• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. IPA melatih anak berfikir kritis, meskipun sederhana IPA bukanlah suatu pelajaran yang bersifat hafalan belaka. Pembelajaran IPA di SD perlu menggunakan model pembelajaran yang cocok untuk anak usia SD yang dapat berupa pengalaman langsung agar anak mudah memahami serta tidak dapat melupakan apa yang sudah dipelajarinya.

Model belajar yang cocok untuk anak Indonesia adalah belajar melalui pengalaman langsung (learning by doing). Model belajar ini memperkuat daya ingat anak dan biayanya sangat murah sebab menggunakan alat-alat dan media belajar yang ada di lingkungan anak sendiri. Menurut Tisno Hadisubroto dalam pembelajaran IPA Sekolah Dasar, Piaget mengatakan bahwa pengalaman langsung yang memegang peranan penting sebagai pendorong lajunya perkembangan kognitif anak. Pengalaman langsung anak terjadi secara spontan sejak lahir sampai anak berumur 12 tahun. Efisiensi pengalaman langsung tergantung pada konsistensi antara hubungan metode dan obyek dengan tingkat perkembangan kognitif anak. Anak siap untuk mengembangkan konsep tertentu hanya bila anak telah memiliki struktur kognitif (schemata) yang menjadi prasyaratnya yakni perkembangan kognitif yang hirarkhis dan integratif.

Menurut Laksmi Prihantoro dkk., (1986) mengatakan bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk IPA

(2)

merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep. Sebagai suatu proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk-produk sains, dan sebagai aplikasi, teori-teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan.

Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidikan IPA menjadi penting, tetapi pengajaran IPA yang bagaimanakah yang paling tepat untuk pembelajaran SD? Struktur kognitif siswa tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitif ilmuwan, pada hal siswa perlu diberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan-keterampilan proses IPA yang perlu dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya.

Keterampilan proses IPA untuk anak-anak didefinisikan oleh Paolo dan Marten (1993) adalah: (a) mengamati, (b) mencoba memahami apa yang diamati, (c) menggunakan pengetahuan baru untuk melihat apakah ramalan-ramalan tersebut benar. Selanjutnya Paolo dan Marten juga menegaskan bahwa dalam IPA mencakup juga coba-coba dan melakukan kesalahan, gagal dan mencoba lagi. IPA tidak menyediakan semua jawaban untuk semua masalah yang diajukan. Dalam IPA siswa bersikap skeptik, sehingga siswa selalu siap memodifikasi model-model yang dipunyai tentang alam ini sejalan dengan penemuan-penemuan yang didapatkan. Selain materi IPA yang harus dimodifikasi, keterampilan-keterampilan proses IPA yang akan dilatihkan juga harus disesuaikan dengan perkembangan siswa.

Model pembelajaran yang bisa diterapkan pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) harus memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa antara lain adalah pembelajaran kontekstual. Melalui pembelajaran kontekstual menempatkan siswa sebagai subjek belajar, siswa akan aktif terlibat dalam proses pembelajaran sehingga siswa merasa senang tertarik dan antusias mengikuti pembelajaran. Dalam pembelajaran IPA misalnya, seorang guru IPA, baik sebagai guru mata pelajaran maupun sebagai guru kelas, seperti halnya di

(3)

Sekolah Dasar. Guru harus tahu benar kegunaan-kegunaan apa saja yang dapat diperoleh dari pembelajaran IPA.

Saat ini para pendidik IPA telah memperkenalkan penggunaan pendekatan daur belajar untuk mengajarkan IPA. Daur belajar mengikuti pola tertentu sebagai model setelah Piaget dan pakar lainnya mendiskripsikan perkembangan konsep. Strategi ini terdiri atas tiga tahap yang berbeda: (1) tahap eksplorasi, (2) tahap pengenalan konsep, dan (3) tahap penerapan konsep. Daur belajar yang mendorong perkembangan konsep IPA sebagai berikut:

1. Eksplorasi yaitu anak mengalami (mengindera) objek secara langsung. Pada langkah ini anak memperoleh informasi baru yang adakalanya bertentangan dengan konsep yang telah dimilikinya.

2. Generalisasi yaitu menarik kesimpulan dari beberapa informasi (pengalaman) yang tampaknya bertentangan dengan yang telah dimiliki anak.

