• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.2 Rinitis Alergi

2.2.1 Anatomi Hidung • Hidung bagian luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian atas dan puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit , jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari; sepasang os nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus dilator nares (anterior dan posterior), muskulus proserus, kaput angular muskulus kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus depressor septi (Dhingra, 2007).

.

Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar

• Hidung bagian dalam

Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama

(2)

ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau disebut

choana. Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa ini mengandung banyak pembuluh darah , kelenjar mukosa dan kelenjar serous dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu mempunyai silia (Dhingra, 2007). Kavum nasi terdiri dari :

1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

2. Atap hidung : terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus frontalis, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa. 3. Dinding lateral : dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka : pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.

5. Meatus nasi : diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior

(3)

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi. Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda- beda pada bagian hidung.pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel – sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi (Dhingra, 2007).

Gambar 2.2 Anatomi hidung bagian dalam 2.1.2 Definisi

Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama setelah terpapar dengan aeroalergen (Dhingra, 2007; Bousquet, et al., 2008)

2.1.3 Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia

(4)

mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).

Tomonaga, Kurono dan Mogi (1987) melaporkan hasil penelitian tentang rinitis alergi dan terjadinya otitis media efusi, 21% dari subjek rinitis alergi mengalami otitis media efusi. Sente, et al., (2001) melaporkan 86,5% timpanogram tipe B dan 13.5% tipe C dari subjek rinitis alergi. Nguyen, et al., (2004) melaporkan hasil penelitian bahwa pada subjek dengan atopi, inflamasi alergi terjadi pada kedua sisi tuba Eustachius, kedua telinga tengah dan nasofaring.

Lazo Saenz, et al., (2005) melaporkan penelitian mengenai disfungsi tuba Eustachius pada subjek rinitis alergi pada 80 orang subjek rinitis alergi dan 50 orang normal dilakukan pemeriksaan skin prick test dan timpanometri, dilaporkan hasil timpanometri yang signifikan pada subjek rinitis alergi (P<0.05) terutama pada anak umur di bawah 11 tahun, di kelompok rinitis alergi didapatkan 16% timpanogram abnormal (13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok kontrol seluruhnya dengan timpanogram tipe A.

Kudelska, et al., (2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada 30 subjek rinitis alergi seasonal dan 30 subjek rinitis alergi perennial. Hasilnya pada subjek rinitis alergi perennial ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 26,7% dengan gambaran timpanogram tipe B dan tipe C masing-masing 20% sedangkan pada subjek rinitis alergi seasonal ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 10% dengan gambaran timpanogram tipe B 3,33% dan tipe C 6,67%.

Karya,

Skoner (2009) melaporkan penelitian dari subjek otitis media efusi, terdapat 50% menderita rinitis alergi.

et al., (2007) dalam studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius pada 30 orang subjek rinitis alergi dan 30 orang normal yang dilakukan pemeriksaan timpanometri menemukan rinitis alergi terdiri atas rinitis alergi intermitten ringan 4 orang (13,3%), rinitis alergi persisten

(5)

ringan 11 orang (36,7%), rinitis alergi intermitten sedang-berat 1 orang (3,3%), rinitis alergi persisten sedang- berat 14 orang (46,7%). Dari subjek rinitis alergi ada 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B, 3 orang (10%) timpanogram tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A

Wulandari (2010) melaporkan penelitiannya tentang hubungan rinitis alergi dengan penurunan tekanan udara telinga tengah, dimana menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan telinga tengah P =0,001; OR 3,6; KI 95%.

. Dari semua subjek yang ada kelainan timpanometri, semuanya adalah dengan persisten sedang-berat. Pada kelompok kontrol semuanya normal.

Beberapa penelitian yang terkait melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan dengan faktor alergi yang sudah lazim terjadi selalu diawali oleh gangguan fungsi tuba Eustachius. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% subjek kemungkinan mempunyai faktor alergi. Susilo (2010) melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara alergi dengan OMSK benigna.

