• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Cangkang telur ayam telah digunakan secara empiris sebagai bedak tabur oleh masyarakat tertentu di Jawa Tengah. Karena tekstur bedak tabur dapat berfungsi sebagai penahan sinar ultraviolet (UV), maka di dalam penelitian ini dibuat sediaan tabir surya yang berbentuk krim. Suatu zat dapat berfungsi menahan radiasi UV dengan dua mekanisme yaitu pertama, mengabsorpsi paparan sinar UV dan kedua, membaurkan paparan sinar UV berupa serbuk halus. Sebagian besar dari penyusun cangkang terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Yang

akan dilakukan penghalusan sampai ukuran serbuk tertentu dengan metode tertentu sehingga dapat digunakan sebagai tabir surya.

Sinar matahari memberikan efek menguntungkan dan merugikan bagi tubuh manusia. Efek yang menguntungkan tersebut adalah berguna dalam pembentukan vitamin D yang sangat penting di dalam pembentukan tulang. Tetapi apabila paparan dari sinar matahari tersebut berlebihan akan menimbulkan efek yang merugikan seperti kulit terbakar bahkan kanker kulit. Penggunaan tabir surya sebelum terpapar langsung oleh sinar matahari merupakan salah satu cara untuk mencegah efek merugikan dari sinar matahari(Pathack, 1990).

Penggunaan tabir surya bertujuan untuk mengurangi dampak merugikan dari sinar UV pada kulit. Kemampuan suatu sediaan tabir surya dalam melindungi kulit dinyatakan dengan nilai FPS yang merupakan perbandingan antara dosis energi terendah untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit yang dilindungi sediaan dibandingkan terhadap energi terendah yang diperlukan untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit yang tidak dilindungi tabir surya.

Pada penelitian ini dilakukan pengolahan cangkang telur menjadi serbuk halus dengan menggunakan blender dan ball mill, pengembangan formula krim dengan evaluasi sediaan secara farmasetika, dan uji aktivitas sediaan dengan penentuan nilai FPS pada kelinci albino galur New Zealand.

(2)

2 BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai cangkang telur ayam, anatomi kulit, sinar matahari, tabir surya, krim, serbuk, dan praformulasinya.

1.1 Cangkang Telur

Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai karakteristika, struktur dan kandungan kimia, dan kegunaan cangkang telur.

1.1.1 Karakteristika Cangkang Telur

Cangkang telur yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ayam broiler petelur.

Spesifikasi cangkang telur yang digunakan yaitu permukaan yang halus, dan dipilih berwarna kecoklatan (Leslie, 1961).

1.1.2 Struktur dan kandungan kimia cangkang telur

Cangkang telur ayam memiliki tiga lapisan yaitu kutikula, lapisan stratum, lapisan membran. Masing-masing lapisan tersebut memiliki kandungan kimia tertentu. Kutikula merupakan lapisan terluar yang memiliki ketebalan 10 µm dan saluran pori, serta berfungsi melindungi telur dari kelembaban, mikroorganisme, dan membantu pertukaran gas yang masuk ke dalam telur. Lapisan ini mudah terkelupas oleh adanya asam lemah atau larutan pengkompleks logam maupun dengan pencucian menggunakan air. Lapisan kutikula mengandung 90 % protein dan sejumlah kecil karbohidrat dan lemak. Protein tersebut mengandung glisin, asam glutamat, lisin, sistin, dan tirosin. Sedangkan karbohidratnya meliputi heksosamin, galaktosa, manosa, fuksa, glukosa, dan asam sialat.

Lapisan stratum adalah campuran dari matriks protein yang dibuat sebelum dekomposisi kalsium karbonat, terdiri dari lapisan kristal vertikal, palisade, dan lapisan mamilari. Keseluruhan lapisan mengandung 95 % zat anorganik (kalsium karbonat), 3,3 % protein, dan 1,6 % air lembab. Lapisan kristal terdiri dari kristal pendek dan tipis yang tersusun secara

(3)

vertikal, sedangkan lapisan palisade sangat rapat dan keras karena struktur kristalnya terbentuk dari kalsifikasi dari kalsium karbonat yang mengandung sejumlah kecil magnesium, bergabung dengan kolagen membentuk suatu matriks spons. Lapisan membran terdiri dari membran luar dan dalam, terdiri dari 70 % senyawa organik, 10 % senyawa anorganik, dan 20 % air (Davis, 2002).