3. Deduksi yaitu mengaplikasikan konsep yang baru (generalisasi) itu pada situasi dan kondisi baru.

Berdasarkan KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tujuan pembelajaran IPA adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

(4)

Ruang Lingkup Pembelajaran IPA

Berdasarkan KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) ruang lingkup mata pelajaran IPA meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan.

2. Benda/materi sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas.

3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana.

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya dan benda-benda langit lainnya.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang dikemas berdasarkan prosedur yang sesuai dan sudah berlaku di dalam pendidikan. Sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan langkah awal membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Setiap guru dalam satuan pendidikan wajib membuat RPP secara lengkap dan sistematis. Agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. (Permendiknas No 41 Tahun 2007).

1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Permendiknas No 41 Tahun 2007).

2. Kegiatan Inti

Sesuai Permendiknas No 41 Tahun 2007 bahwa kegiatan merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk

(5)

berpartisipasi aktif. Memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistematik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

3. Kegiatan Akhir

Kegiatan akhir atau penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran. Dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut (BSNP No 41 Tahun 2007).

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Berdasarkan Standar Proses

Standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester, pada suatu mata pelajaran (Permendiknas, No. 41 Tahun 2007). Sedangkan kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi dalam suatu pelajaran (Permendiknas, No. 41 Tahun 2007). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran IPA kelas 5 semester II, secara rinci disajikan melalui tabel 2.1 halaman berikuit.

(6)

Tabel 2.1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA Kelas 5 Semester II

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

4. Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi, serta fungsinya.

5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak dan energi melalui percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek, gaya magnet).

5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat.

5. Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui kegiatan membuat suatu karya/model.

6.1 Mendeskripsi-kan sifat-sifat cahaya. 6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya

periskop dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya.

6. Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam.

7.1Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan.

7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah. 7.3 Mendeskripsikan struktur bumi. 7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan

kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya.

7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air.

7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan.

7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat mengubah

permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb).

Sumber: Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar isi 2.1.2 Model Discovery Learning

Penemuan (discovery) merupakan suatu pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Oemar Hamalik menyatakan bahwa discovery adalah proses pembelajaran yang menitikberatkan pada mental intelektual para peserta didik dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga menemukan suatu konsep atau generalisasi yang dapat diterapkan di lapangan. Metode ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977) dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong

(7)

untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri siswa sendiri.

Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa siswa harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner menyebutnya discovery learning, yaitu menitikberatkan pada kemampuan para peserta didik dalam menemukan sesuatu melalui proses inquiry (penelitian) secara terstruktur dan terorganisasi dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Masarudin Siregar bahwa discovery by learning adalah proses pembelajaran untuk menemukan sesuatu yang baru dalam kegiatan belajar mengajar. Proses belajar dapat menemukan sesuatu apabila pendidik menyusun terlebih dahulu beragam materi yang akan disampaikan, selanjutnya siswa dapat melakukan proses untuk menemukan sendiri berbagai hal penting terkait dengan kesulitan dalam pembelajaran. Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ide menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan proses induktif atau proses deduktif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi. Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri siswa sendiri.

Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak

(8)

melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam discovery learning mulai dari strategi sampai dengan jalan sendiri dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata-mata ditemukan oleh siswa sendiri.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa discovery learning adalah suatu pembelajaran untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi.

Tujuan Model Discovery Learning

Menurut Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:

1. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.

2. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.

3. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.

4. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.

5. Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.

(9)

6. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktivitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.

Karakteristik Model Discovery Learning

Dalam konsep belajar, sesungguhnya model discovery learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam discovery, bahwa discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem koding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas and difference) yang tejadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian. Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari setiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu:

1. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.

2. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).

3. Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya siswa belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic, dan symbolic

(10)

adalah siswa menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (siswa bergeser ke depan atau ke belakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic, siswa menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan, dan akhirnya siswa menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic.

Karakteristik yang paling jelas mengenai discovery learning sebagai pembelajaran ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah mulai berkurang. Hal ini tidak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada siswa. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya, melainkan pelajar diberi responbilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

Peran Guru dalam Model Discovery Learning

Dahar (1989) mengemukakan beberapa peranan guru dalam pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:

1. Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.

2. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan.

3. Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif, ikonik, dan simbolik.

4. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.

(11)

5. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Secara garis besar tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan generalisai-generalisasi-generalisasi itu.

Kelebihan Model Discovery Learning

1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, siswa tergantung bagaimana cara belajarnya.

2. Pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.

3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.

4. Pembelajaran ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.

5. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.

6. Pembelajaran ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.

7. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.

8. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.

9. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.

10. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.

11. Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.

12. Mendorong siswa berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri. 13. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.

(12)

15. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.

16. Mendorong keterlibatan keaktifan siswa.

17. Menimbulkan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat.

18. Siswa akan dapat mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks. 19. Dapat meningkatkan motivasi.

20. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.

21. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.

22. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. 23. Melatih siswa belajar mandiri.

24. Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sebab siswa berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.

Kekurangan Model Discovery Learning

1. Pembelajaran ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. 2. Pembelajaran ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak,

karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu siswa menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.

3. Harapan-harapan yang terkandung dalam pembelajaran ini dapat berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.

4. Pembelajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.

5. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.

(13)

6. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-langkah Model Discovery Learning

Adapun langkah-langkah yang harus diketahui dalam model discovery learning sebagai berikut:

1. Langkah Persiapan

a. Menentukan tujuan pembelajaran

b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya)

c. Memilih materi pelajaran

d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)

e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa

f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar

2. Pelaksanaan

a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini, Bruner memberikan stimulasi dengan menggunakan teknik bertanya, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi.

(14)

b. Problem Statement (pernyataan/identifikasi masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutnya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah).

c. Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar atau tidaknya hipotesis, dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki. d. Data Processing (Pengolahan Data)

Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing disebut juga dengan pengkodean (coding)/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

(15)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing. Pembuktian menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.

f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan peserta didik harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

Alat Peraga Konkret

Alat peraga konkret adalah segala sesuatu yang nyata dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efisien menuju kepada tercapainya tujuan yang diharapkan. Alat peraga konkret IPA dalam pengertian terbatas yaitu sebagai alat bantu pengajaran, khususnya dalam pengajaran IPA di SD. Alat peraga dalam mengajar memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses belajar mengajar IPA yang efektif.

Sudjana (2009) mengemukakan bahwa alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien. Sedangkan Faizal (2010) mendefinisikan alat peraga konkret pendidikan sebagai instrument audio maupun

(16)

visual yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan membangkitkan minat siswa dalam mendalami suatu materi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa alat peraga konkret sangat penting untuk tercapainya kegiatan belajar mengajar karena dengan alat peraga kongkret dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa.

Fungsi Alat Peraga Konkret

Mulyani Sumantri (2004) mengemukakan bahwa secara umum alat peraga konkret berfungsi sebagai:

1. Alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif. 2. Bagian integral dari keseluruhan situasi mengajar.

3. Meletakkan dasar-dasar yang konkret dan konsep yang abstrak sehingga dapat mengurangi pemahaman yang bersifat verbalisme.

4. Mengembangkan motivasi belajar peserta didik. 5. Mempertinggi mutu belajar mengajar.

Beberapa fungsi alat peraga dalam pengajaran IPA, yaitu: 1. Memperjelas informasi atau pesan dalam pembelajaran IPA. 2. Memotivasi belajar siswa dalam pembelajaran IPA.

3. Memberi variasi dalam pengajaran IPA.

4. Siswa lebih cepat dan mudah memahami materi pelajaran IPA. Jenis-jenis Alat Peraga IPA di SD

Dengan adanya alat peraga, anak-anak akan lebih banyak mengikuti pelajaran dengan gembira, sehingga minatnya dalam mempelajari IPA semakin besar. Anak akan senang, terangsang dan bersikap positif terhadap pengajaran IPA. Menurut Sujana banyak ragam jenis alat peraga IPA yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran IPA di SD. Alat peraga dilihat dari jenis indera dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

(17)

2. Media visual, yaitu alat peraga yang dilihat.

3. Media audio visual, yaitu alat peraga yang dapat didengar dan dilihat.

Selain itu alat peraga berdasarkan dilihat dari sumbernya dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (a) alat peraga alamiah (natural)/konkret, yaitu alat peraga yang sesuai dengan benda aslinya di alam, (b) alat peraga buatan (artificial), yaitu alat peraga hasil modifikasi atau meniru benda aslinya.

