• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan ide, gagasan, serta perasaan yang dimiliki oleh para penuturnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan ide, gagasan, serta perasaan yang dimiliki oleh para penuturnya."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Hal ini tidak terlepas dari fungsi bahasa sebagai media untuk menyampaikan ide, gagasan, serta perasaan yang dimiliki oleh para penuturnya. Bahasa yang merupakan bagian dari unsur kebudayaan dipergunakan sebagai media untuk berkomunikasi, bekerja sama, berinteraksi serta mengidentifikasikan diri oleh para anggota suatu masyarakat. Ihwal dimaksud menjadikan satu bukti keistimewaan pentingnya bahasa. Hal ini sejalan dengan pengertian bahasa yang disampaikan Kridalaksana (2008:25) bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Sebagai media yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan pikiran dan apa yang dirasakan, bahasa memudahkan para penuturnya mengkomunikasikan apa yang ada di dalam benaknya, apa yang sedang dirasakan, dan apa yang ingin dilakukan kepada penutur lainnya. Hal semacam itu diwujudkan dalam berbagai macam ekspresi. Ekspresi yang dimaksud seperti marah, sedih, senang, sakit, bahagia, takut, dan kegembiraan lainnya. Salah satu ekspresi yang dapat diungkapkan melalui bahasa adalah ekspresi cinta.

Cinta merupakan topik yang sangat menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk diperbincangkan. Sifatnya yang abstrak tetapi dapat dirasakan membuat berbagai ahli bahkan banyak orang mencoba mendefinisikan apa arti cinta yang

(2)

sebenarnya. Berdasarkan KBBI (2008), cinta adalah 1) suka sekali; sayang benar; 2) kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan); 3) ingin sekali; berharap sekali; rindu; dan 4) susah hati (khawatir); risau.

Selanjutnya, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, cinta adalah sebuah rasa yang begitu kuat akan kasih sayang yang dalam terhadap seseorang atau suatu benda. Uraian tersebut disampaikan sebagaimana berikut. love: n. 1) a strong feeling of deep affection for sb/sth; 2) sexual affection or passion; 3) great enjoyment of st; 4) a person who is loved. Tak terkecuali, seorang pakar Islam, Ibnu Qayyim juga menuliskan definisi cinta bahwa tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.

Dengan maksud menyimpulkan definisi cinta sebagaimana yang telah disampaikan di atas, dapat dikatakan bahwa cinta merupakan emosi, rasa yang ada, dimiliki, bahkan dirasakan oleh manusia yang cukup misterius untuk dijabarkan secara logika.

Selain sifatnya yang abstrak, cinta merupakan sebuah emosi yang bisa dirasakan siapapun, baik pria maupun wanita, baik anak-anak, remaja bahkan hingga orang tua sekalipun. Adapun cinta itu sendiri bisa bermacam-macam bentuknya, yaitu cinta kepada pencipta (Tuhannya), cinta kepada sesama (manusia-manusia), cinta kepada makhluk lainnya (hewan), cinta kepada benda, maupun cinta kepada yang lainnya. Dalam menunjukkan cintanya, manusia

(3)

terkadang mencoba mengungkapkan dengan kata-kata. Namun, keterbatasan jangkauan dalam membahasakan cinta sebagai sesuatu yang abstrak menyebabkan ungkapan tentang cinta tersebut dihubungkan dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut adalah ruang dan waktu di sekitar kehidupan manusia yang lebih konkret atau nyata. Pengalaman maupun pemahaman tentang cinta terkadang dinyatakan dengan pemahaman dan pengalaman akan sesuatu lainnya. Menghubungkan cinta dengan sesuatu yang lain (yang lebih konkret) ditujukan untuk memudahkan manusia dalam menjabarkan cinta itu sendiri. Oleh sebab itu, digunakanlah metafora sebagai jalan mengkonkretkan hal-hal yang bersifat abstrak tadi.

Metafora mampu mengkonsepkan kata cinta yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. Hal ini sesuai dengan pendapat Taylor (2003: 134) yang menyatakan bahwa metafora dapat mengkonsepkan sesuatu yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. Sejalan dengan Taylor, Kovesces (2000:8) menyebutkan bahwa dalam hal mengkonkretkan hal-hal yang bersifat abstrak, metafora memiliki dua domain. Domain yang dimaksud yakni domain abstrak dan domain konkret. Korespondensi antara dua domain tersebut disusun agar tercipta sebuah pemahaman tentang domain yang abstrak menjadi lebih konkret.

Pemahaman domain yang abstrak yakni cinta menjadi lebih konkret dengan metafora dilakukan dengan cara membandingkan dua hal yang berbeda yang masih berkaitan. Pembandingan tersebut melibatkan unsur-unsur yang diambil dari kehidupan sehari-hari yakni dunia penuturnya. Dengan demikian, diperoleh pemahaman bahwa salah satu prinsip dasar metafora adalah terdapatnya konvensi

(4)

dalam asosiasi metaforis antara dua konsep. Hal ini berkesesuaian dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980:5), yang menyatakan bahwa the essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in terms of another.

Lakoff dan Johnson menyatakan bahwa esensi metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang satu dengan sesuatu yang lain tersebut disebut dengan referen satu dan referen yang lain (Subroto, 1991: 2011). Selain itu, ada yang menyebutnya dengan tenor dan wahana (Richards dalam Abrahams, 1981, dalam Subroto, 2011). Tenor adalah sesuatu yang diperbincangkan dan wahana merupakan sesuatu tempat tenor itu diperbandingkan. Terkait hal ini, konsep yang sama namun dengan penamaan yang berbeda diajukan oleh Lakoff dan Johnson. Lakoff dan Johnson menyebutnya dengan target domain (pebanding) yang memiliki pendefinisian yang sama dengan tenor serta source domain (pembanding) untuk wahana.

Salah satu penyair yang menjadikan cinta sebagai topik serta mencoba membahasakan dalam karya-karyanya adalah Shakespeare. Cerita cinta dalam karya-karyanya kebanyakan mengenai cinta antara lelaki dan perempuan. Shakespeare adalah seorang dramawan sekaligus penyair besar Inggris yang dilahirkan tahun 1564 di Stratford-on-Avon, Inggris. Shakespeare telah menunjukkan keberhasilan dalam dunia kesusastraan dengan membuahkan karya-karya besar seperti Julius Caesar, Hamlet, Othello, Macbeth dan King Lear. Diketahui ada 38 drama terkenal ciptaan Shakespeare termasuk beberapa drama

(5)

kecil yang mungkin digarap bersama orang lain. Selain itu, dia menulis sejumlah 154 sonata dan 3 atau 4 sajak-sajak panjang.

Di dalam karya-karya Shakespeare, banyak terdapat kutipan-kutipan cinta yang memiliki unsur metafora di dalamnya. Beberapa naskah drama Shakespeare (dalam bahasa Inggris) yang dapat diobservasi sejauh ini menunjukkan banyak ungkapan-ungkapan metaforis terkait cinta yang digunakan. Sebagai contoh kalimat di bawah ini disajikan.

If music be the food of love, play on!

‘Jika musik menjadi makanan cinta, dendangkanlah!’ (Twelfth Night, Act I, Scene 1)

Proposisi di atas menunjukkan adanya penggunaan unsur metafora pada bagian the food of love. Berdasarkan potongan kalimat tersebut, dapat dijelaskan bahwa yang menjadi sumber dalam metafora tersebut adalah animate and human. Sumber ini digunakan untuk menunjukkan bahwa manusia (animate) membutuhkan makananan (sebagai sesuatu yang konkret), sedangkan yang menjadi target adalah love yang mengacu pada benda abstrak. Proposisi di atas dikatakan mengandung unsur metaforis disebabkan oleh kata food disandingkan dengan kata love.

