• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimation of Postmortem Interval Using Thanatochemistry (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Estimation of Postmortem Interval Using Thanatochemistry (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Journal Reading Journal Reading

Estimation of Postmortem Interval

Estimation of Postmortem Interval Using Thanatochemistry

Using Thanatochemistry

And Postmortem Changes

And Postmortem Changes

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh

Program Pendidikan Profesi Dokter Ilmu Kedokteran Forensik Dan M

Program Pendidikan Profesi Dokter Ilmu Kedokteran Forensik Dan M edikolegaledikolegal Rumah Sakit Bhayangkara Semarang

Rumah Sakit Bhayangkara Semarang

Anggota Kelompok: Anggota Kelompok: Edi

Edi Suprayitno Suprayitno (12095890)(12095890) Febrianto Anggardika (12106159) Febrianto Anggardika (12106159) Gilang

Gilang Setiawan Setiawan (12106167)(12106167) Heru

Heru Sulistyoaji Sulistyoaji (12106179)(12106179) Ratih

Ratih Kumala Kumala Dewi Dewi (12106256)(12106256) Dwi

Dwi Rapita Rapita Sari Sari (12116370)(12116370) Eko

Eko Deskurniawan Deskurniawan (12116376)(12116376) Elia

Elia Purnama Purnama Sari Sari (12116378)(12116378) Fitri

Fitri Aulia Aulia Ananda Ananda (12116397)(12116397)

 Nabila  Nabila (12116459)(12116459)  Nindya Sulistyawati  Nindya Sulistyawati (12116471)(12116471) Rasyidafdola Gistadevhadi (12116494) Rasyidafdola Gistadevhadi (12116494) Adhara

Adhara Puspa Puspa Noorita Noorita (301012065583)(301012065583) Muhammad

Muhammad Fahryzal Fahryzal (30101206679)(30101206679)  Nauvaldi Sasongkojati (30101206698)  Nauvaldi Sasongkojati (30101206698)

Ayu

Ayu Yuli Yuli Asih Asih (30101206821)(30101206821) Fitri

Fitri Rachmadani Rachmadani (30101206839)(30101206839)

Pembimbing : Pembimbing :

dr. Ratna Relawati, Sp.KF , Msi.Med. dr. Ratna Relawati, Sp.KF , Msi.Med.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN

MEDIKOLEGAL MEDIKOLEGAL

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG RUMAH SAKIT BHAYANGKARA SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

2016 2016

(2)

Perkiraan Interval Post Mortem Menggunakan

Perkiraan Interval Post Mortem Menggunakan

Thanatochemistry Dan Perubahan Post Mortem

Thanatochemistry Dan Perubahan Post Mortem

HodaFouad Abdel Salam a, Eman Ahmed Shaat b, Manal Hassan Abdel Aziz a, HodaFouad Abdel Salam a, Eman Ahmed Shaat b, Manal Hassan Abdel Aziz a,

Abeer Abdel MoneimSheta a,*, Heba Abdel Samie Mohammed Hussein a Abeer Abdel MoneimSheta a,*, Heba Abdel Samie Mohammed Hussein a a Forensic Medicine and Clinical, Toxicology, Faculty of Medicine, Alexandria a Forensic Medicine and Clinical, Toxicology, Faculty of Medicine, Alexandria

University, Egypt University, Egypt

 b Medical Biochemistry, Faculty of Medicine, Alexandria University, Egyp  b Medical Biochemistry, Faculty of Medicine, Alexandria University, Egyp

Abstrak Pendahuluan

Abstrak Pendahuluan: Perkiraan interval postmortem menjadi tujuan yang penting: Perkiraan interval postmortem menjadi tujuan yang penting dalam kedokteran forensik. Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical yang dalam kedokteran forensik. Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical yang terjadi secara regular dapat diperkirakan waktu kematian. Thanatochemistry adalah terjadi secara regular dapat diperkirakan waktu kematian. Thanatochemistry adalah reaksi kimia dalam kematian. Hal ini dapat memberikan ukuran secara kuantitatif, reaksi kimia dalam kematian. Hal ini dapat memberikan ukuran secara kuantitatif,  pengukuran

 pengukuran untuk untuk menentukan menentukan interval interval postmortem postmortem (PMI). Tujuan (PMI). Tujuan dari dari penelitian penelitian iniini adalah untuk memperkirakan waktu sejak kematian menggunakan metode penilaian adalah untuk memperkirakan waktu sejak kematian menggunakan metode penilaian untuk tiga perubahan postmortem; lebam mayat, kaku mayat dan kekeruhan kornea. untuk tiga perubahan postmortem; lebam mayat, kaku mayat dan kekeruhan kornea. Juga, untuk mengevaluasi penggunaan thanatochemistry; kalium (K 

Juga, untuk mengevaluasi penggunaan thanatochemistry; kalium (K ++) dan level) dan level hipoksantin (Hx) pada humor vitreous (VH) dalam penentuan (PMI) dan hipoksantin (Hx) pada humor vitreous (VH) dalam penentuan (PMI) dan membandingkan akurasi thanatochemistry dan metode penilaian untuk perubahan membandingkan akurasi thanatochemistry dan metode penilaian untuk perubahan  postmortem diperkirakan PMI.

 postmortem diperkirakan PMI.

Subyek dan metode

Subyek dan metode: Penelitian dilakukan pada kasus-kasus otopsi 70 orang dewasa,: Penelitian dilakukan pada kasus-kasus otopsi 70 orang dewasa, diketahui interval postmortemnya. Perkembangan kekakuan postmortem, lebam mayat diketahui interval postmortemnya. Perkembangan kekakuan postmortem, lebam mayat dan kekeruhan kornea dinilai dengan skor numerik. Kalium (K 

dan kekeruhan kornea dinilai dengan skor numerik. Kalium (K ++) dan hipoksantin (Hx)) dan hipoksantin (Hx) tingkat di humor vitreous (VH) diukur. Data dianalisis secara statistik dan analisis tingkat di humor vitreous (VH) diukur. Data dianalisis secara statistik dan analisis regresi linier digunakan untuk mendapatkan persamaan untuk perhitungan PMI.

regresi linier digunakan untuk mendapatkan persamaan untuk perhitungan PMI.

