• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM PENYELESAIAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN BAGI HASIL OLEH NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG SAMARINDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA HUKUM PENYELESAIAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN BAGI HASIL OLEH NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG SAMARINDA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 6 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

UPAYA HUKUM PENYELESAIAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN

BAGI HASIL OLEH NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT

MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG SAMARINDA

Dedy Setiawan1 (dsetiawan@fhunmul.ac.id)

Emilda Kuspraningrum2 (emilda@fhunmul.ac.id)

Insan Tajali Nur3 (insane.tajali@yahoo.com) Abstrak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perbankan Syariah, mudharabah merupakan perjanjian kredit bagi hasil antara pihak bank dengan nasabah dengan prinsip Syariah Islam. Ketika salah salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka dapat dikatakan adanya wanprestasi atau ingkar janji walaupun hanya dikarenakan jatuh tempo tenggak waktu pembayaran. Ada bermacam-macam dalil dari nasabah yang bermasalah namun apapun permasalah yang diselesaikan dengan upaya hukum biasanya diselesaikan dengan cara damai sesuai dengna prinsip syariah, karena Islam sangat mengedepankan perdamaian. Dalam hal upaya dari pihak bank untuk menangani nasabah yang bermasalah dalam perjanjian kredit bagi hasil biasanya bank melakukan upaya preventif atau pencegahan yang dilakukan dengan cara analisis hukum atau sosial dan dan cara penyelamatan dengan segala proses dan metodenya, namun jika upaya pretif tidak dapat berjalan, maka pihak dapat dapat melakukan upaya represif dengan cara penagihan, tetapi tetap sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku yaitu panggilan secara lisan dengan telepon peringatan sebanyak dua (2) kali dan panggilan tertulis dengan surat peringatan atau somasi.

Jika upaya tersebut masih belum efektif juga maka pihak bank dapat melakukan upaya hukum melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non litigasi (di luar pengadilan). Biasanya pihak bank mengupayakan agar penyelesaian hukum tidak sampai ke pengadilan, melainkan melainkan melalui jalur di luar pengadilan yang dapat ditempuh dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pendapat ahli sesuai dengan Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun jika memang tidak memungkinkan untuk menyelesaikan dengan cara-cara pada jalur non litigasi, bank dapat menyelesaikan dengan jalur litigasi dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara sesuai dengan

1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 3 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

(2)

Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama. Jika ditemukan hal yang bersengketa adalah nasabah yang non muslim, maka kewenangan tersebut menjadi otoritas Peradilan Umum.

Kata Kunci: Perbankan Syariah, Penyelesaian Sengketa, Upaya Hukum Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Keberadaan sistem keuangan ini diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai lembaga perantara keuangan dan lembaga transmisi yang mampu menjembati mereka yang berlebihan dana, dan kekurangan dana serta mempelancar transaksi ekonomi. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana tersebut untuk menggerakan perekonomian bangsa.4 Bank syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai prantara bagi pihak yang berlebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Selain itu bank syariah biasa juga di sebut Islamic Banking atau interest fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan oprasional nya tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketiakpastian dan ketidak jelasan (gharar). Bank syariah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai kewajiban untuk menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat islam.5 Kebutuhan masyarakat muslim indonesia akan adanya bank yang beroprasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip

4Hermansyah, 2007, Hukum Perbankan Nasiona Indonesial, Kencana, Jakarta, halaman 132 5 Zainudin Ali, 2008, Hukum perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 2

(3)

ekonomi islam, secra yurisis baru mulai diatur dengan Undang-undang nommor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam Undang-undang etrsebut eksistensi bank islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara khusus. Upaya terus menerus yang dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroprasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.

Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syarioah, maka ada dua macam pengaturan perbankan yaitu, Undang-undang perbankan dan Undang-undang perbankan syariah. Hubungan kedua undang-undang tersebut adalah Undang-undang perbankan sebagai aturan umum sedangkan Undang-undang perbankan syariah aturan khusus.6 Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengatur dual banking system dalam perbankan Indonesia.menurut undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (3), “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran. Pembiayaan perbakan syariah dianggap mempelancar roda perekonomian masyarakat dan menekan terjadinya inflasi karena tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,7

6Rahmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 96-97

(4)

juga dapat merubah haluan kaum muslim dalam bertransaksi baik itu perdagangan dan keuangan yang sejalan dengan ajaran syariah islam.

Dalam hal ini sistem ekonomi islam dan praktek perbankan non bunga menjadi suatu alternatif yang baik, di samping merupakan suatu keharusan dan kewajiban dalam menjalankan anjuran agama, dan ditambah dengan disahkannya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut telah mengatur semua kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah. Undang-undang perbankan syariah Nomor 21 tahun 2008 pasal 1 angka 12, prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Adapun produk-produk yang di miliki bank syariah cukup bermacam-macam sehingga mampu memberikan pilihan bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya, tergantung pada prinsip apa yang dijadikan rujukan dalam penegembangan produk,8 di antaranya adalah :

1. Murabahah adalah Transaksi jual beli dan bank menyebutkan keuntungannya. 2. Ijarah adalah adanya perpindahan manfaat, pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya.

3. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara bank dengan nasabah untuk mencampurkan dana mereka pada usaha tertentu, dengan bagian keuntungan dan resiko akan tanggung bersama sesuai nisbah yang di sepakati.

(5)

4. Mudharabah adalah suatu bentuk kontrak kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudarib).

Pembahasan

1. Upaya Bank BRI Syariah Dalam Menyelesaiakan Pembayaran Bagi Hasil Yang Tertunda Oleh Nasabah Yang Sudah Jatuh Tempo

Menurut penelitian penulis, dalam pembiayaan mudharabah penyebab permasalahannya dapat berasal dari pihak bank, nasabah dan pihak eksternal. Dari pihak internal bank biasanya kebijakan pembiayaan yang kurang tepat serta kualitas, kuantitas dan integritas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai dapat menjadi penyebabnya. Kurangnya ketelitian pihak bank dalam pembuatan akad pembiayaan yang ternyata banyak cela atau multitafsir bunyi klausul-klausul akad sehingga dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik oleh nasabah atau dengan kata lain dapat disimpangi oleh nasabah demi keuntungan dirinya sendiri, ataupun sebab yang dikarenakan nasabah sakit keras sehingga tidak dapat menjalankan usahanya dan/ atau nasabah yang meninggal dunia padahal tidak memiliki ahli waris.

1.1.Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari

(6)

bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.

1.2.Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa selain pengadilan. Oleh karena itu APS sering pula disebut alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Beberapa bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:

a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu

pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya;

b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa

melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif;

c. Mediasi: penyelesaian masalah melalui perundingan di antara para

pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ke-3 yang netral dan independen, yang disebut Mediator, yang dipilih sendiri oleh para pihak. Mediator tidak dalam posisi dan kewenangan memutus sengketa. Dia hanya fasilitator pertemuan guna membantu masing-masing pihak memahami perspektif, posisi dan kepentingan pihak lain dan bersama-sama mencari solusi yang bisa diterima. Oleh karena itu Mediasi dianggap berhasil apabila para pihak dapat mencapai perdamaian. Untuk mengajukan sengketa ke Mediasi, para pihak harus mempunyai kesepakatan dan mengajukan permohonan secara tertulis, dan bersedia mematuhi kesepakatan damai yang dicapainya.

(7)

d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat

teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya

f. Arbitrase: penyelesaian sengketa dengan menyerahkan

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Arbiter. Untuk mengajukan sengketa ke Arbitrase ke lembaga arbitrase, para pihak harus mempunyai kesepakatan tertulis bahwa sengketa akan diselesaikan melalui Arbitrase (Perjanjian Arbitrase), dan ada salah satu pihak yang bersengketa mengajukan surat permohonan (tuntutan). Arbiter (berbentuk majelis atau tunggal) mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya. Putusan Arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Arbitrase mirip dengan Pengadilan, dan Arbiter mirip dengan Hakim.

