• Tidak ada hasil yang ditemukan

HALAMAN JUDUL ANALISIS LOCAL BUCKLING PIPA BAWAH LAUT 20 INCH PADA SAAT INSTALASI DENGAN METODE S-LAY DI BLOK DA DAN BH, SELAT MADURA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HALAMAN JUDUL ANALISIS LOCAL BUCKLING PIPA BAWAH LAUT 20 INCH PADA SAAT INSTALASI DENGAN METODE S-LAY DI BLOK DA DAN BH, SELAT MADURA"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN JUDUL

TUGAS AKHIR

MO141326

ANALISIS

LOCAL BUCKLING

PIPA BAWAH LAUT 20 INCH PADA

SAAT INSTALASI DENGAN METODE S-LAY DI BLOK DA DAN

BH, SELAT MADURA

FEBRIANTI

NRP. 4313100083

Dosen pembimbing :

Ir. Imam Rochani, M.Sc.

Ir. J. J. Soedjono, M.Sc.

DEPARTEMEN TEKNIK KELAUTAN

Fakultas Teknologi Kelautan

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

(2)

HALAMAN JUDUL

FINAL PROJECT

MO141326

LOCAL BUCKLING ANALYSIS DURING INSTALLATION OF 20

INCH PIPELINE USING S-LAY METHOD IN MDA/MBH, MADURA

STRAIT

FEBRIANTI

NRP. 4313100083

Supervisors :

Ir. Imam Rochani, M.Sc.

Ir. J. J. Soedjono, M.Sc.

OCEAN ENGINEERING DEPARTMENT

Faculty of Marine Technolofy

Sepuluh Nopember Institute of Technology

Surabaya

(3)
(4)

iv

ANALISIS

LOCAL BUCKLING

PIPA BAWAH LAUT 20 INCH PADA

SAAT INSTALASI DENGAN METODE S-LAY DI BLOK DA DAN BH,

SELAT MADURA

Nama

: Febrianti

NRP

: 4313100083

Departemen

: Teknik Kelautan FTK ITS

Dosen Pembimbing : Ir. Imam Rochani, M.Sc.

Ir. J. J. Soedjono, M.Sc.

Abstrak

Pipa bawah laut telah terbukti efisien dan efektif karena pelaksaan tranportasinya

tidak tergantung oleh cuaca, namun proses instalasi pipa bawah laut sangat

bergantung pada kondisi lingkungan seperti gelombang dan arus yang mengenai

pipa secara langsung yang berpengaruh dengan gerakan

barge

. Sebelum

dilakukan proses instalasi, dilakukan analisis besar tegangan terlebih dahulu agar

diketahui pipa berada dalam kondisi yang diijinkan. Pada penelitian ini, metode

instalasi yang sesuai adalah metode S-Lay, dimana pipa akan dianalisis ketika

proses instalasi akibat beban dinamis. Beban dinamis berpengaruh pada kejadian

buckling

yang mengakibatkan kegagalan ketika proses instalasi. Permodelan

barge

dilakukan dengan bantuan

software

MOSES dan analisis dinamis instalasi

pipa dilakukan dengan bantuan

software

OFFPIPE. Jika telah didapatkan

tegangan yang terjadi pada pipa, analisis dilanjutkan dengan perhitungan

local

buckling

berdasarkan DNV OS F-101 (2013) untuk mengetahui apakah terjadi

local buckling

. Dari hasil analisis yang dilakukan, pipa mengalami tegangan

maksimum sebesar 81.66% SMYS pada kedalaman 109 m dengan gelombang

datang arah 0

o

, sehingga keseluruhan tegangan yang terjadi pada pipa tidak

melebihi tegangan izin dan dapat disimpulkan bahwa semakin besar kedalaman

air laut maka semakin besar tegangan yang diterima oleh pipa. Nilai

unity check

terbesar untuk

local buckling

bernilai 0.738 pada kedalaman 109 m, maka tidak

terjadi

local buckling

di sepanjang 27 km

pipeline

.

(5)

v

LOCAL BUCKLING ANALYSIS DURING INSTALLATION OF 20 INCH

PIPELINE USING S-LAY METHOD IN MDA/MBH, MADURA STRAIT

Name

: Febrianti

NRP

: 4313100083

Department

: Ocean Engineering, FTK ITS

Supervisors

: Ir. Imam Rochani, M.Sc.

Ir. J. J. Soedjono, M.Sc

Abstract

Subsea pipelines have proven to be efficient and effective since their transport

operations are not depend on weather, however the installation processes are very

dependent on environmental conditions such as waves and currents that affect

pipelines directly which will also affect the barge motion. Prior to the installation

process, stress analysis will be the first to analyzed to know whether the stress that

occurs on pipeline is save or not. In this study, with 109 m water depth, the most

appropriate installation method is using S-Lay and the pipeline will be analyzed

due to dynamic load. The dynamic load will determine that pipeline will occur

any buckling that resulting to failure. Barge model will be modeled with MOSES

while for the dynamic analysis will be modeled with OFFPIPE. When the stress

number that occurs on pipeline is available, the analysis will be continue to local

buckling analysis using DNV OS-F101 (2013) to know the occurance of local

buckling along the 27 km pipeline. From this study, the maximum stress is

81.66% SMYS or 365.84 MPa in 109 m water depth with 0

o

wave direction, so

the stress along 27 km pipeline is bellow the allowable values based on DNV

OS-F101 (2013) which 87% SMYS or 389.74 MPa. The highest unity check value for

local buckling analysis is 0.738 in 109 m water depth. In conclusion the deeper

the water the greater stress will occur on the pipeline and there is no occurance of

local buckling along the 27 km pipeline.

Keywords :

Installation

,

Pipeline

,

Stress

,

Strain

,

Overbend

,

Sagbend

, dan

Local

Buckling

.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wt. Wb.

Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puji bagi Allah SWT, TUHAN semesta

alam, karea berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir ini dengan sebaik-

baiknya. Tugas akhir ini berjudul “

Analisis

Local

Buckling

Pipa Bawah Laut 20 inch pada saat Instalasi dengan Metode S-Lay

di Blok DA dan BH, Selat Madura

Tugas akhir ini disusun dalam memenuhi salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan program pendidikan Strata 1 (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan,

Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Semoga

tugas akhir ini dapat menambah wawasan dan referensi untuk pembaca.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Laporan Tugas Akhir

ini. Oleh karena itu, kritik dan saran untuk meningkatkan kemampuan menyusun

laporan ke depannya sangatlah dibutuhkan. Penulis juga berharap semoga Tugas

Akhir ini bermanfaat untuk teknologi rekayasa di bidang kelautan.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Surabaya, Juli

2017

Febrianti

(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih

kepada semua pihak telah membantu dalam pengerjaan tugas akhir ini,

diantaranya kepada :

1.

Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya sehingga

penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini;

2.

Orangtua penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan;

3.

Bapak Ir. Imam Rochani, M.Sc. dan Bapak Ir. J. J. Soedjono, M.Sc. selaku

dosen pembimbing yang selalu memberikan saran serta masukan selama

pengerjaan tugas akhir ini;

4.

Seluruh staff pengajar Jurusan Teknik Kelautan FTK-ITS yang telah

memberikan saran dan masukan dalam rangka menyempurnakan tugas akhir

ini;

5.

Direksi karyawan Husky-CNOOC Madura Limited (HCML) khususnya

Bapak Liu Liwei dan Bapak Xu Kaifeng yang secara antusias memberikan

kesempatan untuk penulis bekerja praktek di HCML sehingga menemukan

topik untuk digunakan dalam tugas akhir ini;

6.

