BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN
PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
A. Masyarakat Adat pada Umumnya serta Peraturan Hukum yang
Mengaturnya
Hukum Adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan
kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman
kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam
hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan
lebih-lebih di desa.12
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini
memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak
sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa
adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa
da bangsa yang bersangktan.13
Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para
sarjana hukum adalah sebagai berikut :14
a. Prof. Dr. Supomo, S.H
12
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7 13 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13
14
Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas
keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum
b. Mr. J.H.P. Bellefroid
Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai
hukum.
c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada
peraturan-peraturan.
Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :
- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakyat.
- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat,
bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15
Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang
ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan,
lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang,
lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui
15
struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan
system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :
“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira
50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam
orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka
perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan
badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh
hukum itu, hidup sehari-hari.16
Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di
atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas
hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter
Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan
hukum) antara lain :
1. Kesatuan manusia yang teratur
2. Menetap di suatu daerah tertentu
3. Mempunyai penguasa-penguasa
4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud
Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan
dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak
seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan
16
untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya
dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17
Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka
penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar
hukum lainnya.18
Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :
“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,
Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19
Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :
“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah
laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri
tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adatm adat berdiri,
sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar-dasar bertopang, dasar-dasar
tempat hukum adat berpijak pada tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan
oleh Van Vollenhoven :
1. Persekutuan Hukum
2. Hak Ulayat
3. Daerah Hukum Adat
4. Perjanjian adalah perbuatan konkret
5. Hukum Adat tidak mengenal kontruksi juridis yang abstrak
6. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan panca indera sebagai
dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran
membeda-bedakan
7. Sifat susunan keluarga
Van Vollenhoven, membagi wilayah berlakunya Hukum Adat atas 19
lingkungan hukum (rechtskring). Lingkungan hukum adalah suatu daerah
dimana garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam, tiap-tiap
lingkungan Hukum Adat dapat dibagi-bagi lagi atas kukuban-kukuban hukum
(rechtsgouwen).21
Van Vollenhoven membagi seluruh daerah di Indonesia menjadi beberapa
lingkaran/lingkungan, yaitu :
1. Aceh
2. Tanah Gayo Alas, Batak, dan Nias
3. Minangkabau dan Mentawai
4. Sumatera Selatan
5. Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau)
6. Bangka dan Belitung
7. Kalimantan
8. Minahasa
9. Gorontalo
10.Toraja
11.Sulawesi Selatan
12.Kepulauan Ternate
13.Maluku dan Ambon
14.Irian
15.Kepulauan Timor
16.Bali dan Lombok
17.Jawa Tengah dan Jawa Timur
18.Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
19.Jawa Barat
Mahadi menulis : “bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan
adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat
kehutanan seperti disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya
ada hutan Negara dan hutan hak.22
Hutan Negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan
statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut,
sebagai dasar pengakuan tersebut. Sejalan dengan perkembangan hukum adat
yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka pengelolaan hutan adat kembali
kepada pemerintah yang mengelolanya (Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999)23.
Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk
hutan Negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil
hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak
terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak ulayat
tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu
sendiri meliputi :
a. Tanah (daratan)
b. Air (perairan) seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta
perairannya
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar
d. Binatang yang hidup liar di hutan
Corak Hukum Adat atau sifat masyarakat adat pada sembilan belas (19)
lingkungan hukum tersebut sama, yaitu :
22
Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni, 1991, hal. 58
a. Magis religious, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat percaya
dengan kehidupan/hal-hal yang bersifat gaib dan menilai
kehidupan religi sebagai suatu yang hakiki dalam kehidupan
manusia.
b. Komunal, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat lebih
memprioritaskan kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan
manusia dalam masyarakat akan tetapi tidak mengabaikan
kebutuhan individual.
c. Kongkrit, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu
menggunakan simbol-simbol nyata sebagai wujud atau bukti dari
tindakan atau perbuatan dan kehendak seseorang.
d. Kontan, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu merespon
dengan segera terhadap setiap prestasi yang diterima dengan
imbalan berupa kontra prestasi.
