• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM. . - endogen yang digunakan dalam penelitian ini, diikuti dengan gambaran ringkas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM. . - endogen yang digunakan dalam penelitian ini, diikuti dengan gambaran ringkas"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

Berikut ini diuraikan gambaran umum perkembangan variabel-variabel

.

-

endogen yang digunakan dalam penelitian ini, diikuti dengan gambaran ringkas pembangunan pertanian dan perdesaan di Indonesia.

4.1. Perkembangan Variabel-variabel Endogen 4.1.1. Pengangguran

Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia antara tahun 1984 sampai 1993 relatif konstan pada angka 2 juta jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat terjadi

lonjakan jumlah pengangguran, namun pada tahun 1996 dan 1997 jumlah pengangguran berhasil ditekan. Tetapi ini tidak berlangsung lama, sebab sejak tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2003 jumlahnya diperkirakan mencapai 10.1 juta jiwa (Gambar 10).

Pengangguran Terbuka

1

I

tahun

I

Gambar 10. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia Tahun 1984-2003

(2)

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasat domestik di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usaha. Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor terus terjadi sehingga jumlah pengangguran semakin me~ngkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan 1997 meningkat kembali sejak tahun 1998. Pada tahun 1998 jumlah pengangguran terbuka tercatat sekitar 5.1 juta jiwa atau 5.5 persen dari total angkatan kerja, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencapai sekitar 4.2 juta jiwa atau 4.7 persen dari total angkatan ke rja

Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan. Pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 4.8 persen. Situasi ekonomi dunia yang membaik disertai dengan permintaan domestik yang meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM), meningkatkan kegiatan usaha mereka, baik untuk memenuhi konsurnsi domestik maupun ekspor. Hal ini berdampak positif pada penyerapan tenagakerja Pada tahun ini jumlah pengangguran terbuka sedikit berkurang dari

6

juta jiwa pada tahun 1999 menjadi 5.9 juta jiwa

Walaupun demikian, sejumlah permasalahan s t n h u a l dan faktor ketidakpastian

masih

berlanjut dan menjadi kendala bagi proses p e m u l i i ekonomi secara lebih cepat dan berkelanjutan. Pada tahun 2001, perekonomian dunia melambat dan bahkan mengalami resesi sejak akhir triwulan pertama 2001, ditambah dengan kondisi sosial dan keamanan di dalam negeri yang belum stabil, serta gejolak politik yang berujung pada pergantian pemerintahan di pertengahan

(3)

2001, telah berdampak negatif terhadap perkembangan ekonomi dan moneter selama tahun 2001. Di sektor nil, kegiatan investasi dan produksi menjadi sangat terbatas terutama karena masih tingginya risiko dan ketidakpastian usaha, lambatnya proses restrukturisasi utang perusahaan, serta masih berlangsungnya konsolidasi internal perbankan dan perusahaan. Ekspor juga melambat terutama karena resesi yang terjadi pada perekonomian dunia. Semua ini berdampak negatif terhadap penyerapan tenagakerja sehingga jumlah pengangguran mengalami peningkatan cukup besar sekitar 19.1 persen dari tahun sebelumnya

Keadaan

makroekonorni tahun 2002 mulai membaik, namun pertumbuhan ekonomi yang masih rendah belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Jumlah pengangguran semakin meningkat karena besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebandiig dengan penambahan lapangan kerja. Selain karena bertambahnya angkatan keja baru, jumlah penganggw yang bertarnbah juga disebabkan oleh meningkatnya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Walaupun pada tahun 1999 dan 2000 kasus PHK sempat menurun tapi meningkat kembali pada tahun 2001 dan 2002. Bahkan jumlah tenagakerja yang terkena PHK tahun 2002 mencapai sekitar 116 ribu orang, mendekati jurnlah selama puncak krisis pada tahun 1998 yang tercatat sebanyak 127 ribu orang. Peningkatan

PHK

terjadi terutama karena pengurangan atau penghentian sejumlah

aktivitas produksi di sektor industri pengolahan. Angka pengangguran tersebut juga diperparah oleh dampak tragedi Bom Bali yang mengakibatkan melambatnya kegiatan ekonomi di sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi

(4)

Kondisi peningkatan pengangguran ini terns berlanjut sampai tahun 2003. Meskipun keadaan makroekonomi cenderung stabil dan membaik, namun perkembangan makroekonomi ini belum mampu menggerakkan sektor riil. Pertumbuhan ekonomi 4.1 persen yang dicapai hanya memberikan tambahan lapangan keja- sekitar 1.1 juta orang. Sementara angkatan ke rja pada tahun 2003 meningkat sebesar 2.4 juta orang. Dengan demikian berarti tambahan lapangan kerja baru ini belum mampu mengurangi tingkat pengangguran. Angka pengangguran pada 2003 diperkirakan mencapai 10.1 juta orang, tertinggi sejak te rjadinya krisis tahun pada 1997 (BI, 2003).

Gambar 1 1. Kasus Pernutusan Hubungan Ke rja Tahun 1996-2002 Sumber: BI (2003)

Peningkatan jumlah pengangguran terbuka ini tidak terlepas dari faktor kurang kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan hukum di Indonesia mengakibatkan investor enggan menanamkan modalnya dan berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja baru. Kondisi yang tidak kondusif ini juga mengakibatkan beberapa perusahaan besar di bidang tekstil, sepatu, pariwisata, pengangkutan, dan bidang lainnya melakukan rasionalisasi

(5)

atau bahkan menghentikan kegiatan produksi. Sebagai akibatnya, kasus pemutusan hubungan ke rja (PHK) masih terus meningkat. Jumlah tenagake rja yang terkena PHK meningkat mencapai sekitar 128 ribu orang (Tabel 3). Angka ini lebih tinggi dari jumlah pekerja yang terkena PHK tahun 1998 yang mencapai sekitar 127 ribu orang.

Tabel 3. Jumlah Kasus dan Tenagakerja PHK

Sumber: Depnakertrans (2003). Bulan Januati Feb~ari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah

Sejalan dengan itu, rendahnya kualitas tenagakerja Indonesia juga menjadi hambatan bagi penyerapan tenagakerja Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada saat permintaan

akan

tenagakerja relatif terbatas tetapi di sisi lain penawaran tenagakerja terus bertambah, rnaka persaingan

di

pasar tenagakerja akan menjadi semakin ketat. Indikator dari ketatnya persaingan tersebut tercermin dari perkembangan pangsa pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan (Tabel 4). Data pengangguran terbuka dari tahun 1997 sampai 2002

menunjukkan p e n m a n pengangguran yang terjadi pada pekerja dengan latar belakang pendidiian SMA atau lebih. Sedangkan untuk level p e n d i d i i yang lebih rendah te rjadi peningkatan pangsa pengangguran. Perkembangan ini

Kasus PHK 226 264 117 123 203 228 21 9 180 309 184 161 f 80 2 394 Tenagakerja PHK 11 685 7 052 14 557 6 814 9032 88M) 10 093 16421 12 080 11 750 6 207 13 640 128 191 -

(6)

menyiratkan adanya penetrasi dari tenagake rja berpendidikan tinggi ke lowongan peke jaan dengan kualifikasi pendidikan yang lebih rendah (BI, 2003).

Tabel 4. Pengangguran Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Statistik Tahunan BPS

4.1.2. Kerniskinan

Sebelum krisis tejadi, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang. Seperti terlihat pada Gambar 12, dari tahun 1984 sampai tahun 1996, jumlah penduduk miskin

di Indonesia terus menurun. Pada tahun 1996 jumlah

penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan diperkirakan sebesar 22.5 juta jiwa atau sekitar 11.30 persen dari seluruh penduduk di Indonesia. Dari jumlah ini

sekitar 7.2 juta jiwa berada di perkotaan atau 9.7 persen dari seluruh penduduk perkotaan, dan 15.3 juta jiwa berada di perdesaan atau 12.3 persen dari seluruh

penduduk perdesaan.

Namun semenjak krisis yang melanda Indonesia tahun 1997, jumlah penduduk miskin meningkat drastis dan mencapai puncaknya sebesar 49.5 juta jiwa atau 24.20 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 1998. Kondisi

(7)

perekonomian dan situasi politik dan keamanan yang sedikit membaik sejak tahun 1999 telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Sejak tahun 1999, jumlah penduduk miskin secara perlahan-lahan mengalami penurunan hingga tahun 2003 mencapai 37.3 juta jiwa atau 17.32 persen. Dari jumlah ini, sekitar 12.3 juta jiwa berada di perketaan dan 25.0 juta jiwa berada di perdesaan. Walaupun mengalami penurunan, namun angka ini tetap masih besar bagi perekonomian.

