan uraian di atas, perlu diadakan beberapa analisis untuk mengetahui kemampuan perbankan syari’ah dalam menjawab tuntutan nasabah dalam berinvestasi. Sarker (1999) menyebutkan beberapa analisis yang perlu dilakukan untuk menjawab tuntutan tersebut, dua diantaranya adalah investment opportunity utilization test dan test of elasticity in financing/loan.

( )

(

)(

)(

1

)

....

1

1

1

1

1

2 1 1

+

+

+

+

+

+

=

+ + + te t t e t t e t

Y

r

r

Y

r

Y

V

δ

(15)

2.6.1 Investment Opportunity Utilization Test

Investment opportunity utilization adalah sebuah rasio yang menunjukkan perbandingan antara jumlah uang nasabah yang berhasil dikumpulkan oleh industri perbankan dibagi dengan jumlah dana yang telah berhasil diinvestasikan oleh industri perbankan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut (Sarker 1999):

? = ? .……….. (2.6)

µ Keterangan:

? = Investment opportunity utilization ? = Jumlah dana yang telah diinvestasikan

µ = Jumlah dana nasabah yang berhasil dikumpulkan

Sarker (1999) menyatakan bahwa nilai investment opportunity utilization sebuah bank baik jika nilai ? = 1. Artinya semua dana nasabah berhasil diinvestasikan oleh pihak bank yang pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan (profitibilitas) bagi pihak bank maupun nasabah.

Investment opportunity utilization test untuk kedua sistem perbankan (syari’ah dan konvensional) dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat model ekonometrika terhadap variabel return on equity (ROE) sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Dipilihnya variabel ROE sebagai variabel tak bebas dalam model karena nilai ROE mampu mencerminkan efisiensi dan efektivitas industri perbankan dalam mendapatkan laba bersih berdasarkan modal yang tersedia (Nachrowi dan Usman 2006). Sedangkan variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel inflasi, FDR (financing deposit ratio) atau LDR (loan deposit ratio), dan variabel boneka (dummy variable).

Variabel inflasi dipilih sebagai salah satu variabel bebas dalam model sebab inflasi merupakan salah satu variabel makro ekonomi yang mampu memengaruhi distribusi pendapatan disemua sektor ekonomi, termasuk industri perbankan (Blanchard 2006). Variabel FDR atau LDR dipilih sebagai variabel tak bebas dalam model karena kedua variabel ini selain mencerminkan tingkat likuiditas perbankan juga merupakan salah satu perangkat untuk menghasilkan pendapatan (income) bagi industri perbankan (Samad dan Hassan 1999). Sedangkan dummy

(16)

variable digunakan untuk melihat ada tidaknya pengaruh krisis ekonomi terhadap pendapatan industri perbankan.

Model ekonometrika yang digunakan adalah model ARCH atau autoregressive conditional heterocedasticity. Pada model ARCH, tidak hanya nilai variabel bebas (dependent variable) yang dipengaruhi oleh variabel intersep dan variabel-variabel bebas (independent variables) lainnya, akan tetapi nilai varian eror persamaan juga dipengaruhi oleh variabel-variabel tersebut. Dimana variabel bebas menggambarkan keuntungan (profit) dan variabel eror menggambarkan resiko (risk). Sehingga model ARCH sangat cocok digunakan dalam menganalisis fluktuasi keuntungan (profit) dan resiko (risk) yang terjadi di sektor keuangan (Firdaus 2006). Selanjutnya output atau hasil dari model ARCH pada investment opportunity utilization test akan mampu menunjukkan investasi mana yang lebih baik bagi seorang nasabah, apakah menabung di Bank Syari’ah atau Bank Konvensional.

2.6.2 Test of Elasticity in Financing/Loan

Industri perbankan pada prinsipnya mempunyai dua fungsi pokok yakni mengumpulkan dan menyalurkan dana masyarakat. Berdasarkan teori elastisitas, semakin besar dana yang dikumpulkan pihak bank dari masyarakat, maka semakin besar pula dana yang disalurkan pihak bank kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan (financing) atau pinjaman (loan). Test of elasticity in financing/loan digunakan untuk membandingkan elastisitas kedua industri perbankan (konvensional dan syari’ah) dalam mengumpulkan dan menyalurkan kembali dana masyarakat.

Test of elasticity in financing/loan dilakukan dengan membuat fungsi regresi linier sederhana antara nilai pembiayaan (financing) perbankan syari’ah dan pinjaman (loan) pada perbankan konvensional sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) terhadap nilai aktiva bank sebagai variabel bebas atau independent variable (Sarker 1999). Variabel-variabel tersebut telah dikonversi ke dalam bentuk logaritma sebelum diregresikan. Setelah kedua model didapat, lakukan uji nilai koefisien kedua persamaan tersebut untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan yang signifikan atau tidak.

(17)

2.6.3 Risk and Solvency Ratios Test

Samad dan Hassan (1999) mengunakan tes ini untuk mengetahui apakah sebuah bank mampu memenuhi kewajibannya (solvent) atau tidak. Sebuah bank dikatakan solvent bila aset yang dimiliki lebih besar dari kewajiban bank tersebut. Jika tidak, maka bank tersebut dikatakan bangkrut (insolvent) dan investasi pada bank tersebut sangat beresiko. Sebagaimana telah diuraikan di atas, resiko (risk) dan keuntungan (profit) dalam dunia keuangan dan perbankan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Semakin besar resiko yang dihadapi biasanya diikuti dengan besarnya keuntungan yang akan dicapai. Resiko dan keuntungan juga merupakan faktor yang sangat memengaruhi keputusan seseorang untuk berinvestasi. Semakin besar resiko, biasanya akan membuat seseorang semakin enggan untuk berinvestasi.