Hasil:

Hasil:  Semua variabel dipelajari dalam penelitian ini secara signifikan berkorelasi  Semua variabel dipelajari dalam penelitian ini secara signifikan berkorelasi dengan PMI; yang koefisien korelasi tertinggi adalah untuk kekeruhan kornea, diikuti dengan PMI; yang koefisien korelasi tertinggi adalah untuk kekeruhan kornea, diikuti dengan level potasium K 

(3)

hipoksantin di VH. Lima persamaan yang diperoleh dari penelitian ini dapat memprediksi PMI tapi dengan berbagai tingkat akurasi.

Kesimpulan:  Persamaan yang paling akurat yang terutama pada lima variabel yang diteliti (tiga perubahan postmortem di samping K + dan tingkat Hx di VH). Selain itu, metode penilaian untuk perubahan postmortem fisik terbukti lebih bermakna pada estimasi PMI dibandingkan thanatochemistry dalam kisaran penelitian PMI hingga 60  jam.

(4)

1. Pendahuluan

Perkiraan interval postmortem adalah tujuan yang penting pada kedokteran forensik. Penentuan saat kematian penting pada kedua kasus pidana dan perdata. Dari sudut pandangan hukum pidana, estimasi tepat PMI membantu untuk mengatur waktu  pembunuhan, memverifikasi laporan saksi, batas jumlah tersangka dan menilai  pernyataan mereka. Hal ini juga penting bagi penyelidik forensik, terutama ketika mereka mengumpulkan bukti yang dapat mendukung atau menolak tindakan menyatakan tersangka di crime.

Setelah kematian, banyak perubahan physiochemical seperti algormortis, rigor mortis, hypostasis dan dekomposisi dapat menyebabkan pembusukan semua jaringan lunak. Kekeruhan Kornea terjadi setelah kematian dengan peningkatan intensitas sampai kornea, serta kehilangan turgor nya apakah kelopak mata tetap terbuka atau tidak. Pentingnya perubahan ini adalah bahwa perubahan yang teratur sehingga dapat digunakan untuk perkiraan waktu kematian. Namun, ada variasi biologis yang cukup  besar dalam kasus-kasus tertentu, oleh karena itu, waktu pasti kematian tidak dapat dipastikan dengan berbagai metode, tetapi hanya dapat megetahui perkiraan waktu kematian.

Thanatochemistry adalah reaksi kimia yang terjadi saat kematian. Hal ini digunakan untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam komposisi kimia dari mayat manusia sesegera terjadi kematian. Hal ini dapat memberikan pengukuran kuantitatif untuk menentukan interval postmortem (PMI). Pengukuran Kalium merupakan salah satu dari kebanyakan yang diteliti pada infestigasi post mortem. Konsentrasi intraseluler dari K +  setinggi 2-40 kali konsentrasi K +  dalam plasma. Setelah kematian, kembali akan terjadi keseimbangan karena tidak aktifnya mekanisme pemompaan dan dinding sel menjadi semipermeabel kemudian K +  dapat melewati membran yang bocor dan terjadi keseimbangan tersebut. Hipoksantin adalah  produk degradasi penting dari metabolisme purin. Peningkatan hipoksantin pada  periode postmortem dan terutama berdifusi dari retina ke pusat humor vitreous.

Humor vitreous adalah sangat cocok sebagai media meneliti perubahan kimia, karena terlindung secara anatomis, dan komposisi berubahnya lebih lambat setelah kematian dibandingkan dengan CSF dan blood.

(5)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan waktu sejak kematian menggunakan metode skoring untuk tiga perubahan postmortem; Yaitu lebam mayat, kaku mayat dan kekeruhan kornea. Studi saat ini juga bertujuan untuk mengevaluasi  penggunaan thanatochemistry; level kalium (K +) dan hipoksantin (Hx) pada VH dalam  penentuan Interval postmortem (PMI) dan membandingkan keakuratan thanatochemistry dan metode skoring untuk perkiraan perubahan postmortem pada PMI.

2. Metode

Penelitian dilakukan pada kasus-kasus otopsi 70 orang dewasa, yang diketahui Interval postmortem, dari departemen medikolegal dari Departemen Kehakiman, di Kom El Dekka, Alexandria, Mesir. Kasus tersebut kemudian dipilih secara acak Setelah mengambil persetujuan komite resmi dan etika. Kriteria eksklusi pada Kasus dengan cedera kepala, cidera mata atau penyakit kronis seperti gagal ginjal untuk menghindari gangguan dalam anatomi normal secara keseluruhan atau level K.

- Data dikumpulkan dari laporan polisi termasuk; usia, jenis kelamin dan waktu kematian.

- Pada pemeriksaan postmortem eksternal, pengembangan kekakuan postmortem, hypostasis dan kekeruhan kornea dapat dinilai dengan score secara numerik (Tabel 1) .10

- Penilaian Laboratorium kalium (K +) dan level hipoksantin (Hx) pada humor vitreous (VH) dilakukan: dengan mengambil 0,1 ml VH pada mata kanan dari setiap kasusnya sebagai permulaan otopsi dengan menggunakan tusukan scleral dekat canthus luar, untuk menghindari perubahan bentuk mata, menggunakan nomor jarum 20-gauge. Kemudian kelopak ditarik, sehingga lubang dapat terbuka. Kemudian cairan itu ditarik  perlahan-lahan untuk menjaga jarum tetap di tengah untuk menghindari terlepasnya

retina. Setiap spesimen yang tidak jelas kristalnya ditolak; sampel yang telah membeku pada suhu -70oC untuk diuji hipoksantin dan potassium.