2.1.4 Patofisiologi

Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Tahap Sensitisasi. Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel penyaji akan

(6)

menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC (Major Histocompatibility Complex)-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat (resting B cell), sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Parwati, 2009).

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk (Preformed Mediators), terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan dikeluarkan

Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Faktor (PAF), serta berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Faktor (GM-CSF), dan lain-lain. Sel mastosit juga akan melepaskan molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul tersebut terdiri

(7)

dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Faktor of Anaphylactic) akan menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran. Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL). Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 (Parwati, 2009).

Hidung dan telinga tengah sama-sama dilapisi oleh mukosa respiratorik dan secara anatomi terdapat struktur yang menghubungkan rongga hidung dengan telinga tengah, yaitu tuba Eustachius (Bousquet et al, 2008)

2.1.5 Klasifikasi

Rinitis dibagi dua menurut waktu terpajan, yaitu rinitis perennial (terjadi sepanjang tahun) yang berhubungan erat dengan jenis antigen bulu/ serpihan kulit binatang, tungau, kecoa dan tungau debu rumah sedangkan rinitis seasonal(musiman) yang berhubungan dengan jenis antigen serbuk sari dan jamur (Bousquet et al, 2001; Karya, Aziz, Rahardjo, & Djufri

Bousquet, et al (2008) dalam Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma

(ARIA – WHO) membagi rinitis alergi berdasarkan lamanya serangan menjadi rinitis alergi intermiten dan rinitis alergi persisten sedangkan berat ringannya gejala berdasarkan pada kualitas hidup subjek diklasifikasikan ringan (mild) dan sedang–berat (moderate – severe)

, 2007).

(8)

Tabel.1.1 Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA-WHO :

2.1.6 Gejala dan Tanda

Gejala utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman berkurang, batuk kronis dan gangguan pendengaran. Gejala dan tanda tersebut dapat disertai gejala lain apabila melibatkan organ sasaran lain seperti palatum, faring, laring, telinga, kulit,mata dan paru (Dhingra, 2007). Pada pemeriksaan di hidung sering tampak mukosa nasal pucat dan udematous, konka membengkak, ingus encer seperti air. Sedangkan pada telinga sering di jumpai retraksi pada membran timpani dan otitis media efusi sebagai akibat dari sumbatan pada tuba Eustachius (Dhingra, 2007). Gatal-gatal pada hidung sehingga hidung sering diusap-usap keatas dapat terjadi allergic salute. Hal ini karena mencoba untuk mengurangi rasa gatal dan sumbatan dari hidung. Warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan disebut Allergic Shinners.

Perubahan ini mungkin karena adanya statis dari vena yang disebabkan udema dari mukosa hidung dan sinus. Karena bernafas melalui mulut, mulut menganga dan mungkin disertai dengan maloklusi dari gigi disebut

Adenoid Facies/Sad Looking Face. Hal ini disebabkan obstruksi karena udema yang disebabkan alergi dan pembesaran tonsil/adenoid.

Classification of allergic rhinitis according to ARIA

1. Intermittent means that the symptoms are present <4 days a week Or for <4 consecutive weeks

2. Persistent means that the symptoms are present More than 4 days a week And for more than 4 consecutive weeks

3. Mild means that none of the following items are present: • Sleep disturbance

• Impairment of daily activities, leisure and/or sport • Impairment of school or work

• Symptoms present but not troublesome

4. Moderate/severe means that one or more of the following items are present: • Sleep disturbance

• Impairment of daily activities, leisure and/or sport • Impairment of school or work

(9)

Tahun 1984 Dr. Jhon Boyles pada makalahnya dalam kongres Otologi in Chicago menyatakan bahwa dari 300 subjek alergi didapatkan dizziness

59%, tinitus 25%, otalgia 15%, otitis media serosa 10%, gangguan pendengaran 10%, infeksi telinga tengah 5%, gatal-gatal pada kanalis akustikus externus 5%. Peradangan telinga tengah sering juga disebabkan karena alergi. Sebagai organ sasaran adalah tuba Eustachius. Jika terdapat infeksi telinga tengah yang persisten adanya faktor alergi jangan diabaikan. Shambough dalam penelitian pada anak-anak, 75% dari otitis media serosa disebabkan karena alergi (Madiadipoera, 2009).