1.1.3 Fungsi Cangkang Telur

Serbuk cangkang telur saat ini telah digunakan sebagai sumber kalsium yang lebih baik dari susu. Sediaan yang sudah tersedia di pasar berbentuk tablet, akan tetapi sediaan tersebut memiliki efek samping hiperkalsemia, dan sembelit. Selain itu, karena senyawa penyusun yang dominan adalah kalsium karbonat, maka cangkang telur dapat digunakan sebagai antasida. Serbuk cangkang telur sebagai bahan aktif tabir surya belum ditemukan di pasar sampai sekarang (Davis, 2002).

1.2 Kulit

Sediaan yang akan dibuat adalah sediaan semisolida yaitu krim yang akan digunakan secara topikal. Untuk itu diperlukan pembahasan mengenai struktur dan fungsi kulit.

1.2.1 Fungsi dan Anatomi Kulit

Kulit merupakan suatu sistem organ yang meliputi seluruh permukaan tubuh (sistem peliput). Kulit berfungsi untuk perlindungan awal dari tubuh dengan lingkungan luar tubuh. Fungsi kulit yang lain adalah (a) melindungi jaringan yang lebih dalam dari kerusakan fisika, kimia, dan mencegah masuknya mikroorganisme, (b) melindungi tubuh dari kehilangan cairan tubuh dengan mencegah terjadinya penguapan air yang berlebihan, (c) bertindak sebagai pengatur panas, (d) tempat penyimpanan provitamin D dan pembentukan vitamin D, (e) merupakan salah satu organ ekskresi, yaitu melalui keringat, (f) sebagai organ pengindra, dan (g) sebagai tempat pembentukan kolagen.

(4)

Secara anatomi kulit tersusun atas dua bagian, yaitu (1) bagian ektoderm yang terdiri dari epidermis, dermis, dan aksesorinya yaitu kelenjar keringat, kelenjar minyak, rambut, dan kuku; (2) bagian jaringan ikat yaitu korium dan jaringan ikat.

a. Lapisan epidermis

Epidermis terdiri dari beberapa lapisan epitel pipih bertanduk yang memiliki tebal 40 um – 1,6 mm. Karena tidak terdapat pembuluh darah, lapisan epidermis ini memperoleh makanan dari korium melalui proses difusi,. Secara anatomi epidermis terdiri dari lima lapisan, yaitu stratum corneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum germinativum. Stratum corneum terdiri dari 15 sampai 30 lapisan sel keratonisit yang memiliki kandungan air 10-20 %

Pada umumnya sel-sel ini memiliki waktu hidup selama dua minggu. Permukaan stratum korneum bersifat kering dan dilapisi minyak yang berasal dari kelenjar sebaseus. Stratum korneum memiliki pH 5,5-6. Keadaan pH dan adanya lapisan minyak ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Stratum lucidum merupakan lapisan keratotialin yang terdiri dari sel yang tembus cahaya. Stratum granulosum terdiri dari dua sampai lima lapis sel pipih dengan inti sel kecil. Pada lapisan ini, kebanyakan sel mulai membentuk keratin, keratohialin, dan mulai berhenti membelah. Stratum germinativum tersusun dari sel-sel berbentuk kubus, terletak di atas membran basal, tempat di mana sel akan berproliferasi dan membentuk sel mati (Martini, 2001).

b. Lapisan Dermis

Lapisan dermis merupakan jaringan ikat yang tediri dari jaringan serabut kolagen dan terletak di bawah stratum germinativum dengan ketebalan 3-5 mm. Lapisan ini berfungsi memberi nutrisi lapisan epidermis. Lapisan dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papilari yang merupakan jaringan elastis dan lapisa retikuler pada bagian dalam yang merupakan lapisan penyangga. Lapisan papilari memiliki pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan ujung saraf. Sedangkan lapisan retikuler terdiri dari serat kolagen (Martini, 2001).

(5)

c. Lapisan Hipodermis

Lapisan hipodermis atau subkutan merupakan lapisan terdalam yang berada di bawah lapisan dermis. Lapisan hipodermis ini merupakan lembaran lemak yang mengandung sejumlah besar jaringan adiposa yang membentuk agregat dengan jaringan kolagen dan membentuk ikatan lentur antara struktur kulit dengan permukaan tubuh (Martini, 2001).

