Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1 Data, Informasi, dan Knowledge a) Data
Data adalah sekumpulan keterangan-keterangan dan fakta objektif mengenai suatu kejadian atau penyederhanaan catatan terstruktur dari suatu transaksi. Data mentah kemudian dikonversikan ke dalam bentuk informasi. Data mentah tersebut memiliki tujuan tertentu, walaupun mungkin memiliki sedikit relevansi ataupun bahkan tidak ada keterhubungan sama sekali (Tiwana, 2000). Data seharusnya disimpan sebagai informasi yang value-added. Pengelolaan data seringkali mengarah pada pengukuran kuantitatif seperti seberapa banyak data yang dapat diproses dalam satu jam, berapa biaya untuk menangkap sebuah transaksi, berapa banyak kapasitas yang dimiliki, dan sebagainya. Pengukuran kualitatif dipertimbangkan setelahnya, seperti waktu ketersediaan data ketika dibutuhkan maupun data mudah didapat atau tidak (Tiwana, 2000).
Seiring dengan tumbuhnya bisnis, jumlah data yang diperoleh mungkin akan menjadi semakin banyak dan menumpuk. Data, meskipun penting bagi perusahaan, tidak dapat banyak digunakan jika tidak diubah menjadi informasi. b) Informasi
Informasi adalah data yang dilengkapi dengan relevansi dan tujuan. Informasi berasal dari kata inform yang berarti sesuatu yang mengubah atau membentuk orang yang menerimanya. Permasalahan yang ada yaitu bagaimana membentuk informasi yang berguna, informasi yang dapat membantu manajer menjalankan bisnisnya dengan lebih baik, membuat keputusan yang lebih efektif, dan mengubah hal-hal ke arah yang benar (Tiwana, 2000).
Informasi bergerak dalam bentuk elektronik ataupun hard, melalui jaringan elektronik dan jejaring sosial. Seperti halnya data, permasalahan yang dihadapi terkait dengan aliran informasi yaitu informasi yang menumpuk. Hal ini berarti
terdapat lebih banyak informasi baik yang sifatnya relevan maupun yang tidak relevan daripada yang diperlukan. Terlalu banyak informasi, di satu sisi, lebih baik daripada kekurangan informasi, dimana kita dapat menentukan informasi mana yang benar-benar relevan dan berguna. Di sisi lain, terlalu banyak informasi menjadikannya sulit untuk memahaminya dan bahkan tidak lebih baik daripada tidak memiliki informasi sama sekali (Tiwana, 2000).
c) Knowledge
Knowledge atau pengetahuan, merupakan gabungan dari pengalaman yang
terbentuk, nilai tambah, informasi kontekstual, pandangan ahli serta intuisi yang menyediakan lingkungan dan kerangka kerja untuk mengevaluasi dan menghasilkan informasi dan pengetahuan yang baru. Pada organisasi, pengetahuan melekat bukan hanya pada dokumen atau tempat penyimpanan lainnya tetapi juga pada rutinitas, proses, praktek, dan norma-norma dari organisasi (Sambamurthy dan Subramani, 2005).
Pengetahuan adalah sumber utama dalam pengambilan keputusan, peramalan, perancangan, perencanaan, diagnosis, analisis, evaluasi, dan penetapan penilaian. Pengetahuan dibentuk dan disebarkan diantara individu dan pemikiran bersama. Pengetahuan tidak tumbuh dalam database tetapi meliputi pengalaman, kesuksesan, kegagalan, dan pembelajaran sepanjang waktu (Tiwana, 2000).
Pengetahuan merupakan aset yang utama bagi organisasi pada masa ekonomi. Terlebih lagi, pengetahuan disebarkan ke setiap individu, tim, dan organisasi. Oleh karena itu, kemampuan untuk menciptakan, memperoleh, mengintegrasikan, dan menyebarkan pengetahuan yang terdistribusi telah menjadi suatu kapabilitas organisasi yang utama. Agar dapat berhasil, organisasi seharusnya tidak hanya memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki saat ini, tetapi juga harus menginvestasikan pada penemuan pengetahuan baru secara kontinu sebagai pilihan strategis untuk strategi dan keuntungan persaingan di masa mendatang (Sambamurthy dan Subramani, 2005).
Pengetahuan adalah konsep yang kompleks dan sejumlah faktor menentukan sifat penciptaan, pengelolaan, penilaian, dan pembagian. Pengetahuan dapat diserap dari sumber pengetahuan dan disebarkan kepada individu lainnya. Lebih jauh lagi, pengetahuan dapat dipahami sebagai keadaan dalam tingkat yang beragam, tidak hanya pada tingkat individual tetapi juga pada tingkat kelompok dan organisasi (Sambamurthy dan Subramani, 2005).
Pengetahuan organisasi tercipta melalui siklus kombinasi, internalisasi, sosialisasi, dan eksternalisasi yang mengubah pengetahuan dalam bentuk tacit ataupun explicit. Pada proses dinamis penciptaan pengetahuan tersebut, menghubungkan antara individu dengan kelompok yang melakukan tugas yang sama (misal komunitas pelatihan) memegang peranan yang penting dalam komunikasi, pembagian, dan pengintegrasian pengetahuan (Sambamurthy dan Subramani, 2005).