Bapak Agus Wardiman dan Bapak Jona Johari yang telah memberikan

bimbingan dan pembelajaran kepada penulis selama kerja praktek yang

memberikan kemudahan saat melakukan pengerjaan tugas akhir ini;

7.

Teman-

teman angkatan 2013 “VALTAMERI” Teknik Kelautan ITS yang

telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengerjaan tugas akhir ini

sehingga bisa selesai tepat waktu;

8.

Hafifa Rostyani, Atika Sekar, Juniavi Dini, Fauzanullah Rafif, dan Asfarur

Ridlwan yang memberikan saran dan masukan selama pengerjaan tugas akhir

ini;

9.

Seluruh angkatan yang ada di Jurusan Teknik Kelautan (2016, 2015, 2014,

2012, 2011, 2010, 2009, 2008) yang telah memberikan bantuan selama

penerjaan tugas akhir ini;

10.

Seluruh karyawan Tata Usaha Jurusan Teknik Kelautan ITS atas bantuan

administrasi yang diberikan kepada penulis;

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1

Latar Belakang Masalah ... 1

1.2

Rumusan Masalah ... 3

1.3

Tujuan ... 3

1.4

Manfaat ... 3

1.5

Batasan Masalah ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.2 Dasar Teori ... 6

2.2.1 Instalasi Pipa ... 6

2.2.2 Metode Instalasi Pipa... 7

2.2.3 Teori Dasar Gerakan Bangunan Apung... 11

2.2.4

Response Amplitude Operator

(RAO) ... 12

2.2.5 Respons Bangunan Apung pada Gelombang Acak (Spektra

Response) ... 14

2.2.6 Spektrum Gelombang ... 15

2.2.7 Tegangan Normal ... 17

2.2.8 Tegangan Tekuk ... 18

2.2.9 Tegangan Geser ... 19

2.2.10

Hoop Stress

... 20

(9)

ix

2.2.11 Tegangan Longitudinal (

Longitudinal Stress

) ... 20

2.2.12 Tegangan Ekuivalen (

Von Misses Stress

) ... 21

2.2.13 Analisa Dinamis ... 21

2.2.14

Allowable Stress and Strain Criteria ...

22

2.2.15

Buckling ...

23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 29

3.1 Skema Diagram Alir ... 29

3.2 Prosedur Penelitian ... 31

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Pengumpulan Data ... 33

4.1.1 Data Properti Pipa ... 34

4.1.2 Data

Concrete

Coating

dan

Corrosion Coating

... 34

4.1.3 Data Barge ... 34

4.1.4 Data Stinger ... 35

4.1.5 Data Lingkungan ... 35

4.2 Permodelan

Barge

... 36

4.3 Validasi

Barge

... 37

4.4 Analisis Karakteristik Gerak

Barge

pada Gelombang Acak ... 38

4.5 Perhitungan Koefisien dan Eksponen Spektrum JONSWAP ... 44

4.6 Permodelan Instalasi Pipa Bawah Laut ... 46

4.7 Analisis Tegangan Dinamis Pipa ... 47

4.8 Analisis

Local Buckling

Selama Proses Instalasi ... 53

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor Fabrikasi Maksimum (DNV OS-F101 Sec. 5) ... 24

Tabel 2.2

Material Resistance Factor

(DNV OS-F101 Sec. 5) ... 25

Tabel 2.3

Safety Class Resistance Factor

(DNV OS-F101 Sec. 5) ... 26

Tabel 2.4

Load Effect Factor Combinations

(DNV OS-F101 Sec. 5) ... 27

Tabel 2.5

Conditions Load Effect Factor

(DNV OS-F101 Sec. 5) ... 27

Tabel 4.1

Pipeline Properties

(HCML, 2016) ... 34

Tabel 4.2

Corrosion Coating Data

(HCML, 2016) ... 34

Tabel 4.3

Pipeline Concrete Coating Data

(HCML, 2016)... 34

Tabel 4.4 DLB01

Barge Data

(HCML, 2016) ... 34

Tabel 4.5

Configurations of Rollers on the Barge

(HCML, 2016) ... 35

Tabel 4.6

Configurations of Rollers on the Stinger

(HCML, 2016) ... 35

Tabel 4.7

Wave Data

(HCML, 2016)... 35

Tabel 4.8

Current Data

(HCML, 2016) ... 35

Tabel 4.9 Validasi Model

Pipelay Barge

... 37

Tabel 4.10 Nilai dan Sebagai Input JONSWAP dalam

Software

OFFPIPE ... 45

Tabel 4.11 Tanda Kasus ... 46

Tabel 4.12 Hasil Tegangan pada Kedalaman 109 m ... 48

Tabel 4.13 Hasil Tegangan pada Kedalaman 101 m ... 49

Tabel 4.14 Hasil Tegangan pada Kedalaman 91 m... 51

Tabel 4.15 Hasil Tegangan pada Kedalaman 80 m... 52

Tabel 4.16 Nilai Maksimum

Axial Tension

dan

Bending Moment

... 52

Tabel 4.17 Hasil Perhitungan

Local Buckling

Selama Proses Instalasi Pipa Bawah

Laut ... 57

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Metode S-Lay (Yong Bai, 2014) ... 7

Gambar 2.2 Radius Curvature Stinger (Rosyidi, 2015) ... 8

Gambar 2.3 Metode J-Lay (Yong Bay, 2014)... 9

Gambar 2.4 Metode Reel Laying (Yong Bai, 2014) ... 10

Gambar 2.5 Enam Derajat Kebebasan Gerakan Struktur Terapung (Hasanudin,

2015) ... 11

Gambar 2.6 Bentuk Umum Grafik Respons Gerakan Bangunan Apung

(Djatmiko, 2012) ... 13

Gambar 2.7 Transformasi Spektra Gelombang menjadi Spektra Respons

(Djatmiko, 2012) ... 15

Gambar 2.8 Pembebanan Aksial pada Batang Tubular (Gere dan Timoshenko,

2009) ... 17

Gambar 2.9 Ilustrasi Tegangan Tekuk Maksimal dan Tegangan Tekuk Minimal .. 19

Gambar 2.10 Ilustrasi Tekanan Internal (P

i

) dan Tekanan Eksternal (P

e

) pada Pipa

Bawah Laut (Pratama, 2007)... 20

Gambar 2.11 Ilustrasi

Longitudinal Stress

pada Pipa (Pratama, 2007) ... 19

Gambar 2.12 Penampang Pipa yang Terdeformasi akibat Beban (Yong Bai,

2014) ... 23

Gambar 3.1 Alur Pengerjaan Secara Umum ... 29

Gambar 3.1 Alur Pengerjaan Secara Umum (lanjutan) ... 30

Gambar 4.1 Lapangan Gas MDA dan MBH (HCML, 2016) ... 33

Gambar 4.2 Model Barge Tampak Isometri ... 36

Gambar 4.3 Model Barge Tampak Samping ... 36

Gambar 4.4 Model Barge Tampak Atas ... 37

Gambar 4.5 Grafik RAO Translasi 0° ... 39

Gambar 4.6 Grafik RAO Rotasi 0° ... 39

Gambar 4.7 Grafik RAO Translasi 45° ... 40

Gambar 4.8 Grafik RAO Rotasi 45° ... 40

Gambar 4.9 Grafik RAO Translasi 90° ... 41

(12)

xii

Gambar 4.11 Grafik RAO Translasi 135° ... 42

Gambar 4.12 Grafik RAO Rotasi 135° ... 42

Gambar 4.13 Grafik RAO Translasi 180° ... 43

Gambar 4.14 Grafik RAO Rotasi 180° ... 43

Gambar 4.15 Grafik Total Tegangan Pipa pada Kedalaman 109 m ... 47

Gambar 4.16 Grafik Total Tegangan Pipa pada Kedalaman 101 m ... 48

Gambar 4.17 Grafik Total Tegangan Pipa pada Kedalaman 91 m ... 50

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

MOSES

(

DISPLACEMENT

)

