• Tidak ada hasil yang ditemukan

MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer. Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang. Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer. Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang. Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MISSIOLOGIA KONTEMPORER Menunju Rekonstruksi Teologia Kontemporer

Oleh: Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang

© Penerbit Departmen Literatur PPII, Batu.

(2)

BAB 2

MISI DAN PERAN GEREJA YANG BERUBAH

DAN BERGESER

Hanya perubahan yang tidak berubah. Semua sudah dan sedang dalam proses perubahan, termasuk misi Kristen terus berubah. Perubahan pengertian misi, mengubah peran gereja dalam misi. Apabila perubahan peran gereja ke arah peran yang ditentukan oleh Allah, maka perubahan adalah suatu keharusan, namun apabila perubahan peran gereja yang beranjak dari perubahan arti misi ke arah pergeseran atau penyimpangan, maka perubahan harus dalam arah pemulihan peran.

A. Latar Belakang

Ada dua kutub polarisasi yang terbentuk dalam pemikiran misiologis mengenai peran Gereja dalam misi. Kutub pertama menekankan peran Gereja dalam misi, sehingga seolah-olah misi adalah milik Gereja. Biasanya kutub ini dipegang oleh kristen fundamentalis. Sedangkan kutub kedua menekankan peran Allah dalam misi, bahwa misi adalah milik Allah, bukan milik gereja, sehingga gereja seolah-olah tidak harus lagi terlibat di dalamnya. Kutub kedua, pada intinya menolak peran gereja dalam gerakan misi bagi sesama yang beragama non-kristen. Biasanya pendapat seperti ini dianut oleh kristen liberal dan pluralis. Pada hal, selain gereja tidak bisa dipisahkan dengan misi kerajaan Allah, juga gereja adalah alat misi Allah, yang diutus ke dalam dunia untuk mewujudkan kerajaan Allah dalam dunia. Penolakan peran gereja sebagai agen tunggal misi Allah, bangkit setelah sebagian misiolog merasa bahwa gereja tidaklah mungkin mengerjakan misi Allah yang besar dan luas, dan juga tidaklah adil apabila hanya gereja

(3)

yang di sebagai alat misi Allah untuk dunia. Gnanakan mencermati bahwa pandangan anti peran gereja dalam misi, bangkit pada era misi modern ini, karena keyakinan akan aktivitas Allah yang besar dan luas tidak mungkin ditangani oleh gereja, kecuali hanya Allah sendiri, dan keyakinan atas aktivitas Allah secara langsung menjangkau dunia tanpa melalui peran gereja. Berkenaan dengan itu, maka Gnanakan mengomentari, bahwa:

Pertama-tama, sentralitas gereja dalam misi Allah telah diselewengkan, dan itu perlu untuk dikembalikan. Kedua, banyak kegiatan misi masa kini telah diarahkan semata-mata oleh pribadi atau lembaga misi dengan tidak menekankan atau mengarahkannya kepada gereja, dan ini membutuhkan koreksi. Ketiga dan yang lebih penting, gereja sebagai umat Allah telah tidak setia kepada misi kerajaan Allah, dan ini perlu untuk ditantang.1

Komentar Gnanakan di atas, menempatkan Gereja dalam hubungan yang vital dengan kerajaan Allah, karena itu memahami Kerajaan Allah merupakan prioritas yang sangat mendasar untuk memahami peran gereja yang telah keliru diformulasi. Para misiolog dan misionaris telah mempersempit arti dan jangkauan gereja hanya dalam batas-batas wilayah dan pribadi tertentu, dan tidak lagi menyangkut perkara rohani, melainkan perkara lahiriah yang harus diupayakan oleh Gereja. Ladd berkomentar, bahwa "Kerajaan Allah, pertama-tama adalah berkenaan dengan penebusan Allah yang diwujudkan dalam Kristus, dan kedua ialah berkenaan dengan dunia, yakni mengenai perluasan berkat-berkat pemerintahan Allah yang pasti dialami".2 Itu berarti, kerajaan Allah adalah dunia yang bersifat spiritual dan redemptif, dan itu telah dimulai oleh orang yang telah mengalami karya penebusan di dalam dan melalui Kristus. Merekalah yang disebut dengan sebutan

1Ken Gnanakan, Kingdom Concerns: A Biblical Exploration towards a Theology of Mission,

(Bangelore: Theological Book Trust, 1997), 177.

2

George Eldon Ladd, The Gospel of the Kingdom, (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1988), 117.

(4)

gereja. Gerejalah yang diamanatkan untuk memberitakannya. Tentu, tidaklah mungkin karya penebusan diamanatkan oleh Allah kepada orang yang belum mengalaminya untuk memberitakannya. Hanya Gereja yang diutus untuk tugas pemberitaan Kabar Baik, yaitu kabar penebusan manusia berdosa sekaligus kabar pemulihan perannya dalam dunia.

Kutub Pertama yang dipegang oleh kaum fundamentalis di atas tentu sudah banyak ditinggalkan oleh orang Kristen, karena selain tidak alkitabiah, iuga tidak sesuai dengan hakekat Gereja itu sendiri. Sedangkan kutub kedua, semakin kuat pengaruhnya, selain karena didukung oleh tuntutan toleransi, juga karena telah diteguhkan secara struktural dalam wadah gereja-gereja oikumenikal. Pandangan misi kaum oikumenikal, khususnya mengenai peran Gereja dalam dunia telah berubah. Ada dua konsep misi kaum oikumenikal yang berubah. Pertama, perubahan susunan rumusan orthodoxy dari susunan "Allah – Gereja - dunia" menjadi susunan "Allah - Dunia - Gereja". Dengan demikian mereka menolak Gereja sebagai agen misi Allah. Kedua, perbuahan konsep dialog lintas agama, yang semula dipandang sebagai alat pemberitaan Injil, berubah menjadi wadah persekutuan dan pencarian kebenaran untuk memperlengkapi kebenaran kristen. Perubahan konsep misi akan dibahas secara khusus dalam pembahasan berikut ini.

B. Misi Gereja Yang Berubah

Perubahan dua konsep misi di atas ini menjadi pokok pembahasan penulis berikut ini, hanya sistem pembahasan bersifat dialogis. Pertama, penulis menyajikan terlebih dahulu mengenai susunan "Allah-Dunia-Gereja", diikuti dengan menyajikan mengenai gereja sebagai agen tunggal misi Allah di dalam dunia, sebagai upaya rekonstruksi. Kedua, penulis membahas mengenai dialog sebagai misi dan misi sebagai dialog, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai dialog yang teologis, sebagai suatu usulan rekonstruksi.

(5)

1. Formula Misi Kontemporer: Allah - Dunia - Gereja

Rumusan orthodoxy / tradisional mengenai kedudukan gereja dalam misi Allah di dunia, ialah bahwa Allah mengutus Gereja sebagai alat-Nya ke dalam dunia untuk memberitakan Injil yang mentransformasi individu yang berdosa, sehingga berdamai dengan Allah dan menjadi alat Allah untuk mengusahakan perdamaian dengan sesama. Dari pengertian ini, maka Allah adalah Pengutus, gereja adalah yang diutus, dan dunia adalah ladang misi Allah, sehingga dikenallah formulasi sebagai berikut: Allah-Gereja-Dunia.

