• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala

yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan merupakan suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti, infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita (Murtiastutik, 2008).

Pada 5 Juni 1981, kasus pertama AIDS dilaporkan di Los Angeles pada lima orang laki-laki homoseksual yang menderita Pneumonia Pneumocystis

carinii (PPC) dan infeksi opotunistik lainnya (Stine, 2000). Pada tahun 1983,

ilmuwan Prancis, Luc Montagnier (Institut Pasteur, Paris) mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV dan virus ini dinamakan lymphadenopathy assosiated virus (LAV). Pada tahun 1984, Gallo

(National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic virus

(HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. LAV dan HTLV-III adalah virus penyebab HIV yang sama dan dikenal sebagai HIV-1. (Phair et al 1997).

2.2. Etiologi HIV/AIDS

HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae (Brooks et al, 2005). Retrovirus berdiameter 70-130 nm (Lango dan Fauci, 2005). Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun (Kayser et al, 2005).

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120 dan gp41. Terdapat

(2)

suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut

p24 (Lan, 2005).

Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed

reverse transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA

setelah virus masuk ke sel sasaran (Lan, 2005).

2.3. Penularan HIV AIDS

Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan seksual, pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikan dengan alat-alat yang yang terkontaminasi darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi, maka orang tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain (Rook et al, 2005). 1. Penularan seksual

Penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia, yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV (Mitchell dan Kumar, 2007). Penularan seksual ini dapat terjadi dengan hubungan seksual genitogenital ataupun anogenital antara heteroseksual ataupun homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif (Rook

et al, 1998).

2. Transfusi darah dan produk darah

HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi (Rook et al, 1998).

(3)

3. Penyalah guna obat-obat intravena

Penggunaan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka (Rook et al, 1998).

4. Petugas Kesehatan

Menurut Murtiastutik (2008) petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan perkutan lainnya sebesar 0,32% (CI 95%) atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan, dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09% (CI 95%).

5. Maternofetal

Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal (Rook et al, 1998).

6. Pemberian ASI

Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya (Rook et al, 1998).

(4)

2.4. Epidemiologi HIV/AIDS

Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat (Djoerban dan Djauzi , 2007).

Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3 juta) adalah orang dewasa dan 2,1 juta anak di bawah 15 tahun (Narain, 2004).

Saat ini AIDS adalah penyebab kematian utama di Afrika sub Sahara, dimana paling banyak terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS), diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4 juta orang yang terinfeksi. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak adanya endemi HIV/AIDS (Narain, 2004).

Sampai dengan akhir Maret 2005, tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban, Djauzi , 2007) .

2.5. Patogenesis HIV/AIDS

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel (Lan, 2005).

Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan konformasi sehingga gp41

(5)

dapat masuk ke membran sel sasaran. Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap timbulnya AIDS, walupun berulang kali terpajan HIV (sekitar 1% orang Amerika keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat (Lan, 2005).

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik, sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh (Lan, 2005).

Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami proses-proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus (Lan, 2005).

HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap tertahan. Pada tempat itu berlangsung pengikisan bertahap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+ yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus; makrofag tidak dilisiskan oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak (Mitchell dan Kumar, 2007).

(6)

2.6. Gejala Klinis

Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun :

1. Fase akut.

Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptik (Mitchell dan Kumar, 2007). Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan (Mitchell dan Kumar, 2007).

2. Fase kronis

Fase kronis menunjukan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan (Candida) atau herpes zoster (Mitchell dan Kumar, 2007). Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah

(7)

CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat (Mitchell dan Kumar, 2007).

3. Fase kritis

Tahap terakhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+ menurun di bawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap AIDS (Mitchell dan Kumar, 2007).

Menurut Barakbah et al (2007) hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.

1. Gejala Konstitusi

Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:

a. Demam terus menerus lebih dari 37°C. b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih.

c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar daerah inguinal.

(8)

e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.

2. Gejala Neurologi

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak).

3. Gejala Infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan penderita sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)

PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%). Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam dan sesak nafas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya P.carinii pada bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase bronkoalveolar (Murtiastutik, 2008).

b. Tuberkulosis

Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap obat anti tuberkulosis yang biasa. Gambaran klinis TBC pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TBC pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur(Murtiasatutik, 2008).

(9)

Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi

Toxoplasma gondii, yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat

berupa sakit kepala dan panas, sampai kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.

d. Infeksi Mukokutan.