LAMPIRAN B

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

MOSES (RAO)

LAMPIRAN C-1

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

OFFPIPE

(

WATER DEPTH

= 109 M)

LAMPIRAN C-2

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

OFFPIPE

(

WATER DEPTH

= 101 M)

LAMPIRAN C-3

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

OFFPIPE

(

WATER DEPTH

=91 M)

LAMPIRAN C-4

HASIL

OUTPUT SOFTWARE

OFFPIPE

(

WATER DEPTH

= 80 M)

LAMPIRAN D-1

HASIL PERHITUNGAN

LOCAL BUCKLING

(

WATER DEPTH

= 109 M)

LAMPIRAN D-2

HASIL PERHITUNGAN

LOCAL BUCKLING

(

WATER DEPTH

= 101 M)

LAMPIRAN D-3

HASIL PERHITUNGAN

LOCAL BUCKLING

(

WATER DEPTH

= 91 M)

LAMPIRAN D-4

HASIL PERHITUNGAN

LOCAL BUCKLING

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Pipa bawah laut atau

subsea pipelines

merupakan sarana utama transportasi

minyak dan gas. Pipa bawah laut digunakan untuk mendistribusikan minyak dan

gas bumi dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya. Pada kondisi dan keadaan tertentu

perlu perencanaan agar memberikan efisiensi yang lebih baik, sehingga investasi

yang dihasilkan untuk instalasi pipa bawah laut dapat memberikan hasil yang

maksimal.

Instalasi pipa bawah laut umumnya menggunakan metode S-Lay, J-Lay, dan

Reel Laying

. Instalasi pipa bawah laut ini sangat bergantung pada kondisi

lingkungan seperti gelombang dan arus air laut yang nantinya langsung mengenai

pipa sehingga akan berpengaruh pada gerakan

barge

. Pada analisa ini metode

yang digunakan adalah metode S-Lay sehingga saat peletakan pipa dari

barge

ke

dasar laut akan membentuk lengkungan seperti huruf S (

sagbend

dan

overbend

),

maka terjadi

bending tension

maupun

bending compression

. Dengan adanya

berbagai faktor hidrodinamis tersebut menyebabkan terjadinya tegangan pada pipa

terutama pada bagian

overbend

dan

sagbend

(Soegiono, 2007).

Sebagai bagian dari proyek MDA, Husky-CNOOC Madura Limited (HCML)

sedang mengembangkan cadangan gas Selat Madura Blok MDA/MBH

for sales

to buyers

di Pulau Jawa. Lapangan ini terletak di lepas pantai Selat Madura, Jawa

Timur, sekitar 180 kilometer sebelah Barat dari Pagerungan, sekitar 200 kilometer

sebelah Timur dari Surabaya, dan 75 kilometer sebelah Tenggara dari Pulau

Madura. Proyek ini akan mengembangkan:

a.

Dua

wellhead platform

(MDA dan MBH)

b.

20 inch pipa dengan panjang 27 kilometer dari MDA ke MBH

c.

Sebuah

offshore spread moored Floating Production Unit

(FPU),

tanker

yang dikonversi dengan fasilitas pengolahan gas

d.

Jumper fleksibel dari MBH

wellhead platform

ke FPU

(16)

2

e.

14 inch pipa dengan panjang 3.7 km sebagai kelanjutan dari jumper

fleksibel yang berasal dari FPU melalui MBH menuju pipa EJGP 28” yang

telah tersedia.

Fasilitas pengolahan gas pada FPU didesain agar menghasilkan gas sejumlah 175

MMSCFD.

Setelah mendapatkan data

pipeline

maka selanjutnya adalah melihat

apakah

properties

pipa yang didapatkan ada di lapangan. Untuk

schedule

pipa

wall thickness

sebesar 15.9 mm dan

outside diameter

sebesar 20 inch (508 mm)

telah tersedia di lapangan.

Analisa pada Tugas Akhir ini akan difokuskan pada perhitungan tegangan yang

terjadi pada pipa saat proses instalasi pada kondisi dinamis. Setelah didapatkan

tegangan yang dialami pipa kemudian dihitung

local buckling

pada daerah

(17)

3

1.2

Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas didapatkan permasalahan sebagai berikut:

1.

Berapa nilai tegangan yang dialami daerah

sagbend

dan

overbend

pipa

ketika proses instalasi?

2.

Bagaimanakah

local buckling

yang terjadi di daerah

sagbend

dan

overbend

pipa ketika proses instalasi berdasarkan DNV OS F-101 2013?

1.3

Tujuan

Dari perumusan masalah di atas maka tujuan dari tugas akhir ini antara lain:

1.

Mendapatkan nilai tegangan yang dialami pipa pada saat proses instalasi di

daerah

sagbend

dan

overbend

.

2.

Mengetahui keadaan pipa apakah mengalami

local buckling

selama proses

instalasi.

1.4

Manfaat

Dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan pemahaman mengenai

proses instalasi pipa dengan metode S-LAY dan mengetahui berapa nilai tegangan

yang dialami pipa, apakah dengan nilai tersebut pipa mengalami

local buckling

atau tidak.

1.5

Batasan Masalah

1.

Analisa yang dilakukan adalah analisa dinamis dengan domain frekuensi

2.

Beban lingkungan yang diperhitungkan adalah beban gelombang dan

beban arus

3.

Arah datang gelombang diasumsikan pada 0°, 45°, 90°, 135°, 180°

terhadap

barge

.

4.

Kedalaman divariasikan 109 meter, 101 meter, 91 meter, dan 80 meter.

5.

Sistem penambatan (mooring) tidak dimodelkan

6.

Bangunan atas

barge

tidak dimodelkan

7.

Panjang

stinger

konstan.

(18)

4

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN

(20)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pipa bawah laut merupakan suatu alat transportasi hidrokarbon dari satu

tempat ke tempat lain. Umumnya, pipa bawah laut digunakan untuk memindahkan

hidrokarbon dari

wellhead

atau

reservoir

menuju

production facility

(FPSO atau

platform

). Dalam pelaksanaannya, pipa bawah laut menjadi pilihan yang tepat

karena tidak tergantung oleh cuaca. Namun proses desain, pemilihan bahan, dan

proses instalasi harus diperhatikan dengan benar dan mengikuti aturan yang telah

dibuat agar tingkat keamanannya terjaga.

Pada umumnya instalasi pipa bawah laut dilakukan oleh

laybarge

. Terdapat

beberapa metode pemasangan pipa yaitu metode S-Lay, J-Lay, dan

Reel-lay

.

Berdasarkan metode, pipa bawah laut mengalami pembebanan yang berbeda

selama instalasi dari

lay barge

. Beban tersebut antara lain tekanan hidrostatis,

tension

, dan

bending

(Yong Bai, 2005). Analisis proses instalasi dilakukan untuk

mengetahui apakah pipa akan mengalami kegagalan atau tidak. Dalam proses

analisis instalasi pipa bawah laut terdapat beberapa faktor yang harus kita

perhatikan. Terdapat dua kategori area yang harus dianalisa yaitu di area

overbend

dan

sagbend

.