I

Jumlah Penduduk Miskin

I

I

tahun

I

Gambar 12. Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1984-2003 Sumber: BPS (2001,2002), diolah

Angka kerniskinan ini terkait erat dengan ketersediaan lapangan kerja Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, penyediaan tambahan lapangan kerja menjadi sangat terbatas sehingga belum mampu menyerap tambahan angkatan ke rja baru. Kondisi kelebihan penawaran tenagake rja telah menyebabkan sebagian pencari kerja terpaksa menerima upah dan pekejaan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Selain itu, tingginya laju intlasi semenjak krisis mengakibatkan upah pekerja secara riil

turun.

Menurunnya pendapatan masyarakat bersamaan dengan melonjaknya harga secara tajam mengakibatkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kerniskinan meningkat.

J i i membandiigkan perkembangan jumlah penduduk miskin di

perdesaan clan perkotaan, terlihat bahwa sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan dengan perbandingan sekitar 7 banding 3 (Gambar 13). Dan, pada

(8)

saat p q c a k krisis t d ~ u n 1998, peningkatan penduduk miskin di perdesaan mencapai 71.1 persen, lebih besar daripada peningkatan penduduk miskin di perkotaan yang hanya 65.3 persen. Persistensi jar& (gap) antara kedua kurva kemiskinan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa kemiskinan yang berlangsung cenderung benifat struktural.

Penduduk Mikin di Urban dan Rural

40.00 - n 30.00 - ,'

*+.

-

*'-%a r h o , 0 0 - . 7 ~ . , , , . . ,

&

~

@

~

&

~

~

~

~

c

o

f

p

~

/-POVU-.O.-POVR~ bhun

Gambar 13. Penduduk Miskin di Perkotaan dan di Perdesaan Sumber: BPS (diolah)

Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di perdesaan dan sebagian besar dari mereka adalah petani yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal sektor pertanian disebut-sebut sebagai penolong perekonomian Indonesia dari keterpudan selama krisis, namun temyata pengaruh krisis tetap lebih memiskinkan penduduk di perdesaan. Melihat itu, sudah seharusnya pembangunan pertanian

dan

perdesaan tidak lagi diiarjinalkan.

4.13. Tenagakerja

Tenagakerja mempakan salah satu faktor produksi penggerak perekonomian. Data jumlah angkatan keqa Indonesia dari tahun 1984 sampai 2003 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan perturnbuhan rata-rata 2.75 persen per tahun. Tetapi dari antara angkatan k e j a inj, persentase yang bekerja m e m i l i kecenderungan menurun temtama pada periode setelah krisis. Seperti

(9)

terlihat pada Gambar 14, kesenjangan (gap) antara kurva angkatan kerja dan kurva tenagakerja semakin melebar. Berdasarkan data pada Tabel 5, terlihat bahwa antara tahun 1998 sampai tahun 2003, persentase yang bekerja menurun 0.91 persen per tahun. Sebaliknya, persentase yang menganggur cenderung m e ~ n g k a t dengan pertumbuhan 13.4 persen per tahun. Ini berarti, dari tahun ke tahun peningkatan jumlah pengangguran jauh lebih besar daripada peningkatan jumlah yang bekerja.

I

I

Angkatan Ksrja dan.Tenaga Kerja Indonesia

120.w ,

i

tahun

-AngM. Kerja

- -

-c

.

-

Tenaga Kerja

Gambar 14. Angkatan Ke rja dan Tenagakerja di Indonesia Sumber: BPS, ADB (diolah)

Dari seluruh penduduk yang beke rja, sebagian besar diantaranya (di atas 40 persen) bekerja

di

sektor pexhian. Persentase ini meningkat cukup

besar

saat krisis yaitu dari 40.73 persen pada tahun 1997 menjadi 44.96 persen pada tahun

1998. Padahal pada tahun yang sama semua sektor lainnya mengalami p e n m a n dalam penyerapan tenagakerja Sektor lainnya yang menyerap tenagakerja cukup besar adalah sektor perdagangan (19.42 persen), sektor industri (13.21 persen),

dan

sektor jasa (1 1.30 persen).

Agar mampu menekan peningkatan pengangguran, jumlah angkatan kerja yang terus meningkat perlu segera diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja

(10)

baru. Sejalan dengan itu, peningkatan kualitas dan ketrampilan tenagakeja juga penting untuk diperhatikan agar dapat meningkatkan daya saing tenagakeja Indonesia.

Tabel 5. Komposisi Angkatan Ke j a Tahun 1984-2003

Sumber: BPS, ADB (diolah)

4.1.4. Modal Sumberdaya Manusia (Human Capirar)

Penawaran tenagakerja yang melebihi permintaannya mengakibatkan peningkatan persaingan

dalam

pasar tenagakeja Dari data komposisi pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan terlihat bahwa jumlah pengangguran yang berpendidikan di bawah SLTA cenderung meningkat dan sebaliknya, jumlah pengangguran yang berpendidikan SLTA atau lebii cenderung menurun. Ini mengindikasikan bahwa tenagakeja yang b e r p e n d i d i semakin dibutuhkan oleh pasar tenagakerja.

(11)

Grafik di bawah ini memperlihatkan rasio angkatan keja yang berpendidikan S1 terhadap total angkatan keja. Grafik ini terlihat agak fluktuatif namun memiliki kecenderungan meningkat dengan perhmbuhan 12.3 persen per tahun. IN berarti, ditinjau dari tingkat pendidikannya kualitas tenagakeja di Indonesia semakin membaik.

P ( D r n O N P ( D r n 0 N

r n m r n m m m m m o o

m ~ ~ m ~ ~ ~ g o o

.-

,-

N N

tahun

Gambar 15. Rasio Angkatan Ke j a yang Berpendidikan S1 terhadap Total Angkatan Kerja

Sumber: Depnakertrans (diolah) 4.1.5. Produk Domestik Bruto (PDB)

Berdasarkan data PDB riil tahun 1984 sampai 1997 terliit bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.26 persen per tahun. Pertumbuhan yang cukup tinggi

ini

membuat Indonesia disebut- sebut sebagai salah satu Macan Asia Pada tahun 1997 Indonesia berhasil mencapai PDB nil sebesar 433.2 triliun rupiah. Tetapi krisis tahun 1998 telah berdampak serius pada pertumbuhan ekonomi Indonesia PDB nil turun drastis sebesar 13.1 persen menjadi 376.4 triliun rupiah (Gambar 16).

DaIam kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan kenaikan harga justru semakin tinggi dan disertai pula oleh gejolak nilai tukar yang tajam. Keadaan ini, bersama dengan ekspansi uang beredar yang naik pesat

(12)

membuat laju inflasi melonjak tinggi. Kepercayaan terhadap perbankan nasional terus memburuk, dan dalam kondisi ketidakpastian yang semakin meningkat membuat b g s i intermediasi perbankan praktis terhenti. Akibatnya, kegiatan produksi dan investasi di hampir selu~uh sektor ekonomi menurun drastis. Dalam keadaan keterpurukan ini, hanya sektor pertanian yang mampu bertahan dengan tetap memberikan sumbangan yang tinggi terhadap PDB dengan penurunan kecil sebesar 1.3 persen pada

tahun

1998 (Gambar 17), sementara pada

tahun

yang sama, PDB riil di semua sektor lainnya mengalami penurunan sebesar 15.2 persen (Gambar 18). Namun, perekonomian secara keseluruhan mengalami kontraksi yang amat dalam (Gambar 16), dan kondisi sosial politik juga semakin bergejolak sebagai dampak meluasnya pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi telah melahirkan krisis pada bidang-bidang lainnya.

Gambar 16. PDB Riil Berdasarkan Harga Konstan 1993 Sumber: BPS (diolah)

Gambar 17. PDB Riil Sektor Pertanian Gambar 18. PDB Riil Sektor Lainnya Sumber: BPS (diolah) Surnber: BPS (diolah)

(13)

Sejak tahun 1999, berangsw-angsw tejadi pemulihan terhadap perekonomian Indonesia. PDB riil pada tahun 1999 mengalami sedikit kenaikan sebesar 0.8 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan PDB terbesar disumbang oleh sektor pertanian dengan peningkatan 2.2 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara PDB sektor lainnya hanya meningkat 0.5 persen. Tidak dapat dipungkiri, stabilisasi dan pemulihan kegiatan ekonomi Indonesia bejalan relatif l e b i lambat bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Thailand dan Korea Selatan, yang juga mengalami krisis yang cukup dalam.

Struktur

dan pondasi perekonomian Indonesia yang lebii lemah membuat kita

sulit untuk bangkit dari krisis. Kondisi sosial politik clan keamanan yang tidak stabil, dunia usaha yang ambruk, serta sistem perbankan yang lemah telah membuat kita terpuruk dalam krisis yang berkepanjangan.