Hukum Adat menurut Iman Sudiyat mempunyai tiga sifat, yaitu :
a. Sifat statis, artinya Hukum Adat selalu memelihara dan
mempertahankan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhurnya.
b. Sifat dinamis artinya Hukum Adat selalu mengikuti perubahan
dan perkembangan zaman.
c. Sifat elastic/plastis, artinya Hukum Adat dapat beradaptasi dengan
berbagai keadaan dalam masyarakat, termasuk dengan kasus-kasus
Dasar Hukum berlakunya Hukum Adat dan Perkembangannya sejak 1945
sampai sekarang antara lain :
1. Undang-Undang Dasar 1945
Melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 segala
peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda, untuk sementara waktu
dipertahankan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.24
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
2. UUDS Tahun 1945
Di dalam Pasal 104 ayat 1, ditentukan :
“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam
perkara hukuman menyebut aturan undang-undang dan
aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”
Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional berlakunya hukum
adat itu sampai sekarang belum diberi peraturan penyelenggara atau
pelaksanaannya.25
3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama
24
Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Bandung : Penerbit Alumni, 1991, hal. 78
a. I.S. (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undang-undang
yang selengkapnya berbunyi : “Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands-Indie”.
b. R.R. (Regerings-Reglement) adalah singkatan dari
Undang-Undang yang selengkapnya berbunyi : “Reglement op Het Beleid
der Regering van Nederlands-Indie.”
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang
berasal dari jaman colonial dan yang pada masa sekarang
(sampai UU No. 19 Tahun 1964) masih tetap berlaku adalah :
I.S. Pasal 131 ayat 2 sub b :
Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum
Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat
mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi; yaitu suatu peraturan
hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur
Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan
bagi mereka :
a. Hukum Eropa
b. Hukum Eropa yang telah diubah
c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama dan apabila
d. Hukum Baru, yaitu : Hukum yang merupakan synthese
antara hukum adat dan hukum Eropa26
4. I.S. Pasal 134
Disamping Pasal 131, maka I.S. memuat lagi suatu ketentuan
perundang-undangan mengenai berlakunya Hukum Adat, yaitu Pasal 134 ayat 2.
Menurut ketentuan itu maka : “Dalam hal timbul perkara hukum
perdata antara orang-orang Muslim, dan Hukum Adat mereka meminta
penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan
oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain.”
5. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14
tahun 1970
Setelah Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 19 Tahun 1964) diundangkan, maka ketentuan
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang
berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain Badan Kehakiman” telah dipenuhi
penyelenggaraannya menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 19 Tahun
1964 dimaksud diatas beserta penjelasannya, sehingga hukum yang
dipakai adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang
sifat-sifatnya berakar pada kepribadian Bangsa.
Dalam Pasal 3 tersebut diatas tidak disebut Hukum Adat. Menurut
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan juga sesuai
26
dengan penjelasan dari pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tertulis
dan hukum yang tidak tertulis.27
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 adalah Undang-Undang tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal yang penting
yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, antara lain :
a. Pasal 23 (1) yang berbunyi :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
b. Pasal 27 (1) yang berbunyi :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.”
Selain pasal-pasal tersebut diatas, maka penjelasan umum terhadap
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 bagian 7 memberi petunjuk
kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Tak Tertulis”
dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Adat.
Bagian 7 dari penjelasan umum Undang-Undang ini berbunyi
sebagai berikut :
“Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud
masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar.”
Hukum tidak tertulis yang diterapkan/diselenggarakan oleh
Pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat adalah Hukum Adat. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan, bahwa sekarang yang menjadi dasar
perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis
adalah legkapnya : Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 UUD
1945 dan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.28
Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pulalah
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hukum Adat juga
telah diatur pada beberapa Undang-Undang Republik Indonesia, antara lain :
1. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria
- Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan
wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat untuk
melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyarakat
Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai
Negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya.