- Kalium ditentukan dalam sampel humor vitreous menggunakan komersial kit kalium (turbidimetri Metode Biodiagnostic, Mesir) menggunakan Humalyzer SMP, diproduksi oleh Perusahaan Manusia, Germany.

(6)

- Hipoksantin ditentukan dalam sampel humor vitreous menggunakan kit komersial Amplex® Red Xanthine / Xanthine Oksidase Assay Kit (Molecular Probes, Inc, Eugene, OR, USA) yang memanfaatkan metode kolorimetri menggunakan Humareader Single, diproduksi oleh Human Company, Germany.13

Tabel 1. Skore tiga perbahan postmortem (kaku mayat, lembam mayat, dan kekeruhan kornea)

3. analysis statistik

Data dianalisis menggunakan statistik (SPSS) versi 18 untuk perhitungan rata-rata aritmatika, standar deviasi dan chi square, F-test dan uji Fisher. Spearman Rho dan Pearson koefisien korelasi digunakan untuk menilai tingkat korelasi antara variabel yang berbeda. Analisis regresi linier digunakan untuk memperoleh persamaan untuk perhitungan interval postmortem.

Perkiraan keakuratan persamaan yang dihasilkan oleh perhitungan dari adjusted R 2 menggunakan rumus Stein:

Di mana n adalah besar sampel dan k adalah jumlah prediktor. Perbandingan  berpasangan menggunakan repeat ANOVA dan uji post hoc Tingkat signifikansi yang

ditetapkan sebesar p ≤0,05.

4. Hasil

Usia kasus otopsi berkisar 15-65 tahun dengan rata rata 35.36 ± 13.74 tahun. Dari 70 kasus yang termasuk dalam penelitian ini, 58 adalah laki-laki (82.9%) dan 12 adalah wanita (17,1%). Penyebab kematian adalah trauma, asfiksia atau Kematian mendadak.

Interval postmortem yang dilaporkan dalam penelitian ini berkisar 8-60 jam dengan rata-rata 24.99 ± 11.54 jam. Penelitian kasus otopsi dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan PMI yang diatur oleh Garg et al.15 dan Ahi dan Garg.

(7)

Kelompok I termasuk 17,1% kasus dengan PMI mulai dari nol sampai kurang dari 12  jam. Kelompok II meliputi orang-orang dengan PMI mulai dari 12 jam sampai kurang dari 24 jam. Kelompok III meliputi jumlah tertinggi pada kasus (60% kasus) dengan PMI mulai dari 24 sampai 60 jam (Tabel 2).

Dalam penelitian ini, hypostasis dikategorikan menjadi empat fase sesuai dengan tampilan dan gerakan oleh tekanan ibu jari. Hubungan yang signifikan berarti  bila antara skor hypostasis dan PMI dengan χ 2 = 56,39 dan p ≤  0,0001. Pada PMI kurang dari 12 jam (kelompok I), sebagian besar kasus berada di skor 3, sedangkan  pada kelompok II dan III dari PMI, semua kasus di nilai 4. Tak satu pun kasus diberi

skor 1 atau skor 2 (Tabel 3).

Mengenai kekakuan postmortem, itu dikategorikan menjadi lima fase sesuai dengan perkembangan dan resolusi. Hubungan yang signifikan itu melihat antara nilai kekakuan dan PMI dengan χ 2= 18.33 dan p = 0,001. Di PMI kurang dari 12 jam (kelompok I), sebagian besar kasus (83,3%) milik skor 4 sedangkan pada kelompok II, 56,3% kasus milik skor 3 Dalam rentang PMI antara 24 dan 60 jam (kelompok III), sebagian besar kasus yang ditemukan dalam skor 4. Skor 1 dan 2 tidak diberikan ke salah satu kasus (Tabel 4).

Demikian pula, kekeruhan kornea postmortem dikategorikan menjadi empat fase sesuai dengan tingkat kekeruhan. hubungan signifikan dapat dilihat antara nilai kekeruhan kornea dan PMI χ 2 = 65,62 dan p ≤ 0,0001). Pada PMI kurang dari 12 jam (kelompok I), sebagian besar kasus (83,3%)termasuuk skore 1. jika kisaran PMI dari 12 sampai dengan kurang dari 24 jam(kelompok II), 81,3% kasus berada di skor 2. Dalam rentang PMI antara 24 dan 60 jam (kelompok III), jumlah tertinggi kasus (38,1%) masuk dalam skor 4 dan hanya 2,4% kasus ditemukan dalam skor 1 (Tabel 5). Selain itu, penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara hypostasis, kekakuan dan kekeruhan kornea dengan PMI menggunakan koefisien korelasi rho Spearman dengan p value 60,0001, 0,001 dan <0,0001 dan r = 0.57, 0.4 dan 0.81, masing-masing (Tabel 6).

Dalam penelitian ini, thanatochemistry dilakukan menggunakan level K +  dan Hx di VH. Level dari konsentrasi K +  di VH berkisar 5,3-18,9 mmol / l dengan nilai rata-rata 10.59 ± 2.97 mmol / l. Rerata level K +  di VH dalam kasus laki-laki adalah

(8)

10.35 ± 2.80 mmol / l, sedangkan dalam kasus perempuan adalah 11.73 ± 3.62 mmol / l. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara level pria dan wanita (t-test = 1.47 dan  p = 0.15). Selain itu, dengan menggunakan korelasi Pearson, korelasi tidak signifikan yang diamati antara level K +  di VH dan usia dari kasus (r = 0,08 dan p = 0.49). Mengenai PMI, tingkat tertinggi K +  di VH ditemukan di PMI berkisar antara 24 hingga 60 jam (kelompok III) dengan nilai rata-rata dari 11.63 ± 3.04 mmol / l sedangkan yang paling sedikit adalah di PMI kurang dari 12 jam (kelompok I) dengan rata-rata 8,4 ± 1,65 mmol / l. hubungan signifikan dapat dilihat antara level K + di VH dan PMI dengan F-test = 6.01 dan p = 0,004 (Tabel 7).