Penelitian mengenai terjadinya

local buckling

pernah dilakukan Annisa

(2015) tentang optimasi konfigurasi sudut

stinger

dan kedalaman laut dengan

local buckling check

. Namun penelitian tersebut dilakukan pada saat proses

instalasi dengan kondisi statis. Rosyidi (2015) juga pernah melakukan penelitian

mengenai

local buckling

, namun variasi dilakukan terhadap

radius curvature

saat

proses instalasi.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka

penulis mengajukan studi kasus mengenai

local buckling

yang terjadi selama

proses instalasi dengan kondisi dinamis. Dalam penelitian ini penulis melakukan

analisis

local buckling

dengan variasi kedalaman air laut.

(21)

6

2.2 Dasar teori

2.2.1 Instalasi Pipa

Ada beberapa metode untuk menginstal pipa, metode yang paling umum

adalah s-lay, j-lay, dan

reel laying

. Tiap-tiap metode memiliki keunggulannya

masing-masing. Pipa bawah laut terkena berbagai macam beban selama instalasi.

Secara umum, beban ini termasuk tekanan hidrostatik,

tension

, dan

bending

.

Kemampuan kapal dalam meletakkan pipa tergantung dari berat pipa itu sendiri.

Semakin besar kedalaman air, semakin besar pula berat pipa.

Program komputer komersial dapat digunakan sebagai alat yang efektif

untuk analisis instalasi pipa dalam menganalisis konfigurasi statis dan dinamis.

Program komputer yang biasa digunakan dalam analisis instalasi pipa adalah

OFFPIPE.

Pada

laybarge

terdapat tempat untuk melakukan pengelasan (

welding

station

),

tensioner

, NDT

station

dan

coating station

.

Roller

akan membantu pipa

bergerak dari

barge

hingga masuk ke laut.

Roller

yang ditempatkan pada

stinger

dan

barge

, bersama dengan

tensioner

membentuk

curve support

untuk pipa. Pipa

akan melengkung pada

curve support

ketika akan masuk kedalam laut sehingga

pada bagian ini mengalami

bending

yang disebut

overbend

.

Tensioners

akan mempertahankan tegangan konstan untuk menahan

terjadinya

bending

yang berlebih dan mengimbangi gerakan dinamis

lay barge

di

permukaan air laut. Mesin

tension

yang paling akhir biasanya terdapat pada

bagian buritan pada

barge

yang letaknya berdekatan dengan

stinger

. Sehingga

mesin

tension

ini berfungsi untuk mengatur

curvature

sagbend

dan menjaga

moment pada

stinger

saat pipa bergerak ke laut.

(22)

7

2.2.2 Metode Instalasi Pipa

a.

Metode S-Lay

Gambar 2.1 Metode S-Lay (Yong Bai, 2014)

Metode s-lay yang diilustrasikan pada Gambar 2.1 adalah metode yang

sering digunakan dalam instalasi pipa bawah laut di air yang relatif dangkal.

Metode ini disebut demikian karena profil dari segmen pipa antara

stinger

dan

dasar laut membentuk huruf S memanjang selama peletakkan pipa.

Stinger

adalah

struktur rangka yang dilengkapi dengan

roller

yang berguna untuk mendukung

pipa selama instalasi dan juga menciptakan kelengkungan pada pipa ketika berada

di

overbending

. Radius kelengkungan dari

stinger

sesuai dengan

bending stress

maksimum.

Bagian pipa antara titik infleksi dan

stinger

disebut dengan wilayah

overbending

, sedangkan bagian pipa antara titik infleksi dengan dasar laut disebut

wilayah

sagbending

.

Stinger

Stinger

berfungsi sebagai pengarah pipa pada roller yang terletak antara

tubular sehingga pipa dapat meluncur ke bawah dari buritan pada barge

sampai ke seabed. Stinger yang berada pada buritan kapal tersebut

membentuk radius curvature yang disebabkan oleh lengkungan pada

stinger itu sendiri. Selain itu pada stinger tersebut dapat diubah-ubah

kelengkungannya

dengan

menaik-turunkan

roller-roller

dengan

(23)

8

menggunakan pin yang berada pada stinger hingga membentuk radius

curvature yang diinginkan. Stinger berbentuk melengkung yang

merupakan bagian dari lingkaran dengan jari-jari yang biasa disebut radius

curvature dan digunakan sebagai ukuran lengkung dari stinger. Pada

Gambar 2.2 merupakan radius curvature dari lingkaran yang dihitung dari

center of radius pada lingkaran sampai ke ujung lingkaran.

Gambar 2.2 Radius Curvature Stinger (Rosyidi, 2015)

Overbend

Daerah overbend biasanya dimulai dari tensioner pada lay barge, melalui

barge ramp, dan turun ke stinger sampai titik lift-off dimana pipa tidak lagi

didukung oleh stinger. Pada daerah overbend ini diharapkan total regangan

akibat dari berat pipa sendiri, moment bending pada tumpuan, atau roller tidak

melebihi desain faktor yaitu 0.205 % untuk analisa statis dan 0.305% untuk

analisa dinamis (berdasarkan DNV OS-F101 2013 sec. 13).

Sagbend

Daerah sagbend biasanya dimulai dari titik inflection sampai titik touch

down pada seabed. Tegangan pada sagbend di kontrol oleh jari-jari stinger,

departure angle dan pengaturan roller. Tegangan diharapkan kurang dari

87% SMYS (berdasarkan DNV OS-F101 2013 sec. 13).

(24)

9

b.

Metode J-Lay

Gambar 2.3 Metode J-Lay (Yong Bai, 2014)

Metode J-lay yang diilustrasikan pada Gambar 2.3 sering digunakan dalam

instalasi pipa di laut dalam dan telah menjadi metode utama instalasi pipa di laut

dalam. Metode J-lay disebut demikian karena dari konfigurasi pipa menyerupai

bentuk J selama instalasi.

Pada metode J-lay ini tidak terjadi

overbend

seperti yang terjadi pada

metode S-lay, tidak ada

stinger

untuk menempatkan pipa dan pipa akan dilas

dalam posisi mendekati vertikal yang kemudian akan diturunkan ke laut. Pada

barge

J-lay dilengkapi dengan

tower

yang digunakan untuk memposisikan pipa

dan tempat penyambungan pipa. Karena semakin banyak jalur pipa yang

terhubung secara bersamaan,

string

dibentuk dan diturunkan ke dasar laut. Oleh

karena itu, metode J-lay secara inheren lebih lambat dibandingkan dengan metode

S-lay dan juga lebih mahal.

(25)

10

c.

Metode Reel Laying

Gambar 2.4 Metode

Reel Laying

(Yong Bai, 2014)

Metode

reel laying

yang diilustrasikan pada Gambar 2.4 adalah metode

instalasi pipa yang baru muncul di akhir abad ke-20. Keuntungan dari metode ini

adalah pipa dapat dihubungkan sepanjang mungkin di darat, kemudian digulung

ke dalam sebuah drum yang dipasang pada kapal. Perangkat utama untuk metode

instalasi pipa ini yaitu terdapatnya

reeling drum.