- Pasal 3 UUPA mengatur bahwa pelaksanaan hak ulayat
masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak
28
boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan
yang lebih tinggi.
- Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air, udara, dan ruang angkasa adalah
Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, Negara, sosisalisme, dan
undang-undang.29
2. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat,
Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan
untuk mendapat manfaat dari hutan secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi
tercapainya tujuan yang dimaksud oleh Undang-Undang ini.
3. Undang No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
- Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain
harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat
pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
29
- Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali dan mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
4. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah
Susun, mengangkat Lembaga Hukum Adat dengan cara
dimasukkan ke dalam Undang-Undang tersebut, yaitu asas
pemisahan h dengan cara dimasukkan ke dalam
Undang-Undang tersebut, yaitu asas pemisahan horizontal.30
5. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1977
PP No. 4 Tahun 1977 merupakan penyempurnaan PP No. 10
Tahun1961. Peraturan Pemerintah ini mengangkat dan
memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu Lembaga
Rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan
menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu itikad
baik selama 20 tahun berturut-turut tanpa ada gangguan/tuntutan
dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat).31
Melihat status tanah dalam perspektif hukum adat sebenarnya
mengkaji keberadaan hak ulayat diantaranya yang perlu diperhatikan disini
ialah soal siapa pemegang hak ulayat. Pemegang persekutuan atas tanah
adalah Raja yang bertindak sebagai pengurus, pengatur dan pengawas agar
pemakaian tanah dalam wilayahnya tidak bertentangan, merugikan hak-hak
30 Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
persekutuan, hak-hak perseorangan atas tanah, serta yang dimanfaatkan
untuk kepentingan pengelolaan hutan.32
Disamping itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah
ulayat yang dikenal di Negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang
menjelaskan bahwa tanah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah
ulayat masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata karena
kedermawanan sang Raja, sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah
sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, seperti :
1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun
sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan
2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik
pribadi/perorangan
3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh
memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan atau
kewajiban-kewajibannya yang perlu ditaati, seperti memberikan
sebagian hasilnya kepada Kepala Desa menjadi penghasilan desa.
B. Pandangan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif
Asal mula sengketa biasanya bermula pada suatu situasi dimana ada
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini diawali oleh
perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat
dialami perorangan maupun kelompok hubungan konfliktual ini
berkelanjutan, perasaan tidak puas muncul ke permukaan.
32
Jika hal ini berkelanjutan pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila pihak
kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesailah
hubungan konfliktual tersebut. Sebaliknya jika reaksi dari pihak kedua
menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda,
maka terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa.
Proses sengketa mulai karena tidak adanya titik temu antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Secara potensial, dua pihak-pihak yang mempunyai
pendirian/pendapat yang berbeda beranjak ke situasi sengketa. Secara umum
orang tidak akan memilih untuk mengutarakan pendapat yang
mengakibatkan konflik terbuka. Ini disebabkan oleh kemungkinan
konsekuensi yang tidak menyenangkan, yaitu dimana pribadi atau sebagai
wakil kelompoknya harus menghadapi situasi yang rumit yang mengundang
ketidaktentuan sehingga dapat mengubah kedudukan yang stabil atau aman.
Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang
berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai
kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur
komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar
tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.
Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal lama adalah melalui
proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah
baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses
zaman, proses terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman,
proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan pun ikut berkembang.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk
umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin
(confidentiality), proses beracar lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan
procedural dan administrative sebagaimana beracara di pengadilan umum dan
win-win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dinamakan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.33
Sejarah munculnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dimulai pada
tahun 1976 ketika Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Werren Burger
mempelopori ide ini pada suatu konferensi di Saint Paul, Minnesota
Amerika Serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan
reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam
bidang hukum dan masyarakat akademisi mulai merasakan adanya
keprihatinan yang serius mengenai efek-efek negatif semakin meningkat dari
litigasi di pengadilan. Akhirnya American Bar Assosiation (ABA)
merealisasikan rencana itu dan selanjutnya menambahkan komite Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) pada sekolah hukum di Amerika Serikat dan
juga pada sekolah ekonomi.34
33
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 9
Sebenarnya jiwa dari alternative penyelesaian sengketa itu sudah ada
dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal itu sebagaimana terlihat nyata
dalam budaya musyawarah untuk mencapai mufakat yang masih sangat
terihat di masyarakat pedesaan di Indonesia, dimana ketika ada sengketa di
antara mereka, cenderung masyarakat tidak membawa permasalahan tersebut
ke pengadilan, namun diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila sengketa
tersebut tidak dapat diselesaikan antara pihak yang bersengketa, maka
mereka akan membawa sengketa mereka tersebut di hadapan Kepala Desa.