Korelasi yang sangat signifikan dapat dilihat antara konsentrasi K +  dalam humor vitreous dan interval postmortem (r = 0.61 dan p ≤ 0,0001). Nilai konsentrasi K +  dari semua 70 kasus diplotkan dibandingkan dengan PMI pada Gambar. 1 Ia mengungkapkan linear hubungan. Level K +  dalam VH meningkat secara regular seiring dengan peningkatan PMI dengan kemiringan = 0.16 mmol / l / jam, dengan intercept = 6.64 mmol / l dan 95% interval kepercayaan 0,11-0,21 jam untuk kemiringan dan 5,27-8 jam untuk intercept.

Pada hypoxanthin, level berkisar antara 60 sampai 680 lmol / l dengan rata-rata 269,16 ± 140 lmol / l. Rata- rata Level Hx dalam kasus laki-laki adalah 258,12 ± 141,22 lmol / l, sedangkan pada wanita kasus itu 322.50 ± 125,94 lmol / l dengan tidak adaperbedaan signifikan di antara mereka, di mana t-test = 1.46 dan p = 0.15. Pada saat yang sama, tidak ada korelasi yang signifikan tercatat antara level Hx di VH dan usia kasus di mana r = 0,02 dan p = 0.89. Level tertinggi dari Hx di VH ditemukan  pada kasus dengan PMI berkisar 24-60 jam (kelompok III) dengan nilai rata-rata 315,76 ± 134 lmol / l sedangkan yang paling sedikit berada di kisaran PMI kurang dari 12 jam (kelompok I) dengan rata-rata 151,92 ± 34,89 lmol / l. A hubungan yang nyata antara tingkat Hx di VH dan PMI (F-test = 7.03 dan p = 0,002) (Tabel 8). Sebuah korelasi yang signifikan tercatat antara konsentrasi Hx di VH dan PMI (r = 0.37, p = 0,001). Gambar. 2 menunjukkan kenaikan yang cukup linier di tingkat Hx dengan meningkatnya PMI dengan kemiringan = 4.55 lmol / l / jam, intercept = 155,05 lmol / l dan 95% dari intercept.

(9)

Persamaan regresi yang berbeda untuk prediksi PMI yang diperoleh dengan menggunakan salah satu dari sistem penilaian tiga perubahan postmortem; hypostasis, kekakuan dan kekeruhan kornea, level K +  dan Hx dalam humor vitreous dengan estimasi kepercayaan (R 2), dimana semakin besar nilai R 2, semakin tinggi akurasi pada  persamaan. Semua persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah signifikan

dan dapat memprediksi PMI tetapi dengan R 2  yang berbeda. Lima persamaan menunjukkan variabel kekuatan prediksi yang terbaik untuk Persamaan 5 dan setidaknya dalam Persamaan 2 (Tabel 9).

Penggunaan formula Stein, persamaan R 2 dihitung, dengan mengukur kekuatan  prediksi dari persamaan sampel dikasus lain jika berasal dari populasi yang sama. Hal itu digunakan sebagai validasi hasil persamaan, menggunakan data dari sampel  penelitian. Semakin tinggi nilai persamaan R 2, semakin akurat persamaannya. Tabel 10 menunjukkan bahwa persamaan R 2 tertinggi adalah untuk persamaan 5 yang 0,75 dan yang paling sedikit adalah untuk Persamaan 2 yang adalah 0.17. Perbedaan daya  prediksi antara R 2  dan adjusted R 2  dari persamaan disebut persen penyusutan yang ukuran untuk cross validasi dari persamaan. Setidaknya penyusutan persen pda  persamaan dengan cros validasi yang terbaik. Dalam penelitian ini, penyusutan  persentase terjadi pada Persamaan 5 yang 3% (Tabel 10).

 Nilai sisa adalah perbedaan antara PMI sebenarnya dari kasus otopsi yang diteliti dan hasil perkirakan PMInya dari aplikasi yang didapatkan dari lima  persamaan. Setidaknya dari deviasi absolut rata-rata untuk residual antara aktual dan

nilai-nilai estimasi PMI ditemukan pada Persamaan 5 diikuti oleh Persamaan 4 (Tabel 11) dan (Gbr. 3). Perbandingan berpasangan antara deviasi absolut rata-rata untuk residual antara aktual dan nilai estimasi PMI diperoleh dari masing-masing lima  persamaan menggunakan repeted ANOVA dan uji post hoc, menunjukkan bahwa

deviasi absolud untuk residual ditunjukkan dari Persamaan 5 dan 4 tidak berbeda nyata dari masing-masing lainnya, meskipun mereka secara signifikan berbeda dari Persamaan 1-3. Hal yang serupa, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara nilai deviasi absolut rata-rata untuk residual

(10)

10 Tabel 2. Distribusi kasus otopsi dengan rentang interval postmortem (PMI) yang berbeda

Tabel 3. Hubungan perbedaan antara skor hipostasis (lebam mayat) dan PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p≤0.05

Tabel 4. Hubungan perbedaan antara skor rigiditas (kaku mayat) dan PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila p≤0.05

Tabel 5. Hubungan perbedaan antara kekeruhan kornea dan PMI (Postmortem Interval) (n=70)

(11)

Signifikan bila  p≤0.05

Tabel 6. Korelasi antara PMI (Postmortem Interval) dan skor rigitas (kaku mayat), hipostasis (lebam mayat) dan kekeruhan kornea pada postmortem

Signifikan bila  p≤0.05

Perubahan postmortem; tingkatan hipostasis (lebam mayat), rigiditas (kaku mayat) dan kekeruhan kornea, K + (Kalium) dan Hx (Hipoxantin) dalam humor vitreous dengan  perkiraan reliabilitas (R 2), dimana semakin besar nilai R 2, semakin tinggi akurasi dari  persamaan. Semua persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah signifikan

dan dapat memprediksi PMI (Postmortem Interval) tapi dengan nilai R 2 yang berbeda. Lima persamaan menunjukkan kekuatan nilai prediktor variabel dengan yang terbaik untuk persamaan nomor 5 dan paling sedikit untuk persamaan nomor 2 (Tabel 9).