1.2.2 Warna Kulit

Warna kulit ditentukan oleh komposisi atau konsentrasi pigmen dan peredaran darah pada jaringan kulit. Secara umum epidermis tersusun oleh dua pigmen, yaitu karoten dan melanin. Karoten merupakan pigmen yang berwarna kuning oranye yang terakumulasi di dalam lapisan epidermis dan terlihat pada stratum corneum orang yang memiliki kulit cerah, sedangkan melanin adalah pigmen berwarna coklat, kuning kecoklatan atau hitam yang dihasilkan oleh melanosit. Pigmen melanin berperan untuk melindungi kulit dari radiasi sinar ultra violet pada sinar matahari (Martini, 2001).

1.2.3 Efek Penyinaran Matahari Terhadap Kulit

Penyinaran matahari memiliki efek yang menguntungkan maupun merugikan tregantung dari frekuensi, lama penyinaran, intensitas sinar matahari dan jenis kulit. Efek yang menguntungkan dari penyinaran sinar matahari yang cukup dapat merangsang peredaran darah, serta menigkatkan pembentukan hemoglobin. Sinar matahari juga merangsang pembentukan tulang oleh aktivasi vitmain D3 yang terdapat pada epidermis dengan sinar

matahari. Sinar matahari juga dapat menyembuhkan penyakit misalnya psoriasis, meningkatkan produksi melanin yang berfungsi tabir surya alami dari kulit (Martini, 2001).

Di samping efek menguntungkan, pemaparan sinar matahari yang berlebihan juga dapat berdampak buruk karena sinar matahari mengandung sinar ultra violet (UV). Berdasarkan panjang gelombang dan efek fisiologisnya, sinar UV dibagi atas tiga kelompok, yaitu : UV A, UV B, dan UV C. UV A memiliki panjang gelombang 320-400 nm yang menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa terjadi inflamasi sehingga disebut daerah pigmentasi. UV B memiliki panjang gelombang 290-320 nm sehingga dapat menimbulkan terjadinya iritasi pada kulit. Hal ini menyebabkan rentang panjang gelombang UV B disebut daerah eritema. UV C memiliki

(6)

panjang gelombang 200-290 nm dan tidak dapat mencapai permukaan bumi karena sebagian besar telah terserap oleh lapisan ozon.

Secara alami kulit mempunyai daya perlindungan terhadap sinar matahari karena adanya beberapa lapisan kulit dan sifat karakteristiknya. Lapisan dermis mengandung melanosit pembentuk melanin yang merupakan salah satu pigmen kulit. Adanya pemaparan sinar UV A dapat memicu pembentukan melanin dengan penebalan lapisan tanduk dan pigmentasi kulit dan memberikan perlindungan pada kulit. Namun jika kulit mengelupas, butir melanin akan lepas sehingga kulit kehilanangan pelindung terhadap sinar matahari.

Masing-masing sinar UV memiliki daya tembus terhadap kulit. UV A yang memiliki energi paling rendah dapat menembus kulit sampai ke dermis. Hal ini mengakibatkan berkurangnya elastisitas kulit dan bertanggung jawab sebagai pencetus fototoksisitas dan fotosensitisitas kulit. UV B dapat menembus sampai ke dalam lapisan tanduk dan lapisan dermis sehingga dapat menyebabkan eritema terutama pada orang dengan kulit berwarna terang.

1.2.4 Mekanisme Perlindungan Alami Kulit

Secara alami kulit manusia mempunyai sistem perlindungan terhadap paparan sinar matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah dengan penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Perlindungan alami kulit terhadap sinar UV dengan panjang gelombang 300-325 nm terjadi karena adanya asam urokanik (0,6 %) pada stratum corneum. Asam urokanik ini dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang tersebut. Selain perlindungan asam urokanik ini, kulit juga memiliki pertahanan alami lainnya dengan peningkatan jumlah melanin dalam epidermis. Butir-butir melanin yang terdapat pada lapisan basal kulit akan berpindah ke stratum corneum apabila terjadi paparan sinar UV B yang kemudian akan teroksidasi oleh sinar UV A. Apabila kulit mengelupas maka butir-butir melanin tersebut akan terkelupas juga sehingga kulit akan kehilangan pelindung (Martini, 2001).

(7)

1.3 Tabir Surya

Tabir surya merupakan sediaan topikal yang dapat mengurangi dampak radiasi ultraviolet dengan cara menyerap, memantulkan atau menghamburkan radiasi ultraviolet. Dampak radiasi ultraviolet dapat dicegah dengan menggunakan tabir surya sebelum terpapar sinar matahari (Shaath,1990).

