• Tidak ada hasil yang ditemukan

MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer. Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang. Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer. Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang. Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer

Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang

© Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu.

(2)

BAB 3

MISI MEMPERSEMPIT ARTI

KERAJAAN ALLAH

Kerajaan Allah adalah salah satu tema utama dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sekalipun istilah itu tidak kita jumpai dalam Perjanjian Lama, namun konsep kerajaan Allah tampak jelas, berkenaan dengan penciptaan dan providensi serta perjanjian Allah. Tidak demikian dengan Perjanjian Baru, istilah Kerajaan Allah banyak sekali muncul secara eksplisit, khususnya berkenaan dengan pengajaran Tuhan Yesus. Jadi Kerajaan Allah merupakan tema yang sangat menonjol dalam Alkitab. Tema ini juga menjadi topik kajian yang hangat dikalangan para pemikir Kristen. Sekalipun demikian, hakikat dari pada Kerajaan Allah tidak selalu dipahami dalam cara yang sama. Misalnya saja, berbicara tentang Kerajaan Allah dan Misi Gereja masa kini, maka para teolog, khususnya misiolog telah mengadakan penelitian, mengenai misi dari sudut pandang Kerajaan Allah, bahwa masing-masing periode misi atau aliran misi yang telah muncul menyatakan suatu karakter yang bertentangan mengenai mengenai Kerajaan Allah. Pertentangan tersebut, kalau bukan dalam pemahaman doktrinal, berarti dalam pemahaman misiologis.1

Diskusi tentang arti Kerajaan Allah dalam kerangka pikir doktrinal, mendatangkan komentar dari para teolog. Harnack, mengerti Kerajaan Allah sebagai suatu kerajaan yang bersifat rohani, yang dialai melalui persekutuan pribadi dengan Allah. Kerajaan Allah adalah kehadiran suatu prinsip yang baru -

1

Peter Beyerhaus, "Mission, Humanization, and the Kingdom," Crucial Issues in Missions Tomorrow, Edited by Donald A. McGavran, (Chicago: Moody Press, 1972), 54-55; Richard R. De Ridder, Discipling the Nations, (Grand Rapids: Baker Bo House, 1971), 143.

(3)

pemerintahan Allah yang dalam hati manusia. C.H. Dodd menafsirkan Kerajaan Allah sebagai kenyataan yang absolut yang telah masuk ke dalam waktu dan tempat di dalam pribadi Yesus Kristus dari Nazaret. Kedatangan Kerajaan Allah adalah telah berlangsung sepenuhnya pada masa lalu. Inilah yang disebut ‘realized eschatology.’3 la menekankan bahwa Kerajaan Allah adalah berlangsung pada masa kini melalui kehadiran Kristus dalam dunia dan diteruskan dengan peran gereja di tengah-tengah dunia pada masa kini. Berseberangan dengan pandangan ini, Schweitzer berpendapat bahwa Yesus percaya mengenai Kerajaan Allah yang bersifat apokaliptik, yaitu Kerajaan Allah yang bukan dalam pengertian masa kini atau rohani melainkan Kerajaan Allah yang bersifat baik masa yang akan datang maupun supranatural. Posisi Schweitzer ini disebut ‘thoroughgoing’ or ‘consistent’ eschatology.4 Posisi ini mempengaruhi para teolog Konservatif, sehingga mereka menyimpulkan bahwa tugas utama gereja adalah memberitakan Injil Kerajaan Allah dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan yang berbau politik. Hal ini memimpin mereka untuk menegaskan ketidakpatutan para misionaris untuk terlibat dalam dunia sekuler, khususnya dalam dunia politik, sebab misionaris bukanlah seorang politisi yang berjuang untuk kepentingan partai, melainkan tugasnya ialah pemberitaan Injil.5 Pemberitaan Injil adalah tugas hakiki hamba Tuhan. Johanes Calvin bangga dengan tugas tersebut sehingga ia memperkenalkan dirinya kepada raja Prancis, bahwa "Aku, Yohanes Calvin, Pelayan Firman". Firman Allah merupakan fokus hidup dan pelayanannya. Sekalipun beliau turut mempengaruhi politik beberapa negara di Eropa, namun ia tidak menukar panggilannya sebagai pelayan Firman Allah dengan posisi dan tugas politis.