Menggunakan rumus Stein, disesuaikan degan perhitumgan R 2, yaitu untuk mengukur kekuatan prediktor dari persamaan dalam sampel lain jika berasal dari  populasi yang sama. Itu digunakan sebagai sarana untuk menghasilkan persamaan

(12)

yang valid, menggunakan data dari sampel penelitian. Semakin tinggi nilai R 2,  persamaan semaki akurat.

Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai R 2 tertinggi untuk persamaan nomor 5 yaitu 0,75 dan yang paling sedikit adalah untuk persamaan nomor 2 yaitu 0.17.

Tabel 7. Hubungan antara konsentrasi K + (Kalium) dalam humor vitreus dan

PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila  p≤0.05

Perbedaan kekuatan daya prediksi antara R 2 dan nilai R 2yang disesuaikan dari  penurunan nilai prosentase untuk menilai persamaan yang valid. Penurunan nilai  prosentase yang paling baik dalam penelitian ini pada persamaan nomor 5 yaitu  penyusutan sebanyak 3% (Tabel 10).

 Nilai residu adalah perbedaan antara PMI (Postmortem Interval) yang sebenarnya dari kasus otopsi yang dipelajari dan PMI (Postmortem Interval) yang diperkirakan dari penerapan 5 persamaan yang diperoleh dalam penelitian ini. Nilai yang paling tidak berarti untuk penyimpangan mutlak nilai residual antara nilai nyata dan nilai-nilai estimasi PMI (Postmortem Interval) adalah untuk persamaan nomor 5 diikuti oleh persamaan nomor 4 (Tabel 11) dan (Gambar. 3).

Perbandingan berpasangan antara nilai rata-rata deviasi absolut untuk residual antara nilai nyata dan nilai-nilai estimasi PMI (Postmortem Interval) diperoleh dari masing-masing lima persamaan menggunakan uji ANOVA berulang dan post hoc tes, menunjukkan bahwa penyimpangan absolut rata-rata untuk nilai residual yang diperoleh dari persamaan nomor 5 dan nomor 4 tidak berbeda nyata satu sama lain,

(13)

sama, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara nilai rata-rata deviasi absolut untuk nilai residual yang diperoleh dari persamaan nomor1-3 (Tabel 12).

Tabel 8. Hubunga antara konsentrasi Hx (Hipoxantin) dalam humor vitreus dan PMI (Postmortem Interval) (n=70)

Signifikan bila  p≤0.05

Gambar 1. Sebaran bidang untuk hubungan antara konsentrasi K +(Kalium)

dalam humor vitreus dan PMI (Postmortem Interval) dengan interval kepercayaan 95% (n=70)

(14)

Gambar 2. Sebaran bidang untuk hubungan antara konsentrasi Hx(hipoxantin) dalam humor vitreus dan PMI (Postmortem Interval) dengan interval

kepercayaan 95% (n=70)

Tabel 9. Persamaan regresi yang didapat untuk nilai prediktor PMI (Postmortem Interval)

Signifikan bila  p≤0.05

Tabel 10. Persamaan regresi yang didapat untuk nilai prediktor PMI (Postmortem Interval) dengan nilai R 2 yang disesuaikan dan presentase

(15)

Signifikan bila  p≤0.05 5. Diskusi

Prinsip estimasi PMI (Postmortem Interval) didasarkan pada ekstrapolasi dan  perhitungan kembali dari keadaan tertentu perubahan postmortem untuk saat

kematian. Ekstrapolasi waktu sejak kematian selalu menerapkan interval atau  perkiraan waktu yang tidak tepat.17 Sementara banyak penelitian tunggal tentang  perubahan postmortem dilakukan, pemeriksaan secara simultan beberapa perubahan  postmortem untuk estimasi waktu kematian jarang dilakukan.18,19

Usia kasus otopsi dalam penelitian ini berkisar 15-65 tahun. Hal ini mengacu pada tingkat kalium pada vitreous yang belum ditetapkan sebagai metode yang dapat diandalkan untuk memperkirakan selang waktu postmortem pada anak-anak.20 Ini dapat dijelaskan oleh diameter secara global yang mewakili jarak difusi dari retina ke humor vitreous pada periode postmortem lebih kecil pada anak-anak dibandingkan  pada orang dewasa. Akibatnya, penilaian postmortem lebih tinggi pada anak-anak dan rumus yang digunakan dalam prediksi PMI (Postmortem Interval) untuk orang dewasa mungkin tidak cocok.21,22

Dalam penelitian ini, sampel humor vitreous ditarik dari mata kanan untuk menghindari perbedaan yang signifikan dalam konsentrasi K + antara kedua mata dari subjek yang sama yang telah dibuktikan oleh Pounder et al.22

Cedera pada mata, penyakit mata, trauma craniocerebral dikeluarkan dalam  penelitian ini untuk menjaga integritas dari keseluruhan mata sebagai nilai vitreous yang valid.17 Selain itu, penyakit kronis seperti gagal ginjal juga dikeluarkan dalam  penelitian ini. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa proses postmortem autolitik dan metabolik, seperti peningkatan Kalium pada postmortem dan tingkat hipoxantin di humor vitreous, dipengaruhi oleh penyakit kronis.23