Besaran resiko dalam industri perbankan dapat dilihat dari nilai capital adequacy ratio (CAR). Perbankan syari’ah sebagai alternatif baru bagi masyarakat untuk berinvestasi, harus mampu memberikan resiko yang lebih kecil atau setidaknya sama dengan kemungkinan resiko yang diberikan perbankan konvensional. Oleh karena itu analisis nilai CAR pada kedua industri perbankan perlu dilakukan untuk memberikan perbandingan resiko yang dihadapi oleh masyarakat yang ingin menabung atau berinvestasi di kedua jenis perbankan tersebut.

Risk and solvency ratios test seharusnya dilakukan dengan membuat model ARCH pada nilai CAR kedua industri perbankan tersebut. Namun karena data nilai CAR perbankan syari’ah tidak tersedia, maka variabel tak bebas (dependent variable) yang akan dibuatkan model ARCH nya adalah nilai debt to total asset ratio (DTAR). Sebab selain CAR, ukuran yang umum digunakan untuk mengukur rasio risk and solvency adalah nilai DTAR. Sedangkan variabel bebas (independent variable) yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel inflasi, varibel income expense ratio (IER), financing deposit ratio (FDR) atau loan deposit ratio (LDR), dan variabel boneka (dummy variable).

IER merupakan indikator efisiensi biaya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi IER semakin tinggi efisiensi biaya untuk menghasilkan pendapatan, yang berarti pula semakin tinggi kinerja keuangan bank tersebut.

(18)

Semakin tinggi kinerja keuangan industri perbankan, maka kemampuannya untuk memenuhi semua kewajibannya juga akan semakin meningkat (Samad dan Hassan 1999). Variabel FDR dan LDR dipilih sebab kedua variabel ini mampu mencerminkan resiko likuiditas industri perbankan. Semakin kecil FDR/LDR semakin baik likuiditas bank tersebut. Sedangkan alasan memilih variabel inflasi dan dummy variable sebagai bagian dari variabel bebas dalam model adalah untuk melihat pengaruh variabel makro dan krisis ekonomi terhadap kinerja keuangan industri perbankan.

Risk and solvency ratios test dilakukan dengan membandingkan nilai

koefisien kedua model ARCH yang terbentuk. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan yang signifikan pada kedua model industri perbankan tersebut. Sehingga hasilnya diharapkan akan mampu menunjukkan investasi mana yang lebih beresiko bagi seorang nasabah, apakah berinvestasi diperbankan syari’ah atau berinvestasi diperbankan konvensional.

Selain mampu menjawab tuntutan investasi, perbankan syari’ah juga diharapkan mampu menjawab tantangan krisis ekonomi yang tidak mampu dijawab oleh perbankan konvensional. Ketidakmampuan ini diisyaratkan dengan adanya keinginan untuk mengganti sistem ekonomi dan moneter yang ada pada saat ini sebagaimana yang dijelaskan pada subbab latar belakang. Oleh karena itu diperlukan sebuah analisis yang akan membandingkan kinerja keuangan perbankan syari’ah dan kinerja keuangan perbankan konvensional sebelum dan di saat krisis.

2.7 Tinjauan Teori Kinerja Keuangan Perbankan

Juanda (2009b) menyatakan bahwa definisi suatu konsep mungkin membutuhkan deskripsi bagaimana mengukur konsepnya, dan kadangkala ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengukur suatu konsep. Hal ini dilakukan sebab tidak semua konsep dapat diukur dengan jelas. Konsep yang jelas seperti umur, jenis kelamin, dan jumlah anak dapat diukur secara langsung. Namun konsep keberhasilan pembangunan, motivasi karyawan, dan loyalitas tidak dapat diukur secara langsung, sehingga perlu dibuatkan sebuah konsep operasional supaya dapat diukur.

(19)

Kinerja merupakan sebuah konsep yang sulit, baik dalam bentuk definisi maupun dalam pengukuran. Kinerja didefinisikan sebagai hasil akhir dari aktiv itas, dan ukuran yang tepat untuk menilai kinerja sebuah perusahaan bergantung pada sistem organisasi yang dievaluasi dan sasaran yang ingin dicapai melalui evaluasi itu (Hunger dan Wheelen 1997). Dengan demikian kinerja keuangan perbankan dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dari aktivitas keuangan perbankan tersebut dalam kurun waktu tertentu.

Haron (1996) menggunakan tiga indikator untuk mengukur kinerja keuangan Bank Islam, yaitu total pendapatan yang diterima oleh bank (total income per total asset atau TITA), total pendapatan pertotal asset (bank income per total asset atau BITA), dan net profit before tax (NPBT). Sarker (1999) menggunakan banking efficiency model untuk mengevaluasi kinerja keuangan Bank Syari’ah di Bangladesh. Banking efficiency model menggunakan lima kriteria tes untuk mengukur efisiensi sistem perbankan Islam. Kelima kriteria tes tersebut adalah:

1 Investment opportunity utilization test. 2 Profit maximisation test.

3 Project efficacy test.

4 Loan recovery test.

5 Test of elasticity in financing/loan.

Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No. 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang beber apa kriteria yang dapat dijadikan indikator kinerja keuangan perbankan, yakni rasio profitabilit as dan rasio liquiditas.

