• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siauw Giok Tjhan, Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Siauw Giok Tjhan, Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Siauw Giok Tjhan,

Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah

http://m.berdikarionline.com/tokoh/20140130/siauw-giok-tjhan-pejuang-bangsa-yang-dihapus-dalam-sejarah.html 30 Januari 2014 | 11:26 WIB

Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme hingga akhir

hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri orang sebagai

pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya.

Namun, namanya tak akan ditemukan dalam buku sejarah resmi versi

pemerintah.

Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa ini memang memiliki naluri untuk menentang penindasan sejak ia berusia remaja. Karakter yang kemudian ia bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten melawan penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan juga dari bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi rasial.

Spirit Nasionalisme

Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang yang telah berintegrasi dengan etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok Tjhan fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa.

Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan ayahnya, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih

(2)

2 seringkali membuat kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat perkelahian dengan mereka.

Menginjak usia remaja, Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk menghidupi dirinya dan adik-adiknya karena kedua orang tuanya wafat. Berbekal modal seadanya peninggalan dari orang tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan di Surabaya. Ketangguhan jiwa Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi kesulitan hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini.

Ketangguhan jiwa itu pula yang membuat ia tak ‘lari’ dari situasi sosial kala itu, ketika rakyat banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Siauw Giok Tjhan pun bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Niem Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera kesulitan ekonomi.

Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di partai ini sekaligus menjadi penanda mulai masuknya Siauw Giok Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI merupakan partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang lahir dan menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki kesadaran bahwasanya tanah air mereka adalah Indonesia . Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw Giok Tjhan menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi berhaluan nasionalis kiri yang dibentuk Amir Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo inilah, spirit nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara.

Tak hanya di aspek politik, semangat nasionalisme juga ia manifestasikan di bidang olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB) ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di pasar tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw bersinggungan dengan Marxisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Perkenalannya dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw kian ‘condong’ ke kiri.

(3)

3 Selain dalam organisasi dan partai, Siauw juga berkiprah di bidang jurnalistik. Ia mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian Matahari, sebuah koran yang bertendensi nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran ini. Pada masa pendudukan Jepang, harian Matahari mengambil tendensi anti-fasisme Jepang sehingga membuat Siauw dalam posisi yang berbahaya.

Siauw pun menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar dari kejaran Jepang itu dengan mengambil posisi aman menjadi pemilik toko eceran di Malang. Di kota tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta mendirikan organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah, Siauw menetap hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan.

Proklamasi kemerdekaan ternyata bukanlah akhir perjuangan, melainkan jutru awal berkecamuknya revolusi kemerdekaan. Belanda tak ingin melepas bekas jajahan di zamrud katulistiwa ini begitu saja. Dengan membonceng Sekutu dan Inggris selaku pemenang Perang Dunia ke II, mereka berupaya menguasai kembali Indonesia. Siauw pun kembali berpartisipasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru. Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan tentara Inggris di Surabaya pada 10 November 1945.

Perjuangan Siauw juga berlanjut di ‘wadah’ baru, yakni Partai Sosialis yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti yang disinggung sebelumnya, Amir Sjarifudin ini merupakan kawan Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo pada masa penjajahan Belanda dahulu.

Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw yang menganggap seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian tak terpisahkan dari revolusi nasional telah membuat ia memperjuangkan disahkannya UU Kewarganegaraan RI di tahun 1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga keturunan Asia dan Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan turut serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri Negara urusan Minoritas ketika Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin pada tahun 1947.

(4)

4 Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak hanya ia tunjukkaan melalui perjuangan politik atau organisasi, melainkan juga hal-hal yang kecil seperti hidup secara sederhana. Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan anaknya yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan dengan agresi militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok Bie, hendak menggunakan mobil organisasi Palang Biru untuk mengantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw dengan tegas melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab mobil itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang yang terluka karena bertempur melawan agresi Belanda.

Di sisi lain, perpecahan yang melanda Partai Sosialis tempat Siauw bernaung makin tak terhindarkan. Perbedaan pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu Sjahrir dengan kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948. Sedangkan kubu Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw memilih bergabung dalam kubu Amir. Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan Amir makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama ketika pertentangan politik menghangat pasca disepakatinya perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis dan PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap kabinet pimpinan Bung Hatta yang didukung Masyumi. FDR sangat menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin ‘membersihkan’ angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat.

Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya “peristiwa Madiun”, ketika gerakan FDR dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR pun ditumpas oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution. Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap TNI. Namun, tak lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang kedua di akhir 1948. Siauw pun lolos dari penjara Republik, namun ia kembali ditangkap Belanda.