Pipa yang dipakai untuk metode ini tidak diselimuti dengan beton akan tetapi

pipa harus tetap didisain supaya stabil setelah proses instalasi, hal ini dimaksudkan

agar pipa dapat digulung dalam

reel

. Adapun selimut yang digunakan untuk

melindungi pipa adalah digunakan bahan yang dapat digulung tanpa mengalami

kerusakan seperti seperti jenis bahan

epoxy.

(26)

11

2.2.3 Teori Dasar Gerakan Bangunan Apung

Bangunan apung (dalam hal ini

pipelay barge

) memiliki enam mode

gerakan bebas (

Six Degree of Freedom

) yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

3 mode gerakan translasional dan 3 mode gerakan rotasional dalam 3 arah sumbu

(Bhattacharyya, 1978).

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5, berikut adalah penjelasan

keenam mode gerakan tersebut:

1.

Mode Gerak Translasional

a.

Surge

, gerakan transversal arah sumbu x

b.

Sway

, gerakan transversal arah sumbu y

c.

Heave

, gerakan transversal arah sumbu z

2.

Mode Gerak Rotasional

a.

Roll

, gerakan rotasional arah sumbu x

b.

Pitch

, gerakan rotasional arah sumbu y

c.

Yaw

, gerakan rotasional arah sumbu z

Gambar 2.5 Enam Derajat Kebebasan Gerakan Struktur Terapung (Hasanudin,

2015)

Dari Gambar 2.5 di atas dapat diketahui bahwa hanya 3 macam gerakan

yang merupakan gerakan osilasi murni yaitu

heaving

,

rolling

, dan

pitching

, karena

gerakan ini bekerja di bawah gaya atau momen pengembali ketika struktur itu

terganggu dari posisi kesetimbangannya. Untuk gerakan

surging

,

swaying

, dan

yawing

struktur tidak kembali menuju posisi kesetimbangannya semula ketika

terganggu, kecuali ada gaya atau momen pengembali yang menyebabkannya

bekerja ke arah yang berlawanan.

(27)

12

2.2.4 Response Amplitude Operator (RAO)

Response Amplitude Operator

(RAO) atau disebut juga dengan

transfer

function

merupakan fungsi respon yang terjadi akibat gelombang dalam rentang

frekuensi mengenai struktur. RAO merupakan alat untuk mentransfer gaya

gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur.

RAO memuat informasi tentang karakteristik gerakan bangunan laut yang

disajikan dalam bentuk grafik, dimana absisnya adalah parameter frekuensi,

sedangkan ordinatnya adalah rasio antara amplitudo gerakan pada mode tertentu,

, dengan amplitudo gelombang,

. Menurut Chakrabakti (1987), RAO dapat

dicari dengan Persamaan 2.1 di bawah ini:

( )

( )

( )

(m/m)

dengan:

( ) = amplitudo struktur (m)

( ) = amplitudo gelombang (m)

Respons gerakan RAO untuk gerakan translasi (

surge

,

sway

,

heave

)

merupakan perbandingan langsung antara amplitudo gerakan dibandingkan

dengan amplitudo gelombang insiden (keduanya dalam satuan panjang)

(Djatmiko, 2012). Persamaan RAO untuk gerakan translasi sama dengan

Persamaan 2.1 di atas.

Sedangkan untuk respons gerakan RAO untuk gerakan rotasi (

roll

,

pitch

,

yaw

) merupakan perbandingan antara amplitudo gerakan rotasi (dalam radian)

dengan kemiringan gelombang, yakni yang merupakan perkalian antara

gelombang (

) dengan amplitudo gelombang insiden (Djatmiko, 2012):

( )

( )

( )

(

)

(rad/rad)

(2.1)

(2.2)

(28)

13

Gambar 2.6 Bentuk Umum Grafik Respons Gerakan Bangunan Apung

(Djatmiko, 2012)

Berdasarkan Gambar 2.6 di atas, kurva respons gerakan bangunan apung

pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian:

Pertama adalah bagian frekuensi rendah, atau gelombang (dengan periode)

panjang, yang disebut daerah sub-kritis. Pada daerah ini bangunan laut

akan bergerak mengikuti pola atau kontur elevasi gelombang panjang

sehingga amplitudo gerakan kurang lebih akan ekuivalen dengan

amplitudo gelombang, atau disebut sebagai

contouring

. Dalam korelasi

persamaan hidrodinamis, di daerah frekuensi rendah, atau

(

), gerakan akan didominasi oleh faktor kekakuan.

Kedua adalah daerah kritis, meliputi pertengahan lengan kurva di sisi

frekuensi rendah sampai dengan puncak kurva dan diteruskan ke

pertengahan lengan kurva di sisi frekuensi tinggi. Puncak kurva berada

pada frekuensi alami, yang merupakan daerah resonansi, sehingga respons

gerakan mengalami magnifikasi, atau amplitudo gerakan akan beberapa

kali lebih besar daripada amplitudo gelombang. Secara hidrodinamis di

daerah frekuensi alami, yakni

( )

, gerakan akan

didominasi oleh faktor redaman.

Ketiga adalah daerah super kritis, yaitu daerah frekuensi tinggi, atau

gelombang-gelombang (dengan periode) pendek. Pada daerah ini respons

gerakan akan mengecil. Semakain tinggi frekuensi, atau semakin rapat

antara puncak-puncak gelombang yang berurutan, maka akan memberikan

(29)

14

efek seperti bangunan laut bergerak di atas air yang relatif datar. Oleh

karena itu gerakan bangunan laut diistilahkan sebagai

platforming

. Dalam

hal korelasi hidrodinamis, gerakan di daerah frekuensi tinggi ini, dimana

, gerakan akan didominasi oleh faktor massa (Djatmiko, 2012).

2.2.5 Respons Bangunan Apung pada Gelombang Acak (Spektra Respons)

Respons bangunan apung pada khususnya kapal yang diakibatkan oleh

eksitasi gelombang acak telah diperkenalkan pertama kali oleh St. Denis dan

Pierson (1953). Gerakan bangunan apung dalam kondisi ideal dapat dihitung

sebagai reaksi adanya eksitasi gelombang sinusoidal, dengan karakterisitik tinggi

atau amplitudo dengan frekuensi tertentu. Perhitungan kemudian dilakukan

dengan mengambil amplitudo gelombang yang konstan, namun nilai frekuensinya

divariasikan dengan interval kenaikkan tertentu.

Gelombang acak merupakan superposisi dari komponen-komponen

pembentuknya yang berupa gelombang sinusoidal dalam jumlah tidak terhingga.

Tiap-tiap komponen gelombang mempunyai tingkat energi tertentu yang

dikontribusikan, yang kemudian secara keseluruhan diakumulasikan dalam bentuk

spektrum energi gelombang (Djatmiko, 2012).

Dalam analisis respons bangunan apung pada gelombang reguler dapat

diketahui pengaruh interaksi hidrodinamik pada massa tambah,

potential

damping

, dan gaya eksternal. Analisis tersebut menghasilkan respons struktur

pada gelombang reguler. Respons struktur pada gelombang acak dapat dilakukan

dengan mentransformasikan spektrum gelombang menjadi spektrum respons.