Penerapan kebijakan makroekonomi dalam mendorong kegiatan ekonomi masih dilematis. Di satu sisi, permintaan domestik yang melemah sebagai akibat krisis yang tejadi memerlukan kebijakan makroekonomi yang ekspansif. Akan

tetapi, di sisi lain laju i d a s i yang meningkat tajam sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah dan melonjaknya uang beredar menuntut kebijakan makroekonomi yang kontdctif. Terlebih lagi, memburuknya kepercayaan masyarakat selama krisis, khususnya terhadap sistem perbankan, telah mengakibatkan terganggunya mekanisme transmisi kebijakan moneter sehingga mengurangi keefektifan langkah-langkah yang ditempuh. Kesemuanya ini pa&

akhimya mengakibatkan kebijakan makroekonomi tidak &pat berjalan secara optimal dalam menanggulangi krisis.

(14)

Memasuki awal ahun 2000, proses pemulihan ekonomi semakin membaik dengan pertumbuhan PDB nil mencapai 4.92 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh faktor-faktor seperti situasi ekonomi dunia yang membaik dan membaiknya permintaan domestik. Beberapa kemajuan juga dicapai dalam proses restrukturisasi perbankan, penjadwalan kembali utang luar negeri pemerintah, dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara Bank Indonesia dan Pemerintah.

Namun, secara mikro masih banyak kendala yang membatasi pertumbuhan

investasi. Walaupun investasi bang diproksi dari pembentukan modal tetap bruto) meningkat sebesar 21.9 persen mencapai 93.4 triliun rupiah, namun nilai ini masih jauh di bawah tahun 1997 yang mencapai 139.7 triliun rupiah (Tabel 6). Kondisi ketidakpastian dan situasi politk dan keamanan yang belum stabil membuat ekspansi kredit perbankan masih relatif terbatas meskipun secara umum kondisi perhankan telah membaik. Proses restrukturisasi utang perusahaan dan utang luar negen swasta juga belum secepat yang diiarapkan. Besarnya beban pengeluaran pemerintah, terutama untuk pembayaran bunga utang dan subsidi, mengakibatkan kekhawatiran akan kesinambungan fiskal sehingga stimulus fiskal yang diberikan untuk mendorong pemulihan ekonomi rnasih sangat terbatas.

Kondisi pertumbuhan ekonomi yang membaik pada tahun 2000 ternyata tidak mampu dipertahankan pa& tahun berikutnya Pada tahun 2001, sejalan dengan keadaan ekonomi dunia dan kondisi sosial politik nasional yang memburuk, kondisi ekonomi dan moneter secara umum menunjukkan kecenderungan yang memburuk.

(15)

Tabel 6. Distribusi PDB menurut Penggunaan Berdasarkan Harga Konstan 1993 (Triliun Rp) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perubahan Stok

1

3.791 3.341 -6.391 -9.621 -27.201 -15.901 -17.701 -19.50 Pengeluaran Konsumsi Pemwintah PembentukanmalTetap Brut0 259.72

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 melambat dengan hanya tumbuh sebesar 3.3 persen. Rupiah juga mengalami depresiasi sebesar 17.7 persen, mencapai Rp10294 per dolar AS, dan tekanan idasi. meningkat dengan

peningkatan

IHK

sebesar 12.55 persen. Ekspor dan investasi yang diharapkan

dapat mendorong pertumbuhan PDB ternyata masing-masing hanya tumbuh sekitar 3 persen dan 1.9 persen, jauh lebih lambat dari pertumbuhan tahun

sebelumnya yang mampu mencapai 21.9 persen dan 26.7 persen.

Pada tahun 2002, kondisi makroekonomi secara umum membaik, namun perekonomian Indonesia masih menghadapi berbagai pennasalahan struktural

yang sulit diselesaikan seperti ketidakpastian

hukum,

ketidakpastian peraturan mengenai investasi akibat otonomi daerah, kondisi perburuhan yang term bergejolak, dan faktor keamanan yang belum sepenuhnya pulih. Semua faktor

31.68 128.70

Ekspor Barang dan Jasa lmpor Barang dan Jasa

ketidakpastian ini membuat perekonomian Indonesia tidak terlalu responsif

terhadap perbaikan makro yang telah dicapai. Investasi yang semula diiarapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hanya bertumbuh 0.42 persen. Perekonomian Indonesia pada tahun 2002 hanya mampu tumbuh sebesar 3.7%

277.12 31.70 139.73 Sumber: BPS 112.39 121.86 260.02 26.83 93.6 121.16 139.80 272.07 27.01 76.57 134.71 132.4 282.00 28.80 93.40 91.86 78.55 288.50 31.40 96.20 116.20 95.10 296.60 308.50 35.40 95.40 38.90 96.70 123.70 103.70 1 118.40 106.90 118.90 101.70

(16)

dan masih bertumpu pada konsumsi. Sementara itu, ekspor pada tahun ini menurun sebesar 0.83 persen karena berbagai faktor seperti lemahnya perekonomian global, meningkatnya persaingan di Asia, dan menurunnya daya saing Indonesia (BI, 2002).

Selanmtahun 2003, kondisi makroekonomi cenderung stabil dan membaik sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar 4.16 persen sehingga PDB riil mencapai 444.5 triliun rupiah, laju intlasi dan suku bunga yang menurun tajam, dan nilai tukar rupiah yang menguat dan stabil. Bila ditinjau dari pertumbuhan PDB secara sektoral, maka sejak tahun 2000 pertumbuhan PDB sektor pertanian menunjukkan peningkatan yang relatif konstan. Pertumbuhan PDB lebih banyak disumbang oleh sektor-sektor lainnya di luar pertanian. Namun pertumbuhan ekonomi ini masih belum memadai untuk menyerap tambahan angkatan k e j a sehingga jumlah pengangguran masih terus meningkat.

Berbagai permasalahan s t d t u r a l juga belum teratasi sehingga tidak

mampu mendorong investasi. Pada tahun ini investasi hanya tumbuh 4 persen. Pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh sektor konsumsi. Laju i d a s i yang

rendah pada tahun 2003 menyebabkan naiknya pendapatan nil masyarakat yang siap dibelanjakan, sedangkan tunmnya suku bunga memberikan pengaruh positif terhadap ketersediaan pembiayaan konsumsi. Sementara itu. kegiatan ekspor barang dan jasa masih menghadapi permasalahan baik itu

dari

segi produksi di dalam negeri (masalah permodalan dan daya saing produk yang lemah), maupun

(17)

Melihat perkembangan perekonomian Indonesia selama ini, seharusnya strategi yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi krisis dan memulihkan

kegiatan ekonomi tidak hanya mengandalkan kepada kebijakan makroekonomi

akan tetapi juga diimbangi oleh kebijakan mikroekonomi yang tepat dan perbaikan kelembagaan seperti memberikan jaminan kepastian dan penegakan hukum, penciptaan keadaan sosial politik dan keamanan yang stabil, serta memberikan stimulus fiskal yang tepat dan yang mampu menggerakkan sektor nil.

4.1.6. Niai Tukar Rupiah dan Inflasi

Pada periode sebelum krisis, laju nilai tuka~ dan inflasi di Indonesia cukup stabil dengan nifai

tukar

berkisar pada Rp 1 784.5 per dolar AS, sementara inflasi berkisar antara 7 sampai 9 persen seperti terlihat pada Gambar 19 dan 20. Saat

krisis mulai berlangsung tahun 1997, njlai tukar melemah hingga mencapai titik

Rp 2 866.3 per dolar AS dan laju inflasi meningkat mencapai 11.8 persen. Tetapi saat puncak krisis pada tahun 1998, nilai tukar rupiah mencapai titik Rp 9 804.3

per dolar AS

dan

laju i d a s i langsung melonjak mencapai 77.5 persen.

Gambar 19. Nilai Tukar Rupiah Gambar 20. Tingkat M a s i

Sumber: Depkeu (diolah) Sumber: Depkeu (diolah)

NbI Tukar Rupiah

M a s i pada tahun 1998, terutama, bersumber dari terganggunya kegiatan

Iminl

produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok, khususnya kelompok

(18)

harga barang impor yang kemudian mendorong kenaikan harga secara m u m . Apalagi masih banyak industri yang pasokan bahan bakunya bersumber dari impor. Kerusuhan Mei 1998 juga telah mengakibatkan rusaknya sentra-sentra perdagangan dan terganggunya jalur distribusi. Di samping itu, ekspansi moneter yang sangat besar juga ikut memberikan tekanan terhadap inflasi.