2.7.1 Rasio Profitabilitas

Rasio Profitabilitas diukur dengan menggunakan empat kriteria, yakni return on asset (ROA), return of equity (ROE), income expense ratio (IER) dan net interest margin (NIM) untuk perbankan konvensional atau non net interest margin (NNIM) untuk perbankan syari’ah. ROA dan ROE merupakan indikator pengukuran efisiensi manajerial (Samad 2004). ROA merupakan pendapatan bersih per unit asset. ROA menunjukkan bagaimana sebuah bank dapat melakukan konversi aset menjadi pendapatan bersih. Semakin tinggi rasio ROA

(20)

semakin baik kinerja keuangan bank tersebut. Demikian halnya, ROE merupakan pendapatan bersih per unit equity kapital. ROE dihitung dalam bentuk persentase, sama dengan ROA. Semakin tinggi rasio ROE semakin baik kinerja keuangan manajerial bank tersebut dalam menginvestasikan nilai kapital yang dimilikinya (http://www.maxi-pedia.com).

IER merupakan indikator efisiensi biaya dalam menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi IER semakin tinggi efisiensi biaya untuk mendapatkan income (pendapatan), yang berarti pula semakin tinggi kinerja keuangan bank tersebut (Samad dan Hassan 1999). Indikator lainnya yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank menghasilkan pendapatan adalah net interest margin (NIM) untuk perbankan konvensional dan non net interest margin (NNIM) untuk perbankan syari’ah. Seperti halnya IER, nilai NIM dan NNIM, akan semakin baik jika nilainya semakin tinggi. Sebab semakin tinggi nilainya semakin baik pula kinerja keuangan bank tersebut.

2.7.2 Rasio Liquiditas

Bank dan lembaga keuangan sebenarnya berbagi resiko likuiditas. Hal ini disebabkan karena transaksi deposito dan tabungan dapat dilakukan setiap saat. Dengan demikian pendeknya waktu antara penyetoran dan penarikan oleh nasabah, dapat menyebabkan masalah likuiditas pada bank dan lembaga keuangan (Samad dan Hassan 1999). Kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur likuiditas bank dan lembaga keuangan adalah financing deposit ratio (FDR) untuk Bank Syari’ah dan loan deposit ratio (LDR) untuk Bank Konvensional. Semakin tinggi nilai FDR/LDR suatu bank, mengindikasikan bahwa bank tersebut lebih menekankan penggunaan keuangannya pada pembuatan pembiayaan atau utang daripada disimpan dalam bentuk tunai (cash). Semakin kecil FDR/LDR semakin baik likuiditas bank tersebut.

Menurut Samad dan Hassan (1999), dua indikator lain yang dapat dipakai untuk mengukur kinerja keuangan sebuah bank adalah risk and solvency ratio dan commitment to community.

(21)

2.7.3 Risk and Solvency Ratios

Sebuah bank dikatakan mampu membayar utangnya (solvent) jika total nilai asetnya lebih besar dari kewajibannya atau liabilitas-nya. Bank menjadi beresiko bila tidak mampu membayar utang. Ukuran yang umum digunakan untuk mengkur rasio risk and solvency adalah capital adequacy ratio (CAR), debt to total asset ratio (DTAR) dan non performing financing (NPF) untuk Bank Syari’ah atau non performing loan (NPL) untuk Bank Konvensional.

CAR yang tinggi mengindikasikan bahwa bank tersebut mempunyai aset yang likuid dalam jangka panjang. Bank Indonesia memberikan ketentuan minimal CAR 8%. Nilai DTAR menunjukkan kemampuan keuangan sebuah bank untuk membayar utangnya kepada pemberi utang. Semakin tinggi nilai DTAR semakin tinggi kemampuan suatu bank untuk melibatkan diri dalam resiko bisnis. Sedangkan nilai NPF/NPL menunjukkan kualitas pembayaran (collectibility) pembiayaan atau kredit yang kurang lancar, diragukan dan yang macet. Semakin tinggi nilai NPF/NPL berarti semakin tinggi pula tingkat resiko yang harus ditanggung oleh bank tersebut.

Kriteria indikator kinerja keuangan perbankan yang terakhir adalah kriteria Commitment to Community. Kriteria ini dipakai untuk mengukur komitmen bank terhadap masyarakat. Variabel yang digunakan adalah financing to total asset ratio (FTA ratio) untuk Bank Syari’ah dan credit to total asset ratio (CTA ratio) untuk Bank Konvensional. Semakin besar persentase FTA/ CT A sebuah bank, maka semakin besar pula komitmen bank tersebut terhadap pengembangan masyarakat (commitment to community development).

2.8 Penelitian Terdahulu

Suyanto (2005) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan perbankan konvensional, perbankan Islam (perbankan syari’ah) dan perbankan asing di Indonesia. Data yang dipergunakan adalah data 2000-2004 yang bersumber dari publikasi Bank Indonesia. Sedangkan metode analisis yang dipergunakan adalah analisis perbedaan nilai rata-rata dua populasi. Kriteria kinerja keuangan yang dibandingkan adalah rasio profitabilitas, rasio liquiditas, rasio resiko dan

(22)

kemampuan (risk and solvency ratios) dan komitmen terhadap masyarakat (commitment to community). Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

1 Bank Islam lebih efisien dalam biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum. Namun tidak lebih efisien bila dibandingkan dengan Bank Asing.

2 Margin pendapatan Bank Islam tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Asing. Namun lebih baik dibandingkan dengan Bank Umum.

3 Pada kategori likuiditas, Bank Islam kurang likuid dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.

4 Bank Islam mempunyai kecukupan modal lebih baik daripada Bank Asing, tetapi CAR Bank Islam tidak berbeda secara signifikan dengan CAR Bank Persero dan Bank Umum.