Hubungan hukum antara Nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah (Bank dan Asuransi Syariah) akan berjalan dengan baik dan lancar jika para pihak mentaati apa yang telah mereka sepaki dalam akad yang mereka buat. Namun jika salah satu pihak lalai atau melakukan kesalahan dalam pemenuhan kewajibannya maka pelaksanaan akad akan mengalami hambatan atau permasalahan bahkan dimungkinkan mengalami

(8)

kemacetan. Secara garis besar penyebab terjadinya permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad adalah:9

1. Adanya wanprestasi (default), adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya karena kesalahannya dan si debitur telah ditegur;

2. Keadaan memaksa (force majeur/ overmacht), adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan di luar kemampuan manusia, Dalam praktik pelaksanaan akad, permasalahan yang sering muncul adalah adanya bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran dan peristiwa alam lainnya yang menyebabkan tujuan akad tidak dapat tercapai sesuai dengan tujuannya;

3. Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pelaksanaan akad yang tidak sesuai dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum dan Kesusilaan.

Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad, dalam praktik Perbankan Syariah maka para pihak akan mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapinya. Secara garis besar upaya penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan akad disebut juga dengan penanganan permasalahan, dapat dikelompokkan dalam dua (2) tahap, yaitu upaya penyelamatan dan upaya penyelesaian. Upaya penyelematan dapat dibagi menjadi dua (2), yaitu upaya preventif atau pencegahan dan upaya represif atau penagihan.

Tahap pertama disebut dengan upaya penyelamatan, yang sifatnya pencegahan dalam tahapan ini cenderung dan lebih terfokus dalam pada upaya

(9)

tecapainya pembayaran kembali pembiayaan dengan semestinya dengan cara collection, rescheduling, reconditioning atau restructuring atau yang dikenal pula dengan tahapan pemenuhan atas perstasinya. Tahap kedua, penyelesaian pembiayaan cenderung terfokus pada tindakan untuk mengupayakan pembayaran kembali pembiayaan dengan mengeksekusi agunan, baik dengan melakukan pencairan cash collateral, penagihan kepada penjamin, pengambilalihan agunan oleh bank sendiri, penjualan sevara sukarela atau penjualan agunan melalui lelang.10 Penyelamatan pembiayaan bermasalah dan macet merupakan restrukturisasi dari pembiayaan dan tindakan hukum yang diperlukan. Sekalipun bank dalam pembiayaan tidak pernah menginginkan bahwa pembiayaan yang diberikan akan menimbulkan permasalah, dan untuk keperluan itu pihak bank akan melakukan segala upaya preventif yang mungkin dilakukan untuk mencegah agar pembiayaan yang diberikan tidak menimbulkan permasalah, namun tidak mustahil pada akhirnya pembiayaan tetap juga bermasalah, bahkan keadaan pembiayaan tersebut bukan hanya sekedar tidak lancar atau diragukan melainkan akhirnya menjadi macet. Selain itu bank akan melakukan upaya-upaya preventif yang mula-mula akan dilakukan ialah melakukan upaya penyelamatan pembiayaan. Setelah upaya yang dilakukan itu ternyata tidak berhasil, maka bank akan menempuh upaya penagihan.

Untuk memperbaiki atau memperlancar pembiayaan yang semula tergolong diragukan atau macet, bank melakukan tindakan penyelamatan pembiayaan, agar pembiayaan yang semula tergolong diragukan atau macet

(10)

menjadi lancar lagi. Tindakan penyelamatan pembiayaan oleh bank dicantumkan dan dituangkan dakam akad penyelamatan pembiayaan. Bentuk dari penyelamatan pembiayaan. Bentuk dari penyelamatan pembiayaan tersebut dapat berupa:11

a. Penjadwalan Kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat pembiayaan yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan/ atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh

syarat pembiayaan, yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jamgka waktu, dan/ atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo pembayaran; dan

c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat pembiayaan yang menyangkut:

1. Penambahan dana bank dan/ atau;

2. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bagi hasil menjadi pokok pembiayaan baru; dan

3. Konversi seluruh atau sebagian dari pembiayaan menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.

Dalam hal bentuk perjanjian bagi hasil, nasabah dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan nasabah melakukan wanprestasi atau jatuh tempo yaitu sejak pada saat nasabah berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian atau jatuh tempo. Sedangkan bentuk prestasi nasabah yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka

(11)

untuk menyatakan seseorang nasabah melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari bank yang diberikan kepada bank. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.12 Somasi atau surat peringatan ini adalah upaya penagihan yang sifatnya represif. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari bank kepada debitur dan/atau nasabah yang berisi ketentuan bahwa bank menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu. Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

2. Faktor-Faktor Yang Mendukung Upaya Penyelesaian dan Permasalahan Pembayaran Bagi Hasil Oleh Nasabah Yang Sudah Jatuh Tempo

Beberapa faktor yang mendukung upaya penyelesaian permasalahan pembayaran bagi hasil oleh nasabah yang sudah jatuh tempo adalah sebagai berikut:

a. Faktor choice of forum, para pihak dalam hal ini antara nasabah dengan pihak Bank BRI Syariah Cabang Samarinda di dalam akad antara kedua belah pihak tertuang klausul akad yang menyatakan, bahwa jika terjadi sengketa antara kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan musyawarah dahulu, namun apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan ditempuh jalur litigasi yaitu Pengadilan Negari Agama atau Pengadilan Negeri sebagai tempat untuk menyelesaikan masalahnya. Hal inilah yang

(12)

menjadi salah satu faktor mengapa penyelesaian sengketa perbankan Syariah dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri;

b. Faktor Budaya Hukum dan Kesadaran Hukum, kesadaran hukum masyarakat, khususnya masyarakat Kota Samarinda merupakan hal yang sangat penting dan menentukan berlakunya suatu hukum dalam masyarakat. Apabila kesadaran masyarakat hukum tinggi dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum, dipatuhi oleh masyarakat, maka hukum tersebut dapat dikatakan efektif berlakunya, tetapi jika ketentuan hukum tersebut diabaikan oleh masyarakat, maka aturan hukum itu tidak efektif berlakunya. Kesadaran masyarakat itu menyangkut factor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui, dipahami, diakui, dihargai oleh masyarakat sebagai penggunaan hukum tersebut. Kesadaran hukum masyarakat merupakan factor utama yang harus diperhitungkan dalam berfungsinya hukum secara efektif dalam masyarakat;

c. Faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik, masih banyak kalangan yang meragukan kemampuan hakim Pengadilan Agama Kota Samarinda dalam memeriksa perkara ekonomi syariah mereka beranggapan bahwa hakim Pengadilan Agama Samarinda tidak memahami hukum ekonomi konvensional dan perbankan. Sehingga bila menanangi perkara ekonomi syariah merupakan bagian dari ilmu ekonomi dan perbankan konvensional, di mana meskipun prinspnya berdasarkan syariah, akan tetapi dalam teknis dan operasional tetap mengacu pada perbakan konvensional;

d. Faktor Sosialisasi Hukum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang diresmikan tanggal 17 Juli 2008 tersebut masih relatif baru dan masih perlu dilakukan sosialisasi hukum secara terus-menerus secara intensif oleh badan legislatif. Sosialisasi khususnya ditujukan untuk pihak bank syariah dan notaris yang membuat perjanjian perbankan syariah, karena pada dasarnya yang menentukan pilihan hukum terhadap penyelesaian sengketa adalah pihak bank syariah sendiri;

(13)

e. Faktor hakim tidak boleh menolak perkara, Pengadilan Negeri Agama ataupun Pengadilan Negeri tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya termasuk sengketa perbankan syariah. Apabila hakim menolak perkara yang diajukan kepadanya berarti juga pengingkaran terhadap rasa keadilan yang ditegakkan. Hakim sebagai salah satu perangkat keadilan ditugaskan untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antar kedua belah pihak yang bersengketa, yang sekaligus melakukan konkretisasi hukum terhadap perkara-perkara yang belum ada hukumnya;

