• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi HIV/AIDS

Human Immunodefeciency Virus (HIV) adalah virus yang berasal dari lentivirus primata. Virus ini merupakan agen penyebab dari AIDS. HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1981. HIV merupakan retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas famili. HIV memiliki karakteristik morfologi yang unik yaitu nukleoid berbentuk silinder di dalam virion matur. Pada penggunaan mikroskop elektron di dalam partikel ekstraseluler yang dipotong maka akan terlihat nukleoid berbentuk batang dan ini merupakan tanda untuk diagnostik (Brooks, Butel, Morse, 2001).

Virus ini menginduksi penurunan sistem imun sehingga ketika seseorang terinfeksi HIV dapat mengakibatkan infeksi oportunistik yang fatal. Virus tersebut akan menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh yaitu sel CD+4, sel T dan makrofag dengan cara menghancurkan atau merusak fungsinya.

Berdasarkan Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) 2012, AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Dengan penjabaran :

Acquired - berarti bahwa penyakit ini tidak diturunkan secara herediter, tetapi berkembang setelah lahir dari kontak dengan penyakit sebagai agen penyebab (dalam hal ini, HIV)

Immunodeficiency – berarti bahwa penyakit ini ditandai oleh melemahnya sisten kekebalan tubuh

Syndrome – mengacu pada sekelompok gejala yang secara kolektif mengindikasikan atau menandakan suatu penyakit. Dalam kasus AIDS ini dapat mencakup pengembangan infeksi tertentu dan / atau kanker, serta penurunan jumlah sel-sel tertentu dalam sistem kekebalan tubuh seseorang

(2)

AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang sistem tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Setelah kehilangan kekebalan tubuh maka penderita AIDS akan mudah terkena infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS juga sering sekali menderita keganasan (Djuanda, 2011).

2.2. Epidemiologi

Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Los Angeles oleh Dr. Gottlib pada musim semi tahun 1981 yaitu lima remaja homoseksual yang semuanya aktif seksual dengan gejala yang sama yaitu penurunan imunitas dan infeksi Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Semenjak 1 Juni 1981 hingga September 1982, CDC menerima laporan sejumlah 593 kasus sarkoma Kaposi, pneumonia Pneumocystis caarinii dan lain-lain infeksi oportunistik yang membahayakan jiwa penderitanya. Usia penderita pada umumnya berumur 15-60 tahun namun tidak disertai penyakit imunodefisiensi maupun mendapat terapi obat imunosupresi. Sebanyak 243 penderita dinyatakan telah meninggal dunia. Jumlah penderita meningkat begitu cepat sampai bulan Mei 1985 diperkirakan sudah mencapai 12.000 kasus (Hutapea, 1995)

Sementara di seluruh dunia pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013 adalah sebanyak 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014).

Di Indonesia, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987 oleh dr. Tuti Purwati dari turis asing yang homoseksual. Hingga saat ini HIV/AIDS telah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berbgai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah bekerjasama dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Berikut ini

(3)

ditampilkan situasi HIV/AIDS yang bersumber dari Ditjen PP-PL melalui Aplikasi Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA) (Depkes RI, 2014).

Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 2.1. Jumlah kasus HIV yang dilaporkan tahun1987 sampai dengan September 2014

Gambar 2.1 memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus HIV dari tahun ke tahun sejak pertama kali dilaporkan tahun 1987. Sebaliknya jumlah kasus AIDS menunjukkan kecenderungan meningkat secara lambat bahkan sejak tahun 2012 jumlah kasus AIDS mulai turun. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai september 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 orang.

(4)

Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 2.2. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan tahun1987 sampai dengan September 2014

Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 2.3. Persentase Kumulatif AIDS yang Dilaporkan Menurut Kelompok Umur Tahun 1987 sampai dengan September 2014

Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur memiliki pola yang jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak September 2014 terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun, diikuti kelompok usia 30-39 tahun dan kelompok usia 40-49 tahun.