Pada tahun 1999 perekonomian berangsur-angsur pulii. Nilai tukar rupiah juga membaik mencapai Rp

7

881.6 per dolar AS. Sejalan dengan pulihnya kembali sistem distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan relatif terkendalinya besaran moneter, laju inflasi pun berangsw-angsur menurun. Pada tahun 1999 laju inflasi hanya mencapai 2 persen.

Pada tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Namun, pemulihan kegiatan ekonomi disertai dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) telah mendorong kenaikan di sisi

permjntaan, baik untuk konsumsi, impor maupun investasi. Kenaikan sisi permintaan ini belum dapat diimbangi oleh sisi penawaran, dan akibatnya tekanan kenaikan harga menjadi tinggi. Nilai tukar rupiah pada tahun

ini

melemah kembali mencapai Rp 8 107 per dolar AS. Melemahnya nilai tukar rupiah yang lebih besar

dari yang diperkirakan juga mendorong kenaikan harga melalui kenaikan harga barang-barangimpor. Tekanan ini semakin besar dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai subsidi srta dengan semakin tingginya ekspektasi peningkatan laju i d a s i . Secara keseluruhan, laju i d a s i tahun 2000

mencapai 9.35 persen.

Tekanan inflasi pada tahun 2001 meningkat lebii tinggi dan mencapai 12.55 persen. Meningkatnya tekanan inflasi ini bersumber dari semakin kuatnya pengaruh

(19)

kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang meliputi kenaikan beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air minum dan rokok, serta kenaikan upah minimum tenagakerja swasta dan gaji pegawai negeri.

Tingginya tingkat inflasi juga disebabkan karena meningkatnya biaya pada tingkat produsen akibat melemahnya nilai tukar rupiah yang mencapai titik terendah Rp 10 294 per dolar AS, memburuknya ekspektasi inflasi yang terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan kebijakan pemerintah tersebut, serta adanya keterbatasan produksi tanaman bahan makanan.

Tahun berikutnya, inflasi sedikit menurun mencapai 10.03 persen. Penurunan inflasi

ini terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar rupiah

yang disertai dengan rendahnya tingkat volatilitas dan membaiknya ekspektasi inflasi. Sementara itu, permintaan domestik juga belum menyebabkan tekanan inflasi yang nyata karena meningkatnya pasokan barang konsumsi yang berasal dari impor.

Walaupun menunjukkan kecenderungan menurun, namun perkembangan inflasi

IHK

ini masih sedikit di atas sasaran 2002. Relatif tingginya inflasi terjadi

pada semester kedua tahun 2002 dan disebabkan antara lain oleh dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan seperti

BBM

dan TDL (Tarif Dasar Listrik) yang lebii tinggi dari perkiraan awal tahun, serta ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang masih tinggi walaupun telah menunjukkan perbaikan.

Selanjutnya, perkembangan inflasi selama 2003 menunjukkan kecenderungan menurun. I d a s i

IHK

tahun 2003 tercatat sebesar 5.06 persen, menurun tajam dibandigkan tahun 2002. Penurunan ini terutama bersumber dari

(20)

p e n m a n harga di kelompok bahan makanan dan lebih rendahnya peningkatan harga harnpir di seluruh kelompok barang.

Pada tahun 2003 nilai tukar rupiah menguat clan ekspektasi inflasi juga menurun. Penguatan nilai tukar rupiah dan perkembangan inflasi beberapa negara mitra dagaag- yang relatif menurun dibandingkan tahun sebelumnya telah menurunkan harga barang impor

dan

meningkatkan volume impor di tahun 2003.

Akibatnya, sekalipun permintaan agregat yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan ekonomi meningkat selama 2003, namun peningkatan ini dapat diimbangi oleh penawaran agregat yang cukup terutama berkat dukungan impor barang sehingga tidak memberikan tekanan kenaikan harga yang berarti.

Selain itu, realisasi kebijakan pemerintah di bidang harga di tahun 2003

jauh lebii rendah dibandigkan perkembangan di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor yakni: (1) perubahan cara penetapan harga BBM pada sidang kabinet tanggal 20 Januari 2003, yang pada intinya menetapkan bahwa harga

BBM

tidak akan diubah selama harga minyak dunia belum

berada

pada kisaran yang wajar, yakni yang tidak terlalu jauh dari asumsi APBN 2003, (2) pembatalan kenaikan TDL triwulan

IV-

2003, clan (3)

tidak

dinaikkannya tarif cukai rokok untuk tahun 2003 (BI, 2003).

4.1.7. Ekspor Bersih

Nilai ekspor bersih berdasarkan harga berlaku yang semuia bernilai -1.78

triliun rupiah pada tahun 1997 melonjak mencapai 93.2 triliun rupiah pada tahun

1998. Peningkatan ekspor bersih ini terutama disebabkan karena depresiasi rupiah yang sangat besar pada tahun tersebut dimana nilai tukar rupiah mencapai Rp

(21)

AS. Depresiasi ini mengakibatkan peningkatan yang sangat tinggi baik pada nilai ekspor maupun impor. Tetapi karena kondisi dunia usaha yang lesu dan daya beli masyarakat yang lemah akibat krisis, maka kenaikan nilai impor tidak sebesar kenaikan ekspor. Akibatnya nilai ekspor bersih meningkat (Gambar 21).

Ekspor Be rsih 140000.00 120000.00 C

.%

80000.00 60000.00

.-

E 20000.00 0.w

I

tahun

Gambar 21. Perkembangan Ekspor Bersih Tahun 1984-2003

Sumber: ADB (diolah)

Pada tahun 1999, nilai ekspor bersih menurun mencapai 89.9 triliun rupiah. Pada tahun ini, baik ekspor maupun impor sama-sama mengalami

penurunan yang cukup besar. Kinerja ekspor mengalami penurunan diiarenakan berbagai hambatan baik eksternal maupun internal. Di sisi eksternal, menurunnya

volume perdagangan dunia karena krisis global telah menyebabkan permintaan melemah. Permintaan yang lesu tersebut lebih lanjut menyebabkan harga komoditas yang diperdagangkan cenderung menurun. Di sisi internal, kelangkaan bahan baku dan bahan penolong impor, serta kesulitan memenuhi modal kerja telah menyulitkan perusahaan dalam memenuhi kapasitas produksi.

Dan,

akhirnya pemenuhan kebutuhan produksi barang ekspor menjadi terganggu. Faktor keamanan dalam negeri yang rawan kerusuhan juga mengganggu kelancaran proses pengiriman barang sehingga menimbulkan kekhawatiran pihak pembeli di luar

(22)

negeri terhadap kemampuan pihak eksportir untuk memenuhi pesanan dengan tepat waktu.

Nilai impor pada tabun ini juga merosot tajam. P e n m a n impor migas terutama disebabkan oleh turunnya harga minyak mentah. Selain itu, konsumsi BBM di dalam negeri juga t m sejalan dengan turunnya kegiatan usaha. Sementara itu, p e n m a n nilai impor non-migas tejadi pada semua keiompok barang, baik barang konsumsi, bahan baku, maupun barang modal. Penurunan impor non-migas terutama berkaitan dengan turunnya daya beli masyarakat sebagai akibat tajamnya depresiasi rupiah.

Pada tahun 2000, sejalan dengan p e m b u h a n ekonomi yang cukup tinggi, ekspor bersih juga mencatat peningkatan cukup besar sebesar 34.6 persen mencapai 119.7 triliun rupiah. Pada tahun ini, baik ekspor maupun impor mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor terutama berasal dari peningkatan ekspor migas sehubungan dengan tingginya harga minyak di pasar intemasional. Untuk mendorong ekspor non-migas, pemerintah juga telah mengambil langkah- langkah kebijakan, antara lain melalui p e n m a n tarif pajak ekspor secara bertahap, pengelurn keputusan tentang ketentuan kuota ekspor tekstil

dan

produk tekstil, penyediaan pembiayaan, dan penjaminan yang tennasuk pula

pemberian jasa konsultasi, serta usaha lainnya dalam ran& mendorong dan memperlancar kegiatan ekspor. Disamping itu, pemerintah juga mendorong perluasan pasar tujuan ekspor.

Sementara di sisi lain, impor juga meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Tingginya pertumbuhan impor juga tidak terlepas

dari

berbagai kebijakan yang telah ditempuh pemerintah untuk melakukan

(23)

upaya restrukturisasi perdagangan luar negeri, antara lain penyempurnaan berbagai skim pembiayaan dan penjaminan, dan pembukaan kembali akses ke sumber-sumber perdagangan internasional.

