RENCANA PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest, 1882)
RIZKI KURNIA TOHIR E34120028
PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PENDAHULUAN
Pemanfaatan hidupan liar sebagai sumber protein hewani dan obat-obatan telah dilakukan sejak dulu. Meskipun telah beralih menuju modernisasi, ternyata kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pengobatan dan penyembuhan yang berasal dari hidupan liar masih tetap dipertahankan, bahkan lebih meningkat dengan adanya proses teknologi modern. Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) adalah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat menjadi obat bagi penyakit tertentu oleh masyarakat Cina, terutama sisik dan dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat pedesaan di Kalimantan Timur (Zainuddin 2008).
Trenggiling adalah satwa yang dilindungi oleh pemerintah (PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar), memiliki status Critically Endangered menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red List dan masuk ke dalam Daftar Lampiran (Appendix) II CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna). Trenggiling dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan oleh management authority yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atas pertimbangan scientific authority, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Melihat perkembangan pemanfaatan yang kian meningkat terutama penangkapan dan perdagangan secara ilegal, Kang dan Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) menyebutkan ada wacana untuk merubah status trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin memperkuat bahwa trenggiling semakin langka dan dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian, perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan menjadi indikasi bahwa permintaan pasar terhadap satwa ini terus meningkat sehingga suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan berkelanjutan.
Penurunan populasi trenggiling di alam dapat disebabkan oleh perburuan liar yang belum dapat dikendalikan. Upaya penyelamatan trenggiling danpengelolaan populasi trenggiling secara in-situ sampai saat ini tercakup hanya dalam bentuk pengelolaan kawasan konservasi, sedangkan di luar kawasan
konservasi sulit dilakukan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh degradasi habitat seperti adanya ladang ataupun perkebunan yang tidak memadai bagi trenggiling sehingga menjadikan ketersediaan pakan di alam terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu manajemen pengelolaan trenggiling di habitat alami untuk mendukung peninngkatan populasi trenggiling di habitat alaminya.
BIOEKOLOGI TRENGGILING Taksonomi
Trenggiling adalah satwa dengan klasifikasi; Kingdom: animalia; Filum: Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Sebagai salah satu mamalia yang hidup di hutan tropis, trenggiling tergolong unik diantara mamalia lainnya (Ruhyana 2007). Secara fisik keunikan tersebut ditunjukkan dengan keberadaan sisik yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak memiliki gigi, dan memiliki sistem pertahanan yang baik dengan cara menggulungkan tubuhnya ketika bahaya mengancam. Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus). Akan tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001) dan memiliki bentuk tubuh yang hampir menyerupai satu dengan lainnya. Beberapa ahli Paleontology mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah.
Trenggiling dapat dikatakan memiliki kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan dalam adaptasi hidupnya, terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya menggunakan lidahnya. Melihat dari pola pencarian pakan dan jenis pakan yang digunakan yaitu semut, trenggiling dapat dikatakan dekat dengan mamalia Myrmecophagidae dari hutan tropis di dataran tinggi timur Brazil. Giant anteater atau trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla Linnaeus, 1758) merupakan mamalia pemakan semut yang memiliki kecepatan memangsa semut 30,8 detik atau sebanyak 0,6 ekor semut
per menit dengan kemampuan jelajah rata-rata 1-2 km (Shaw et al. 1985). Trenggiling di dunia terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (Manis tricuspis, Manis tetradactyla, Manis gigantea dan Manis temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (Manis javanica, Manis crassicaudata dan Manis pentadactyla) dan di Indonesia hanya terdapat satu spesies yakni Manis javanica (Rahm 1990). Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) terdapat satu spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis. Sebelumnya spesies ini dianggap sebagai spesies Manis javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan beberapa perbedaan dengan Manis javanica.
Keanekaragaman trenggiling bukan hanya terlihat dari spesiesnya yang cukup banyak melainkan juga terlihat dari jumlah sub spesies yang beragam. Selain Manis javanica ternyata masih terdapat beberapa sub spesies trenggiling dari spesies Manis pentadactyla, Manis tetradactyla, dan Manis tricuspis yakni 1) M. pentadactyla aurita, M. pentadactyla dalmanni, M. pentadactyla pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla; 2) M. tetradactyla longicaudus; 3) M. tricuspis tricuspis (Tree Pangolin).
