• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI TEKNOLOGI DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH DI KAWASAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INOVASI TEKNOLOGI DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH DI KAWASAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

INOVASI TEKNOLOGI DALAM MENDUKUNG

PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH DI KAWASAN

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS

(Technology Innovation to Support Dairy Cattle Development in the

Agribusiness Region)

VYTA W.HANIFAH1danKUSUMA DIWYANTO2

1

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor

ABSTRACT

Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) had been initiated by the Indonesian Agency for Agriculture Research and Development (IAARD) to improve farmers’ welfare and to maintain sustainability of agriculture–environment. The program was started in 2005 at 14 provinces, increase up to 25 provinces in 2006 and 200 districts at 33 provinces in 2007. The output of Prima Tani is Farming System model that based on innovation technology in the agribusiness region. The success of the program is hoped to establish an agroindustry village which modern, independent, strong, and competitive. Result on the evaluation of 2006 and PRA of 2007 showed that 84% of Prima Tani’s locations had developed livestock and there are three provinces that implemented dairy cattle as main concern commodities, they are DIY (Sleman District), Central Java (Boyolali District) and East Java (Pasuruan District). Based on the three provinces data, it is known that the average of dairy cattle ownership is considered low, around 1-3 cattle each farmer in Boyolali. It is also showed that the highest contribution toward farmer’s income in Pasuruan had been came from dairy cattle farming. To increase its production and productivity, farmers need innovation on the replacement stock, high quality of sperm, and medicine to attact the brucellosis and mastitis. They also need innovative technology in feeding such as development of grass and legume tree in the forest, hills of mountain, field, outside of road, yard or anywhere else that will help to fulfill needs of feed resources. In the dry season, they need innovative technology to use agricultural by product as feed. Farmers in Sleman District had implemented these technology but due to the lack of knowledge on appropriate technology, this becames a constraint. There is a need to have intensive extension for farmer in order to use appropriate innovative technology of agricultural by product feeding to increase business competitiveness.

Keywords: Prima Tani, dairy cattle, technology innovation ABSTRAK

Badan Litbang Pertanian telah menginisiasi suatu Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan melestarikan sistem pertanian dan lingkungan. Program ini dimulai pada tahun 2005 di 14 propinsi, bertambah menjadi 25 propinsi pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 telah berkembang ke 200 kabupaten (201 desa) di seluruh propinsi di Indonesia. Keluaran akhir Prima Tani adalah terciptanya suatu Sistem Usahatani berbasis inovasi dan IPTEK di suatu kawasan pengembangan agribisnis. Keberhasilan program ini pada gilirannya diharapkan akan menciptakan desa agroindustri yang modern, mandiri, tangguh, dan memiliki keunggulan kompetitif. Dari hasil evaluasi pada tahun 2006 dan hasil PRA tahun 2007 diketahui bahwa 84% (168 dari 201) lokasi Prima Tani memilih ternak sebagai komoditas unggulan spesifik lokasi. Namun hanya tiga lokasi yang memilih sapi perah sebagai komoditas unggulan, yaitu Kabupaten Sleman-DIY, Boyolali-Jawa Tengah dan Pasuruan-Jawa Timur. Hal ini dapat dipahami karena saat ini sapi perah hanya berkembang di dataran tinggi di pulau Jawa, sementara penetapan lokasi Prima Tani didasarkan pada pendekatan agroekosistem. Dari data di tiga lokasi tersebut diketahui bahwa rata-rata kepemilikan sapi masih berskala kecil, seperti peternak di Boyolali yang kepemilikannya sekitar 1–3 ekor/KK. Berdasarkan hasil pengamatan terbatas diketahui bahwa perolehan pendapatan dari usaha sapi perah dapat memberi manfaat dan nilai positif untuk kehidupan sehari-hari, bahkan kontribusi tertinggi terhadap pendapatan masyarakat di

(2)

Pasuruan berasal dari usaha sapi perah. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, peternak memerlukan inovasi berupa bibit pengganti (replacement) dan semen berkualitas, serta obat-obatan untuk mencegah dan memberantas brucellosis dan mastitis. Peternak juga sangat memerlukan teknologi inovatif untuk penyediaan pakan murah, karena lebih dari 70% biaya produksi dipergunakan untuk pakan. Inovasi untuk mengembangkan hijauan pakan ternak (HPT) unggul di kawasan hutan, lereng pegunungan, pematang, pinggir jalan, halaman rumah dan pagar akan sangat membantu untuk mencukupi kebutuhan pakan sumber serat dan energi. Pada musim kemarau diperlukan inovasi yang terkait dengan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pengganti HPT, misalnya jerami padi atau jagung, pucuk tebu, atau biomasa lain yang tersedia di kawasan itu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peternak di Sleman telah mengimplementasikan teknologi pemanfaatan limbah pertanian, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh kurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi penanganan limbah yang benar. Perlu dilakukan penyuluhan agar peternak dapat memanfaatkan teknologi inovatif dalam pengembangan HPT dan pemanfaatan limbah pertanian untuk mencukupi kebutuhan pakan, sehingga dayasaing usaha dapat meningkat.