(5)

2.3. Etiologi dan Patogenesis

HIV termasuk dalam famili retroviridae. Nama retroviridae atau retrovirus diberikan pada jenis virus ini karena kemampuannya yang unik untuk mentransfer informasi genetik dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim reverse transcriptase (RNA-directed DNA polymerase)(Gambar 2.1). Retrovirus secara umum dibagi menjadi dua kelas yaitu transforming retroviruses (onkogenik) dan non transforming retroviruses (lentivirus) (Muma, 1997).

Gambar 2.4. Siklus Replikasi HIV(Yayasan Spiritia,2014)

Siklus hidup retrovirus yaitu virus berikatan dengan sel target dan melepaskan pembungkusnya serta memulai proses transkipsi dari RNA ke DNA oleh enzim reverse transcriptase. Virus DNA bersirkulasi dan berintegrasi dengan genome sel pejamu, melakukan transkripsi dan sintesa protein. Kemudian

(6)

melakukan proses penggabungan protein-protein virus dan RNA di permukaan sel. Dan partikel virus dewasa terlepas dari sel pejamu (Gallant, 2010).

Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati memiliki beberapa stadium meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan kematian. Setelah infeksi primer, terdapat waktu 4-11 hari antara infeksi mukosa dan viremia awal ; viremia akan terdeteksi dalam rentang waktu 8-12 minggu dan saat itu organ limfoid menjadi penuh. Terdapat penurunan yang bermakna jumlah sel CD4 pada sirkulasi di waktu awal ini. Setelah infeksi, timbul respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu hingga 3 bulan, viremia plasma menurun, dan terjadi peningkatan kemballi kadar CD4. Namun, respon imun tidak dapat menghilangkan infeksi secara total sehingga sel yang terinfeksi HIV menetap di kelenjar getah bening. Oleh karena infeksi virus HIV memiliki masa laten yang panjang, rata-rata sekitar 10 tahun antara infeksi awal dengan perkembangan penyakit klinis maka pada periode awal akan tampak penyebaran virus yang luas dan penurunan yang tajam jumlah CD4 sel T di darah perifer. Selanjutnya respons imun terhadap HIV timbul dengan terdeteksinya penurunan viremia yang diikuti oleh masa laten klinis yang berlangsung lama. Dan pemeriksaan yang sensitif untuk RNA virus menunjukkan bahwa virus terdapat di dalam plasma setiap waktu. Selama beberapa tahun akan terjadi penurunan terus menerus kadar CD4 sel T hingga mencapai kadar kritis di bawah risiko substansial penyakit oportunistik (Brooks, Butel, Morse, 2001).

2.4. Gejala Klinis

Gejala klinis penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Menurut WHO, tingkat klinis penyakit infeksi HIV dapat di bagi sebagai berikut :

I. Stadium 1 Asimptomatik

1. Tidak ada penurunan berat badan

2. Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

II. Stadium 2 Sakit Ringan

(7)

2. ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis 3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir 4. Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) 5. Ulkus mulut berulang

6. Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo- PPE) 7. Dermatitis seboroik

8. Infeksi jamur kuku III. Stadium 3 Sakit Sedang

1. Penurunan berat badan > 10%

2. Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan 3. Kandidosis oral atau vaginal

4. Oral hairy leukoplakia

5. TB paru dalam 1 tahun terakhir

6. Infeksi bakteri yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) 7. TB limfadenopati

8. Gingivitis/Peridontitis ulseratif nekrotikan akut

9. Anemia ( Hb < 8g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

IV. Stadium 4 Sakit Berat 1. Sindrom wasting HIV

2. Pneumonia pnemositosis, Pnemoni bakterial yang berat berulang 3. Herpes Simpleks ulseratif lebih dari 1 bulan

4. Kandidosi esophageal 5. TB Extraparu

6. Sarkoma kaposi 7. Retinitis CMV

8. Abses otak Toksoplasmosis 9. Encefalopati HIV

10. Meningitis Kriptokokus

(8)