Dalam tahun 2001, nilai ekspor bersih cenderung menurun. Ini disebabkan karena peningkatan nilai impor yang lebih besar dari peningkatan ekspomya. Ekspor hanya meningkat sebesar 69.6 triliun rupiah sementara impor me~ngkat 98.1 triliun rupiah. Melambatnya pertumbuhan ekspor tidak terlepas dari

perkembangan kondisi ekstemal maupun intemal. Dari sisi ekstemal, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, terutama di negara-negara tujuan ekspor, yang diperburuk oleh dampak tragedi WTC 11 September 2001, dan

turunnya harga-harga komoditas utama, telah mempengaruhi kinerja ekspor. Di sisi intemal, melambatnya ekspor tersebut dipengaruhi oleh terjadinya gangguan produksi dan distribusi yang disebabkan oleh meningkatnya faktor ketidakpastian sehubungan dengan masih maraknya aksi mogok buruh, gangguan keamanan, dan masih belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan.

Pada tahun 2002, ~ l a i ekspor dan impor Indonesia menurun. Ekspor bersih juga hanya meningkat 2.75 persen. Kinerja ekspor dan impor semakin

menurun pada tahun 2003. Ekspor bersih juga menurun sebesar 10.3 pe,pen sehingga mencapai 99 triliun rupiah. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai

kendala yang masih menghambat pertumbuhan ekspor Indonesia, antara lain kondisi perekonomian negara-negara rnitra dagang yang masih lesu, semakin tajamnya persaingan dengan negara-negara pengekspor laimya, semakin ketatnya standar kualitas beberapa komoditi yang ditempkan di beberapa negara mitra dagang, serta berbagai permasalahan internal seperti kondisi keamanan, masalah

(24)

perburuhan, penegakan hukum, dan rendahnya investasi. Kondisi internal ini mengakibatkan turunnya impor bahan baku dan barang modal yang sebagian besar ditujukan untuk kegiatan industri yang menunjang ekspor.

4.1.8. Penawaran Uang

.

-

M e n m y a daya beli masyarakat disertai dengan me~ngkatnya sikap kehati-hatian selama periode krisis, membuat penarikan uang kartal meningkat. Sejalan dengan peningkatan penarikan uang kartal, MI pada tahun 1998 mengalami lonjakan cukup tinggi hingga mencapai Rp 101.2 triliun atau meningkat 29.2 persen dibandingkan dengan tahun 1997 (Gambar 22). Selanjutnya pada tahun 1999, pertumbuhan MI sedikit melambat karena kenaikan suku bunga simpanan telah mengakibatkan pergeseran dari M1 ke uang kuasi rupiah. Pada tahun ini, MI meningkat 23.2 persen mencapai 124.6 triliun rupiah.

Pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi yang dicapai cukup tinggi.

Namun, temyata pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari yang

diperkl;lkan semula, disertai dengan memburuknya ekspektasi inflasi, dan kuatnya tekanan terhadap rupiah, telah mengakibatkan pennintaan uang meningkat tajam. Sementara itu, masih belum pulihnya h g s i intermediasi

perbankan

menyebabkan sinyal kebijakan moneter

Bank

Indonesia tidak diispon secara proporsional oleh perbankan, sehingga tidak mendukung upaya penarikan uang kartal yang beredar di masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan

meningkatnya ketidakpastian sosial politik di dalam negeri yang mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan berjaga-jaga dengan lebih banyak memegang uang kartal. Sementara itu, uang gird yang merupakan komponen lain M1 juga meningkat. Peningkatan uang giral ini sejalan dengan meningkatnya

(25)

aktivitas perekonomian dan rendahnya suku bunga deposit0 riil. Dalam tahun 2000 ini, M1 mencapai 162.2 triliun rupiah atau meningkat 30.1 persen dari tahun sebelumnya.

~.~ - ~ ~ . .

Jumlah Uang Beredar

.

.

-

2 m . m

.-

.E

5oooo.00 0.00

d ' 9 P & @ & @ @ & @ &

4

tahun

Gambar 22. Jumlah Uang Beredar (Ml) Tahun 1984-2004 Sumber: ADB (diolah)

Pada tahun 2001, pertumbuhan M1 cukup terkendali dengan hanya tumbuh 9.6 persen dari tahun 2000. Pertumbuhan yang melambat ini terjadi berkat upaya pemerintah untuk menyerap kelebihan likuiditas di sektor perbankan, yang berpotensi memberikan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi. Kebijakan ini ditempuh, terutama melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) dengan instnunen Sertifht Bank Indonesia

(SBI)

dan intervensi rupiah.

Selama tahun 2002, M1 semakin terkendali. Sampai dengan akhir

Desember 2002, MI mencapai posisi 191.9 triliun rupiah atau mengalami peningkatan sebesar 14.2 triliun rupiah (pertumbuhan tahunan 8 persen). Peningkatan MI tersebut berasal dari peningkatan uang kartal sebesar 4.3 triliun rupiah dan uang gird sebesar 9.9 triliun rupiah. Melambatnya pertumbuhan M1

ini

disebabkan karena berkurangnya motif be jaga-jaga dalam memegang uang kartal sehubungan dengan membaiknya ekspektasi masyarakat atas kestabilan moneter dan sosial politik. Tetapi pada tahun 2003, M1 kembali meningkat

(26)

dengan pemunbuhan 14.9 persen. Peningkatan laju p e m b u h a n M1 sejalan

dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi.

4.1.9. Penerimaan Pemerintah

Penerimaan pemerintah pada tahun 1998 mengalami kenaikan sebesar 52.3

.

-

persen dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 134.3 triliun rupiah (Gambar 23). Peningkatan penerimaan ini terutama diperoleh dari penerimaan pajak yang

meningkat sebesar 3 1.2 persen dibandingkan tahun sebelumnya Penerimaan pajak yang mengalami peningkatan paling besar

adalah

PPh

dan

pajak ekspor. Penerimaan PPh yang meningkat di tengah penurunan pendapatan riil masyarakat terutama disebabkan oleh melambungnya suku bunga deposit0

dan

SBI. Sedangkan, pajak ekspor mengalami peningkatan yang sangat tajam sebagai akibat kenaikan tarif pajak ekspor atas minyak kelapa sawit mentah (crude palm

oil1 CPO) dan produk-produk tumnannya. Meskipun demikian, tax ratio terhadap

PDB masih relatif sama dengan tahun sebelumnya, yaitu sekitar 9.2 persen. Pemrimaan Pajak

I 5Wm.m

om

.@.&,sp~.&.@~Qdf'.#@

hhun

Gambar 23. Penerimaan Pemerintah

Sumber: Depkeu (diolah)

Gambar 24. Penerimaan Pajak

Sumber: Depkeu (diolah)

Pada tahun 1999, penerimaan pemerintah mengalami penurunan sebesar 3.8

persen dibanding tahun sebelumnya Peningkatan penerimaan pajak pada tahun ini

(27)

2000 penerimaan meningkat kembali sebesar 66.3 persen. Sumber terbesar penerimaan tersebut berasal dari penerimaan perpajakan yang menyumbang 57.2

persen dari total penerimaan pemerintah. Komponen perpajakan yang menyumbang terbesar adalah PPh (29.7 persen dari total penerimaan pemerintah dan hibah) dan PPN (16.2 persen dari total penerimaan pemerintah dan hibah). Dengan pencapaian

ini, t m ratio tahun 2000 mencapai 11.8 persen dari PDB nominal.

Sumbangan terbesar kedua setelah perpajakan adalah dari penerimaan migas yang menyumbang 30.7 persen dari total penerimaan pemerintah dan hibah. Tingginya penerimaan migas tidak terlepas dari tingginya harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional yang mencapai rata-rata 29.1 dolar AS per barel. Kenaikan harga migas juga cukup nyata dalam menaikkan pajak penghasilan pPh) migas yang disetorkan ke pemerintah.

Penerimaan pemerintah pada tahun 2001 m e ~ n g k a t 22.5 persen, lebih kecil dibandingkan peningkatan tahun sebelumnya. Sumber pendapatan negara terbesar masih berasal dari kelompok penerimaan perpajakan sebesar 179.9 triliun pia ah atau 68.3 persen dari total penerimaan. Dengan pencapaian tersebut, t m ratio mencapai 12.5 persen dari PDB. Pencapaian penerimaan perpajakan antara

lain didukung oleh kenailcan tarif pajak penghasilan atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI

dari 15%

menjadi 20%, peningkatan e k s t e n s i h i PPh dan intensifikasi pemungutannya, pencabutan berbagai fasilitas PPN dan

PPnBM yang diberikan kepada pengusaha kena pajak tertentu, dan optimalisasi program penyisiran (canvassingl wajib pajak, terutama kepada pedagang eceran yang memilii omzet di atas Rp 360 juta per tahun.