Kata food dalam OALD bermakna any substance that people or animals eat or drink, or those plants absorb, to maintain life and growth. Dengan kata lain, food (makanan) bermakna zat atau bahan yang dimakan/minum oleh manusia/hewan atau yang diserap oleh tumbuhan untuk mempertahankan kehidupan dan pertumbuhannya. Kata food (makanan) tidak metaforis bila hanya disandingkan dengan ungkapan orang itu/hewan itu/tumbuhan itu. Hal ini

(6)

disebabkan oleh ungkapan makanan orang itu dapat dibuktikan dan dirasakan keberadaannya secara visual.

Berbeda halnya jika kata food disandingkan dengan love. Ada sesuatu yang dikonseptulisasikan ketika kedua kata tersebut disandingkan. Ketika kata food disandingkan dengan kata love, makna yang ingin disampaikan adalah love (cinta) membutuhkan asupan layaknya manusia yang membutuhkan makanan. Manusia, hewan, dan tumbuhan membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya dan untuk tumbuh. Dalam kalimat If music be the food of love, play on! di atas, cinta layaknya manusia/hewan ataupun tumbuhan yang membutuhkan makanan demi mempertahankan keberadaannya agar terus hidup. Akhirnya, dapat diketahui bahwa music (music) menjadi asupan bagi cinta.

Berdasarkan ungkapan metaforis tersebut, dapat diformulasikan konstruksi yang mengandung konsep target dan sumber yakni #LOVE IS HUMAN/ANIMATE/PLANT#. Cinta adalah makhluk hidup seperti manusia/hewan/tumbuhan’. Adapun yang menjadi kesamaan ataupun ground yang menghubungkan antara cinta dan makhluk hidup adalah ‘kebutuhan asupan untuk terus bertahan hidup’.

Kutipan cinta di atas yang terdapat unsur metaforis di dalamnya merupakan salah satu dari banyak kalimat yang dikutip oleh banyak orang ketika menjabarkan cinta. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan Shakespeare dalam merangkum bait-bait sehingga membuat banyak orang sering mengutip kalimat-kalimatnya (khususnya yang terkait cinta) hingga kini. Padahal karya-karyanya dibuat jauh beberapa abad sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana

(7)

Shakespeare membahasakan dan mengkonsepkan cinta cukup universal untuk bisa mencerminkan rasa cinta manusia pada umumnya. Namun tidak bisa dipungkiri, Shakespeare juga menunjukkan cara pandangnya pribadi terkait cinta dalam karya-karyanya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya ungkapan metaforis yang ditemukan.

Dengan berpijak pada keunikan dan kekhasan yang dimiliki cinta, dan dengan kemampuan metafora membantu menjabarkan cinta yang abstrak untuk menjadi lebih konkret, serta ungkapan metaforis cinta yang mampu menunjukkan cara pandang penyairnya terkait cinta, penelitian ini bermaksud menguraikan metafora cinta di dalam karya-karya Shakespeare. Hal ini dirasa sangat menarik untuk diteliti. Selain mampu menunjukkan sistem konseptualisasi terhadap cinta, penelitian ini juga bertujuan untuk memperlihatkan cara pandang Shakespeare terkait cinta itu sendiri. Adapun cinta dalam penelitian ini adalah pembahasaan terhadap “cinta” yang berbentuk nomina dan yang difokuskan pada “cinta antara sesama manusia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bagian latar belakang, beberapa masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah sistem konsep dalam metafora terkait cinta yang ditemukan dalam karya-karya Shakespeare?

(8)

2. Bagaimanakah jenis-jenis medan semantik metafora cinta menurut Michael C. Haley berdasarkan hierarki ruang persepsi manusia yang ditemukan dalam karya-karya Shakespeare?

3. Bagaimanakah cara pandang Shakespeare terhadap cinta yang tercermin dalam ungkapan metaforis yang ditemukan dalam karya-karyanya?

1.3 Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini memiliki tujuan sebagaimana berikut ini.

1. Mendeskripsikan sistem konsep dalam metafora terkait cinta yang ditemukan dalam karya-karya Shakespeare.

2. Mendeskripsikan jenis-jenis medan semantik metafora cinta berdasarkan hierarki ruang persepsi manusia menurut Michael C. Haley yang ditemukan dalam karya-karya Shakespeare

3. Mendeskripsikan cara pandang Shakespeare terhadap cinta yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan metaforis yang ditemukan dalam karya-karyanya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu linguistik khususnya dalam kajian metafora. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi salah satu referensi atau acuan dalam kajian mengenai metafora khususnya metafora kata cinta di dalam karya-karya sastra.

(9)

Penelitian ini juga diharapkan berguna bagi para pembaca yang menyukai karya-karya sastra kususnya dalam bahasa Inggris yang hendak memahami dan menafsirkan metafora yang terdapat di dalam karya-karya sastra tersebut. Selain itu juga dapat menjadi salah satu rujukan dalam menambah wawasan tentang koncep cinta yang dihadirkan oleh Shakespeare pada masanya.

Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dalam memahami metafora, seperti yang terdapat di dalam sebuah karya sastra, khususnya drama. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sedikit gambaran bagaimana Shakespeare memandang cinta pada masanya. Penelitian ini juga memungkinkan untuk menunjukkan kondisi sosiokultural atau budaya masyarakat Inggris yang tercermin dalam ungkapan metaforis terkait cinta yang ada di dalam karya-karya Shakespeare.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait metafora telah banyak dilakukan oleh para ahli maupun peneliti di bidang filsafat, sastra maupun bahasa sebelumnya. Namun, dalam penelitian ini, kajian-kajian terdahulu terkait metafora yang hanya disinggung adalah yang berfokus pada ranah bahasa saja. Penelitian yang relevan terkait metafora ditemukan sekitar 14 penelitian (12 penelitian dalam bentuk tesis dan 2 penelitian yang berbentuk disertasi). Seluruh penelitian ilmiah yang dimaksud akan dipaparkan sebagai bahan perbandingan dengan tesis ini. Hal ini dirasa perlu untuk membuktikan keotentikan serta kebaruan penelitian ini.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Annas (2013) yang berjudul “Analisis Metafora dalam Kumpulan Puisi Leaves of Grass Karya Walt

(10)

Whitman”. Dalam penelitiannya, Annas mendeskripsikan hubungan antara tenor dan vehicle yang terdapat dalam metafora yang muncul dalam kumpulan puisi Leaves of Grass, jenis-jenisnya berdasarkan klasifikasi medan semantik, serta mendeskripsikan fungsi metafora yang terkandung dalam kumpulan puisi tersebut.

Teori yang digunakan dalam mengklasifikasikan jenis metafora berdasarkan medan semantik yang digunakan pada vehicle adalah teori Harley. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat sembilan jenis metafora yang ditemukan dalam kumpulan puisi Leaves of Grass, yakni being, cosmos, energy, substance, terrestrial, objective, living, animate, dan human. Selain itu, ditemukan pula bahwa metafora yang digunakan Whitman dalam kumpulan puisinya memiliki korelasi dengan pengalaman sang penyair pada masa perbudakan, perang saudara, memori Abraham Lincoln, demokrasi, dan faham spiritualnya. Adapun fungsi penggunaan metafora dalam puisi-puisi tersebut adalah untuk menyatakan pujian, kesedihan, kebahagiaan, nasehat, ketakutan, dan hujatan.