Keuntungan dan Kelemahan Alat Peraga

Menurut Russeffendi (2001) kelebihan dan kelemahan penggunaan alat peraga dalam pengajaran antara lain sebagai berikut:

1. Kelebihan penggunaan alat peraga yaitu:

a. Menumbuhkan minat belajar siswa karena pelajaran menjadi lebih menarik.

b. Memperjelas makna bahan pelajaran sehingga siswa lebih mudah memahaminya.

c. Metode mengajar akan lebih bervariasi sehingga siswa tidak akan mudah bosan.

d. Membuat lebih aktif melakukan kegiatan belajar seperti: mengamati, melakukan dan mendemonstrasikan dan sebagainya.

2. Kekurangan alat peraga yaitu:

a. Mengajar dengan memakai alat peraga lebih banyak menunjuk guru. b. Banyak waktu yang diperlukan untuk persiapan.

c. Perlu kesediaan berkorban secara materiil.

2.1.3 Hasil Belajar

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 58, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Menurut Sudjana (2011) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Menurut Gagne hasil belajar adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang kita

(18)

berikan pada stimulus yang ada dilingkungan, yang menyediakan skema yang terorganisasi untuk mengasimilasi stimulus-stimulus baru dan menentukan didalam dan diantara kategori-kategori. Menurut Winkel mengemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam hal sikap dan tingkah lakunya.

Hasil belajar ditinjau dari taksonomi C. Bloom dalam Wardani Naniek Sulistya dkk. (2012:23) menyatakan bahwa hasil belajar mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga kemampuan tersebut dapat diketahui melalui pengukuran.

Jadi hasil belajar adalah merupakan kemampuan, sikap, dan ketrampilan yang diperoleh siswa dan terbentuknya konsep baru setelah siswa menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dengan pengalaman belajarnya siswa dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang diperoleh untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Teknik Pengukuran Hasil Belajar

Wardani Naniek Sulistya, dkk (2012:47), teknik pengukuran hasil belajar dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda. Besarnya hasil belajar dapat diketahui melalui pengukuran. Pengukuran terhadap hasil belajar dilakukan dengan menggunakan alat ukur atau instrumen. Menurut Wardani Naniek Sulistya, dkk. (2012:49) teknik pengukuran dibedakan menjadi 2 yaitu teknik tes dan non tes.

1. Teknik tes

Menurut Suryanto Adi, dkk (2009) tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar.

Berikut ini adalah teknik tes yang dikemukakan oleh Endang Poerwanti (2008:4):

(19)

Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan

a. Tes Tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal maupun jawabannya.

b. Tes Lisan, pada tes lisan baik pertanyaan maupun jawaban (response) semuanya dalam bentuk lisan. Karena, tes lisan relative tidak memiliki rambu-rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrumen asesmen yang lain.

c. Tes Unjuk Kerja, pada tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor. Teknik nontes yaitu berisi pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Hasil pengukuran melalui instrumen nontes berupa angka seperti pernyataan sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang, dan sebagainya disebut kualitatif.

Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya. a. Tes Esei (Essay-type Test)

Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakannya dalam bentuk tulisan.

b. Tes Jawaban Pendek

Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.

c. Tes Objektif

Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi diperlukan untuk menjawab tes yang telah tersedia. Oleh karenanya sering pula disebut dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).

Tes berdasarkan waktu penyelenggaraan

a. Tes masuk, diselenggarakan sebelum dan menjelang suatu program pengajaran dimulai.

b. Tes formatif, dilakukan pada saat program pengajaran sedang berlangsung.

c. Tes sumatif, diselenggarakan untuk mengetahui hasil pengajaran secara keseluruhan (total).

d. Pre-tes dan post –test, hasil pra test digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik pada awal programpengajaran dan menentukan sejauh mana kemajuan seorang peserta didik. Kemajuan yang dicapai bisa dilihat dari perbandingan pra-tes dengan hasil tes yang diselenggarakan di akhir program pengajaran (post-test).

