Alamat korespondensi email: nichosianipar@gmail.com
Akreditasi PB IDI–2 SKP
Konstipasi pada Pasien Geriatri
Nicholas Benedictus Sianipar
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar, Malang, Indonesia
ABSTRAK
Dua mekanisme terpenting konstipasi pada pasien geriatri adalah dismotilitas dan disfungsi dasar pelvis. Strategi penatalaksanaan utama gangguan defekasi fungsional dan transit lambat adalah perubahan gaya hidup, diet tinggi serat, dan laksatif osmotik serta stimulan. Sedangkan untuk dissinergi pelvis, biofeedback harus dipertimbangkan lebih dahulu.
Kata kunci: Konstipasi, dismotilitas, disfungsi dasar pelvis
ABSTRACT
The two most important mechanisms of constipation in geriatric patients are dysmotility and pelvic fl oor dysfunction. For functional defecation disorders and slow transit, changes in lifestyle, diet high in fi ber, osmotic and stimulant laxatives are the main strategies. As for the pelvis dissynergy, biofeedback should be considered fi rst. Nicholas Benedictus Sianipar. Constipation in Geriatric Patients.
Keywords: Constipation, dysmotility, pelvic fl oor dysfunction
PENDAHULUAN
Perubahan Traktus Gatrointestinal Bawah yang Berkaitan dengan Usia
Perubahan-perubahan anatomis yang ber kaitan dengan usia pada traktus gas-trointestinal bawah berkontribusi ter hadap lama transit dan berkurangnya kandungan air dalam feses. Perubahan-perubahan tersebut meliputi atrofi dinding usus, berkurangnya suplai darah, dan perubahan-perubahan neuronal intrinsik. Walaupun demikian, tidak terdapat perubahan-perubahan fungsional yang signifi kan pada traktus gastrointestinal yang menua; sekresi, dan absorpsi relatif konstan. Hal ini mungkin akibat proses repetisi setiap segmen traktus intestinal.3,4
Waktu transit saluran cerna dan motilitas kolon serupa pada usia tua dan muda yang sehat. Usia tua yang menderita penyakit kronis dan mengalami konstipasi memiliki pe-manjangan waktu transit saluran cerna total sampai 4-9 hari (normal < 3 hari), evakuasi tertunda saat melalui bagian terbawah usus besar dan rektum. Fungsi kolon tampaknya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berhubungan dengan penuaan (penyakit kronis, imobilisasi, dan pengobatan) dibanding usia itu sendiri.3
Perubahan-perubahan neurodegeneratif sistem saraf enterik atau enteric nervous system (ENS) yang berkaitan usia mungkin merupakan kunci perubahan-perubahan fungsional pada usia lanjut. Pada kolon orang berusia lebih dari 65 tahun didapatkan kehilangan 37% neuron-neuron enterik dibandingkan pada usia dewasa muda. Para peneliti menyimpulkan bahwa penurunan densitas neuron sesuai usia akan disertai dengan peningkatan komponen-komponen fi brosa ganglion mesenterikus. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa perubahan-perubahan neurodegeneratif berkontribusi pada gangguan motilitas kolon pada populasi usia lanjut.3,4
Orang tua mengalami penurunan tekanan sfi ngter anal internal dan kekuatan otot pelvis, begitu juga perubahan sensitivitas rektum dan fungsi anal. Wanita mengalami penurunan tekanan pemerasan lebih besar berkaitan dengan usia, terutama setelah
menopause dan akibat cedera persalinan per vaginam. Perubahan-perubahan ini me-ningkatkan risiko ataupun potensi terjadinya konstipasi.3
DIAGNOSIS
Diagnosis menurut kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III (Lampiran 1).