12. Lekoensefalopati multifokal progresif (PML)

13. Penicilosis, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas (histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

14. Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin ( gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV)

15. Kanker serviks invasive 16. Leismaniasis atipik meluas

17. Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

Pada tiap tingkatan klinis dibagi lagi berdasarkan jumlah sel CD4 atau jumlah limfosit total. Kriteria klinis ini dibuat oleh WHO pada pertemuan di Jenewa bulan Juni 1989 dan bulan Februari 1990. Usulan tersebut berdasarkan penelitian terhadap 907 penderita seropositif HIV dari 26 pusat perawatan yang berasal dari 5 benua. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis staging adalah jumlah penurunan CD4, penurunan rasio CD4/CD8 (nilai norma 1,1 : 1,8), anemia, leukopenia, trombositopenia atau limfositopenia, hipergamaglobulinemia, penurunan respons limfosit terhadap mitogen dan antigen, alergi terhadap uji kulit tipe lambat dan peningkatan kompleks imun dalam darah (Djuanda, 2001).

2.5. Penularan Infeksi HIV

Penyakit AIDS digolongkan ke dalam infeksi menular seksual (IMS) karena penyakit ini paling banyak ditularkan melalui hubungan seksual (95%). Risiko penularan ini akan semakin meningkat jika terdapat infeksi menular seksual lain yang menyertai, terutama pada ulkus genital. Secara global ditemukan bahwa proses penularan melalui hubungan seksual berada pada urutan pertama yaitu 70-80%. Kemudian disusul oleh penggunaan obat suntik bersamaan dengan jarumsuntik sebanyak 5-10%. Infeksi perinatal juga memiliki infeksi tinggi yaitu 5-10%. Penularan melalui transfusi darah sebanyak 3-5% sedangkan penularan pada petugas kesehatan seperti luka kecelakaan akibat jarum hanya terdapat 0,01%. Sekitar sepertiga bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV terular virus

(9)

HIV. Proses penularan paling banyak terjadi pada saat proses penglahiran (Murtiastutik, 2008).

HIV ditransmisikan dengan cara yang sangat terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, telah dilakukan isolasi dari sejumlah cairan tubuh, termasuk darah, saliva, semen, urin, cairan serebrospinalis, dan keringat. Virus HIV seringkali menginfeksi sel limfosit T helper (juga dikenal dengan nama T4+, CD4+, OKT4+). Walaupun begitu, temuan-temuan tersebut tidak begitu berarti bagi kesehatan masyarakat. Tidak ada bukti menyatakan bahwa kontak dengan saliva atau air mata penderita dapat menyebabkan seorang terinfeksi HIV (Muma, 1997).

Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani (semen), cairan vagina / serviks dan darah sehingga penularan utama HIV adalah melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut.

1. Jalur hubungan seksual (homoseksual/heteroseksual)

2. Jalur pemindahan darah atau produk darah seperti transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur dan melalui luka kecil di kulit (termasuk lesi mikro)

3. Jalur transplantasi alat tubuh

4. Jalur transplasental, janin dalam kanduungan ibu hamil dengan infeksi perinatal (Zein, 2006).

Secara transplasental, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penularan virus HIV dengan meningkatkan resiko penularan virus HIV anatra lain rendahnya sel CD4, rendahnya antibodi terhadap virus HIV, adanya keluhan terhadap infeksi HIV, dan tingginya kadar virus HIV dalam tubuh ibu yang dapat redeteksi melalui antigen p24 dalam serum ibu atau dengan metode lain seperti mendeteksi asam nukleat HIV melalui PCR. Faktor lain yang meningkatkan risiko penularan HIV transplasental adalah rendahnya kadar vitamin A serum ibu di mana vitamin A mampu mengaktifkan sistem imun ibu dan menjaga fungsi pertahanan mukosa. Ada beberapa faktor lain juga seperti adanya peradangan plasenta terutama chorioamnionitis, ibu perokok, pengguna obat, dan penyakit

(10)

menular seksual lainnya yang menyertai serta hubungan seksual tanpa pemakaian alat pengaman selama kehamilan (Murtiastutik, 2008).