Dalam sengketa perbankan Syariah yang penulis teliti, penyelesesaian sengketa hanya sampai pada tahap mediasi saja, karena memang belum ada sengketa perbankan Syariah di Bank BRI Syariah Cabang Samarinda penyelesaiannya sampai masuk pada tahap pengadilan. Dalam proses mediasi faktanya, bahwa mediator adalah pihak ketiga yang berposisi yang yang di sepakati oleh kedua belah pihak. Mediator bisa saja dari pihak Bank Indonesia atau seorang yang telah terpercaya netral dan tidak memihak yang disepakati oleh kedua belah pihak. Mediator dalam proses mediasi hanya bersifat memfasilitasi atau seorang fasilitator karena akhir dari proses mediasi ini bahwa mediator tidak berhak memberikan keputusan, karena seorang mediator hanya pihak ketiga yang menegahi kedua belah pihak.13

Mediator dari pihak Bank Indonesia berupaya membantu para pihak yang bersengketa untuk menghasilkan putusan melalui perundingan yang dilakukan kedua belah pihak. Semua pihak kembali duduk bersama untuk fokus pada masalah yang dipersengketakan dengan mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat dan kekeluargaan. Nasabah dan pihak bank wajb memberikan informasi

13 Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI Syariah Cabang Samarinda Pada 5 Maret Pukul 11.30 WITA, Di Kantor Bank BRI Syariah Cabang Samarinda.

(14)

penting yang terkait dengan pokok sengketa dalam pelaksaan mediasi, karena mediator yang paling aktif dalam proses ini untuk menggali terus sebanyak-banyaknya informasi dan keterangan dari pihak nasabah dan bank.14 Untuk mencapai suatu kesepakatan adalah kesediaan sukarela dari nasabah dan pihak bank, buka rekomendasi putusan dari mediator, karena kesepakatan yang dihasilkan dalam mediasi adalah kesepakatan sukarela dari kedua belah pihak dan bukan dari mediator. Dalam akhir proses mediator biasanya mengembalikan kesepakatan pada kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai perdamaian. Upaya penyelesaian yang dilakukan dengan jalur mediasi dengan asas musyawarah mufakat dan kekeluargaan juga agar kerahasiaan nasabah tetap terjaga dan baik dalam proses dan setelah selesai penyelesaian tidak ada pihak yang dirugikan dari pihak bank maupun pihak nasabah. Dalam proses mediasi juga tidak memakan biaya yang mahal, jadi nasabah yang bersengketa juga tidak dibebani oleh biaya menjadi perkara.15

2.1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Luar Jalur Pengadilan (Non Litigasi)

2.1.1.Mediasi Perbankan

Di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah berbunyi bahwa “Penyelesaian sengketa Perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, kemudian pada ayat (2) mengatur lebih lanjut

14 Ibid. Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI Syariah Cabang Samarinda.

15 Ibid. Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI Syariah Cabang Samarinda.

(15)

bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaiman dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad dan pada ayat (3), mewajibkan bahwa penyelesaian tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan 2 cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan:16

1. Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa perdata di luar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa;

2. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa dan beda pendapat melalui proses prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi dan Penilaian Ahli.

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. Pengertian lain menurut Goodpaster (1999) adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerjasana dengan pihak yang bersengketa, membantu mereka yang bersengketa mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Hal ini termuat dalam angka 5

(16)

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.17 Namun demikian, mengingat pembentukan lembaga mediasi perbankan independen tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat karena adanya kendala-kendala seperti aspek pendanaan dan sumber daya manusia sementara kebutuhan mediasi sudah mendesak maka pada tahap awal fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini dilakukan dengan mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa adanya rekomendasi maupun keputusan dari Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan fungsi mediasi perbankan tersebut Bank Indonesia menunjuk mediator.