Kata kunci: Prima Tani, sapi perah, inovasi teknologi

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian nasional saat ini menuntut peran yang lebih besar dari seluruh pemangku kepentingan agar ketergantungan kepada produk impor dapat diminimalkan. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan, serta sekaligus untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan memperbaiki kesejah-teraan masyarakat. Angkatan kerja yang bergantung pada sektor pertanian masih sangat besar, akan tetapi kemiskinan juga terbanyak di sektor ini. Kegiatan pertanian sebagian besar berada di pedesaan, oleh karena itu pembangunan pertanian juga berarti akan memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian di pedesaan. Salah satu terobosan yang digulirkan oleh Departemen Pertanian untuk mengatasi hal tersebut adalah Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian atau Prima Tani.

Prima Tani adalah suatu instrumen rintisan untuk mendapatkan model atau konsep baru diseminasi teknologi yang diharapkan dapat mempercepat pencapaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian kepada para petani (DEPARTEMEN PERTANIAN RI,

2006). Dengan program ini diharapkan juga dapat memberi umpan balik bagi penajaman penelitian dan pengembangan selanjutnya. Dalam kaitannya dengan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005, Prima Tani merupakan salah satu wadah implementasi dalam mengembangkan 17 komoditas pertanian penting yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian. Salah

satu komoditas penting tersebut adalah sapi, termasuk di dalamnya adalah sapi potong maupun sapi perah.

Program ini dimulai pada tahun 2005 di 14 propinsi, pada tahun 2006 bertambah menjadi 25 propinsi, dan pada tahun 2007 dilaksanakan di 201 desa, yang tersebar di 200 kabupaten/ kota di seluruh propinsi di Indonesia. Dari kegiatan Prima Tani ini diharapkan dapat terbentuk Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) dan model Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang merupakan representasi industri pertanian dan usahatani berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu kawasan pengembangan. Keluaran akhir Prima Tani ini diharapkan juga dapat mencerminkan suatu model pengembangan agribisnis lengkap dan padu padan antar sub-sistem, berbasis agro-ekosub-sistem, mempunyai kandungan teknologi dan kelembagaan serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2006).

Menurut Rancangan Dasarnya, Prima Tani dalam implementasinya menggunakan lima pendekatan yaitu pendekatan agroekosistem, agribisnis, wilayah, kelembagaan dan pember-dayaan masyarakat. Berdasarkan pendekatan agroekosistem, ternyata sebagian besar lokasi yang dipilih untuk pelaksanaan Prima Tani memiliki potensi pengembangan komoditas ternak. Hal ini menunjukkan bahwa ternak merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan nasional maupun daerah. Hampir di semua propinsi, kecuali Propinsi Papua dan Papua Barat, ternak dikembangkan sebagai salah satu komoditas unggulannya seperti ayam, itik, kambing, domba, sapi potong, sapi perah,

(3)

kerbau, dan babi (ANONIMOUS, 2007; DATABASE KOMPILASI, 2007). Dari propinsi-propinsi tersebut, hanya ada tiga propinsi-propinsi yang mengembangkan sapi perah sebagai komoditas unggulannya, yaitu Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan (MAHFUD et al., 2007), Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali (UTOMO et al., 2006), dan DI Yogyakarta di Kabupaten Sleman (FATCHUROCHIM et al., 2007).

Makalah ini akan menguraikan usaha sapi perah di lokasi Prima Tani, terkait dengan kebutuhan teknologi inovatif maupun masalah yang ada untuk dipergunakan sebagai landasan dalam pengembangan lebih lanjut. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa peternak saat ini sedang bergairah untuk mengembangkan sapi perah, karena kenaikan harga susu dunia yang cukup tinggi.

PERKEMBANGAN SAPI PERAH DI INDONESIA

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia setelah China, India dan Amerika, Indonesia harus mampu mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan secara berkelanjutan (availability, stability, dan

accessibility) (DIWYANTO dan PRIYANTI, 2007). Pangan sumber protein hewani yang sangat penting bagi pertumbuhan tubuh dan kecerdasan generasi penerus adalah susu. Saat ini rata-rata konsumsi susu penduduk Indonesia masih sangat rendah, sekitar 7 kg/ kapita/tahun, atau hanya beberapa tetes/kapita/ hari. Ironisnya, itupun atau 70% kebutuhan nasional masih harus dipenuhi dari impor. Melonjaknya harga susu dunia akhir-akhir ini yang mencapai lebih Rp. 5000/liter setara susu segar, telah mendorong peternak sapi perah rakyat bergairah kembali karena selama ini harga susu tidak sebanding dengan biaya pakan yang terus meningkat.