2.1.9 Diagnosis

Untuk diagnosis tidak hanya ditegakkan dengan anamnesis riwayat adanya alergi, tetapi perlu pemeriksaan-pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan dengan cara in-vivo dan in-vitro. Dengan cara pemeriksaan in-vivo dan in-vitro diagnosis alergi dapat ditegakkan lebih akurat, walaupun dalam hal ini tidak semua bentuk tes bisa dilakukan karena pemeriksaan mahal.

Anamnesis adanya riwayat alergi seperti adalah bersin, beringus dan hidung tersumbat. Gejala alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman berkurang, batuk kronis dan gangguan pendengaran. Pemeriksaan fisik, gambaran klasik status lokalis pada hidung, konka hidung udema dan pucat, sekret encer, jernih.

Diagnosis in-vitro, dapat dilakukan pemeriksaan morfologi apus dari sekresi hidung. Subjek dengan eosinophilia pada sekresi hidung memperlihatkan 91.7% tes kulit positif 80.1% IgE RAST positif dan tes provokasi hidung 73.3%. Dapat juga dilakukan pemeriksaan IgE RAST (Radioallergergosorbent test), pemeriksaan ini dapat juga dimanfaatkan untuk memonitor imunoterapi.

Antingen yang diujikan pada tes kulit menimbulkan reaksi kulit berupa

wheal indurasi dan eritema, 10-20 menit setelah alergen diujikan akan menimbulkan reaksi kulit yang terjadi. Ada 2 macam tes kulit : Tes Kulit Epidermal (Tes kulit gores dan Tes cukit kulit), Tes Kulit Intradermal

(10)

(Single dilution /pengeceran tunggal, Multiple dilution /pengenceran berganda).

Tes cukit kulit (Skin prick test )

Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bintul pada kulit tersebut (Parwati, 2004).

Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman, jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik dengan IgE spesifik. Tes kulit dilakukan dengan jalan meneteskan antigen pada kulit kemudian ditusukkan jarum no.26,5 dengan sudut 45 derajat dan epidermis diangkat sehingga dengan tusukan yang kecil beberapa mikroliter cairan akan masuk ke epidermis bagian luar. Sejak hasil reaksi kulit dari tiap-tiap orang dewasa berbeda, suatu kontrol yang positif atau negatif harus ada untuk evaluasi. Reaksi dibaca dalam 15-20 menit, dan hasilnya ditulis dalam gradasi dari negatif (-) sampai (+4).

Metode yang dilakukan dalam menginterpretasikan hasil tes cukit kulit dikenal dengan metode Pepys. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan menggunakan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline).

Penilaiannya adalah sebagai berikut:

+ 1 (ringan) : bila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat daerah eritema.

+ 2 (sedang) : bila bintul lebih kecil dari kontrol positif, tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

+ 3 (kuat) : bila bintul sama besar dengan kontrol positif. + 4 (sangat kuat) : bila bintul lebih besar dari kontrol positif

(11)

Ada beberapa obat-obatan yang mempengaruhi tes kulit antara lain antihistamin, kortikosteroid sehingga obat ini harus dihentikan sebelum tes dimulai. Pada saat ini berhubung metabolisme antihistamin banyak yang lambat dan berbeda-beda satu dengan yang lain, beberapa pendapat menyarankan puasa bebas obat antihistamin 3 hari sebelum tes kulit dilakukan, sedangkan untuk azetamizol 1 bulan, ada juga kortikosteroid dihentikan selama 6 minggu (Bousquet, et al., 2001).