1.3.1 Mekanisme Kerja Tabir Surya

Berdasarkan mekanisme kerjanya, tabir surya digolongkan menjadi pemblok fisik dan penyerap kimia (Shaath, 1990).

a. Pemblok fisik (Physical blockers)

Tabir surya yang merupakan pemblok fisik bekerja dengan memantulkan atau menghamburkan radiasi ultraviolet. Contoh tabir surya yang bersifat pemblok fisik adalah petrolatum, senyawa anorganik seperti zink oksida dan titanium oksida. Senyawa-senyawa ini apabila terdapat dalam jumlah yang mencukupi dapat memantulkan semua spektrum ultraviolet, visibel, dan sinar infra merah. Ukuran partikel dari logam oksida dengan diameter kurang dari 300 amstrong dinyatakan mempunyai tingkat perlindungan terhadap sinar matahari yang lebih tinggi tanpa menimbulkan opasitas yang secara estetika mengganggu penampilan dan pembentukan aglomerat yang dapat mengurangi efektivitas tabir surya.

Pemblok fisik efektif untuk melindungi kulit terhadap pemaparan radiasi UV A maupun UV B. Dua senyawa pemblok fisik yang paling umum digunakan adalah zink oksida dan titanium oksida dimana keduanya inert secara kimia, tidak bersifat iritan dan memberikan perlindungan sempurna terhadap seluruh spektrum UV (Shaath, 1990).

b. Penyerap kimia (Chemical absorber)

Tabir surya yang merupakan penyerap kimia bekerja dengan menyerap secara spesifik radiasi UV. Contoh tabir surya yang bersifat sebagai penyerap kimia adalah turunan para aminobenzoat (PABA), turunan sinamat, dan turunan salisilat. Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa yang tersusun atas struktur aromatik yang terkonjugasi dengan gugus karbonil dan dengan gugus pelepas elektron (amin atau metoksi) yang berada pada posisi para atau orto terhadap gugus karbonil dalam cincin aromatik. Senyawa kimia dengan konfigurasi tersebut dapat menyerap radiasi UV berenergi tinggi dengan panjang gelombang pendek yaitu

(8)

250 – 340 nm dan merubah energi yang tersisa menjadi radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (energi rendah) yaitu > 380 nm yang relatif tidak berbahaya. Energi yang diabsorbsi dari radiasi UV A dan UV B besarnya sama dengan energi resonansi yang dibutuhkan untuk delokalisasi elektron pada komponen aromatik. Dengan demikian, energi yang diserap dari radiasi UV merupakan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan eksitasi fotokimia pada senyawa tabir surya.

Dengan kata lain, senyawa tabir surya tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (π*) dari tingkat dasar (n) dengan menyerap radiasi UV. Molekul yang tereksitasi kembali ke tingkat energi dasar dengan mengemisikan energi yang lebih rendah (panjang gelombang lebih tinggi) dibandingkan energi yang diserap untuk menyebabkan eksitasi. Radiasi dengan panjang gelombang lebih panjang diemisikan dengan berbagai cara. Jika kehilangan energi cukup besar, panjang gelombang yang diemisikan akan berada pada daerah infra merah dan dapat menyebabkan radiasi panas yang ringan pada kulit. Efek ini tidak dirasakan oleh kulit karena kulit telah menerima panas yang lebih besar saat terpapar sinar matahari secara langsung (Shaath, 1990).

1.3.2 Faktor Pelindung Surya

Faktor tabir surya merupakan suatu nilai efisiensi tabir surya dan dapat didefinisikan sebagai perbandingan banyaknya energi ultraviolet yang diperlukan untuk menghasilkan eritema minimum pada kulit yang diberi tabir surya terhadap banyaknya energi ultraviolet yang diperlukan untuk menghasilkan eritema minimum pada kulit yang tidak diberi tabir surya. Minimal erythema dose (MED) adalah dosis energi minimum ultraviolet dalam joule/cm2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan eritema kulit minimum yang seragam (Lowe, 1990). Karakteristik tabir surya lainnya adalah substantivitas. Substantivitas menggambarkan seberapa efektif tingkatan perlindungan yang dinyatakan pada kondisi yang merugikan termasuk bila berkeringat terus-menerus. Evaluasi ini penting, karena penggunaan sediaan tabir surya digunaan di lingkungan terbuka di bawah sinar matahari dimana kondisi ini memungkinkan keringat yang berlebihan (Lowe, 1990).