II.2 Kategori, Tipe, dan Sumber Knowledge
Knowledge dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama yaitu tacit dan explicit (Tiwana, 2000). Berikut adalah penjelasan dari kedua kategori tersebut :
a) Tacit knowledge, mengacu pada kualitas personal yang menjadikannya sulit
untuk diformulasikan, dicatat, ataupun diucapkan. Komponen tacit kebanyakan dikembangkan melalui proses trial and error yang dilakukan dalam suatu praktek. Tacit knowledge meliputi komponen-komponen seperti
multi locational, migratory, ground truth, judgment, experience, knowledge scripts, values, dan assumptions.
b) Explicit knowledge, merupakan komponen pengetahuan yang dapat dijadikan
kode dan disebarkan dalam bahasa yang formal dan sistematik, misalkan dokumen, database, web, e-mail, diagram, dan sebagainya. Explicit
knowledge meliputi komponen-komponen seperti externalized, multi locational, migratory, assumptions, values, dan ground truth.
Proses penciptaan pengetahuan dapat berasal dari aktivitas-aktivitas yang meliputi perubahan dari tacit knowledge yang sifatnya subjektif (berdasarkan pengalaman) menjadi explicit knowledge yang sifatnya objektif, dikenal juga dengan istilah eksternalisasi. Permasalahannya yaitu tacit knowledge yang berdasarkan pengalaman seringkali sulit untuk diucapkan, diformulasikan, dan dikodekan.
Knowledge dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe yaitu externalized knowledge, multi locational knowledge, dan migratory knowledge (Tiwana, 2000). Berikut ini
adalah penjelasan dari ketiga tipe tersebut:
a) Externalized knowledge. Pengetahuan sangatlah kompleks dan awalnya
bersifat tacit. Bagaimanapun, pengetahuan dapat dieksternalisasi dan melekat pada produk dan proses yang dimiliki perusahaan. Salah satu aspek dari tacit
knowledge yaitu dimensi cognitive yang meliputi kepercayaan, idealisme, nilai
tambah, schemata, dan mental models. Komponen cognitive tersebut sulit untuk diucapkan dan membentuk persepsi dari orang yang memilikinya. Komponen cognitive tersebut sebaiknya diekstraksi untuk memperoleh konteks dan kelengkapan dari pengetahuan explicit yang ditangkap.
b) Multi locational knowledge. Pengetahuan dapat berada di dalam organisasi
maupun di luarnya. Knowledge management (KM) meliputi aktivitas yang terkait dengan integrasi pengetahuan tersebut dari berbagai sumber dalam bentuk yang berbeda. KM menciptakan nilai tambah dengan menyebarkan pengetahuan, pengalaman, dan penilaian ke dalam dan luar organisasi.
c) Migratory knowledge. Migratory knowledge adalah pengetahuan yang tidak
terikat oleh pemilik atau penciptanya. Kapasitas pengetahuan untuk bergerak telah meningkat. Kodifikasi dinyatakan dalam beberapa bentuk seperti dokumen, database, gambar, ilustrasi, e-mail, video, atau halaman web pada fasilitas intranet perusahaan. Kodifikasi dapat juga dalam bentuk kertas, tape, atau film. Merubah bentuk-bentuk tersebut dalam format elektronik dapat memudahkan penyebaran. Ketika berbicara mengenai pergerakan pengetahuan yaitu mengenai kemampuan untuk menyebarkan pengetahuan dari satu orang atau satu organisasi ke yang lainnya tanpa kehilangan konteks dan maksudnya.
Pengetahuan dapat berasal dari berbagai sumber. Tabel II.1 menjelaskan mengenai sumber pengetahuan bagi sistem pengelolaan pengetahuan yang telah diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama pengetahuan, yaitu tacit dan
explicit.
Tabel II.1 Sumber-sumber pengetahuan bagi sistem pengelolaan pengetahuan (Tiwana, 2000)
Sumber Explicit/dapat
dikodifikasi Tacit/Perlu penjelasan Pengetahuan pegawai,
keahlian, dan kompetensi
Pengetahuan berdasarkan
pengalaman
Grup yang berdasarkan
keahlian kolaboratif
knowledge sharing secara
informal
Nilai tambah
Norma
Kepercayaan
Tugas yang berdasarkan
pengetahuan
Pengetahuan yang
melekat pada sistem fisik
Aset manusia
Pengetahuan yang melekat pada struktur internal
Pengetahuan yang
melekat pada struktur eksternal Aset pelanggan Pengalaman pekerja Hubungan dengan pelanggan
II.3 Tahap-tahap Fundamental
Tiga langkah dasar terlibat dalam pengetahuan dan proses pembelajaran, sebagaimana terlihat pada Gambar II.1.