2.1.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan rinitis alergi mencakup pencegahan kontak dengan alergen, obat-obatan, imunoterapi, penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk dan terapi bedah

Pencegahan kontak dengan allergen

Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen dan menghindari alergen penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk menghindari alergen penyebab tidaklah mudah. Terdapat banyak sekali alergen yang berhubungan dengan rinitis alergi, yang paling banyak hasil penelitian adalah tungau debu rumah. ARIA WHO (2001) menyarankan beberapa hal berkaitan dengan mengurangi paparan alergen tungau debu rumah diantaranya menyarungi kasur, bantal dengan bahan yang mudah dicuci. Cucilah dengan air panas (55-600

Pengobatan simptomatis.

) seminggu sekali. Gantilah karpet dengan bahan linoleum atau lantai kayu. Pakailah perabot dengan bahan lapisan kulit, dan selalu membersihkan debu pada perabot dengan vacuum cleaner

atau kain lap yang basah. Gantilah gorden secara teratur dan gunakan bahan yang yang mudah di cuci (Bousquet, et al., 2001).

Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan stabilisator mastosit.

(12)

Gambar 2.3 Terapi rinitis alergi Imunoterapi

Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara konservatif tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita alergi. Dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 60-90 % kasus memberikan respons dengan imunoterapi konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) Penderita mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi dihentikan. 2) Penderita mengalami perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi kadang-kadang timbul gejala yang dapat diatasi dengan terapi medikamentosa. 3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen yang tidak tepat, dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah.

Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah golongan penyakit kolagen dan glomerulonefritis karena dapat menyebabkan penyakit bertambah aktif. Pada kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih hati-hati. Beberapa penulis menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena dapat menyebabkan malformasi pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada yang menyatakan bahwa antigen yang diberikan tidak dapat melalui sawar (barier) plasenta (Bousquet, et al., 2008).

(13)

Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.

Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala -gejala yang menyertai rinitis alergi. Penanganan faktor-faktor ini sama pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya. Terapi bedah

Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase hidung serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai (Dhingra, 2007). 2.3 Tuba Eustachius

2.2.2 Anatomi Tuba Eustachius

Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Tuba Eustachius pada orang dewasa panjangnya berkisar 36 mm dan terletak inferoanterior di medial telinga tengah. Terdiri dari dua bagian, 1/3 lateral (sekitar 12 mm) yang merupakan pars osseus, berada pada dinding anterior kavum timpani, 2/3 medial sekitar 24 mmm adalah pars fibrokartilagineus yang masuk ke dalam nasofaring. Ostium tuba terletak sekitar 1,25 cm di belakang dan agak di bawah ujung posterior konka inferior. Lumen tuba berbentuk segitiga dengan ukuran vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pars osseus selalu terbuka, pars kartilagineus pada saat istirahat akan tertutup dan akan terbuka pada saat menelan, menguap atau meniup keras. Mukosa tuba Eustachius dilapisi oleh epitel respiratorius berupa sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan kelenjar mukus. Epitel ini bergabung dengan mukosa telinga tengah di pars osseus tuba.

(14)

Gambar 2.4. Anatomi telinga

Pada daerah inferolateral tuba Eustachius terdapat bantalan lemak Otsmann yang mempunyai peranan penting dalam penutupan tuba dan proteksi tuba Eustachius dan telinga tengah dari arus retrograde sekresi nasofaring. Otot-otot yang berhubungan dengan tuba Eustachius yang berperan penting dalam penutupan dan pembukaan tuba Eustachius adalah m.tensor velli palatine, m.levator veli palatine, m.salpingopharyngeus dan m.tensor timpani.

2.2.3 Fisiologi

Tuba Eustachius mempunyai 3 fungsi fisiologik terhadap telinga tengah antara lain :

1. Fungsi ventilasi telinga tengah untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara atmosfir.

2. Fungsi drainase dan clearance ke nasofaring dari sekret yang diproduksi dalam telinga tengah

3. Fungsi proteksi dari tekanan bunyi dan sekret di nasofaring.

Fungsi Ventilasi

Fungsi ventilasi merupakan fungsi yang paling penting untuk menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan udara luar. Tuba Eustachius yang normal akan tertutup secara normal saat istirahat, dengan sedikit tekanan negatif pada telinga tengah. Pembukaan tuba