(28)

Peningkatan penerimaan pemerintah pada tahun 2002 mencapai 14.7

persen. Sumbangan terbesar penerimaan pemerintah masih dari kelompok perpajakan yang mencakup 70.3 persen dari total penerimaan. Meskipun demikian, tingkat rax ratio hanya mencapai 12.7 persen dari PDB, atau di bawah target yang diharapkan, yaitu 13.0 persen dari PDB. Pencapaian pajak yang lebih rendah tersebut terutama te jadi pada jenis penerimaan perpajakan PPh Non-migas

clan PPN. Hal ini disebabkan oleh tertundanya implementasi beberapa kebijakan perpajakan dan aktivitas perekonomian yang lebih rendah dari perkiraan semula.

Pada tahun 2003, penerimaan pemerintah meningkat 13.6 persen mencapai

342.8 triliun rupiah. Penerimaan pajak masih menjadi kontributor utama dalam

penerimaan pemerintah dengan menyumbang sebesar 72.5 persen dari total penerimaan. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) juga meningkat

dari 12.7 persen pada 2002 menjadi 13.8 persen pada 2003. Kenaikan rasio ini terkait dengan pelaksanaan berbagai strategi di bidang perpajakan antara lain ( 1 )

intensifkasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak, (2) peningkatan pengawasan, penagihan tunggakan dan penegakan hukum, (3) penyempumaan peraturan perpajakan, modernisasi sistem admiistrasi perpajakan dan kepabeanan, (4)

penerapan excise service system, (5) pemberantasan peredaran rokok polos clan

pita palsu, serta (6) pemberantasan penyelundupan.

4.1.10. Peageluaran Pemerintah

Semenjak krisis, pengeluaran pemerintah meningkat drastis karena terbebani oleh utang dalam dan luar negeri yang membengkak. Pengeluaran pemerintah pada tahun 1998 meningkat 58.5 persen dibandingkan tahun 1997,

(29)

35.9 persen mencapai 232.1 triliun rupiah. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah masih dialokasikan untuk pengeluaran yang bersifat wajib, yaitu belanja pegawai pusat dan daerah, pembayaran bunga utang, dan subsidi.

Untuk sektor pendidikan dan kesehatan, pengeluarannya pada tahun 1998 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, namun alokasi pengeluaran untuk sektor ini masih sangat kecil yaitu sekitar 10.3 persen dari total pengeluaran pemerintah dan pada tahun 1999 menurun menjadi sekitar 8.9 persen (Gambar 27). Pengeluaran untuk infrastNktur pada tahun 1998 meningkat mencapai 26.1 triliun atau sekitar 15.3 persen dari total pengeluaran, tetapi pada tahun 1999 menurun menjadi 24.3 triliun rupiah atau 10.5 persen dari total pengeluaran pemerintah (Gambar 26). Sementara untuk sektor pertanian, pengelwannya hanya 7 triliun rupiah atau sekitar.4 persen dari total pengeluaran pemerintah, dan pada tahun 1999 meningkat cukup besar mencapai 17.3 triliun (7.5 persen dari total pengeluaran).

Pada tahun 2000, pengelwan pemerintah sedikit menurun mencapai 221.6 triliun rupiah. Seperti sebelumnya, sebagian besar pengeluaran masih

d i a l o k a s i i untuk pengeluaran wajib. Belanja pegawai mengalami peningkatan karena kebijakan kenaikan gaji PNS dan TNYPolri melalui pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP). Pembayaran bunga utang juga meningkat dibandingkan tahun lalu karena peningkatan posisi utang dalam negeri (obligasi) dan melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, tingginya alokasi dana untuk pembayaran subsidi, selain karena faktor harga minyak dan nilai

tukar,

juga disebabkan oleh kenaikan impor BBM akibat gangguan produksi kilang minyak di

(30)

Pada tahun ini, persentase pengeluaran pemerintah untuk sektor p e n d i d i i dan kesehatan menurun, yaitu sekitar 7.1 persen dari total pengeluaran. Pengeluaran untuk infrastmktur juga men- menjadi 17 triliun rupiah atau 7.7 persen dari total pengeluaran. Sedangkan pengeluaran untuk sektor pertanjan yang pada tahun sebelumnya meningkat, pada tahun ini menurun kembali menjadi 6.1 triliun rupiah, lebih rendah dari tahun 1997, dan dengan alokasi dana yang jauh lebih kecil, yaitu hanya 2.8 persen terhadap total pengeluaran.

Pengeluaran pemerintah pada tahun 2001 meningkat lagi sekitar 42.5 persen mencapai 315.8 triliun rupiah. Jika dilihat dari komponennya, sebagian besar atau 84.3 persen dari pengeluaran pemerintah masih didominasi oleh pengeluaran wajib pernerintah, seperti bunga utang, subsidi, dana perimbangan,

dan belanja pegawai. Alokasi dana untuk masing-masing pengeluaran sebesar

26.9 persen, 23.0 persen, 23.2 persen, dan 11.2 persen dari total pengeluaran. Tingginya pembayaran bunga utang terkait dengan kenaikan suku bunga SBI dan depresiasi nilai tukar rupiah. Tingginya pengeluaran subsidi disebabkan oleh

peningkatan volume konsumsi

BBM

dalarn negeri, dan lebii besarnya depresiasi nilai tukar terhadap dolar AS dari perkiraan semula. Rendahnya pengeluaran pernbangunan terkait langsung dengan rendahnya penarikan utang luar negeri pemerintah.

Dan,

dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah telah mengalokasikan hampir 23.2 persen dari total pengeluarannya untuk dana perimbangan.

Sementara itu, pengeluaran untuk sektor p e n d i d i i dan kesehatan,

infrastruktur,

seserta sektor pertanian, walaupun secara nominal mengalami

(31)

peningkatan, namun persentasenya terhadap total pengeluaran menurun. Alokasi pengeluaran untuk ketiga sektor ini masing-masing sebesar 5.5 persen, 6.2 persen, dan 2.7 persen terhadap total pengeluaran.

Pada tahun 2002, persentase kenaikan pengeluaran pemerintah hanya sekitar 8.9 persen, jauh lebih kecil dari tahun 2001. Namun, alokasi pengeluaran terbesar masih tetap untuk pengelwan rutin pemenntah pusat yang mencapai

57.7 persen

dari

total pengeluaran pemerintah, diikuti oleh pengelwan untuk daerah (30.0 persen) dan pengelwan pembangunan yang hanya 12.3 persen.

Sebagian besar dari alokasi anggaran digunakan untuk pembayam bunga utang yakni sebesar 27.4 persen, diikuti oleh Dana Alokasi Umum @AU) untuk daerah sebesar 21.1 persen dan subsidi sebesar 12.2 persen dari total pengeluaran negara. Dibandingkan dengan tahun lalu, alokasi dana untuk sektor pendidikan dan kesehatan, hhstruktur, d m pertanian sedikit meningkat, namun tetap mash rendah yaitu masing-masing 5.7 persen, 7.5 persen, dan 2.7 persen dari total pengeluaran.

4oKom f

-

x a m m - v= 5-m.

F f

.

-

;

tccam.m

f

a m . . .

. . . . , . . .

Gambar 25. Total Fengeluaran Gambar 26. Pengeluam Pemerintah

Pemerintah umtuk Inhstn~ktu~

(32)

Gambar 27. Pengeluaran Pemerintah Gambar 28. Pengeluaran Pemerintah

untuk Pendidikan dan untuk Pertanian Kesehatan Sumber: ADB (diolah) Sumber: ADB (diolah)

Dalam tahun 2003, pengeluaran pemerintah meningkat 9.7 persen

mencapai 377.2 triliun rupiah. Pada tahun ini, alokasi untuk pengeluaran daerah

dan pengeluaran pembangunan meningkat masing-masing menjadi sebesar 32.2

persen dan 17.3 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, alokasi untuk pengeluaran rutin turun menjadi sebesar 50.5 persen dari total pengeluaran.

Penurunan alokasi pengeluaran rutin terutama disebabkan karena menurunnya beban bunga utang sementara biaya subsidi relatif tidak berubah. Penurunan suku bunga SBI, apresiasi rupiah, dan langkah pengurangan stok obligasi pernerintah pada tahun sebelumnya telab menyebabkan turunnya beban bunga utang pada tahun ini.

Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan,

serta untuk sektor pertanian meningkat masing-masing menjadi sebesar 6.5pe1se.n

dan 3.2 persen dari total pengeluaran. Tetapi pengeluaran untuk

infrastruktur

pada

tahun

ini

justru menurun cukup besar dengan alokasi dana hanya 4 persen dari total pengeluaran.

