• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.5 Panggung dan Properti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3.5 Panggung dan Properti"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

3.5 Panggung dan Properti

Panggung adalah sebuah tempat yang ajaib. Dipandang oleh puluhan, ratusan atau mungkin ribuan pasang mata, apa yang tidak bisa kita percayai dalam keadaan nyata, bisa dengan begitu gampangnya meyakinkan kita bila disaksikan di atas panggung. Tata lampu, kemudian cerita, belum lagi rias, kostum, musik dan laku pemain, semua itu menyebabkan seakan-akan yang terjadi di panggung lebih “terjadi” lagi.

Itu semua karena banyak faktor. Pertama karena ada kesiapan penonton untuk ”tertipu,” rela mengandaikan semua itu benar. Tetapi dengan syarat bahwa ia dapat diyakinkan. Caranya meyakinkan juga tidak susah, sudah cukup bila orang yang mengatur dan berlaku di panggung juga yakin dengan apa yang dilakukannya.

Jadi panggung dapat menjadi kelihatan luar biasa, sebenarnya bukan karena diluar-biasakan, tetapi diniatkan. Hanya saja kalau diluarbiasakan, artinya didandani habis, belum tentu juga bisa luar biasa. Kadang-kadang malah menjadi kampungan. Karena panggung bukan semacam displai, etalase atau tempat pameran. Panggung hanyalah sebuah ruang saja yang kemudian menjadi hidup karena diisi oleh persoalan, konflik, karakter atau laku.

Panggung-panggung teater realis juga tak selamanya mengoper kerealitaan. Karena kalau itu dilakukan, kehadiran persoalan penyelesaian dan sebagainya dari lakon akan membuat semuanya terlalu ramai. Mesti ada penyederhanaan yang dilakukan oleh penata pentas, sehingga panggung menjadi alat penunjang saja dari sebuah lakon, namun yang utama tetaplah para pemain.

Di dalam pemanggungan-pemanggungan modern, desain panggung menjadi sangat sederhana. Berbeda dengan teater tradisi yang tidak mengenal kata panggung. Yang ada pada saat itu adalah ruang untuk bermain. Untuk membentuk sebuah ”panggung” para pemainlah yang menciptakan bentuk ruang itu sesuai dengan keinginannya karena mereka yakin, penonton pun akan terbawa dalam suasananya.

Tata panggung di Indonesia banyak berubah sejak berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM), di Jakarta, pada tahun 1968. Berbagai pertunjukan teater dipagelarkan di TIM, baik pertunjukan yang modern maupun tradisi, serta sudah mulai mengacu pada efisiensi dan efektivitas. Imajinasi penonton pun dipergunakan, sebagaimana sandiwara radio mempergunakan imajinasi pendengarnya dalam membuat sebuah set dekor. Dekor sebuah pertunjukan diubah dan cukup dengan mempergunakan level dan boks yang banyak. Dekorasi konvensional hampir ditinggalkan untuk mengejar sebuah kepraktisan dan kesedehanaan. Dalam penyediaan

(2)

properti panggung satu set dekor dapat berfungsi banyak.

Almarhum Rudjito adalah salah seorang penata panggung yang banyak memberikan jasanya di TIM, dalam mengarahkan bentuk penataan set yang modern ringkas dan murah, dan sekaligus menggali semangat set tradisi. Bedanya Rujito tidak menata set dengan benda-benda, tetapi dengan jiwa. Kadangkala beliau membawa satu barang yang ada di dalam tempat latihan untuk diletakkan pada panggung, dengan tujuan untuk mengingatkan kembali atmosfir yang ada ketika sedang latihan. Dengan cara seperti itu, pencapaian-pencapaian latihan secara tidak langsung kembali mendapatkan energinya.

Tata lampu juga semakin banyak membelokkan arah penataan pang-gung. Dengan kemampuan cahaya lampu, panggung yang kosong dapat berubah menjadi bermacam-macam bentuk. Dalam perkembangannya, pencahayaan berkembang menjadi sebuah penciptaan seni yang bisa melengkapi ciri waktu, tempat, dan suasana. Cahaya bisa diplot kemudian dikomputerisasi berdasarkan bloking permainan. Sama halnya dengan seorang pemain, tanpa bantuan pendukung yang lain, sebuah panggung mampu diubahnya menjadi lebih spektakuler. Dan itu tergantung dari apakah pemain itu “berisi” atau tidak.