Kedua, penelitian metafora dalam puisi juga pernah dilakukan oleh Arianto (2013). Penelitian Arianto berfokus pada metafora yang ada dalam puisi Imam Syafi’i dalam bahasa Arab. Berbeda halnya dengan Annas yang meneliti metafora dalam puisi yang berfokus pada jenis dan fungsi penggunaannya, Arianto berfokus pada jenis metafora, bentuk kebahasaan, serta hubungan metafora dalam Diwan Imam Syafi’I dengan budaya Arab. Penelitian Arianto menunjukkan terdapat 7 jenis metafora yang ditemukan dalam puisi yang ditelitinya. Selain itu, ditemukan pula beberapa bentuk kebahasaan berupa kata,

(11)

frasa, dan klausa. Perbedaan objek antara kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan budaya yang tercermin dari masing-masing puisi.

Ketiga, penelitian terkait metafora di dalam karya sastra juga pernah dilakukan oleh Wulandari (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Metafora dalam Novel Para Priyayi”. Dalam penelitiannya, Wulandari berfokus mendeskripsikan bentuk dan jenis-jenis metafora dalam novel Priyayi, mendeskripsikan ranah kehidupan masyarakat Jawa yang diungkapkan melalui metafora, serta mendeskripsikan nilai-nilai budaya apa saja yang termuat dari penggunaan metafora dalam novel tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat 9 bentuk metafora yang terdiri atas satu kalimat yang memiliki kekhasan dalam novel Priayi. Jenis metafora yang ditemukan terdapat 4 macam. Ranah kehidupan masyarakat Jawa yang tercermin dalam novel tersebut ditemukan sejumlah 5 macam yakni ranah ekonomi, keluarga, masyarakat, lingkungan alam, dan agama/kepercayaan.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Kerans (2005). Dalam penelitiannya yang berjudul “Metafora dalam Tradisi Tutu’ Ukut Raran Bahasa Lamaholot”, Kerans menelaah 3 pokok permasalahan, yakni 1) mencari tahu tentang kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat dan paragraf manakah dalam teks lisan Ukut Raran yang tergolong metafora, 2) macam-macam metafora apa saja yang terdapat dalam tradisi penceritaan sejarah Tutu’ Ukut Raran, serta 3) apa yang menjadi ciri khas metafora bahasa Lamaholot dalam tradisi Tutu’ Ukut Raran tersebut serta bagaimana konsep pikiran masyarakat Lamaholot yang tercermin dari metafora-metafora yang ada. Dari hasil penelitiannya ditemukan

(12)

bahwa metafora-metafora dalam tradisi Tutu’ Ukut Raran mempunyai pasangan yang berbentuk metafora-metafora dan metafora non-metafora. Penelitian ini juga menunjukkan beberapa pola pikir dan pandangan masyarakat Lamaholot.

Penelitian-penelitian berikutnya adalah penelitian metafora yang sumber datanya adalah lagu. Penulis menemukan sekitar 4 penelitian terdahulu yakni penelitian yang dilakukan oleh Udu (2006), Indarti (2008), Kusumastuty (2012), dan Sari (2011). Udu dalam penelitiannya yang berjudul Metafora dalam Kaganti Pengantar Tidur mengkaji bentuk lingual yang mengandung ungkapan metaforis, makna setiap unsur metaforanya, serta cara pandang masyarakat Wangi-Wangi yang tercermin dari metafora-metafora yang ditemukan, jenis-jenis metaforanya, serta ciri khas metafora bahasa Wakatobi dalam kaganti pengantar tidur.

Penelitian Indarti (2008) yang berjudul Metafora Kidung Ludruk mencoba menguraikan bentuk lingual Kidung Ludruk, makna yang terkandung di dalam kiasan metafora tersebut, hubungan metafora Kidung Ludruk dengan budaya Jawa, serta menganalisis metafora Kidung Ludruk berdasarkan elemen-elemennya. Dalam penelitiannya, Indarti menggunakan pendekatan semantik kognitif.

Selanjutnya, Kusumastuty (2012) dalam “Medan Semantik Metafora Nominatif dalam Lirik Lagu KLa Project dan Bon Jovi serta Kaitannya dengan Sistem Ekologi” mengupas masalah kategori medan semantik metafora nominatif serta menelisik keterkaitan antara distribusi medan semantik metafora nominatif tersebut dengan sistem ekologi di sekitar penciptaan metafora.

(13)

Penelitian terakhir yakni yang dilakukan oleh Sari (2011) yang meneliti metafora dalam lagu-lagu spiritual negro (The Negro Spirituals). Sari menelaah hubungan antara pebanding dan pembanding yang terdapat pada metafora lagu-lagu spiritual negro, jenis-jenis metafora berdasarkan klasifikasi medan semantik, dan hubungan metafora pada lagu-lagu spiritual negro dengan budaya (dalam hal ini pengalaman hidup) kaum Black American (BA), serta fungsi metafora. Data yang diambil adalah lagu-lagu spiritual negro yang diciptakan oleh kaum BA pada saat mereka menjadi budak kaum kulit putih Amerika.

Keempat penelitian metafora dalam lagu yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya tidak dimungkiri memiliki rumusan masalah yang hampir sama satu sama lain. Namun, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa perbedaan bahasa berbanding lurus dengan perbedaan budaya sehingga perbedaan antara seluruh penelitian tersebut dapat digariskan.

Penelitian terkait juga pernah dilakukan oleh Bagea dalam kajian tesis dan disertasinya. Dalam tesisnya, Bagea (2009) meneliti “Metafora dalam Bidang Pertanian Padi Masyarakat Dayak Buket”. Hasil penelitiannya menunjukkan banyak metafora yang berkaitan dengan padi pada masyarakat Dayak Buket. Hasil tersebut didapatkan melalui analisis komponen, bentuk, fungsi serta makna metaforanya. Kemudian, dalam disertasinya, Bagea (2013) mengangkat topik metafora dengan judul “Metafora dalam Wacana Pingitan pada Masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara (Suatu Tinjauan Linguistik Antropologis)”. Dalam penelitiannya ini, Bagea mendeskripsikan satuan-satuan kebahasaan dalam metafora wacana pingitan, medan semantik

(14)

metafora, fungsi penggunaan metafora dalam wacana tersebut, serta alasan mengapa metafora tersebut digunakan. Selain itu, Bagea juga mendeskripsikan pemilihan penggunaan dan makna metafora yang ditemukan dalam wacana pingitan dan menerangkan sitem pengetahuan serta pola pikir yang tercermin dalam metafora wacana pingitan pada masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.

Topik metafora yang diangkat sebagai bahan kajian penelitian untuk disertasi juga telah dilakukan oleh Nirmala (2012). Nirmala menganalisis metafora dalam wacana surat pembaca di surat kabar harian berbahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Nirmala memfokuskan pada pendeskripsian bentuk (lingual), jenis, sistem konsep dan fungsi dari ungkapan metaforis yang ditemukan di dalam Surat Pembaca di surat kabar harian berbahasa Indonesia. Hasil kajiannya menemukan bahwa metafora dalam wacana surat pembaca dilihat dari segi bentuknya memiliki bentuk yang khas yang ditunjukkan dengan kata dasar dan bentukan yang mendukung terbentuknya ungkapan metaforis. Dilihat dari segi fungsinya, wacana surat pembaca berfungsi mengubah ragam. Dari segi sistem konsep, topik yang disukai penulis surat pembaca adalah ranah target. Adapun topik-topik yang ditemukan merupakan topik yang mengacu pada pengalaman masyarakat Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara.