Formulasi "Allah-Gereja-Dunia" (teks), pada abad ke-20 dipertanyakan oleh beberapa ahli misi, karena dicermati tidak sesuai dengan "konteks" misi masa kini. Karl Hartenstein dalam tulisannya tahun 1934 menyatakan bahwa misi Allah adalah lebih luas dari aktivitas gereja-Nya. Pemikiran ini kemudian dipakai dalam kubu oikumenikal, tepatnya dalam konferensi Willingen tahun 1952 dengan menegaskan bahwa misi adalah misi Allah, bukan misi Gereja. George Vicedom mempopulerkan pemikiran ini pada konferensi di Mexico tahun 1963 dan pada tulisannya The Mission of God tahun 1965. 3 Akhirnya, Johannes Hoekendijk memimpin Sidang DGD ke-4 di Uppsala tahun 1968, yang mengoreksi konsep tradisional mengenai kerajaan Allah yang melihat gereja sebagai sentral dalam seluruh karya Allah (pandangan tradisional atau urutan yang lama ialah Allah – Gereja - Dunia), dan mengusulkan konsep yang baru, yaitu urutan yang baru sebagai berikut: Allah - Dunia - Gereja. Keputusan mereka ini dituangkan dalam dokumen The Church for Others, dengan menegaskan, bahwa:

3

A Scott Moreau, "Mission and Missions", Evangelical Dictionary of World Missions, edited by A. Scott Moreau. .. 637

(6)

Pada masa lalu, telah menjadi kebiasaan untuk mempertanyakan bahwa Allah dihubungan dengan dunia melalui Gereja. Ketika kita mempertajam pandangan ini ke dalam suatu formula yang berurut, maka akan menjadi: God-church-world. Hal ini telah dimengerti, bahwa Allah, pertama-tama berelasi dengan gereja dan kedua berelasi dengan dunia melalui perantaraan gereja. Lebih jauh lagi, pandangan ini telah dipegang kuat, bahwa Allah menghubungkan diri-Nya sendiri dengan dunia melalui gereja sehingga mengumpulkan sedapat mungkin setiap prang dari dunia ini ke dalam Gereja. Dengan kata lain, Allah bergerak melalui gereja kepada dunia. Kita percaya bahwa telah tiba saatnya untuk mempertanyakan urutan ini dan mencari suatu alternatif lain. Menurut alternatif ini, dua unsur yang terakhir dalam urutan God-church-world

harus diputar, sehingga terbaca God-world-church. Itulah hubungan Allah yang utama, yaitu kepada dunia, dengan dunia dan bukan dengan Gereja, yang adalah fokus rencana Allah.4

Adapun alasan perubahan formulasi ini adalah, karena bagi mereka bahwa dunia adalah sebagai arena aktivitas misi Allah. Misi selalu berlangsung dalam dunia. Tujuan misi Allah adalah mendirikan shalom dan bahwa Allah bekerja mencapai tujuan-Nya dengan menggunakan laki-laki dan perempuan baik di dalam Gereja maupun di luar Gereja untuk membawa tanda-tanda shalom, sebagai tanda-tanda kehadiran dan aktivitas Allah dalam dunia. Komentar mereka mengenai Gereja ialah: “Gereja hanya dapat

4

In the past it has been customary to maintain that God is related to the world through the church. When we sharpen this view into a formula the sequence would be: God–

church–world.. This has been understood to mean that God is primarily related to the church and only secondarily to the world by means of the church. Further, it has been held that God related himself to the world through the church in order to gather everyone possible from the world into the church. God, in other words, moves through the church to the world. We believe that the time has come to question this sequence and to emphasize an alternative. According to this alternative the last two items in God-Church-world should be reversed, so that it reads God-world-church instead. That is God’s primary relationship is to the world and it is the world and not the church that is the focus of God's plan. Ken Gnanakan, Kingdom Concerns: A Biblical Exploration towards a Theology of Mission, (Bangalore: Theological Book Trust, 1997), 30.

(7)

menjadi Gereja yang benar, ketika ia mengetahui bahwa ia adalah satu bagian dari dunia yang Allah kasihi dan yang kepadanya la menyatakan kasih-Nya".5 Dalam hal ini, gereja disejajarkan dengan dunia, sehingga baik gereja maupun dunia merupakan ladang misi Allah.

Dari apa yang penulis kemukakan di atas, maka misi telah dirumuskan semakin dekat dengan konteks, namun semakin jauh dari teks. Penekanan pada "konteks" semakin radikal, karena itu misi menjadi semakin sempit dan pincang. Misi Allah tidak lagi melalui Gereja, melainkan misi Allah langsung berurusan dengan dunia, karena dunia merupakan fokus utama aktivitas penyelamatan Allah. Misi bukanlah kepunyaan gereja, dan Allah selalu berinisiatif untuk mengubahnya dari dalam gereja ke luar gereja, yaitu langsung ke dalam dunia untuk gereja.6

Aktivitas keselamatan Allah yang dimaksudkan dalam perubahan formulasi "Allah-Dunia-Gereja" adalah aktivitas keselamatan berdimensi sosial, yaitu keselamatan manusia dari semua penderitaan yang disebabkan oleh karena kemiskinan, diskriminasi dan bentuk penindasan lainnya. Misi yang berdimensi sosial ini, semakin kuat disuarakan pada pertemuan Dewan Gereja-gereja Se-Dunia di Bangkok tahun 1973. Dengan tema "Keselamatan Masa Kini", DGD telah menghasilkan suatu pengertian yang lebih luas tentang keselamatan, termasuk di dalamnya perjuangan bagi keadilan dan martabat manusia. Pengertian mengenai keselamatan yang lebih luas menurut mereka, ternyata sudah menjadi proyek studi sejak Uppsala tahun 1968, sampai tahun 1973 dan temuan-temuan dari proyek studi ini disajikan dalam Konferensi di Bangkok. Norman E. Thomas mencatat bahwa keselamatan masa kini dipahami dalam empat dimensi (dalam perjuangan-perjuangan demi keadilan ekonomi, martabat manusia, solidaritas, dan pengharapan) dan sebagai

5

'The Church can only be the true Church when it knows that it is a part of the world which God loves and to which He reveals his love". Roger E..Hedlund, Roots of the Great Debate in Mission…112.

6

Norman E. Thomas, Transformasi Misi Kristen: Teks-teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 175.