Gambar II.1 Elemen dasar utilisasi pengetahuan dan perangkat teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung setiap tahapan (Tiwana, 2000)
a) Akuisisi Pengetahuan
Akuisisi pengetahuan merupakan proses pengembangan dan penciptaan wawasan, keahlian, dan hubungan. Komponen teknologi informasi yang dapat mendukung akuisisi pengetahuan diantaranya data-capture tools dengan dilengkapi kemampuan untuk menyaring, intelligent databases, keyboard
scanners, electronic white boards, dan sebagainya.
b) Sharing Pengetahuan
Tahap ini meliputi penyebaran dan ketersediaan hal-hal yang telah diketahui. Contoh pengetahuan yang dibagi yaitu ketika sebuah sistem pakar membantu seorang petugas technical support yang baru dalam menjawab panggilan pada bagian help desk Microsoft.
c) Utilisasi Pengetahuan
Utilisasi pengetahuan menjadi penting ketika pembelajaran diintegrasikan ke dalam organisasi. Apapun yang tersedia di organisasi dapat digeneralisasi dan diterapkan pada situasi yang baru. Berbagi dan utilisasi dilakukan secara bersama-sama. Setiap fasilitas pendukung berbasis komputer yang digunakan
untuk meningkatkan fungsi tersebut harus dapat menjelaskan ketiga konsep dasar ini sebelum implementasi dapat dimulai.
II.4 Knowledge Management
Jauh sebelum istilah seperti experts system, core competencies, best practices,
learning organization, dan corporate memory seringkali terdengar, para manajer
telah mengetahui bahwa kunci aset perusahaannya bukanlah pada bangunannya, pada market share, ataupun pada produknya melainkan pada orang-orang di dalamnya, pada pengetahuan dan keahliannya. Beberapa pengertian dari
knowledge management (KM) sendiri adalah sebagai berikut (Tiwana, 2000).
a) KM merupakan pengelolaan pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi untuk menciptakan nilai bisnis dan menghasilkan competitive advantage.
b) KM memungkinkan terjadinya penciptaan, komunikasi, dan aplikasi dari seluruh pengetahuan untuk mencapai tujuan bisnis.
c) KM adalah kemampuan untuk menciptakan dan memperoleh nilai yang lebih besar dari kompetensi core bisnis.
d) KM mengarahkan permasalahan bisnis tertentu terhadap bisnis, baik itu menciptakan dan menyampaikan produk atau layanan inovatif; mengelola dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan yang ada maupun yang baru, partner, dan penyalur; ataupun mengadministrasikan dan meningkatkan praktek dan proses kerja.
KM memiliki kaitan dengan penelitian dalam bidang sistem informasi karena kegunaan teknologi informasi memegang peranan yang penting dalam membentuk usaha organisasi untuk penciptaan, pemilikan, integrasi, penilaian, serta penggunaan pengetahuan. Sistem informasi telah menjadi pusat usaha organisasi dalam menjalankan proses bisnis, aliran informasi, dan sumber pengetahuan yang akan diintegrasikan dan disesuaikan dari kombinasi tertentu. Fokus dari penyebaran Knowledge Management Systems (KMS) dalam organisasi telah sampai pada tahap pengembangan tempat penyimpanan dokumen yang mudah diakses untuk mendukung penangkapan, penyimpanan, pemanggilan, dan distribusi dari pengetahuan organisasi yang telah didokumentasikan secara
eksplisit. KMS juga meliputi inisiatif berbasis teknologi lainnya seperti penciptaan basis data dari para pakar, pengembangan alat bantu pengambilan keputusan dan sistem pakar, serta menghubungkan jejaring sosial untuk membantu dalam mengakses sumber-sumber dari individu (Tiwana, 2000).
Meskipun penelitian awal dari para sarjana sistem informasi fokus pada perancangan KMS, timbul kesadaran bahwa proses teknis dan sosial berinteraksi dan saling melengkapi dalam membentuk usaha KM. Sebagai contoh, meskipun teknologi informasi telah membantu komunitas praktisi elektronik, namun dinamika sosial seperti apa yang menjadi forum efektif untuk menyebarkan, mengintegrasikan, dan menggunakan pengetahuan. Dibalik penyebaran teknologi informasi, seperti apa struktur sistem, proses, dan dorongan yang bekerja bersama-sama dalam membentuk praktek KM yang efektif. Pada akhirnya, bagaimana dengan peran pemilikan pengetahuan, integrasi, dan proses transfer dalam pemahaman organisasi mengenai teknologi informasi (Tiwana, 2000).
II.5 Permasalahan Knowledge
Tabel II.2 menjelaskan mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
knowledge sharing.