(15)

Eustachius pada saat menelan atau menguap akan terjadi pertukaran gas dan penyeimbangan tekanan antara udara luar dengan telinga tengah. Fungsi drainase dan proteksi

Tuba Eustachius mengalirkan sekresi normal telinga tengah melalui sistem transport mukosilier dengan penutupan dan pembukaan tuba yang berulang sehingga memungkinkan sekresi mengalir ke nasofaring. Bila terjadi gangguan drainase mengakibatkan sekresi tertahan dan cairan akan menumpuk di telinga telinga tengah. Fungsi proteksi dimungkinkan karena secara fungsional tuba tertutup pada keadaan istirahat sehingga bunyi-bunyi yang timbul di nasofaring tidak akan masuk ke telinga tengah. 2.2.3 Definisi

Disfungsi tuba Eustachius adalah adanya gangguan pembukaan tuba sehingga fungsi tuba terganggu. Sering juga disebut oklusi tuba dimana udara tidak dapat masuk ke telinga tengah, sehingga tekanan udara diluar lebih besar dari pada tekanan di dalam telinga tengah.

2.2.4 Patofisiologi

Tuba Eustachius dalam keadaan normal adalah tertutup dan terbuka saat menelan, menguap dan bersin akibat kontraksi aktif m.tensor veli palatini. Udara di telinga tengah mengandung oksigen, karbondioksida, nitrogen dan uap air. Saat terjadi oklusi tuba, yang pertama diabsorbsi adalah oksigen, baru kemudian gas lainnya CO2 dan nitrogen juga terdifusi ke dalam darah. Hal ini menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah dan menyebabkan retraksi membran timpani. Jika tekanan negatif terus meningkat akan menyebabkan tuba “terkunci” dan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan transudat selanjutnya eksudat bahkan hemoragik. Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara mekanik, fungsional ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh (a) faktor instrinsik seperti inflamasi atau alergi atau (b) faktor ekstrinsik seperti tumor di nasofaring atau adenoid. Obstruksi fungsional dapat disebabkan oleh kolapsnya tuba oleh karena meningkatnya compliance tulang rawan yang menghambat terbukanya

(16)

tuba atau gagalnya mekanisme aktif pembukaan tuba Eustachius

akibatnya buruknya fungsi m.tensor veli palatine. Efek lamanya oklusi tuba dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2.1 Efek yang terjadi pada oklusi tuba (Dhingra, 2007)

Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah terganggu, drainase dari rongga telinga ke nasofaring terganggu, dan gangguan mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga nasofaring. Begitu pula dari fungsi mukosilia tuba Eustachius akan terganggu. Pembersihan sekret telinga tengah dilakukan oleh sistem mukosiliar tuba Eustachius dan telinga tengah. Tertutupnya tuba Eustachius oleh beberapa sebab akan membuat ruang telinga tengah terisolasi dari lingkungan luar. Udara yang terjebak akan terabsorbsi dan menyebabkan tekanan intratimpanik atau kavum telinga tengah menurun atau negatif, sehingga menyebabkan membran timpani retraksi. Bila keadaan ini terjadi, dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri pada telinga, rasa tertekan atau tertutup dan gangguan pendengaran. Obstruksi atau tertutupnya tuba Eustachius yang kronik disebut gangguan fungsi tuba Eustachius.

Acute tubal blockage

Absorption of ME gases

Negative pressure in ME Retraction of TM

Transudate in ME/ haemorrhage (acute OME) Prolonged tubal blockoge/ dysfunction OME (th in watery or mucoid discharge)

Atelectatic ear/ perforation Retraction pocket/cholesteatoma

(17)

2.2.4 Gejala dan Tanda

Gejala oklusi tuba antara lain otalgia bisa ringan sampai berat, gangguan pendengaran, sensasi telinga terasa penuh,telinga berdengung hingga gangguan keseimbangan.