2.2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Lembaga Peradilan (Litigasi)

Sengketa yang tidak dapat diselesaikan, baik melalui perdamaian (sulh) maupun secara arbitrase (tahkim) akan diselesaikan melalui lembaga peradilan. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentan

(17)

Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada 4 Lingkungan Lembaga Peradilan yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.18

Dalam Pasal 2 Juncto Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan Kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dalam Pasal 49 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:

1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;

2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;

3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antar orang-orang yang beragama islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

(18)

Sengketa ekonomi syariah adalah sengketa atas cidera janji/ pelanggaran terhadap poin-poin yang telah diperjanjikan dalam akad, misalnya:

a. Kelalaian bank mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wa`diah;

b. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan, dalam akad mudharabah;

c. Nasabah melakukan kegiatan usaha minimum keras dari dana pinjaman pada bank syariah.

Pengadilan Agama berwenang menghukum pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan cidera janji (wanprestasi) yang menyebabkan kerugian rill (real loss), bila ada tuntutan ganti rugi akibat cidera janji tersebut;

1. Wanprestasi lahir dari suatu perjanjian antara kedua belah pihak (Pasal 1320 KUHPdt) dan perjanjian tersebutmerupakan persetujuan yang didasarkan atas kehendak atau kata sepakat; Untuk dapat menyatakan telah terjadi cidera janji, harus terlebih dahulu ada pernyataan lalai (ingebreke stelling) sebagaimana dimaksud denan Pasal 1243 KUHPdt; 2. Perbuatan melawan hukum, gugatan yang berisi tuntutan ganti rugi

hanya lahir dari suatu perbuatan melawan hukum atau ingkar janji/ wanprestasi.

Walaupun hukum materiil yang mengatur mengenai hukum ekonomi syariah belum ada, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sehingga Pasal ini menjadi landasan bagi hakim untuk tidak

(19)

boleh menolak perkara sengketa ekonomi syariah. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka Pengadilan Agama diberi kewenangan untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, maka Pengadilan Agama memunyai kewenangan pula dalam melaksanakan eksekusi terhadap barang jaminan yang digunakan pada bank syariah, karena pada dasarnya perjanjian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir terhadap perjanjian pokok. Apabila falam suatu jenis pembiayaan (musyarakah, mudharabah, murabahah) dibarengi dengan perjanjian jaminan, maka perjanjian jaminan tersebut melekat pula prinsip syariah, sehingga jika terjadi sengketa maka Pengadilan Agama berwenang menyelesaikannya, sepanjang perjanjian pokoknya dibuat berdasarkan prinsip syariah maka perjanjian tambahannya mengikuti perjanjian pokoknya sehingga, Pengadilan Agama berwenang pula menyelesaikannya.

Berdasarkan pemikiran di atas maka, Pengadilan Agama mempunyai tugas untuk menyelesaikan setiap ada pemohonan eksekusi baik eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maupun eksekusi terhadap barang jaminan di Perbankan Syariah, yang diajukan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Saat ini Perbankan Syariah telah mempunyai Undang-undang tersendiri sebagai lex spesialis yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah di mana salah satunya adalah sengketa yang terjadi dalam

(20)

perbankan syariah dan lembaga yang berwenang menyelesaikannya . Pada Pasal 55 berbunyi:

a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam Lingkungan Perdilan Agama;

b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad;

c. Penyelesain sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Dengan demikian dalam hal pihak-pihak yang bersengketa adalah orang-orang yang berbeda agama, muslim dan non muslim, maka Undang-undang ini mengizinkan untuk menyelesaikan sengketa di Peradilan Umum, kecuali para pihak menentukan lain dalam akadnya. Jadi adanya alternative Peradilan Umum untuk menyelesaikan sengketa didasarkan pada kemungkinan adanya nasabah bank syariah yang non muslim, mengingat bank syariah bukan saja milik umat muslim yang nasabahnya haruslah umat muslim, tetapi bank syariah adalah milik bersama tanpa harus mendiskriminasikan suku, agama dan ras. Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa terhadap sengketa yang potensial muncul antara nasabah dan bank syariah bentuknya macam-macam. Pilihan hukum dan forum sengketa sepenuhnya diserahkan ada para pihak yang terkait. Apabila kita urutkan rangkaian penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak melalui jalur non litigasi terdiri dari musyawarah mufakat, melalui mediasi perbankan, forum arbitrase dan apabila belum terselesaikan juga

