• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. A. BOTANI DURIAN (Durio zibethinus Murr.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. A. BOTANI DURIAN (Durio zibethinus Murr.)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

BOTANI DURIAN (Durio zibethinus Murr.)

Durian sering dikenal dengan sebutan "raja dari segala buah" (King of Fruit), dan durian adalah buah yang kontroversial. Meskipun banyak yang menyukainya, sebagian yang lain tidak suka dengan aromanya. Durian berasal dari Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia (Sunarjono, 2005). Disebut durian, karena seluruh kulitnya keras dan berlekuk-lekuk tajam menyerupai duri.

Durian di Jawa dikenal sebagai duren (bahasa Jawa, bahasa Betawi) dan kadu (bahasa Sunda). Di Sumatera dikenal sebagai durian dan duren (bahasa Gayo). Di Sulawesi, orang Manado menyebutnya duriang, sementara orang Toraja duliang. Di Pulau Seram bagian timur disebut rulen. Gambar buah durian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Daging durian dan durian utuh

Klasifikasi lengkap tanaman durian adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Eudicots Kelas : Rosids Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Durio Spesies : D. zibethinus

Pohon durian berukuran besar dan dapat mencapai tinggi hingga 30 m. Durian mulai berbuah ketika mencapai umur 9 tahun, dari bunga sampai menjadi buah memakan waktu sekitar 5 bulan (Natawidjaja, 1983). Bentuk buah bulat hingga lonjong dan berduri. Buah durian berbiji banyak (antara 1-40 biji) dengan daging buah membalut biji yang terdapat dalam ruang buah (juring). Buah memiliki 1-7 ruang. Tiap ruang terdapat 1-6 buah biji (pongge). Tiap pongge mengandung satu biji bernas atau kempes (Sunarjono, 2005).

Ada beberapa varietas durian yang berasal asli dari Indonesia maupun luar Indonesia, diantaranya: durian Ajimah, durian Bokor, durian Bubur, durian Chanee, durian Hepe, durian Kamun, durian Kan Yao, durian Kani, durian Kendil, durian Kradhum Thong, durian Lambau, durian Lutung, durian Monthong, durian Otong, durian Parung, durian Perwira, durian Petruk, durian Saleja, durian

(2)

Si Dodol, durian Si Hijau, durian Si Japang, durian Si Kirik, durian Si Mas, durian si Mimang, durian si Riwig, durian Si Welaki, durian Sitokong, dan lain-lain.

Kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor dalam buah durian cukup tinggi. Selain itu, kandungan kalori pada buah durian juga cukup tinggi. Kandungan gizi buah durian disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Data gizi durian matang tiap 100 gram

Komponen Gizi Jumlah

Kalori (kalori) 134 Protein (gram) 2.5 Lemak (gram) 3 Karbohidrat (gram) 28 Kalsium (gram) 0.74 Fosfor (gram) 0.44 Besi (gram) 0.013 Vitamin A (IU*) 175 Vitamin B1 (gram) 0.001 Vitamin C (gram) 0.53 Sumber: Natawidjaja, 1983

*IU singkatan dari Internasional Unit, 1 gram vit. A = 4,500,000 IU

B.

PROSES PENGGORENGAN

Salah satu proses pengolahan pangan yang banyak digunakan di industri pangan adalah proses penggorengan. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas (Muchtadi, 2008). Secara umum tujuan dari proses penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan yang digoreng.

Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan yang spesifik sehingga makanan menjadi kenyal dan renyah, jumlah kalori makanan meningkat setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna karena adanya lemak yang terserap dalam makanan (Winarno, 1999).

Muchtadi (2008) menyatakan bahwa berdasarkan metode pindah panas yang terjadi selama penggorengan, terdapat dua metode penggorengan yang telah ditetapkan secara komersial yaitu shallow/pan frying atau penggorengan dangkal dan deep-fat frying.

1.