Tanda oklusi tuba Eustachius sangat bervariasi tergantung lamanya dan keparahan kondisi oklusinya, antara lain retraksi membran timpani, kongesti pada daerah prosessus maleus dan pars tensa, adanya transudat di belakang membran timpani yang merubah warna membran timpani menjadi buram dan terkadang tampak air fluid level yang disertai tuli konduktif. Pada kasus yang berat seperti barotrauma, membran timpani sangat retraksi dan disertai hemoragik di subepitelial, dapat terjadi hemotimpanum bahkan perforasi.

2.2.5 Hubungan Rinitis Alergi dan Disfungsi Tuba Eustachius.

Dengan melihat konsep “ global airway allergy “ mediator dan respon inflamasi alergi dapat juga terjadi pada telinga tengah. Penelitian oleh downs dkk 2001 menyatakan bahwa pajanan histamin intratimpanik mengakibatkan disfungsi tuba pada tikus. Hal ini menjadi dasar bahwa suatu rinitis alergi berakibat terjadinya suatu reaksi inflamasi yang mempengaruhi tidak hanya mukosa hidung, tapi hingga ke telinga tengah yang berakibat terjadinya perubahan pada telinga tengah, sehingga terjadi disfungsi tuba. Perubahan tekanan pada telinga tengah ini umumnya dirasakan subjek sebagai sensasi rasa tidak enak, rasa penuh, rasa tertutup atau kurang mendengar (Bousquet, et al., 2001).

Subjek rinitis alergi mempunyai resiko tinggi terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada gambaran timpanometri dibandingkan pada subyek non alergi. Pada individu dengan rinitis alergi, dengan memberikan provokasi nasal dengan tungau, akan menyebabkan obstruksi hidung dan disfungsi tuba. Dengan adanya alergen inhalan pada hidung akan menyebabkan deposit alergen pada tuba yang disebabkan induksi alergen lokal atau repons imun sistemik yang melibatkan mukosa saluran nafas pada tuba Eustachius. Kedua mekanisme ini akan mencetuskan inflamasi alergi dan

(18)

pembengkakan dari tuba yang pada akhirnya akan merupakan predisposisi terjadinya otitis media efusi (Bousquet, et al., 2008).

Tuba Eustachius sangat besar peranannya pada fungsi telinga tengah yaitu menjaga haemostasis melalui perannya pada fungsi ventilasi, proteksi dan transport mukosiliar telinga tengah. Selain itu mukosa yang melapisi tuba Eustachius adalah merupakan mukosa respiratorik sehingga alergen yang masuk ke saluran nafas dapat juga menyebabkan respon pada mukosa tuba (Dhingra, 2007).

Inflamasi hidung yang disebabkan oleh provokasi alergen akan menghasilkan tanda dan gejala rinitis alergi dan disfungsi tuba. Disfungsi tuba Eustachius akan menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah dan fungsi ventilasi terganggu. Reaksi alergi dalam rongga hidung akan menyebabkan inflamasi nasal, disfungsi tuba dan peningkatan transudasi protein serta hipersekresi yang dicetuskan oleh pengeluaran mediator-mediator dan sitokin (Fireman, 1997). Gejala hidung yang berhubungan erat dengan adanya disfungsi tuba adalah sumbatan hidung (Krouse, 2002).

2.2.6 Pemeriksaan Fungsi Tuba Eustachius

1. Otoskopi

Penampakan membran timpani yang normal, mengindikasikan fungsi tuba Eustachius yang normal. Jika ditemukan retraksi membran timpani atau Mengetahui besar adanya cairan ditelinga tengah mengindikasikan adanya disfungsi tuba tapi tidak membedakan antara penyebab fungsional atau mekanik dari tuba. Mobilitas membran timpani yang normal pada pneomotoskopi Siegel menunjukkan patensi tuba Eustachius yang baik.

2. Nasofaringoskopi

Nasofaringoskopi dengan pemeriksaan rinoskopi posterior atau dengan endoskopi dapat membantu visualisasi adanya massa (polip, adenoid dan tumor di nasofaring) yang mungkin dapat menyumbat ostium tuba Eustachius.

