• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

10 2.1. Pengertian Pariwisata

Istilah pariwisata (tourism) baru mancul di masyarakat di masyarakat kira-kira pada abad ke-18, khususnya sesudah Revolusi Industri di Inggris. Istilah pariwisata berasal dari dilaksanakannya kegiatan wisata (tour), yaitu suatu aktivitas perubahan tempat tinggal sementara dari seseorang, di luar tempat tinggal sehari-hari dengan suatu alasan apa pun selain melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan upah atau gaji (Muljadi, 2012).

Pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ketempat lain bersifat sementara, dilakukan perorangan atau kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan dalam dimensi sosial budaya, alam, dan ilmu (Kodhyat dalam Kurniansah, 2014).

Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri atau di luar negeri (meliputi pendiaman orangorang dari daerah lain) untuk mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya dimana ia memperoleh pekerjaan tetap (Wahab dalam Kurniansah, 2014).

Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, dan lain-lain. Defenisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan akan dianggap sebagai perjalanan wisata bila memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu bersifat sementara,

(2)

bersifat sukarela (Voluntary) dalam arti tidak terjadi karena paksaan, dan tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah (Spillane dalam Siallagan, 2011).

2.2. Pengertian Objek Wisata

Mengemukakan pengertian obyek wisata adalah segala sesuatu yang memilik keunikan, keindahan dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (Ridwan, 2012).

Objek wisata adalah perwujudan daripada ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya, serta sejarah bangsa, dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikujungi wisatawan (Fandeli dalam Asriandy, 2016).

Obyek wisata atau tempat wisata adalah sebuah tempat rekreasi atau tempat berwisata. Obyek wisata dapat berupa obyek wisata alam seperti gunung, danau, sungai, panatai, laut, atau berupa obyek wisata bangunan seperti museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain (Pendit dalam any safary, 2016)

Menurut UU RI No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, dinyatakan bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik itu pembangunan obyek dan daya tarik wisata, yang dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola dan membuat obyek-obyek baru sebagai obyek-obyek dan daya tarik wisata.

Dalam undang-undang di atas, yang termasuk obyek dan daya tarik wisata terdiri dari :

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna, seperti : pemandangan alam, panorama indah, hutan rimba dengan tumbuhan hutan tropis serta binatang binatang langka.

2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya,

(3)

pertanian (wisata agro), wisata tirta (air), wisata petualangan, taman rekreasi, dan tempat hiburan lainnya.

3. Sasaran wisata minat khusus, seperti : berburu, mendaki gunung, gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat ziarah, dan lain-lain.

4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Obyek Wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut. Menurut SK. MENPARPOSTEL No.: KM. 98 / PW.102 / MPPT-87, Obyek Wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Obyek wisata dapat berupa wisata alam seperti gunung, danau, sungai, pantai, laut, atau berupa objek bangunan seperti museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain.

2.3. Definisi Wisata Budaya

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Herskovits dan Malinowski (dalam id.wikipedia.org) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

(4)

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

2.4. Pengertian Museum

Museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat, terbuka untuk umum, memperoleh, merawat, menghubungkan serta memamerkan artefak-artefak sesuatu (perihal) jati diri manusia & lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan serta rekreasi (International Council of Museum (ICOM)).

Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban manusia, museum juga sebagai tempat penyimpanan, merawat dan memamerkan benda-benda warisan budaya bangsa, tempat pemberian informasi dan bimbingan informatif kultural kepada peserta didik. Dengan kata lain bahwa museum dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan keperibadian bangsa, ketahanan nasional, serta wawasan nusantara (Buku Panduan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, 2013).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) museum merupakan gedung yg digunakan sbg tempat untuk pameran tetap benda-benda yg patut mendapat perhatian umum, spt peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat menyimpan barang kuno.

Museum tidak hanya sekadar menjadi tempat untuk mendidik masyarakat, tetapi menjadi tempat pembelajaran, yang termasuk di dalamnya tempat di mana pengunjung dapat memperoleh pengalaman (Ambrose dan Paine dalam Dian, 2011).