(9)

1.4 Sediaan Semisolida

Sediaan Semisolida adalah sediaan setengah padat yang dibuat dengan tujuan pengobatan topikal melalui kulit. Bentuk sediaan ini bervariasi tergantung dari bahan pembawa (basis) yang digunakan, yaitu : krim, gel, salep. Untuk mengembangkan bentuk sediaan semisolida yang baik harus diperhatikan beberapa faktor antara lain : struktur, berat molekul, dan konsentrasi obat yang dapat melalui kulit.

1.4.1 Krim

Krim adalah sediaan setengah padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dengan yang diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air (Dirjen POM, 1995). Dengan kata lain, krim adalah emulsi yang memiliki konsistensi lebih besar.

Sediaan yang akan dibuat adalah krim dengan pertimbangan bahwa krim merupakan sediaan yang mudah dicuci, dapat memlihara kelembaban kulit karena basis krim mengandung air.

Emulsi merupakan sistem dispersi heterogen yang tediri dari dua fasa yang tidak bercampur, yang salah satu fasanya terdispersi dalam bentuk globul dalam fasa lainnya dan secara termodinamika tidak stabil. Partikel fase terdispersi secara terus menerus cenderung membentuk aglomerat yang lambat laun akan membentuk suatu massa yang terpisah sebagai fasa kontinyu kedua. Untuk memperlambat terjadinya pemisahan tersebut diperlukan suatu zat tambahan yaitu zat pengemulsi. Dengan demikian suatu basis krim mengandung minimal satu senyawa yang bersifat hidrofilik, satu senyawa bersifat lipofilik dan zat pengemulsi.

Suatu basis krim dapat berupa sistem minyak dalam air (m/a) atau air dalam minyak (a/m). Dalam sistem m/a, fase terdispersi merupakan fase yang tidak bercampur dengan air dan air merupakan fase kontinyu dari sistem. Sedangkan sistem a/m adalah sebaliknya, yaitu air sebagai fase terdispersi di dalam fase kontinyu berupa minyak. Sebagian besar kosmetik yang ada di pasar memiliki sistem m/a. Ini disebabkan karena sistem ini mudah untuk dibersihkan, nyaman digunakan, dan mudah menyebar pada permukaan kulit. Sedangkan sistem a/m pada umumnya digunakan untuk formula yang mengandung minyak dalam kadar tinggi dan bentuk

(10)

massa sediaan yang berminyak, contohnya krim malam, krim pijat, krim mata, dan sediaan lain yang berfungsi sebagai emolien.

Sediaan krim dapat dibuat dengan (a) metode fusion, yaitu zat aktif dan pembawa dilelehkan bersama sambil diaduk sehingga terbentuk fasa homogen. Yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah stabilitas zat aktif dalam panas, (b) metode triturasi, yaitu zat aktif dicampurkan dengan sedikit basis yang dipakai sampai terbentuk fasa homogen kemudian ditambahkan lagi dengan sisa basis.

Tahap yang terjadi pada saat pembuatan basis krim adalah (a) disrupsi, di mana terjadi pemecahan fasa terdispersi membentuk globul, (b) Stabilisasi, di mana terjadi pencegahan bersatunya globul-globul yang sudah terbentuk oleh zat pengemulsi.

1.4.2 Formula Krim

Krim yang baik dan stabil secara farmasetika mengandung berbagai macam bahan tambahan meliputi zat penambahn konsistensi, pengawet, dapar, humketan, dan antioksidan.

a. Zat penambah konsistensi

Zat ini digunakan untuk menaikkan konsistensi emulsi topikal (krim). Bahan peningkat viskositas yang biasa digunakan antara lain setil alkohol (Swarbrick and Boylan, 1995).

b. Pengawet

Penggunaan pengawet dimaksudkan untuk menigkatkan stabilitas fisik dan kimia sediaan dengan mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Adanya kemungkinan pertumbuhan mikroorganisme adalah karena adanya fasa air yang merupakan medium pertumbuhan mikroorganisme. Contoh pengawet yang sering digunakan adalah propil paraben, metil paraben, asam benzoat (Swarbrick and Boylan, 1995).