(8)

sebuah proses baik dalam komunitas maupun kehidupan pribadi.7 Berkenaan dengan itu, Gnanakan mengemukakan tiga implikasi khusus dari rumusan mengenai keselamatan dalam perspektif DGD, bahwa:

Pertama, kita mencatat suatu peralihan dari konsep misi kepada suatu pengertian mengenai misi. Kedua, kita melihat suatu perubahan dari pemberitaan mengenai berita keselamatan kepada suatu pendekatan dialog. Ketiga, kita mencatat perubahan pengertian penginjilan dilihat sebagai usaha orang untuk menjadikan pemeluk agama Kristen, kepada apa yang disebut dengan 'humanisasi'.8

Rumusan kaum oikumenikal di atas terdapat kontradiksi di dalamnya, bahwa satu sisi, gereja didesak untuk terlibat dalam misi, namun dipihak lain, mereka menegaskan bahwa misi bukanlah milik gereja. Misi telah berpindah (menurut penulis "telah bergesar jauh") dari Gereja menjadi misi di luar gereja, artinya Gereja bukan lagi sebagai pelaku misi, melainkan dunia itu sendiri menjadi pelaku misi Allah. Rumusan ini berarti tentu bertentangan dengan semua teks Alkitab yang mengetengahkan pengutusan gereja oleh Allah Tritunggal ke dalam dunia, bahkan bertentangan dengan tema-tema, seperti pemilihan dan perjanjian dalam Perjanjian Lama. Ken Gnanakan juga mengemukakan komentar yang sama, bahwa:

Urutan Allah – Dunia - Gereja, kedengarannya lebih menarik, tetapi suatu pencarian yang lebih dekat pada pengertian misi yang alkitabiah, seperti topik pemilihan dan perjanjian-Nya akan mengungkapkan pertentangan. Tidak hanya urutan ini melanggar atau memperkosa konsep alkitabiah mengenai

7

Norman E. Thomas, Transformasi Misi Kristen... 175

8

Ken Gnanakan, Kingdom Concerns: A Biblical Exploration towards a Theology of Mission, (Bangalore: Theological Book Trust, 1997), 20.

(9)

misi, itu bahkan akan menyangkal keharusan gereja dari rencana Allah.9

Tidak ada dasar yang kuat untuk mempertahankan rumusan “Allah- Dunia-Gereja", selain bertentangan dengan pengutusan Allah Tritunggal atas Gereja, juga bertentangan dengan hakekat Gereja sebagai agen tunggal misi Allah dalam dunia. Lebih jelas mengenai pokok ini, penulis membahasnya pada bagian berikut ini.

2. Formula Misi Orthodoks: Allah - Gereja – Dunia

Semua manusia adalah diciptakan menurut gambar Allah. Karena itu, semua manusia diberikan mandat kebudayaan, yaitu mandat untuk menguasai semua ciptaan Allah yang lain, selain sesama manusia (Kej.1:28). Karena itu, semua manusia adalah agen Allah untuk misi pemeliharaan semua ciptaan. Namun, tidak semua manusia yang menjadi agen Allah untuk misi penebusan. Hal ini bergantung pada jawaban atas pertanyaan mengenai siapa yang mengutus dan diutus. Berkenaan dengan itu, Voetius memberikan jawaban bahwa Pengutus adalah Allah dan gereja adalah alat yang diutus oleh Allah.10 Dalam arah yang sama, Arie de Kuiper menegaskan bahwa:

Haruslah kita tekankan bahwa amanat pekabaran Injil Yesus Kristus itu, mula-mula sekali diberikan kepada para rasul, yaitu kesebelas orang murid-Nya (Mat. 28:16). Mereka dipanggil untuk

9

The God-world-church sequence may sound attractive, but a closer look at the biblical understanding of mission, his election and covenant, will reveal the contrary. Not only does this sequence violate the biblical concept of mission: it even removes the necessity of the church from the plan of God. Ibid., 31.

10

J. H. Bavinck, An Introduction to the Science of Missions, (Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Co. 1960), 7

(10)

matheteuin (=membuat menjadi murid). Para murid Tuhan diutus untuk menjadi murid baru bagi sekolah Yesus dan mengajak mereka menjadi pengikut-Nya. Seruan untuk menuruti Yesus berarti (a) seruan untuk bertobat... (b) seruan kepada baptisan... (c) Seruan kepada gereja: barang siapa yang dibaptis, adalah termasuk tubuh Kristus. Dengan semuanya ini tidak dimaksudkan bahwa kita atau gereja kita ditiru: itulah propaganda atau proselytisme.11

Dengan demikian, gereja adalah agen tunggal misi pertobatan atau penebusan Allah dalam dunia. Ada dua alasan bahwa gereja adalah agen misi penebusan Allah. Pertama, karena gereja adalah umat pilihan yang diciptakan secara baru di dalam Tuhan Yesus, diselamatkan dan dipanggil untuk memberitakan keselamatan yang dialami di dalam Tuhan Yesus. Kedua, karena gereja adalah Israel baru yang dipanggil dari antara segala bangsa untuk menjadi umat yang kudus, yakni menjadi alat dalam tangan Tuhan di antara bangsa-bangsa (Roma 11:28).12 Gereja diutus oleh Tuhan Yesus (Yoh. 20:21, band. 17:18), berdasarkan pola pengutusan-Nya sendiri: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu." Ketaatan gereja dalam pelaksanaan misi ini adalah bergantung pada ketaatan gereja kepada Pengutus, yaitu Yesus Kristus (Missio Christi).

Kristus mengutus atau menugaskan gereja-Nya di dalam dunia, sama dengan maksud kedatangan-Nya dalam dunia. Edmund P. Clowney mengemukakan hal yang sama, bahwa: "Mission expresses the purpose for which Christ came into the world, and the purpose for which he sends us into the world. His purpose is the purpose of the Father.13 Maksud misi Yesus dan Bapa dalam dunia ialah supaya manusia kembali bersekutu dengan Dia, dengan jalan menjadi murid. Karena itu, tugas gereja ialah menjadikan bangsa-bangsa sebagai murid Kristus. Tugas ini adalah

11

Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 76

12

Ibid., 80.

13

(11)

unsur yang ketiga dari "Three-Self Formula" dari Henry Venn dan Rufus Anderson, khususnya berkenaan dengan self-propagation, sebagai tugas gereja yang esensial. Berkenaan dengan itu, Van Engen menyatakan bahwa: "The Church is the instrument by which men are reconciled to God". 14 Memang banyak kritik terhadap self formula" ini, namun J.H. Bavinck, berdasarkan "three-self formula" tersebut mengemukakan dalam bab sepuluh mengenai peran gereja induk, di antaranya ialah penginjilan sebagai tugas esensial gereja.15 Dalam hal ini, misi penebusan adalah misi gereja. Tugas ini merupakan tugas utama gereja, karena tugas ini tidak bisa dikerjakan oleh yang bukan gereja. Tugas ini hanya diamanatkan oleh Kristus kepada gereja, bukan kepada dunia. Van Engen mengemukakan beberapa tokoh Reformed seperti Voetius, John Eliot, Richard Baxter dan Jonathan Edward, yang sangat menekankan mengenai tugas misi sebagai tugas yang diamanatkan hanya kepada gereja. 16 Lebih lanjut, setelah Van Engen memaparkan mengenai pemikiran para teolog Reformed (Puritan) dari Richard Sibbes sampai Jonathan Edwards, ia mencermati bahwa: "Gereja menggambarkan semakin hari semakin memusatkan perhatian dalam misi. Pada saat yang sama, misi gereja dimengerti sebagai persekutuan dari orang-orang yang dahulu adalah sebagai anggota komunitas penyembah berhala dan kemudian dimasukan oleh Allah Tritunggal ke dalam komunitas yang baru, yaitu komunitas yang percaya kepada Kristus, selanjutnya berperan secara bertahap, dan semakin maju perannya sesuai dengan arti dari gereja itu sendiri.”17 Misi bukanlah tugas lembaga apa pun, melainkan tugas gereja. Begitu juga, misi bukan tugas pribadi siapa pun, selain orang percaya. Karena misi adalah hakekat gereja. Peran gereja dalam misi sesuai dengan hakekatnya.