Herpeks simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oris merupakan penyakit paling sering ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat kelainan mukokutan ini persisten dan respons terhadap pengobatan lambat sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya (Murtiastutik,2008).

4. Gejala Tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalam Sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin (Murtiastutik,2008).

2.7. Diagnosis HIV/AIDS

Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:

Dewasa

Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya. Gejala Mayor

- Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan. - Diare kronis lebih dari 1 bulan

(10)

Gejala Minor

- Batuk selama lebih dari 1 bulan. - Pruritus dermatitis menyeluruh.

- Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster. - Kandidiasis orofaringeal.

- Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas. - Limfadenopati generalisata.

Adanya Sarkoma Kaposi meluas atau meningitis cryptococcal sudah cukup untuk menegakkan AIDS.

Anak

Definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan imun yang lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi berat atau sebab-sebab lain.

Gejala Mayor

- Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal - Diare kronis lebih dari 1 bulan

- Demam lebih dari 1 bulan. Gejala Minor

- Limfadenopati generalisata - Kandidiasis orofaringeal - Infeksi umum yang rekuren

(11)

- Ruam kulit yang menyeluruh

Konfirmasi infeksi HIV pada ibunya dihitung sebagai kriteria minor.

Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita.

1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)

ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan

core (Hanum, 2009).

2. Western Blot

Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).

Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009).

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001).

(12)

Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).

Menurut Kresno (2001) aplikasi FACS banyak sekali, diantaranya adalah: 1. analisis dan pemisahan subpopulasi limfosit dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan (CD) yang dilabel dengan zat warna fluorokrom.

2. pemisahan limfosit yang memproduksi berbagai kelas imunoglobulin dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap kelas dan subkelas Ig spesifik dan tipe L-chain.

3. memisahkan sel hidup dari sel mati.

4. analisis kinetik atau siklus sel dan kandungan DNA atau RNA.

5. analisis fungsi atau aktivasi sel dengan mengukur produk yang disintesis oleh sel setelah distimulasi.

Selain uji fungsi limfosit, uji fungsi fagositosis juga dapat dilakukan dengan menggunakan flowcytometry.

(13)

2.8. Penatalaksanaan HIV/AIDS

. Menurut Djoerban dan Djauzi (2007) secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV). 2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan mendorong suatu

evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Replikasi HIV sangat cepat dan terus-menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari. Namun karena waktu paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang diberikan (Murtiastutik, 2008).

Menurut Murtiastutik (2008) faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ART baik di tingkat program ataupun tingkat individual:

- Efikasi obat

- Profil efek samping obat

- Persyaratan pemantauan laboratorium

- Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan - Antisipasi kepatuhan oleh pasien

(14)

- Kondisi penyakit penyerta - Kehamilan dan risikonya

- Penggunaan obat lain secara bersamaan

- Infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi terhadap satu atau lebih ART.

- Ketersediaan dan harga ART.

Menurut WHO waktu diberikannya ART dibagi dalam dua kategori, apakah ada perhitungan CD4. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai pengganti hitung CD4, meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien asimptomatis.

• Ada perhitungan CD4

Stadium IV menurut kriteria WHO (AIDS) tanpa memandang hitung CD4 Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 < 350 sel/ mm3

Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm3 • Tidak ada perhitungan CD4

Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm3

Pemberian ART tergantung tingkat progresivitas masing-masing penderita. Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai tidak terdeteksi oleh PCR. Pada kondisi ini penekanan virus berlangsung efektif mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progersifitas penyakit. Karena itu terapi kombinasi ART harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat (Murtiastutik, 2008).

(15)

Menurut Djoerban dan Djauzi (2007) obat anti retroviral terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide

reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral yang

dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing. Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).

Kolom A Kolom B

Lamivudin + zidovudin Evafirenz* Lamivudin + didadosin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin Nevirapin Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didadosin

Lamivudin + zidovudin Nelvinafir Lamivudin + stavudin

Lamivudin + didadosin

Tabel 2.1. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007) *Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk hamil

Golongan Nama Obat Dosis

Nucleoside RTI

(NRTIs)

Abacavir 300 mg setiap 12 jam Didadosine (ddI) 40 mg sekali sehari

(250 mg sekali sehari jika BB< 60kg) (250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)

(16)

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari

Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam

(30 mg setiap 12 jam bila BB< 60kg) Zidovudine

(ZDV/AZT)

300 mg setiap 12 jam

Nucleotide RTI

(NtRTIs)

Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari

(catatan: interaksi obat dengan ddI, perlu mengurangi dosis ddI)

Non-Nucleotise RTIs (NNRTIs)

Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam.