Shallow/Pan Frying atau Penggorengan Dangkal

Shallow atau pan frying adalah proses penggorengan dengan menggunakan sedikit minyak goreng, sehingga proses penggorengan terjadi pada minyak yang dangkal (shallow). Pada metode penggorengan seperti ini, bahan yang digoreng tidak seluruhnya terendam dalam minyak. Bahan pangan akan mengalami kontak langsung dengan wajan atau pan penggorengan. Konsekuensi dari proses penggorengan ini adalah proses pematangan dan pencoklatan tidak terjadi secara

(3)

2.

Deep-Fat Frying

Metode deep-fat frying yaitu metode penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang banyak sehingga bahan pangan yang digoreng terendam seluruhnya dalam minyak goreng. Proses penggorengan ini akan menghasilkan bahan pangan yang digoreng matang secara merata, serta warnanya cenderung seragam.

Sedangkan berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik, bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosferik, dan pada kondisi vakum. Kondisi proses tersebut akan mempengaruhi suhu proses penggorengan yang terjadi, dan juga mutu produk gorengan yang dihasilkan (Muchtadi, 2008).

C.

PERUBAHAN BAHAN PANGAN KARENA PROSES PENGGORENGAN

Proses penggorengan akan merubah karakteristik produk yang digoreng. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan warna, rasa, aroma dan tekstur. Makanan yang digoreng umumnya mempunyai struktur yang sama, yaitu terdiri dari inner zone (core), outer zone (crust) dan outer zone surface. Gambar 2 menunjukkan penampang melintang makanan yang digoreng.

Gambar 2. Penampang melintang makanan goreng (Robertson, 1967 dalam Subekti 1993)

Outer zone surface adalah bagian paling luar dari makanan goreng yang berwarna cokelat kekuning-kuningan. Warna cokelat merupakan hasil dari reaksi Maillard. Outer zone (crust) adalah bagian luar makanan goreng yang merupakan hasil dehidrasi dari proses penggorengan. Sedangkan inner zone (core) adalah bagian makanan yang masih mengandung air (Robertson, 1967 dalam Subekti 1993).

Muchtadi (2008) menyebutkan beberapa perubahan yang terjadi pada bahan pangan yang mengalami proses penggorengan, antara lain: pembentukan crust, perubahan citarasa, aroma, tekstur, warna, pengurangan air, penyerapan minyak, kerusakan vitamin, galatinisasi pati, denaturasi/ koagulasi protein.

D.

MESIN PENGGORENG VAKUM (VACUUM FRYER)

Proses penggorengan vakum (vacuum frying) pada dasarnya adalah proses penggorengan yang dilakukan pada tekanan rendah (-70 cm Hg), sehingga suhu penggorengan dapat turun menjadi 85oC (Lastriyanto, 2006). Dengan demikian kerusakan gizi dari komoditas yang diolah dapat ditekan,

Inner zone (core)

Outer zone surface

(4)

proses dapat diterapkan pada komoditi peka panas seperti buah-buahan dan sayuran. Proses tersebut mempergunakan mesin penggoreng vakum (vacuum fryer), dimana mesin ini terdiri dari 5 (lima) komponen, yakni: pompa vakum, tabung penggoreng, pengendali temperatur, kondensor, dan sumber pemanas (Gambar 3). Secara skematis hubungan antar komponen ditunjukkan pada Gambar 4, adapun fungsi bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pompa vakum: merupakan komponen terpenting dari sistem penggoreng vakum, dipergunakan pompa vakum sistem water-jet, karena mempunyai kelebihan: tidak mempergunakan oli, seal, bantalan, dan poros sehingga rendah biaya operasinya dan pemeliharaannya.

2. Tabung/ Ruang penggoreng: berfungsi untuk mengkondisikan bahan yang diproses agar sesuai dengan tekanan yang direkomendasikan. Di dalamnya berisi minyak sebagai media pindah panas yang dilengkapi dengan pengaduk dan mekanik angkat celup (lifting & dipping mechanism). 3. Kondensor: berfungsi untuk mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama penggorengan,

kondensor ini mempergunakan air sebagai media pendingin pada pabrik besar pendinginan mempergunakan menara pendingin.