14

Charles Van Engen, The Growth of the True Church, (Amsterdam: Rodopi, 1981), 272.

15

J.H. Bavinck, An Introduction to the Science of Missions.. 191-217.

16 John Eliot sebagai misionaris Reformed bagi orang Indian, dalam hubungannya dengan Richard

Baxter, menyatakan bahwa: "the local church is the heart of Christ’s Church on earth." Begitu juga dengan Richard menegaskan bahwa: "conversion of man is... at the heart of the Gospel message, (a message) committed ...primarily to the church. Charles Van Engen, The Growth of the True Church, (Amsterdam: Rodopi, 1981), 257 - 264.

17

(12)

Berkenaan dengan peran gereja dalam pelaksanaan amanat misi Allah, David Ellis berpendapat bahwa: "Gereja senantiasa melihat misinya terdiri dari tiga unsur utama. Pertama, Proklamasi. Gereja terpanggil memproklamasikan Kristus kepada dunia. Kedua, Kesaksian. Gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus di dunia dengan kesalehan dan keesaannya. Ketiga, Pelayanan. Gereja terpanggil melayani dan menjalankan aksi sosial dengan kasih Kristus kepada dunia.18 Ketiga unsur ini merupakan hakekat misi gereja. Jadi, misi Allah bukanlah diamanatkan dan dikerjakan oleh yang bukan gereja, melainkan tugas eksklusif gereja. Berkenaan dengan hubungan gereja dengan dunia, maka misi bukan sekedar persekutuan di antara mereka yang tidak seiman, tapi misi adalah proklamasi mengenai penebusan di dalam Kristus, kesaksian dan pelayanan kepada mereka yang belum percaya kepada Kristus.

Jadi, gereja yang menerima amanat misi penebusan dari Allah, menjalankan misi tersebut dengan cara pemberitaan Injil, kabar penebusan kepada semua orang. W.E. Best menulis bahwa: "Misi gereja adalah misi yang rangkap: Injil diberitakan (oleh gereja) kepada semua bangsa, dan yang bertobat diajar (oleh gereja) untuk meneliti segala sesuatu bagi kemajuan mereka. 19 Tugas pemberitaan Injil dan pengajaran kepada orang yang menjadi percaya kepada Injil, adalah didasarkan pada pengutusan gereja oleh Kristus (Mat. 28:18-20). Karena itu, otoritas dan efektivitas pemberitaan serta pengajaran Injil adalah terletak pada otoritas Pengutus, yaitu Kristus. Hendrikus Berkhof dalam dalam tulisan Van Engen menjelaskan mengenai hakekat gereja sebagai gereja rasuli yang ke dalam dunia.20 Gereja, boleh dikatakan “yang diutus” karena hakekat gereja adalah utusan Allah dalam dunia. Begitu juga dengan G.C. Berkouwer dalam studi dogmatiknya tentang hakekat gereja, yang menjelaskan empat aspek dari gereja, yaitu kesatuan (unity), universal (catholocity), apostolic (apostolicity) dan kekudusan (holiness). Salah satu aspek dari hakekat gereja ialah

18

David, Ellis, Gumulan Misi Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), 14.

19

W.E. Best, The Church: Her Authority & Mission…110.

20

(13)

apostolik, bahwa gereja adalah utusan Kristus di dalam dunia.21 Dengan demikian, sebagai utusan, gereja tidak bisa berperan lain, selain berperan sebagai instrument utusan Kristus, yang berperan menyaksikan Kristus, Kabar Baik kepada semua orang.22 Gereja adalah agen tunggal misi kerajaan Allah, yaitu misi di dalam dan melalui Kristus kepada dunia. Misi dalam konteks kerajaan Allah ini, juga bersifat ecclesiastical, yaitu misi Allah yang bergerak dari gereja kepada dunia, namun bukan dalam pengertian ecclesias-centric.

Pandangan di atas ini bertentangan dengan rumusan DGD yang menyatakan bahwa Allah bekerja langsung kepada dunia: God-World-Church.23 Tetapi, Verkuyl menegaskan bahwa Missio Dei tidak bisa dipisahkan dengan Missio Ecclesiae, bahwa Allah Bapa mengutus Anak, dan Allah Bapa bersama-sama dengan Anak mengutus Roh Kudus, serta Ketiga-Nya mengutus gereja, jemaat Tuhan, para rasul ke dalam dunia ini. Allah meletakkan mandat kepada gereja, sebagai utusan-Nya.24 Misi Allah melalui gereja sebagai agen tunggal-Nya di dalam dunia. Itu bukan berarti gereja tidak menjadi obyek misi Allah. Gereja tetap menjadi obyek misi Allah. Gereja terus-menerus membutuhkan transformasi Allah. Karena itu, misi Gereja haruslah tetap berpegang pada motto:

Ecclesias reformanda samper reformata. Motto ini menjadi dorongan yang kuat bagi gereja dalam segala upaya misi yang diperhadapkan kepadanya dan melepaskan akan gereja dari kekakuan dan stagnansi misi, bahkan dari kejatuhannya dalam hal mengabaikan misi. Motto ini juga membangkitkan semangat Gereja untuk mengaktualisasikan misinya di dalam dunia secara menyeluruh termasuk peran gereja dalam konteks kemajemukan agama. Motto ini akan menstimulasi gereja untuk tidak puas dengan satu atau lebih metode misi yang efektif, melainkan

21

G.C. Berkouwer, Studies In Dogmatics the Church, (Grand Rapids: William B. Eermans Publishing Company, 1979), 201-230.

22

J.H. Bavinck, An Introduction to the Science of Missions… 69.

23 Norman E. Thomas, Teks-teks klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia, (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2000), 175.

24

J. Verkuyl, Contemporary Missiology, an introduction, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1978), 3.

(14)

membangkitkan kreativitas untuk mencari metode yang kontekstual tanpa mengingkari teks.

Berkenaan dengan konsep misi dalam konteks kemajemukan agama, pemahaman gereja juga terus mengalami perubahan. Perubahan konsep misi dalam konteks kemajemukan agama ini didominasi oleh pada umumnya theolog dan misiolog dalam kubu oikumenikal, seperti yang penulis kemukakan dalam pembahasan berikut ini.

C. Misi dan Dialog yang Berubah

Sekarang, penulis mengajak pembaca untuk menyoroti konsep kedua yang berubah dalam pandangan kaum oikumenikal, yaitu mengenai dialog. Bagi mereka dialog adalah misi dan misi adalah dialog. Setelah pembahasan ini, penulis kemudian menyajikan mengenai dialog yang teologis sebagai suatu upaya menuju rekonstruksi.