2. Non Tes

Teknik non tes sangat penting dalam mengases siswa pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan tekik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes Poerwanti Endang (2008:19 – 3-31) yaitu:

(20)

a. Observasi

Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen.

b. Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik.

c. Angket

Angket adalah suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap (Attitude Questionnaires).

d. Work Sample Analysis (Analisa Sampel Kerja)

Work Sample Analysis digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi mengenai kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa berdasarkan jumlah, tipe, pola, dan lain sebagainya.

e. Task Analysis (Analisis Tugas)

Task Analysis digunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan.

f. Checklists dan Rating Scales

Checklists dan Rating Scales dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang dipergunakan. g. Portofolio

Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa.

h. Komposisi dan Presentasi

Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya. i. Proyek Individu dan Kelompok

Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat digunakan untuk individu maupun kelompok.

Fungsi Pengukuran Hasil Belajar

Dalam buku Panduan Berbasis Kelas (Depdiknas, 2006) menjelaskan fungsi pengukuran pembelajaran sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan sejauhmana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi,

2. Sebagai landasan pelaksanaan evaluasi hasil belajar siswa dalam rangka membantu siswa baik untuk memilih program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (peran guru sebagai pendidik sekaligus pembimbing),

3. Untuk menemukan kesulitan belajar; kemungkinan prestasi yang dapat dikembangkan siswa.

(21)

4. Sebagai upaya pendidik untuk dapat menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang telah dilakukan.

5. Kesemuanya dapat dipakai sebagai control bagi guru sebagai pendidik dan semua stake holder pendidikan dalam lingkup sekolah.

Aspek-aspek Pengukuran Hasil Belajar

Alat ukur yang akan digunakan haruslah dibuatkan kisi-kisi terlebih dahulu. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Adapun kisi-kisi tersebut di dalamnya meliputi:

1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2. Indikator

3. Proses berfikir {C1 (ingatan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4 (analisis), C5 (evaluasi), C6 (kreasi)}

4. Tingkat kesukaran soal (rendah, sedang, tinggi) 5. Bentuk instrumen

Hasil dari pengukuran pencapaian Kompetensi Dasar dipergunakan sebagai dasar penilaian atau evaluasi. Menurut BSNP (2007:9) penilaian adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Wardani Naniek Sulistya, dkk, (2010:2.8) menjelaskan bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria dapat berupa kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM (kriteria ketuntasan minimal) atau batas keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa kemampuan rata-rata

(22)

unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan penilaian acuan patokan atau penilaian acuan kriteria (PAP/PAK), sedang kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut dengan penilaian acuan norma atau penilaian acuan relatif (PAN/PAR).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa, kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.

Model Discovery Learning Berbantuan Alat Peraga Konkret

Discovery learning merupakan model pembelajaran yang bertujuan untuk melatih kerjasama dan kemandirian siswa dengan cara siswa menyelidiki sendiri dan menemukan sendiri, sedangkan alat peraga konkret adalah suatu media yang dapat digunakan untuk membantu siswa memahami suatu materi untuk merangsang motivasi siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat berpikir secara konkret dalam memahami materi pembelajaran dan menjadikan proses pembelajaran menjadi menyenangkan. Berikut adalah sintaks pembelajaran dengan menggunakan model discovery learning berbantuan alat peraga konkret.

(23)

Tabel 2.2

Sintaks Model Discovery Learning Berbantuan Alat Peraga Konkret

No. Aspek Penjelasan

1. Stimulus a. Guru memberikan pertanyaan untuk merangsang siswa

berfikir.

b. Siswa membaca materi.

2. Problem

Statement

a. Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok. b. Siswa mengidentifikasi masalah

c. Siswa merumuskan jawaban sementara

3. Data

Collection

a. Siswa berkelompok melakukan percobaan dengan menggunakan alat peraga konkret

b. Guru mengamati dan membimbing kerjasama dalam kelompok.

4. Data

Processing

a. Siswa mendiskusikan hasil percobaan

5. Verifikasi a. Siswa memperagakan percobaan yang telah dilakukan

6. Generalisasi a. Siswa membuat kesimpulan

2.1.4. Hubungan Model Discovery Learning Berbantuan Alat Peraga Konkret dengan Hasil Belajar IPA

Hubungan antara model discovery learning dan hasil belajar IPA sangat berkaitan. Model discovery learning merupakan pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, dan hasil belajar yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatannya, dan tidak akan mudah dilupakan siswa. Pembelajaran yang terjadi tidak hanya dengan pengetahuan kemampuan teori saja, akan tetapi pembelajaran yang berupa pengalaman akan selalu membuat siswa menjadi menyenangkan dalam proses belajar dikelas. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pembelajaran IPA. Jadi, dengan model discovery learning dengan materi pelajaran IPA yang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran dimana guru menghubungkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata yang sering dilakukan peserta didik maka hasil belajar IPA menjadi meningkat.