Spektrum respons didefinisikan sebagai respons kerapatan energi pada struktur

akibat gelombang. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalikan nilai pangkat

kuadrat dari

Response Amplitude Operator

(RAO) dengan spektrum gelombang

pada daerah struktur bangunan apung tersebut beroperasi. Persamaan respons

struktur yang diilustrasikan pada Gambar 2.7 secara matematis dapat dituliskan

seperti Persamaan 2.3 di bawah ini:

[ ( )]

( )

dengan:

= Spektrum Respons (m

2

-sec)

( )

= Spektrum Gelombang (m

2

-sec)

(30)

15

( )

=

Transfer Function

= Frekuensi Gelombang (rad/sec)

Gambar 2.7 Transformasi Spektra Gelombang menjadi Spektra Respons

(Djatmiko, 2012)

2.2.6 Spektrum Gelombang

Spektrum gelombang laut diperlukan untuk mengetahui karakteristik dari

gelombang di permukaan laut. Bentuk-bentuk spektrum gelombang laut dapat

digunakan untuk menentukan periode puncak gelombang dan panjang gelombang.

Spektrum gelombang laut yang sering digunakan antara lain spektrum

Pierson-Moskowitz, spektrum JONSWAP (

Joint North Sea Wave Project

) dan spektrum

ITTC ISSC. Bentuk spektrum gelombang laut dapat diketahui melalui data

periode gelombang. Dengan mengumpulkan data frekuensi gelombang yang dapat

dihitung dari periode gelombang ke dalam masing-masing fungsi kerapatan

spektral, maka dapat diperoleh periode puncak spektrum. Melalui persamaan

gelombang yang memberikan hubungan antara panjang gelombang dan suatu

periode gelombang maka diperoleh panjang gelombang pada saat periode

gelombang puncak.

Pada tugas akhir ini, dalam analisisnya akan diunakan spektrum gelombang

JONSWAP. JONSWAP merupaka proyek yang dilakukan di perairan

North Sea

.

Berdasrkan DNV RP-C205 (2014), formulasi spektrum JONSWAP merupakan

modifikasi

dari

spektrum

Pierson-Moskowitz

.

Spektrum

JONSWAP

mendeskripsikan angin yang mengakibatkan gelombang dengan kondisi

seastate

yang ekstrim. Kriteria dalam DNV RP-C205, n=bahwa spektrum JONSWAP

dapat diaplikasikan untuk perairan dengan:

(31)

16

Persamaan spektrum JONSWAP (DNV RP-F105) dapat dilihat pada Persamaan

2.5 berikut:

( )

[ (

)

]

[ (

)

]

dengan:

=

( )

=

Spectral Width Parameter

= 0,07 jika

= 0,09 jika

= Angular Spectral Frequencies (rad/s)

=

= Wave Frequencies (rad/s)

=

H

s

= Tinggi Gelombang Signifikan (m)

T

p

= Peak Periode (s)

T

= Periode Gelombang (s)

Nilai Peakedness Parameter dapat dicari dengan menggunakan Persamaan 2.6 di

bawah ini:

{

( )

Formulasi spektrum JONSWAP sering digunakan dalam perancangan dan

analisis bangunan lepas pantai yang beroperasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan

perairan di Indonesia adalah perairan kepulauan atau perairan tertutup. Namun,

berdasarkan kajian-kajian yang ada, dalam melakukan analisis bangunan lepas

pantai yang dioperasikan di Indonesia, maka nilai parameter

yang dipakai

sekitar 2

2,5 untuk mengurangi dominasi energi yang dikontribusikan oleh

frekuensi gelombang tertentu saja.

(2.5)

(32)

17

2.2.7 Tegangan Normal

Pipa bawah laut dapat mengalami

axial force

seperti ditunjukkan pada

Gambar 2.8 berikut ini:

Gambar 2.8 Pembebanan Aksial pada Batang Tubular

(Gere dan Timoshenko, 2009)

Tegangan yang terjadi dapat berupa tegangan tarik (

tensile stress

) atau

tegangan tekan (

compressive stress

). Pada gambar di atas, ditunjukkan

tensile

stress

dimana tegangan ini akan menyebabkan

normal stress

. Tegangan Normal

adalah tegangan yang bekerja dalam arah tegak lurus terhadap bidang yang dapat

dihitung dengan Persamaan 2.7 berikut:

dengan:

= tegangan normal (N/m

2

)

= gaya tarik atau tekan (N)

= luas penampang melintang (m

2

)

Pada Gambar 2.8 batang tubular dengan luas penampang A dan panjang L

mengalami pembebanan aksial akibat gaya tarik P. Akibat gaya ini, batang akan

mengalami perubahan panjang sebesar:

dengan:

= pertambahan panjang (m)

L

= panjang batang semula (m)

L’

= panjang batang setelah menerima beban (m)

(2.7)

(33)

18

Perbandingan antara pertambahan panjang ( ) dengan panjang mula-mula

disebut sebagai regangan aksial dan dirumuskan sebagai berikut:

Hal ini berarti jari-jari penampangnya juga mengalami perubahan dari R

menjadi R’. Regangan ini disebut dengan regangan aksial dan secara matematis

dirumuskan sebagai berikut:

dengan:

=

axial strain

(m)

= jari-jari penampang semula (m)

= jari-jari penampang setelah menerima beban (m)

Perbandingan antara regangan radial dengan regangan aksial disebut sebagai

poisson’s ratio. Secara matematis, poisson’s ratio dapat dirumuskan seperti pada

Persamaan 2.11:

dengan:

=

axial strain

(m)

=

radial strain

(m)

2.2.8 Tegangan Tekuk

Tegangan tekuk (

) adalah tegangan yang ditimbulkan oleh momen (M)

yang bekerja pada ujung-ujung pipa. Dalam hal ini tegangan yang terjadi dapat

berupa tegangan tekuk tekan (tensile bending) atau tegangan tekuk tarik

(compression bending). Tegangan tekuk, maksimum pada permukaan pipa (c) dan

minimum (nol) pada sumbu pipa, karena tegangan tersebut merupakan fungsi

jarak dari sumbu ke permukaan pipa. Hal ini digambarkan pada Gambar 2.9

sebagai berikut:

(2.9)

(2.10)

(34)

19

Gambar 2.9 Ilustrasi Tegangan Tekuk Maksimal dan Tegangan Tekuk Minimal

Tegangan tekuk secara matematis, dirumuskan seperti Persamaan 2.12 berikut:

dimana:

I

= Momen inersia penampang (m

4

)

=

(

)

2.2.9 Tegangan Geser

Tegangan geser (

shear stress

) adalah tegangan yang bekerja dalam arah

tangensial terhadap permukaan bahan. Dimana tegangan geser, secara matematis

dapat dirumuskan seperti pada Persamaan 2.13 berikut:

dengan:

= tegangan geser (N/m

2

)

v

= gaya geser (N)

A

= luas penampang melintang (m

2

)

Tegangan geser yang bekerja pada suatu elemen bahan disertai regangan

geser. Tegangan geser tidak mempunyai kecenderungan untuk memperpanjang

atau memperpendek elemen arah x, y, dan z. Ini berarti panjang sisi elemen tidak

berubah, oleh karenanya tegangan geser tidak menyebabkan perubahan bentuk

elemen.

(2.13)

(2.12)

(35)

20

2.2.10

Hoop Stress

Dalam pemilihan tebal pipa, pertimbangan tebal material untuk menahan

perbedaan tekanan dari luar dan dari dalam yang disebut dengan

hoop stress

(Gambar 2.10) adalah sangat penting. Adapun formulasi untuk menghitung

hoop

stress

berdasarkan DNV OS-F101 adalah seperti Persamaan 2.14 berikut:

(

)

dimana:

P

i

=

Internal Pressure

(MPa)

P

e

=

External Pressure

(MPa)

D

=

Outside Diameter of Linepipe

(m)

t

=

Nominal Wall Thickness

(m)

Gambar 2.10 Ilustrasi Tekanan Internal (Pi) dan Tekanan Eksternal (Pe) pada

Pipa Bawah Laut (Pratama, 2007)

2.2.11 Tegangan Longitudinal (

Longitudinal Stress

)

Tegangan longitudinal yang diilustrasikan pada Gambar 2.11 adalah

tegangan yang dipengaruhi oleh gaya yang diakibatkan oleh beban lingkungan.