Penelitian selanjutnya adalah Figuratif dalam Bahasa Madura (Kajian Semantik) oleh Efawati (2013). Efawati menganalisis jenis-jenis bahasa figuratif yang terdapat dalam bahasa Madura, metafora dan personifikasi, mengkaji fungsi dan makna figuratif dalam peribahasa Madura, serta relasi budaya yang tercermin

(15)

dalam peribahasa Madura. Datanya dalam penelitian iniberupa peribahasa yang sumber utamanya adalah buku Kamus Madura-Indonesia karangan Adrian Pawitra dan ‘Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya’ karangan Mien Ahmad Rifai. Datanya diambil dari 100 peribahasa yang sering dijumpai dalam bentuk tulisan maupun percakapan sehari-hari.

Metafora sebagai bahan kajian penelitian juga pernah diusung oleh Septiaji (2013). Berbeda halnya dengan Efawati yang mengkaji metafora dalam bahasa daerah yakni Madura, Septiaji menelaah klasifikasi metafora sinestetik bahasa Indonesia berdasarkan domain kognitif, mendeskripsikan pola perpindahan indera dalam metafora sinestetik bahasa Indonesia, serta mendeskripsikan distribusi penggunaan cerapan indera dalam metafora sinestetik bahasa Indonesia.

Berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2013). Dalam penelitiannya yang berjudul “Mantra dalam Kitab Primbon Attassadhur Adammakna: Kajian Struktur dan Metafora”, Puspitasari menganalisis struktur mantra dalam kitab primbon, mendeskripsikan jenis-jenis metaforanya, serta mendeskripsikan fungsi mantra dalam kitab primbon tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mantra Kidung Mantrawedha, Japawedha, dan Ajiwedha memiliki struktur mantra yang terdiri dari unsur judul, unsur sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup. Ada 8 jenis metafora berdasarkan medan semantik yang ditemukan dalam kitab primbon tersebut. Selain itu, fungsi dari mantra-mantra yang ditemukan bagi masyarakat adalah sebagai sarana pengobatan, penolak bala, pengasihan, kekebalan tubuh, dan pengabul keinginan.

(16)

Efendi (2012) juga mengkaji metafora dalam film The King’s Speech. Metafora yang dikaji adalah metafora yang muncul dalam percakapan antartokoh pada film The King’s Speech. Efendi dalam penelitiannya mendeskripsikan jenis-jenis metafora yang ditemukan dalam tuturan para antartokoh di dalam film tersebut, mendeskripsikan fungsi atau peran elemen penyusunnya, serta mendeskripsikan konteks penggunaannya.

Kajian terkait metafora pernah dipaparkan oleh Kovecses (2000). Di dalam bukunya yang berjudul Metaphor and Emotion, Kovecses menyinggung tentang metafora dan metonimi. Keduanya itu termasuk ke dalam bahasa figurative dan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pengkonseptualisasian terhadap emosi. Adapun salah satu konsep emosi yang disinggung di dalam tulisannya adalah mengenai metafora cinta. Kovesces (dengan dibantu beberapa mahasiswanya) melakukan sebuah riset terkait keuniversalan konsep metafora mengenai emosi dengan cara menelaah beberapa majalah yang berbahasa Inggris dan beberapa majalah berbahasa Hungaria. Mereka ingin mengetahui apakah ada kesamaan atu ketidaksamaan dalam pengkonsepan emosi (salah satunya adalah mengenai cinta) dalam kedua bahasa tersebut.

Dalam bab kedua bukunya yang menampilkan contoh-contoh metafora cinta, kesemua contoh tersebut diambil dari majalah yang berbahasa Inggris. Setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa ada beberapa struktur metafora yang sama dalam bahasa Hungaria yang ditemukan pula dalam bahasa Inggris. Namun, di dalam tulisannya, Kovecses juga menyimpulkan bahwa kesamaan pengkonsepan terkait emosi mungkin saja terjadi dalam dua bahasa yang berbeda.

(17)

Namun, tentu saja akan tetap ada perbedaan dan ketidaksamaan dalam beberapa hal terkait konsep emosi yang diusung. Satu konsep terkait emosi di satu bahasa mungkin saja tidak ditemukan di bahasa yang lain. Sebagai contoh adalah konsep bahagia.

Bahasa Cina dan bahasa Inggris memiliki kesamaan konsep tentang happiness: up, light, fluid in a container. Namun, ada konsep kebahagiaan yang ada di dalam bahasa Cina tidak ditemukan di dalam bahasa Inggris seperti Happines is flowers in the heart (Yu, 1995 in Kovecses, 2000:170). Menurut Yu, aplikasi dari bunyi metafora tersebut merefleksikan ke-introvert-an karakter orang Cina. Beliau melihat bahwa konsep metafora tersebut berkontras dengan metafora bahasa Inggris (Amerika) being Happy is being of the ground, yang tidak ditemukan di dalam bahasa Cina. Kesimpulan yang dipaparkan di dalam bukunya bahwa beberapa metafora (kemungkinan besar) merefleksikan gagasan universal. Namun, di sisi lain, ada pula metafora-metafora dan metonimi yang mungkin spesifik ke dalam sebuah budaya, dikarenakan kemungkinan adanya perbedaan pengalaman fisik yang tidak dialami oleh budaya yang lain.

Banyaknya kajian-kajian terdahulu terkait metafora yang ditemukan dan dipaparkan di atas jelas menunjukkan bahwa metafora merupakan sebuah objek kajian yang cukup menarik dan cukup diminati untuk dibahas. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak agar lebih bersifat konkret sehingga di dalam metafora terdapat dua buah domain yaitu domain yang abstrak dan domain yang konkret. Kedua domain tersebut saling

(18)

berkorespondensi. Munculnya metafora juga diakibatkan oleh kemampuan daya kreativitas manusia agar ungkapan manusia tidak monoton.

Dari keunikan tersebut, penelitian ini tertarik untuk mengupas dan mengkaji metafora. Namun, kajian yang akan dilakukan ini memiliki beberapa perbedaan dari kajian-kajian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya. Hampir semua penelitian sebelumnya menelaah metafora secara umum, baik itu dalam bahasa Indonesia, daerah, maupun bahasa asing. Namun penelitian ini memfokuskan metafora dalam ranah percintaan, yakni hanya pada ungkapan metaforis yang berhubungan dengan cinta.

Diakui bahwa ada salah satu kajian terdahulu terkait metafora emosi oleh Kovesces. Namun, Kovecses tidak begitu mefokuskan penelitiannya terkait cinta, tetapi hampir pada keseluruhan emosi. Penelitian-penelitian sebelumnya juga belum pernah ada yang mengangkat topik metafora di dalam karya-karya yang diusung oleh Shakespeare, termasuk Kovesces. Kovesces mengambil data terkait emosi (salah satunya adalah cinta) dari majalah America berbahasa Inggris. Berbeda dengan itu, penelitian ini mengupas data terkait metafora cinta dari karya-karya yang dihasilkan oleh Shakespeare yang berbentuk naskah drama. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang besar dapat digariskan.

1.6 Landasan Teori

Subbab Landasan teori berikut akan memaparkan tentang teori metafora secara umum, dan beberapa teori lainnya seperti teori metafora konseptual dan Medan Semantik Metafora Menurut Michael C. Halley yang digunakan dalam

(19)

menganalisa data dalam penelitian ini. Selain itu, subbab ini juga akan berisikan tentang bentuk lingual metafora berdasarkan sintaksis, serta mengenai konteks.

1.6.1 Pengertian Metafora

Pada dasarnya beberapa ahli telah banyak menyinggung tulisan mengenai metafora dalam buku-buku mereka. Pembicaraan mengenai metafora ada yang berupa sepintas lalu dan ada pula yang mengkhususkan uraiannya dalam sebuah bab. Kridalaksana (2008) dalam kamus linguistiknya mendefinisikan metafora sebagai pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan. Kridalaksana memisalkan metafora seperti kaki gunung dan kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia.