Museum tidak lagi ingin disebut sebagai ’gudang’ tempat menyimpan barang barang antik seperti anggapan masyarakat pada umumnya, tetapi museum berusaha untuk menjadi tempat dimana pengunjung dapat

(5)

merasakan suatu suasana dan pengalaman yang berbeda, yang hanya akan mereka dapatkan jika mereka berkunjung ke museum. Perubahan ini membuat peran museum berkembang menjadi tempat preservasi, penelitian dan komunikasi, yang tujuannya untuk menyampaikan misi edukasi sekaligus rekreasi kepada masyarakat (Weil dalam Dian, 2011; Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011).

2.5. Definisi dan Konsep Edukasi Museum

Menurut Brüninghaus dan Knubel dalam Widadi (2010) edukasi museum secara nyata bertujuan untuk memperkenalkan pengetahuan dan budaya melalui program edukasi dan eksibisi. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen yang jelas terhadap edukasi museum yakni pendidikan harus dianggap sebagai tujuan utama dari kebijakan museum. Dengan demikian, setiap tindakan museum haruslah bertujuan untuk melayani masyarakat dan pendidikannya.

Pendapat ini juga sesuai dengan pernyataan Edson dan Dean dalam Widadi (2010) bahwa setiap museum mempunyai tanggung jawab pelayanan dalam bidang pendidikan kepada masyarakat.

Bila berbicara mengenai edukasi di museum, maka tidak dapat dipisahkan dari teori yang mendasarinya. Hein dalam bukunya yang berjudul Learning in the Museum menjelaskan bahwa teori edukasi terdiri atas teori belajar (learning theories) dan teori pengetahuan (theories of knowledge) (Hein dalam Dian, 2011).

Ada dua pandangan yang saling berlawanan dalam teori pengetahuan, yang pertama berpendapat bahwa pengetahuan itu berada di luar atau terpisah dari diri si pelajar, pandangan ini disebut dengan realisme. Sementara itu, lawan dari realisme, yaitu idealisme menyatakan bahwa pengetahuan itu berada dalam pikiran dan dibangun oleh si pelajar (Hein dalam Dian, 2011; Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011).

(6)

Dua pendapat tersebut dapat digambarkan dalam sebuah kontinum sebagai berikut:

Gambar 2.1 Teori Pengetahuan Sumber: Hein dalam Sulistyowati, 2011

Selanjutnya, teori belajar yang mendasari pemikiran mengenai bagaimana seseorang belajar juga terdiri atas dua pandangan yang berbeda. Pandangan yang pertama berasumsi bahwa belajar terdiri atas asimilasi incremental dari berbagai informasi, fakta dan pengalaman, hingga akhirnya menghasilkan pengetahuan (behaviorisme). Sementara itu, menurut konstruktivisme, belajar terdiri atas seleksi dan organisasi data yang relevan dari pengalaman, dalam hal ini mereka meyakini bahwa orang belajar dengan membentuk pengetahuannya (Hein dalam Dian, 2011; Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011). Seperti teori pengetahuan, teori belajar ini juga dapat ditampilkan dalam kontinum seperti berikut:

Gambar 2.2 Teori Belajar Sumber: Hein dalam Sulistyowati, 2011

Oleh Hooper-Greenhil, dua pendekatan pada teori pengetahuan dan teori belajar ini dapat mendukung interpretasi peran dari pengajar. Jika kita berpikir bahwa pengetahuan berada di luar diri orang yang belajar, dan proses belajar tersebut menjadi bagian dari pengetahuan, maka tugas bagi pengajar adalah untuk mengirimkan pengetahuan itu kepada orang yang

Teori Pengetahuan Pengetahuan berada terpisah dari pelajar (realisme) Pengatahuan berada dalam pikiran, dibangun oleh pelajar (idealism) Teori Belajar Belajar secara incremental ditambahkan sedikit demi sedikit (behavioursme) Belajar dengan membangun makna (konstruktivisme)