HIV dapat ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke fetus selama kehamilan dan proses kelahiran. Ini disebut sebagai transmisi vertikal atau perinatal. Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di bawahnya, melalui masuknya darah ibu penderita pada bayinya saat persalinan dan melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan sedang berlangsung (GHAP, 2009).

Dari segi obstetrik, terdapat beberapa faktor yang meningkatkan resiko penularan HIV pada bayi saat persalinan antara lain :

a. Jenis persalinan

Persalinan per vaginam memiliki risiko penularan lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).

b. Lama persalinan

Semakin lama persalinan berlangsung maka risiko penularan akan semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya paparan darah dan lendir ibu di jalan lahir.

c. Pecahnya ketuban lebih dari 4 jam meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat.

d. Episiotomi, ekstraksi vakum dan foseps meningkatkan risiko penularan karena terdapat potensi perlukaan terhadap ibu atau bayi (PPIA, 2012).

Berdasarkan waktu terdeteksinya virus HIV, baik dengan cara PCR maupun kultur, dapat ditentukan melalui proses apa bayi tertular HIV. Pada bayi yang tertular HIV transplasental saat masih di dalam kandungan, virus akan terdeteksi pada 7-90 hari pertama kehidupannya. Kebanyakan bayi tertular pada akhir kehamilan atau pada saat persalinan yang ditunjukkan dengan terdeteksinya virus dalam darah bayi setelah beberapa hari sampai beberapa minggu pertama kehidupannya. Penularan HIV melalui ASI yang diberikan ibu penderita HIV

(11)

ditunjukkan dengan terdeteksinya virus HIV setelah bayi berusia 3 bulan. Penularan HIV juga tergantung akan beberapa faktor, seperti fase infeksi, kadar virus dalam serum, adanya trauma, infeksi sekunder, efisiensi fungsi barier epithel,adanya sel dengan reseptor terhadap virus , sistem imunitas orang yang terpapar dan intensitas paparan virus. Salah satu pertanda daya infeksius dari seorang penderita HIV adalah fase infeksi. Pada kebanyakan infeksi virus, kadar virus tertinggi terjadi pada awal infeksi, sebelum terbentuk antibodi. Untuk HIV fase ini sulit ditemukan karena kebanyakan penderita asimptomatis pada fase ini dan respon anti-HIV tidak dapat diketahui (Murtiastutik, 2008).

2.6. Diagnosis

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa HIV antara lain ELISA, dipstick HIV Entebe, radioimunopresipitat, hiv recombinant neutralization assay, detekssi antigen HIV, kultur HIV, Western Blot, dan lain-lain. Tetapi yang menjadi standart pemeriksaan adalah cara ELISA kemudian dikonfirmasi dengan cara pemeriksaan Western Blot. Dengan kata lain, apabila secara ELISA seseorang dinyatakan positif HIV, dilakukan pemeriksaan ulang dan hasilnya positif kemudian dilakukan pemeriksaan Western Blot dan hasilnya positif , maka tegaklah diagnosa HIV (Zein, 2006).

Human Immunodeficiency Virus juga dapat diisolasi dari darah perifer yang kaya limfosit dan kadang-kadang dari cairan tubuh. Tetapi kultur sulit dilakukan, biaya mahal, membutuhkan waktu beberapa hari, dan belum semua laboratorium dapat melakukannya. Antigen virus HIV dapat di deteksi paling cepat 2 minggu setelah infeksi dan biasanya bertahan selama 3-5 bulan. Pada akhirnya deteksi antigen akan menjadi metode pilihan untuk mendeteksi adanya infeksi pada beberapa minggu pertama setelah pasien terpapar (Muma, 1997).