Skoring Longo Obstructed Defecation Syndrome (ODS) yang dimodifi kasi atau
Modifi ed ODS (MODS) (Lampiran 2) adalah sistem skoring yang paling sering digunakan untuk memutuskan strategi terapi pasien ODS, juga untuk menilai perubahan setelah intervensi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sampai saat ini, belum ada konsensus mengenai nilai cut off .2 Beberapa
ahli mengambil nilai 9 sebagai nilai cut off untuk intervensi, sedangkan yang lain menggunakan nilai 7.
Anamnesis
Anamnesis lengkap dibutuhkan untuk mengidentifi kasi obat-obat yang
meng-transit kolon (Gambar 2). Feses tipe 1 menggambarkan waktu sekitar 100 jam (transit lambat), sedangkan tipe 7 sekitar 10 jam (transit cepat). Grafi k feses Bristol telah divalidasi berkorelasi dengan jumlah feses yang dikeluarkan, mengejan, dan urgensi.5
Pemeriksaan Laboratorium
The British Society of Gastroenterology
merekomendasikan agar investigasi di pe-layanan primer terbatas pada pemeriksaan darah rutin/darah lengkap (hemoglobin, hitung leukosit, dan trombosit) terutama untuk menyingkirkan kemungkinan anemia, dan tes fungsi tiroid (TSH/thyroid stimulating hormone, jika perlu ditambah fT4) untuk menyingkirkan kemungkinan hipotiroid. Tes yang lebih kompleks umumnya dikerjakan di pelayanan sekunder.5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan proses akut yang dapat menyebabkan ileus atau untuk mengevaluasi penyebab konstipasi kronis. Nyeri abdomen akut, demam, leukositosis, induksi konstipasi dan untuk menyingkirkan
penyebab-penyebab konstipasi lainnya. Kebanyakan pasien konstipasi idiopatik tidak memiliki keluhan lain. Konstipasi onset
baru atau yang memberat, darah dalam feses, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, muntah, atau riwayat keluarga dengan
infl ammatory bowel disease (IBD) atau kanker kolon memerlukan pemeriksaan kolon menyeluruh, terutama pada usia lebih dari 50 tahun.5
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan menyeluruh untuk menyingkirkan berbagai etiologi konstipasi. Inspeksi daerah perianal dapat menunjukkan bekas luka/parut, fi stula, fi sura, dan hemoroid eksternal. Ukur penurunan perineum dengan mengukur penurunan dasar pelvis (X) saat mengejan dan istirahat seperti gambar 1 (normalnya 1,0-3,5 cm). Berkurangnya penurunan (<1,0 cm) dapat mengindikasikan ketidakmampuan merelaksasi otot-otot dasar pelvis. Pe-nurunan perineum eksesif (>3,5 cm) dapat mengindikasikan kelemahan perineum dan dapat menyebabkan evakuasi tidak komplit.5
Selanjutnya pengukuran penurunan perineum dikonfi rmasi menggunakan defekografi atau MRI pelvis dinamik, sekaligus untuk menilai perubahan sudut anorektal.