(21)

para ihak dapat menempuh upaya litigasi yaitu penyelesaian di Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang selain member kewenangan pada Pengadilan Agama juga memberi kewenangan pada Peradilan Umum.

Penutup Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Upaya bank syariah dalam menyelesaikan penundaan perjanjian bagi hasil bagi nasabah yang jatuh tempo dalam konteks mudharabahdapat dibagi menjadi dua (2), yaitu upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif atau mencegah yang dilakukan adalah penyelamatan pembiayaan bermasalah dan macet guna memperlancar pembiayaan yang semula diragukan macet dapat lancar kembali. Upaya penyelamatan tersebut berupa penjadwalan kembali, persyaratan kembali dan penataan kembali. Jika upaya preventif tidak dapat terwujud, maka pihak bank dapat menempuh upaya penagihan atau represif melalui prosedur hukum yang berlaku, yaitu telepon peringatan dan surat peringatan atau somasi.

Telepon peringatan adalah panggilan resmi secara lisan dari pihak bank kepada nasabah untuk pemenuhan prestasi nasabah tersebut, dimana telepon peringatan tersebut di lakukan sebanyak dua (2) kali. Jika telepon peringatan sebanyak dua (2) yang merupakan panggilan resmi secara lisan dari pihak bank tidak diindahkan, maka pihak bank akan mengirimkan surat

(22)

peringatan yang merupakan panggilan resmi secara tertulis dari pihak bank; 2) Penyelesaian hukum perbankan syariah dapat melalui dua (2) jalur, yaitu litigasi dan non litigasi. Dalam non litigasi yang merupakan jalur di luar pengadilan dan mengedepankan upaya damai, kedua belah pihak dapat memakai metode mediasi bank atau jalan-jalan lainnya seperti konsultasi, mediasi, negosisasi, konsiliasi dan pendapat ahli segaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam jalur non litigasi permasalah perbankan syariah juga dapat menggunakan jalur BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional). Jika upaya perdamaian melalui jalur non litigasi tidak membuahkan hasil, maka dapat ditempuh jalur litigasi dan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dan dan berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ekonomi syariah adalah pengadilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, namun jika salah satu pihak yang bersengketa adalah non muslim, maka perkara ini akan di persidangkan di peradilan umum.

Sementara factor-faktor yang mendukung upaya pnyelesaian adalah faktor choice of forum, para pihak dalam hal ini antara nasabah dengan pihak Bank di dalam akad antara kedua belah pihak tertuang klausul akad yang menyatakan, bahwa jika terjadi sengketa antara kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan musyawarah dahulu, namun apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan ditempuh jalur litigasi yaitu Pengadilan Negari Agama atau Pengadilan Negeri sebagai tempat untuk menyelesaikan masalahnya. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa penyelesaian sengketa perbankan Syariah dapat

(23)

diselesaikan di Pengadilan Negeri, faktor Budaya Hukum dan Kesadaran Hukum, kesadaran hukum masyarakat, faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik tentang pemahaman hukum ekonomi konvensional dan perbankan.