5 Pada kategori risk and solvency ratio, tidak ada perbedaan yang signifikan pada “kemampuan keuangan untuk membayar kepada pemberi utang” dari seluruh bank begitu pula pada resiko kemacetan utang. Hanya saja Bank Islam mempunyai resiko kemacetan lebih kecil bila dibandingkan dengan Bank Asing.

6 Pada kategori commitment to community, Bank Islam lebih berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.

Rashid (2007) melakukan penelitan terhadap kinerja keuangan perbankan Islam (Meezan Bank) di Pakistan untuk dibandingkan dengan perbankan konvensional (secara umum) di negara tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahun 1999 sampai 2006 dan berasal dari laporan tahunan bank-bank tersebut. Metode peneltian yang dipergunakan adalah perbandingan nilai rata (mean), yang melibatkan nilai standard deviation, T-test dan F-test dalam pengujiannya. Kriteria kinerja keuangan yang dibandingkan meliputi empat hal yakni rasio profitabilit as, rasio liquiditas, rasio resiko dan kemampuan (risk and solvency ratios) dan komitmen terhadap masyarakat (commitment to community). Hasil penelitian menemukan bahwa perbankan konvensional lebih mampu menghasilkan keuntungan dibandingkan perbankan syari’ah. Hal ini mungkin

(23)

disebabkan produk utama perbankan Islam yakni mudharabah dan musharakah belum populer di Pakistan.

Cihák and Hesse (2008) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan industri perbankan komersial atau konvensional dan perbankan syari’ah (perbankan Islam) di seluruh dunia. Data yang digunakan berasal dari 20 negara yang terdiri dari 77 perbankan Islam (520 observasi) dan 379 perbankan komersial (3 428 observasi). Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis regresi. Hasil penelitian tersebut antara lain :

1 Kemampuan finansial Bank Islam kecil (small Islamic Banks) lebih baik daripada kemampuan finansial bank komersial kecil (small commercial banks) 2 Kemampuan finansial bank komersial besar (large commercial banks) lebih

baik daripada kemampuan finansial Bank Islam besar (large Islamic Banks). 3 Kemampuan finansial Bank Islam kecil (small Islamic Banks) lebih baik

daripada kemampuan finansial Bank Islam besar (large Islamic Banks). Hal ini mungkin mencerminkan tantangan manajemen resiko kredit yang lebih besar yang dihadapi oleh Bank Islam besar (large Islamic Banks).

Danesh (2007) melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan perbankan syari’ah dan konvensional yang berada di bawah naungan Gulf Cooperation Council (GCC) yang meliputi Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab. Jumlah bank yang dijadikan sampel sebanyak 50 bank yang terdiri dari 12 Bank Syari’ah atau Bank Islam dan 38 Bank Konvensional. Metode analisis yang digunakan adalah analisis DEA (data envelopment enalysis) dan analisis regresi. Sedangkan data yang digunakan adalah data dari tahun 2000 sampai 2006.

Hasil penelitian, baik dengan menggunakan analisis DEA maupun analisis regresi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara efisiensi kinerja keuangan perbankan syari’ah dan konvensional. Hanya saja, berdasarkan data tahun 2006, perbankan syari’ah relatif lebih efisien dibandingkan perbankan konvensional. Meskipun demikian, seluruh bank (baik perbankan syari’ah maupun perbankan konvensional) dinyatakan telah bekerja dengan efisien.

(24)

2.9 Teori Model Ekonometrika yang Digunakan

Dalam penelitian ini ada beberapa model ekonometrika yang digunakan. Berikut bahasan ringkas tentang teori model-model ekonometrika tersebut. 2.9.1 Model ARCH

Variabel atau besaran dalam bidang ekonomi biasanya dapat dimodelkan dalam sebuah persamaan ekonometrika, baik dalam persamaan tunggal maupun persamaan simultan. Namun besaran resiko pada variabel yang diukur (dependent variable) biasanya tidak dimasukkan ke dalam model dalam bentuk variabel tersendiri (independent variable). Besarnya resiko dalam sebuah model di tunjukkan dengan besaran variabel eror (residual) yang akan menyertai setiap model ekonometrika.

Besaran variabel eror dalam sebuah model ekonometrika biasanya diasumsikan stasioner sepanjang waktu [dengan rata-rata = E(et) = 0 dan varian = var (et) = s2]. Namun pada kenyataannya besaran variabel eror tidak selalu stasioner sejalan dengan perubahan waktu. Meskipun nilai dugaan rata-ratanya tetap 0 [E(et) = 0] namun simpangan bakunya mengalami fluktuasi [var (et) ? var (ei) untuk t ? i]. Adanya fluktuasi pada besaran variabel eror, maka secara tidak langsung menunjukkan adanya perubahan besaran resiko pada variabel sejalan dengan perubahan waktu.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam mengukur keuntungan dan resiko dalam berinvestasi pada industri perbankan nasional adalah kurang tepat bila yang diukur hanya besaran absolutnya saja. Sebab selain besaran absolut, perlu juga diperhitungkan tingkat fluktuasi (volatility) dari keuntungan (profit) dan resiko (risk) yang harus ditanggung industri perbankan.

Tingkat fluktuasi keuntungan (profit) dan resiko (risk) yang harus ditanggung industri perbankan, diukur dengan menggunakan model

autoregressive conditional heterocedasticity ( ARCH). Hal ini karena model

tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan fluktuasi eror dalam model-model ekonometrika yang dibentuk. Namun sebelum membahas model-model ARCH, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa model ekonometrika untuk data runtun waktu (time series). Model-model tersebut adalah autoregressive (AR), moving

(25)

average (MA), autoregressive-moving average (ARMA) dan autoregressive integrated moving average (ARIMA). Hal ini penting dijelaskan, sebab model-model tersebut yang melatarbelakangi munculnya model-model ARCH.