Morfologi dan Anatomi
Trenggiling merupakan satwa sexual dimorphism. Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998). Tubuh jantan berukuran lebih besar dibandingkan trenggiling betina. Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif. Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang dengan baik sehingga makanan yang masuk ke dalam mulutnya akan langsung ditelan dan dicerna di dalam lambung. Selain itu, ulang lidahnya (os hyoideus) yang berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus pada karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan (Cahyono 2008).
Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya, mencapai 56 cm (Attenborough dalam Ruhyana 2007) dan dapat menjulur hingga 25 cm (Breen 2003). Karena tidak memiliki gigi, diduga
trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan tertentu sehingga menarik untuk diteliti. Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih pakan di habitatnya (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari (2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin.
Habitat dan Penyebaran
Trenggiling hidup di berbagai habitat seperti di hutan primer, hutan sekunder, bahkan di areal perkebunan seperti perkebunan karet dan di daerah- daerah terbuka (Foenander 1953; Lekagul dan McNeely 1977; Zon 1977; Bain dan Humphrey 1982; Davies dan Payne 1982). Di Indonesia trenggiling tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar 2007). Selain itu trenggiling juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.
Trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan biasanya menempati sarang selama beberapa bulan saja. Trenggiling memiliki kekerabatan dekat dengan trenggiling raksasa (Myrmecophaga tridactyla) sehingga diduga pola daerah jelajah trenggiling menyerupai daerah jelajah trenggiling raksasa. Menurut Medri dan Mourão (2005), trenggiling raksasa (giant anteater) betina memiliki wilayah yang lebih luas dari pada jantan. Hasil yang sama juga ditunjukkan dari pengamatan sarang trenggiling yang berada di atas pohon, di lubang-lubang yang berada di bagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Trenggiling juga seringkali ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lain dan pintu masuk ke lubang sarang selalu tertutup (Lim dan Ng 2008).
PERMASALAHAN DAN ANCAMAN
Trenggiling merupakan satwa yang banyak diburu oleh masyarakat. Pemanfaatn trenggiling dilakukan secara local untuk kebutuhan konsumsi, sumber protein maupun perdagangan internasional terhadap kulit, sisik dan daging (Harrison dan Loh 1965, CITES 2000). Kulit trenggiling banyak digunakan di dunia perindustrian sebagai bahan sepatu, sandal dan jaket termasuk sisik trenggiling digunakan sebagai ornament. Selain itu trenggiling banyak digunakan sebagai obat (CITES 2000). Perdagangan trenggiling internasional ternyata tidak hanya terhadap kulit, sisik, dan daging melainkan terhadap hidupan trenggiling yang didapatkan dari hasil perburuan liar di alam. China dan Vietnam merupakan negara terbesar pengkonsumsi trenggiling dan menjadikannya makanan mahal dan obat tradisional (Pantel dan Chin 2009).
Perburuan trenggiling secara illegal banyak dilakukan di Indonesia diantaranya di Kalimantan Tengah dan Barat (S. Cheyne pers. comm. 2013). Tetapi volume penjualan trenggiling terbesar berasal dari Sumatera dengan tujuan China dan Vietnam (Pantel and Chin 2009, Challender et al. in prep.). Daerah kepulauan Riau, sumatera seperti kepulauan Lingga Dao, Kepulauan Singkep dan Kepulauan Senayung merupakan pemasok perdagangan trenggiling terbesar yang memiliki jalur perdagangan melalui batam dan kemudian ke Malaysia. Karena banyaknya permintaan negara China dan Vietna, terhadap trenggiling dengan harga yang mahal maka pada tahun 2005 terjadi perdagangan besar-besaran. Hal ini menyebabkan populasi alami trenggiling sangat terancam (Wirdateti, 2008, pers. comm.).
Selain perdagangan illegal, menurunnya populasi trenggiling di habitat alami disebkan juga karena banyak terjadi perubahan habitat alami kareba penebangan liar, peraturan otonomi daerah yang disalah gunakan, serta peraturan yang tidak berlaku. Pengetahuan masyarakat terhadap satwa yang dilindungi serta terancam punah sangat minim, hal ini juga sangat berpengaruh terhadap keberadaan satwa, karena partisipasi masyarakat sangat berperan dalam peyelamatan populasi trenggiling.