Tabel II.2 Hambatan dalam knowledge sharing (Tiwana, 2000)
Alasan Hambatan
Tingkat kepercayaan yang tinggi Ketakutan dan kecurigaan
Pemberian penghargaan Pemberian penghargaan secara tidak disengaja Pekerjaan kolaboratif berbasis
kelompok
Usaha individu tanpa adanya pengakuan dan penghargaan
Penyelarasan misi, visi dan nilai tambah, dan strategi
Akuntabilitas dan penghargaan secara individu
Join team-wide accountability
dan penghargaan
Fokus pada fungsional Akuntabilitas kelompok dan
penghargaan
Konflik kepentingan antara pekerja dan pemilik
Tabel II.2 Hambatan dalam knowledge sharing (lanjutan)
Alasan Hambatan
Fokus pada proses Kurang keselarasan
Fokus pada kepuasan pelanggan Sindrom not-invented-here Terbuka bagi masukan dari luar Terlalu sibuk untuk berbagi Terbuka untuk kompetisi Kompetisi internal
Pekerjaan kolaboratif dan
cross-functional
IT yang tidak cocok
Kebutuhan untuk berbagi Pemisahan kelompok fungsional Pengambilan keputusan secara
lokal
Pengambilan keputusan secara terpusat dan
top-down
Secara umum terdapat tiga jenis permasalahan pengetahuan, yaitu: permasalahan koordinasi pengetahuan, permasalahan transfer pengetahuan, dan permasalahan penggunaan ulang pengetahuan (Sambamurthy dan Subramani, 2005). Permasalahan tersebut muncul dari tingkat kompleksitas yang dihadapi oleh individu, kelompok, dan organisasi dalam mengenali sifat pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan atau mengambil keputusan, kesulitan dalam menggabungkan kebutuhan komponen pengetahuan yang tersebar, serta kesulitan yang berasal dari ketidakjelasan dalam kepemilikan pengetahuan dan meningkatkan penggunaan ulang dari pengetahuan.
a) Permasalahan Koordinasi Pengetahuan
Individu maupun kelompok menghadapi permasalahan koordinasi pengetahuan ketika pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendiagnosa dan memecahkan masalah ataupun membuat keputusan yang tepat, namun pengetahuan tersebut tidak tersedia bagi individu maupun kelompok. Permasalahan koordinasi pengetahuan memerlukan pencarian terhadap para pakar dan dibantu oleh pemahaman pola distribusi pengetahuan dari yang mengetahui dan yang dapat diminta bantuannya. Para peneliti menyarankan agar jejaring personal, sosial, dan organisasi memberikan fasilitas untuk meningkatkan kesadaran akan mengetahui keberadaan pengetahuan serta memilikinya. Serupa dengan hal tersebut, teknologi informasi dapat
memfasilitasi pengelolaan komunitas praktisi yang efektif dan efisien dimana pendistribusian pengetahuan dapat dikoordinasikan.
b) Permasalahan Transfer Pengetahuan
Permasalahan ini seringkali dihadapi oleh individu ataupun kelompok ketika sumber pengetahuan yang dibutuhkan telah disimpan (umumnya setelah masalah koordinasi pengetahuan terselesaikan). Pada kenyataannya, ditemukan bahwa pengetahuan sifatnya sulit dan kontekstual sehingga menjadi tidak mudah untuk dipindahkan. Lebih jauh lagi, kemampuan penyerapan pengetahuan dari individu, unit, atau organisasi dapat memungkinkan ataupun menghambat kemampuannya untuk merasakan pengetahuan yang telah dipindahkan tersebut.
c) Permasalahan Penggunaan Ulang Pengetahuan
Terdapat permasalahan motivasi dan penghargaan yang terkait dengan penggunaan ulang pengetahuan. Hal ini dapat muncul ketika individu ataupun kelompok lebih memilih untuk memikirkan suatu penyelesaian masalah yang unik daripada menggunakan standar pengetahuan yang tersedia di tempat penyimpanan. Seringkali pengenalan individu untuk mengkontribusikan pengetahuan (misalnya kontribusi terhadap tempat penyimpanan dokumen organisasi atau memberi penghargaan kepada individu atas kontribusinya membagikan keahliannya) justru menghambat penggunaan ulang pengetahuan. Hal tersebut sesuai dengan saran yang diberikan oleh peneliti, bahwa orang-orang yang mendapat bantuan dianggap kurang kompeten dibandingkan orang-orang yang berkontribusi memberikan bantuan.
II.6 Model SECI
Pengetahuan organisasi tercipta melalui siklus kombinasi, internalisasi, sosialisasi, dan ekternalisasi yang merubah pengetahuan dari tacit ke explicit. Interaksi pengetahuan pada level perusahaan ditandai oleh C; pada level grup atau kelompok kerja ditandai oleh G; dan level individu oleh I. Penggunaan teknologi yang terkait ditunjukkan pada setiap kuadran. KM dilakukan berdasarkan model SECI melalui siklus yang terdiri atas sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi pengetahuan. Gambar II.2 menunjukkan bagaimana setiap fase
tersebut didukung oleh teknologi yang telah dibahas sebelumnya. Beberapa komponen mengalami overlap terhadap setiap fase penciptaan pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari satu elemen teknologi tersimpan dalam fase penciptaan pengetahuan yang beragam (Tiwana, 2000).
Socialization Combination Internalization Externalization Tacit Tacit Face-to-Face Communications Video Conferencing Tools Web Cams
Virtual Reality Tools
Process Capture Tools Traceability
Reflective Peer-to-Peer networks
Expert Systems Discussion platforms
Collective Knowledge Networks Notes Databases / Org Memory Pattern Recognition
Neural Networks
Systemic Knowledge Tools Collaborative Computing Tools Intranets, Groupware Discussion Lists Web Forums
Best Practice Database I E S C I I I G I I I I G C C G G Legend C: Company’s Knowledge
G: Group or Team Knowledge
I: Individual Employee’s Knowledge
Gambar II.2 Model SECI Nonaka dan posisi dimana IT dapat mendukung (Tiwana, 2000)
II.7 Knowledge Repository
Tempat penyimpanan informasi berbeda dengan tempat penyimpanan pengetahuan dimana konteks objek pengetahuan perlu disimpan pada konten itu sendiri. Sebuah platform pengetahuan dapat terdiri dari beberapa tempat penyimpanan. Isi dari setiap tempat penyimpanan tersebut akan menyediakan konteks untuk menginterpretasi isi dari tempat penyimpanan lain (Tiwana, 2000).