(11)

c. Dapar

Penggunaan dapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH stabilitas dari zat aktif. Pemilihan dapar yang digunakan berdasarkan pada ketercampurannya pada basis, zat aktif serta bahan pembantu lainnya.

d. Humektan

Pelembab digunakan dalam sediaan krim dengan tujuan menjaga kelembaban kulit dengan mencegah penguapan air dari permukaan kulit. Contoh pelembab antara lain adalah gliserol, propilen glikol, PEG (polietilen glikol) (Swarbrick and Boylan, 1995).

e. Antioksidan

Penggunaan antioksidan dimaksudkan untuk mencegah oksidasi fasa minyak oleh cahaya yang dapat menimbulkan ketengikan dan mengganggu kestabilan sistem emulsi. Pada umumnya minyak dapat mengalami oksidasi adalah minyak nabati karena bersifat tidak jenuh. Contoh antioksidan yang umum digunakan antara lain alkil galat, tokoferol, butil hidroksi anisol (BHA) dan butil hidroksi toluen (BHT). Ion logam berat yang dapat mengkatalisasi terjadinya reaksi oksidasi dapat diikat dengan agen pengkhelat, seperti asam sitrat dan asam tartrat (Swarbrick and Boylan, 1995).

1.4.3 Tipe Emulsi Sediaan Krim

Emulsi memilki dua tipe yaitu minyak dalam air (m/a) dan air dalam minyak (a/m). Identifikasi perlu dilakukan sebagai konfirmasi tipe emulsi yang diiginkan dalam suatu sediaam krim. Dalam proses identifikasi digunakan sifat dari fase kontinyu emulsi seperti kelarutan, fluoresensi, dan konduktivitas.

a. Pengenceran dengan air

Jika emulsi mudah diencerkan dengan air dan tidak terjadi pembalikan fasa maka tipe emulsi yang dihasilkan adalah tipe m/a, tetapi jika terdispersi dalam fase kontinyu maka tipe emulsinya adalah a/m.

(12)

b. Perubahan warna

Emulsi yang dihasilkan ditambahkan biru metil yang bersifat larut air. Jika penambahan metil biru mengahsilkan warna biru yang terlarut homogen dalam emulsi maka emulsi yang dihasilkan adalah m/a. Apabila ditambahkan sudan merah dan warna terlarut maka emulsi ntersebut adalah m/a.

c. Fluoresensi

Jika emulsi disinari dengan sinar ultra violet berfluoresensi, maka emulsi tersebut adalah m/a.

d. Konduktivitas Elektrolit

Emulsi dengan tipe m/a akan menunjukkan sifat konduktor elektrolit yang relatif baik, sedangkan emulsi tipe a/m menunjukkan kondktifitas buruk.

1.5 Serbuk

Serbuk adalah bentuk dasar dari suatu partikel padat dimana memiliki beberapa ukuran. Menurut ukuran partikelnya, serbuk dapat dibagi menjadi enam yaitu serbuk koloid (ukuran kurang dari 1 um), serbuk mikroskopik (1-100 um), serbuk makroskopik (> 100 um), serbuk butiran halus (1-5 mm), serbuk butiran kasar (5-10 mm), butir granulat (lebih dari 10 mm).

Suatu bahan yang memiliki ukuran partikel yang besar di dalam penggunaanya dalam bidang farmasi harus terlebih dahulu dilakukan milling dengan tujuan menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil, luas permukaan yang besar, dan ukuran partikel yang homogen. Ada beberapa metode milling dengan menggunakan alat tertentu. Alat milling paling sederhana yang digunakan dalam bidang farmasi adalah mortar-stamper. Ukuran partikel yang dihasilkan dengan menggunakan alat ini tidak terlalu kecil karena menggunakan tenaga manusia. Dengan kata lain partikel yang dihasilkan tidak micronized. Alat lain yang dapat membuat serbuk micronize adalah ball mill, fluid energy mill, hammer mill, dan cutting mill.

Kerja yang terjadi pada saat milling di antaranya adalah kerja remuk, kerja penghancur fisik dan kerja penghancur teknik. Kerja remuk adalah kerja yang dialami partikel untuk pertama kalinya terjadi patahan ketika kerja tersebut melawan gaya kohesi antar partikel. Kerja

(13)

penghancur fisik dialami oleh partikel untuk megubah bentuk pertikel tersebut. Kerja penghancur teknik meliputi energi deformasi elastis, kerja gesekan, dan kerja penggerak mesin yang diberikan kepada partikel untuk menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil lagi (Lachman, 1990).

1.5.1 Ball Mill

Ball mill adalah suatu alat berbentuk silinder atau kerucut dimana setengah dari volumenya diisi dengan media penggiling dengan ukuran yang bervariasi (0,25 inc-3 inc diameter), distribusi ukurannya, bentuknya (bola, silinder, kubus), dan kombinasiya. Di dalam mekanisme kerjanya, ball mill tersebut akan diputar menggunakan mesin dan media penggiling yang ada di dalamnya akan menaiki ruang dalam ball mill yang berotasi, kemudian jatuh dengan posisi tegak lurus ke media di bawahnya. Hal ini menyebabkan partikel menjadi patah. Semakin banyak media penggiling dan semakin besar kapasitas ball mill maka efektivitas alat semakin besar.