Dengan semangat “musyawarah untuk mencapai mufakat” yang sudah
mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa
mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dan digunakan
oleh para praktisi hukum di Indonesia. Pentingnya peran Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa semakin besar
dengan diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.35
Nilai kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul
di mana saja di Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relatif memiliki
nilai ligious, Indonesia masih mengandalkan forum runggun adat, yang
intinya penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di
Minangkabau, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian yang secara umum
berperan sebagai mediator dan konsiliator. Konsep pembuatan keputusan
dalam pertemuan desa pada suku jawa tidak didasarkan atas suara
35
mayoritas, tetapi dibuat oleh keseluruhan yang hadir sebagai suatu
kesatuan.36
Selain daripada budaya Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
memang sudah melekat dalam masyarakat Indonesia, Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS) juga mempunyai potensi yang beesarsar untuk berkembang
di Indonesia karena alasan-alasan sebagai berikut37 :
1. Faktor ekonomis ; Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki potensi
sebagai sarana penyelesaian sengketa yang lebih ekonomis, baik dari
sudut pandang biaya maupun waktu.
2. Faktor ruang lingkup yang dibahas ; Alternatif Penyelesaian Sengketa
memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara
lebih luas, komprehensiif, dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena
aturan main dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang
bersengketa sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Alternatif
Penyelesaian Sengketa memiliki potensi untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang sangat rumit (polycentris) yang disebabkan oleh substansi
kasus yang sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah (scientifically
complicated).
3. Faktor pembinaan hubungan baik ; Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat
cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan
baik antar manusia yang telah berlangsung maupun yang akan datang.
36 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hal. 38
37
Pemanfaatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik di luar
maupun di dalam negeri telah menimbulkan suatu kesan bahwa ada satu
kelompok atau aliran pemikiran yang mengarah pada perkembangan proses
Alternatif Penyelesaian sengketa dan dipandang sebagai cakupan berbagai
usaha yang ditarik dari berbagai sumber yang berbeda dan yang
masing-masing memiliki filsafah, budaya, dan cara penerapan khusus.38 Seiring dengan
berkembangnya zaman, para pelaku bisnis berupaya untuk mengembangkan
mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai solusi dari litigasi di
pengadilan. Kini, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 30 tahun
1999, pelaku bisnis menyadari bahwa putusan menang dan kalah melalui
jalurn litigasi belum tentu menjadi solusi yang terbaik, dan putusan yang
demikian membuat tujuan-tujuan umum dari business yang mereka lakukan
tersebut tidak tercapai. Solusi litigasi melalui pengadilandemikian membuat
tujuan-tujuan umum dari bisnis yang mereka lakukan tersebut tidak tercapai.
Solusi litigasi melalui pengadilan negeri yang memenangkan negeri
yang memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya, ini
dapat dikatakan sebagai suatu metode penyelesaian sen salah satu pihak dan
mengalahkan pihak lainnya, ini dapat dikatakan sebagai suatu metode
penyelesaian sengketa yang dapat membawa efek negatif atas perkembangan
business seorang pelaku bisnis.