1. Penginjilan menjadi Dialog dan Dialog menjadi Misi

Mulanya, World Missionary Conference (WMC) memegang proklamasi Injil sebagai unsur yang penting dalam misi. Berkenaan dengan sikap terhadap orang beragama lain, maka dialog menjadi sarana yang tepat bagi proklamasi Injil. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dalam WMC terjadi perubahan paradigma baru tentang misi, dari misi sebagai penginjilan kepada misi sebagai kemanusiaan telah berlangsung melalui beberapa kali sidang raya DGD. Demikian juga dengan sikap terhadap orang beragama bukan Kristen, paradigma misi telah berubah atau lebih tepatnya telah bergeser dari proklamasi kepada dialog, yaitu misi membangun persekutuan bersama untuk kebenaran bersama.

(15)

Perubahan konsep dari proklamasi kepada dialog, melewati perjalanan sejarah yang panjang. Tahun 1910 diadakan World Missionary Conference (WMC) di Edinburgh, masih memandang proklamasi Injil sebagai fokus tugas Gereja. 25 Tahun 1928, pertemuan WMC mengadakan pertemuan di Yerusalem, pokok bahasan ialah mengenai berita yang dikemukakan dalam rangka kerja sama dengan orang bukan Kristen, dengan memandang Yesus Kristus sebagai penggenapan semua kebaikan yang ada dalam agama-agama lain. Perhatian masih berkenaan dengan proklamasi Injil, ditambah dengan misi yang dibarengi dengan peduli kasih.26 Dan pada konferensi WMC di Madras dengan tema

The Unfinished Evangelistic Task tahun 1938 mulai memikirkan ulang misi Gereja (rethinking missions), dan mulai mempertanyakan ultimacy of the Gospel. Namun pemikiran Henrik Kreamer mempengaruhi konferensi tersebut, sehingga pertemuan itu belum menghasilkan pergeseran konsep misi. Sejak tahun 1950 sampai 1961, topik mengenai hubungan kekristenan dengan orang beragama lain menjadi topik bahasan yang hangat, seperti pertemuan di Evanston tahun 1954, di Ghana tahun 1958, dan pertemuan WCC di New Delhi tahun 1961. Pertemuan demi pertemuan tersebut masih memandang dialog sebagai wadah bersaksi/proklamasi Injil yang efektif. 27 Begitu juga dengan konferensi pekabaran Injil sedunia di Mexico tahun 1963, dialog masih dilihat sebagai alat pekabaran Injil.

Sejak tahun 1967 pada konferensi di Kandy (Srilangka), dialog telah mulai berubah, WCC merumuskan bahwa dialog tidak identik dengan pekabaran Injil, tetapi dalam setiap dialog dapat disediakan saat-saat untuk pekabaran Injil.28 Dalam arah itu, dialog semakin

25

Rodger C. Bassham, Mission Theology: 1948-1975 Years of Worldwide Creative Tension Ecumenical, Evangelical, and Roman Catholic, (Pasadena: William Carry Library, 1979), 84.

26

Ibid.

27 Roger E. Hedlund¸ Roots of the Great Debate in Mission, (Madras: Evangelical Literature Serice,

1981), 201-208.

28 Mr. D. C. Mudler, “Pengalaman-pengalaman mengenai dialog agama dari dewan gereja-gereja

sedunia”, dalam jurnal Teologi Gema Duta Wacana, Pluralitas Agama, Yogyakarta: 1994, H. 73. Band. Olaf Schumann, Dialog antar… 1982, h. 60. Band. Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 181.

(16)

mendapat tempat dalam WCC, sehingga berdirilah departemen khusus untuk dialog antar imam. Laporan hasil Sidang Raya ke-5 Dewan Gereja Sedunia (WCC) di Nairobi 1975 oleh seksi III menyatakan:

Pertama, amanat agung, itu dicatat, "tidak boleh ditinggalkan atau dikianati, tidak ditaati, atau dikompromikan". Kedua, menolak sinkritisme yang dipahami sebagai usaha untuk menciptakan suatu agama yang dipahami sebagai usaha untuk menciptakan suatu agama yang baru yang terdiri dari unsur-unsur yang diambil dari agama-agama yang berbeda. Ketiga, dialog didefinisikan sebagai suatu cara untuk mendengar dan mengerti iman orang lain dan juga sebagai cara untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus.29

Menindaklanjuti rumusan di atas, maka Song mendefinisikan mengenai misi Kristen: "Misi berarti orang-orang Kristen mencari persekutuan dengan orang-orang lain didalam Allah. Misi berarti orang-orang Kristen membangun persekutuan dengan orang-orang lain dalam kasih Allah.”30 Jadi misi Kristen ialah mencari dan membangun persekutuan dengan orang-orang bukan kristen melalui memahami, melihat Allah di dalam mereka kemudian mengidentifikasikan semua itu dengan pemahaman orang Kristen. Maka misi bukan lagi soal proklamasi melainkan persekutuan dengan orang tidak seiman, karena semua adalah ciptaan dan

29

First, the Great Commission, it was stated, "should not be abondoned or betrayed, disobeyed or compromised.” Second, syncretism, understood as the attempt “to create a new religion composed of elements taken from different religions,” was rejected. Thrid, dialogue was defined as “a metter of hearing and understanding the faith of others, and also of witnessing to the gospel of Jesus Christ, Rodger C. Bassham, Mission Theology… 89.

30

C.S. Song, Sebutkan Nama-nama kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), h. 30. Band. Olaf, Schumann, Dialog antar umat beragama - Dimanakah Kita berada Kini? (Jakarta: LPS – DGI, 1980), 15. Victor I. Tanya, Tiada Hidup Tanpa Agama – Bunga rampai peranan agama dalam berbagai dinamika kehidupan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 47 - 48.

(17)

keluarga Allah. Dan dalam perkembangan selanjutnya konferensi di Bangalore tahun 1978, rumusan tentang tujuan dialog sama sekali tidak menyinggung pekabaran Injil. Dengan pendekatan kristosentris dan theosentris, maka kaum pluralis mengembangkan metode dialog, namun pengertian mereka mengenai kristosentris dam theosentris telah bergeser dari arti sebelumnya, telah bergeser dari arti alkitabiah. Mereka memahami kristosentris dan theosentris dalam pemikiran universalistik dan pluralistik, bukan dalam pengertian alkitabiah.

Sesuai laporan Komisi Iman dan Tata Gereja dari DGD di Banglore tahun 1978, Song menyetujui bahwa dialog ialah: “Perjumpaan yang sejati dengan orang dengan kepercayaan dan ideologi berbeda serta menemukan bahwa ada jalan lain mengenal kebenaran dari pada yang telah kita pelajari".31 Istilah perjumpaan yang sejati identik dengan istilah persekutuan dari rumusan Song tentang misi. Pengertian ini searah dengan tema konsultasi teologi di Chian Mai tahun 1977 dan rumusan Kandy mengenai dialog dalam persekutuan. 32 Song membersikan dialog dari motif penginjilan bahwa bila dialog dipergunakan sebagai senjata rahasia untuk membuat orang-orang lain untuk masuk agama tertentu, maka jiwa dialog itu sendiri telah diperkosa. Baginya pekabaran Injil lebih bersifat monologis dari pada dialogis. Jadi tujuan dialog bukan pekabaran Injil.33 Lebih jauh lagi, Song mengkritik rumuan komisi misi dan penginjilan di Bangkok tahun 1973, yang yang menurutnya

31

Ibid., 154. Band. Raimundo Panikkar, Dialog… 92.