Pemeriksaan digital rektum penting untuk mengakses impaksi feses, striktur anal, atau adanya massa rektum. Sfi ngter anal yang terbuka dan rusak berat atau patulous anal sphincter mungkin disebabkan trauma atau kelainan neurologis; tekanan sfi ngter anal
saat istirahat juga harus dinilai mengguna-kan manometri anal. Diskontinuitas dinding anterior rektum disebabkan oleh rektokel.5
Inspeksi Feses
Tipe konsistensi feses berdasarkan grafik feses Bristol atau the Bristol stool chart
bermanfaat untuk mengestimasi waktu
Gambar 1. Perubahan saat mengejan13
Gambar 2. Grafi k feses Bristol.5
x Saat Istirahat Sudut Anorektal Sudut Anorektal Tulang Ekor
Sfi ngter Anal Eksternal
Penurunan Dasar Panggul Sfi ngter Anal Internal
Puborectalis Pubis
Saat Mengejan
melaporkan bahwa pengosongan saluran cernanya pada saat yang hampir sama setiap hari. Saat optimal untuk defekasi adalah segera setelah bangun tidur dan setelah makan, saat transit kolon tersingkat. Pasien-pasien harus mengenali dan merespons keinginan defekasi, jika gagal dapat meng-akibatkan menumpuknya feses yang ber-lanjut diabsorpsi cairan yang membuat nya makin sulit dikeluarkan.5
3. Posisi Saat Defekasi
Suatu penelitian yang membandingkan posisi-posisi defekasi menyimpulkan bahwa pasien harus dimotivasi untuk mengadopsi posisi setengah berjongkok atau “ semi-squatting” untuk defekasi. Kebanyakan orang tidak terbiasa dengan posisi berjongkok, tetapi dapat dibantu dengan mengguna-kan pijamengguna-kan kaki dan membungkuk badan ke depan saat di toilet. Bantal juga dapat digunakan untuk membantu untuk menguatkan otot-otot abdomen.5
4. Konsumsi Air
Konsumsi air adalah kunci penatalaksanaan, pasien harus dianjurkan minum setidaknya 8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari). Konsumsi kopi, teh, dan alkohol dikurangi semaksimal mungkin atau konsumsi segelas air putih ekstra untuk setiap kopi, teh, atau alkohol yang diminum.5
5. Serat
Meningkatkan konsumsi serat umum di-rekomendasikan sebagai terapi awal konstipasi. Rekomendasi makanan tinggi serat (buah dan sayur) atau suplemen-suplemen serat Psyllium (kulit ari ispaghula/
ispaghula husk, metilselulosa, polycarbophil, atau kulit padi/bran) perlu dilanjutkan selama 2-3 bulan sebelum ada perbaikan gejala yang bermakna. Pendekatan ini hanya efektif pada sebagian pasien dan masih sedikit bukti penelitian klinis yang mendukung cara ini.5
Farmakologis
Tabel 1 mencantumkan agen-agen yang tersedia untuk meredakan konstipasi. Tabel 2 menunjukkan onset kerja, dosis, efek samping agen-agen utama pereda konstipasi yang didukung bukti.5,7
Laksatif serat meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga mem-percepat propulsi. Peningkatan motilitas atau gejala-gejala lain mungkin disebabkan
proses-proses sistemik atau intra-abdomen, pemeriksaan radiologi digunakan untuk menyingkirkan sumber-sumber sepsis atau masalah-masalah intra-abdomen.
• Enema barium kontras udara atau air contrast barium enema bermanfaat untuk menilai kemungkinan kanker kolon obstruktif, volvulus intermiten, atau striktur kolon pada kondisi konstipasi kronis.
• Distensi rektum dengan tekanan di-kendalikan atau controlled pressure-based rectal distension dengan pencitraan rektum fl uoroskopik untuk mengukur diameter rektum pada tekanan distensi minimal dapat bermanfaat untuk mengidentifi kasi megakolon idiopatik tanpa penyebab organik lain.
• Waktu transit kolon harus ditentukan pada kecurigaan gangguan motilitas kolon. Dilakukan dengan cara mengamati perjalanan marker radioopak yang diberikan per oral dengan foto abdomen setiap hari. Obstruksi saluran keluar intestinal cenderung menyebabkan penumpukan marker di kolon kiri dan sigmoid, sedangkan dismotilitas kolon menyebabkan penumpukan marker di sepanjang kolon.
• MRI pelvis dinamik dapat menunjukkan anatomi fungsi selama defekasi, sehingga dapat mengidentifi kasi dissinergi dasar pelvis, juga defek anatomis yang menjebak atau menjepit rektum dan menyebabkan obstruksi dalam proses defekasi.5
Pemeriksaan Penunjang Lain
Kolonoskopi, manometri anorektal, elektro-miografi , ekspulsi balon, transit kolon, dan defekografi dapat digunakan dalam mengevaluasi konstipasi.