Hal ini karena dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa
dimungkinkan untuk dilaksanakannya suatu penyelesaian sengketa secara
informal, sukarela, dengan kerjasama langsung antara kedua belah pihak
yang bersengketa, dan dapat tercapainya kebutuhan maupun kepentingan dari
pihak yang bersengketa (win-win solution). Alhasil, banyak dari para pelaku
bisnis tersebut ingin agar sengketa-sengketa keperdataan yang timbul di
antara mereka diselesaikan dengan hasil win-win solution.
Di sinilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) timbul untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan para pelaku bisnis tersebut. Namun dalam
perkembangannya, Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak hanya digunakan
oleh pelaku bisnis, melainkan juga telah digunakan secara umum dalam
upaya menjawab perselisihan-perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat,
seperti konflik horizontal antara kelompok masyarakat.39
Untuk adanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, maka
kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan dan
didengarkan. Setelah itu baru proses dialog dan pencarian titik temu dapat
dimulai, dimana kondisi ini merupakan kondisi dimana proses penyelesaian
sengketa dapat berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses
penyelesaian sengketa tidak akan berjalan dengan baik.
Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa,
yaitu :
1) Kepentingan (interest),
2) Hak-Hak (rights),
3) Status Kekuasaan (power)
39
Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai,
hak-haknya dipenuhi serta ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan,
dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang
bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut
diatas. Bila menyimak sejarah perkembangan Penyelesaian Sengketa
Alternatif di Amerika Serikat, perkembangannya dilatarbelakangi oleh
kebutuhan sebagai berikut :
1. Untuk mengurangi kemacetan di Pengadilan. Banyaknya kasus yang
diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali
berkepanjangan. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi dan
sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2. Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian
sengketa.
3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke Pengadilan
4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa
yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima dan dapat
memuaskan semua pihak.
Proses penyelesaian sengketa dimana para pihak mengembangkan
penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar pada sistem
pengaturan sendiri (self governing system) yang dapat ditemukan di Negara
Indonesia.40
Masyarakat Adat memiliki pandangan yang berbeda terhadap
Penyelesaian Sengketa Alternatif. Masyarakat Adat menilai bahwa sebagian
besar dari penduduk Indonesia hidup di pedesaan, mereka merasa dirinya
sebagai bagian dari alam sekitarnya, yaitu alam semesta. Dengan kata lain,
untuk mencapai kebahagiaan hidup, penduduk senantiasa harus menyesuaikan
perilakunya dengan tata sebagaimana ditentukan oleh alam semesta.
Sehubungan dengan itu, di dalam perilaku mereka harus memperhitungkan
ketentuan-ketentuan ghaib yang tidak tampak.
Jika timbul sengketa antara penduduk pada masyarakat pedesaan
menyangkut masalah-masalah tersebut diatas, jarang sekali masalah dibawa
ke pengadilan Negara untuk diselesaikan. Mereka yang bersengketa dengan
senang hati dan lebih suka membawa ke lembaga yang tersedia pada
masyarakat adat untuk diselesaiakan secara damai. Dalam masyarakat hukum
adat, penyelesaian sengketa biasa dilakukan di hadapan Kepala Desa atau
Hakim Adat.
Hal ini perlu disadari bahwa secara historis kultural, masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan consensus. Pengembangan
penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme pengambilan
keputusan tradisional dan penyelesaian sengketa secara adat. Alasan Kultural
bagi eksistensi dan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di
Indonesia, tampaknya lebih kuat daripada alasan ketidakefisienan proses
Di Indonesia, proses penyelesaian melalui alternatif bukanlah sesuatu
yang baru dalam nilai-nilai budaya kita yang berjiwa kooperatif. Nilai
kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul dimana saja
di Indonesia. Di masyarakat Batak yang relative memiliki nilai litigious,
masih mengandalkan forum runggun adat yang intinya penyelesaian sengketa
secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau dikenal dengan
Lembaga Hakim Perdamaian, yang secara umum peranannya sebagai
mediator dan konsiliator. Di Suku Jawa, konsep pembuatan keputusan dalam
pertemuan desa tidak didasarkan atas suara mayoritas tetapi dibuat oleh
keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan. Mayoritas dan minoritas
dapat membatasi pendapat mereka sehingga dapat saling sejalan.