Hal yang senada juga dinyatakan oleh Hornby (1995) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary yang mendefinisikan metafora sebagai penggunaan imaginatif sebuah kata atau frasa untuk menggambarkan/atau mendeskripsikan seseorang/sesuatu sebagai objek lain untuk menunjukkan bahwa keduanya memiliki kualitas yang sama dan juga untuk membuat pendeskripsiannya lebih kuat.

Pendefinisian metafora yang hampir mirip dengan pendefinisian yang ditemukan dalam kamus-kamus sebelumnya juga ditemukan dalam Merriam Webster Online Dictionary. Metaforadidefinisikan sebagai a word or phrase for one thing that used to refer to another thing in order to show or suggest that they are similar. Dikemukakan pula bahwa Origin of middle English methaphor, from Middle French metaphore or Latin metaphora, from Greek

(20)

Metapherein “to transfer”, from meta- + pherein to bear – more at bear. Dengan kata lain, metaphor dalam bahasa Inggris berasal dari kata bahasa Yunani metapherein yang terbentuk dari kata meta yang berarti mentransfer dan pherein yang berarti membawa. Diperkirakan metafora dipergunakan pertama kali sejak abad kelima belas.

Subroto (2011) dalam bukunya menguraikan metafora yang penjabarannya tertuang dalam satu bab khusus. Menurut Subroto, metafora dapat dipandang sebagai bentuk kreativitas penggunaan bahasa. Dapat dikatakan bahwa yang kreatif adalah penggunanya. Metafora pada dasarnya diciptakan atas dasar persamaan (similarity) antara dua satuan atau antara dua term. Persamaan tersebut tidak menyeluruh sifatnya, tetapi hanya dalam beberapa bagian aspek saja. Persamaan yang ditunjukkan dapat berupa wujud fisiknya, atau dalam hal sifat atau karakternya, atau bahkan berdasarkan persepsi seseorang (persepsi diartikan sebagai daya tangkap, daya paham, daya merasakan).

Persamaan dalam wujud fisik adalah yang paling mudah ditangkap dan dapat diamati secara nyata. Yang termasuk golongan ini adalah punggung bukit, kaki bukit, leher botol, mulut botol, perut botol, bibir sumur, kaki meja, kaki kursi, tangan kursi dan lain sebagainya. Metafora yang diciptakan berdasarkan kemiripan/kesamaan karakter atau watak (untuk sebagiannya) antara dua term dapat dilihat dalam tuturan metaforik sebagai berikut; “kerbau lu; babi lu; setan lu; suamiku benar-benar kuda Sumbawa”. Tuturan “kerbau lu; babi lu; setan lu” biasanya muncul dalam kondisi ketika

(21)

seseorang marah kepada orang lain. Dalam kaitan ini “lu (kamu, menurut dialek Jakarta) bukanlah kerbau atau babi atau setan dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini, penutur marah kepada mitra tutur yang sebagian sifatnya mencerminkan sifat/karakter yang dimiliki (secara sebagian) dengan “kerbau, babi, ataupun setan”. Misalnya sifat “mengikuti kehendak sendiri atau tidak tahu malu atau tidak punya etika atau suka mengganggu orang atau malah tak punya tatakrama.

Adapun yang dimaksud berdasarkan persepsi seseorang di atas bisa terlihat dalam contoh ungkapan berikut. Misalnya, ungkapan “waktu adalah uang”. Ungkapan tersebut menyatakan betapa berharganya “waktu” menurut persepsi kebanyakan orang, bahkan termasuk masyarakat barat (time is money). Namun demikian, tidak pada semua aspek dari kata waktu yang dimaksud, hanya pada aspek tertentunya saja. Jadi, bila ada ungkapan ‘nanti uangnya saya kembalikan” tidak dijumpai ungkapan “nanti waktunya saya kembalikan”.

Parera (2004:130-131) mendeskripsikan metafora sebagai salah satu jalan pintas dalam pemberian nama untuk suatu lambang tertentu. Hal ini dikarenakan tidak semua pengalaman baru dapat diberikan nama-nama atau simbol yang baru pula. Adanya keterbatasan manusia dalam penamaan dikarenakan manusia menemukan pengalaman yang lain dan berbeda dengan pengalaman dasar yang pertama. Oleh karena itulah, manusia mencari jalan pintas dalam pemberian nama yang oleh Parera disebut dengan metafora.

(22)

Becker mengemukakan bahwa metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, laksana, seperti, ibarat, dan sebagainya. Ketidakhadiran kata-kata inilah yang membedakan metafora dari simile (Pradopo, 2002: 66). Poedjosoedarmo (2001:136) lebih menekankan metafora sebagai hasil dari sebuah penambahan dan perluasan konteks yang dialami oleh sebuah kata. Dalam hal ini, Poedjosoedarmo mengaitkan dengan erat hubungan antara metafora, personifikasi, polisemi, dan semacamnya sebagai produk permainan konteks.

Ullmann (yang diadaptasi oleh Sumarsono, 2012:265) menjabarkan bahwa struktur dasar dari metafora sangatlah sederhana. Kuncinya hanya ada dua yakni membandingkan sesuatu yang sedang kita bicarakan dengan sesuatu yang kita pakai sebagai bandingannya. Dengan kata lain metafora digunakan untuk menggambarkan sebuah realitas dengan konsep realitas yang lain.

Pada dasarnya pembicaraan mengenai metafora telah ada dan menjadi bahan studi sejak zaman kuno Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles mendefinisikan metafora sebagai ungkapan kebahasaan untuk menyatakan hal yang bersifat umum untuk hal yang bersifat khusus atau dengan analogi (dalam Wahab, 1986: 5). Quintillian menyatakan pula bahwa metafora adalah ungkapan kebahasaan untuk menyatakan sesuatu yang hidup bagi makhluk hidup lainnya, yang hidup untuk yang mati, ataupun yang mati untuk yang mati.

(23)

Dari kedua definisi metafora yang diusung oleh Aristoteles dan Quintilian tersebut, Wahab membuat sebuah pengertian terkait metafora agar tidak terperangkap ke dalam dikotomi umum-khusus model Aristotels atau dikotomi hidup mati model Quintilian. Wahab (1986: 11) menyatakan bahwa metafora, dalam definisi yang agak longgar, adalah sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain, metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan hal sejenis yang dimaksudkan untuk perihal yang lain.

Berdasarkan pemaparan mengenai beberapa definisi metafora di atas, dapat disimpulkan bahwa metafora adalah ungkapan kebahasaan yang digunakan untuk mengungkapkan atau membandingkan suatu hal dengan hal lainnya dengan melihat kesamaan ciri, bentuk, ataupun sifat dari kedua hal yang sedang dibandingkan.

1.6.2 Teori Metafora Konseptual

Terdapat dua teori mengenai metafora, yakni teori metafora linguistik dan teori metafora konseptual. Kedua teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memandang metafora. Teori metafora linguistik memandang bahwa suatu metafora terdiri dari tiga elemen yakni tenor, vehicle, dan ground. Tenor menurut Taylor (2003) (dalam Bagea, 2013: 40) atau juga disebut target domain (pebanding) merupakan konsep, objek, sesuatu yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan, dilambangkan, atau dibandingkan. Selain itu tenor juga disebut reseptor. Vehicle atau citra dan

(24)

juga disebut source domain (pembanding) merupakan konsep yang mendeskripsikan, mengiaskan, melambangkan tenor. Vehicle juga disebut sebagai pendonor dan merupakan lambang atau kiasan itu sendiri.