Tempat penyimpanan sebaiknya menyimpan elemen-elemen pengetahuan berikut (Tiwana, 2000):
a) Declarative knowledge seperti konsep yang memiliki arti dan signifikan,
kategori, definisi, dan asumsi.
b) Procedural knowledge seperti proses, rangkaian kegiatan atau aktivitas, serta
tindakan.
c) Causal knowledge seperti tingkat rasional untuk keputusan, untuk menolak
keputusan atau alternatif, hasil akhir dari aktivitas, dan bagian informal terkait lainnya.
d) Context dari rangkaian keputusan, asumsi, hasil dari asumsi tersebut, dan
pengetahuan informal seperti video clips, keterangan, catatan, dan percakapan. Bagi pengguna berikutnya yang akan mengakses bagian tersebut sebaiknya memiliki kemampuan untuk menambah atau mengubah isi.
Tempat penyimpanan pengetahuan yang terintegrasi dengan baik tidak menuntut pengguna untuk mengetahui di tempat penyimpanan mana pengetahuan tersebut berada. Transparansi dirasakan perlu dan sangat mungkin dapat dilakukan. Beberapa perusahaan mengijinkan pembuat isi pengetahuan tersebut untuk membubuhi tanggal habis masa berlaku pada isinya. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin bahwa isi tersebut tidak lagi valid atau sudah tidak berlaku. Jika pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan informasi yang tersedia, dengan mengetahui informasi mana yang sudah lama, habis masa berlaku, tidak benar atau tidak valid maka dapat membantu dalam menghindari kesalahan yang besar (Tiwana, 2000).
II.8 Pengertian Knowledge Sharing
Knowledge sharing menyangkut keinginan dari setiap individu di dalam
organisasi untuk berbagi pengetahuan yang telah didapatkan atau diciptakan kepada individu lainnya. Knowledge sharing dapat dilakukan secara langsung melalui komunikasi atau secara tidak langsung melalui media-media lainnya. Pada kenyataannya, knowledge sharing tidak dapat dipaksakan tetapi hanya dapat didorong dan difasilitasi (Bock dkk., 2005).
II.9 Manfaat Knowledge Sharing Bagi Organisasi
Pengetahuan adalah aset yang fundamental bagi organisasi. Pengetahuan tersebar pada setiap individu, grup, dan organisasi. Namun bagaimanapun, pengetahuan menempel pada setiap individu dan pergerakan pengetahuan dari individu ke dalam batas organisasi, dari dan ke tempat penyimpanan, serta ke dalam rutinitas organisasi sangat tergantung pada sikap individu dalam knowledge sharing. Ketika knowledge sharing sulit dilakukan di dalam organisasi maka akan muncul
knowledge gap yang akan menghasilkan hasil pekerjaan yang kurang memuaskan
(Bock dkk., 2005).
Agar dapat terus sukses dan berkembang, organisasi seharusnya tidak hanya memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya tetapi juga harus menemukan pengetahuan baru secara kontinu sebagai pilihan strategis bagi strategi dan keuntungan kompetitif di masa mendatang (Bock dkk., 2005).
II.10 Kegagalan Penerapan Knowledge Sharing
Knowledge sharing di dalam organisasi masih sering dianggap sebagai
pengecualian dan bukan peraturan. Lebih jauh lagi, banyak organisasi membatasi
knowledge sharing karena ancaman akan pengintaian dari pihak lain dan ingin
menjaga kerahasiaannya. Selain itu, struktur insentif organisasi seperti skema kompensasi “pay-for-performance” dapat menghambat knowledge sharing jika pegawai merasa knowledge sharing akan membatasi usahanya untuk menjadikan dirinya berbeda dengan pegawai yang lainnya (Bock dkk., 2005).
II.11 Kajian atas Beberapa Kerangka Kerja
II.11.1Pemicu Transfer Pengetahuan dari Konsultan ke Klien
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin maraknya penggunaan jasa pihak ketiga (outsourcing) dalam pengembangan dan integrasi sistem informasi yang kompleks seperti Enterprise resource planning (ERP). Banyak hal yang menyebabkan implementasi kurang berjalan dengan baik, seperti kurangnya tenaga ahli perusahaan, lemahnya daya ingat pegawai, serta kesulitan dalam mengikuti perubahan teknologi. Untuk itu perusahaan klien umumnya
menggunakan jasa konsultan untuk membantu dalam implementasi proses dalam sistem ERP ataupun sistem informasi yang kompleks lainnya (Ko dkk., 2005). Perusahaan klien mengharapkan pihak konsultan dapat mentransfer pengetahuannya mengenai implementasi tersebut kepada para pegawai perusahaan sehingga para pegawai tersebut dapat berkontribusi dalam menyukseskan implementasi serta belajar untuk mengelola sistem tanpa bantuan konsultan. Kesuksesan transfer pengetahuan dari konsultan ke perusahaan klien sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh perusahaan klien.