1 Model autoregressive (AR)

Model AR ini menunjukkan nilai prediksi variabel tak bebas Yt hanya merupakan fungsi linier dari sejumlah nilai Yt sebelumnya. Jika nilai Yt hanya dipengaruhi oleh nilai tersebut pada satu periode sebelumnya (lag 1) maka model tersebut disebut sebagai model autoregressive orde satu atau AR(1), persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

……… (2.7) Adapun bentuk umum model AR adalah sebagai berikut:

……… (2.8) Keterangan:

Yt = Variabel tak bebas Yt-1, Yt-2, Yt-p = Lag dari Y

et = Eror

p = Tingkat AR

Eror pada persamaan (2.8) memiliki sifat: rata-rata nol, varian konstan dan korelasi antar eror adalah nol. Dengan demikian model AR menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel tak bebas Yt merupakan fungsi linier dari nilai Yt sebelumnya.

2 Model moving average (MA)

Model MA ini menunjukkan nilai prediksi variabel tak bebas Yt hanya merupakan fungs i linier dari sejumlah nilai eror periode sebelumnya. Jika nilai Yt hanya dipengaruhi oleh nilai eror pada satu periode sebelumnya maka model tersebut disebut sebagai model MA orde satu atau MA(1), persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

……… (2.9)

Adapun bentuk umum model MA adalah sebagai berikut:

……… (2.10) t t t

a

a

e

a

e

v

Y

=

0

+

1 1

+

2 1

+

t q t q t a a e a e a e v Y = 0 + 1 1+ 2 2+....+ − + t t t

Y

e

Y

=

β

0

+

β

1 1

+

t p t p t t t Y Y Y e Y = β0+β1 −1+β2 −2 +....+β − +

(26)

Keterangan:

et = Variabel tak bebas et-1,et-2, et-q = Lag dari Eror

vt = Eror model

q = Tingkat MA

Dengan demikian model MA menunjukkan bahwa nilai prediksi variabel tak bebas Yt merupakan kombinasi linier dari nilai eror (et) sebelumnya.

3 Model autoregressive-moving average (ARMA)

Perilaku data time series sering kali dapat dijelaskan dengan baik melalui penggabungan model AR dan model MA. Gabungan model ini disebut dengan autoregressive-moving average (ARMA). Jika nilai Yt dipengaruhi oleh nilai Yt orde satu dan eror orde satu maka modelnya menjadi model ARMA (1,1), persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:

……… (2.11) Adapun bentuk umum model ARMA adalah sebagai berikut:

(2.12) Keterangan:

Yt = Variabel tak bebas Yt-1, Yt-2, Yt-p = Lag dari Y

et-1,et-2, et-q = Lag dari eror

vt = Eror model

p = Tingkat AR

q = Tingkat MA

4 Model autoregressive integrated moving average (ARIMA)

Model AR, MA dan ARMA mensyaratkan bahwa data time series yang diamati harus bersifat stasioner. Data dikatakan stasioner jika mempunyai rata-rata, varian dan kovarian yang konstan. Pada kenyataanya data time series sering kali tidak stasioner, tetapi dapat menjadi stasioner pada proses differencing. Data yang menjadi stasioner setelah melalui proses differencing dapat membentuk model ARIMA. Jika data stasioner pada proses differencing d kali dan

t t t t

Y

e

v

Y

=

β

0

+

β

1 1

+

1

+

t q t q t p t p t t t Y Y Y a e a e v Y = β0+β1 −1+β2 −2+....+β − + 1 −1 +....+ − +

(27)

menerapkan ARMA (p,q), maka modelnya disebut ARIMA (p,d,q). dimana p adalah orde AR, d tingkat proses untuk membuat data stasioner dan q merupakan orde MA.

5 Model autoregressive conditional heterocedasticity (ARCH)

Setelah ARIMA berkembang, Engle memperkenalkan model ARCH pada tahun 1982. ARCH adalah singkatan dari autoregressive conditional heterocedasticity. Model ini dikembangkan terutama untuk menjawab persoalan adanya fluktuasi (volatility) pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan. Hal ini disebabkan karena model-model sebelumnya kurang mampu mendekati kondisi aktual akibat adanya fluktuasi. Fluktuasi ini tercermin dalam varian eror yang tidak memenuhi asumsi homokedastisitas (varian eror konstan sepanjang waktu). Bollerslev pada tahun 1986 kemudian mengembangkan model ini menjadi GARCH, yaitu singkatan dari generalized autoregressive conditional heterocedasticity. Dua model ini masih terus dikembangkan pada dekade 1990- an. Di Indonesia dua model ini populer pada saat memasuki era millennium (Firdaus 2006).