Properti, atau benda-benda yang ada di dalam panggung dan yang mengisi bagian-bagian panggung adalah sebuah bagian dari set. Tidak selamanya benda-benda yang asli atau baik, bisa cocok dan layak untuk diletakkan di dalam set. Penonton bukan hendak mengunjungi museum untuk melihat sesuatu yang asli di pentas. Mereka sadar bahwa mereka melihat “benda-benda bohongan,” bahkan anehnya, kebohongannya itulah yang menjadi daya tarik. “Permainan kebohongan yang disepakati,” itulah kiranya istilah yang tepat mengenai hal ini.

Semakin mahal harga tiket sebuah pertunjukan, maka semakin indahlah sebuah panggung. Setiap orang yang ingin menonton teater, harus siap untuk diajak mengembara dalam ruang imajinasi. Tetapi anehnya, kalau mereka tidak puas, mereka akan mengusutnya dengan logika. Mereka akan bilang semua adegan tidak masuk akal, lalu mereka menjadi tidak senang dan merasa dibohongi. Sebenarnya bukan karena tidak masuk akal, tetapi karena kemasannya tidak mampu memukau para penonton untuk dapat berimajinasi selaras dengan lakon.

Dengan cara melihat panggung seperti itu, jenis properti yang ada di pentas sebenarnya tidak harus menjadi sebuah kendala dalam pementasan. Karena sepotong kayu pun bisa saja diandaikan sebagai pedang atau senapan, asal saja yang mempergunakannya bisa yakin bahwa itu adalah sebuah pedang atau senapan. Dan sebaliknya, pedang pun tidak akan

(3)

dipercaya sebagai pedang kalau jika yang mempergunakannya sendiri tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri.

Kadang-kadang properti bisa dibuat secara berlebih-lebihan, atau-pun lebih sederhana dan seadanya. Dan juga bukanlah menjadi masalah kalau sebuah properti digantikan dengan benda lain. Bahkan tanpa adanya sebuah barang pun, sebuah permainan tetap dapat berjalan karena seorang pemain bisa meyakinkan para penontonnya. Jadi meskipun properti adalah bagian yang penting dari sebuah set, khususnya set teater realis, tetapi kretivitas akan selalu dapat mengatasinya, terlebih lagi bila ada kesulitan yang timbul.

Gbr. 3-07 a,b,c: Properti merupakan bagian penting dalam set panggung, (a) properti dalam panggung drama realis, dengan perabotan rumah tangga. (b) set properti panggung yang tidak-realis, kotak-kotak yang digunakan bagian dari disain ruang yang abstrak; (c) properti dari kain yang ”bergerak” untuk menggambarkan kapal layar (dari pertunjukan I La Galigo di Barru, Sulawesi Selatan).

a

c

(4)

Gbr. 3-09: Kostum sering dirancang untuk bisa juga menimbulkan efek tersendiri ketika digerakkan oleh pemainnya.

Gbr. 3-08 a,b: Sebuah pertunjukan tidak harus diadakan dalam panggung formal, bisa di mana saja yang sesuai dengan materinya: (a) di ruang terbuka, ataupun (b) di dalam bangunan ”serba guna.”.

3.6 Tema dan Cerita

Sebuah lakon yang memakai cerita bila dibedah memiliki beberapa unsur. Unsur-unsur itu meliputi tema cerita, ide cerita, dan alur cerita. Setiap lakon yang berisi cerita akan memiliki pesan moral di dalamnya, ide yang mana sebenarnya datang lebih dahulu pada si pengarang, kita tidak tahu dengan pasti. Tetapi mungkin bisa ditebak-tebak.

Ide dalam cerita awalnya adalah merupakan gagasan-gagasan, yaitu semacam pikiran yang timbul dalam benak seorang penulis. Gagasan dan pikiran itu melahirkan ide yang kemudian menggerakkannya untuk membuat sebuah lakon. Ide itu tidak harus diartikan sebagai wahyu yang turun dari langit. Sebenarnya ide adalah hasil pengendapan yang dilakukan seorang pengarang dalam keadaan sadar maupun tidak. Kemudian ketika sesuatu yang merangsang sebuah gagasan yang sedang mengendap itu menyentuhnya, tercetuslah sebuah ide.

Kalau seseorang tiba-tiba mendadak ingin makan bakmi atau nonton di bioskop, itu bukanlah ide. Tapi bila seseorang ingin makan gratis dan enak dengan cara pura-pura menjadi tamu dalam sebuah acara

(5)

perkawinan di hotel, itu baru disebut ide. Ide itu mengandung PR yang harus dilaksanakan. Sebuah ide mengandung rencana, dan gagasan. Selain itu sebuah ide juga mengandung pikiran-pikiran baru yang sebelumnya jarang dilakukan atau mungkin tidak pernah, khususnya oleh yang bersangkutan. Itu sebabnya sebuah ide sering disangkutkan dengan ide baru ketika sebuah gagasan direalisasi dalam sebuah bentuk nyata

Untuk menjadi bentuk lakon, sebuah ide kemudian diisi dengan tema. Seorang penulis akan mengambil tema dari sebuah gejolak atau kejadian-kejadian yang sedang marak terjadi. Atau memilih tema-tema klasik yang tetap hidup dan pasti akan menarik perhatian masyarakat. Misalnya tema-tema cinta.