Terakhir adalah ground (sense atau persamaan) yang merupakan relasi persamaan antara tenor dan vehicle. Hubungan persamaan ini dapat berupa persamaan objektif seperti bentuk, tempat, sifat, atau kombinasi di antaranya, persamaan emotif, persamaan konsep, fungsi dan persamaan sosial dan budaya.

Berbeda dengan teori metafora linguistik yang memandang bahwa metafora terdiri dari tiga elemen pokok yakni tenor, vehicle dan ground, pada pandangan metafora konseptual, metafora hanya terdiri dari dua ranah konseptual yang salah satu ranah (domain) dimengerti atau dijelaskan domain lain. Menurut Kovesces (2002: 4) dua ranah tersebut adalah target domain dan source domain, yaitu hal yang dijelaskan atau dimengerti oleh source domain dan source domain adalah hal yang menjelaskan target domain. Teori ini juga disebut teori metafora kognitif karena dikembangkan oleh para linguis kognitif.

Teori ini berkembang ketika sebuah buku yang berjudul Metaphor We Life by diterbitkan oleh Lakoff dan Johnson (1980) yang merupakan linguis kognitif. Teori yang mereka kemukakan di dalam bukunya menghasilkan pandangan baru bahwa metafora mempertunjukkan peta kognitif dari satu ranah pebanding kepada ranah pembanding sehingga menyebabkan pembanding terikat dalam pengalaman fisik spasial melalui ranah pebanding.

(25)

Satu skema metafora merupakan satu representasi mental yang mengikat struktur konseptual dari ranah abstrak ke ranah indrawi yang lebih fisikal.

Dengan kata lain, metafora berupaya untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sesuatu lain yang bersifat lebih nyata. Selain itu, metafora juga berada pada sistem kognitif manusia karena metafora menunjukkan bagaimana pikiran mempersepsi atau membentuk kenyataan. Sebagai contoh konsep-konsep seperti time is money masuk dan meresap ke dalam bahasa yang digunakan oleh manusia dan hal ini disebut oleh black (2006:104, dalam Bagea, 2013:43) sebagai conceptual metaphor.

Berdasarkan pejelasan terkait struktur metafora di atas, dalam penelitian ini digunakan istilah target domain ‘ranah target’ untuk merujuk pada hal yang sedang dijelaskan (yang dalam penelitian ini adalah cinta) dan source domain ‘ranah sumber’ yang merujuk pada hal yang menjelaskan target domain. Untuk Hubungan antara ranah sumber dan ranah target, akan direpresentasikan dalam konstruksi klausa sederhana dengan menggunakan kopula atau equative verb seperti ‘adalah’ dalam bahasa Indonesia dan be (am, is, are, was, were, been), seem, become dalam bahasa Inggris.

Konsep ranah target menduduki posisi subjek, sedangkan ranah sumber menjadi pelengkap. Sebagai contoh adalah kata ‘cinta’ yang merupakan ranah target yang dijelaskan sebagai ‘entitas yang bisa dilihat dan disentuh’ yang berupa ranah sumber. Contoh tersebut dapat dikonstruksikan menjadi #LOVE IS AN OBJECT THAT CAN BE SEEN# ‘Cinta adalah entitas yang bisa dilihat’. Dalam konstruksi tersebut, love ‘cinta’ merupakan topik

(26)

atau ranah target yang sedang dijelaskan dengan ‘entitas yang bisa dilihat dan disentuh’ sebagai dasar penjelasan konsep yang diperoleh.

Konstruksi ranah target dan ranah sumber tersebut disimpulkan berdasarkan contoh data berikut.

(24) This love of theirs my self have often seen ‘aku telah sering melihat cinta mereka’ (Two Gentlemen of Verona)

Kalimat dalam data (24) merupakan kalimat yang metaforis. Hal ini ditunjukkan oleh kata love yang diumpamakan sebuah entitas konkret yang bisa dilihat. Padahal cinta merupakan entitas yang tidak konkret atau abstrak. Sebagaimana definisi see ‘melihat’ dalam kamus OALD: to be conscious of what is around you by using your eyes. Dengan kata lain, data (24) menyatakan bahwa cinta adalah sebuah objek yang bisa dilihat dengan mata. Untuk lebih menegaskan bahwa kata see disandingkan dengan kata yang berfitur konkret, ditunjukkan distribusi kata see sebagai berikut.

(24a) I can see you ‘aku bisa melihatmu’ (CALD)

(24b) The teacher could see (that) the children had been fighting ‘Guru itu bisa melihat (bahwa) anak-anak muridnya sedang berkelahi’ (CALD)

(24c) his parents saw him awarded the winer’s medal ‘orangtuanya melihatnya dianugerahi medali emas’ (CALD)

Dalam contoh (24a) sampai dengan (24c), kata see disandingkan dengan kata you, the children, dan him. Ketiga kata tersebut mengacu pada entitas yang berfitur [+konkret]. Oleh karena itu, bisa dikonstruksikan dari kalimat tersebut bahwa #LOVE IS AN OBJECT THAT CAN BE SEEN# ‘Cinta adalah entitas yang bisa dilihat’. Adapun konsep yang menunjukkan kesamaan yang dapat menghubungkan antara konsep ranah target dan ranah

(27)

sumber yang biasa disebut dengan Ground akan dipaparkan pula dalam bab pembahasan. Selain itu, dimasukkan pula fitur-fitur semantik yang dimiliki oleh kedua ranah untuk menegaskan hasil konstruksi yang telah dibuat demi menunjukkan dan membuktikan kemetaforisan data yang ditemukan.

1.6.3 Bentuk Lingual Metafora Berdasarkan Posisi Sintaksis

Wahab (2008: 72) membagi metafora menjadi 3 kelompok dilihat dari posisi sintaksisnya. Kelompok tersebut yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat. Pada metafora nominatif, lambang kias metafora hanya berada pada posisi nomina kalimat. Namun, dikarenakan posisi nomina di dalam kalimat berbeda-beda, ada yang sebagai subjek dan ada pula yang sebagai objek, metafora nominatif ini dibagi menjadi dua macam, yakni metafora nominatif subjektif (yang posisinya sebagai subjek) dan metafora nominatif objektif (yang posisinya sebagai objek).

Metafora objektif lazim pula disebut sebagai metafora nominatif komplementatif. Pada kedua macam metafora ini, lambang kias hanya pada subjek dan objek atau komplemen kalimat yang dimaksud, sedangkan komponen lain dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata yang mempunyai makna langsung.

Metafora yang kedua adalah metafora predikatif. Dalam jenis ini, kata-kata lambang kiasnya hanya terdapat pada predikat kalimat, sedangkan subjek dan komplemen kalimat masih dinyatakan dalam makna langsung. Jenis metafora terakhir berdasarkan posisi sintaksisnya adalah metafora kalimat. Jenis metafora ini, seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas

(28)

pada nominatif (baik subjek maupun objek) dan predikat saja, tetapi keseluruhan komponen dalam kalimat metaforis itu merupakan lambang kias.

Maksud yang sama namun dengan istilah yang sedikit berbeda dengan Wahab disampaikan oleh Deignan. Deignan (2005: 148) mengemukakan bahwa bentuk lingual ungkapan metaforis berdasarkan kategori sintaksisnya terdiri atas nomina, verba dan ajektiva. Deignan (2006: 109, dalam Nirmala, 2012: 42-43) dalam tulisannya yang berbeda, menyatakan apabila dibandingkan dengan makna literalnya, ungkapan metaforis kadang berubah kategori sintaksisnya.

Sebagai contoh adalah kata squirrel dalam klausa berikut, “…as consumers squirrel away huge sums for the downpayment on a home …” ‘karena para konsumen mengambil uang yang banyak secara diam-diam dan berkali-kali untuk mengangsur rumahnya’. Pada umumnya, ungkapan squirrel berkategori nomina, namun dalam contoh di atas, kata squirrel berubah menjadi kategori verba yang digunakan untuk mengacu suatu tingkah laku yang dilakukan oleh binatang yang diacu, yaitu tupai.