Sebagai contoh aplikasi dari ARCH, misalkan diambil penelitian tingkat pengembalian (return) saham sebuah perusahaan. Misalkan Y1, Y2, ... Yt merupakan deret waktu pengamatan return dimana (Yt) adalah sebuah proses yang mengikuti persamaan ARMA (p,q). dalam bentuk persamaan ditulis sebagai berikut:

Yt = ß0+ ß1Yt-1 - ß2Yt-2 - . . . - ßpYt-p + ?1 et-1 + ?2 et-2 . . . + ?q et-q +vt .. (2.13) Atau

Yt - ß0 - ß1Yt-1 - ß2Yt-2 - . . . - ßpYt-p - ?1 et-1 - ?2 et-2 . . . - ?q et-q = vt .. (2.14) Dimana et white noise. Persamaan tersebut dapat ditulis dalam bentuk backshift (ßp B) Yt = (?q B) et. Variabel B adalah operator backshift (lag mundur). Jika variabel q = 0, ARMA (p,q) sama dengan proses AR dengan orde p atau AR (p), yang dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Yt = ß0 + ß1Yt-1 - ß2Yt-2 - . . . - ßpYt-p + et ……….… (2.15) dengan:

(28)

dan

s2, untuk t = t E (et , et) =

0 , untuk selainnya

Proses ini memiliki persamaan varian stasioner jika: 1- ß1Y 1

- . . . - ßpY p

= 0. Sedangkan peramalan linier yang optimal dari Yt untuk proses AR (p) adalah:

Ê (Yt?Yt-1 - Yt-2 - . . .) = ß0 + ß1Yt-1 - ß2Yt-2 - . . . - ßpYt-p ……….. (2.16) Dimana Ê (Yt?Yt-1 - Yt-2 - . . . ) adalah proyeksi linier dari Yt terhadap konstanta (ß0) dan lag Yt sebelumnya (Yt ?Yt-1 - Yt-2 - . . .). Jika rataan bersyarat dari Yt berubah-ubah pada tiap titik waktu mengikuti persamaan di atas dan proses tersebut memiliki peragam yang stasioner, maka rataan tak bersyarat dari Yt adalah konstanta sebagai berikut: E(Yt) = ß0 / (1- ß1 - ß2 - . . . - ßp ). ……….. (2.17)

Hal yang menarik dalam persamaan ini tidak hanya peramalan dari Yt saja, tapi juga peramalan varian. Perubahan dalam varian sangat penting misalnya dalam memahami pasar saham atau pasar keuangan, terutama bagi investor yang menghendaki return yang tertinggi sebagai kompensasi atas resiko aset yang ditanggungnya. Varian yang berubah-ubah pada setiap titik waktu juga mempnyai implikasi terhadap validitas dan efisiensi dalam estimasi parameter (?, ß1, ß2, . . . ßp ). Walaupun persamaan awal di atas berimplikasi bahwa varian bersyarat dari et adalah konstan sebesar s2, namun pada kenyataannya varian bersyarat dari et dapat berubah-ubah terhadap titik waktu. Satu pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan kuadrat dari et adalah nilainya mengikuti proses AR (m) atau e2t = ? + a1 e2t-1 + a2 e2t-2 + . . . + am e2t-m + ?t …………….. (2.18) Peubah ?t adalah proses white noise yang baru, dengan:

E (?t) = 0

dan

?2, untuk t = t E (?t , ?t) =

(29)

Karena et juga merupakan eror dari peramalan Yt, persamaan di atas berimplikasi bahwa proyeksi linier kuadrat eror dari ramalan Yt terhadap m kuadrat eror peramalan sebelumnya adalah sebagai berikut

E (e2t / e2t-1 , e2t-2 , . . .) = ? + a1 e2t-1 + a2 e2t-2 + . . . + am e2t-m ………….. (2.19) Proses white noise et yang memenuhi persamaan di atas dikenal sebagai model autoregressive conditional heterochedastic dengan orde m atau ARCH (m). Proses ini dinotasikan: et ~ ARCH (m).

Persamaan ini sering juga ditulis sebagai berikut: ht = ? + a1 e 2 t-1 + a2 e 2 t-2 + . . . + am e 2 t-m ……….. (2.20) Dimana ht = E (e 2 t / e 2 t-1 , e 2

t-2 , . . .) yang sering disebut sebagai ragam. Proses et ~ ARCH (m) dicirikan oleh e2i = ht . vt dimana vt ~ N (0,1).

2.9.2 Analisis Error Correction Model (ECM)

Beberapa variabel yang tidak stasioner pada level namun stasioner pada tingkat diferensi pertama, besar kemungkinan akan membentuk sebuah sekelompok data yang terkointegrasi. Jika variabel-variabel tersebut terkointegrasi, maka dapat diidentifikasi hubungan jangka panjangnya. Engle dan Granger (1987) dalam Firdaus (2006) mengatakan bahwa sebuah kombinasi linier dari dua atau lebih variabel mungkin bisa stasioner, meskipun secara individual variabel-variabel tersebut tidak stasioner. Jika kombinasi linier ini stasioner maka hubungan linier tersebut bisa disebut sebagai kointegrasi. Dan jika variabel-variabel tersebut membentuk sebuah persamaan, maka persamaan tersebut disebut persamaan kointegrasi (Widarjono 2007).

Persamaan kointegrasi memiliki parameter yang mencerminkan hubungan jangka panjang. Sehingga persamaan ini dapat digunakan untuk mengestimasi model dengan mekanisme koreksi kesalahan. Mekanisme koreksi kesalahan tersebut berguna untuk mencegah kesalahan dalam jangka panjang menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Engel dan Granger (1987) dalam Firdaus (2006) telah membuktikan kebenaran hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa variabel yang terkointegrasi mempunyai kemampuan untuk mengoreksi kesalahan. Sehingga kointegrasi adalah syarat penting untuk mendapatkan error correction model atau

(30)

ECM. Secara umum, model ECM dapat dibentuk apabila data yang digunakan dapat memenuhi beberapa syarat (Widarjono 2007), yaitu:

1 Minimal salah satu dari seluruh variabel, datanya memiliki unit root (bersifat non stasioner).

2 Nilai sisaan dari persamaan level (persamaan regresi untuk jangka panjang) harus bersifat stasioner yang menggambarkan adanya kointegrasi diantara variabel-variabel pembentuknya.