Usaha peternakan sapi perah rakyat yang telah dikembangkan mulai jaman Belanda dan tumbuh pesat sejak pertengahan tahun 1978 dan telah mengalami perubahan yang cukup dinamis. Lonjakan populasi sapi perah terjadi pada tahun 1984, 1989 dan 1994 karena adanya impor bibit dalam jumlah yang sangat besar. Penambahan populasi ini sebetulnya dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi tepat guna, seperti yang dinyatakan DIWYANTO dan

HERLIANTIN (2006) bahwa inovasi sexing dapat digunakan untuk menambah tingkat kelahiran sapi betina, sehingga jumlah populasi sapi produktif dapat ditingkatkan. Namun pada tahun 1997, krisis multidimensi yang melanda negeri ini menyebabkan populasi turun drastis dan dalam tahun-tahun terakhir ini perkembangannya tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Padahal usaha sapi perah merupakan salah satu komponen subsektor peternakan yang memiliki prospek untuk dikembangkan, karena (i) adanya pasar dalam negeri yang sangat besar dan akan terus berkembang, (ii) tersedianya sumberdaya dan teknologi, dan (iii) harga susu yang terus meningkat.

Walaupun pasar susu untuk keperluan domestik sangat besar, usaha peternakan sapi perah rakyat sampai saat ini masih stagnant (BOEDIYANA, 2006). Sekitar 90% usaha peternakan sapi perah di Indonesia adalah peternakan sapi perah rakyat yang berskala kecil dengan tingkat pemilikan sekitar rata-rata 2-4 ekor (SOEHADJI, 1992). Skala usaha yang sangat kecil ini masih sulit ditingkatkan, karena keterbatasan modal dan sumberdaya yang dimiliki peternak. Usaha ini punya potensi untuk meningkatkan kesejahteraan petani bila diusahakan dengan pola integrasi, melalui pendekatan ‘zero waste’. Masalah ketersediaan bibit (replacement) menjadi salah satu kendala terbesar dalam meningkatkan populasi atau skala usaha.

Peternak sapi perah sebagai pemeran utama agribisnis persusuan di Indonesia memilki karakter ‘pandai memproduksi’ tetapi ‘kurang mahir menjual’. Sebagian besar peternak menggantungkan pemasaran produknya ke industri pengolahan susu (IPS) melalui GKSI (SULISTIYANTO, 2008). Dengan tingkat kepemilikan sapi yang sangat kecil, rata-rata produksi susu yang dihasilkan peternak juga sangat kecil, seperti tercermin pada Tabel 1. Keterbatasan dalam pengetahuan, manajemen, penguasaan iptek dan permodalan serta pemasaran menjadi penyebab produksi dan kualitas produk yang dihasilkan sangat terbatas. Saat ini kualitas susu yang dihasilkan masih sangat rendah, yang tercermin dari tingginya kandungan bakteri dalam susu. Kualitas susu dan produktivitas yang rendah tersebut menyebabkan penerimaan peternak sapi perah juga sangat rendah. Hal lain yang

(4)

masih menjadi ancaman adalah penyakit brucellosis maupun mastitis. Disinilah sangat diperlukan berbagai dukungan, bimbingan dan inovasi, mulai dari input, proses budidaya, pasca panen dan pemasaran.

Tabel 1. Jumlah susu yang disetorkan ke GKSI oleh peternak (Nasional)

No Klasifikasi penyetor/hari Persentase (%) 1 < 10 liter / hari 8 2 10-20 liter/hari 76 3 20-50 liter/hari 11 4 50-100 liter/hari 4 5 > 100 liter/hari 1 Sumber: SULISTIYANTO (2008)

Gabungan koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai organisasi yang saat ini membina peternak sapi perah, telah berkembang cukup luas di Pulau Jawa. Dinamika dan perkembangan organisasi ini serta kinerja yang telah dicapai tercermin dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi dan kinerja GKSI No Informasi dan parameter Angka 1 Jumlah anggota koperasi/

KUD

99 koperasi/ KUD 2 Populasi sapi perah 300.980 ekor 3 Jumlah peternak sapi perah 100.157 orang 4 Rataan produksi susu 11 liter/ekor/

hari 5 Jumlah IPS penerima susu 12 Pabrik 6 Total produksi susu 1.185 ton/hari 7 Harga jual susu tertinggi

(Pebruari 2008)

Rp. 3.725/ liter 8 Calving interval 18 bulan 9 Service/conception 1,5 10 Kualitas susu: total solid 12,1% 11 Jumlah bakteri 1 juta/ml 12 Entrobateri sakazakii Free (nol)

Sumber: SULISTIYANTO (2008)

Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa rata-rata kepemilikan sapi hanya sekitar 3 ekor/KK, dengan total rataan produksi masih belum optimal, yaitu sekitar 11 liter/hari. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah jarak beranak (calving interval) yang sangat panjang, sekitar 18 bulan. Data ini memperlihatkan dengan jelas bahwa kinerja usaha sapi perah di Indonesia masih belum optimal.