(24)

Pembelajaran dengan model discovery learning berbantuan alat peraga konkret yang tepat, akan meningkatkan hasil belajar IPA siswa dan penguasaan kompetensi terhadap materi pembelajaran. Materi yang dipelajari akan mudah dipahami dan dimengerti siswa. Hal ini membuktikan bahwa pemilihan model pembelajaran dan penggunaan alat peraga sangat penting peranannya dalam mencapai keberhasilan dari sebuah proses pembelajaran, sebab dengan model pembelajaran dan alat peraga yang sesuai akan dapat menciptakan suasana belajar yang menarik, menyenangkan dan aktif sehingga kegiatan belajar mengajar dapat tercapai dengan optimal. Dengan demikian kegiatan belajar menjadi menarik, sehingga siswa aktif dan kreatif dalam pelajaran serta suasana belajar mengajar menjadi menyenangkan dan tidak membosankan.

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelitian dari Aris Kukuh Prasetyo yang berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Kelas V Pada Mata Pelajaran IPA Melalui Metode Discovery di SDN Sidorejo Lor 05 Kecamatan Sidorejo Salatiga Semester I Tahun 2009/2010”. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan ketuntasan hasil evaluasi siswa terhadap pemahaman dengan kompetensi dasar sifat bahan dengan bahan penyusunnya. Peningkatan ketuntasan belajar siswa tersebut terjadi secara bertahap, dimana pada kondisi awal hanya terdapat 18 siswa yang telah tuntas dalam belajarnya, pada siklus I pre-test ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 35 siswa yang telah tuntas, pada siklus I pertemuan keempat ketuntasan siswa mencapai 100% dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa 100%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode discovery dapat meningkatkan kompetensi dasar IPA siswa kelas V semester I SDN Sidorejo Lor 05, Kecamatan Sidorejo kota Salatiga semester I tahun ajaran 2009/2010. Dari hasil penelitian tersebut hendaknya sebagai seorang guru untuk meningkatkan prestasi belajar dalam pembelajaran IPA khususnya kelas V, perlu penggunaan metode discovery, guru kiranya selalu mengadakan perbaikan pembelajaran pada siswa yang belum

(25)

mencapai nilai yang diharapkan dengan menggunakan metode yang sesuai karakteristik anak. Kelebihan pada penelitian ini adalah pada siklus I pertemuan keempat hasil belajar siswa sudah meningkat. Kekurangannya yaitu tidak ada pembahasan pada refleksi setiap akhir pertemuan.

Berdasarkan penelitian dari Yohanes Andri Kristiawan yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Pada Mata Pelajaran IPA Dengan Metode Discovery Di SDN Tingkir 02 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Dalam penelitian ini meliputi beberapa pertemuan, yaitu pada siklus I dilakukan dua kali pertemuan dan pada siklus II dilakukan dalam dua kali pertemuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan lembar observasi dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung dan dengan mengadakan tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemampuan/keberhasilan siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Data yang diperoleh ditabulasi kemudian diolah dengan menggunakan analisis diskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil ulangan harian pada bab sifat-sifat cahaya yaitu 58,97% atau sebanyak 23 dari 39 siswa dengan nilai rata-rata 68,59. Sedangkan hasil tes siklus I menunjukkan 30 dari 39 siswa atau 76,92% dengan nilai rata-rata 75,77. Hasil tersebut masih harus diperbaiki pada siklus II karena belum mencapai indikator keberhasilan. Dari hasil tes siklus II menunjukkan 94,87% atau sebanyak 37 dari 39 siswa telah memenuhi standar keberhasilan dengan rata-rata nilai 86,28. Hal ini menunjukkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas dengan menerapkan metode discovery dalam pembelajaran IPA kelas V di SDN Tingkir Tengah ini telah berhasil karena telah mencapai tujuan indikator keberhasilan yang ditentukan. Kelebihan pada penelitian ini yaitu hasil belajar siswa yang diperoleh setiap siklus meningkat dengan mengadakan tes dan menggunakan lembar observasi disetiap proses pengajaran. Kekurangan pada penelitian ini adalah tidak ada pembahasan pada tahap refleksi di akhir pertemuan.