32

“Dialog” tidak dapat lebih tepat diartikan daripada istilah “persekutuan” lebih baik ia dilukiskan, dialam dan perkembangkan sebagai cara hidup… Kita berbicara, mengobrol, memberi dan meminta keterangan, diskusi, semua ini belum dialog. Olaf Schumann, Dialog antar umat…1980, h. 66. Band. Reuel L. Howe, The Miracle of Dialogue, (New York: The Seabury press, 1963), 56-66. Dialog berarti suatu usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam mengenai kebenaran melalui saling pengertian akan keyakinan, Olaf, Schumann, Dialog antar Umat Bergama… 1982, 57.

33

(18)

masih sepihak dan tertutup. 34 Karena baginya, "pertanggungjawaban tentang pengharapan, menginjili dunia bukan usaha swasta gereja tapi misi Allah didalam dunia melalui Kristus, bukanlah misi rahasia, melainkan misi terbuka".35 Karena itu ia mengusulkan orientasi ulang gerakan oikumenis, dengan misi yang menyerukan agar gereja bersekutu ...bukan hanya diantara orang-orang Kristen tapi di antara semua orang-orang tanpa melihat latar belakang, ... tidak lagi bersifat holistik provisial (kedaerahan), melainkan holistik komprehensif.36 Semuanya ini sesuai dengan tujuan dialog, yaitu untuk memperoleh pemahaman yang lebih penuh atau dalam tentang iman kita sendiri dan pengertian yang lebih dalam tentang orang lain (agama lain). Dengan kata lain, Alkitab belumlah sempurna kebenarannya, terkecuali dilengkapi dengan kebenaran agama lain. Bukan hanya sebatas itu, Darmaputera telah mengidentikan bahkan merubah penginjilan menjadi dialog. Karena tugas misi Kristen baginya bukan monologis (penginjilan), melainkan dialogis (mutual sharing).37

Selain teolog dan misiolog C.S Song, masih ada dua teolog Asia sangat menjunjung tinggi dialog, yaitu Stanley Samartha, Raimundo Panikkar. Mereka menempuh pendekatan ini karena diwarnai oleh latar-belakang pribadi yang hidup sebagai kelompok minoritas. Mereka mendefinisikan pendekatan mereka yang dialogis ialah “membiarkan pembahasan teologia kita dipengaruhi teologi agama lain, sehingga kita terpaksa menjadi makin jujur dan lebih memperdalam kehidupan rohani kita.38 Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah: “Perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada

34

Inilah Misi kita: Memanggil orang-orang kepada penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus menolong mereka bertumbuh didalam iman dan pengetahuan tentang Kristus, yang kepada-Nya Allah mengungkapkan dan memulihkan kepada kita kemanusiaan yang benar... Mengundang mereka agar selalu dibaharui menurut citra ini dalam suatu persekutuan eskatologi yang bertekad bulat demi perjuangan menusia bagi pembebasan, kesatuan, keadilan, perdamaian dan hidup yang berkelimpahan. Ibid., 117.

35 Ibid., 121. 36

Ibid., 124.

37

Eka Darmaputera, " Inter-Relation Among Religious Groups in Indonesia ..., 34

38

(19)

jalan lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang kita telah pelajari" .39 Olaf Schumann mengatakan bahwa kalau berbicara, mengobrol, memberi dan meminta keterangan, diskusi, semuanya ini belum dialog.40 Dialog ialah usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam mengenai kebenaran melalui saling pengertian akan keyakinan antar agama. Bagi mereka dialog bukanlah alat untuk pemberitaan Injil. Karena itu Song mengusulkan adanya pertobatan dialogis, yaitu: "berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra dialog".41 Samartha berpendapat bahwa: "Seorang Kristen harus mendekati dialog atas Teosentris dan bukan dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan kebenaran satu-satunya". 42 Ia mempermasalahkan sikap terbukanya orang kristen yang bersifat netral. Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen untuk berani berdialog. Karena itu, ia mengartikan, bahwa dialog ialah: "Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita, bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tentangga". 43 Tidak jauh berbeda dengan yang lain, Panikkar membuat tesis mengenai dialog, bahwa:

melalui dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran-Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap

39

Dialog tidak dapat lebih tepat diartikan dari pada istilah “persekutuan” lebih baik dilukiskan, dialami dan diperkembangkan sebagai cara hidup. Olaf Schumann, Dialog Antar Umat…15. Reuel L. Howe, The Miracle of Dialogue, (New York: The Seabury Press, 1963), 56-66.

40

Dialog tidak dapat lebih tepat diartikan daripada istilah “persekutuan” lebih baik dilukiskan, dialami dan diperkembangkan sebagai cara hidup. Olaf Schumann, Dialog Antar Umat… h 15. Reuel L. Howe, The Miracle of Dialogue, (New York: The Seabury Press, 1963), 56-66.

41

C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami,..., 186. Band. "Dialog harus bergerak dari dasar sikap religius saya ke dasar sikap religius yang sama dalamnya dari partner saya. Raymundo Panikkar, Dialog Intra Religius, ..., 92.

42

Harold Coward, Pluralisme... h. 76. Samartha warns against a "Christomonism” that has infected Christian doctrine and so absolutizes Jesus that it turns him into “a kind of cult figure over against other religius figures."... Samartha advocates a theocentric approoach, Paul F. Knitter, No Other Name?, ..., 158

43 Ibid.

(20)

pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran ilahi.44

Pada dasarnya Panikkar menolak beberapa pandangan yang mengemukakan penggunaan istilah Allah sebagai istilah yang netral dari agama-agama, karena menurut dia, realitas ilahi mempunyai banyak nama dan masing-masing nama merupakan aspek baru.45

Metode yang dialogis adalah metode yang menghancurkan tiang utama doktrin dan iman Kristen karena menyangkal kemutlakkan, keunikan, dan finalitas Yesus Kristus serta membuka pintu lebar-lebar terhadap sinkritisme agama dan kebudayaan (mencampur adukkan segala macam ajaran agama yang diyakini memiliki kebenaran tertentu yang saling melengkapi). Selain itu metode misi yang dialogisnya kaum pluralis adalah mematikan api misi, karena menolak hakekat misi Kristen, yaitu proklamasi Injil dan tujuan misi Kristen, yakni penebusan manusia berdosa yang berdampak pada kemanusiaan. Mereka mencondongkan misi pada Konsep misi pembebasan manusia dari penindasan apapun. Konsep ini dijiwai oleh teologi kontemporer, seperti Teologi Pembebasan, Teologi Hitam, Teologi Perempuan, Teologi Asia. Lebih jauh lagi, pluralisme menghancurkan semua agama di dunia. Karena, cita-cita kaum pluralisme dengan metode dialogisnya ialah masing-masing agama menyangkal keabsolutan atau kefinalitasannya dan menjadi suatu agama baru. Dari evaluasi kritis diatas, maka jelas konsep dan metode dialog kaum pluralis adalah sangat berbahaya bagi misi Kristen. Bukan hanya melemahkan, melainkan juga melumpuhkan misi Kristen. Maka sekali lagi dalam hal ini, kekristenan bukan lagi Kristen, karena dasarnya telah dihancurkan oleh kaum pluralis yang sebenarnya bukan orang Kristen, apalagi teolog Kristen.