Sesudah menentukan tema, penulis mulai akan merangkai cerita. Ia mungkin akan memulai dengan sebuah sinopsis, yakni sebuah gambaran singkat tentang kejadian atau peristiwa apa yang akan terjadi. Atau mungkin saja dia akan langsung menuliskan keseluruhan isi cerita. Kemudian penulisan akan sampai pada satu tahapan lagi yaitu mengenai pesan moral yang harus disampaikan kepada pembaca. Sebuah tema cerita juga harus mengandung berbagai opini yang menunjukkan sikap, namun juga memberikan anjuran atau rembugan sebagai gambaran keterbukaan pribadinya terhadap cerita itu.

Di khazanah teater Barat jelas dibedakan tema antara tragedi dan komedi. Tragedi yaitu sebuah cerita yang sedih karena biasanya berakhir dengan duka. Sementara komedi adalah cerita-cerita dengan tema lucu yang membuat gembira. Komedi dipilah lagi menjadi dua yaitu banyolan dan dagelan. Banyolan adalah sebuah cerita komedi situasi, yaitu cerita yang kerap terjadi pada masa itu namun dibawakan dengan gaya jenaka, contohnya seperti lakon Barabah karya Motinggo Boesye. Sedangkan dagelan adalah lakon-lakon yang lucu seperti yang dimainkan oleh

Srimulat.

Selain itu, dikenal melodrama yang merupakan racikan komedi dan tragedi. Melodrama juga merupakan gabungan antara musik dan drama yang menitikberatkan kepada kebaikan dan membenci kejahatan. Tokoh yang muncul adalah para pahlawan, dan tokoh yang lucu dan jujur. Tema biasanya diambil dari cerita novel. Hasil perpaduan/racikan ini membuat cerita menjadi lebih ringan, romantis dan biasanya jadi komersial. Tema-tema seperti ini umumnya sangat digemari dan laku dijual. Mungkin kita sering menonton bentuk cerita seperti ini dan apa yang sering kita lihat dalam opera sabun adalah sebuah bentuk melodrama.

Teater tradisi hampir tak mengenal perbedaan itu. Di dalam lakon tradisi, antara tragedi dan komedi tidak berdiri sendiri tapi datang dan

(6)

muncul secara serentak/bersamaan. Tertawa dan air mata datang silih berganti. Itu bisa sebagai tanda pada keyakinan bahwa kehidupan itu selalu seimbang, bahkan penuh keseimbangan. Hitam dan putih silih berganti. Kalah dan menang datang bergiliran.

Di dalam sebuah lakon yang tidak memiliki alur, tidak terdapat jalinan cerita. Yang ada adalah suasana-suasana. Meskipun antara konflik dan pernyataan sudah ada bahkan diskusi juga ada tetapi semuanya tidak akan runtun diarahkan kepada sesuatu. Yang ingin dicapai oleh sebuah lakon drama tanpa alur, bukanlah semata-mata untuk membawa kabar rahasia alias plot, tetapi sebuah kenyataan hidup yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Setiap penonton diberikan kebebasan untuk memberikan tafsiran, namun bukan apa yang disampaikan lakon yang menentukan, tetapi apa yang kemudian sampai pada penontonlah yang penting.

Teater tanpa alur cerita, sebenarnya adalah sebuah teror. Mental penonton akan merasa diteror karena diberikan berita yang tidak ada beritanya atau tidak jelas beritanya. Penonton akan gelisah dan mencari kepastian. Pencarian itu akan menghidupkan kembali minat penonton untuk menilai kembali semuanya. Jadi walaupun berupa teror, tetapi sifatnya positif.

(7)

Gbr. 3-11 a,b: Banyolan/lawak kadang disisipkan dalam pertunjukan teater tradisi seperti, (a) di Jawa Barat dengan nama bodoran dan (b) di Jawa Tengah dengan nama Goro-goro.

3.7 Struktur

Naskah dalam drama yang konvensional, di samping punya cerita dan karakter, juga punya struktur yang sudah baku. Strukturnya meliputi pembukaan, perkenalan, kemudian konflik-konflik yang terjadi dan akhirnya cara untuk membuat sebuah penyelesaian. Kadang-kadang urutan struktur ini dibalik. Konflik didahulukan kemudian flash back (kilas balik), lalu penyelesaian. Atau bisa juga dengan cara penyelesaian dahulu kemudian flash back.