Ada dua macam metode di dalam menggunakan ball mill ini, yaitu wet milling, dan dry milling. Wet milling dilakukan dengan menggunakan air atau likuida tertentu yang tidak melarutkan bahan dan ditambahkan surfaktan untuk mencegah flokulasi dari bahan. Wet milling dilakukan apabila pada bahan dapat terjadi cacking dengan media penggiling dan dinding ruang ball mill. Adanya cacking ini dapat mengurangi efisiensi dari alat. Dry milling dilakukan apabila bahan yang di-milling tidak terjadi cacking maupun kesulitan yang dapat menurunkan efisiensi alat. Penggilingan dengan kecepatan yang rendah akan menghasilkan serbuk mikro yang semakin baik akan tetapi akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Selain itu, serbuk mikro dapat juga dihasilkan dengan menggunakan media penggiling yang kecil atau menggunakan metode wet milling.

Kekurangan menggunakan ball mill adalah kesulitan dalam hal membersihkan ruang dalam,

membutuhkan waktu yang cukup lama, dan membutuhkan energi yang besar (Lachman, 1990).

(14)

1.6 Praformulasi

Studi praformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui penentuan dan pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia yang penting dalam menyusun formulasi sediaan obat yang aman digunakan.

1.6.1 Trietanolamin

Trietanolamin secara umum digunakan pada sediaan topikal farmasi untuk pembentuk sistem emulsi. Ketika dikombinasikan secara ekuimolar dengan asam lemak seperti asam stearat atau asam oleat, trietanolamin membentuk sabun anionik sebagai pengemulsi, menghasilkan tipel emulsi minyak dalam air. Trietanolamin berbentuk cairan kental bening sedikit kekuningan dengan bau amoniak (Wade and Weller, 1994).

1.6.2 Natrium Lauril Sulfat

Natrium lauril sulfat merupakan surfaktan anionik yang secara luas digunakan pada sediaan farmasi non parenteral dan topikal. Natrium lauril sulfat efektif digunakan dalam kondisi asam dan basa sebagai sabun dan pembasah. Natrium lauril sulfat berbentuk kristal, atau serbuk putih, bersabun, dan rasa pahit (Wade and Weller, 1994).

1.6.3 Lanolin

Lanolin didefinisikan sebagai zat seperti malam yang diperoleh dari bulu domba, Ovis aries (Fam. Bovidae), yang telah dibersihkan, dihilangkan warnanya, dan ditambahkan zat penghilang bau. Lanolin mengandung kurang lebih 0,25 %b/b air dan 0,02 % antioksidan (Wade and Weller, 1994).

1.6.4 Asam Stearat

Asam stearat merupakan campuran dari asam stearat (C18H36O2) dan asam palmitat

(C16H32O2). Asam stearat secara umum digunakan di dalam sediaan oral dan topikal yang

berfungsi sebagai zat pengemulsi dan lubrikan tablet. Di dalam sediaan topikal, asam stearat digunakan bersama dengan basa, contohnya kalium hidroksida, trietanolamin untuk membentuk krim. Asam stearat secara sebagian ternetralisasi membentuk basis krim ketika dicampur dengan basa sebanyak 5-15 kali jumlah asam stearat (Wade and Weller, 1994).

(15)

1.6.5 Kalium Hidroksida (KOH)

KOH umumnya digunakan sebagai peningkat pH sediaan farmasi. KOH juga dapat bereaksi dengan asam lemah membentuk garam. Jika digunakan bersama dengan asam lemak akan berfungsi sebagai zat pengemulsi. KOH berbentuk massa putih berupa pelet, serpihan, batang, dan bentuk lainnya. KOH bersifat higroskopis dan pada saat terpapar dengan udara dengan

cepat dapat menyerap karbon dioksida dan air membentuk kalium karbonat (Wade and Weller, 1994).

1.6.6 Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil)

Minyak kelapa murni memiliki pemerian berupa cairan bening, tidak larut dalam air. Minyak kelapa murni dihasilkan dari fermentasi dari endosperma kelapa, Cocos nucifera. (British Pharmacopea 2001).