Indonesia mempunyai beragam metode pengambilan keputusan dan
penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun mengambil dari metode luar.
Metode ini dapat dibagi ke dalam 2 prosedur, yaitu sebagai berikut :
a. Prosedur Administratif atau Prosedur Judicial, dimana sanksi dari
pihak ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang
mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada Zaman
Kerajaan, Kesultanan dan Adat setempat atau Pemuka Adat Desa,
serta Prosedur Administratif Pengadilan Zaman Kolonial Belanda.
b. Proses Konsensus Sukarela, dimana para pihak mengembangkan
penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar dari
kita. Ditemukan pula beberapa persamaan pada masyarakat Indonesia,
antara lain seperti berikut ini :
1) Banyak Sengketa yang diselesaikan oleh prosedur judicial,
dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka
adat, memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang
bersengketa dan juga membantu mereka untuk bernegosiasi
dengan memakai standar dan criteria adat atau kerangka
penyelesaian menurut saran pemuka adat.
2) Banyak suku yang telah mempunyai atau masih mempertahankan
prosedur consensually-based untuk menyelesaiakan sengketa.
Bentuk consensually-base kurang lebih diartikan ke dalam
musyawarah untuk mencapai mufakat (consensus).41
Beberapa alasan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di
Indonesia, selain alasan di atas dapat dilihat sebagai suatu peluang, seperti
berikut ini:
1) Faktor Ekonomis
Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki potensi sebagai sarana
penyelesaian yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya dan
waktu.
2) Faktor Ruang Lingkup yang dibahas
Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki kemampuan untuk membahas
ruang lingkup atau agenda permasalahan secara lebih luas,
41
komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main
dikembangkan serta ditentukan oleh para pihak, sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. Penyelesaian
Sengketa Alternatif memiliki potensi untuk menyelesaikan
konflik-konflik yang sangat rumit, disebabkan oleh substansi kasus yang
sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah.
3) Faktor pembinaan hubungan baik
Penyelesaian Sengketa Aternatif yang mengandalkan cara-cara
penyelesaian yang kooperatif sangatcocok bagi mereka yang menekankan
pentingnya pembinaan hubungan baik antar manusia, yang telah
berlangsung maupun yang akan datang.
Penyelesaian Sengketa Alternatif mempunyai daya tarik yang khusus
di Indonesia karena keserasian dengan sistem sosial-budaya tradisional yang
berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah ini merupakan
keuntungan dalam memilih Penyelelesaian Sengketa Alternatif :
1) Sifat kesukarelaan dalam proses
Para pihak percaya bahwa Penyelesaian engketa Alternatif memberikan
jalan keluar yang potensial untuk menyelesaiakan masalah dengan
lebih baik daripada melakukannya dengan prosedur litigasi dan
prosedur lainnya, yang melibatkan para pembuat keputusan dari pihak
2) Prosedur yang cepat
Karena prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bersifat kurang
formal, maka pihak-pihak terlibat mampu untuk menegosiasikan
syarat-syarat penggunaannya. Hal ini mencegah penundaan dan
mempercepat proses penyelesaiannya.
3) Keputusan non-judicial
Wewenang untuk membuat keputusan dipertahankan oleh pihak-pihak
yang terlibat daripada didelegasikan kepada pembuat keputusan dari
pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak terlibat mempunyai
lebih banyak control dan dapat meramalkan hasil-hasil sengketa.
4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi
Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif menempatkan keputusan di
tangan orang yang mempunyai posisi baik untuk menafsirkan
tujuan-tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari organisasi yang
terlibat, dan dampak-dampak positif dan negatif dari setiap pilihan
penyelesaian masalah tertentu. Pembuatan keputusan oleh pihak
ketiga seringkali meminta bantuan seorang hakim, juri, arbiter untuk
membuat keputusan yang mengikat mengenai suatu isu.