4. Unit pemanas: sumber panas dapat mempergunakan boiler, namun memerlukan biaya investasi dan operasi tersendiri. Untuk mesin skala industri rumah tangga sebaiknya mempergunakan LPG karena sistem kendalinya tidak terlalu sulit.

5. Unit pengendali operasi: Unit ini keberadaannya sangat penting, karena suhu proses dilakukan pada suhu dibawah suhu didih media pemanas. Toleransi suhu sangat rendah sehingga pemilihan sensitivitas pengendali suhu menjadi sangat penting.

(5)

Gambar 4. Gambar skema mesin penggoreng vakum sistem jet air Keterangan:

1. Sumber panas 8. Kondensor

2. Tabung penggoreng 9. Saluran hisap uap air

3. Tuas pengaduk 10. Water-jet

4. Pengendali suhu 11. Pompa sirkulasi

5. Penampung kondensat 12. Saluran air pendingin

6. Pengukur vakum 13. Bak air sirkulasi

7. Keranjang penampung bahan 14. Kerangka

E.

KEMASAN DAN JENIS-JENIS KEMASAN

Pengemasan mempunyai peran penting dalam rantai penyaluran makanan (food supply chain). Pengemasan merupakan suatu cara untuk memberikan kondisi lingkungan yang tepat pada produk pangan. Pengemasan makanan harus mampu memenuhi kebutuhan dan persyaratan tertentu.

Secara tradisional, kemasan makanan membuat distribusi menjadi lebih mudah. Kemasan harus mampu melindungi makanan dari kondisi lingkungan sekitar, seperti: cahaya, oksigen, kelembaban, mikroba, beban mekanis dan debu. Fungsi dasar lainnya adalah kemasan dapat dilabel untuk menyediakan informasi kepada konsumen (Ahvenainen, 2003).

Syarief et. al. (1989) menyatakan bahwa bahan kemas baik pada logam, maupun bahan lain seperti bermacam-macam plastik, gelas, kertas dan karton seyogyanya mempunyai 6 fungsi utama, yaitu:

1. Menjaga produk bahan pangan tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain.

2. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran (cahaya). 3. Mempunyai fungsi yang baik, efisien dan ekonomis khususnya selama proses penempatan

makanan ke dalam wadah kemasan.

4. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan dan distribusi.

5. Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang ada, mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak.

(6)

6. Menampakkan identifikasi, informasi dan penampilan yang jelas agar dapat membantu promosi atau penjualan.

Sedangkan Suharto (1991) menyebutkan beberapa sifat-sifat yang harus dimiliki bahan kemasan untuk produk awetan pangan, yaitu:

1. Mempunyai kemampuan penghantaran serta penyerapan/penerusan panas atau listrik yang rendah (diidealisasikan = nol).

2. Mampu menangkal keluar masuknya uap air maupun udara (berarti harus rapat dan tidak bocor). 3. Mempunyai kemampuan mangembalikan sinar yang datang dari luar.

4. Mampu menangkal beban-beban mekanis (oleh karena getaran-getaran, mesin, maupun manusia) misalnya diberikan bantalan-bantalan yang biasanya dari bahan-bahan porrous (gabus, jerami, gas, kapas, dan lain-lain).

Kemasan yang digunakan pada produk-produk berkadar air rendah seperti keripik harus mampu menjaga produk keripik tersebut tetap baik sampai ke tangan konsumen. Kerenyahan merupakan sifat tekstur yang sangat penting untuk makanan ringan yang digoreng (fried snack foods), dan apabila kerenyahan ini hilang terutama disebabkan oleh penyerapan kelembaban menjadikan produk makanan ringan ini ditolak oleh konsumen (Robertson, 1993).

Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan makanan ringan seperti potato chips menurut Sacharow dan Griffin (1980) adalah mampu melindungi dari ketengikan, kelembaban, kehilangan bau atau masuknya bau asing dan hancurnya produk. Sedangkan Robertson (1993) menyatakan bahwa kemasan yang digunakan untuk makanan ringan yang digoreng (fried snack foods) harus mampu menyediakan perlindungan yang baik terhadap oksigen, cahaya dan kelembaban.