(16)

Kasus otopsi dikelompokkan menjadi tiga kelompok sesuai dengan PMI (Postmortem Interval) sesuai dengan Garg et al.15dan Ahi dan Garg.16

Hipostasis (lebam mayat) postmortem adalah salah satu perubahan postmortem  paling jelas. Dalam penelitian ini, hipostasis (lebam mayat) termasuk dalam skor yang

dihitung. Korelasi yang signifikan antara skor hipostasis (lebam mayat) dan PMI (Postmortem Interval). Prahlow24  dan Houck dan Siegel25 menyatakan bahwa hipostasis (lebam mayat) postmortem dapat dilihat paling dini 20 menit setelah kematian, memuncak pada sekitar 3-4 jam. Hal ini menjelaskan tidak adanya kasus, tidak ada hipostasis (lebam mayat) yang dapat dihapus oleh penekanan ibu jari.

(17)

Gambar 3. Nilai rata-rata dan jarak konfiden 95% dari deviasi absolut untuk residual dari lima persamaan. 95% CI: interval konfiden 95%. Abs K : Residu absolut yang diperoleh dari persamaan 1. Abs H: Residu absolut sisa yang diperoleh dari persamaan 2. Abs KH: Residu absolut yang diperoleh dari persamaan 3. Abs CRH: Residu absolut sisa yang diperoleh dari persamaan 4. Abs CRHKH: Residu absolut sisa yang diperoleh dari persamaan 5.

Pada saat yang bersamaan hal itu menjelaskan sebagian besar kasus hampir tidak menunjukan lebam mayat pada penekanan ibu jari (skor 3) ditemukan sebelum 12 jam  postmortem dalam penelitian ini sementara semua kasus diatas 12 jam postmortem, dari semua kasus diatas poin ini memiliki lebam mayat yang tidak dapat dipindahkan dengan penekanan jempol (skor 4).

Dalam penelitian ini, korelasi yang signifikan tercatat antara PMI dan sejumlah kaku mayat. Namun, distribusi tidak teratur dari kasus yang diselidiki pada sejumlah kaku mayat dalam kaitannya dengan PMI tercatat dalam karya ini. DI PMI kurang dari

(18)

12 jam, banyak kasus dengan skor 4 berada dikisaran PMI antara 12 dan 24 jam, sebagian besar kasus berada di skor 4. Ini dapat dijelaskan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi urutan terjadinya serta waktu kaku mayat.

Kekeruhan kornea merupakan salah satu perubahan pemeriksaan postmortem yang terpenting. Perubahan kekeruhan kornea diyakini menjadi penyebab kedua dalam  perubahan hidrasi. Kadar air yang meningkat dalam stroma kornea merupakan  penyebab utama yang bertanggung jawab atas pembengkakan dan kekeruhan setelah

kematian.

Tabel 12.

Pada penelitian ini kekeruhan kornea mempunyai 4 skor. Sebuah korelasi yang signifikan tercatat antara skor pada kekeruhan kornea dan PMI. Hasil ini juga disetujui oleh Honjyo et al.

Pada perbandingan dari ketiga perubahan fisik post-mortem , kekeruhan kornea lebih kuat berkorelasi dengan PMI, diikuti oleh hipostatis kemudian rigor mortis. Ini menurut pendapat studi Balci et al yang dimana mereka menyimpulkan  bahwa kekeruhan kornea mempunyai hubungan yang signifikan dengan waktu

(19)

post-mortem dan dapat digunakan dalam memperkirakan interval post-post-mortem khususnya ketika digunakan dengan penemuan post-mortem yang lain.

Pada penelitian ini, nilai konsentrasi K+ di humor vitreus diperoleh pada zaman sekarang sebanding dengan yang diperoleh Yogiraj et al. tidak ada statistik yang menyebutkan relasi yang signifikan yang ditemukan antara konsentrasi K+ pada humor vitreus dan jenis kelamin. Hasilnya serupa dengan )0 et al dan Jashnani et al. selain itu, tidak ada korelasi yang signifikan yang tercatat antara konsentrasi K+ pada humor vitreus dengan umur pada kasus yang dikemukakan Garg et al dan Ahi dan Garg.

Penelitian mutakhir menunjukkan sebuah hubungan yang signifikan antara level K+ pada humor vitreus dan PMI. Level paling sedikit ditemukan pada PMI kurang dari 12 jam dan level ini akan bertambah secara berangsur-angsur pada PMI antara 12 dan 24 jam, untuk mencari lever tertinggi pada PMI didapatkan antara 24 dan 60 jam.

Hasil ini dapat dijelaskan pada keterangan penelitian Jashnani et al yang menyatakan bahwa setelah meninggal ada kebocoran potassium secara terus menerus karena keterbatasan mekanik pada membrane. Peningkatan level potassium vitreus  berlanjut dengan peningkatan periode setelah meninggal sampai keseimbangan dengan  plasma sets.

Sebuah korelasi yang bersignifikan tinggi dengan hubungan linier tercatat antara konsentrasi K+ pada humor vitreus dan PMI. Level K+ pada humor vitreus meningkat secara teratur bersamaan dengan peningkatan PMI.hasilnya sesuai dengan  penelitian lain, potassium vitreus pada periode post-mortem.

Landaian pada kenaikan level K+ di humor vitreus pada penelitian yang  berbeda adalah range dari 0,14 mmol/l sampai 0,55 mmol/l. Sama halnya dengan laporan zero our intercepts di literature adalah variable dengan range 3,4 mmol/l sampai 8 mmol/l.