• Kolonoskopi berguna pada konstipasi akut yang diduga disebabkan oleh obstruksi usus besar, didapatkan ruang rektum kosong dan distensi kolon proksimal. Kolonoskopi sebaiknya tidak dikerjakan pada kecurigaan perforasi atau divertikulitis akut atau penyakit infeksi. Biopsi dalam dari rektum dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
Hirschsprung.
• Manometri anal dapat menilai sfi ngter anal, dasar pelvis, dan saraf-saraf yang berhubungan. Suatu kateter khusus yang sensitif terhadap tekanan dimasukkan ke dalam anus untuk mengukur tekanan sfi ngter saat istirahat dan saat mengejan. Tujuan utamanya adalah untuk mengeksklusi
penyakit Hirschsprung onset dewasa atau segmen pendek. Pada tes ekspulsi balon, balon diisi air. Alat berbentuk feses yang diisi silikon atau balon dengan panjang 4 cm yang diisi 50 ml air hangat diletakkan di rektum, dan pasien diminta mengeluarkan alat tersebut. Pada relawan sehat, balon dapat dikeluarkan dalam 1 menit; jika pasien tidak dapat mengeluarkan alat tersebut dalam 3 menit, dissinergi defekasi harus dicurigai. • Defekografi mirip MRI pelvis dinamik. Defekografi mengevaluasi fungsi anorektal, seperti sudut anorektal dan penurunan dasar pelvis, begitu juga abnormalitas-abnormalitas anatomis.5
PENATALAKSANAAN
Target
Target penatalaksanaan konstipasi kronis adalah untuk mengurangi gejala, mengembalikan kebiasaan defekasi yang normal, keluarnya feses yang berbentuk dan lunak setidaknya 3 kali per minggu tanpa mengejan, dan meningkatkan kualitas hidup dengan efek samping minimal.5,7
Non-farmakologis 1. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fi sik berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko konstipasi. Tirah baring dan imobilisasi berkepanjangan juga sering dihubungkan dengan konstipasi.5
2. Latihan
Sebagian kemampuan defekasi merupakan suatu refl eks yang dikondisikan. Sebagian besar pasien dengan pola defekasi teratur
Gambar 3. Posisi setengah berjongkok atau “ semi-squatting” untuk defekasi.5
menyebabkan sekresi air ke dalam lumen intestinal. Laksatif osmotik yang paling sering digunakan adalah garam-garam magnesium. Laksatif hiperosmolar alternatif adalah sorbitol, laktulosa, dan polyethylene glycol (PEG) 3350. Pada penelitian multisenter atas 164 pasien, laktulosa terbukti lebih efektif menghasilkan feses normal pada hari ke-7 dibandingkan laksatif stimulan (laksatif mengandung senna, derivat antraquinone, atau bisacodyl). Pada penelitian atas 99 pasien konstipasi kronis, PEG 3350 terbukti lebih efektif dan efek samping kembung lebih sedikit dibanding laktulosa.5,11
Laksatif stimulan meningkatkan motilitas dan sekresi intestinal. Agen ini bekerja dalam hitungan jam dan dapat menyebabkan efek samping nyeri/kram abdomen. Agen ini direkomendasikan apabila laksatif osmotik gagal. Cara kerjanya melalui perubahan transpor elektrolit oleh mukosa intestinal, sehingga meningkatkan aktivitas motor intestinal.5