Integrasi vs Asimilasi

Di akhir tahun 1949, kemerdekaan Indonesia pun diakui oleh Belanda. Perang kemerdekaan usai, namun masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga tuntas. Guna menuntaskan masalah tersebut, Siauw dan beberapa tokoh Tionghoa lain seperti Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hien dan Ang Jang Goan membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Siauw pun menjadi ketua umum organisasi ini.

(5)

5 Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda yang muncul dari kalangan masyarakat terkait penyelesaian masalah etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua konsep itu dipandang sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut oleh masing-masing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi dan integrasi.

Untuk konsep asimilasi, definisinya adalah penyatuan antara dua etnis dengan menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks masalah Tionghoa, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat Indonesia yang dianggap kebudayaan ‘asli’ Indonesia.

Sedangkan konsep integrasi mengandung arti persatuan antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya di Indonesia tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis. Hal ini sesuai dengan moto Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu dalam naungan negara Republik Indonesia.

Baperki yang dipimpin oleh Siauw menentang keras konsep asimilasi. Menurut Baperki, asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan tidak sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika yang mengakui keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala ‘pernak-pernik’ kulturalnya. Karena itu tak seharusnya etnis Tionghoa menanggalkan identitas kulturalnya untuk bisa bersatu dengan unsur rakyat Indonesia yang lain. Masalah etnis Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia dapat dituntaskan dengan berintegrasi pada kehidupan dan perjuangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tanpa harus melupakan kebudayaan Tionghoa-nya. Maka, Baperki mendukung konsep integrasi revolusioner sebagai solusi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Dan PKI, yang bertendensi anti rasialisme, juga mendukung konsep integrasi yang diusung oleh Baperki ini. Tak heran apabila pada perkembangan politik selanjutnya, terutama di era Demokrasi Terpimpin, Baperki menjadi sangat dekat dengan PKI.

Sementara, konsep asimilasi didukung juga oleh beberapa tokoh Tionghoa. Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus Sindunata, Ong Hok Ham, serta H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan, terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD) yang pada umumnya rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB ini memegang peranan penting dalam perumusan berbagai kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis

(6)

6 Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk kebijakan pelarangan perayaan Imlek, pelarangan agama Kong Hu Chu dan pergantian nama warga Tionghoa.

Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi (LPKB) berlanjut dimasa Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi politik antar berbagai kekuatan dimasa itu juga berpengaruh pada rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang dekat dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok nasionalis kanan.

Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep integrasi yang digagas Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8 Baperki. Dalam pidato itu tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi. Berikut isi pidato beliau :

Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli ? Tidak ! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna. Pak Ali itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit, campuran dia itu.

Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk, pribadi-what is in a name ? Walau saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit.

Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak ?

Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia.”

Akhir Perjuangan

Selain memperjuangkan integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia, Baperki dan Siauw juga memperjuangkan nation-building melalui pendidikan. Maka pada tahun 1958, Baperki mulai membuka Akademi Fisika dan Matematika yang

(7)

7 diperuntukkan bagi pendidikan guru sekolah menengah. Pada tahun-tahun berikutnya, Baperki juga membuka beberapa fakultas baru seperti fakultas Kedokteran, Sastra dan Teknik.

Pada tahun 1962, perguruan tinggi Baperki itu diberi nama Universitas Res Publica (Ureca). Dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas ini, Baperki punya motto :“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Massa anti-komunis merusak gedung Universitas Res Publica (Ureca), yang didirikan oleh BAPERKI, tahun 1966 (Photo Credit: Bettmann / Corbis)

Untuk diketahui, pasca meletusnya tragedi Gestok 1965, Ureca ditutup oleh Soeharto karena dianggap universitas ‘komunis’. Di kemudian hari, rezim Orde Baru membentuk Universitas baru untuk menggantikan Ureca, yakni Universitas Trisakti. Sementara itu, terkait masalah yang dipandang paling krusial dari masalah-masalah lainnya yang menyangkut etnis Tionghoa di negeri ini, yakni masalah ekonomi, Siauw juga punya pandangan sendiri. Menurutnya, tak perlu ada pembedaan antara kapital milik orang Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Sepanjang modal itu dimiliki oleh rakyat Indonesia, apapun etnisnya, maka bisa diperuntukkan bagi perkuatan ekonomi nasional serta berguna juga untuk menangkal pengaruh negatif modal asing multinasional.

Tampak bahwa Siauw mentolerir adanya kapitalis domestik di Indonesia, guna melawan pengaruh negatif kapital asing multinasional yang menurut Siauw sangat eksploitatif. Konsep Siauw ini dikenal sebagai konsep Ekonomi Domestik.