Gambar II.3 Model penelitian - pemicu transfer pengetahuan dari konsultan ke klien (Ko dkk., 2005)
Model teoritis dibangun dengan berdasar pada knowledge transfer, sistem informasi, serta literatur-literatur mengenai komunikasi. Dari hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa transfer pengetahuan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan pengetahuan, motivasi, dan komunikasi. Domain pengetahuan yang dibahas pada penelitian ini yaitu commercial
knowledge, dimana bentuknya dapat berupa tacit atau explicit ataupun keduanya,
“bukan mengenai kebenaran tetapi mengenai kinerja yang efektif, bukan ‘apa yang benar’ tetapi ‘apa yang dapat bekerja’ atau bahkan ‘apa yang bekerja lebih baik’,”.
Pengetahuan mengenai implementasi ERP memiliki bentuk tacit maupun explicit, meliputi aktivitas yang terkait dengan instalasi software dan hardware serta pelatihan kepada pegawai perusahaan sebagai persiapan untuk operasional sistem, perawatan, dan dukungan atas sistem vendor yang biasanya dikustomisasi. Pengetahuan yang terkait di dalamnya meliputi petunjuk untuk memanipulasi konfigurasi table supaya dapat sesuai dengan proses bisnis serta pengetahuan mengenai bagaimana transaksi sales-order mengalir ke area fungsional lainnya dapat memicu perubahan pada level stok persediaan atau pembuatan faktur.
Dalam konteks ERP, baik perusahaan klien maupun konsultan memiliki peran yang penting dalam kesuksesan implementasi. Pihak konsultan memiliki pengetahuan terutama mengenai teknis sedangkan perusahaan klien memiliki pengetahuan terutama mengenai proses bisnis. Ketidaksamaan bentuk pengetahuan tersebut dapat menjadi penghambat dalam penggunaan teknologi yang kompleks, transfer pengetahuan dari pihak konsultan ke perusahaan klien merupakan satu cara yang dapat mengurangi hambatan tersebut.
II.11.2Peran Ekstrinsik Motivator, Tekanan Sosial-Psikologis, dan Kultur Organisasi
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya persepsi bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh individu tidak dapat berubah menjadi pengetahuan organisasi dengan mudah meskipun sudah terdapat penggunaan knowledge repositories.
Individu cenderung untuk menyimpan pengetahuan yang dimilikinya untuk berbagai alasan (Bock dkk., 2005).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membangun pemahaman yang terintegrasi mengenai faktor-faktor yang mendukung atau menghambat keinginan individu untuk melakukan knowledge sharing. Theory of reason action (TRA) digunakan dan ditambahkan dengan faktor extrinsic motivator, tekanan sosial-psikologis, dan iklim organisasi yang dipercaya mempengaruhi keinginan individu untuk melakukan knowledge sharing.
Anticipated Extrinsic Rewards Anticipated Resiprocal Relationships Sense of Self‐Worth Attitude toward Knowledge Sharing Subjective Norm Intention to share Knowledge Organizational Climate Fairness Affiliation Innovativeness Explicit knowledge Implicit knowledge First‐order factors Second‐order factors
Gambar II.4 Peran ekstrinsik motivator, tekanan sosial-psikologis, dan kultur organisasi (Bock dkk., 2005)
Hipotesis yang dihasilkan yaitu sikap dan norma-norma terkait dengan knowledge
sharing seperti halnya iklim organisasi, mempengaruhi keinginan individu untuk
melakukan knowledge sharing. Disamping itu, hubungan timbal balik mempengaruhi sikap individu dalam melakukan knowledge sharing sementara rasa harga diri dan iklim organisasi mempengaruhi norma-norma tertentu. Namun yang agak bertentangan yaitu penghargaan dari luar menghasilkan dampak negatif pada sikap individu dalam knowledge sharing.
II.11.3Motivasi Individual, Social Capital, dan Kontribusi Pengetahuan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk mengetahui bagaimana motivasi individu (individual motivations) dan komunitas sosial
(social capital) mempengaruhi kontribusi pengetahuan pada jejaring elektronik (electronic networks). Penggunaan jejaring elektronik merupakan forum diskusi
yang menggunakan media komputer, fokus pada permasalahan yang bersifat praktis, yang memungkinkan setiap individu untuk bertukar ide dan saran dengan individu lainnya berdasarkan kepentingan umum. Mengapa individu mau membantu orang lain dalam jejaring elektronik tersebut masih belum dipahami dengan baik. Untuk itu, digunakanlah theories of collective action untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai aliran pengetahuan dengan menguji setiap individu, mengapa individu dengan sukarela memberikan pengetahuannya dan membantu yang lainnya melalui jejaring elektronik (Wasko dan Faraj, 2005).