Variasi landaian dari kenaikan level K+ pada humor vitreus antara penelitian yang berbeda dapat menunjukkan perbedaan pada range PMI yang diobservasi pada tiap penelitian, prosedur penyimpanan humor vitreus dan suhu, jumlah kasus otopsi dan teknik analitik. Selanjutnya suhu lingkungan berperan sangat penting dalam

(20)

menjelaskan landaian pada kenaikan level K+ di humor vitreus dan zero level intercept; landaian akan meningkat dengan peningkatan suhu lingkungan sekitar. Ini ditunjukkan oleh Rognum et al.

Penelitian ini terungkap tidak ada hubungan yang signifikan antara level hiposantin pada humor vitreus dan umur kasus. Selain itu, tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara level hiposantin di humor vitreus dengan jenis kelamin yang bersamaan dengan penelitian Rognum et al.

Hubungan yang signifikan ditemukan antara level hiposantin pada humor vitreus dan PMI. Level hiposantin mulai meningkat pada grup PMI kurang dari 12  jam, berlanjut meningkat pada grup antara 12 dan 24 jam, untuk mencari level

tertinggi didapatkan antara 24 dan 60 jam. Hasil ini juga dikemukakan oleh Rognum et al dan Madea et al.

Peningkatan hiposantin akan berkelanjutan peningkatan konsentrasi AMP,  penurunan transformasi hiposantin pada asam urat dan penghambat oksidase santin.

Terdapat suatu korelasi yang signifikan antara konsentrasi Hx dalam VH dan PMI. Peningkatan Hx sebanding dengan peningkatan PMI.Hal ini sesuai dengan  penelitian Munoz Barus et al., Madea and Passos et al.

Kelandaian dari peningkatan level Hx dalam VH dalam penelitian ini adalah 4,55 µmol/l/h. Hal ini menandakan bahwa level Hx dalam VH meningkat 4,55 µmol/l dalam setiap jam peningkatan PMI. Terlebih lagi, pemintasan 0 jam dari level Hx dalam VH pada penelitian ini adalh 155,05 µmol/l.

Kelandaian ini sebanding dengan kelandaian yang dilaporkan pada penelitian yang dilakukan oleh James et al. Pada waktu yang sama, lebih curam daripada yang diperoleh oleh Madea et al. dan Munoz Barus et al. Pada sisi lain, lebih datar pada  penelitian Passos et al. Hal ini dapat dijelaskan dari perbedaan suhu lingkungan yang

dibuktikan oleh Rognum et al. dan Madea untuk mempengaruhi peningkatan kelandaian dari level Hx dalam VH. Selain itu, perbedaan teknik pengukuran juga mempengaruhi perbedaan yang terjadi.

Penelitian ini menunjukan bahwa konsentrasi K +  dalam VH sangat  behubungan kuat dengan PMI daripada level Hx. Oleh karena itu, perkiraan waktu

(21)

serupa dilaporkan oleh Madea et al., Munoz Barus et al., dan Madea. Hal ini dapat dikaitkan dengan fakta bahwa peningkatan pada post-mortem yang mana disebabkan difusi berhubungan lebih kuat dengan waktu kematian daripada parameter yang meningkat karena disebabkan terjadinya degradasi post-mortem dan difusi. Madea menyatakan bahwa pada post-mortem terjadi peningkatan vitreous K + yang menyebar dari retina ke pusat bola mata, sementara peningkatan level Hx merupakan hasil degradasi dari metabolisme adenine nucleotid. Hx dibentuk dari beberapa reaksi enzimatik kemudian menyebar ke sekitar dengan konsentrasi yang tinggi.

Semua variable penelitian dalam penelitian ini secara signifikan berhubungan dengan PMI, tetapi nilai koefisien korelasi berbeda di antara variable yang berbeda. Koefisien korelasi tertinggi pada kekeruhan kornea diikuti oleh level K +  dalam VH dan hypostasis, kekakuan, terakhir pada level Hx dalam VH.

Hubungan-hubungan yang signifikan ini terlihat antara perbedaan variable dalam penelitian ini ; hypostasis, kekakuan, kekeruhan kornea, K + dan level Hx dalam VH dan PMI dengan syarat ada dasar teoritis yang mana PMI dapat diperkirakan. Semua persamaan diperoleh pada penelitian ini PMI dapat diprediksikan tetapi dengan  perbedaan level dari ketelitian.

Ketelitian dari hasil yang sama pada penelitian sekarang dites dengan metode yang berbeda; perhitungan dari R 2, adjusted R 2, persentase dari penyusutan yang mana  berbeda antara adjusted R 2  dan R 2  dan nilai rata  –   rata dari deviasi absolut pada

residual, yang mewakili perbedaan antara actual dan perkiraan PMI.

 Nilai ketelitian tertinggi diperoleh dari persamaan 5 ; di mana kombinasi dari metode pemeriksaan fisik dan thanatochemistry yang digunakan bersama pada analisis regresi yang sama, berisikan semua 5 variabel pada penelitian sekarang untuk memperkirakan PMI. Persamaan ini mempunyai level tertinggi dari R 2dan adjusted R 2 . Pada waktu yang sama, paling sedikit mempunyai penyusutan persentase dan paling sedikit rata  –  rata deviasi absolut selama residual. Hal ini didukung oleh Kaliszan et al., Henssge et al. dan Ahi dan Garg yang mana menyatakan penentuan dari waktu kematian harus didasarkan pada kombinasi aplikasi metode berbeda dalam hal untuk meningkatkan ketelitian.

(22)

Dalam studi saat ini, Persamaan 4 diikuti Persamaan 5 di tingkat akurasinya, di mana analisis regresi berganda dipekerjakan untuk memperkirakan PMI menggunakan tiga tanda fisik perubahan pada postmortem (menggunakan semua metode yang dijelaskan sebelumnya untuk pengujian akurasi persamaan yang dihasilkan). Hal ini dapat dijelaskan dengan jumlah variabel yang digunakan dalam regresi yang sama untuk memperkirakan selang waktu postmortem. Hasil ini  bertepatan dengan Madea yang menyimpulkan bahwa kenaikan jumlah variabel dalam

analisis regresi yang sama (multiple analisis regresi) dapat meningkatkan ketepatan estimasi waktu kematian. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan berarti antara nilai penyimpangan mutlak untuk residual diperoleh dari Persamaan 5 dan 4.