Enema dan suppositoria rektum meng-induksi defekasi dengan meregang rektum dan kolon. Pasien geriatri dengan masalah mobilisasi mungkin membutuhkan enema sesekali untuk menghindari impaksi feses.5
Probiotik memperbaiki frekuensi defekasi pasien konstipasi, karena bakteri menghasil-kan asam laktat yang amenghasil-kan meningkatmenghasil-kan motilitas intestinal dan mengurangi waktu transit. Meskipun demikian, hasil penelitian-penelitian tidak signifi kan.5
Tabel 2. Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology, onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis konstipasi.5
Golongan/Obat Rekomendasi
ACG Mula Kerja Dosis Efek Samping
Bulk-forming laxatives Psyllium Methylcellulose Polycarbophil calcium B B B 3-4 hari 3-4 hari 3-4 hari 10-20 g malam hari dengan air 3-6 g/hari dengan air 4-8 g/hari
Flatulens, kram perut, reaksi alergi (jarang)
Sama seperti Psyllium, tetapi fl atulens lebih jarang Flatulens lebih jarang dibandingkan bulk-forming laxative lainnya
Laksatif osmotik
Magnesium hydroxide
Laktulosa
Propylene glycol (PEG 3350) B A A 1-3 jam 24-48 jam 24-48 jam 30-60 mL/hari 10-30 mL/hari, sampai 2 kali sehari
10-30 g/hari, sampai 2 kali sehari
Flatulens, hipermagnesemia pada pasien dengan gagal ginjal, hipokalemia Flatulens, kram dan tidak nyaman di perut, hipokalemia Flatulens (jarang), nyeri perut
Laksatif stimulan Anthraquinolone (senna, cascara) Derivat diphenylmethane B B 8-12 jam 6-12 jam 12-30 mg/hari 5-10 mg/hari sampai 3 kali seminggu;
10 mg/hari per rektal
Kram perut, hipokalemia
Kram perut, fl atulens, rasa terbakar pada rektal dengan bentuk suppository
Enema
Phosphate enema - Beberapa menit Jika diperlukan Perlu pemantauan gangguan keseimbangan air dan elektrolit yang bermakna, bahkan fatal, yang dapat terjadi dengan penggunaan sodium phosphate enema pada pasien yang rentan, seperti pasien dengan gangguan ginjal dan penyakit jantung
Tabel 1. Golongan agen pereda konstipasi.5 Laksatif bulk
Psyllium (ispaghula husk), methylcellulose, polycarbophil, bran
Laksatif osmotik
Gula yang sulit diabsorpsi: laktulosa, sorbitol, mannitol: produk saline; garam magnesium, sulphate, phosphate, polyethylene glycol
Laksatif stimulan
Surface acting docusates, garam empedu; Anthraquinolone (Sena, cascara); derivat
Diphenylmethane (misalnya bisacodyl); Ricinoleic acid (Castor oil) Enema Phosphate Lubrikan Cairan paraffi n Lainnya
Probiotik: misalnya Lactobacillus rhamnosus GG, L. plantarum 299v, L. casei Shirota
Misoprostol, Colchicine, toksin botulinum Agen
Aktivator saluran chloride Lubiproston
Agonis reseptor 5HT-4 Prucalopride
Tabel 3. Ringkasan efek-efek beberapa laksatif terhadap fungsi usus.12
Agen
Usus Kecil Kolon Waktu Transit Kontraksi Campuran Kontraksi Propulsif Kerja Massa Air Tinja
Serat dalam diet ? ?
Magnesium -Laktulosa ? ? ? Metoclopramide ? ? -Cisapride ? ? Erythromycin ? ? ? ? Naloxone - -Anthraquinone Diphenylmethane Docusate ? ? ?