SULISTIYANTO (2008) menyatakan bahwa untuk mendorong perkembangan peternakan

sapi perah rakyat diperlukan berbagai kebijakan dan program, antara lain adalah pemberdayaan peternak melalui bimbingan dan peningkatan kualitas SDM. Usaha sapi perah adalah agribisnis yang memerlukan dukungan teknologi tinggi, serta menuntut pola pemeliharaan yang baik, dengan mewujudkan

good farming practice. Walaupun

kelembagaan dalam agribisnis sapi perah relatif sudah sangat maju dibanding komoditas pertanian lainnya, akan tetapi pemberdayaan peternak masih sangat diperlukan. Dukungan teknologi yang sangat penting adalah inovasi untuk menyediakan pakan murah berbasis sumberdaya lokal.

SAPI PERAH DALAM PRIMA TANI

Pemilihan lokasi Prima Tani yang tepat berpengaruh terhadap keberhasilan program. Lokasi Prima Tani ditentukan berdasarkan kriteria berikut: (i) memiliki peluang keberhasilan dari aspek sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, (ii) mendapat respon positif dari masyarakat desa/tani, (iii) mendapat respon positif dari pemerintah kabupaten dan propinsi, (iv) sesuai dengan kebijakan dan program pengembangan Pemerintah Daerah (v) komoditas potensial yang dikembangkan sesuai dengan komoditas unggulan nasional dan daerah, (vi) aksesibilitas ke lokasi memadai (DEPARTEMEN PERTANIAN

RI, 2006).

Pemilihan Kabupaten Boyolali, Sleman dan Pasuruan sebagai lokasi Prima Tani untuk mengembangkan sapi perah merupakan hasil dari Participatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan oleh masing-masing Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). PRA atau pemahaman pedesaan secara partisipatif adalah metode untuk memahami secara partisipatif seluruh komponen masyarakat desa dan kondisi pedesaan mengenai masalah pembangunan serta upaya antisipasi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi sumberdaya yang tersedia (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2006).

Pada dasarnya PRA dilaksanakan dengan tujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi yang dibutuhkan dalam rangka perancangan jenis-jenis inovasi yang akan dikembangkan di desa tersebut. Dalam

(5)

pelaksanaannya, PRA melibatkan para petani, dengan menggunakan teknik wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan secara berjenjang mulai dari informan kunci, masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya. Prinsip dasar dalam pelaksanaan PRA antara lain (BADAN LITBANG PERTANIAN, 2006): (i) melibatkan seluruh kelompok masyarakat, (ii) masyarakat setempat sebagai pelaku utama, (iii) menerapkan prinsip triangulasi (cross check dan re-check informasi), (iv) berorientasi praktis, (v) mengoptimalkan hasil, (vi) santai dan informal, serta (vii) demokratis. Secara garis besar PRA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: pertama, analisis data sekunder; kedua, diskusi kelompok; dan ketiga observasi lapang. Kegiatan tiap tahap saling berhubungan dan dilaksanakan secara berurutan.

Hasil PRA secara umum di 201 lokasi Prima Tani menunjukkan bahwa ternak merupakan komoditas andalan (Tabel 3). Akan tetapi hanya tiga lokasi (DATABASE

KOMPILASI, 2007) yang memilih sapi perah sebagai komoditas unggulan dan memiliki potensi untuk dikembangkan. Meskipun kegiatan utama sebagian besar masyarakat adalah bertani, namun komoditas ternak ini diandalkan sebagai penopang utama perekonomian keluarga karena produksi susu yang dihasilkan setiap hari mampu memberikan pendapatan secara kontinyu. Pengusahaan sapi perah umumnya dilakukan dalam skala kecil yaitu 1-3 ekor per unit usaha. Permasalahan yang dihadapi juga relatif sama, meliputi rendahnya produktivitas dan mutu genetik ternak, rendahnya skala pengusahaan, manajemen pemeliharaan yang masih tradisional, ketersediaan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi, serta manajemen kesehatan hewan yang kurang mendukung. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa pengetahuan dan ketrampilan peternak dalam manajemen beternak sapi perah masih sangat terbatas, termasuk aspek dalam memanfaatkan limbah usaha tani.

Tabel 3. Banyaknya lokasi prima tani yang memilih komoditas ternak sebagai komoditas unggulan

Komoditas 2005 2006 2007

Sapi potong dan kerbau 10 14 117

Sapi perah 0 0 3

Domba dan kambing 13 18 50

Babi 1 2 3

Unggas 5 7 33

Total komoditas ternak 29 41 206

Total Lokasi Prima Tani (Kabupaten/Kota) 22 33 201

Sumber: DATABASE KOMPILASI (2007)

KINERJA USAHA SAPI PERAH

Jawa Timur: --Berdasarkan laporan

kegiatan PRA (MAHFUD et al., 2007). Lokasi Prima Tani sapi perah di Kabupaten Pasuruan terletak di Desa Tutur, Kecamatan Tutur yang merupakan lahan kering dengan luas wilayah 548,92 ha. Penggunaan terbesar dari luas wilayah tersebut berupa tegalan/ladang, yaitu seluas 490,23 ha dan sisanya adalah tempat pemukiman (49,76 ha), fasilitas umum (8,40 ha) dan hutan lindung 0,43 ha).