Buckle (1985) membuat pengelompokan dasar bahan-bahan pengemas yang digunakan bahan pangan, yaitu:

1. Logam seperti lempeng timah, baja bebas timah, aluminium. 2. Gelas.

3. Plastik, termasuk beraneka ragam plastik tipis, yang berlapis laminates dengan plastik lainnya, kertas atau logam (aluminium).

4. Kertas, paperboard, fiberboard.

5. Lapisan (laminate) dari satu atau lebih bahan-bahan di atas.

Beberapa jenis kemasan, biasa digunakan untuk produk olahan makanan. Banyak diantaranya terdapat di pasaran, yaitu kemasan seperti berikut:

1.

Aluminium Foil

Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran aluminium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm. Aluminium foil didefinisikan sebagai aluminium murni (derajat kemurniannya tidak kurang dari 99.4%) walaupun demikian dapat diperoleh dalam bentuk campuran yang berbeda-beda (Syarief et. al. , 1989).

Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan.

2.

Politen atau Polietilen (PE)

Berdasarkan densitasnya, PE dibagi atas: 1. Low Density Polyethylene (LDPE)

(7)

Dihasilkan dengan mengekspos etilen pada suhu antara 150° dan 200°C pada tekanan 1200 atm dengan melibatkan sedikit oksigen (Sacharow dan Griffin, 1980). Paling banyak digunakan untuk kantung, mudah dikelim dan sangat murah.

2. Medium Density Polyethylene (MDPE)

Lebih kaku daripada LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi dari LDPE (Syarief et. al., 1989).

3. High Density Polyethylene (HDPE)

HDPE dihasilkan pada suhu antara 60° dan 160°C dan pada tekanan 40 atm dengan katalis alkilmetal (Sacharow dan Griffin,1980). Paling kaku diantara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi (120°C) sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus mengalami sterilisasi (Syarief et. al., 1989).

Sifat umum PE menurut Syarief et. al. (1989) antara lain:

1. Penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak sampai keruh (translusid) tegantung dari cara pembuatannya serta jenis resin yang digunakan.

2. Mudah dibentuk, lemas dan gampang ditarik. 3. Daya rentang tinggi sampai sobek.

4. Mudah dikelim panas sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain. Meleleh pada suhu 120°C.

5. Tidak cocok untuk pengemas produk-produk yang berlemak, gemuk atau minyak. 6. Tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya.

7. Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50°C.

8. Transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma. 9. Mudah lengket satu sama lain, sehingga menyulitkan dalam proses laminasi. Diperlukan

penambahan bahan penambah ke dalam proses pembuatannya untuk mengurangi hambatan tersebut.

10. Dapat dicetak setelah mengoksidasikan permukaannya dengan proses elektronik. 11. Memiliki sifat yang kedap air dan uap air (HDPE, MDPE, LDPE).

3.

Polipropilen (PP)

Sifat-sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et.al. (1989) yaitu:

1. Ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film. Tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku.

2. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -30°C mudah pecah sehingga perlu ditambah PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. 3. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek sehingga mudah dalam penanganan dan

distribusi.

4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen.

5. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150°C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi.

6. Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik. Mengeluarkan benang plastik pada suhu tinggi.

7. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl.

(8)

8. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat.

Sifat-sifat fisik kimia dari aluminium foil ditunjukkan pada Tabel 4. sedangkan permeabilitas dan sifat fisik beberapa bahan kemasan tipis ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 4. Sifat-sifat fisik aluminium foil Jenis Kemasan Ketebalan (mm) Densitas (g/cm3) Gramatur (g/m2) WVTR* (g/m2/24 jam) O2TR** (cc/m2/24 jam) Aluminium foil 0.05 0.721 36.037 0.5749 0.8492 0.08 1.058 84.617 0.1298 0.2933 0.10 1.103 110.273 0.0768 0.3199 *Temperatur = 37,8°C, RH = 100% ** Temperatur = 21°C, RH = 55% Sumber: Laporan hasil uji laboratorium uji dan kalibrasi BBKK, 2009 dalam Putra (2010)