-Ket: meningkat; menurun; ? data tidak tersedia; - tidak terdapat efek pada parameter ini
gastrointestinal menghasilkan waktu transit kolon yang lebih cepat dan meningkatkan frekuensi gerakan usus.5 Laksatif osmotik
Pelunak feses (sodium dioctyl sulphosuccinate
dan paraffi n cair) dan tegaserod tidak lagi digunakan. Kolkisin dan misoprostol belum mendapat rekomendasi FDA sebagai terapi konstipasi.5
Salah satu agen baru, yaitu lubiprostone, merupakan suatu aktivator kanal klorida bekerja lokal meningkatkan sekresi cairan intestinal kaya klorida. Agen ini bekerja dengan mengaktifkan kanal klorida tipe 2 di permukaan sel-sel epitel intestinal untuk meningkatkan sekresi cairan intestinal dan integritas epitel. Lubiprostone adalah satu-satunya agen untuk konstipasi kronis yang direkomendasikan oleh FDA untuk pasien-pasien diatas usia 65 tahun.5
Biofeedback atau pelatihan ulang dasar pelvis merupakan terapi pilihan untuk dissinergi defekasi. Pasien dilatih untuk merelaksasi otot-otot dasar pelvis dan sfi ngter anal saat mengejan dan mengkorelasikan relaksasi dengan mengejan agar mencapai defekasi. Tiga penelitian, dua di antaranya merupakan RCT (randomized controlled trial), membukti-kan efi kasi biofeedback pada dissinergi dasar pelvis. Stimulasi saraf sakrum saat ini sudah digunakan secara luas untuk menangani inkontinensia feses dan beberapa data awal menyimpulkan kemungkinan perannya untuk konstipasi yang gagal dengan terapi-terapi sebelumnya.5
SIMPULAN
Dua mekanisme terpenting penyebab konstipasi pada pasien geriatri yang masih diyakini sampai saat ini adalah dismotilitas dan disfungsi dasar pelvis. Perlu anamnesis dan pemeriksaan fi sik untuk menyingkirkan konstipasi yang diinduksi obat dan penyebab-penyebab sekunder. Strategi penatalaksanaan utama untuk gangguan defekasi fungsional dan transit lambat adalah perubahan gaya hidup, diet tinggi serat, laksatif osmotik serta stimulan. Sedangkan untuk dissinergi pelvis,
biofeedback harus dipertimbangkan lebih dahulu.
Tabel 4. Klasifi kasi dan perbandingan antar laksatif.12
Efek dan Interval Waktu Laksatif pada Dosis Klinis Lazim Melembutnya Feses,
1-3 hari
Feses Lunak atau Semi-cair, 6-8 jam Feses Cair, 1-3 jam Bulk-forming laxative Bran Preparat Psyllium Methylcellulose Calcium polycarbophil Laksatif Stimulan Derivat Diphenylmethane Bisacodyl Laksatif Osmotik Sodium phosphate Magnesium sulfate Susu magnesia Magnesium citrate Laksatif Surfaktan Docusate Poloxamer Laktulosa Derivat Anthraquinone Senna Cascara sagrada Castor oil
Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis konstipasi kronis pada pasien geriatri.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Drossman DA, Dumitrascu DL. Rome III: New standard for functional gastrointestinal disorders. J Gastrointestin Liver Dis. 2006; 15(3): 237-41. 2. Sharma S, Agarwal BB. Scoring systems in evaluation of constipation and obstructed defecation syndrome (ODS). JIMSA. 2012; 25(1): 57-9.
3. Lindsay G, McCrea CM, Stotts NA, Macera L, Varma MG. Pathophysiology of constipation in the older adult. World J Gastroenterol. 2008; 14(17): 2631-8.
4. Cheskin LJ, Crowell MD, Schuster MM, Whitehead WE. Mechanisms of constipation in older persons and eff ects of fi ber compared with placebo. J Am Geriatr Soc. 1995; 43: 666-9. 5. Vasanwala FF. Management of chronic constipation in the elderly. SFP. 2009; 35(3): 84-92.