Sebagai lahan kering dataran tinggi iklim kering, Desa Tutur terletak pada ketinggian 700–900 m dpl, curah hujan 500–600 mm dengan 4 bulan hujan, dan suhu rata-rata harian

28–300C. Sesuai dengan topografinya, di Desa Tutur tidak tersedia air irigasi meskipun desa ini memiliki dua sungai. Kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakatnya disuplai dari dua unit sumur gali, satu unit PAM, tiga unit pipa dan dari dua sungai. Suplai air tersebut juga dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan usaha ternak. Sebaliknya kebutuhan air untuk kegiatan pertanian dan peternakan (terutama dalam penyediaan pakan hijauan) bergantung pada air hujan. Kondisi ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab pada saat musim kering peternak mengalami kesulitan penyediaan pakan.

Kecamatan Tutur merupakan salah satu sentra produksi sapi perah di Kabupaten

(6)

Pasuruan dengan jumlah populasi mencapai 38% dari jumlah sapi perah di Kabupaten Pasuruan (atau 16.097 ekor). Populasi sapi perah di Desa Tutur tidak menempati urutan pertama, akan tetapi kontribusi tertinggi terhadap pendapatan keluarga berasal dari usaha ternak sapi perah. Kelompok peternak sapi perah di Desa Tutur telah bermitra dengan Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) “Setia Kawan” Nongkojajar dalam hal pemasaran susu, penyediaan pakan konsentrat, pemberian jasa pelayanan Inseminasi Buatan (IB) dan penyediaan kredit kepemilikan ternak sapi yang dilaksanakan bekerjasama dengan Bank Muamalat.

Permasalahan yang diidentifikasi oleh Tim Prima Tani (MAHFUD et al., 2007)

menunjukkan bahwa produktivitas dan kualitas susu hasil usaha ternak masih rendah. Kondisi ini menyebabkan penerimaan dari usaha sapi perah belum maksimal disamping kemung-kinan peran kelompok tani yang belum optimal. Produktivitas dan kualitas susu yang rendah tersebut disebabkan oleh manajemen pemberian pakan yang kurang tepat karena mahalnya harga pakan berkualitas, keter-sediaan pakan hijauan yang kurang di musim kemarau, serta belum dikuasainya teknologi pemanfaatan limbah pertanian sebagai bahan baku pakan. Inovasi yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain adalah pengenalan teknologi pemanfaatan limbah pertanian yang banyak tersedia dan belum dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan lumbung pakan (feed bank) dan strategi pemberian pakan (feeding strategy) mungkin juga merupakan hal yang sangat diperlukan.

Rendahnya kualitas susu dengan jumlah bakteri diatas 1 juta menyebabkan pendapatan ini belum optimal. Hal ini terkait dengan penanganan pascapanen yang kurang benar, sehingga secara langsung berdampak pada harga jual susu yang rendah. Untuk itu diperlukan pengenalan inovasi teknologi berupa pelatihan tentang: (i) tatacara pemeliharaan yang mengikuti good farming

practice, (ii) teknologi pemerahan dan

pengelolaan susu yang higyenis, (iii) pengolahan susu terutama yang berkualitas rendah menjadi produk olahan yang bernilai ekonomi, misalnya dodol susu, permen susu, dll, serta (iv) pelatihan pengolahan limbah

ternak menjadi produk yang bernilai jual, misalnya menjadi biogas atau pupuk kandang.

Peran kelembagaan petani (kelompok tani) dalam usaha peternakan sapi perah juga masih belum optimal. Hal ini terjadi karena: (i) kerjasama antar peternak belum terjalin dengan baik, (ii) individualisme peternak masih tinggi, dan (iii) kurangnya koordinasi antara kelompok tani dengan koperasi primer maupun mitra kerja lain. Inovasi yang diperlukan untuk masalah ini adalah inisiasi usaha bersama antar anggota kelompok tani yang dikoordinir oleh kelompok ternak serta optimalisasi peran kelompok ternak dalam hubungan kemitraan dengan koperasi primer maupun mitra kerja lain.

Jawa Tengah: -- Berdasarkan laporan

studi PRA tahun 2006 di Provinsi Jawa Tengah (UTOMO et al., 2006), lokasi Prima Tani yang mengembangkan ternak sapi perah sebagai komoditas unggulan adalah di Kabupaten Boyolali tepatnya di Desa Kembang, Kecamatan Ampel. Kawasan ini memiliki agroekosistem lahan kering dataran tinggi. Pemanfaatan lahan di Desa Kembang yang memiliki luas 604,0530 ha adalah untuk tegalan/kebun (73,15%), pekarangan/bangunan (26,18%), dan lainnya (0,67%). Dengan ketinggian sekitar 900 m dpl, pola curah hujan yang terjadi di Desa Kembang adalah 6 bulan kering dan 6 bulan basah, sehingga sumber airnya termasuk tadah hujan. Oleh karena itu, kegiatan pemanenan air hujan dengan embung atau bangunan penampung air lainnya menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya peningkatan produktivitas lahan.