(19)

3. Timpanometri

Timpanometri adalah pemeriksaan obyektif yang digunakan untuk mengetahui kondisi telinga tengah dan mobilitas selaput gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran dengan memberikan tekanan udara pada liang telinga luar. Mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan berubah-rubah dengan rentang +200mmH2O sampai dengan -400mmH2O pada kanalis auditorius ekternus, kemudian menilai perubahan compliance membrane timpani, tekanan telinga tengah

(Mean Ear Pressure) dan ear canal volume, digambarkan dalam bentuk grafik (Katz, et al.,

MEP (Mean Ear Pressure) atau tekanan telinga tengah dinyatakan dalam mmH

1994)

2O maupun dalam deka Pascal (daPa). Satu deka Pascal = 1,02 mmH2O. Jerger menyampaikan postulatnya bahwa nilai rentang normal untuk telinga tengah adalah -100 mmH2O sampai +100 mmH2O, diluar rentang tersebut dianggap kondisi yang patologis (Katz, et al.,

Gelfand (2009) dalam buku Clinical Audiology menyebutkan range normal untuk tekanan telinga tengah masih kontroversi. Nilai yang abnormal untuk MEP (Mean Ear Pressure)tidak disebut batas yang tegas pada banyak literatur. Nilai cut off point yang di sebut sangat lebar yaitu di antaranya -25 daPa (Holmquist&Miller, 1972; Ghosh&Kumar, 2002), -30 daPa (Fieldman, 1975), -50 daPa (Porter, 1972), -100 daPa (Jerger,1970;Silverman&Arick 1992), 150 (Jones&Stephens 1988) dan -170 daPa.

1994).

Bagian ordinat menunjukkan suatu kelenturan (compliance) dalam mmH2O atau millimeterH20 dan nilai rentang normal berdasarkan Jerger-Liden adalah 0,3-1,6 cm3. Kelenturan (compliance) membran timpani mencapai nilai maksimum saat tekanan udara pada kedua sisi membran timpani sama, puncak dari grafik pada posisi 0 mmH2O. Artinya pada telinga yang sehat, transmisi bunyi mencapai tekanan di telinga tengah negatif, puncak grafik akan berada di daerah negatif dari timpanogram.

(20)

Begitu juga jika tekanan telinga tengah positif, artinya puncak dari suatu grafik akan mengindikasikan tekanan di telinga tengah (Katz, et al, 1994). Parameter lain pada timpanogram adalah ear canal volume atau volume liang telinga. Volume liang telinga pada orang dewasa lebih besar dibandingkan liang telinga anak, yaitu sekitar 0,63-1,46 cm3. Saat dekade 50-an, volume liang telinga akan mengecil menjadi sekitar 1,41 cm3 dan menjadi 1,28 cm3

Jerger-Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai tipe A,B, dan C. Tipe A ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak kurva dengan ketelitian normal, pada atau sekitar tekanan atsmosfer yaitu 0 daPa. Tipe ini memiliki variasi yaitu tipe A

saat dekade 80-an akibat proses penuaan (Mikolai, 2006).

d dan A

Tipe A s.

d (’d’ = discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A tetapi dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan pada keadan disartikulasi tulang pendengaran, segala sesuatu yang menyebabkan rangkaian tulang pendengaran menjadi sangat lentur akan menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan. Tipe As

Bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi dengan puncak yang lebih rendah.

(’s’= stiffness atau shallowness) memiliki kelenturan membran timpani dibawah nilai normal misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang pendengaran sehingga terjadi penurunan aliran energi bunyi yang melewati telinga tengah.

Tipe B memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau sedikit melengkung bahkan sampai datar, misalnya pada otitis media efusi atau oklusi akibat serumen.

Tipe C juga puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif, ditemukan pada keadaan disfungsi tuba auditiva, yaitu saat tuba tidak membuka, maka udara yang terperangkap di telinga tengah akan diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan turunnya

(21)

tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar. Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani retraksi dan terdorong ke medial dan pengaruh terhadap gambaran timpanometri adalah puncak grafik akan terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0 (Mikolai, 2006).