Protease Inhibitors (PIs) Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100mg setiap 12 jam Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam

(533mg/133mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP) Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam

Saquinavir/ritonavir (SQV/r)

1000 mg/100mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200mg sekali sehari

Ritonavir(RTV,r)f Kapsul 100 mg, larutan oral 400mg/5 ml Tabel 2.2. Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa (Murtiastutik, 2007)

Regimen Toksisitas Obat Pengganti

AZT/3TC/NVP Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat

Ganti AZT dengan d4T

(17)

Hepatoksisitas berat oleh NVP Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC)

Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)

Ganti NVP dengan EFV

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Steven-Johnson Syndrome) oleh karena NVP

Ganti NVP dengan protease inhibitor

AZT/3TC/EFV Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat

Ganti AZT dengan d4T

Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV

Ganti EFV dengan NVP

D4T/3TC/NVP Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis

Ganti d4T dengan AZT

Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF atau ABC

Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)

Ganti NVP dengan EFV

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Steven-Johnson Syndrome) oleh karena NVP

Ganti NVP dengan

(18)

D4T/3TC/EFV Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis

Ganti d4T dengan AZT

Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF atau ABC

Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV

Ganti EFV dengan NVP

Tabel 2.3. Toksisitas Utama pada Regimen ARV lini pertama dan anjuran obat penggantinya (Murtiastutik, 2007)

Tanda Klinis Kriteria CD4

- Timbulnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang memperjelas perkembangan penyakit yang memburuk. Hal tersebut harus dibedakan dengan IRIS yang dapat saja timbul pada 3 bulan pertama setelah ARV dimulai.

IRIS bukan merupakan tanda kegagalan terapi dan infeksi oportunistik harus diterapi seperti biasa, tanpa mengganti regimen ARV.

- Kambuhnya IO yang pernah diderita -Munculnya atau kambuhnya penyakit-penyakit pada stadium III (termasuk HIV wasting syndrome, diare kronis yang tidak jelas penyebabnya, terulangnya infeksi bakterial invasif, atau kandidiasis mukosa

- CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi atau bahkan dibawahnya tanpa adanya infeksi penyerta yang lain yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementara. - Penurunan jumlah CD4 > 50% dari jumlah tertinggi yang pernah dicapai selama terapi tanpa infeksi penyerta lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementara.

(19)

yang kambuh atau menetap )

Tabel 2.4. Definisi Kegagalan Terapi secara klinis dan kriteria CD4 pada ODHA dewasa (Murtiastutik, 2007)

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung HIV (post exposure prophylaxis). Selain itu juga digunakan untuk pencegahan penularan dari ibu ke bayi (Djoerban dan Djauzi, 2007).

2.9. Prognosis HIV/AIDS

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2008).

Gambar

Tabel 2.1. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007)
Tabel 2.3. Toksisitas Utama pada Regimen ARV lini pertama dan anjuran obat  penggantinya (Murtiastutik, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada

Setelah dilakukan analisis terhadap kebutuhan geometrik dan perkerasan fasilitas sisi udara Bandar Udara Kufar dengan jenis pesawat yang akan beroperasi ATR 72-500, ATR 72-600 dan

Total baseline emisi GRK untuk skenario tinggi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan emisi fugitive meningkat dengan pertumbuhan sebesar 7,7%

Bila Anda melakukan pemesanan di Amway2u, transaksi Anda akan dienkripsi dengan menggunakan teknologi enkripsi Secure Socket Layer (SSL). Enkripsi merangkai informasi yang

REFOLIS ISKANDAR Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

1512 NANI KARTINI POS PAUD BINA PRESTASI BANDUNG KULON. 1513 NENENG JUARIAH POS PAUD BINA PRESTASI

Bomas Abadi miring, tidak memiliki kemampuan untuk menegak kembali dan timbul moment/penerus sehingga kapal bertambah miring (sudut sengetnya bertambah besar)

2) Sebelum kejadian kandas LCT. Cipta Harapan XII telah bernavigasi dengan aman dan selamat dari Pelabuhan Ketapang sampai dengan alur luar di sekitar Buoy merah