Jejaring elektronik menjadikan informasi dapat dibagi dengan cepat, tersebar, dan dengan jumlah individu yang besar. Namun adanya jejaring elektronik ini tidak menjamin aktivitas knowledge sharing akan dilakukan. Penelitian ini melaporkan aktivitas pada satu jejaring elektronik yang mendukung suatu asosiasi legal yang profesional. Sebuah model kontribusi pengetahuan diuji secara empirik dengan menggunakan pengarsipan, jejaring, survey, serta content analysis data.
Dari hasil penelitian ini didapat kesimpulan bahwa setiap individu mengkontribusikan pengetahuannya ketika individu merasa bahwa hal tersebut akan meningkatkan reputasi profesionalnya, ketika individu memiliki pengalaman untuk dibagi, dan ketika individu secara struktural tergabung di dalam suatu jejaring. Kontribusi muncul tanpa mengharapkan balasan dari pihak lain atau muncul karena tingkat komitmen yang tinggi terhadap jejaring tersebut.
Self‐rated Expertise Reputation Reciprocity Commitment Enjoy Helping Centrality
Tenure in the Field
Knowledge Contribution Individual Motivations
Cognitive Capital
Relational Capital Structural Capital
Gambar II.5 Motivasi individual, social capital, dan kontribusi pengetahuan (Wasko dan Faraj, 2005)
II.11.4 Penggunaan EKR oleh Kontributor Pengetahuan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan organisasi untuk memperluas sumber pengetahuannya dengan menggunakan KMS, dimana salah satu kuncinya terletak pada Electronic Knowledge Repositories (EKR) atau tempat penyimpanan pengetahuan elektronik. Banyak inisiatif KM yang gagal disebabkan oleh keengganan setiap pegawai untuk membagi pengetahuannya melalui sistem tersebut (Kankanhalli dkk., 2005).
Penelitian ini merumuskan dan menguji sebuah model teoretis untuk menjelaskan penggunaan EKR oleh kontributor pengetahuan. Model tersebut menggunakan teori pertukaran sosial untuk mengidentifikasi faktor biaya dan keuntungan yang mempengaruhi penggunaan EKR, serta teori sosial kapital untuk menghitung pengaruh faktor kontekstual.
Gambar II.6 Model penelitian penggunaan EKR oleh kontributor pengetahuan (Kankanhalli dkk., 2005)
EKR merupakan tempat penyimpanan elektronik dari konten yang diperoleh mengenai semua hal dimana organisasi telah memutuskan untuk mengelola pengetahuan. EKR dapat terdiri dari bermacam basis pengetahuan sebagaimana
mekanisme untuk akuisisi, kendali, dan publikasi dari pengetahuan. Proses
knowledge sharing melalui EKR melibatkan setiap orang untuk
mengkontribusikan pengetahuannya ke komunitas EKR dan orang-orang yang mencari pengetahuan dari EKR untuk digunakan kembali. Kesuksesan EKR terlihat dari keinginan kontributor untuk membagi pengetahuannya dan para pencari pengetahuan memiliki keinginan untuk menggunakan pengetahuan tersebut.
Penelitian ini berkontribusi dalam pengembangan teoretis mengenai kontribusi pengetahuan pada dua cara yang penting. Pertama, penelitian ini menginvestigasi pengaruh faktor biaya dan manfaat terhadap penggunaan EKR. Kedua, penelitian ini menggabungkan faktor kontekstual untuk mengilustrasikan bagaimana faktor tersebut dapat menengahi hubungan antara faktor biaya dan manfaat dengan penggunaan EKR. Hasil penelitian ini menyarankan intervensi organisasi dan pertimbangan rancangan teknologi yang dapat mendorong kontribusi pengetahuan terhadap EKR dengan cara memfasilitasi penggunaan ulang pengetahuan organisasi.
II.12 Penelitian Kuantitatif
Karakteristik dari metode penelitian kuantitatif dapat dilihat pada Tabel II.3:
Tabel II.3 Karakteristik penelitian kuantitatif (Sugiyono, 2008)
Karakteristik Deskripsi
Desain a. Spesifik, jelas, rinci
b. Ditentukan secara mantap sejak awal c. Menjadi pegangan langkah demi langkah Tujuan a. Menunjukkan hubungan antar variabel
b. Menguji teori
c. Mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif Teknik Pengumpulan
Data
a. Kuesioner
Tabel II.3 Karakteristik penelitian kuantitatif (lanjutan)
Karakteristik Deskripsi
Instrumen Penelitian a. Test, angket, wawancara terstruktur b. Instrumen yang telah terstandar
Data a. Kuantitatif
b. Hasil pengukuran variabel yang dioperasionalkan dengan menggunakan instrumen
Sampel a. Besar
b. Representatif
c. Sedapat mungkin random d. Ditentukan sejak awal
Analisis a. Setelah selesai pengumpulan data b. Deduktif
c. Menggunakan statistik untuk menguji hipotesis Hubungan dengan
responden
a. Dibuat berjarak, bahkan tanpa kontak supaya objektif b. Kedudukan peneliti lebih tinggi dari responden c. Jangka pendek sampai hipotesis dapat dibuktikan Usulan desain a. Luas dan rinci
b. Literatur yang berhubungan dengan masalah, dan variabel yang diteliti
c. Prosedur yang spesifik dan rinci langkah-langkahnya d. Masalah dirumuskan dengan spesifik dan jelas e. Hipotesis dirumuskan dengan jelas
f. Ditulis dengan rinci dan jelas sebelum terjun ke lapangan
Kapan penelitian dianggap selesai
Setelah semua kegiatan yang direncanakan dapat diselesaikan
Kepercayaan terhadap hasil penelitian
Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen
Gambar II.7 Proses penelitian kuantitatif - modifikasi dari Tuckman (Sugiyono, 2008)
II.13 Design Science dalam Penelitian Sistem Informasi
Terdapat dua paradigma yang menjadi karakteristik dari kebanyakan penelitian di bidang sistem informasi, yaitu behavioral science paradigm dan design science
paradigm. Behavioral science paradigm mengembangkan dan melakukan
verifikasi teori-teori yang menjelaskan atau memprediksi perilaku individu ataupun organisasi. Sedangkan design science paradigm lebih ke arah penciptaan artifak baru dan inovatif. Pada design science paradigm, pengetahuan dan pemahaman atas permasalahan beserta solusinya diperoleh dari perancangan dan aplikasi dari artifak yang dihasilkan (Hevner dkk., 2004).