Pada saat yang sama, perbedaan yang signifikan tercatat antara nilai  penyimpangan mutlak untuk residual diperoleh dari Persamaan 4 dan 5 dan tiga  persamaan lainnya berhubungan erat dengan variabel thanatochemical (tingkat K + di VH sendiri dalam Persamaan 1, tingkat Hx di VH sendiri di Persamaan 2 dan tingkat kedua K + dan Hx dalam Persamaan 3), tanpa perbedaan yang signifikan antara tiga  persamaan tersebut. ini menunjukkan akurasi yang lebih baik dari metode fisik yang

digunakan untuk estimasi PMI dari thanatochemistry dalam postmortem yang intervalnya hingga 60 jam penyelidikan di pekerjaan saat ini. Lange et al. Dikaji kembali data dari enam penelitian yang berbeda pada vitreous kalium dan mereka menyatakan bahwa penggunaan kimia di postmortem dalam penentuan PMI sulit karena efek dari faktor-faktor lain dan umumnya kecil jumlah kasus yang tersedia bagi  penyidik tunggal.

Honjyo et al. dikonfirmasi kegunaan menggunakan perubahan fisik  postmortem dalam estimasi PMI meskipun kebanyakan dari mereka subjektif dan memiliki variasi yang luas. Di sisi lain , sistem untuk menilai perubahan fisik pada  postmortem denganmetode yang sederhana dan akurat bagi estimasi PMI tidak

memerlukan alat khusus untuk penilaian mereka.

6. Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa persamaan yang paling akurat adalah persamaan menyangkut semua variabel yang diteliti (tiga postmortem perubahan di samping K + dan tingkat Hx di VH). Selain itu, metode penilaian untuk Perubahan fisik postmortem

(23)

ini telah terbukti lebih berharga dalam estimasi PMI dari thanatochemistry dalam kisaran yang diselidiki dari PMI adalah sampai dengan 60 jam.

(24)

DISKUSI

1. Apa saja faktor yang mempengaruhi cepat lambat dari kekeruhan kornea (Fikry)

 Keadaan kelopak mata

 Keadaan menutup tidak ada kontak dengan udara luar dan lebih lambat memperlambat terjadi kekeruhan kornea

 Keadaan membuka ada kontak dengan udara luar lebih kering mempercepat terjadinya kekeruhan kornea

 Lama waktu kematian

 Proses transpot aktif pertukaran kalium dan natriun meninggal

energ tidak ada semua bisa masuk hidrasi

2. Bagaimana peran hipoxantin sebagai thanatochemistry dalam proses decomposisi (Elfin)

 Ada 2 proses autolisis dan mikroorganisme

Autolisis: lisisnya sel tanpa campur tangan dari lingkungan dan mikroorganisme.

Hipoxantin itu dari metab purin nukleus lisis metab tidak terjadi

muncul hipoxantin

Sel-sel yg lisis pertama adalah sel yang mempunyai enzim cotoh pada  pangkreas

Hipoxantin pada mata inti sel autolisis Dekomsisi mempengarui dari munculnya hipoxantin hipoxantin berdifusi ke dari retina ke bagian mata depan

3. Perbedaan metode turbidimetri dengan kolorimetri ? (Reta) Metode pengambilan kalium dan hipoxantin

 Turbimetri: analis kuantitatif pada kekeruhan humour vitreus dinilai

dari hantaran cahaya dan banyaknya jumlah partikel

 Kolorimetri : dilihat adanya perbedaan warna atau tidak dengan

Gambar

Tabel 1. Skore tiga perbahan postmortem (kaku mayat, lembam mayat, dan kekeruhan kornea)
Tabel 3. Hubungan perbedaan antara skor hipostasis (lebam mayat) dan PMI (Postmortem Interval) (n=70)
Tabel 6. Korelasi antara PMI (Postmortem Interval) dan skor rigitas (kaku mayat), hipostasis (lebam mayat) dan kekeruhan kornea pada postmortem
Tabel  10  menunjukkan  bahwa  nilai  R  2  tertinggi untuk persamaan nomor 5 yaitu 0,75 dan yang paling sedikit adalah untuk persamaan nomor 2 yaitu 0.17.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan data cermin sesar menggunakan program komputer “TENSOR” yang ditujukan untuk mendapatkan pola tegasan dan juga rezim tegasan yang menyebabkan

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan

Informasi beda tinggi dan jarak antar titik pada penampang dapat digunakan untuk menentukan nilai kemiringan (gradient) jalan, sungai, dan lain-lain.. Pengukuran penampang

Berat badan lahir bayi sebagian besar bayi baru lahir dengan berat badan lahir cukup (BBLC) sedangkan kejadian ikterus pada bayi baru lahir mayoritas terjadi

〔商法 三三三〕 損害保険契約における他保険契約の告知義務とその違反の効果 来住野, 究Kishino, Kiwamu 商法研究会Shoho kenkyukai

〔商法 五〇三〕 特許庁の担当職員の過失により特許権を目的とする 質権を信用金庫が取得できなかったことによる損害額が認定された

Melihat keadaan lingkungan dikedua lokasi ini , bahwa lingkungan di desa Tongkaina lebih menunjang pertumbuhan dan perkembangan spesies Halophila ovalis , dapat dilihat

Menjalin hubungan yang baik dengan atasan sehingga bawahan memperoleh perhatian tinggi dari atasan merupakan hal yang diingini oleh masyarakat dalam konteks budaya