2

Robert H. Stein, The Method and Message of Jesus Teaching, (Philadelphia: The Westminster Press, 1978), 64; Linwood Urban, A Short History of Christian Thought, (New York: Oxford University Press, 1986), 215-216.

3

R.B. Gaffin Jr., "Kingdom of God," New Dictionary of Theology, edited by Sinclair B. Ferguson, (Leicester: Inter-Varsity Press, 1988), 369

4

R.M. Price, "Schweitzer, Albert", New Dictionary of Theology,..623.

5

Wilbert R. Shenk, "Politics and Mission," Mission Focus Current Issues, (Pennsylvania: Herald Press, 1980), 307

(4)

Di dalam gereja Katolik, Kerajaan Allah dipahami sebagai sebuah agama. Hal ini tampak melalui semua simbol keagamaan yang tampak dalam gereja seperti pakaian para imam, upacara-upacara ritual dan aturan-aturan seperti pada agama-agama lain manapun. Kerajaan Allah diidentikkan dengan Gereja. Kerajaan Allah adalah gereja dan gereja adalah kerajaan Allah.6 Sedangkan pandangan yang lain, memahami Kerajaan Allah secara esensial dalam suatu pola yang ideal bagi masyarakat. Kerajaan Allah secara hakiki tidak berkenaan dengan keselamatan pribadi atau dengan keselamatan pada masa yang akan datang, tetapi berkenaan dengan masalah-masalah sosial masa kini yang tengah dihadapi oleh manusia. Pemahaman yang demikian berurat akar dalam Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dengan mencetuskan Salvation Today dalam sidangnya di Bangkok tahun 1973. Pandangan inipun dijunjung tinggi oleh kaum Pluralis, seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Diskusi mengenai Kerajaan Allah dalam bidang misiologi pun telah menghasilkan banyak pendapat yang berlainan. De Ridder mengutip informasi yang dikemukakan oleh Freytag yang menyatakan bahwa kecenderungan para misiolog dan misionaris ialah mempersempit pengertian tentang Kerajaan Allah. Hal ini telah dibuktikan dalam sejarah gereja, sebagai berikut:

Kaum Pietis mempersempit arti Kerajaan. Allah dengan pengertian rohani dan etis semata. Misi dilihat sebagai misi penyelamatan jiwa-jiwa manusia yang sebelumnya terhilang dalam dosa, misi dilihat sebagai penyelamatan manusia dari dunia... Lebih jauh lagi, penyempitan secara eklesiologis mengenai konsep Kerajaan Allah terfokus pada sasaran misi, di mana misi dilihat sebagai usaha penanaman jemaat dengan menekankan kemandirian dalam hal dana, kepemimpinan dan

6

Sunand Sumithra, Holy Father: A Doxological Perspective on Systematic Theology, (Banglore: Theological Book Trust, 1998), 329

(5)

pelipatgandaan. Pemahaman yang demikian bertentangan dengan pemahaman etika sosial yang ideal sebagai perpaduan antara isu kemanusiaan dan pencerahan dengan mengusahakan dunia menjadi suatu tempat yang lebih baik untuk hidup. Kerajaan Allah dipersempit dengan konsep pengidentikan Kerajaan Allah dengan kedatangan kondisi dunia yang semakin hari semakin baik. ...Begitu juga, penyempitan Kerajaan Allah yang bersifat apokaliptik dibuktikan dengan usaha misi untuk mempercepat akhir kesudahan dunia, atau mempercepat kedatangan Tuhan kedua kah. Pokok pandangan yang demikian menyebabkan adanya sedikit kepekaan terhadap penyelesaian tugas dalam dunia ini.7