(7)

belajar. Orang yang belajar dianggap sebagai ‘botol kosong yang harus diisi’, pasif dan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan oleh pengajar. Sementara jika kita berpikir bahwa pengetahuan dihasilkan oleh orang yang sudah memiliki pengetahuan tersebut, dan prosesnya sebagai aktivitas pikiran dengan kerangka sosial budaya, maka peran pengajar adalah sebagai fasilitator (Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011). Dalam pandangan konstruktivis, peran edukator di museum adalah untuk memfasilitasi cara belajar aktif lewat penanganan objek dan diskusi, yang dihubungkan dengan pengalaman konkret. Dalam konteks edukasi di museum, dengan didasarkan pada paradigma konstruktivis, museum atau edukator dapat bertindak sebagai fasilitator. Walaupun demikian, pihak museum dapat menggunakan cara didaktik sebagai aspek lain dalam hubungannya dengan publiknya (Hooper-Greenhill dalam Dian, 2011).

Kontribusi unik yang diberikan oleh museum dalam fungsi edukasi adalah menyediakan kesempatan bagi pengunjung untuk belajar langsung dari obyek, menstimulasi rasa keingintahuan dan ketertarikan mereka, mengenalkan cara belajar dengan menggunakan indera dan persepsi melalui pengalaman hands-on, serta mendukung belajar secara independen (Beer dalam Kukuh Pamuji 2011). Untuk memenuhi tanggung jawabnya itu, museum harus meningkatkan perannya sebagai sumber pembelajaran yang dapat digunakan oleh seluruh komponen masyarakat atau kelompok-kelompok khusus yang harus dilayaninya (Edson dan Dean dalam Kukuh, 2011).

Konsep Kebijakan Edukasi di Museum, Menurut Bruninghaus dan Knubel dalam Zahir Widadi (2010) didalam menentukan kebijakan edukasi museum terdapat empat tujuan utama yang perlu diperhatikan yakni sebagai berikut:

1. Edukasi dan Koleksi

Edukasi museum harus mempertimbangkan hubungan antara edukasi dengan benda benda koleksi. Apakah koleksi museum terdiri dari artefak atau spesimen sejarah alam, benda benda teknik

(8)

atau bahan bahan arsip. Selanjutnya museum harus bekerja bersama dengan karyawan ahli dalam bidang tersebut untuk mengembangkan tujuan edukasi secara relevan. Dengan demikian setelah tujuan ditetapkan, museum dapat merancang program-program edukasi di museum untuk pemahaman aspek kuratorial dan pengetahuan dari benda benda koleksi museum tersebut.

2. Edukasi dan Warisan Budaya

Dalam membuat kebijakan, museum harus menggabungkan edukasi dan pekerjaan kuratorial, bagaiman cara menampilkan koleksi dan membuat keterangan koleksi di museum, terutama bagi museum yang berhubungan dengan komunitas yang memiliki pengetahuan tentang tradisi lokal dan budaya daerah. Sering orang mengabaikan sejarah dan tradisi budaya mereka sendiri, karena itu museum adalah salah satu tempat yang tepat untuk mempromosikan dan mendorong kesadaran akan warisan budaya. 3. Mengelola dan Mengembangkan Edukasi Museum

Edukasi museum memerlukan komitmen dari sebuah institusi pendidikan dan sosial yang harus mampu mempekerjakan karyawan spesialis edukasi. Pengajar sebaiknya memiliki kualifikasi tingkat pascasarjana dengan pengalaman di berbagai bidang. Banyak museum mempekerjakan subject matter dicipline untuk bekerja pada bidang Arkeologi, Biologi, Sejarah, Fisika, atau studi dibidang pendidikan. Selain itu, pelatihan museologi mutlak diperlukan melalui program pendidikan formal maupun non formal melalui training di museum. Hal yang sama dijelaskan oleh Ambrosse dan Paine dalam Zahir Widadi (2010), penyampaian edukasi museum memerlukan spesialis edukasi yakni karyawan museum dengan memiliki pelatihan psikologi mengajar dan banyak pengalaman untuk menyajikan pelajaran yang mudah dimengerti oleh pengunjung umum. Dalam proses pembelajaran di museum para pengajar harus mengembangkan jaringan untuk

(9)

bekerja sama dengan masyarakat setempat, seperti yang dikemukakan oleh Bruninghaus dan Knubel, yaitu:

“Therefore the museum educator must be a leader or manager as well as a true team player. Networks inside and outside the museum are essential for the educator’s work. They can help with the orientation towards the public, and they may be a source of new alliances and thus broaden the educator’s professional horizon and thus the service provided”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa dalam mengelola dan mengembangkan edukasi museum harus membangun jaringan di dalam dan diluar museum untuk kepentingan proses pembelajaran. Kerja sama ini dapat membantu orientasi pelayanan museum terhadap masyarakat dan juga kelompok masyarakat ini dapat menjadi sumber sumber pendidikan baru. Dengan demikian hubungan ini dapat memperluas cakrawala dan memfasilitasi pemecahan masalah pengajar di museum.

4. Edukasi Museum dan Masyarakat

Museum sebagai lembaga untuk kepentingan umum yang berada ditengah-tengah masyarakat lokal, nasional atau internasional Para pengajar berhubungan dengan masyarakat melalui pengetahuan. Pengajar edukasi museum memiliki peranan penting dalam menentukan kebijakan, program pembelajaran dan tujuan museum. Selain itu, masyarakat ini mampu memberikan kontribusi penting mengenai informasi tentang kemampuan intelektual dan kesenangan dari kelompok pengunjung, sehingga masyarakat menjadi bagian dari tim pengajar. Dengan demikian semua pengunjung seharusnya tidak lagi dianggap sebagai hanya "konsumen" budaya atau pengetahuan, tetapi sebagai mitra dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Davis dalam Zahir Widadi, bahwa museum juga berperan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan sebagai tokoh, kelompok

(10)

komunitas, dan organisasi kemasyarakatan yang terkumpul sebagai kelompok masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kebijakan museum yang telah dijelaskan tersebut di atas maka langkah selanjutnya museum dapat menentukan prinsip dan prioritas kebijakan untuk menentukan program edukasi di museum.

2.6. Definisi dan Isi Komunikasi

Menurut Bovee dalam Sayuti (2013), komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses mengirim pesan dan menerima pesan, dan dikatakan efektif pengiriman pesan itu apabila pesan tersebut dapat dimengerti dan menstimulasi tindakan atau mendorong penerima pesan atau orang lain untuk bertindak sesuai dengan pesan tersebut.

Sedangkan Robbins dalam Sayuti (2013) mengatakan komunikasi sebagai proses pemindahan data dan memahami makna yang dimaksudkannya.

Jadi dapat dipahami secara umum bahwa komunikasi merupakan perpindahan suatu informasi atau data dari satu pihak ke pihak yang lain. Dalam penyampaian edukasi yang terdapat pada museum diperlukan komunikasi yang tepat dalam menyapaikan edukasi tersebut agar sampai ke masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan pula isi dan kandungan dari komunikasi tersebut.

Menurut Cangara dalam Safitri (2012) Isi komunikasi merupakan suatu informasi bergerak dari komunikan (pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan) dalam suatu organisasi. Isi komunikasi dapat berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda.

2.7. Dimensi Komunikasi

Terdapat dua dimensi komunikasi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sayuti (2013) yaitu Komunikasi Verbal (Verbal Communication) dan Komunikasi Non Verbal (Non Verbal Communication).

(11)

2.7.1 Komunikasi Verbal (Verbal Communication)

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan. Adapun isi dari komunikasi berdasarkan teori yang dinyatakan Cangara dalam safitri (2012) antara lain ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda.

a. Ilmu pengetahuan

Dalam komunikasinya ketika menyampaikan ilmu pengetahuan, perlu diketahui ilmu pengetahuan yang dapat disampaikan, cara penyampaian ilmu pengetahuan tersebut, Hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menyampaikan ilmu pengetahuan, Rencana cara penyampaian pengetahuan yang belum terealisasikan, Kerjasama dengan lembaga atau instansi untuk penyampaian ilmu pengetahuan, Harapan setelah penyampaian ilmu pengetahuan.

b. Hiburan

Hiburan dalam hal ini merupakan kegiatan hiburan yang pernah dilaksanakan, kemudian kegiatan hiburan haruslah memiliki target sasaran peserta, memastikan kegiatan hiburan tersebut dapat membantu komunikasi Museum dengan Pengunjung, melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi dalam menjalankan kegiatan, dan memiliki harapan setelah melaksanakan kegiatan.

c. Informasi

Dalam hal ini untuk menjaga kelancaran kegiatan dan aktivitas penyampaian edukasi diperlukan adanya information center, kemudian tersedianya informasi mengenai Museum, dan memuliki harapan setelah menyampaikan informasi kepada pengunjung.