Adapun formulasi untuk menghitung

longitudinal stress

berdasarkan DNV

OF-F101 adalah seperti Persamaan 2.15 berikut:

( )

( ( ) )

dimana,

N

=

Pipe Wall Force

(N)

M

=

Bending Moment

(kN-m)

D

=

Outside Diameter of Linepipe

(m)

(2.14)

(36)

21

t

=

Nominal Wall Thickness

(m)

Gambar 2.11 Ilustrasi

Longitudinal Stress

pada Pipa (Pratama, 2007)

2.2.12 Tegangan Ekuivalen (

Von Misses Stress

)

Setelah mendapatkan hoop stress dan longitudinal stress maka tegangan

ekuivalen dapat dicari. Untuk mencari tegangan ekuivalen, kita menggunakan

formulasi Von Misses Stress yang terdapat dalam DNV OS-F101, seperti yang

ditunjukkan pada Persamaan 2.16 di bawah ini:

dimana,

=

Equivalent Stress

(MPa)

=

Longitudinal Stress

(MPa)

=

Hoop Stress

(MPa)

=

Tangential Shear Stress

(MPa)

2.2.13 Analisis Dinamis

Menurut Chakrabhakti ada dua pendekatan dasar yang dipertimbangkan

dalam menganalisa masalah struktur terapung, yaitu dengan metode

frequency

domain

dan

time domain

.

Frequency domain

biasanya dilakukan untuk

penyelesaian yang sederhana. Solusi pada metode ini diperoleh menlalui

pendekatan persamaan diferensial. Keterbatasan dari metode ini adalah semua

persamaan non-linier harus diubah dalam bentuk persamaan linier.

Sedangkan untuk metode

time domain

menggunakan pendekatan integrasi

numeris dari persamaan gerak dari semua sistem non-linier. Beberapa contoh

persamaan yang menggunakan analisa non-linier adalah gaya drag, gaya pada

mooring

, dan viskositas

damping

.

Dalam

American Petroleum Institute

1987 API RP 2T membagi analisa

dinamis kedalam 2 metode analisa domain, yaitu:

(37)

22

a.

Frequency domain analysis

adalah simulasi kejadian pada saat tertentu

dengan interval frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya. Domain

frekuensi juga dapat digunakan untuk memperkirakan respon gelombang

acak termasuk gerakan

platform

dan percepatan, gaya tendon dan sudut.

Keuntungannya adalah lebih menghemat waktu perhitungan dan juga input

atau output-nya sering digunakan oleh persancang. Kekurangan dari

metode ini adalahsemua persamaan non-linier harus diubah dalam bentuk

linier.

b.

Time domain analysis

adalah penyelesaisan gerakan dinamis struktur

berdasarkan fungsi waktu. Pendekatan yang digunakan dalam metode ini

menggunakan prosedur integrasi waktu dan akan menghasilkan respon

time history

berdasarkan waktu x(t).

Keuntungan dari metode

time domain

dibandingkan metode

frequency

domain

adalah semua tipe non-linier (

matrix system

dan beban-beban

eksternal) dapat dimodelkan dengan lebih tepat. Kekurangannya adalah

memerlukan waktu yang panjang dalam pengerjaannya. Simulasi

time

domain

dapat dikerjakan menurut beberapa skema integrasi. Untuk dapat

mewakili kondisi sebenarnya simulasi dilakukan minimal tiga jam.

2.2.14 Allowable Stress and Strain Criteria

Pada saat proses instalasi berlangsung, tegangan yang terjadi pada pipa

tidak boleh melebihi tegangan yang diizinkan. Jenis material pipa yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

linepipe

API 5L X65. Berikut ini kriteria tegangan dan

regangan yang diizikan berdasarkan DNV OS-F101:

1.

Regangan yang diizinkan pada wilayah

overbend

Analisa statis

= 0.205%

Analisa dinamis

= 0.305%

2.

Tegangan yang diizinkan pada wilayah

sagbend

dan

stinger tip

(38)

23

2.2.15 Buckling

Penekukan

(

buckling

) pada pipa yang diiustrasikan dengan Gambar 2.12

dapat didefinisikan sebagai perubahan deformasi (

ovaling

) pada penampang pipa

yang terjadi pada satu atau seluruh bagian pipa. Dengan kata lain

buckling

terjadi

dalam keadaan dimana pipa sudah mengalami perubahan bentuk akibat tekanan

hidrostatis yang besar pada kedalaman tertentu. Kemungkinan terjadinya

buckling

pada suatu struktur

pipeline

harus dipertimbangkan untuk menghindari kegagalan

pada pipa. Analisa

buckling

dibagi menjadi dua bagian yaitu

local buckling

dan

global buckling

.

Local buckling

merupakan suatu kondisi dimana terjadi

deformasi bentuk pada penampang melintang suatu pipa. Analisis

local buckling

dilakukan untuk kodisi instalasi, hal ini disebabkan karena proses instalasi

merupakan kondisi paling kritis terjadinya

local buckling

akibat adanya

eksternal

pressure

,

axial force

, dan

bending moment

.

Gambar 2.12 Penampang pipa yang Terdeformasi akibat Beban

(Yong Bai, 2014)

Berdasarkan DNV OS-F101, dalam melakukan analisis

local buckling

yang terjadi pada pipa, harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

1.

Kriteria System Collapse.

Semakin dalam suatu perairan, maka tekanan yang terjadi juga akan

semakin besar. Hal ini yang harus dipertimbangkan oleg para perancang pipa

bawah laut agar nantinya ketika pipa beroperasi pada kedalaman tertentu, tekanan

eksternal yang melebihi tekanan internal pipa tidak dapat mengakibatkan

collapse

.

Collapse

pada dinding pipa dapat terjadi tergantung pada berbagai faktor,

termasuk rasio antara diameter terhadap ketebalan pipa (D/t), karakteristik

tegangan dan regangan material, dan ovalisasi.

(39)

24

Berdasarkan DNV OS-F101, karakteristik tahanan untuk tekanan collapse

(P

c

) ditentukan dengan Persamaan 2.17 berikut:

(

( )

( )) (

( )

( )

)

( )

( )

( )

dengan:

( )

(

)

( )

dimana,

P

c

= Karakteristik Tekanan

Collapse

(MPa)

P

el

= Tekanan

Collapse

Elastis (MPa)

P

p

= Tekanan

Collapse

Plastis (MPa)

f

0

=

Ovality

, (0.5%

f

0

1.5%)

= Faktor Fabrikasi (Tabel 2.1)

D

max

= Diameter pipa terbesar yang diukur (m)

D

min

= Diameter pipa terkecil yang diukur (m)

t

=

Nominal Wall Thickness

(m)

E

=

Young’s Modulus

v

=

Poisson ratio

(0.3)

Faktor fabrikasi maksimum (

) untuk pembuatan pipa dapat dilihat pada Tabel

2.1 berikut:

Tabel 2.1 Faktor Fabrikasi Maksimum (DNV OS-F101 Sec. 5)

Pipe

Seamless

UO & TRB & ERW

UOE

1.00

0.93

0.85

dimana,

UO

: Proses fabrikasi untuk

welded pipe

TRB :