(9)

Tabel 5. Permeabilitas dan sifat-sifat kimia kemasan tipis

Sumber: Modern Plastics Encyclopedia. 1978 – 79. Vol. 55 No. 10A. McGraw-Hill, New York dalam Sacharow dan Griffin (1980)

1 cm3/m2/ ketebalan 25.4 micron /24 jam/atm pada 25°C 2

g/m2/ ketebalan 25.4 micron /24 jam pada 37.8°C dan 90% RH

3 % dari berat penyerapan air dalam 24 jam uji pencelupan (25.4 micron film) Bahan Film Transmisi Gas1 Transmisi Uap Air2 Penyerapan Air3 Ketahanan terhadap

Oksigen Nitrogen Karbon

Dioksida Asam Alkali

Lemak dan Minyak

Pelarut

Organik Air

Selopan

-Biasa 106 – 198 44.7- 114.8 Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sedang

-Terlapis NC 7.8 – 12.4 7.8 – 24.8 6.2 – 93 22 – 42 45 – 115 Rendah Rendah Tinggi Lapisan Terserang Sedang

-Terlapis PE 18.6 - Tinggi Tinggi Sedang - -

-Terlapis PVDC 18.6 - Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Poliamida

-Nylon 6 40.3 14 155 – 186 248 – 341 9.5 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi

Rendah-Tinggi

-Nylon 11 527 53 2370 - 0.27 Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Poliester 46.5 – 62 11 – 15.5 232 – 387 15.5 – 20.2 < 0.8 Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi

Polietilen

-Kerapatan Rendah 7750 2790 41,850 21.7 < 0.01 Tinggi Tinggi Rendah Tinggi (60°C) Tinggi

-Kerapatan Sedang 3875 – 8290 1317 – 4880 15,500 – 38,750 10.8 < 0.01 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

-Kerapatan Tinggi 2667 651 8990 4.6 Nil Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi (80°C) Tinggi

Polietilen-vinil-asetat 13,020 6200 93,000 31 – 46 < 0.01 Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi

Polipropilen (cast) 2325 – 3720 620 – 744 7750 – 12,400 10.8 < 0.005 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

-(coated-oriented) 8 - 78 8 – 31 8 - 78 < 3.8 < 0.005 Tinggi Tinggi Tinggi Lapisan Terserang Tinggi

Polistiren (oriented) 3875 – 5425 - 13,950 108 – 155 0.04 – 0.10 Tinggi Tinggi

Rendah-Tinggi Rendah-Tinggi Tinggi

Polivinil klorida-asetat

(plasticized) 310 – 2325 155 – 930 1085 – 12,400 77.5 – 124 Neg Tinggi Tinggi

Sedang-Tinggi Rendah-Tinggi Tinggi

Poliviniliden

(10)

F.

PENENTUAN DAYA AWET BAHAN PANGAN DALAM KEMASAN

Menurut Buckle (1988), faktor-faktor utama yang mempengaruhi daya awet bahan pangan yang telah dikemas adalah:

1. Sifat alamiah dari bahan pangan dan mekanisme dimana bahan ini mengalami kerusakan, misalnya kepekaan terhadap kelembaban dan oksigen, kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia dan fisik di dalam bahan pangan.

2. Ukuran bahan pengemas sehubungan dengan volumenya.

3. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dibutuhkan untuk melindungi selama pengangkutan dan sebelum digunakan.

4. Ketahanan bahan pengemas secara keseluruhan terhadap air, gas atmosfer dan bau, termasuk ketahanan dari tutup, penutup dan lipatan.

Keripik adalah makanan renyah yang masih mengandung minyak dan air pada produk akhirnya. Kandungan minyak dan air ini berpotensi dapat menurunkan mutu keripik yang dihasilkan apabila dalam penyimpanannya tidak diperhatikan kadar air dan kadar lemak/minyak kritis yang dapat menimbulkan kerusakan pada produk tersebut.