(8)

8 Sementara itu, dinamika politik berjalan cepat dan tak terduga. Tragedi Gestok yang meletus 1 Oktober 1965, merubah secara drastis konstelasi politik nasional. PKI, selaku pihak tertuduh dalam tragedi tersebut, segera dihabisi oleh tentara sayap kanan pimpinan Soeharto yang didukung imperialis Amerika Serikat (AS). Jutaan pendukung PKI dan Bung Karno dibantai serta ditangkapi tanpa proses peradilan.

Sebagai seorang simpatisan kiri sekaligus pendukung Bung Karno, Siauw pun tak lepas dari ‘tsunami’ politik tersebut. 4 Nopember 1965, Siauw ditangkap dan dibui selama 13 tahun oleh Orde Baru tanpa proses pengadilan. Baperki pun dibubarkan, begitu juga dengan universitas yang dibentuknya, Ureca.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan dari penjara. Perlakuan buruk yang diterimanya selama meringkuk di tahanan rezim Soeharto membuat kesehatan Siauw memburuk. Setelah bebas dari penjara, ia pergi berobat ke Belanda.

Selain berobat, kepergian Siauw ke Belanda juga untuk menghindar dari kontrol rezim Soeharto yang dikhawatirkan makin membuat kesehatannya memburuk. Siauw menderita komplikasi beragam penyakit, mulai dari gangguan penglihatan hingga penyakit jantung. Akhirnya, pada 20 November 1981, pejuang bangsa itu meninggal dunia sebagai pelarian politik.

Riwayat juang putra Surabaya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemaslahatan negara, bangsa dan etnisnya ini seakan hilang dalam sejarah, hanya oleh stigma yang masih ‘sakti’ hingga kini, yakni stigma ‘komunis’.

Hiski Darmayana, penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Siauw Giok Tjhan,

Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html

(9)

9 Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya. Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi “pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda. Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.

Sejak kecil menentang diskriminasi

Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa totok dan peranakan melebur.

Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya, Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.

Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK (Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah Belanda.

(10)

10 Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang, belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya. Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Memperjuangkan kemerdekaan

Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya, seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain. PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan, ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar Snow, Red Star Over China.

(11)

11 Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun 1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945. Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat Indonesia.

Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten menentang segala bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi “peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil ditangkap Belanda.

(12)

12 Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa (Baperwatt).

Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya, di Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan “ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll. Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya, melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas atau kecintaan orang terhadap bangsa.

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep yang disebut asimilasi. Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi, orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia. berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya, pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret

(13)

13 idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya, kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto: “pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk kepentingan ekonomi nasional.

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi. Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim orde baru

Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan turut menjadi korban kekejian orde baru.

4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda untuk berobat. Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi penyakit jantung yang parah.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia. Ia meninggal dunia di negeri orang.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.

“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang

(14)

14 dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”– Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.

Timur Subangun, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Artikel Terkait:

 Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir

 Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…  Soeratin Dan Nasionalisme Sepak Bola Kita  Perayaan Imlek di Jogja dan Kesejahteraan Rakyat  Wahidin Soedirohoesodo, Sang Penyuluh Berorganisasi

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html#ixzz2s2FgWlp9

Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Artikel Terkait:

 Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

 Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir

 Amir Sjarifudin Harahap, Nasionalis Kiri Yang Terlupakan

 Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…

Referensi

Dokumen terkait

Aglomerasi pertanian terpadu adalah kawasan lokalisasi pemusatan kegiatan sektor primer pertanian meliputi sub-sub sektor pertanian lahan basah, kering, tanaman

Berdasarkan penjelasan dari pasal 170 ayat (1) ma­ ka wartawan termasuk orang yang karena pekerjaannya diwa­ jibkan menyimpan rahasia, sehingga ia dapat minta dibebas- kan

Halaman isi makalah terdiri atas (a) judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimum 200 kata yang tersusun dalam

Halaman isi makalah terdiri dari (a) judul, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidak lebih dari 200 kata, (c) batang tubuh naskah yang terbagi menjadi bab dan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Batak biasa menuliskan buah pikirannya pada buku lipat yang disebut pustaha yang terbuat dari kulit

Dilihat dari keseluruhan bentuk-bentuk aksara yang  digunakan  dalam  penulisan  Prasasti  Raja Soritaon  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  bentuk- bentuk  aksara 

Hasil klasifikasi citra landsat 8 untuk mengetahui lahan yang bervegetasi dan tidak bervegetasi dapat dilihat pada tabel 2, sedangkan untuk sebaran vegetasi