6. Goldman L, Schafer AI. Goldman’s cecil medicine. 24th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2012.
Konstipasi kronik (kriteria Rome III)
Apakah ada disinergi dasar panggul? • Pertimbangkan suppositoria, enema, tingkatkan asupan
serat, dan biofeedback
Pertimbangkan pengukuran farmakologi
Lanjutkan regimen
• Bulk-forming laxative (jika pasien dapat minum cairan dengan cukup)
• Lactulose
• Laksatif stimulant, misalnya bisacodyl, senna
• PEG (polyethylene glycol 3350)
• Kombinasi terapi laksatif + enema
• Pertimbangkan terapi lain, misalnya bedah Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan
Tidak Tidak Ya
Ya
Riwayat dan Pemeriksaan – mencari • Konstipasi yang diinduksi obat
• Penyebab sekunder
• Gejala IBS-C • Konstipasi yang diinduksi obat – tinjau obat &
perubahan
• Teliti penyebab-penyebab sekunder sebagaimana dianjurkan red fl ags
• Terapi IBS
Pengukuran non-farmakologi • Optimalkan asupan cairan • Tingkatkan mobilitas
• Diet (meningkatkan asupan serat harian dalam diet atau sebagai suplemen)
7. Bove A, Battaglia E, Bocchini R, Gambaccini D, Bove V, Pucciani F, et al. Consensus statement AIGO/SICCR diagnosis and treatment of chronic constipation and obstructed defecation (Part II: Treatment). World J Gastroenterol. 2012; 18(36): 4994-5013.
8. Force ACoGCCT. An evidence-based approach to the management of chronic constipation in North American. Am J Gastroenterol. 2005; 100: 1-4.
9. Brandt LJ, Prather CM, Quigley EM, Schiller LR, Schoenfeld P, Talley NJ. Systematic review on the management of chronic constipation in North America. Am J Gastroenterol. 2005; 100: 5-22.
10. Ramkumar D. Effi cacy and safety of traditional medical therapies for chronic constipation: Systematic review. Am J Gastroenterol. 2005; 100: 936-71.
11. Dettmar PW. A multi-centre, general practice comparison of ispaghula husk with lactulose and other laxatives in the treatment of simple constipation. Curr Med Res Opin. 1998; 14: 227-33.
12. Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman & Gilman’s manual of pharmacology and therapeutics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008. 13. Lembo A, Camilleri M. Current concepts chronic constipation. N Engl J Med. 2003; 349: 1360-8.
Lampiran 1. Kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III
Kriteria diagnosis konstipasi fungsional dari Rome III adalah terpenuhinya 3 kriteria di bawah ini dalam 3 bulan terakhir dengan gejala yang dimulai setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis:
1. Harus disertai 2 atau lebih gejala-gejala berikut: a. Mengejan selama setidaknya 25% defekasi, b. Feses keras setidaknya 25% defekasi,
c. Sensasi evakuasi yang tidak komplit setidaknya 25% defekasi, d. Sensasi obstruksi anorektal setidaknya 25% defekasi,
e. Manuver manual untuk memfasilitasi setidaknya 25% defekasi (evakuasi dengan bantuan jari, penekanan dasar pelvis), f. Kurang dari 3 kali defekasi per minggu,
2. Feses lembek jarang sekali dihasilkan tanpa penggunaan laksatif, 3. Kriteria yang tidak cukup untuk diagnosis irritable bowel syndrome.1
Lampiran 2. Modifi ed ODS Longo score.2
Pertanyaan dan Respons Skor
Pengobatan untuk membantu evakuasi (enema atau suppositoria)
0 1 2 3
Kesulitan untuk evakuasi 0 1 2 3
Digitasi untuk evakuasi 0 1 2 3
Kembali ke kamar mandi untuk evakuasi 0 1 2 3
Perasaan evakuasi yang tidak komplit 0 1 2 3
Mengejan untuk evakuasi 0 1 2 3
Waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi 0 1 2 3
Perubahan gaya hidup 0 1 2 3
Setiap poin dinilai berdasarkan frekuensi gejala.
Pertanyaan 1-6 : 0 = tidak pernah, 1 = kurang dari 1 kali per minggu, 2 = 1–6 kali per minggu, 3 = setiap hari; Pertanyaan 7 : 0 = kurang dari 5 menit, 1 = 6-10 menit, 2 = 11-20 menit, 3 = lebih dari 20 menit;
Pertanyaan 8 : 0 = tidak ada perubahan gaya hidup, 1 = perubahan ringan, 2 = perubahan sedang, dan 3 = perubahan gaya hidup yang signifi kan. Total skor ada dalam rentang 0 (terbaik) sampai 24.