Ketengikan misalnya, timbul akibat adanya komponen cita rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu (Buckle, 1988).

Parameter daya awet pada bahan pangan yang dikemas dapat dilihat berdasarkan kenaikan kadar air pada bahan yang dikemas dan ada tidaknya pertukaran gas dari dalam kemasan dengan atmosfir luar kemasan. Menurut Catala dan Gavara (1997) permeabilitas uap air dan oksigen merupakan parameter kritis pada banyak produk awetan. Kadar air pada bahan makanan mempengaruhi stabilitas fisikokimia (perubahan tekstur dan degradasi warna) dan stabilitas mikrobiologi, dan kehadiran oksigen dapat menghasilkan ketengikan, browning enzimatis, dan atau oksidasi vitamin C (Catala dan Gavara, 1997).

Gambar 5 menunjukkan skema dasar interaksi antara lingkungan, kemasan dan produk pangan apabila kemasan yang digunakan adalah polimer.

(11)

Gambar 5. Skema interaksi antara lingkungan, kemasan dan produk pangan (Catala dan Gavara, 1997)

Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS atu sering disebut metode lonvensional adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan.

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi sebagai senyawa kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982), menggunakan persamaan Arrhenius, seperti pada persamaan (1).

... (1) Dimana: k : konstanta kecepatan reaksi

ko : konstanta pre-eksponensial Ea : energi aktivasi (kkal/mol) R : konstanta gas (1.986 kal/mol) T : suhu mutlak (K)

k = k

o

.e

-Ea/RT O2, H2O, CO2 Cahaya O2, H2O, CO2 Aroma Pelarut Aroma Pelarut Residu Aditif

Perembesan: perubahan kualitas pangan (tekstur, warna, oksidasi lemak) dan sifat polimer (fotodegradasi, penyerapan air,

plasticization)

Migrasi: perubahan kualitas pangan (menyebabkan keracunan) dan sifat polimer (kehilangan aditif)

Penyerapan: perubahan kualitas pangan dan sifat polimer (plasticization, ekstraksi aditif)

(12)

Persamaan di atas dapat diubah menjadi persamaan (2):

... (2)

maka akan diperoleh kurva barupa garis linear pada plot nilai ln k terhadap 1/T dengan slope -Ea/R seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius

Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi ordo nol atau satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reksi lain.

1.

Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencokelatan enzimatis dan oksidasi (Labuza, 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan (3).

... (3)

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan (3) seperti terlihat pada persamaan (4).

... (4)

Sehingga menjadi persamaan (5).

... (5)

Dimana, At : jumlah A pada awal waktu t Ao : jumlah awal A

k : konstanta perubahan mutu t : umur simpan

At Ao kt

.

1/T

ln k

-Ea/R

ln k = ln k

o

- (Ea/RT)

(13)

2.

Reaksi Ordo Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada daging, ikan dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein dan lain sebagainya (Labuza, 1982).

Persamaan reaksinya ditujukkan pada persamaan (6).

... (6)

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan (6) seperti terlihat pada persamaan (7).

... (7)

Sehingga menjadi persamaan (8).

... (8)

Dimana, At : jumlah A pada awal waktu t Ao : jumlah awal A

k : konstanta perubahan mutu t : umur simpan

ln At ln Ao kt

.

.

Gambar

Gambar buah durian disajikan pada Gambar 1.
Tabel 3. Data gizi durian matang tiap 100 gram
Gambar 2 menunjukkan penampang melintang makanan yang digoreng.
Gambar 3. Mesin penggoreng vakum komersial desain Anang Lastriyanto
+6

Referensi

Dokumen terkait

Rahayu, V., 2007, Uji Aktivitas Penangkap Radikal Fraksi Non Polar Ekstrak Etil Asetat Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.) Dengan Metode DPPH Disertai Penetapan Kadar Fenol

Kadar etanol yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae pada tahap fermentasi etanol dari medium hasil sakarifikasi dengan kadar gula pereduksi paling tinggi (tanpa