RENCANA PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica) Penyusunan rencana pengelolaan ditujukan untuk meningkatkan kembali populasi trenggiling (Manis javanica) di habitat alaminya. Perlu dukungan dari semua pihak untuk mengimplementasikan rencana pengelolaan ini. Adapaun rencana pengelolaan trenggiling yang disesuaikan dengan permasalahan yang ada, yaitu sebagai berikut:
A. Penelitian Konservasi
No Aksi Penjelasan Waktu Skala
1 Monitoring
a. Membuat tata cara monitoring kelimpahan trenggiling
Tata cara monitoring trenggiling sangat penting dibuat karena sebagai alat untuk mendapatkan informassi mengenai populasi dan area focus konservasi
2 Tahun
b. Membangun database online penyitaan trenggiling
Infromasi ini akan membantu dalam menentukan luas penjualan dan dinamika potensi penjualan trenggiling
8 bulan
c. Membuat indeks harga
trenggiling Untuk melacak harga eceran trenggiling Terus monitoring d. Membuat indeks
konsumsi trenggiling Melakukan survey konsumsi trenggiling di beberapa daerah untuk mengetahui demografi permintaan serta akan memberikan informasi mengenai rencana menekan permintaan atas trenggiling.
10 tahun 2 Pengaturan Reproduksi a. Membangun protocol untuk pengaturan reproduksi trenggiling Untuk memastikan keberhasilan praktek reproduksi trenggiling 5 tahun b. Membangun protocol rehabilitasi dan reintroduksi Untuk memastikan keberhasilan praktek
rehabilitasi dan reintroduksi trenggiling
8 bulan
3 Ekologi dan Perilaku a. Menentukan habitat
yang cocok untuk trenggiling.
Pemodelan relung trenggiling sangat penting karena akan sangat membantu dalam identifikasi kawasan
keberadaan trenggiling serta
dapat mengidentifikasi
kawasan yang potensial untuk reintroduksi.
b. Memahami wilayah jelajah, perpindahan dan distribusi trenggiling serta dinamika populasi di alam
Memahami ekologi trenggiling akan sangat membantu dalam konservasi trenggiling. 4 tahun 4 Genetik a. Analisis DNA trenggiling untuk mengidentifikasi variasi genetic populasi dalam dan antar spesies
Jika saat penyitaan dilakukan maka akan diketahui asal trenggiling.
4 tahun
b. Identifikasi variasi genetik
Informasi dapat berguna untuk menentukan target
keanekaragaman genetic trenggiling
4 tahun
B. Perlindungan Trenggiling
No Aksi Penjelasan Skala
Waktu 1 Identifikasi pola
perlindungan trenggiling yang ada.
Akan menentukan kawasan prioritas perlindungan
18 bulan 2 Implementasi dan
dukungan terhadap kegiatan montoring
kawasan dengan kepadatan trenggiling tertinggi
Untuk mempertahankan kesehatan populasi trenggiling
Selamanya
3 Edukasi masyakarat local
mengenai trenggiling Untuk menghimpun kesadaran masyarakat terhadap penyelamatan trenggiling
3 tahun 4 Mengintervensi
matapencaharian
masyarakat yang berburu trenggiling
Untuk memastikan bahwa masyarakat mempunyai alternative mata pencaharian selain berburu trenggiling
4 tahun
C. Rekomendasi Kebijakan
No Aksi Penjelasan Skala
Waktu 1 CITES
a. Mengadakan rapat antar stakeholder terkait untuk membahas kebijakan.
Untuk menginformasikan kepada khalayakumum mengenai kebijakan dalam konservasi dan perdagangan trenggiling.
1 tahun
b. Hubungan antara CITES dengan peneliti lain untuk menentukan
Sebagai dasar bukti pengaruh terhadap populasi serta aturan pemanenan
bagaimana mengatur panenan lestari 2. Perundang-undangan
a. Review gap terhadap perundangan
perlindungan trenggiling yang ada dan identifikasi alternatifnya
Memahami bahwa gap akan memungkinkan adanya pengaruh terhadap perlindungan trenggiling, sehingga harus diadakannya perubahan perundangan konservasi trenggiling
1 tahun
3 Pelaksanaan
a. Mengadakan pelatihan dan pembuatan bahan ajar untuk pelaksanaan konservasi trenggiling untuk meningkatkan kesadaran dan
kemampuan pelaksana
Untuk meningkatkan
kesadaran terhadap aturan dan dinamika perdagangan serta meningkaykan kemampuan pelaksana perundangan konservasi trenggiling
2 tahun
D. Pengurangan Permintaan, Perubahan Perilaku dan Peningkatan Kesadaran Asyarakat
No Aksi Penjelasan Waktu Skala
1 Penguranga permintaan terhadap daging dan sisik trenggiling a. Membangun dan
mengimplementasikan strategi pengurangan permintaan terhadap daging dan sisik trenggiling
Mengimplementasikan strategi pengurangan permintaan merupakan salahsatu cara yang sangat penting untuk
menurunkan perburuan dan perdagangan trenggiling
4 tahun
2 Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang trenggiling secara global a. Meluncurkan media
digital dan
meningkatkan kesadaran akan trenggiling dengan berkampanye
Strategi media digital diantaranya termasuk video, foto, permainan dan sosia media untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerina dan lembaga pendonor untuk melakukan konservasi trenggiling 2 tahun b. Mengajak komunitas seni untuk mempromosikan keadaan trenggiling
Komunitas seni akan menarik perhatian banyak orang, sehingga sangat efektif untuk mengkampanyekan keadaan trenggiling.