Sebuah data dikatakan bersifat stasioner apabila data tersebut tidak memiliki unit root. Sehingga untuk mengetahui apakah suatu data bersifat stasioner atau tidak, maka perlu dilakukan suatu pengujian kestasioneran (unit root test result). Salah satu tes yang paling sering digunakan untuk menguji kestasioneran suatu data adalah augmented Dickey-Fuller test (ADF test). Selain memeriksa sisaan dari persamaan yang dibentuk, ada cara lain untuk untuk mengetahui apakah dua buah variabel atau lebih terkointegrasi atau tidak, yaitu dengan melakukan uji kointegrasi. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menguji kointegrasi, yakni: (1) uji kointegrasi Engle and Granger (EG), (2) uji cointegrating regression Durbin Watson (CRDW), dan (3) uji Johansen.

Model ECM dalam penelitian ini digunakan apabila model ARCH gagal dibentuk. Misalnya karena sisaan bersifat homokedastisitas, sehingga model ARCH tidak dapat dibentuk. Berikut ini prosedur pembentukan model ECM yang biasa dig unakan:

1 Langkah pertama adalah melakukan pemeriksaan terhadap data variabel yang akan digunakan, apakah bersifat stasioner atau non stasioner

2 Membuat persamaan regresi yang paling sederhana dengan metode ordinary least square (OLS). Misalkan persamaan regresinya adalah (Widarjono 2007):

………... (2.21) Keterangan:

= Nilai estimasi variabel tak bebas pada bulan ke-t = Nilai variabel bebas pada bulan ke-t

et = Nilai eror pada bulan ke-t ß0, ß1 = Nilai koefisien model regresi

t t t X Y) =β0+β1 +ε t

Y

)

t

X

(31)

3 Memeriksa nilai sisaan (et) apakah bersifat stasioner atau tidak. Jika stasioner maka variabel-variabel tersebut terkointegrasi, maka persamaan error correction model (ECM) dapat dibentuk.

4 Membuat persamaan ECM dengan cara membuat persamaan regresi dengan data first different dan menyertakan nilai eror (eror) persamaan awal sebagai salah satu varibel bebasnya, yaitu (Widarjono 2007):

………... (2.22) Keterangan:

= Nilai first different estimasi variabel tak bebas pada bulan ke-t = Nilai first different variabel bebas pada bulan ke-t

et-1 = Nilai eror persamaan level pada bulan ke (t-1) ß0, ß1 = Nilai koefisien model regresi

vt = Nilai eror persamaan first different pada bulan ke-t 2.9.3 Analisis Perubahan Struktural (Structural Break Analysis)

Hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas terkadang mengalami perubahan struktural (structural break atau structural change), yaitu perubahan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas yang disebabkan perubahan waktu, perubahan rezim pemerintahan atau karena perubahan lainnya. Perubahan-perubahan tersebut secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perubahan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas. Sebagai contoh adalah jumlah konsumsi BBM di Amerika Serikat dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1990-an. Misalkan jumlah konsumsi BBM adalah C yang merupakan variabel tidak bebas. Sedangkan variabel bebasnya adalah harga BBM (P) dan pendapatan perkapita (Y). Harga BBM (P) telah mengalami tiga kali mengalami peningkatan harga yang sangat drastis yang sangat memengaruhi pola konsumsi BBM masyarakat, yaitu:

1 Pada tahun 1974. Yaitu pada saat OPEC yang merupakan organisasi kartel minyak dunia terbentuk dan mulai mengontrol harga minyak dunia.

2 Pada tahun 1979. Yaitu pada saat terjadinya revolusi di Iran

3 Pada tahun 1990. Yaitu pada saat Iraq melakukan invasi ke Kuwait. t t t t X Y =β +β∆ +ε +ν ∆ 0 1 1 ) t

Y

)

t

X

(32)

Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan struktural (structural break) adalah Chow test (pertama sekali dikemukakan oleh Gregory Chow pada tahun 1960). Misalkan ingin diuji apakah telah terjadi perubahan struktural (structural break) antara periode t1 dengan periode t2.

Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut (Ramanathan 1998):

1 Data observasi dibagi menjadi 2 kelompok yakni n1 (pengamatan pada periode t1) dan n2 (pengamatan pada per iode t2). Total pengamatan adalah n1 + n2 = n. 2 Untuk masing-masing kelompok membuat persamaan regresi yang akan

menghasilkan k buah koefisien regresi. (ßi1 dan ßi2, dimana i = 1, 2, . . . k). 3 Tentukan nilai error sum square atau sum of squared residual dari kedua

kelompok tersebut yakni ESS1 dan ESS2.

4 Membuat persamaan regresi yang sama dengan menggunakan seluruh data pengamatan (n) dan menghitung nilai error sum square regression atau ESSR. 5 Melakukan Prosedur Chow test sebagai berikut:

a. Menentukan hipotesis.

H0 : ßi1 = ßi2 (tidak terjadi structural break)

H1 : ßi1 ? ßi2 (terjadi structural break)

b. Menentukan nilai F observasi (Fobs) dengan rumus (Ramanathan 1998):

Fobs = (ESSR – ESS1 – ESS2) ÷ k ………... (2.23)

(ESS1 + ESS2) ÷ (n - 2k)

c. Tentukan nilai F tabel dengan derajat bebas (k , n-2k) dan pada tingkat signifikansi a.

d. Tolak H0 jika nilai F observasi lebih besar dari F tabel (Fobs > Ftabel) Uji structural break di atas hanya digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan struktural pada sebuah variabel sejalan dengan perubahan waktu. Namun uji tersebut tidak dapat digunakan untuk mengetahui waktu terjadinya perubahan struktural. Untuk mengetahuinya adalah dengan menggunakan variabel boneka (dummy variable). Dummy variable yang bernilai 1 dan 0 diberikan berdasarkan periode waktu, dimana nilai 1 diberikan pada periode waktu yang dicurigai terjadinya perubahan struktural. Lalu dummy variable dimasukkan dalam sebuah analisis regresi sederhana. Pemasangan nilai dummy variable yang tepat akan menghasilkan nilai koefisien dummy variable yang signifikan. Artinya

(33)

nilai dummy variable yang dipasang telah dengan tepat menunjukkan posisi periode terjadinya perubahan struktural.