Sapi perah di Desa Kembang merupakan komoditas ternak yang paling dominan diusahakan oleh petani dibanding ternak lainnya. Meskipun memelihara ternak merupakan pekerjaan sambilan, tetapi andilnya terhadap pendapatan petani sangat besar. Sebagian besar sapi perah adalah milik sendiri, walaupun ada yang menggaduh dari petani lain atau memanfaatkan kredit dari Bank Bukopin melalui KUD. Skala kepemilikan berkisar antara 1–3 ekor dengan rata-rata sapi yang mengalami laktasi hanya 1 ekor per KK.

Pemerahan sapi laktasi tidak dilakukan sendiri oleh petani, tetapi oleh para loper yang ada di desa, sedangkan petani hanya bertugas memberi pakan. Produksi susu secara umum dapat mencapai 10–12 liter/ekor/hari. Namun

(7)

jumlah tersebut masih tergolong rendah, yaitu disebabkan oleh pakan yang kurang berkualitas serta kuantitas yang tidak berimbang dalam pemberiannya. Kondisi perkandangan juga tidak mendukung dalam upaya menciptakan kandang yang bersih dan memadai, sehingga dilaporkan banyak sapi laktasi yang terkena penyakit mastitis.

Dalam pengamatan tim Prima Tani (UTOMO et al., 2006) diketahui bahwa petani kekurangan modal untuk memperbaiki dan membangun kandang yang sesuai standar. Kualitas bibit sapi yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi susu. Pada umumnya petani tidak memperhatikan tentang replacement stock. Petani membeli sapi bibit dari pasar atau petani lain di dalam/luar desa sehingga tidak dapat diketahui tetua, silsilah atau recordingnya. Kondisi ini yang mungkin menyebabkan peningkatan mutu genetik tidak dapat berlangsung secara optimal. Sebagaian besar peternak biasanya tidak memasarkan langsung kepada konsumen, tetapi hanya memasarkan susu ke GKSI dalam bentuk susu segar. Kondisi ini menyebabkan peternak sangat tergantung pada kinerja GKSI. Manajemen yang kurang optimal, juga berdampak pada rendahnya kualitas susu, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap rendahnya harga jual susu. Petani juga mendapatkan tambahan penghasilan dari penjualan pedet jantan yang mencapai harga Rp. 1,2 – Rp. 1,5 juta untuk pedet baru lahir dan Rp. 3,5 – Rp. 4,5 juta setelah lepas sapih. Harga ini bervariasi tergantung dari jenis kelamin dan kondisi pedet. Bila pada masa lalu peternak lebih senang dengan pedet jantan, saat ini justru pedet betina yang dicari masyarakat, dan nilainya lebih tinggi dibanding pedet jantan.

Berdasarkan hasil laporan tim Prima Tani diketahui bahwa kebutuhan inovasi teknologi untuk menjawab permasalahan sapi perah sebagai komoditas unggulan spesifik lokasi di Kabupaten Boyolali meliputi: (i) penyediaan bibit pengganti (replacement) yang berkualitas unggul dan sehat, serta bebas dari cacat yang menurun, (ii) ketersediaan semen beku yang berkualitas dari elite bull yang sesuai, (iii) teknologi pakan terkait dengan pembuatan

complete feed berbasis bahan lokal, (iv)

penggunaan replacement sebagai bibit betina unggul terseleksi, (v) penggunaan semen beku

pejantan unggul (elite bull), teknologi perkandangan, teknologi pengendalian penyakit reproduksi serta, (vi) dalam hal penanganan pasca panen, perbaikan kemasan susu.

D.I. Yogyakarta: --Lokasi pengembangan

sapi perah dalam kegiatan Prima Tani adalah di propinsi DI Yogyakarta, yang berdasarkan laporan pelaksanaan PRA (FATCHUROCHIM et

al., 2007) terletak di Kabupaten Sleman

tepatnya di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem yang merupakan desa terluas dengan agroekosistem lahan kering dataran tinggi iklim basah. Pemanfaatan wilayah seluas 1.430 ha terbagi dalam 265 ha untuk lahan sawah dan 747 ha untuk pekarangan, tegalan dan tempat rekreasi. Secara geografis, Desa Hargobinangun terletak pada ketinggian 700-1.325 m dpl dengan curah hujan 3.764 mm/ tahun dan suhu rata-rata harian 260C. Secara umum sebagian besar lahan pertaniannya terletak pada ketinggian 550-800 m dpl, dengan pola hujan dipengaruhi oleh sistem

monsoonal yaitu puncak musim hujan pada

bulan Januari-Maret dan puncak musim kering pada bulan Juli-September. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun untuk kegiatan pertanian (termasuk peternakan) berasal dari mata air di lereng Gunung Merapi.