(33)

4.1.11. Utang

Semenjak luisis ekonomi, total stok utang dalam dan luar negeri Indonesia membengkak (Gambar 29). Pada tahun 1998, total utang melonjak 393 persen

mencapai 761.2 triliun rupiah dari sebelumnya yang hanya 154.4 triliun rupiah. Tahun berikumya, total utang meningkat kembali sebesar 41.2 persen.

Pada tahun 2000 sampai tahun 2002, peningkatan total utang melambat

dengan peningkatan tiap tahun sebesar 17.3 persen, 13.1 persen, clan 11.5 persen.

Pelambatan peningkatan ini disebabkan karena adanya pembayaran terhadap

sebagian utang yang telah jatuh tempo, dan juga karena terdepresiasinya yen

Jepang terhadap dolar Amerika Serikat. Selain dalam dolar Amerika Serikat,

peranan utang luar negeri pemerintah ddam mata uang Yen juga cukup nyata.

Pangsa utang pemerintah dalam mata uang yen Jepang pada tahun 2002 mencapai

sekitar

33.7 persen dari total utang luar negeri pemerintah. Sementara itu, utang luar negeri pemerintah mencapai 56.7% dari total utang luar negeri Indonesia.

Tahun

2003, total utang mengalami peningkatan sebesar 16.8 persen.

Peningkatan tersebut

karena

meningkatnya posisi utang pemerintah sebagai dampak apresiasi yen terhadap dolar AS. Dampak apresiasi itu sendiri terhadap posisi utang luar negeri pemerintah cukup nyata, mengingat pangsa utang

pemerintah dalam mata uang yen mencapai sekitar 35.0 persen

dari

total utang luar negeri pemerintah.

(34)

~ rppppp-..

Stak OlTdal Dew

1

1

TdalP*mb.pmnUlq

-.--1

Gambar 29. Stok Total Utang Gambar 30. Total Pembayaran Utang Sumber: Depkeu (diolah) Sumber: Depkeu (diolah)

4.1.12. Kredit

Pada tahun 1997 seiring dengan lesunya perekonomian, posisi kredit bang diproksi dari besarnya pinjaman swasta) juga mengalami penurunan (Gambar 31).

Walaupun pada tahun-tahun berikutnya posisi kredit mulai meningkat kembali, namun peningkatannya masih sangat kecil bila dibandingkan dengan keadaan

~ e b e l ~ krisis. Sebelum krisis, antara tahun 1984 sampai 1996, peningkatan kredit mencapai rata-rata 30.3 persen per tahun. Namun, pada periode setelah krisis antara tahun 1998-2003, peningkatan kredit hanya rata-rata 8.4 persen per tahun.

tahun

--- Gambar 3 1. Posisi Kredit

Sumber: Widjaja (2000)

Masih rendahnya pertumbuhan kredit antara tahun 1998 sampai 2001

disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masih tingginya risiko dunia usaha

(35)

yang mengakibatkan baik debitur maupun kreditur belum mengoptimalkan penyaluran dan pencairan kredit. Kedua, debitur potensial masih terbatas sehubungan masih banyaknya debitur berskala besar dalam proses restrukturisasi di BPPN. Sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam bentuk kredit menengah dan kredit kecil dengan tujuan konsumsi. Ketiga, faktor internal perbankan yang masih melakukan konsolidasi serta berupaya memenuhi ketentuan prudensial perbankan.

Pertumbuhan kredit terbesar pada periode setelah krisis tercapai pada tahun 2002 dengan tingkat pertumbuhan kredit sebesar 12.8 persen. Berdasarkan

jenis penggunaannya, pangsa kredit masih didominasi oleh Kredit Modal Kerja (Kh4K) yakni sebesar 55.7 persen, diikuti Kredit Investasi

(KI)

sebesar 22.8

persen dan Kredit Konsumsi

(KK)

sebesar 21.6 persen. Namun bila dilihat dari

pertumbuhannya,

KK

mengalami pertumbuhan terbesar yakni sebesar 36.5 persen,

kemudian diikuti KMK sebesar 13.8 persen, dan

KI

sebesar 11.3 persen.

Pada tahun 2003 peningkatan kredit hanya 7.4 persen. Berdasarkan sektor usaha, sektor perindustrim merupakan porsi terbesar, diikuti sektor perdagangan,

sektor jasa-jasa dunia usaha, dan sektor pertanian. Sementara berdasarkan jenis

penggunaannya, pangsa kredit terbesar masih dimiliki oleh kredit modal kerja Tetapi, pangsa M i t konsumsi mengambil alih posisi kedua yang tahun-tahun sebelumnya ditempati oleh pangsa kredit investasi. Apabila dilihat dari

pertumbuhannya, kredit konsumsi juga mengalami pertumbuhan terbesar diikuti oleh kredit modal kerja dan kredit investasi.

Lambatnya peningkatan kredit pada tahun 2003 disebabkan karena proses

(36)

pembiayaan altematif seperti penerbitan obligasi korporasi, dan relatif lambatnya laju penurunan suku bunga kredit dibanding suku bunga simpanan.

4.1.13. Investasi Swasta

Berdasarkan Gambar 32, terlihat bahwa sebelum krisis, investasi swasta

.

-

mengalami trend yang meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 9.27 persen per tahun antara tahun 1984 sampai 1997. Namun saat krisis tahun 1998, tekanan inflasi semakin tinggi dan daya beli masyarakat pun menurun drastis. Kepercayaan terhadap perbankan nasional t e r n memburuk dan dalam kondisi ketidakpastian yang semakin meningkat, fungsi intermediasi perbankan praktis terhenti. Akibatnya, kegiatan produksi dan investasi

di

hampir seluruh sektor ekonomi menurun drastis. Investasi mengalami penurunan dari 143.1 triliun

rupiah pada tahun 1997 menjadi 8 7 2 triliun rupiah atau turun sebesar 39.0 persen. Penurunan masih bxus terjadi tahun berikutnya, yaitu sekitar 21.3 persen, sehingga investasi tercatat hanya sebesar 68.7 triliun rupiah.

Pada tahun 2000, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik, investasi swasta juga mulai tumbuh sekitar 10.1 persen. Namun pada

tahun berikutnya, perkembangan investasi tidak sesuai dengan yang diiarapkan. P m b u h a n ekonomi dunia yang melambat ditambab lagi dengan situasi politik dan keamanan

di

tanah

air

yang bergejolak kembali pada tahun

ini

telah berdampak negatif terhadap perkembangan perekonomian nasional. Di sektor nil, tingginya risiko dan ketidakpastian usaha, lambatnya proses restrukhuisasi utang

p e r u d m q serta masih berlangsungnya konsolidasi internal perbankan dan perusahaan, telah berdampak pada melambatnya peningkatan investasi pada tahun 2001.

(37)

Keadaan makroekonomi tahun 2002 mulai membaik, namun pertumbuhan ekonomi masih rendah. Kepercayaan investor juga tampaknya belum pulih, sehingga investasi dalam tahun ini masih mengalami penurunan sebesar 12.5

persen sehingga mencapai 70.3 triliun rupiah.

Pada tahun 2003, keadaan perekonomian semakin membaik, ditandai dengan perkembangan makroekonomi yang relatif baik

dan

stabil. Di sektor nil, investasi swasta mengalami sedikit peningkatan (9.8 persen) dan mencapai 7.2

t~iliun rupiah. Walaupun demikian, nilai investasi pada tahun 2003 ini masih kecil

dan

jauh dari nilai historisnya sebelum krisis yang mencapai 143.1 t~iliun rupiah

pada tahun 1997. Dengan nilai investasi hi, perekonomian Indonesia belum mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk menyerap tambahan tenagakeja baru setiap tahunnya, sehingga persoalan pengangguran dan kemiskinan masih belum teratasi.

I

lnvestasl Swasta

I

L

awl

. . .