Sebaliknya dalam drama yang inkonvensional, naskah tidak lagi menghiraukan patokan-patokan struktur itu. Yang terpenting dalam drama inkonvensional adalah bagaimana membuat sebuah pertunjukan dan bagaimana cara untuk mempertontonkan sesuatu. Naskah tidak lagi berisi cerita atau karakter, juga tanpa pembukaan atau penutup bahkan konflik atau klimaks pun tak ada.

Kita akan menganggap sebuah drama inkonvensional adalah sebuah drama yang bisa membingungkan karena tidak ada kejelasan pada awal dan akhir pertunjukan. Sebenarnya asumsi yang seperti ini bisa timbul kalau kita menilainya berdasarkan sudut pandang drama yang konvensional. Dari sudut drama yang inkonvensional, sebenarnya drama yang tanpa batasan adalah inti dari sebuah realita. Bentuk drama ini tidak mencoba menampilkan sosok realita, karena mustahil akan mampu menjelaskannya dalam waktu yang terbatas. Jadi yang ditampilkan adalah jiwa dari realita. Dengan cara pandang seperti itu, seseorang yang bergerak dalam drama inkonvensional akan mengatakan bukan saja ia tidak mengikuti pakem struktur drama, tapi struktur drama itu sendiri baginya tidak ada. Karena menurutnya begitu distrukturkan, drama itu sudah menyimpang sama sekali dari kenyataan.

(8)

Perdebatan seperti itu tidak harus mencari tahu siapa di antaranya yang lebih benar. Mari kita biarkan saja perdebatan itu sebagai sebuah topik diskusi yang akan dibicarakan terus menerus. Diskusi dan pencarian jalan keluar untuk topik dapat membuat teater menjadi benda yang lebih dinamis. Dialog harus selalu ada karena dengan adanya dialog itulah teater tumbuh, hidup dan berkembang.

Yang harus dilakukan saat ini adalah mendokumentasikan semua rembugan dan diskusi. Selain itu disarankan untuk setiap orang yang ingin mempelajari teater harus mengetahui apa yang terjadi dalam teater dan mencermatinya. Tetapi kemudian jika harus memilih, pastikan bahwa pilihan itu cocok dengan dirinya. Realis atau non-realis, konvensional maupun inkonvensional, semua sama saja. Yang penting apakah dalam estetikanya ia sudah berhasil mencapai taraf yang sudah matang.

Bila seseorang sudah matang, maka seluruh aliran atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam teater tidak ada artinya. Teater tetap saja sebuah alat untuk mempelajari kehidupan, menemukan jati diri, mengenal orang lain, bergotong-royong dan berekspresi.

Gbr. 3-12: Perwujudan karakter (rias, kostum) dalam wayang wong panggung tidak realis, tapi alur dan struktur ceritanya realistis, mudah diikuti, dan set panggungnya digambar realistis.

(9)

Gbr. 3-13: Pertunjukan teater absurd bersifat inkonvensional dalam strukturnya, sisi cerita sulit untuk dicerna, dan set panggung tidak realis.

(10)

Gbr. 3-14: Properti yang digunakan mudah dimengerti (mobil, dengan gambar yang cukup realistis), tapi penggunaannya atau perlakuannya dalam panggung tidak realistis: lucu tapi tidak membuat orang terbahak-bahak.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan

Maka dapat disimpulkan bahwa ; penerimaan pajak hotel di kota Mojoerto dari tahun 2009-2013 mengalami kenaikan, untuk pertumbuhan pajak hotel Melihat dari perubahan maupun

Operasi penjumlahan bilangan bulat memberikan solusi tertutup (pada bilangan bulat) dan hanya satu jawaban yang memenuhi (tunggal). Jadi, dalam operasi bilangan bulat berlaku

Hasil ini mempunyai arti bahwa secara simultan skeptisisme profesional, due professional care, dan tekanan anggaran waktu berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit

Sports, and Art Training EKSAKTA (Elaborasi kemampuan seni, olaharaga dan kreativitas Menghimpun dan memfasilitasi minat seni dan kemampuan olahraga mahasiswa PKnH

“Dengan jaringan cabang kami yang luas di seluruh Indonesia, pemilik usaha skala kecil dan menengah dapat pergi ke setiap cabang UOB untuk mendapatkan layanan bagi kebutuhan

Dari hasil simulasi sistem terner yang diperoleh, untuk melihat profil pergerakan komposisi liquida di bottom maka digambar dalam bentuk peta kurva residu.. Dari peta kurva di

Penulis berasumsi bahwa dengan adanya pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dapat memperkuat hubungan antara nilai laba terhadap harga saham, karena selain