Hasil PRA Tim Prima Tani Kabupaten Sleman (FATCHUROCHIM et al., 2007)

menunjukkan bahwa komoditas ternak sapi perah merupakan salah satu komoditas strategis untuk dikembangkan di Desa Hargobinangun, selain komoditas pertanian seperti sayuran, buah-buahan tropis dan tanaman hias (Tabel 4). Populasi sapi perah yang ada di desa Hargobinangun berjumlah sekitar 3.000 ekor. Produksi susu yang dihasilkan langsung dibeli dan ditampung oleh Koperasi UPP Kaliurang, Koperasi Warga Mulya dan Koperasi Sarono Makmur. Koperasi UPP Kaliurang telah mendapat bantuan berupa

cooling unit dengan kapasitas kurang lebih

3.000 liter. Dalam manajemen pemberian pakan, peternak biasanya memberikan rumput gajah dan rumput alam serta konsentrat yang merupakan campuran bekatul atau dedak padi dan konsentrat. Selain itu peternak juga memberikan limbah pertanian (jerami padi dan jagung) sebagai sumber serat. Hal ini menunjukkan bahwa peternak telah

(8)

memanfaatkan berbagai bahan pakan lokal yang berasal dari limbah pertanian. Akan tetapi dalam pelaksanaannya belum ada sentuhan inovasi secara optimal.

Peternak masih kurang memperhatikan atau menerapkan good farming practice dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya penyuluhan, atau insentif harga yang diterima peternak belum mampu mendorong peternak untuk menjalankan manajemen yang baik. Selain mendapatkan penghasilan dari produksi susu, peternak juga mendapatkan tambahan pendapatan dari

pengolahan limbah ternak sapi menjadi pupuk kompos. Pengolahan limbah tersebut dilakukan di satu lokasi terpusat yang diinisiasi oleh Tim Prima Tani. Bahkan ada juga peternak yang memanfaatkan urine sapi sebagai pupuk cair untuk tanaman sayuran. Urine sapi tersebut ditampung kemudian digunakan untuk menyiram sayuran secara langsung tanpa diproses terlebih dahulu.

Kelebihan dan kekurangan ternak sapi perah dan komoditas lain yang diidentifikasi oleh Tim PRA Prima Tani Kabupaten Sleman seperti terlihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Keunggulan sapi perah di Desa Hargobinangun

Aspek Sayuran sebagai

komoditas utama

Tanaman hias sebagai komoditas utama

Sapi perah sebagai komoditas utama

Persyaratan penggunaan lahan ** ** ***

Kebutuhan inovasi teknologi ** *** ****

Tingkat keberhasilan (resiko kegagalan kecil) ** *** ***

Prospek keberlanjutan inovasi teknologi ** *** ****

Efek pengganda ** ** ***

Keterkaitan antara komoditas utama dan penunjang

** ** ****

Ketersediaan teknologi Badan Litbang Pertanian

*** **** ***

Persepsi dan preferensi petani *** **** ****

Prospek ekonomi dan peluang pasar *** **** ****

Pertimbangan ekologi ** *** ****

Keterangan: Semakin banyak tanda ‘*’ semakin tinggi skor aspek tersebut Sumber: FATCHUROCHIM et al. (2007)

PENUTUP

Ternak merupakan komoditas andalan di 168 lokasi atau mencakup 68% dari 201 lokasi Prima Tani, namun hanya 3 lokasi yang memilih sapi perah sebagai komoditas andalan, yaitu: (i) terletak di Desa Tutur, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, (ii) di di Desa Kembang, Kecamatan Ampel, Kabupten Boyolali, dan (iii) di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Kontribusi usaha sapi perah dalam pendapatan keluarga sangat dominan, walaupun sebagian besar peternak belum menerapkan good

farming practice. Manajemen pemeliharaan

yang belum optimal menyebabkan kualitas susu yang dipasarkan kurang baik, terutama kandungan TPC nya yang masih cukup tinggi,

sehingga harga yang diterima peternak tidak maksimal. Kelembagaan agribisnis di ketiga lokasi ini sudah cukup baik, namun masih perlu dioptimalkan agar peternak dapat memperoleh akses yang lebih baik dalam hal permodalan, inovasi dan pemasaran yang lebih menguntungkan.

Meningkatnya harga susu akhir-akhir ini telah menggairahkan kembali usaha sapi perah di ketiga lokasi ini, namun peternak masih menghadapi masalah pakan, baik sumber serat maupu konsentrat. Pada musim kering rumput sulit diperoleh, sementara itu limbah pertanian yang diberikan belum ditingkatkan kualitasnya (feed enrichment). Sebagian besar peternak juga belum memiliki lumbung pakan (feed

bank). Harga konsentrat yang terus meningkat

belum disikapi oleh peternak dengan aplikasi inovasi yang terkait dengan strategi pemberian

(9)

pakan sesuai kondisi fisiologis ternak (feeding

strategy). Prima Tani diharapkan mampu

menyediakan inovasi untuk mengatasi masalah yang dihadapi petani dalam hal: (i) pemberdayaan kelembagaan yang relatif sudah cukup baik, (ii) aplikasi teknologi inovatif dalam penyediaan pakan murah berbasis sumberdaya lokal, (iii) inovasi terkait dengan penyediaan semen, replacement, dan obat-obatan, (iv) penanganan pasca panen, (v) pengolahan limbah, serta (vi) pemasaran susu segar.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS. 2007. http:/www.primatani.litbang. deptan.go.id

BADAN LITBANG PERTANIAN. 2006. Petunjuk teknis Participatory Rural Appraisal (PRA) Prima Tani. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. BOEDIYANA, T. 2006. Pengembangan model usaha

agribisnis sapi perah dalam upaya peningkatan pendapatan usaha kecil dan menengah. Makalah disampaikan pada acara Lokakarya Persusuan Nasional, Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Senin, 27 November 2006 di Bandung.