2.9.4 Model Regresi Linier Sederhana dengan Metode OLS

Bentuk umum persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut (Juanda 2009a) :

………... (2.24)

Keterangan:

Yi = Variabel tak bebas

a0 = Intersep

ß1, ß2, ß3 , … , ßk = Parameter

X2i, X3i, … , Xki = Variabel-variabel yang bebas

ei = Faktor gangguan (disturbance) yang stokastik

i = 1,2,3…,n

n = Jumlah data sampel atau observasi

Dalam penelitian ini, model regresi linier sederhana yang digunakan dalam bentuk model log linier, agar hasil yang diperoleh akan menunjukkan elastisitas antara variabel tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebasnya (independent variable). Elastisitas adalah suatu besaran yang menjelaskan persentase perubahan variabel tidak bebas akibat perubahan 1% variabel bebasnya (Manurung 2005). Model regresi log linier berganda sederhananya adalah:

………... (2.25) Beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model regresi log linier berganda ini adalah sebagai berikut:

1 Nilai harapan setiap kesalahan pengganggu adalah sama dengan nol. E (ei) = 0, untuk semua i.

2 Normalitas

Regresi linier normal klasik mengasumsikan bahwa tiap ei mengikuti

distribusi normal atau ei≈ Ν(0, s2) 3 Non Multikolinieritas

Tidak terdapat hubungan linier yang kuat, diantara beberapa atau semua i ki k i i i

X

X

X

Y

=

α

0

+

β

1 1

+

β

2 2

+

...

+

β

+

ε

i ki k i i i

LnX

LnX

LnX

LnY

=

α

0

+

β

1 1

+

β

2 2

+

...

+

β

+

ε

(34)

variabel yang menjelaskan dari model regresi

?1 X1 + ?2 X2 + … + ?k Xk + ei = 0, dimana ?1, ?2, … ?k adalah konstanta. 4 Non Autokorelasi

Kesalahan pengganggu yang satu (ei) tidak berkorelasi dengan kesalahan pengganggu yang lainnya (ej) atau E (ei ej) = 0, i ? j

5 Homokedastisitas

Kesalahan pengganggu mempunyai varian yang sama atau Var (ei) = E (ei2) = s2, untuk semua i

Nilai intersep (a0) dan nilai koefisien regresi (ß1, ß2, ß3 , … , ßk) biasanya dicari dengan menggunakan metode ordinary least squares (OLS). Metode OLS biasa dipergunakan sebab nilai eror (ei) yang dihasilkan metode ini adalah yang terkecil dibandingkan metode lain. Namun metode OLS baik digunakan jika asumsi-asumsi model regresi linier berganda di atas dapat dipenuhi.

Persamaan regresi linier sederhana dalam bentuk logaritma yang terdiri dari sebuah variabel tak bebas (Y*) dan sebuah variabel bebas (X*) dapat ditulis sebagai berikut (Manurung 2005):

………... (2.26) Jika Ln Yi* = Yidan Ln Xi* = Xi, maka persamaan regresi linier sederhana di atas menjadi:

………... (2.27) Dengan menggunakan data sampel, nilai intersep (a) dan nilai koefisien regresi (ß) dapat diduga dengan rumus sebagai berikut (Manurung 2005):

……... (2.28) i i i LnX LnY*=α +β *+ε i i i

X

Y

=

α

+

β

+

ε

(

)(

)

(

)

x b y a X X n Y X Yi X n x x y y x X b n i n i i i n i n i n i i i i n i i n i i i − = =       − − = − − − = =

∑ ∑

= = = = = = = α β ) ) 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 n X x n i i

= = 1 n Y y n i i

= = 1

Gambar

Gambar 1 Perkembangan proporsi pembiayaan dalam APBN.
Gambar 2 Kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Masukan dari client yang berupa data teks akan ditangani dan akan disimpan di server dan ditampilkan kembali ke client untuk memberitahukan client bahwa client telah

Tujuan penelitian ini adalah analisis struktur kristal menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA) nanopartikel selulosa kulit

Adanya ikan toman betina yang berada pada TKG IV menandakan bahwa populasi ikan toman di Danau Kelubi akan memasuki masa pemijahan pada bulan Desember. Menurut Makmur

(3) barangsiapa tidak memakai sabuk keselamatan pada waktu duduk di samping pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak memakai helm pada waktu

konotasi pada Mural Anti Iklan, maka pada masing- masing mural terdapat mitos di dalamnya, mitos yang terkandung pada Mural Anti Iklan secara garis besar mencakup pada

Anak yang membutuhkan perlindungan khusus adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder antara lain capital adequacy ratio (CAR), likuiditas (FDR), efisiensi operasional (BOPO) dan profitabilitas

Pertunjukan tayub biasanya dipandu oleh seorang pengarih, tetapi apabila pertunjukan itu melibatkan beberapa orang joged (biasanya lebih dari empat orang joged) maka