(12)

ELISA

ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV di dalam aliran darah. Seseorang mulai membentuk antibodi terhadap infeksi HIV lama sebelum timbul gejala klinis dan bertahun-tahun sebelum sampai ke tahap AIDS (Hutapea, 1995). Tes ini mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 dn HIV-2 serta subtipe lainnya. Ketika sampel serum tes reaktif terhadap ELISA maka tes ini harus diulang segera dengan pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. ELISA memerlukan waktu sampai 3 jam untuk memberikan hasil tes dengan harga yang ekonomis (NACO, 2007).

WESTERN BLOT

Tes ini merupakan tes darah yang lebih canggih , dapat dilakukan terhadap orang yang seropositif untuk menjamin bahwa hasil semula itu benar. Tes Western Blot ini menguji adanya pola khusus pada rantai protein yang khas bagi virus tersebut (Hutapea, 1995). Namun permasalahannya adalah cara pemeriksaan Western Blot jarang ada di suatu daerah di Indonesia (Zein, 2006).

2.7. Penatalaksanaan

Hingga saat ini belum ada pengobatan terhadap HIV/AIDS maupun vaksin untuk mencegah penyakit ini . Suatu hari mungkin akan ditemukan pengobatan untuk menyembuhkan HIV (Gallant, 2010). Namun telah diperoleh kemajuan dalam perkembangan vaksin serta beberapa jenis obat yang sedang dicobakan pada binatang dan manusia. Beberapa vaksin yang sedang dikembangkan dimaksudkan untuk memperlambat reproduksi HIV pada orang yang telah terinfeksi HIV (Hutapea, 1995). Dan kita telah menyaksikan perkembangannya, infeksi HIV berubah dari penyakit yang nyaris fatal secara universal dan tidak dapat diobati menjadi penjadi penyakit kronis yang dapat dikelola dan pengobatan menjadi lebih mudah dan lebih baik dalam 10 tahun berikutnya (Gallant, 2010).

Pengobatan HIV adalah dengan pemberian obat antiretrovirus (ARV). Berdasarkan cara kerjanya, ARV dibagi menjadi Reverse Transcriptase Inhibitors

(13)

(RTI) dan Protease Inhibitors (PI). RTI bekerja denga cara menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase sedangkan PI menghambat pematangan virus setelah keluar dari inti sel penderita. RTI dapat di bagi menjadi 3 kelompok yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NsRTI), Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) dan Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTI) (Zein, 2006).

Pengobatan dengan kombinasi obat antiretrovirus, yang disebut sebagai pengobatan anti retroviral sangat aktif highly active antiretroviral therapy (HAART) telah ditemukan sejak tahun 1966. Terapi ini dapat menekan replikasi virus hingga di bawah batas yang terdeteksi di dalam plasma, menurunkan viral load di jaringan limfoid, memungkinkan pemulihan respons imun terhadap patogen oportunistik, dan memanjangnya ketahanan pasien. Sayangnya, terapi ini gagal menyembuhkan HIV-1. Virus tipe ini menetap di reservoir seumur hidup, menginfeksi sel secara laten, termasuk sel T CD4 memori. Terapi kombinasi tiga obat juga efektif pada anak dan bayi yang terinfeksi HIV. Namun monoterapi tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan resistensi obat (Brooks, Butel, Morse, 2001).

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral (Dikjen PP & PL, 2011), untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV berdasarkan penilaian klinis. Rekomendasi mulai terapi ARV pada semua pasien denga jumlah CD4,350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya dan dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama :

(14)

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari panduan di bawah ini : Tabel 2.1. Terapi Antiretroviral

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) +

EFV

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz)

ATAU

Dalam (Brooks, Butel, Morse, 2001), Zidovudin ( Azidotimidin; AZT) dapat menurunkan transmisi HIV dari Ibu dalam masa kehamilan dan selama proses persalinan dan pada bayi setelah lahir menurunkan risiko transmisi perinatal sekitar 65-75%. Namun, laju transmisi HIV yang tinggi melalui pemberian ASI dapat mengurangi manfaat pemberian obat maternal pada masa perinatal.