Penelitian ini akan menggabungkan kedua pendapat baik Wahab maupun Deignan mengenai bentuk lingual ungkapan metaforis dilihat dari segi sintaksisnya. Penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana perubahan kategori sintaksis kata dapat mengakibatkan kata yang tidak metaforis menjadi ungkapan yang metaforis. Sebagai contoh adalah kata squirrel yang telah dijelaskan sebelumnya.

(29)

1.6.4 Konteks

Konteks merupakan unsur yang penting dalam pembuktian apakah keberadaan sebuah kata bermakna metaforis atau tidak. Kemunculan makna yang berbeda dari sebuah kata yang menyiratkan unsur metaforis di dalamnya disebabkan oleh adanya konteks yang melekat ketika kata tersebut digunakan. Adapun konteks yang dimaksud di sini adalah konteks kalimat. Bila tidak berada dalam konteks sebuah kalimat, sebuah kata masih diragukan statusnya apabila hanya berdiri sendiri tanpa berada dalam satuan kalimat. Hal ini dikarenakan kata tersebut akan dapat diidentifikasi bila kata tersebut digunakan dalam konstruksi kalimat.

Poedjosoedarmo (2001: 105-114) telah memaparkan cukup panjang mengenai konteks. Beliau mengemukakan bahwa hakikat konteks merupakan hal-hal yang berhubungan dengan sebuah butir atau unit linguistik. Konteks dapat berupa sebuah unit linguistik dan dapat juga berupa hal-hal di luar linguistik atau hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di luar butir linguistik. Namun, yang dibahas dalam tulisan ini hanyalah konteks yang berada di dalam linguistik. Konteks tersebut yaitu berupa unit-unit kebahasaan itu sendiri.

Konteks yang mempengaruhi sebuah fonem adalah bunyi apa saja yang dapat menjalinnya. Konteks dari sebuh morfem adalah bentuk morfem dan kata apa saja yang dapat menjalinnya. Begitu pula dengan jalinan kata dengan kata pada konstruksi sintaksis. Kesemuanya itu merupakan contoh jalinan konteks yang dimaksudkan. Pada akhirnya, terbentuklah beberapa istilah

(30)

yang disebut oleh Poedjosoedarmo sebagai alofon pada tataran fonologi, alomorf pada tataran morfologi, alotog pada tataran sintaksis, dan alosem pada tataran semantik (makna).

Contoh konteks yang dimaksud bisa dilihat pada contoh perbedaan makna yang dikandung oleh kata food ‘makanan’ pada masing-masing konstruksi tersebut memperlihatkan bentuk metafora hanya akan hadir ketika sebuah kata dimasukkan ke dalam konstruksi kalimat. Jika sebuah kata itu berdiri sendiri, kata food ‘makanan’ hanya akan berstatus kata biasa dengan tetap mengemban makna sesungguhnya sebagaimana dalam kamus.

Sesungguhnya fenomena inilah yang menjadi salah satu faktor terbentuknya metafora yakni adanya perbedaan fitur semantik yang berimplikasi pada ketidakmungkinan valensi konteks yang melekati sebuah kata. Pembahasan terkait fitur semantik yang berimplikasi valensi ini akan dipaparkan pada subbagian berikutnya.

1.6.5 Kategori Medan Semantik dalam Penciptaan Metafora Berdasarkan Hirarki Ruang Persepsi Manusia Menurut Michael C. Haley.

Bagian tertentu dari leksikon yang didefinisikan dengan istilah atau konsep umum dipahami sebagai medan semantik. Menurut Haley (1980: 139), bahasa yang digunakan dalam penciptaan metafora tergantung pada lingkungan sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan persepsi manusia terjadi dalam suatu keseluruhan dengan lingkungannya. Wahab mendukung pula pernyataan yang dikemukakan Haley. Sesuai dengan pernyataannya

(31)

(2008:86) “… sampai sekarang, menurut perbendaharaan bacaan saya, belum ada sistematika medan semantik persepsi manusia yang lebih dari apa yang telah diusulkan oleh Haley tersebut.”

Dalam artikelnya yang berjudul “Concrete Abstraction: The Linguistic Universe of Metaphor”, yang kemudian dikembangkan lagi dalam disertasinya pada Florida State University yang berjudul “Metaphor and The Linguistics of Space: A Psycholinguistics Model of Figurative Language” (1975), Haley membuat suatu sistematika atau peta kategori medan semantik dengan pendekatan psikolinguistik berdasarkan hierarki ruang persepsi manusia dalam menciptakan metafora. Model linguistik tersebut disusun untuk menjelaskan keterkaitan antara ruang lingkup psikologis (psychological space) dan pengetahuan yang dimiliki seorang penutur (speaker’s knowledge) tentang bagaimana sebuah kata itu dapat dipergunakan. (Lunsford dalam Ching, 1980: 158; Bagea, 2013: 49) model tersebut dapat diterapkan baik pada metafora nominative maupun metafora predikatif.

Medan semantik metafora (menurut Haley (1980: 139-154) dan Lunsford (1980: 155), dalam Bagea (2013: 50) terdiri dari sembilan jenis, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Medan Semantik Metafora Menurut Haley

Category Noun Predicate

Type Example Type Example

Being Abstraction Truth Being Exist

(32)

Energetic Energies Light Motion Cross Substansial Substanse Hydrogen Inertia Push Terrestrial Earth-bound

substances

Water Gravity Fall

Objective Objects Glass Shape Break

Living Flora Plant Life Grow

Animate Fauna Horse Animation Run

Human Human Man Intellection Think

Dengan mengacu pada kerangka berpikir Michael C. Halley (1980) tentang ruang persepsi manusia dalam menciptakan metafora, Wahab mencoba melihat keadaan sistem ekologi di mana metafora tersebut diciptakan. Wahab (2008) berpendapat bahwa studi tentang metafora dapat dikaitkan dengan sistem ekologi manusia. Hal ini dikarenakan dalam menciptakan metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya. Ini akibat dari interaksi yang diadakan manusia dengan lingkungannya. Dengan sendirinya, keadaan sistem ekologi suatu kelompok masyarakat akan tercermin dalam penggunaan metafora yang diciptakan oleh kelompok masyarakat itu.

Wahab (2008) menyatakan bahwa persepsi manusia terhadap sistem ekologi tersusun dalam suatu hirarkhi yang teratur. Dengan demikian pula, pada kalangan penyair dan sastrawan, ruang persepsi manusia yang mempengaruhi penciptaan metafora juga tersusun menurut hirarkhi teratur.

(33)

Lebih lanjut, Wahab menjelaskan bahwa metafora universal diambil dari medan semantik yang diciptakan Michael C. Halley. Berdasarkan medan semantik pembandingnya, medan semantik metafora universal dibagi menjadi sembilan (Halley, 1980: 155-159) seperti yang telah ditunjukkan dalam tabel di atas dan dipertegas pula oleh Wahab (1990: 127-128).

1) Being (Ke-ada-an) yaitu metafora yang meliputi hal-hal yang abstrak seperti kebenaran, kasih sayang, kebencian, dan lain-lain. Contoh dalam larik Song of the Open Road: The Efflux of the Soul is Happines- Here is Happiness terdapat metafora happiness di dalamnya yang merupakan lambang dari The efflux of the soul. Happiness “kebahagiaan” merupakan hal yang bersifat abstrak.