Gambar 2.5 Gambaran timpanogram

Dengan alat timpanometri dapat juga dilakukan tes fungsi tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah diukur saat istirahat, segera setelah perasat Toynbee dan setelah perasat Valsava. Kedua prosedur ini memberikan gambaran semikuantitatif kemampuan tuba Eustachius menyeimbangkan tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah pada telinga tengah. Prinsip tes Toynbee adalah memberikan tekanan negatif, lebih fisiologis dari tes lain. Tes ini dilakukan dengan menelan ludah dibarengi dengan hidung dipencet dan mulut di tutup. Hal ini menarik udara dari telinga tengah keluar ke nasofaring dan menyebabkan membran timpani tertarik ke medial. Sedangkan tes Valsava, tuba Eustachius dan telinga tengah diberi tekanan positif dengan memencet hidung sambil menghembus dari mulut. Jika udara memasuki telinga tengah, membran timpani akan bergerak ke lateral. Jika terdapat perforasi membran timpani terdengar suara berdesis atau jika terdapat cairan di telinga tengah akan terdengar suara seperti sesuatu pecah. Tes ini harus dihindari pada kondisi atropi membran timpani karena akan

(22)

menyebabkan ruptur membran timpani dan pada kondisi infeksi pada hidung dan nasofaring yang yang menyebabkan sekret dapat terdorong ke telinga tengah sehingga dapat menyebabkan otitis media.

4. Tes Politzer

Tes ini dikerjakan dengan memberikan pada satu lubang hidung selang karet yang dihubungkan dengan kantung udara sedangkan lubang hidung lainnya ditekan dengan jari. Pasien diminta untuk menelan atau mengatakan secara berulang huruf “K” untuk menutup pintu velofaringeal. Bila tes ini positif tekanan yang berlebihan di nasofaring dihantarkan ke telinga tengah sehingga membuat tekanan positif dalam telinga tengah dan menggerakkan membran timpani ke lateral (Dhingra, 2007).

2.3 Kerangka Konsep Intrinsik Ekstrinsik = yang di teliti • Tumor nasofaring • Tumor hidung • Hipertropi adenoid • Polip nasi • Palatochizis • Septum deviasi • Barotrauma Sumbatan tuba Eustachius Rinitis Alergi Perubahan tekanan telinga tengah Infeksi Disfungsi Tuba Eustachius

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar
Gambar 2.2 Anatomi hidung bagian dalam  2.1.2 Definisi
Gambar 2.4. Anatomi telinga
Tabel 2.2.1 Efek yang terjadi pada oklusi tuba (Dhingra, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Tapi sebelum itu untuk mengetahui nomor ekstensi dari masing-masing  pesawat telepon yang terhubung ke PABX, praktikan cukup menekan tombol #*9 maka secara otomatis

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan para pakar hukum Islam atau dapat digunakan oleh praktisi hukum Islam dan pihak berwenang

a) Persiapkan alat tulis berupa pulpen atau pensil biasa yang terbukti lancar digunakan/tidak seret. Kalau perlu, sediakan cadangannya. Jangan memakai pensil mekanik.

Burung Layang-layang Asia yang dijumpai di wilayah Bantul, Kulonprogo dan Sleman diduga merupakan populasi satwa tersebut yang berasal dari koloni di Daerah

Pada organisasi profit bobot terbesar diberikan pada perspektif finansial, sedangkan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkap- an Ikan yang merupakan organisasi non

Holder Mechanism hasil rancangan sudah sesuai dengan kebutuhan untuk menahan material plat setelah proses pemotongan dimana ukuran, bentuk dan komponen- komponen

Berdasarkan hasil analisis data efektivitas dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran bahasa Indonesia berbasis group investigation pada materi menulis karangan

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan keterampilan berpikir kreatif siswa kelas V pada materi pesawat sederhana antara yang menggunakan model Pembelajaran Berbasis