!.6.7 Cera Flava

Cera flava merupakan malam berwarna kuning yang memiliki bau khas, akan melembut jika dipanaskan. Cera flava banyak digunakan di dalam makanan, kosmetik, dan permen. Secara umum dipakai dalam sediaan topikal sebanyak 5 – 20 % sebagai peningkat konsistensi pada krim. Di samping itu, cera flava juga dapat emulsi dengan tipe air dalam minyak (a/m) (Wade and Weller, 1994).

1.6.8 Setil Alkohol

Setil alkohol adalah campuran alkohol alifatik padat yang digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi sebagai peningkat viskositas dengan konsentrasi 2-10%. Setil alkohol berupa malam berbentuk serpihan putih, licin, granul atau kubus, berwarna putih dengan bau khas dan rasa lemah. Setil alkohol praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol dan dalam eter, kelarutan bertambah dengan naiknya suhu (Wade and Weller, 1994).

(16)

1.6.9 Metil Paraben

Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan formula farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben, zat anti mikroba lain. Bentuk metil paraben adalah kristal tak berwarna serbuk kristal putih, dan tidak berbau. Metil paraben mempunyai aktivitas anti mikroba antara pH 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding dengan meningkatnya pH. Metil paraben memliki keaktifan paling lemah dari seluruh paraben. Aktivitasnya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai dari alkil. Aktivitasnya dapat diperbaiki dengan mengkombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol, dalam eter, dalam propilen glikol dan dalam metanol, tidak larut dalam parafin cair dan dalam air, larut dalam air hangat. Aktivitas antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan non ionik seperti polisorbat 80. Propilen glikol (10%) telah dibuktikan membantu aktivitas anti mikroba paraben ketika terdapat surfaktan non ionik mencegah interaksi antara antimikroba dan polisorbat (Wade and Weller, 1994).

1.6.10 Propil Paraben

Propil paraben atau nipasol adalah senyawa paraben yang berfungsi sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan formula farmasi. Propil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dikombinasikan dengan paraben maupun antimikroba lain. Aktivitas antimikroba propil paraben efektif pada pH 4-8. Efek sebagai pengawet menurun dengan meningkatnya pH. Propil paraben lebih aktif melawan jamur daripada melawan bakteri dan lebih aktif melawan gram positif daripada gram negatif. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan dalam eter, larut dalam etanol, dalam metanol, dalam propilen glikol, tidak larut dalam air. Aktivitas antimikroba dari propil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan non ionik (Wade and Weller, 1994).

1.6.11 Propilen glikol

Propilen glikol telah umum digunakan sebagai pelarut, ekstraktan, dan pengawet dalam berbagai formulasi sediaan farmasetik. Propilen glikol berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, kental, dan tidak berbau, dengan rasa yang manis dan menyerupai rasa gliserin. Propilen glikol dapat bercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air. Dalam konsentrasi

(17)

10%, propilen glikol dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan paraben dan mencegah interaksi paraben dengan polisorbat 80 (Wade and Weller, 1994).

1.6.12 Vitamin E Asetat

Vitamin E asetat, disebut juga sebagai alfa tokoferol asetat, memiliki fungsi sebagai antioksidan pada sediaan farmasi. Secara umum digunakan pada konsentrasi 0,001 – 0,05 %. Efektivitas vitamin E asetat dapat ditingkatkan dengan penambahan antioksidan larut lemak sinergis lainnya seperti lesitin dan askorbil palmitat (Wade and Weller, 1994).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian mengenai hubungan antara variabel-variabel tersebut merupakan jawaban atas masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu apa faktor-faktor

membersihkan alat adalah membilas unit pencukur dan tempat rambut dengan air panas setiap kali setelah Anda selesai menggunakan alat cukur.. Hati-hati dengan

Berdasarkan hasil analisis dan sintesis dari tinjauan pustaka di atas terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membangun rantai pasok produk unggas secara

Pada Bab III Metode Penelitian akan menguraikan tentang variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, jenis dan

Kebijakan formulasi peringanan pidana bagi saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam mengungkap tindak pidana korupsi di masa mendatang dapat

bermasalah atau macet. 2.) Dari pihak anggota adanya kesengajaan untuk tidak membayar kepada BMT yang menyebabkan pembiayaan macet. Misalnya seorang. anggota lari dan

variabel yang dapat menampung lebih dari satu data dengan tipe data yang sama dan dibedakan. berdasarkan

outsourcing itu sendiri, seperti permintaan penggantian pekerja oleh pengguna. Dalam pengadaan di pemerintah meskipun tidak lepas dari hal yang sifatnya subjektif