Penafsiran terkini tentang arti Kerajaan Allah muncul berkenaan dengan perjuangan para misiolog menghadapi kenyataan persoalan-persoalan sosial dalam konteks masyarakat majemuk dalam agama, budaya, etnis, dan sebagainya. Penafsiran mereka muncul bersama beberapa konsekwensi bagi prinsip-prinsip misi dalam misi Kristen. Berkenaan dengan hal ini, pada bagian berikut ini, penulis menyajikan dokumen Dewan Gereja-Gereja se-Dunia dan beberapa pendapat para misiolog dan teolog mengenai Kerajaan Allah, yang pada umumnya adalah penganjur dan pengembang Teologi Abu-Abu (Pluralisme) diataranya ialah: Sidang Raya keempat dari Dewan Gereja-Gereja sedunia di Uppsala tahun 1968 merumuskan tentang misi Kristen dalam dua dokumen yang diberi nama The Church for Others. Dua dokumen tersebut berisi suatu rumusan ulang mengenai misi yang menekankan dua konsep, yakni: Pertama ialah konsep "humanisasi." Tujuan misi adalah dimengerti sebagai humanisasi (perubahan paradigma dari misi dalam pengertian tradisional yang melihat misi sebagai penginjilan kepada misi kemanusiaan). Kedua ialah hubungan utama Allah adalah dengan dunia, dan bukan

7

(6)

dengan gereja. Pekerjaan Allah atau pemerintahan Allah adalah atas dunia ini, tanpa harus dijembatani oleh gereja. Komentar mereka menyatakan bahwa “tidak alkitabiah apabila mengklaim bahwa Allah hanya bekerja di dalam dan melalui gereja saja." John Hoekendijk memimpin pertemuan DGD, mengoreksi konsep tradisional mengenai Kerajaan Allah yang melihat gereja sebagai sentral dlalam seluruh karya Allah (pandangan tradisional atau urutan yang lama ialah Allah - Gereja - Dunia), dan mengusulkan konsep yang baru, yaitu urutan yang baru sebagai berikut: Allah - Dunia - Gereja. Dengan alasan bahwa misi bukanlah kepunyaan gereja, dan Allah selalu berinisiatif untuk mengubahnya dari dalam gereja ke luar gereja, yaitu langsung ke dalam dunia untuk gereja.8

Pertemuan Dewan Gereja-gereja Se-Dunia di Bangkok tahun 1973, telah menghasilkan suatu pengertian yang lebih luas tentang keselamatan, termasuk di dalamnya perjuangan bagi keadilan dan martabat manusia. Fokus misi gereja berubah ke arah kemanusian dan meninggalkan maksud misi penebusan. Geraja, bahkan bukan lagi sehagai alat misi Allah, melainkan sebagai obyek misi Allah melalui dunia. Dalam hal ini, baik peran gereja, maupun fokus misi gereja diubah atau diganti. Berkenaan dengan itu Gnanakan mengemukakan tiga implikasi khusus dari rumusan mengenai keselamatan dalam perspektif Dewan Gereja-gereja Se-dunia (DGD), bahwa:

Pertama, kita mencatat suatu peralihan dari konsep misi kepada suatu pengertian mengenai misi. Kedua, kita melihat suatu perubahan dari pemberitaan mengenai berita keselamatan kepada suatu pendekatan dialog. Ketiga, kita mencatat perubahan pengertian penginjilan dilihat sebagai usaha orang untuk menjadikan Kristen, kepada apa yang disebut dengan ‘humanisasi'.9

8

Norman E. Thomas, Transformasi Misi Kristen: Teks-Teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 175.

9

Ken Gnanakan, Kingdom Concerns: A Biblical Exploration Towards a Theology of Mission, (Bangalore: Theological Book Trust, 1997), 20.