Three rolling bending

ERW :

Electrical resistance welded pipe

UOE : Proses fabrikasi untuk

welded pipe-expanded

(2.17)

(2.18)

(2.19)

(2.20)

(40)

25

Persamaan 2.17, tekanan

collapse

(Pc) merupakan persamaan polinomial

derajat tiga, untuk itu dilakukan pendekatan nilai Pc dengan Persamaan 2.21

2.28:

dengan:

√ (

)

(

)

(

)

(

)

(

)

Sesuai dengan DNV OS-F101, tekanan eksternal yang terjadi di sepanjang

pipa harus memenuhi kriteria pada Persamaan 2.29 di bawah ini (cek sistem

collapse

):

(

)

dengan:

Pmin = Tekanan Internal Minimum (untuk kasus instalasi pipa bawah

laut bernilai 0 MPa)

=

Material Resistance Factor

(Table 2.2)

=

Safety Class Resistance Factor

(Tabel 2.3)

Tabel 2.2

Material Resistance Factor

(DNV OS-F101 Sec. 5)

Limit state category

SLS/ULS/ALS

FLS

1.15

1.00

(2.21)

(2.22)

(2.23)

(2.24)

(2.25)

(2.26)

(2.27)

(2.28)

(2.29)

(41)

26

(2.30)

(2.31)

(2.32)

(2.33)

(2.34)

(2.35)

Tabel 2.3

Safety Class Resistance Factor

(DNV OS-F101 Sec.5)

Safety class

Low

Medium

High

Pressure containment

1.046

1.138

1.308

Other

1.04

1.14

1.26

1.

Kriteria Combined Loading.

Kriteria ini menunjukkan syarat kekuatan pipa bawah laut terhadap semua

gaya dan tekanan yang diterima pipa. Gaya dan tekanan yang dimaksud yaitu

kombinasi pembebanan terhadap

design bending moment

,

design effective axial

force

, tekanan internal dan eksternal, tekanan pada

pressure containment

, tekanan

collapse

, dan karakteristik tahanan gaya aksial plastis. Berdasarkan DNV

OS-F101 :

Submarine Pipeline System

, kriteria ini akan diperiksa terhdapa dua

kondisi, yaitu:

a.

Tekanan Internal Berlebih (

Internal Overpressure

)

Pada kondisi ini kekuatan pipa akan diperiksa terhadap tekanan internal

yang terjadi. Tekanan ini dipengaruhi oleh tekanan fluida pengisi (

pressure

containment

) serta tahanan aksial dari pipa. Berdasarkan DNV OS-F101,

kriteria ini harus memenuhi Persamaan 2.30 berikut ini:

{

|

|

(

)

{

(

)

(

)

}

}

(

(

)

)

Digunakan untuk:

|

|

( )

( )

( )

( )

( )

{

(

)

(42)

27

(2.36)

(2.37)

(2.38)

Untuk nilai faktor beban (

,

,

,

) dan faktor kondisi

pembebanan (

) dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 di bawah ini:

Tabel 2.4

Load Effect Factor Combinations

(DNV OS-F101 Sec.4)

Limit State/

Load

combination

Load effect

combination

Functional

loads

Environment

al loads

Interferenc

e loads

Accident

al loads

ULS

a

System

check

1.2

0.7

b

Local check

1.1

1.3

1.1

FLS

c

1.0

1.0

1.0

ALS

d

1.0

1.0

1.0

1.0

Tabel 2.5

Conditions Load Effect Factor

(DNV OS-F101 Sec.4)

Condition

Pipeline resting on uneven seabed

1.07

Reeling on and J-tube pull-in

0.82

System pressure test

0.93

Otherwise

1.00

b.

Tekanan Eksternal Berlebih (

External Overpressure

)

Pada kondisi ini, kekuatan pipa akan diperiksa berdasarkan tekanan

eksternal yang terjadi. Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh tekanan

eksternal terhadap pipa. Tahanan dari kondisi tersebut diantaranya adalah

tekanan

collapse

. Berdasarkan DNV OS-F101, kriteria ini harus memenuhi

Persamaan 2.38 berikut:

{

|

|

(

)

{

(

)

}

}

(

(

)

)

Digunakan untuk:

|

|

(43)

28

(2.39)

(2.40)

M

f

= Momen bending desain, kN-m (Pers. 2.36)

S

f

= Gaya aksial efektif desain, kN (Pers. 2.37)

M

p

= Tahanan momen plastis, kN-m (Pers.2.32)

S

p

= Tahanan aksial plastis, kN (Pers. 2.31)

P

c

= Collapse pressure, MPa

P

min

= Tekanan internal minimum, MPa

P

e

= Tekanan eksternal, MPa

a

c

= Parameter

flow stress

, (Pers. 2.33)

=

Material resistance factor

, (Tabel 2.2)

=

Safety class resistance factor

, (Tabel 2.3)

t

2

=

Nominal wall thickness

, m

2.

Kriteria Propagation Buckling.

Propagation buckling

adalah deformasi bentuk pada penampang

melintang pipa yang kemudian berubah menjadi

buckle

yang memanjang dan

merambat di sepanjang pipa. Penyebab utama dari

propagation buckling

ini

adalah tekanan eksternal (hidrostatik) yang nilainya lebih besar dari tekanan yang

diperlukan untuk mencegah terjadinya perambatan

buckle

tersebut. Terjadinya

propagation buckling

didahului oleh adanya

local buckling

dan tidak bisa

menjalar ke bagian lain jika tekanan eksternal masih di bawah tekanan propagasi

(P

pr

).

Berdasarkan DNV OS-F101 :

Submarine Pipeline Systems

, nilai tekanan

propagation buckling

dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.39

berikut ini:

(

)

dengan:

P

pr

= Propagation buckling (N/m2)

a

fab

= Faktor fabrikasi (Tabel 2.1)

Berdasarkan DNV OS-F101, kriteria pengecekkan terhadap propagation

buckling dinyatakan dalam Persamaan 2.40 berikut ini:

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Gambar

Gambar 2.1 Metode S-Lay (Yong Bai, 2014)
Gambar 2.2 Radius Curvature Stinger (Rosyidi, 2015)
Gambar 2.3 Metode J-Lay (Yong Bai, 2014)
Gambar 2.4 Metode Reel Laying (Yong Bai, 2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa Strategi Public Relations Hotel Inna Simpang Surabaya dalam Menjalin Relasi dengan Media terdiri atas Menentukan Tujuan,

Peserta Pendidikan dan pelatihan pegawai Kejaksaan yang selanjutnya disebut peserta Diklat adalah pegawai Kejaksaaan yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan ditunjuk

1) Bagi pensyarah yang kredit mengajar kurang (bersebab) mestilah membuat surat permohonan dan perlu mendapatkan kelulusan Dekan dan pengesahan TNC(AA) bagi

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan terkait kinerja internal auditor serta menambah wawasan mengenai pengaruh

Metode ML memiliki beberapa kelebihan yaitu model berdasarkan statistic dan evolusi, paling konsisten dari model yang ada, dapat digunakan untuk analisis karakter dan

Hasil Penelitian adalah hasil observasi yang dilakukan melalui dialog, dengan menggunakan instrumen pengumpulan data sebagaimana terlampir pada bagian lampiran, yang

Umbi kentang yang telah disimpan selama 2 bulan pada suhu kamar diikuti dengan pemberian gas CS2 selama 24 jam (Metode Simpan II) memiliki pertumbuhan tunas yang