Berdasarkan penelitian dari Moh. Kanzunnudin yang berjudul “Peranan Metode discovery learning Berbantuan Lembar Kegiatan Siswa Dalam Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 5 Dersalam

(26)

Semester 1 Tahun Pelajaran 2012/2013”. Penelitian ini terdiri atas dua siklus dengan mengambil data melalui pengamatan dan tes. Pada siklus pertama rata-rata tes prestasi belajar matematika siswa adalah 67,73 meningkat menjadi 74,39 pada siklus kedua. Skor rata-rata aktivitas belajar siswa meningkat dari 2,46 pada siklus pertama menjadi 3,13 pada siklus kedua. Sedangkan skor rata-rata pengelolaan pembelajaran guru meningkat dari 2,64 pada siklus pertama menjadi 2,68 pada siklus kedua. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa metode discovery learning berbantuan lembar kegiatan siswa dapat meningkatkan prestasi belajar matematika kelas V SD Negeri 5 Dersalam. Kelebihan pada penelitian ini adalah hasil belajar siswa meningkat pada setiap siklus dengan mengadakan tes dan menggunakan lembar observasi guru dan siswa. Kekurangan penelitian ini adalah pada bagian refleksi di akhir pertemuan tidak ada pembahasan.

Tabel 2.3

Persamaan dan Perbedaan Penelitian No Nama Peneliti Tahun Variabel Penelitian

Alat Peraga Hasil Belajar Prestasi Belajar Discovery Learning 1. Aris Kukuh Prasetyo 2009 - - √ √

2. Yohanes Andri Kristiawan

2012 - √ - √

3. Moh. Kanzunnudin 2013 - - √ √

4. Atika 2015 √ √ - √

Berdasarkan tabel persamaan dan perbedaan penelitian di atas, dapat dilihat penelitian pada tahun 2009 membahas model discovery learning dan prestasi belajar. Penelitian tahun 2012 membahas model discovery learning dan hasil belajar saja. Pada tahun 2013 membahas metode discovery learning dan prestasi belajar. Dan pada tahun 2015 membahas model pembelajaran yang sama dari tahun-tahun sebelumnya yaitu membahas discovery learning, hasil belajar serta alat peraga konkret. Dapat dibedakan dari keempat penelitian diatas berbeda, tahun sebelumnya hanya membahas dua variabel, sedangkan penelitian yang keempat membahas tiga variabel tetapi pada penelitian tersebut dengan

(27)

berbantuan lembar kegiatan siswa, pada penelitian ketiga membahas tiga variabel dengan berbantuan alat peraga konkret untuk dapat meningkatkan hasil belajar serta langkah-langkah pada model pembelajaran tersebut.

2.3 Kerangka Pikir

Hasil belajar IPA kelas 5 SD N 3 Purwosari Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung tergolong rendah. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan guru kelas yang menyatakan bahwa beliau kesulitan dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa terutama pada mata pelajaran IPA. Siswa kelas 5 SD N 3 Purwosari Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung masih beranggapan bahwa pelajaran IPA itu sulit dan kurang menyenangkan. Hal ini bisa jadi dikarenakan guru kurang mengembangkan model dalam mengajar, sehingga masih terkesan teacher center atau pembelajaran masih berpusat pada guru. Model konvensional, dimana siswa hanya sebagai penerima informasi secara pasif dengan pembelajaran yang abstrak dan teoritis.

Perlu diketahui bahwa tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik hanya dengan mendengarkan. Hal ini akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. Interaksi antara guru dengan murid masih kurang, yang akan menyebabkan siswa kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajarinya di sekolah. Mendasarkan permasalahan yang ada, maka upaya perbaikan pembelajaran, yang semula pembelajaran konvensional, sekarang diupayakan dengan menggunakan model discovery learning. Penguasaan materi pelajaran IPA dapat diukur dengan membentuk siswa menjadi kelompok dan dihadapkan oleh sebuah pembelajaran, dimana siswa memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan dari guru melainkan sebagian atau seluruhnya ditemukan oleh siswa sendiri. KD yang digunakan adalah mendeskripsikan sifat-sifat cahaya dan membuat suatu karya/model, misalnya periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya.