2.8. VCT

VCT (Voluntary Counselling and Testing) adalah konseling secara sukarela dan pribadi bagi klien yang mempunyai risiko tertular HIV, dan secara sukarela bersedia untuk memeriksa status HIVnya melalui pemeriksaan laboratorium (Zein, 2006). Keputusan ini harus sepenuhnya pilihan dari individu

(15)

dan harus yakin bahwa proses tersebut akan dijaga kerahasiaannya (UNAIDS, 2000).

Tujuan VCT

1. Mendorong orang sehat, tanpa keluhan / asimtomatik untuk mengetahui tentang HIV, sehingga mereka dapat mengurangi kemungkinan tertular HIV

2. Merupakan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang efektif, karena mereka dapat mengetahui status HIV mereka, sehingga tidak melalukan hal-hal yang dapat ikut menyebarkan virus HIV bila mereka masih berisiko sebagai penyebar HIV

3. Mendorong seseorang yang sudah ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) untuk mengubah pendirian yang sangat merugikan seperti: ODHA merupakan penyakit keturunan atau penyakit kutukan, atau HIV/AIDS merupakan vonis kematian

4. Memberi informasi tentang HIV/AIDS, tes, pencegahan dan pengobatan ODHA

5. Mengenali perilaku atau kegiatan yang menjadi sarana yang memudahkan penularan HIV

6. Memberikan dukungan moril untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih sehat dan aman dari infeksi HIV (Depkes RI, 2009)

Menurut Ditjen PP & PL (2013), prinsip pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT) antara lain:

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV

b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

Alur penatalaksanaan VCT dan keterampilan melakukan konseling pra-testing dan konseling pasca-pra-testing perlu memperhatikan tahapan berikut ini :

(16)

1. Informasi dasar HIV 2. Alasan dilakukannya VCT 3. Komunikasi perubahan perilaku 4. Keterampilan mikro konseling dasar 5. Penilaian risiko klinik

6. Konseling pra-testing 7. Konseling pasca-testing

8. Perencanaan rawatan psikososial lanjutan (Ditjen PP & PL, 2013).

Tahapan Pelayanan VCT 1. Konseling Pra tes HIV

Konseling ini dijalani klien sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status HIVnya (Zein, 2006).

Terdapat beberapa tahapan dalam konseling pra-testing, yaitu : a. Menempatkan klien dengan situasi pribadi untuk konseling b. Meyakinkan pasien mengenai kerahasiaan

c. Menjelaskan alasan untuk tes HIV

d. Menggali informasi mengenai perilaku berisiko klien saat ini dan sebelumnya dengan cara yang sensitif

e. Memberikan informasi tentang HIV dan AIDS f. Memberikan informasi tentang tes HIV

g. Membahas dampak dari hasil tes HIV-positif untuk klien h. Membahas dampak dari hasil tes HIV-negatif untuk klien i. Memberikan informasi tentang prosedur pengujian j. Memperoleh informed consent (McIntyre, 1998) 2. Tes HIV

Menurut Anastasya (2010) dalam Siregar (2012), prinsip tes HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Tes dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Ada serangkaian tes yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Tes yang digunakan adalah tes serology untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma.