44

Ibid., 79.

45

(21)

2. Dialog yang Teologis

Victor Tanja menulis: "Dialog antara Kristen dan Islam akan menjadi suatu unsur yang esensial dalam membangun masyarakat Indonesia yang harmonis".46 Dialog seperti ini, tentu hanya mungkin terwujud apabila pokok dialognya adalah berkenaan dengan isu-isu kemanusiaan, bukan isu teologis. Tidak mungkin terjadi dialog yang sehat, apabila membahas pandangan teologi masing-masing agama, dan memperbincangkan sambil mencari kemungkinan adanya kesamaan perspektif. Hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali masing-masing agama rela meninggalkan atau mengkompromikan kebenaran masing-masing yang diklaim sebagai kebenaran mutlak.

Dialog berarti komunikasi dua arah. Secara teologis dialog dapat dipahami berdasarkan Missio Dei, Allah mengutus Yesus Kristus untuk berkomunikasi dengan manusia (dialog). Allah menjadi manusia (inkarnasi), mengungkapkan bahwa Allah berkomunikasi dengan manusia. Meskipun demikian, dialog bukanlah tujuan akhirnya, melainkan rekonsiliasi diri-Nya dengan manusia. Mulanya, Allah berdiolag melalui hamba-hamba-Nya, dan puncak dialog tersebut adalah di dalam dan melalui Kristus. Komunikasi yang Allah bangun ini adalah komunikasi dalam pengertian rekonsiliasi. Dalam terang ini, orang Kristen dipanggil untuk berinisiatif dalam mewujudkan rekonsiliasi konflik agama, bahkan rekonsiliasi persoalan apapun dalam kehidupan bersama dalam suatu komunitas. Allah mengutus dan menempatkan setiap orang Kristen untuk menjadi agen rekonsiliasi Allah dalam dalam dunia.

Toleransi dapat terwujud melalui kesediaan berdialog, yaitu dialog kehidupan. Memang ada bahaya dalam berdialog, yaitu bahaya sinkritisme. Apabila dialog itu dipahami seperti Verkuyl memahami bahwa: "Pertama, ada dialog dengan tujuan untuk

46

Thus Christian-Muslim dialogue will become an essential element in the building of a harmonious Indonesian society. Viktor Tanja, “Muslim-Christian Dialague: From Law and Politics to Man and Theology,” Current Dialogue, (WCC, 1985), 33.

(22)

menciptakan saling pengertian yang lebih baik. Kedua, beberapa dialog dengan tujuan menghasilkan kerjasama dalam hal menangani masalah-masalah paling mendesak yang dihadapi oleh masyarakat secara regional dan universal. Ketiga, dialog yang lain, berusaha keras menjadikannya sebagai alat komunikasi misi",47 maka dialog masih dipandang positif sesuai iman Kristen. Tugas dialog juga menjadi tugas gereja (orang percaya). Tugas ini merupakan amanat dari Allah yang telah, sedang dan akan berdialog dengan manusia melalui Alkitab sebagai Firman Allah oleh alat-Nya, yaitu gereja. 48 Gereja memberitakan Firman keselamatan kepada dunia. Inilah dialog gereja dengan dunia. Selain itu, gereja juga harus berdialog melalui kehidupan, yaitu berupa kesaksian hidup dan pelayanan sosial. Namun dialog melalui kesaksian hidup dan pelayanan sosial, bukanlah dalam rangka penginjilan. Sebab Alkitab "diam" berkenaan dengan hal ini.

Hakekat Injil tidak boleh ditukar dengan kuasa kesaksian dan pelayanan sosial. Lagi pula, Injil tidak membutuhkan bantuan dari padanya untuk membuat orang percaya. Karena proklamasi lnjil bukan hanya bersifat verbalisasi, melainkan juga realisasinya dalam hidup dan tindakan. Kesaksian dan layanan inipun dalam rangka pekabaran lnjil. Ini pula yang dimaksudkan oleh Verkuyl dalam tulisan De Jonge bahwa dialog dilakukan dalam rangka pekabaran injil. Orang-orang dari masing-masing agama akan memberi kesaksian tentang keyakinan mereka dan bersama-sama mencari kebenaran yang dinyatakan Allah pada manusia. Dialog kesaksian dan pelayanan, yaitu dialog guna mencapai kerja sama untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang dialami bersama.49 Dialog tentu harus diteruskan dengan proklamasi Injil

47

"First, there is dialogue with the goal to bring about better mutual understanding. Second, some dialogue aims at producing cooperation in dealing with the most urgent problems facing society regionally and universally. Third, other dialogue strives to aid missionary communication." J.Verkuyl, Contemporary Missiology an Introduction, (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1978), 363.

48

Ibid., 99. Bandingkan dengan Artthur F. Glasser, “Evangelicals Interreligius Dialogue”, In Contemporary Theologies of Mission,…209

49

(23)

lagi. Seperti pendapat Kuiper: "Dan panggilan gereja ialah untuk membagi-bagikan persekutuan kepada orang lain ...sambil berpartisipasi sendiri di dalam dunia termasuk segala kesusahannya. Barulah dalam partisipasi yang sejati, jemaat dapat mengkomunikasikan berita tentang Yesus Kristus. Tujuan terakhir bukan gereja, bukan juga keselamatan jiwa, melainkan kedatangan kerajaan Allah, di mana pemerintahan-Nya akan tampak jelas bagi semua mata. ...Dan kerajaan Allah yang telah datang dan akan datang harus diproklamasikan (dimaklumkan), didemonstrasikan (ditunjukkan), disaksikan, dan dinantikan”.50

Konsep theo-centric adalah sangat relevan dalam dialog antar umat beragama di Indonesia. Yang dimaksudkan oleh penulis dengan konsep theo-centric, bukanlah konsep theocentrism kaum Pluralis yang tidak mengakui finalitas Kristus, melainkan konsep

theo-centric dalam perspektif misi Trinitarian.51 Kerajaan Allah Bapa adalah identik dengan kerajaan Allah Anak. Konsep ini memberikan pengharapan kepada gereja dalam membangun misinya di antara orang beragama lain yang sangat tertutup. Konsep ini memberikan pengharapan kepada gereja dalam membangun misinya di antara orang beragama lain yang sangat tertutup. Kuiper berpendapat bahwa: "Teramat penting kalau kehidupan dan kesaksian Kristen bercorak theosentris, kristosentis dan pneumatosentris. Serempak kita percaya bahwa Roh Kudus sanggup menggerakkan hati manusia, juga hati orang Islam, ke arah Yesus. Jalannya:

50

Arie de Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 98-99.