Dengan demikian, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar IPA, mengikuti langkah-langkah berikut ini: (1) menjawab pertanyaan tentang sifat-sifat cahaya, (2) mengidentifikasi masalah tentang sifat-sifat cahaya, (3)

(28)

merumuskan jawaban sementara tentang sifat-sifat cahaya, (4) mempraktekkan percobaan tentang sifat-sifat cahaya dengan menggunakan senter, kaca, gelas, kertas, pensil, kaca spion, dan bolam (5) mendiskusikan hasil praktek tentang sifat-sifat cahaya, (6) memperagakan percobaan tentang sifat-sifat cahaya dengan menggunakan senter, kaca, gelas, kertas, pensil, kaca spion, dan bolam, (7) membuat kesimpulan tentang sifat-sifat cahaya.

Pengukuran terhadap hasil belajar IPA dilakukan dengan melakukan pengukuran melalui tes dan pengamatan. Pengukuran tes digunakan untuk mengukur kognitif siswa, dan pengamatan dengan menggunakan lembar observasi, digunakan untuk mengukur sikap siswa. Adapun kerangka berpikir secara rinci dibuatkan skema melalui gambar 2.1 sebagai berikut.

(29)

Gambar 2.1

Kerangka Pikir Model Discovery Learning Berbantuan Alat Peraga Konkret untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA

PEMBELAJARAN IPA Pembelajaran konvensional Hasil belajar < KKM. KD 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya

6.2 Membuat suatu karya/model, misalnya periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya.

Model discovery learning berbantuan

alat peraga konkret

1. Menjawab pertanyaan tentang sifat-sifat cahaya.

2. Mengidentifikasi masalah tentang sifat-sifat cahaya.

3. Merumuskan jawaban sementara tentang sifat-sifat cahaya

4. Mempraktekkan percobaan tentang sifat-sifat cahaya dengan menggunakan senter, kaca, gelas, kertas, pensil, kaca spion, bolam.

5. Mendiskusikan hasil praktek tentang sifat-sifat cahaya.

6. Memperagakan percobaan tentang sifat-sifat cahaya dengan menggunakan senter, kaca, gelas, kertas, pensil, kaca spion, bolam.

7. Membuat kesimpulan tentang sifat-sifat cahaya.

Tes Skor Tes Hasil Belajar IPA

>KKM Lembar Observasi Non Tes Lembar Observasi

(30)

2.4Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka pikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini adalah:

1. Peningkatan hasil belajar IPA diduga dapat diupayakan melalui model discovery learning berbantuan alat peraga konkret siswa kelas 5 SD Negeri 3 Purwosari Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung semester II tahun pelajaran 2014/2015.

2. Langkah-langkah model discovery learning berbantuan alat peraga konkret diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 SD Negeri 3 Purwosari Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung semester II tahun pelajaran 2014/2015.

Referensi

Dokumen terkait

• “Penguasa” dunia ini adalah iblis, yang secara spiritual telah kalah dari Yesus Kristus oleh karya penebusan-Nya. • Sifat dunia terbentuk dari ajaran dan tipu daya iblis

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Maharani (2015) yang menyatakan bahwa citra perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian

Tabel 8- Potensial Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien Ibu Hamil di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit X Surakarta Tahun 2008. No

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) pada penilaian program kegiatan dilakukan pengukuran kinerja yaitu pengukuran kinerja kegiatan dan

Pada percobaan multiplikasi digunakan eksplan berupa tunas in vitro pisang Rajabulu Juara dari laboratorium LIPI hasil inisiasi anakan (subkultur ke- 5 dari media MS0) dan tunas

Bagi institusi bisnis atau lembaga swasta kegiatan kampanye yang biasa dilakukan diantaranya : kampanye periklanan yang bertujuan membujuk khalayak membeli produk

Kepala Subbagian Tata Usaha UPTD Pemeliharaan Taman dan Penerangan Jalan Umum wilayah I Tambun Selatan (Tambun Selatan, Tambun Utara, Babelan, Tarumajaya, Sukakarya, Sukawangi,