(17)

Gambar 2.5. Diagnosis HIV(Jayanti, 2008)

Keterangan : A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis pemeriksaan antibodi HIV yang berbeda

3. Konseli Pasca tes HIV

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS, ada beberapa hal yang dilakukan dalam konseling pasca-testing yaitu :

a. Dokter dan konselor mengetahui hasil untuk membantu diagnosa dan dukungan lebih lanjut

b. Hasil diberikan dalam amplop tertutup .

c. Hasil disampaikan dengan jelas dan sederhana

d. Beri waktu untuk bereaksi

(18)

f. Diskusi makna hasil test

g. Dampak pribadi , keluarga , sosial terhadap ODHA , kepada siapa dan bagaimana memberitahu.

h. Rencana pribadi penurunan resiko

i. Menangani reaksi emosional.

j. Apakah segera tersedia dukungan ?

k. Tindak lanjut perawatan dan dukungan ke layanan managemen kasus atau layanan dukungan yang tersedia di wilayah.

Ada 2 kemungkinan dari hasil konseling pasca-testing, apabila hasil (-), maka konseling pasca-testing diarahkan pada upaya pencegahan transmisi HIV melalui perubahan perilaku berisiko tinggi. Bila hasil (+), maka dilanjutkan dengan menjelaskan arti tes tersebut dan dilakukan pemeriksaan CD4. Apabila CD4 <200/ml dan tidak ada keluhan tanda-tanda klinis infeksi HIV stadium II atau lebih, maka hanya diperlukan pemantauan rutin. Apabila hasil CD4 >200/ml maka sudah memerlukan pengobatan dengan ARV, dan dilanjutkan dengan konseling pra-pengobatan ARV (Zein, 2006).

2.9. HIV pada Kehamilan Transmisi Vertikal HIV

Tanpa intervensi, risiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan 15-45%. Penularan dapat terjadi pada saat kehamilan, intrapartum, dan pasca persalinan. Sebagian besar penularan terjadi intrapartum (Yunihastuti, wibowo, Djauzi, Djoerban, 2003).

(19)

Tabel 2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Tingginya Risiko Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak

Periode Faktor

Antepartum Kadar HIV ibu, jumlah CD4 ibu, defisiensi vitamin A, mutasi ko-reseptor HIV gp120 dan gp160, malnutrisi, rokok, pengambilan sampel vili korion, amniosintesi, berat badan ibu

Intrapartum Kadar HIV pada cairan servikovaginal ibu, cara persalinan, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penyakit ulkus genital aktif, laserasi vagina, korioamnionitis, episiotomi, persalinan dengan vakum atau forceps

Pascapersalinan Air susu ibu, mastitis

Pengaruh Kehamilan pada Perjalanan Penyakit HIV

Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi risiko kematian, progresivitas menjadi AIDS, atau progresivitas penurunan CD4+ pada Odha perempuan. Pada kehamilan normal terjadi penurunan jumlah CD4+ pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin dan meningkat kembali pada trimester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan, sedangkan pada ODHA penurunan tetap terjadi selama kehamilan dan setelah melahirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Italian Serovonversion Study Group kehamilan juga tidak mempercepat progresivitas menjadi AIDS karena tidak terdapat perbedaan risiko menjadi AIDS atau penurunan CD4+ menjadi kurang dari 200 pada ODHA yang pernah hamil dan tidak (Yunihastuti, wibowo, Djauzi, Djoerban, 2003).

Faktor risiko yang paling mempengaruhi penularan terjadi adalah tingkat viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi. Jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir serta factor lain yaitu kelahiran prematur dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan merupakan factor risiko penularan juga (Green C.W., 2009).

(20)

Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) merupakan pengobatan jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak (Dikjen PP & PL, 2011).

Pemberian ARV dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan seperti berikut ini.