51

Wacana Theosentrisme kaum Pluralis menempatkan Allah sebagai pusat semua kebenaran, semua agama. Yesus Kristus dipandang sebagai salah satu yang berpusat kepada Allah. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Paul F. Knitter (1985:166). Begitu juga dengan teori Kopernikus dari John Hick, yang mempersalahkan pegangan gereja selama ini mengenai Kristosentris, yang diusulkannya untuk diganti dengan theosentris (1977:181). Dan yang ketiga ini ialah kritikan C.S. Song, yang mempersalahkan orang Kristen yang mempertuhankan Yesus. Baginya, pusat segala sesuatu adalah Allah, bukan Kristus. Orang Kristen yang menjadikan Kristus sebagai pusat dan Tuhan adalah penyembah berhala (1993:16,31). Mereka justru memahami bahwa konsep theosentrisme ini adalah sangat relevan dan kuat untuk terciptanya dialog dengan orang beragama lain. Karena tidak ada klaim absolute kebenaran masing-masing agama yang menjadi penghambat dialog. Semua agama mengakui adanya satu Allah yang dilihat dalam banyak perspektif. Dengan cara demikian maka barulah tercipta dialog lintas agama.

(24)

cintakasih dan kesabaran".52 Konsep theo-centric kaum Reformed merupakan jembatan yang efektif untuk mengkomunikasikan kehidupan dan Injil kepada orang-orang beragama lain dan suku-suku terabaikan di Indonesia. Seperti pendekatan theo-centric

Paulus (Kisah 17:22-31) di Areopagus yang dikemukakan oleh Kuiper:

Kesalehan, sangat beribadah (ay 22); secara tidak sadar mereka menyembah Allah (ay 23); Allah Pencipta dan Pemilik semesta alam tidak memerlukan apa-apa (ay 25); Orang-orang kafir (bangsa-bangsa lain) mencari dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Allah (ay 27); Para allah mereka adalah emas, perak atau batu: buatan manusia (ay 29); ketidaksadaran adalah kesalahan; umat manusia harus bertobat sebelum hukuman dijalankan oleh Kristus yang bangkit (ay 31, band. ay 18).53

Dengan pendekatan Trinitarian, Verkuyl membangun teologi agama-agama dengan menyatakan fakta Bapa Pencipta seluruh dunia dan mengasihi semua manusia ciptaan menurut gambar-Nya. Suatu teologi agama yang berpusat pada Kristus, yang menjadi pusat sejarah keselamatan, dan teologi misi kepada agama-agama yang bergantung pada pekerjaan Roh Kudus.54 Maka dengan demikian, dialog dengan orang beragama lain, beranjak dari kebenaran Allah dalam konteks penyataan umum, dan memimpin kepada kebenaran dalam konteks penyataan khusus, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Hendrik Kraemer mengemukakan dua dasar pendekatan yang sangat efektif kepada semua agama bukan Kristen, yaitu bahwa: "the non-Christian religions are all-Christian inclusive systems and theories of life. The value of the

52

Arie de Kuiper, Missiologia…, 86.

53

Ibid., 88.

54

(25)

Christian religions. General revelation and natural theology.”55 Dengan dua dasar ini, beliau menggunakan konsep theo-centris

untuk membangun pendekatan kepada orang Islam, karena baginya dalam agama Islam juga ada konsep theo-centric, sekalipun berbeda dengan konsep theo-centric Kristen.56 Akhirnya, penulis perlu mengemukakan dua pendekatan yang tepat diusulkan oleh Kraemer dalam upaya membangun komunikasi Injil kepada orang beragama Islam, yaitu:

Demonstrasi praktis yang mendalam dan transformasi semangat kesatuan dalam tubuh misionaris dan dalam gereja-gereja yang bertengkar adalah salah satu dari kebutuhan yang paling utama dan sebagai pendekatan yang paling efektif kepada orang Islam.

Suatu usaha yang rajin dalam hal membangun hubungan yang bersifat pribadi pada taraf agama dan moral manusia, dengan keterbukaan dan kerendahan hati orang Kristen, melayani kebutuhan-kebutuhan sekuler, merupakan jalan yang masih terbuka, namun pendekatan ini akan menuntut kecerdikan yang besar.

Produksi literatur Kristen, majalah-majalah atau yang lain, dengan sasaran pada penguraian apa yang murni, bersih dari agama, yang mengandung esensi agama dan karakter etika Kristen, dalam negara yang mengalami kebingungan pemikiran dan perasaan agamawi, tidak hanya sebagai suatu pelayanan misi, melainkan kemanusiaan juga.57

Pendekatan-pendekatan ini, bukanlah tujuan akhir, melainkan sebagai cara untuk mewujudkan misi Kerajaan Allah yang holistik.

55Hendrik Kraemer, The Christian Message in A Non-Christian World, (New York: International

Missionary Council, 1947), 101-103.

56

Ibid., 218-220.

57

(26)

Point of contacts yang dibangun melalui teologi natural dan melalui pendekatan kemanusiaan, adalah cara sekaligus bagian dari misi, yang diawali dengan misi proklamasi Injil, yang menjadi dasar misi kemanusiaan.

D. Kesimpulan

Misi Allah tidak berubah, namun misi gereja terus berubah, baik pemahaman maupun prakteknya. Perubahan pemahaman gereja terus berlangsung oleh karena gereja terus bergumul dengan upaya mempertimbangkan dan atau mempertemukan antara tiga wilayah studi, yaitu wilayah teks, konteks dan komunitas. Penekanan pada salah satu wilayah studi menghasilkan konsep misi yang sempit dan tidak seimbang. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah, dengan munculnya dua kutub polarisasi yang sangat berseberangan konsep misinya, yaitu kubu oikumenikal dan kubu injili. Keduanya sangat berseberangan pada waktu memandang wilayah studi teks, konteks dan komunitas, karena itu perdebatan dalam forum formal maupun non-formal antara kedua kubu sangatlah sengit. Namun, bagaimana pun perdebatan misi antara kedua kubu ini, merupakan proses bagi masing-masing kubu untuk menguji dan mematangkan pemahaman dan praktek misi. Masing-masing kubu, khususnya kubu injili semakin memiliki pemahaman dan praktek misi yang integratif dan holistik.

Studi misi integratif antara wilayah studi teks, konteks dan komunitas, bukanlah dalam pengertian bahwa ketiganya adalah simultan dan setara, melainkan perpaduan yang pantas, yaitu pemahaman misi yang berdasarkan dan bersumberkan pada Alkitab (teks) sebagai buku misi, dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi gereja, khususnya tradisi injili yang berakar pada tradisi orthodoxy dan reformasi (komunitas), yang kemudian disajikan / diimplementasikan kepada dan di dalam dunia dengan

(27)

semua tantangan dan kebutuhannya (konteks). Prinsip di atas ini, masih sangat kuat mempengaruhi pemahaman dan praktek misi kaum Injili, yang mengakui bahwa gereja sebagai agen tunggal misi Allah dalam dunia (Allah-Gereja-Dunia), dan menekankan dialog kehidupan tanpa harus menyangkal finalitas Kristus. Rekonstruksi sangat dibutuhkan berkenaan dengan penolakan dua unsur yang penulis kemukakan pada bagian akhir pembahasan di atas.

Ex Opere Operato - Soli Deo Gloria

Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari:

Referensi

Dokumen terkait