5) Prosedur Rahasia
Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif memberikan jaminan
kerahasiaan bagi para pihak sama besar. Pihak-pihak menjajaki
pilihan-pilihan sengketa yang potensial dan tetap melindungi hak-hak
6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bisa juga memberikan
fleksibilitas yang lebih besar bagi parameter-parameter isu yang
sedang didiskusikan dan cakupan dari penyelesaian masalah.
Memungkinkan pengembangan cara penyelesaian yang lebih
komprehensif untuk membahas penyebab persengketaan. Prosedur ini
menghindarkan ganjalan dari kendala prosedur judicial yang sangat
terbatas pada pembuatan keputusan pengadilan yang didasarkan pada
titik sempit hukum, seperti misalnya apakah prosedur yang tepat
sudah diikuti atau belum.
7) Hemat Waktu
Dengan kelambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian
tanggal persidangan, prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif
menawarkan kesempatan yang lebih untuk menyelesaiakan sengketa
tanpa harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan
litigasi.
8) Hemat Biaya
Biaya ditentukan oleh kegunaan dan besarnya waktu yang dipakai,
dan pihak ketiga yang netral rata-rata memasang tarif yang lebih
rendah untuk mengganti waktu mereka habiskan daripada membayar
9) Pemeliharaan hubungan
Cara penyelesaian menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang
dinegosiasikan yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak
terlibat. Lebih jauh mampu untuk mempertahankan
hubungan-hubungan kerja yang sekarang sedang berjalan maupun untuk waktu
mendatang daripada menang/kalah seperti misalnya litigasi.
10)Tinggi kemungkinan kesepakatan dilaksanakan
Para pihak yang telah mencapai kesepakatan pada umumnya
cenderung untuk mengikuti dan memenuhi syarat-syarat kesepakatan,
dan ketika sebuah ketika sebuah kesepakatan kesepakatan telah
ditentukan oleh pengambil keputusan pihak ketiga. Faktoraktor ini
membantu para peserta dalam prosedur Penyelesaian Sengketa
Alternatif untuk menghindari litigasi yang tidak efektif.
11)Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil
Pihak-pihak yang menegosiasikan penyelesaian sengketa sendiri
mempunyai lebih banyak kontrol terhadap hasil-hasil atau akibat
sengketa. Keuntungan dan kerugian lebih mudah diperkirakan dalam
cara penyelesaian yang dinegosiasikan atau melalui mediasi daripada
jika kasus tersebut diselesaikan atau melalui arbitrase atau
diselesaikan di depan seorang hakim.
12)Keputusan bertahan sepanjang waktu
Penyelesaian sengketa dengan prosedur Penyelesaian Sengketa
dikemudian hari persengketaan itu menimbulkan masalah, maka
pihak-pihak terlibat kelihatannya mau memanfaatkan bentuk
pemecahan masalah yang kooperatif untuk menyelesaikan perbedaan
kepentingan daripada menerapkan pendekatan adversial atau
pertentangan.
C. Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif
Merujuk pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
Penyelesaian Sengketa Alternatif terdiri dari penyelesaian di luar pengadilan
dengan menggunakan metode, antara lain42 :
a. Konsultasi ; suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya
kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b. Negosiasi ; suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.43
c. Mediasi ; cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
meditor.
42
Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 7
d. Konsiliasi ; Penengah akan bertindak sebagai konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
e. Penilaian Ahli ; pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat
teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.
Metode Penyelesaian Sengketa Alternatif yang paling sering
digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah metode Mediasi dan Negosiasi.
Dibawah ini penulis akan memberikan penekanan pada metode mediasi dan
negosiasi ini.
1. Mediasi
Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang
bertindak sebagai “kenderaan” untuk berkomunikasi antar para pihak,
sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat
dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya
suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Defenisi
tersebut tidak jauh dari defenisi yang dinyatakan dalam Black’s Law
Dictionary yang mendefinisikan mediasi sebagai : A method of non-binding
dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the
disputing parties rech a mutually agreeable solution.
Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2008)
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.44
Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus
dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan
seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam
kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam
proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang
mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan,
menyelenggarakan seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang
mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan,
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah,
merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak
untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk
dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan.45
Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki produk
hukum putusan yang mengikat dan berkekuatan eksekutorial, produk hukum
dari suatu proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang berbentuk
perjanjian. Perjanjian yang menjadi produk dari mediasi tersebut tidak
memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan. Hal ini
terkadang menyebabkan susahnya dilakukan penegakan atas isi dari apa
yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi. Permasalahan
44 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
45
yang timbul adalah sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak? Bagaimana apabila sudah tercapai
kesepakatan namun ternyata salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) atas
perjanjian perdamaian mediasi, apakah akibat hukumnya?
Dalam hal tercapai kesepakatan, maka merujuk pada Pasal 6 ayat (7)
dan ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan
dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
i’tikad baik (te geode trouw) dan wajib didaftarkan ke pengadilan negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut
wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya
kesepakatan ke pengadilan negeri. Dengan didaftarkannya suatu kesepakatan
tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan
menjadi suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Pendaftaran
yang dimaksud di sini adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan
cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi
(kesepakatan perdamaian) tersebut di pengadilan negeri yang berwenang.
Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian
yang memiliki kekuatan eksekutorial.46
2. Negosiasi
Kata negosiasi berasal dari kata negotiation, yang berarti
perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut
46
negosiator (negotiator). Negosiasi merupakan proses penyelesaian sengketa
yang paling umum. Bernegosiasi sudah menjadi bagian dari aktivitas
kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, tawar-menawar, harga, gaji,
dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negosiasi secara umumnya
adalah suatu proses tarik ulur dan adu argumentasi di antara kedua belah
pihak yang berbeda kepentingan atas persoalan yang sama. Secara umum,
negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para
pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.47 Di dalam
proses negosiasi, para pihak yang bersengketa akan berhadapan secara
langsung dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi.
Secara sederhana, defenisi dari negosiasi adalah suatu proses
tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui
proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, negosiasi merupakan suatu pilihan upaya Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang dilaksanakan secara mandiri melalui proses
interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tuujuan untuk mendapatkan
penyelesaian atau jalan keluar atas persengketaan perdata yang sedang
berlangsung.
47
Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang di desain` untuk
mencapai suatu kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai
kepentingan yang sama atau berbeda. Berbeda dengan mediasi, komunikasi
yang dilaksanakan dalam proses negosiasi tersebut dibangun oleh para pihak
tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Kualitas dari sebuah
negosiasi bergantung pada negosiator yang melakukannya. Dalam hal ini,
yang dimaksudkan dengan negosiator adalah pihak itu sendiri ataupun
penerima kuasa yang mewakili pihak yang bernegosiasi. Penerima kuasa
yang dimaksud disini misalnya advokat.
Hasil akhir proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan
tersebut ke dalam suatu perjanjian dalam bentuk tertulis untuk dilaksanakan
oleh para pihak. Menunda pelaksanaan hasil kesepakatan bisa mengakibatkan
perubahan persepsi para pihak yang terlibat, yang dapat menghancurkan
kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi. Namun demikian, dalam
hal tercapai kesepakatan, maka sama seperti mediasi, merujuk pada Pasal 6
ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan
yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak
untuk dilaksakan dengan i’tikad baik (te geode trouw) dan harus didaftarkan
ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian
sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
Negosiasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit.
Suatu hal yang penting dalam bernegosiasi adalah suatu i’ tikad baik dari
para pihak untuk secara bersama-sama duduk dan menyelesaikan masalah.
Dalam hal kepercayaan maupun keinginan untuk mendapatkan suatu
kesepakatan di antara para pihak telah luntur, maka negosiasi akan menjadi
suatu upaya yang sia-sia. Namun demikian, jika para pihak dapat duduk
secara bersama-sama dengan i’tikad baik dan niat untuk mencari suatu
kesepakatan, maka negosiasi akan menjadi suatu metode Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) yang sangat tepat, sederhana, dan
menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).48
48