DATABASE KOMPILASI. 2007. Sekretariat Prima Tani. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. DEPARTEMEN PERTANIAN RI. 2006. Pedoman Umum

Prima Tani. Deptan, Jakarta.

DIWYANTO, K. DAN HERLIANTIEN. 2006. Aplikasi teknologi inovatif sexing dalam program inseminasi buatan dan usaha cow-calf operation. Wartazoa Vol. 16 No. 4 pp 171-180.

DIWYANTO, K. dan A. PRIYANTI. 2007. Pengembangan industri peternakan berbasis sumberdaya lokal. Makalah disampaikan pada acara Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IX, LIPI, Jakarta, 20-22 November 2007.

FATCHUROCHIM,M.,SUHARDI,R.RIVAI,H.HANAFI, SUHARNO, S. RAHAYU, B. SETYONO, R. HENDRATA, T. MARTINI, dan FIBRIYANTI. 2007. Laporan pelaksanaan PRA (Rancang Bangun Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah/LKDRIB) Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem, kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian DI Yogyakarta.

MAHFUD M.C.,D.RACHMAWATI,S.NURBANAH,dan ISMIYATI. 2006. Laporan kegiatan Participatory Rural Appraisal lokasi Prima Tani di Desa Tutur, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.

SOEHADJI. 1992. Usaha peternakan sekarang dan masa depan. Prosiding Agro-Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

SULISTIYANTO, S.S. 2008. Prospek dan Pengembangan Usaha Agribisnis (Usaha Persusuan bagi Koperasi). Disajikan pada: Workshop Pengembangan Peternakan dalam Bidang Usaha Agribisnis Peternakan. Kadin, Jakarta, 18 Maret 2008.

UTOMO B.,T.PRASETYO,SARJANA,M.D.PERTIWI, DAN S. C. BUDI. 2006. Laporan studi pemahaman desa secara partisipatif dalam rangka kegiatan Prima Tani di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Data yang digunakan pada Tabel 2 apakah data di lokasi atau seluruh Indonesia ?

2. Komponen-komponen apa saja yang dilakukan di Prima Tani? Apakah sampai pada pemecahan masalah di lokasi?

Jawaban:

1. Data yang digunakan pada Tabel 2 merupakan data yang mencakup seluruh Indonesia yang diolah oleh GKSI Pusat. 2. Komponen-komponen yang dilakukan di

Prima Tani adalah Participatory Rural

Appraisal (PRA) kemudian Rancang

Bangun Laboratorium Agribisnis. Dalam PRA itu sendiri ada beberapa tahapan yang dilaksanakan, antara lain persiapan (pertemuan dengan pemerintah daerah, instansi terkait, pemerintah kecamatan dan desa, serta kelompok tani, dan pemahaman data sekunder serta peta lokasi), wawancara dengan petani, jelajah lapang, analisis hasil PRA, diskusi hasil PRA dengan instansi

(10)

terkait dan petani, serta penyusunan laporan. Berdasarkan tahapan PRA tersebut, terlihat bahwa jangkauannya sampai pada pemecahan masalah di lokasi

yang merujuk pada hasil wawancara dengan petani maupun pihak-pihak terkait lainnya, yang kemudian ditindaklanjuti melalui rancang bangun laboratorium agribisnis yang akan didirikan.

Gambar

Tabel 2. Kondisi dan kinerja GKSI  No  Informasi dan parameter  Angka  1  Jumlah anggota koperasi/
Tabel 3. Banyaknya lokasi prima tani  yang memilih komoditas ternak sebagai  komoditas unggulan
Tabel 4. Keunggulan sapi perah di Desa Hargobinangun

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan merupakan data primer, yaitu data berasal dari penelitian perubahan makroskopis dan mikroskopis hepar tikus wistar dari kelompok kontrol dan

Sir John Hershel, salah satu dari astronomer besar di Inggris, dan orang yang dianggap oleh banyak orang sebagai bapak astronomi modern, melaporkan bahwa ia telah

Hal-hal yang penting diperhatikan dalam  penentuan kestabilan suatu zat dengan cara kinetika kimia adalah:.. Farktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan

Andil/sumbangan deflasi per kelompok pengeluaran pada Agustus 2017, yaitu: kelompok bahan makanan 0,62 persen; kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,13

(2) Dalam hal hasil penyelidikan oleh DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu

[r]

Berdasarkan perhitungan effect size disimpulkan bahwa perbedaan hasil belajar siswa yang diberi model pembelajaran direct insruction dengan guide note taking

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti menemukan problem yang belum terlalu berjalan dalam sistem pengawasan kepala sekolah terhadap guru di SDN INP