(7)

Lebih jauh lagi, penafsiran kaum Pluralis mengenai arti Kerajaan Allah muncul berkenaan dengan pergumulan dari para misiolog dalam menghadapi fenomena persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat yang majemuk, khususnya orang-orang di Asia yang hidup dalam suatu keadaan kemajemukan iman. Karena itu, teolog-teolog Kristen atau para pemikir Kristen yang berteolog-teologi dalam konteks, mengevaluasi posisi mereka baik eksklusivisme, inklusivisme maupun pluralisme. Berbicara tentang Kerajaan Allah, pada umumnya kaum Pluralis membangun konsep tentang Kerajaan Allah didasarkan pada konsep "theosentris." Beberapa di antara mereka, seperti C.S. Song yang berargumentasi bahwa Kerajaan Allah adalah berpusat pada Allah Bapa bukan pada Allah Anak. Karena Yesus sendiri memberitakan tentang Kerajaan Allah. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa semua orang tidak percaya kepada Tuhan Yesus berada dalam pemerintahan dan keselamatan Allah.10 Taktik kaum pluralis ialah berupaya menolak sentralitas Tuhan Yesus dengan cara menolak peran gereja sebagai misi Allah dalam Tuhan Yesus Kristus.

Song memperkenalkan suatu pendekatan misi Kristen yang bersifat inklusif. Berkenaan dengan hal ini, ada seorang yang dianggap penganut eksklusivisme, namun sesungguhnya adalah inklusivisme bahkan pluralisme, yakni Lesslie Newbigin. Beliau menekankan bahwa Yesus memproklamasikan Kerajaan Allah dan mengutus murid-murid-Nya untuk melakukan hal yang sama… kemudian mengapa generasi pertama orang Kristen menggunakan bahasa yang lain dari pada bahwa Tuhan Yesus? la berbicara tentang Kerajaan Allah, sedangkan mereka (murid-murid) berbicara tentang Yesus. Ia menambahkan bahwa kita perlu untuk diperingatkan dalam hal ini. Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah, itu bukanlah program kita.11 Dalam hal ini, Song membedakan secara tajam antara kerajaan Tuhan Yesus dengan kerajaan Allah Bapa. Hal ini tentu bertentangan dengan Alkitab.

10

C.S. Song, Jesus & the Reign of God, (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 16, 31.

11

Lesslie Newbigin, The Open Secret, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1981), 44; Lesslie NewbBigin, Mission in Christ’s Way, (New York: Friendship Press, 1987), 16.

(8)

Lebih jauh lagi, penulis menampilkan Paul F. Knitter, seorang pluralis tulen. Beliau mendukung konsep teman-teman pluralisnya yang lain mengenai Kerajaan Allah, di mana beliau menegaskan bahwa Allah Bapa sebagai pusat dari segala sesuatu.12 Inilah yang disebut dengan model 'teosentris,' yang dilihat oleh kaum Pluralis bahwa tidak ada pilihan lain selain menempatkan Allah Bapa sebagai pusat segala sesuatu (semua orang, semua bangsa). Senada dengan itu, Pluralis terkemuka yakni John Hick juga menegaskan bahwa sasaran dari Yesus adalah ditujukan kepada Allah Bapa sebagai pusat segala sesuatu. Inilah yang disebutnya dengan teori Copernican revolution. Menurut Hick, orang Kristen harus mengakui fakta bahwa iman orang Kristen juga berputar bersama orang berkeyakinan lain pada rotasi yang sama, yaitu berputar mengelilingi pusat, yaitu Allah Bapa.13