4

tahun

Gambar 32. Investasi Swasta Riil Tahun 1984-2003

Sumber: BPS, ADB

Lambatnya peningkatan investasi swasta ini tidak terlepas dari

iklirn

investasi yang belum kondusif seperti kondisi politik dan keamanan yang belum sepenuhnya stabil, absennya good governance, lemahnya kepastian dan penegakan hukum, biiokrasi yang berbelit-belit dan banyaknya pungutan liar yang menimbulkan biaya tinggi dalam menjalankan usaha di Indonesia, mash

(38)

maraknya praktik KKN, kwangnya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang dapat menunjang aktivitas ekonomi, serta masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang masih sering bergolak. Semua faktor-faktor ini merupakan penghambat bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia

-

-

4.1.14. Modal Fisik (Physical Capital)

Physical Capital pada tahun ke-t diiitung dengan menggunakan

rumus/persamaan berikut :

PC1 = Physical Capital pada tahun yang bersangkutan

PCI., = Physical Capital pada tahun sebelumnya

PI1 = Investasi pada tahun yang bersangkutan

6 = Nilai Penyusutan, yang besamya diasumsikan 0.05

dikali dengan PDB nil

Jika penyusutan pada tahun t lebih besar daripada investasi pada tahun t, maka

kapital pada tahun t akan berkwang. Pada Gambar 33, terlihat bahwa kapital dari tahun 1984 sampai tahun 2003 tidak ada yang mengalami penurunan. Ini berarti

bahwa investasi pada tahun-tahun tersebut

masih

lebih besar dari penyusutannya. Namun, jika memperhatikan tingkat pertumbuhan kapital per tahunnya,

akan

t e r l i i bahwa pe.rtumbuhan kapital t e r n mengalami perlambatan, terutama pada periode setelah krisis. Pertumbuhan kapital terbesar

adalah

pada periode tahun

1984 sampai 1997, dengan rata-rata pe.rtumbuhan 16.0 persen per tahun Tetapi

pada periode setelah krisis, kapital hanya tumbuh pada tingkat 6.3 persen per tahun.

Karena pertumbuhan kapital terkait dengan investasi, maka melambatnya perhunbuhan kapital juga tidak terlepas dari faktor tidak kondusifhya iklim investasi sehingga membuat perhqbuhan investasi menurun, dan akhimya

(39)

berpengaruh pada kapital. Jika investasi tidak bertumbuh, atau bahkan menurun lebih lanjut, maka tidak tertutup kemungkinan penyusutan akan menjadi lebih besar dari investasi, clan akan berakibat pada p e n m a n kapital. Karena itu, penciptaan iklim usaha yang kondusif sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhankapital agar dapat merangsang pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

hhun

Gambar 33. Physical Capital Tahun 1984-2003 Surnber: Diolah dari BPS, ADB

4.2. Sejarah Ringkas Pembangunan Pertanian dan Perdesaan di Indonesia Dua ratus tahun yang lalu, Pulau Jawa sebagian besar masih bempa hutan.

Pada

tahun 1745 Gubernur Jenderal van Imhof memasuki tanah Priangan melalui hutan

rimba

Kenangan akan hutan

masih

hidup segar di kalangan rakyat di Sunda maupun Jawa. Kenangan itu mengendap di bawah kesadammya, meskipun hutan

sudah tidak

ada

lagi di m a n kemerdekaan (Sumarjo, 2003).

Menurut Sami

dkk

(2002), selama Indonesia membangun pertanian dan

perdesaan, banyak sekali model-model adaptasi yang telah dicoba untuk

diaplikasikan

dalam

pembangunan pertanian Indonesia

Pada

era sekitar tahun 196311964, Indonesia memberlakukan kebijakan Bimbiigan Massal (Bimas).

Model ini diberlakukan pada Rencana Pembangunan Lima Tahun tahap I

(40)

Bimbingan ini, melalui beberapa tahun pelaksanaan, mulai dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pengairan, hingga perbaikan dalam cara bercocok tanam. Model bimas ini, dengan berbagai variasi dan perbaikan serta penyempumaannya, dilaksanakan terus menerus tiap tahun dan pada tahun 196911970, model yang dibentuk adalah Bimas Unit Desa atau 'Bimas yang disempumakan'.

Tiap unit desa terdiri dari 600

-

1000 Ha sawah clan dilayani oleh 1 unit Bank Desa

(BRI),

1-2 kiodpedagang pupuk, dan obat-obatan. B i a s ini boleh

dikatakan

telah menjadi model pembangunan pertanian Indonesia, karena segala

aktivitas pembangunan desa berkisar pada program Bimas. Dengan berbagai pasang

surut clan keIemahamya, dapatlah dikatakan bahwa model Bimas telah berhasil mengkoordinasii segala aktivitas yang diperlukan dalam usaha peningkatan

produksi beras. Dalam tahun-tahun Repelita, produksi beras dapat dinaikkan lebii

dari 10% per tahun, lebih besar daripada yang direncanakan. Kunci keberhasilan program ini nampak pada bantuan atau sokongan dari semua instansi yang ada, termasuk adanya tekad dari pimpinan nasional. Buktinya, kegagalan-kegagalan yang

dialami

pada tahun 1966-1968, lebii diakibatkan oleh kurangnya kerjasama tersebut, disamping alasan

Mi

serta alasan-alasan lain (Satari

dkk,

2002).

Sejak awal tahun 1970an, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia bembah drastis seiring perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalis yang bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan ekonomi saat itu, sektor pertanian

tidak

lagi ditempatkan sebagai pondasi ekonomi nasional, tetapi dijadiian sebagai bufer (penyangga) guna mensukseskan proses

(41)

Sebagai penyangga, lanjut Bahari (2004), yang terpenting bagi pemerintahan Orde Baru adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla), yang dijadikan landasan utama dalam program pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat bersamaan, arus global politik-ekonomi dunia memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan alternatif revolusi merah.

Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi kapitalis, cenderung melaksanakan pembangunan pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas), yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria @embaruan agraria). Karena itu, pembangunan yang dilakukan Orba, oleh Sobhan ddam Bahari (2004) disebut sebagai development without social transition.

Pa& tahun 1973, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah memperkenalkan suatu pola baru, yaitu Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN). Model ini diadaptasi untuk mengembangkan komoditi ekspor, khususnya di sektor perkebunan. Di dalam pelaksanaannya, dibentuk model kemitraan antara PTPRNP yang menguasai teknologi, pennodalan, dan

kemampuan manajemen dengan petani plasma, dengan cara mengalihkan berbagai keunggulan tersebut kepada petani PIR, sehingga produksi per hektar dapat ditingkatkan (Satari

dkk,

2002).

Menurut Satari dkk (2002), tujuan pemerintah menerapkan model Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada tahun 1973 antara lain adalah untuk petani miskin agar dapat meningkatkan pendapatannya, pengusahaan komoditi perkebunan

(42)

clan yang terakhir, mengingat penmahaan perkebunan negara (PNPIPTP) karena

keahlian, permodalan dan pengalamannya, maka ditugaskan untuk memimpin pembahan tersebut. Hal ini dikarenakan produktivitas perkebunan rakyat jauh dibawah perkebunan besar. Meskipun rendahnya "efisiensi" perkebunan rakyat dapat diterangkan dengan berbagai alasan, namun asurnsi-asumsinya adalah bahwa adanya "pemindahan teknologi" dari perkebunan besar ke perkebunan rakyat dapat lebih meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat.

Pada tahun 1980an pemerintah menerapkan pola agribisnjs untuk semua

sektor pertanian, antara lain, sektor pertanian (persawahan), sektor perkebunan, sektor perikanan, sektor petemakan, hingga sektor agrotourisme. Pembangunan

agribisnis mempakan pembangunan industri

dan

pertanian serta jasa sekaligus.

Tetapi, pembangunan pertanian saja bukan me~pt3kaIl pembangunan agribisnis karena tidak mencakup pembangunan industri dan jasanya.

Gambar

Gambar 10.  Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di  Indonesia  Tahun  1984-2003
Gambar 1 1.  Kasus Pernutusan Hubungan Ke rja Tahun 1996-2002  Sumber:  BI (2003)
Tabel  3.  Jumlah Kasus dan Tenagakerja PHK
Gambar 12.  Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1984-2003  Sumber:  BPS (2001,2002), diolah
+7

Referensi

Dokumen terkait

GAMBAR 70 HASIL PENELITIAN MENGIRIM BARANG LELANG

Dalam penerapannya, muqarnas dapat bertransformasi menjadi bentuk yang benar- benar tiga dimensional, seperti yang terdapat pada kubah-kubah dan relung pintu gerbang, dapat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Keja- dian putting susu lecet pada ibu nifas yang termasuk kelompok perlakuan di Puskesmas Gandusari Keca- matan Gandusari Kabupaten

Ada pula penelitian lainnya yakni penelitian yang dilakukan oleh Kurniati pada tahun 2013 yang berjudul “Kepuasan Pasien Rawat Inap Lontara Kelas III terhadap Pelayanan Kesehatan

Untuk melihat seberapa besar reaksi pasar modal terhadap kebijakan tax amnesty pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan tersebut, maka penelitian ini

Ada gejala sangat menarik bahwa di kawasan Nusantara terdapat inkulturasi dan toleransi yang sangat besar dengan menggabungkan tokoh setempat yang dihormati kedalam adat budaya

“Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi

dengan adanya kepentingan yang diperjuangkan, meskipun kepentingan tersebut bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas di wilayah tersebut. Konflik sosial