2) Cosmos (Kosmos) yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos seperti matahari, bumi, langit, dan lain sebagainya. Predikasi benda-benda kosmos ini adalah menempati ruang, berada di sebuah ruang. 3) Energetic (Energi) yaitu metafora yang berkaitan dengan hal-hal yng

memiliki kekuatan, seperti angin, cahaya, api, dan lain sebagainya dengan predikasinya dapat bergerak.

4) Substance (Substansi) yaitu metafora yang meliputi jenis-jenis gas dengan predikasinya dapat memberikan kelembaban, bau, tekanan, dan sebagainya.

5) Terrestrial (Terestrial) yaitu metafora yang berkaitan dengan hal-hal yang terikat atau terbentang di permukaan bumi misalnya sungai, laut, gunung, dan sebagainya. Adapun hal yang berkaitan dengan gravitasi

(34)

atau segala sesuatu yang jatuh karena pengaruh gravitasi bumi/berat badan seperti tenggelam, jatuh, dan sebagainya juga masuk ke dalam medan semantik ini.

6) Object (Benda) yaitu metafora benda mati yang meliputi benda-benda yang tak bernyawa dan dapat dilihat seperti kursi, meja, gelas, piring, dan sebagainya yang bisa hancur dan pecah.

7) Living (Kehidupan) yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis-jenis tumbuhan (flora), seperti rumput, daun, pohon, dan lain sebagainya.

8) Animate (Makhluk Bernyawa) yaitu metafora yang berhubungan dengan makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang, makan, dan lain sebagainya. Misalnya sapi, kerbau, kuda, anjing, dan lain sebagainya. 9) Human (Manusia) yaitu metafora yang berhubungan dengan makhluk

yang dapat berpikir dan mempunyai akal.

Sesuai dengan sifatnya yang hirarkis, setiap kategori tersebut harus dipahami sebagai sub-kategori yang ada di atasnya (Halley, dalam Ching, 1980: 147). Hal itu disebabkan karena manusia sebagai suatu individu pada umumnya mengklasifikasikan kata-kata dalam sistem leksikon mereka menurut keterkaitan fisik antara si individu dan referen atau yang diacu oleh kata tersebut (referent). Manusia juga memiliki kecendrungan untuk menempatkan diri mereka sendiri sebagai pusat dari alam semesta, sehingga alam sekitarnya pun dilihat dari sudut pandang seperti itu (Lunsford, dalam Halley, 1980: 158).

(35)

Penelitian ini akan menggunakan teori medan semantik metafora berdasarkan ruang persepsi manusia menurut Michael C. Halley yang diadopsi oleh Wahab untuk melihat sistem ekologi manusia.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dikarenakan tujuan akhirnya adalah untuk menjelaskan dan menjabarkan semua fakta secara objektif terkait dengan ungkapan metaforis yang terdapat dalam karya-karya Shakespeare terkait cinta. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Djajasudarma (2006) bahwa metode penelitian deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, dengan maksud membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang tepat. Metode analisis kualitatif pun digunakan untuk menjelaskan bentuk lingual, jenis, serta cara pandang Shakespeare terkait cinta yang terefleksikan dalam ungkapan metaforis dalam karya-karyanya. Dalam subbab berikut dijelaskan tentang metode penyajian data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.

1.7.1 Metode Penyediaan Data

Metode penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-participant observation dengan taking notes atau dikenal dengan metode dokumentasi (Moleong, 2006: 159). Moleong menjelaskan bahwa metode dokumentasi digunakan pada saat mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari sumber sumber tertulis yang terdiri atas sumber buku, majalah, arsip, dan dokumen resmi.

(36)

Dokumentasi dalam penelitian ini diambil dari data yang dikumpulkan dengan penyimakan terhadap karya-karya Shakespeare. Naskah tersebut berupa semua naskah drama berbahasa Inggris yang dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul Shakespeare: Complete Works yang diedit oleh W. J. Craig, terbitan Oxford University Press sebanyak 37 buah naskah drama untuk mendapatkan ungkapan metaforis cinta.

1.7.2 Metode Penganalisisan Data

Data yang telah dikumpulkan sebelumnya kemudian diklasifikasikan berdasarkan keperluan variabel penelitian. Pada bagian ini digunakan metode distribusional. Metode distribusional digunakan untuk menunjukkan bentuk lingual metafora. Meskipun dalam rumusan masalah yang akan dibahas tidak memfokuskan menganalisis bentuk lingual metafora cinta, tetapi akan tetap disinggung sedikit dalam bab pembahasan.

Selanjutnya, digunakan metode Content Analysis digunakan untuk menganalisis makna ungkapan metaforis cinta. Dalam hal ini, akan digunakan konteks kalimat tempat kata-kata yang dianggap mengandung unsur metaforis itu dipakai lalu dilihat pula fitur-fitur semantiknya. Setelah didapatkan makna metaforisnya, selanjutnya dikelompokkan ungkapan metaforis yang ditemukan ke dalam jenis-jenis metafora berdasarkan medan semantik yang telah diusung oleh Haley.

Peneliti mencatat seluruh ungkapan metaforis cinta yang muncul dalam karya-karya Shakespeare. Kemudian unsur metaforanya akan dianalisis dengan menggunakan teori metafora konseptual terkait ranah rumber yang

(37)

dipakai untuk menerangjelaskan cinta. Penjabaran tentang ranah sumber akan ditunjukkan dalam bab.II terkait sistem konsep metafora yang telah ditemukan. Semua ranah target yang telah disimpulkan dikelompokkan ke dalam jenis-jenis metafora berdasarkan medan semantik yang sama yang diusung Michael C. Halley. Setelah dikelompokkan dan dijabarkan, selanjutnya dipaparkan cara pandang Shakespeare terkait cinta yang tercermin dari ungkapan metaforis cinta yang ditemukan.

Hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan kemunculan ungkapan metaforis berdasarkan jenis-jenis medan semantik yang telah disebutkan. Semua ungkapan metaforis yang ditemukan dalam karya-karya Shakespeare tersebut akan diberi nomor sebagai simbol dan dikumpulkan dalam bank data untuk memudahkan peneliti ketika akan menganalisis dan mengambil data yang diperlukan.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Penganalisisan Data

Untuk penyajian hasil dari penganalisisan data sebelumnya, digunakan metode formal dan metode informal. Metode formal dimaksudkan sebagai metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda-tanda ataupun lambang-lambang (Mahsun, 2007: 123). Metode informal dimaksudkan sebagai metode yang menyajikan kaidah-kaidah hasil analisis dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 19995: 145)

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini dibagi ke dalam 5 bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

(38)

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Adapun bab kedua, ketiga, dan keempat berisi uraian mengenai jawaban atas beberapa masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

Gambar

Tabel 1. Medan Semantik Metafora Menurut Haley

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa krioprotektan DMF dan gliserol menunjukkan kemampuan melindungi spermatozoa kuda dari efek pembekuan lebih

pendidikan internasional (International Education Standards/IES) sebagai panduan global untuk membentuk akuntan yang profesional. …pilar Kompetensi dalam Arsitektur Profesi

Dalam menghadapi situasi baru yang belum pernah terjadi  nilai kemungkinan obyektif tidak bisa diperoleh  dipakai konsep nilai. kemungkinan lain yang dapat menerangkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa validitas perangkat pembelajaran IPA SMP berorientasi model PBL untuk melatihkan keterampilan berpikir kreatif yang dikembangkan memiliki

bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka perlu meninjau kembali Kedudukan,

Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disingkat SP2D, adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk

Hasil pengukuran usability aplikasi web UMKM binaan BPPKU Kadin Kota Bandung menggunakan paket kuesioner PSSUQ menunjukkan bahwa secara umum dapat diterima dengan baik