Tabel 2.3. Terapi Antiretroviral dalam Program PMTCT/PPIA dalam Berbagai Situasi Klinis

No. Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan (Paduan untuk Ibu)

1 ODHA dengan indikasi terapi ARV dan kemungkinan hamil atau sedang hamil

 AZT + 3TC + NVP atau

 TDF + 3TC(atau FTC) + NVP hibndari EFP pada trimester pertama

 AZT + 3TC (atau FTC) + EVF*

2 ODHA sedang menggunakan terapi ARV dan kemudian hamil

 Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pada trimester I

 Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan

3 ODHA hamil dengan jumlah CD4 >350/mm3 atau dalam stadium klinis 1

ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan

(21)

4 ODHA hamil dengan jumlah CD4 ≤350/mm3 atau dalam stadium klinis 2,3 atau 4

Segera mulai terapi ARV

5 ODHA hamil dengan

Tuberkulosis aktif

OAT yang selesai tetap diberikan. Paduan untuk ibu , bila pengobatan mulai trimester II dan III :

 AZT (TDF) + 3TC + EFV 6 Ibu hamil dalam masa persalinan

dan tidak diketahui status HIV

 Tawarkan tes dalam masa persalinan ; atau tes setelah persalinan

 Jika hasil test reakfit maka dapat diberikan paduan pada butir 1 7 ODHA datang pada masa

persalinan dan belum mendapat terapi ARV

Paduan pada butir 1

Luaran Bayi dari Ibu terinfeksi HIV

Ibu dengan HIV positif tidak menunjukkan tanda-tanda spesifik HIV pada bayi yang dilahirkan. Bila terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi. Gejala klinik tidak spesifik, menyerupai gejala infeksi virus pada umumnya. Gejala klinik dapat berupa : BBLR, Infeksi saluran nafas berulang, PCP (pneumocystis carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, dan lain-lain (Indarso,2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bayi meliputi :

1. Status HIV ibu ( angka berat bayi lahir rendah pada anak dengan ibu yang terinfeksi HIV)

(22)

2. Berat badan ibu ( anak dengan ibu yang memiliki badan yang lebih berat secara konsisten memiliki berat bayi lahir yang lebih dibandingkan dengan anak yang lahir dari ibu yang lahir dengan berat badan yang lebih rendah)

3. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV dengan penyakit lanjut (jumlah CD4<200 sel/ml) selalu memiliki berat yang kurang. Anak yang terinfeksi HIV, secara tidak mengejutkan memiliki berat badan yang kurang dibandingkan anak-anak yang terpajan namun tidak terinfeksi HIV. Perbedaan ini berlanjut sampai anak-anak mencapai usia 6-9 bulan (Leach-Lemens, 2009).

Gambar

Gambar 2.1. Jumlah kasus HIV yang dilaporkan tahun1987 sampai dengan  September 2014
Gambar 2.2. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan tahun1987 sampai dengan  September 2014
Gambar 2.4.  Siklus Replikasi HIV(Yayasan Spiritia,2014)
Gambar 2.5. Diagnosis HIV(Jayanti, 2008)
+3

Referensi

Dokumen terkait

(Nasronudin, 2007) Rendahnya penggunaan kondom pada ODHA Penasun merupakan salah satu jalur penularan HIV karena pada saat hubungan seksual akan meningkatkan resiko penularan HIV

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang HIV/AIDS antara lain jenis kelamin, usia (Merakou,

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung

Akan tetapi, diantara sesama anak-anak dengan leukemia sel-T prekursor, kadar Hb yang rendah pada saat terdiagnosa dapat meningkatkan resiko outcome yang buruk, jika

Selain itu, diasosiasi dengan gangguan lain yang umum seperti infeksi dengan leukemia T-sel manusia atau limfoma virus I (HTLV-1) dan HIV dikaitkan dengan terjadinya skabies

(Nasronudin, 2007) Rendahnya penggunaan kondom pada ODHA Penasun merupakan salah satu jalur penularan HIV karena pada saat hubungan seksual akan meningkatkan resiko penularan HIV

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penularan HIV dari Ibu ke Bayi pada Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi.. Tes HIV dan Hal-Hal Penting yang Ada

Faktor – Faktor Penyebab Rendahnya Capaian Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Menurut Rohmawati 2011 dalam penelitian Masturoh 2016 tentang faktor - faktor yang mempengaruhi wanita