Jadi, pada umumnya, kaum Pluralis memahami bahwa Kerajaan Allah bukanlah Kerajaan Yesus, juga bukanlah kerajaan gereja. Konsep pluralis tentang Kerajaan Allah ini sangat mempengaruhi konsep dan praktik misi mereka. Bukan berarti bahwa mereka sudah tidak mengakui adanya misi gereja, bukan sama sekali, melainkan mereka mengakui konsep yang lain, paradigma yang baru menurut mereka, Di antaranya, mereka tidak lagi mengakui pemahaman misi sebagai usaha memproklamasikan Injil Kerajaan Allah, sebaliknya mereka mengambil jalan dialog dengan serius.14 Bertalian dengan itu, maka tujuan misi, bukan dalam kerinduan untuk mempertobatkan orang-orang yang tidak beriman, melainkan mengupayakan pemanusiaan manusia dalam Kristus (humanisasi) dari dehumanisasi dalam segala bentuk dan latar belakang yang ada.

12

Paul F. Knitter, No Other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions, (Maryknoll: Orbis Book, 1985), 166.

13

John Hick, The Myth of God Incarnate, (London: SCM, 1977), 181.

14

Raimundo Panikkar, The Unknown Christ of Hinduism, Asia Trading Corporation (Banglore, 1982), 31; C.S. Song, Tell Us Our Name: A Story Theology From An Asian Perspective, (Maryknoll: Orbis Book, 1986). All pages.

(9)

Lebih jauh lagi, khususnya terkait dengan Amanat Agung pada umumnya diagung-agungkan oleh kaum Injili sebagai salah satu dasar yang esensial dari misi, namun mendapat kritikan yang serius dari para teolog yang umumnya bergabung di bawah payung oikumenikal. David Bosch sendiri mengangkat beberapa pertanyaan mengenai relasi kedaulatan Allah dengan penginjilan: "Apakah Yesus masih juga sebagai Tuhan yang tidak sungguh-sungguh universal? Apakah kedaulatan-Nya masih harus diteguhkan oleh pengakuan bangsa-bangsa bahwa dia adalah Tuhan dan Raja? Dan apakah pemerintahan-Nya akan menjadi kacau, apabila orang-orang tidak mengakui bahwa Dia adalah Tuhan dan Raja? Bagaimana Kerajaan Allah dihubungkan dengan pengalaman manusia, yaitu seperti orang-orang yang hidup dalam kerajaan dunia yang penuh dengan penderitaan, tekanan, kemiskinan, penyakit kematian?15

Perbedaan-perbedaan penafsiran tentang arti kerajaan Allah yang sudah dikemukakan di atas, dan perbedaan tersebut sangatlah mempengaruhi gereja dalam bermisi (doing mission). Bertalian dengan itu, para teolog bisa memandang kerajaan Allah dengan arti yang dipersempit, yakni hanya dalam batas lokasi, waktu dan pribadi tertentu. Sedangkan kaum Pluralis berusaha menebus penyempitan kerajaan Allah ini dengan jalan memperluasnya, sehingga melampaui batasan Alkitab.

Bagian ini, memang penulis sengaja memaparkan penyimpangan-penyimpangan misiologis yang berakar pada penyimpangan arti kerajaan Allah yang dipahami dengan cara mempersempit artinya dan peran gereja dalam wilayah dan kekuasaan kerajan Allah yang sesungguhnya. Untuk mengatasi dua sudut yang berseberangan di atas ini, maka penulis menyajikan penelitian lebih lanjut dengan bersumberkan pada data

15

David J. Bosch, Transforming Mission, Paradigm Shifts in Theology of Mission, (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 78.

(10)

baik Perjanjian Lama, maupun Perjanjian Baru, sebagai referensi sekaligus jawaban atas beberapa pertanyaan di sekitar implikasi konsep pluralis di atas. Selain itu, penyajian ini diharapkan akan menjadi kontribusi dalam mengoreksi beberapa sorotan penulis terhadap Teologi Abu-Abu yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, juga diharapkan akan membangkitkan semangat gereja sebagai agen misi Allah dalam pelaksanaan misi Allah di dunia, seperti yang penulis tuangkan dalam pembahasan berikut ini.

Ex Opere Operato – Soli Deo Gloria

Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari:

Referensi

Dokumen terkait