Saran

Adapun saran dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Seharusnya upaya yang dilakukan perbankan syariah dalam menangani perjanjian bagi hasil yang jatuh tempo dalam mudharabah adalah mengedepankan upaya preventif daripada represif, karena sebelum melakukan perjajian tentunya bank terlebih dahulu akan melakukan analisis hukum dan perekonomian keuangan juga survey terhadap nasabah apakah nasabah tersebut dikemudian kelak akan menimbul kemacetan pembayaran atau tidak, jika hasil analisis memungkinkan untuk melakukan perjanjian bagi hasil maka dapat dilaksanakan, tetapi jika hasil analisis dan survey tidak memungkinkan atau tidak memenuhi persyaratan nasabah, sebaiknya tidak usah dipaksakan untuk melakukan perjanjian bagi hasil dengan nasabah tersebut daripada menimbulkan masalah dikemudian kelak; 2) Sebaiknya dalam penyelesaian hukum perbankan syariah perjanjian bagi hasil dalam mudharabah kedua belah pihak mengedepankan jalur non litigasi atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan, karena jalur non litigasi dapat ditempuh dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pendapat ahli adalah jalur yang mengedepankan upaya damai antar kedua belah pihak yang bersengketa. Apalagi ini menyangkut tentang perbankan syariah yang mengedapankan ajaran dan norma Islam, dimana Islam sangat menjunjung tinggi

(24)

perdamaian. Jadi, dalam jalur non litigasi baik konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pendapat ahli hal yang palin pertama dan utama yang dikedepankan adalah upaya damai antara kedua belah pihak sebelum masuk ke jalur pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung;

Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media,

Bandung;

Chatamarrasajid Ais, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana

Prenada group, Jakarta;

Hermansyah, 2007, Hukum Perbankan Nasional, Kencana Prenada Group,

Jakarta;

Muhammad, 2005, Bank Syariah di Indonesia: Analisa Kebijakan Indonesia

Terhadap Perbankan Syariah, PT. Graha Abadi, Yogyakarta;

Musjtari Nurul dewi, 2012, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan

Syariah, Parama Publishing, Yogyakarta;

Rahmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta;

Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta;

Warkum Sumitro, 1992, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga

Terkait di Indonesia, raja Grafindo Persada, Jakarta; dan

Zainudin Ali, 2008, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945;

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 182); Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank

Indonesia (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 7);

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94);

(25)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR138);

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 157);

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 159);

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 138); dan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (LEMBARAN NEGARA TAHUN 2011 NOMOR 103).

C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis dan Disertasi

Eprints.undip.ac.id/15401/1/Ayu_Nurhasanah.pdf

Ikhwan Abidin Basri, Makalah Teori akad dalam fikih Muamalah: sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII, Yogyakarta;

Muhammad Amin Suma, Artikel Ekonomi Syariah Sebagai Alternatif Sistem Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis;

QS An-Nisa` (4): 29; “Hai Orang yang Beriman Janganlah Kalian Saling Memakan (Mengambil) Harta Sesamamu dengan Jalan Yang Bathil, Kecuali dengan Jalan Perniagaan Yang berlaku Diantaramu.

Referensi

Dokumen terkait

Registrasi administrasi adalah kegiatan untuk memperoleh status terdaftar sebagai mahasiswa program studi kedokteran gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Penelitian ini berdasarkan pada Yurisprudensi Nomor 11K/AG/2001 tanggal 10 Juli 2003 yang menyatakan bahwa pemberian ½ bagian dari gaji Tergugat kepada Penggugat

Hasil penelitian ini merupakan hasil dari wawancara mendalam yang dilakukan pada partisipan dan catatan lapangan yang ditemukan saat wawancara mendalam.Analisa data

menyiapkan buku teks dan metode pembelajaran yang akan digunakan. Guru Diniyah di SDIT Nurul Ishlah hanya melakukan dua jenis kegiatan dari. keseluruhan kegiatan

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan media leaflet terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat dalam mencegah Tuberkulosis paru di Desa

Dalam memanfaatkan sumber listrik dari cahaya matahari dengan menggunakan sistem fotovoltaik maka cara yang tepat adalah menyimpan energi listrik dari keluaran panel

Harga kambing lebih murah dengan kualitas terbaik, karena kami memiliki kambing sendiri, Sehingga anda bisa memilih sesuai keinginan dan kebutuhan anda.. Rasa masakan Aqiqah

Pada wanita, gonore bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.Kencing nanah adalah