(12)

Nasehat atau propaganda dalm hal ini merupakan ajakan dalam kebaikan yang hendak disampaikan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dengan demikian Museum haruslah memiliki nasehat atau propaganda yang akan disampaikan kepada pengunjung, serta memiliki media penyalur nasehat atau propaganda.

2.7.2 Komunikasi Non Verbal (Non Verbal Communication)

Komunikasi non verbal adalah komunikasi tanpa kata-kata yang berupa isyarat/simbol, gerakan tubuh dan ekspresi wajah (Body Language and Gestures).

2.8. Penelitian Terdahulu

Beragam penelitian telah dilakukan berkenaan dengan penyampaian edukasi objek wisata Museum, diantaranya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti Judul Penelitian Jenis Penelitian Hasil Penelitian

Dian Sulistyowati (2011) Strategi Edukasi Museum dan Pemasarannya: Studi Kasus Museum Sejarah Jakarta Kualitatif Deskriptif yang didukung Data Kuantitatif Hasil penelitian berupa saran dan masukan bagi Museum Sejarah Jakarta bahwa dalam pembentukan strategi museum, harus mempertimbangkan antara keinginan dan kebutuhan pengunjung dengan tujuan utama museum, yaitu untuk menyampakan misi edukasinya kepada masyarakat. Dengan demikian, Museum Sejarah Jakarta diharapkan dapat

(13)

menjadi tempat untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman sekaligus rekreasi yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Umi Hartati (2016) Museum Lampung Sebagai Media Pembelajaran Sejarah Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumen. Setelah data terkumpul, data akan divalidasi dengan cara trianggulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan pembelajaran dimulai guru terlebih dahulu menentukan SK & KD merancang metode, membuat RPP, menyiapkan media dan membuat pertanyaan. Zahir Widadi (2010) Peran Edukasi Museum (Studi Kasus Museum Batik Di Pekalongan) Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif dengan pendekatan kualitatif

Hasil dari penelitian ini

mengidentifikasikan bahwa edukasi dan eksibisi museum Batik Pekalongan masih bersifat tradisional

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu  Nama

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Pengujian Pada Pergerakan Manusia MIT Delivery Overhead Protokol Routing Delay Drop Ratio Ratio PROPHET 0.5233 11.1635 35660.7842 31885 PROPHETAB 0.5230 7.3516 35651.7047

Tesis: Pengaruh Praktik Manajemen Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja SDM Pada Museum Pemerintahan Provinsi DKI Jakarya (Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum

Komunikasi yang baik dapat terjalin antara pihak Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Gowa dan para pelaku UMKM dapat diukur dari hasil wawancara dengan pihak-pihak

Hannif al-fatta (2007, p9) Informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang penting bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata yang dapat

Pada plot pertama, jenis vegetasi yang paling banyak ditemukan pada tingkat pancang yaitu 88 jenis namun jumlah individu terbanyak ditemui pada tingkat semai

o Bila waktu kejang kepala tidak di tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu sisi, berarti ada kelainan fokal (dengan fokus berlawanan dengan arah kepala) Bila ada dugaan

Pentingnya mempelajari kohesi terutama perangkat kohesif (gramatikal dan leksikal) adalah untuk menciptakan teks yang baik dan sistematis, dan membuat kita mudah memahami

PENDETEKSIAN HOTSPOT DENGAN SPACE TIME SCAN STATISTICS PADA KESEHATAN BAYI DAN BALITA DI KOTA DEPOK.. Maryana 1* , Yekti Widyaningsih 2 , Dian