II.13.1Kerangka Kerja Penelitian Sistem Informasi
Terdapat dua proses perancangan dan empat artifak yang dihasilkan dari penelitian design science di bidang sistem informasi. Kedua proses tersebut yaitu
build dan evaluate. Artifak yang dihasilkan meliputi constructs models, methods,
permasalahan dan solusi didefinisikan dan dikomunikasikan. Models merupakan abstraksi dan representasi, menggunakan constructs untuk merepresentasikan situasi dan kondisi pada dunia nyata, membantu dalam pemahaman permasalahan dan solusi yang ada. Methods merupakan algoritma dan pelaksanaan, mendefinisikan proses, memberikan pedoman bagaimana menyelesaikan permasalahan. Instantiations merupakan sistem yang terimplementasi serta
prototype, yang menunjukkan bahwa constructs, models, dan methods dapat
diimplementasikan pada sistem kerja (Hevner dkk., 2004).
Gambar II.8 Kerangka kerja penelitian kajian sistem informasi (Hevner dkk., 2004)
Gambar II.8 menampilkan konseptual kerangka kerja untuk memahami, menjalankan, dan mengevaluasi penelitian di bidang sistem informasi dengan menggabungkan paradigma design-science dan behavioral science. Environment mendefinisikan lingkup permasalahan yang terdiri atas people, organization, dan
technologies. Behavioral science lebih mengarah pada penelitian terhadap
pengembangan dan justifikasi dari teori-teori yang menjelaskan atau memprediksi fenomena yang terkait dengan kebutuhan bisnis yang teridentifikasi. Design
science lebih mengarah pada penelitian terhadap perancangan dan evaluasi artifak
Knowledge base menyediakan raw material dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Knowledge base terdiri atas foundations dan methodologies. Hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya memberikan dasar teori, kerangka kerja, instrumen, constructs, model, methods, dan instantiation yang digunakan dalam fase perancangan dari penelitian. Methodologies memberikan pedoman yang digunakan dalam fase evaluasi.
II.13.2Pedoman bagi Design Science dalam Penelitian Sistem Informasi Tabel II.4 menunjukkan pedoman-pedoman yang dapat digunakan dalam penelitian design science di bidang sistem informasi. Prinsip dasar dari tujuh pedoman tersebut yaitu pengetahuan dan pemahaman dari permasalahan dan solusi yang diperoleh dari perancangan dan aplikasi dari artifak (Hevner dkk., 2004).
Tabel II.4 Pedoman penelitian design science (Hevner dkk., 2004)
Pedoman Deskripsi
Pedoman 1 : Rancangan sebagai sebuah artifak
Penelitian design-science harus menghasilkan artifak yang berkelanjutan dalam bentuk constructs, model,
method atau instantiations.
Pedoman 2 : Keterkaitan masalah
Tujuan dari penelitian design-science yaitu untuk mengembangkan solusi berbasis teknologi terhadap permasalahan bisnis yang relevan dan penting. Pedoman 3 : Evaluasi
rancangan
Kegunaan, kualitas, dan kontribusi dari rancangan artifak harus didemonstrasikan melalui metode evaluasi yang dijalankan dengan baik.
Pedoman 4 : Kontribusi penelitian
Penelitian design-science yang efektif harus memberikan kontribusi yang jelas dan dapat diverifikasi dalam area design artifak, design
foundations, dan design methodologies.
Pedoman 5 : Kesesuaian penelitian
Penelitian design-science menggunakan aplikasi dari metode yang sesuai baik pada fase perancangan maupun evaluasi dari rancangan artifak.
Tabel II.4 Pedoman penelitian design science (lanjutan)
Pedoman Deskripsi
Pedoman 6 : Rancangan sebagai proses pencarian
Pencarian terhadap artifak yang efektif memerlukan penggunaan alat yang tersedia untuk mencapai hasil yang diinginkan sesuai dengan aturan dalam lingkup permasalahan
Pedoman 7 : Komunikasi atas penelitian
Penelitian design-science harus ditampilkan secara efektif baik pada pihak-pihak yang berorientasi teknologi maupun berorientasi manajemen.