Terus menerus
c. Mengajah yayasan-yayasan amal untuk membantu melakukan kegiatan konservasi trenggiling
Untuk mengumpulkan dana untuk kegiatan konservasi trenggiling
Terus menerus
d. Mengajak pengkonsumsi daging dan sisik
trenggiling berhenti
Mengajak perubahan perilaku konsumsi trenggiling.
Terus menerus
KESIMPULAN
Trenggiling merupakan satwa langka yang sudah terancam keberadaannya karena perusakan habitat serta perburuan illegal yang banyak dilakukan untuk kegiatan ekspor keluar negeri. Besarnya perburuan illegal terhadap trenggiling dikarenakan permintaan pasar akan trenggiling sangat tinggi serta dibanrdrol dengan harga yang mahal, hal ini yang menarik masyarakat untuk memburu trenggiling secara praktis dialam. Oleh karena itu diperlukan manajemen pengelolaan trenggiling termasuk diantaranya mulai dari proses penelitian untuk emnegtahui kondisi sebenarnya dialam, perlindungan trenggiling, kegiatan untuk kampanye pengurangan pemanfaatan konsumsi trenggiling, meningkatkan kesadaran masyarakat serta pembuatan peraturan perundang-undangan yang terbaru. Jika semua manajemen pengelolaan dilakukan tentunya akan mendukung sekai perbaikan kondisi populasi trenggiling di habitat alaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Breen K. 2003. Manis javanica, Animal Diversity Web. Dalam: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Manis_j avanica.html.
Cahyono E. 2008. Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. CITES. 2000. Prop. 11.13. Manis crassicaudata, Manis pentadactyla, Manis
javanica. Transfer from Appendix II to Appendix I (India, Nepal, Sri Lanka, United States). Available at:http://www.cites.org/eng/cop/11/prop/13.pdf. Gaubert P and Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan
pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological characters [abstract]. Journal of Mammalogy 86 (6).
Harrisson, T. and Yin, L.C. 1965. To scale a pangolin. Sarawak Museum Journal 12: 415-418.
Hertanto, editor. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. Dalam: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/17/21594696/Sejuta.Kilo.Dag ing.Tr nggiling.Dijual.
Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Lim NTL dan Ng PKL. 2008. Home range, activity cycle and natal den usage of a female sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore. Endangered Species Research 4: 233-240.
Medri IM dan Mourão G. 2005. Home range of giant anteaters (Myrmecophaga tridactyla) in the Pantanal wetland, Brazil. Journal of Zoology 266(4): 365-375.
Murphy WJ, Eizirik E, O’Brien SJ, Madsen O, Scally M, Douady CJ, Teeling E, Ryder OA, Stanhope MJ, Jong WW de, Springer MS. 2001.Resolution of the Early Placental Mammal Radiation Using Bayesian Phylogenetics. Science 294 (5550): 2348-2351.
Pantel, S. and Chin, S.Y. 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins native to South and Southeast Asia. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Payne J, Francis CM. 1998. A field guide to the mammals of Borneo. The Sabah Society, Kota Kinabalu.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Ruhyana AY. 2007. Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica) dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-paru. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Shaw JH, Carter TS, Machado-Neto J. 1985. Ecology of the giant anteater Myrmecophaga tridactyla in Serra da Canastra, Minas Gerais, Brazil: a pilot study.
Shepherd CR. 2008. Overview of pangolin trade in Southeast Asia. In: Sandrine Pantel and Chin Sing Yun (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July June-2008, Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. Dalam: http://www.antara.co.id/.