• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sengketa Alternatif antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah Terhadap Kawasan Hutan Register 40 Padang Lawas"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT ADAT DAN

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

A. Masyarakat Adat pada Umumnya serta Peraturan Hukum yang

Mengaturnya

Hukum Adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan

kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberikan pedoman

kepada sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam

hubunga antara yang satu dengan yang lain, baik di kota maupun dan

lebih-lebih di desa.12

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan

dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka setiap bangsa di dunia ini

memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak

sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa

adat itu merupakan unsur terpenting yang memberikan identitas kepa

da bangsa yang bersangktan.13

Beberapa pengertian tentang hukum adat yang diberikan oleh para

sarjana hukum adalah sebagai berikut :14

a. Prof. Dr. Supomo, S.H

12

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita 2006, hal. 7 13 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung 1988, hal. 13

14

(2)

Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam

peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang

berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas

keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai

kekuatan hukum

b. Mr. J.H.P. Bellefroid

Hukum Adat merupakan peraturan hidup yang meskipun tidak

diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat

dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai

hukum.

c. Prof. M.M Djojodigoeno, S.H

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada

peraturan-peraturan.

Terdapat dua unsur hukum adat, antara lain :

- Unsur Kenyataan; bahwa adat itu dalam keadaan yang sama

selalu diindahkan oleh rakyat.

- Unsur Psikologis; bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat,

bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.15

Siapapun yang ingin mengetahui tentang berbagai lembaga hukum yang

ada dalam sesuatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan,

lembaga hukum tentang pewarisan, lembaga hukum tentang jual-beli barang,

lembaga hukum tentang kepemilikan tanah dan lain-lain, harus mengetahui

15

(3)

struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan

system (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu, Soepomo menulis :

“Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira

50 tahun, sungguh membenarkan pernyataan van Vollenhoven dalam

orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 ; bahwa untuk mengetahui hukum, maka

perlu diselidiki untuk waktu dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan

badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh

hukum itu, hidup sehari-hari.16

Dari apa yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Soepomo di

atas tadi, kelihatan bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri-ciri khas

hukum adat itu, adalah persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Ter

Haar merumuskan bahwa hakikat dari masyarakat hukum (persekutuan

hukum) antara lain :

1. Kesatuan manusia yang teratur

2. Menetap di suatu daerah tertentu

3. Mempunyai penguasa-penguasa

4. Mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak berwujud

Dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan

dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak

seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan

16

(4)

untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya

dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.17

Agar pemahaman terhadap Hukum Adat lebih mendalam, maka

penulis perlu menguraikan pengertian Hukum Adat menurut para pakar

hukum lainnya.18

Menurut Iman Sudiyat, Hukum Adat adalah :

“Hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam

hubungannya satu sama lain, baik merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat Adat, karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa Adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat Adat itu) yaitu : Lurah,

Penghulu, Pembantu Lurah, Wali Tanah, Kepala Adat, dan Hakim.”19

Menurut Bushar Muhammad dijelaskan bahwa :

“Hukum Adat itu adalah terutama hukum yang mengatur tingkah

laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan pelanggaran dan yang ditetapkan dalam putusan-putusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri

(5)

tempat hukum adat berdiri, sendi-sendi tempat hukum adatm adat berdiri,

sendi-sendi tempat hukum adat bertopang, dasar-dasar bertopang, dasar-dasar

tempat hukum adat berpijak pada tiang-tiang hukum adat yang ditegakkan

oleh Van Vollenhoven :

1. Persekutuan Hukum

2. Hak Ulayat

3. Daerah Hukum Adat

4. Perjanjian adalah perbuatan konkret

5. Hukum Adat tidak mengenal kontruksi juridis yang abstrak

6. Hukum Adat menjadikan tangkapan dengan panca indera sebagai

dasar bagi membuat kategori hukum dan sebagai ukuran

membeda-bedakan

7. Sifat susunan keluarga

Van Vollenhoven, membagi wilayah berlakunya Hukum Adat atas 19

lingkungan hukum (rechtskring). Lingkungan hukum adalah suatu daerah

dimana garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam, tiap-tiap

lingkungan Hukum Adat dapat dibagi-bagi lagi atas kukuban-kukuban hukum

(rechtsgouwen).21

Van Vollenhoven membagi seluruh daerah di Indonesia menjadi beberapa

lingkaran/lingkungan, yaitu :

1. Aceh

2. Tanah Gayo Alas, Batak, dan Nias

(6)

3. Minangkabau dan Mentawai

4. Sumatera Selatan

5. Melayu (Sumatera Timur, Jambi, dan Riau)

6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan

8. Minahasa

9. Gorontalo

10.Toraja

11.Sulawesi Selatan

12.Kepulauan Ternate

13.Maluku dan Ambon

14.Irian

15.Kepulauan Timor

16.Bali dan Lombok

17.Jawa Tengah dan Jawa Timur

18.Daerah-Daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)

19.Jawa Barat

Mahadi menulis : “bahwa masyarakat hukum adat itu in heren dengan

adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima tidak adanya masyarakat hukum adat

(7)

kehutanan seperti disebutkan dalam hukum kehutanan, hutan dalam statusnya

ada hutan Negara dan hutan hak.22

Hutan Negara dapat berupa hutan adat yang mana harus ditetapkan

statusnya sebagai tanah adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat

hukum adat yang bersangkutan masih berada dikawasan hutan tersebut,

sebagai dasar pengakuan tersebut. Sejalan dengan perkembangan hukum adat

yang bersangkutan tidak berlaku lagi maka pengelolaan hutan adat kembali

kepada pemerintah yang mengelolanya (Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999)23.

Hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat termasuk

hutan Negara, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari hasil

hutan tersebut dalam satu ekosistem yang dalam sistem kehutanan harus tidak

terpisah dari pengertian hutan itu sendiri. Di dalam isi hak ulayat tidak ulayat

tidak membedakan hutan dan bukan hutan, sebab yang menjadi hak ulayat itu

sendiri meliputi :

a. Tanah (daratan)

b. Air (perairan) seperti misalnya sungai, danau, pantai beserta

perairannya

c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar

d. Binatang yang hidup liar di hutan

Corak Hukum Adat atau sifat masyarakat adat pada sembilan belas (19)

lingkungan hukum tersebut sama, yaitu :

22

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Bandung : Alumni, 1991, hal. 58

(8)

a. Magis religious, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat percaya

dengan kehidupan/hal-hal yang bersifat gaib dan menilai

kehidupan religi sebagai suatu yang hakiki dalam kehidupan

manusia.

b. Komunal, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat lebih

memprioritaskan kebersamaan dalam memenuhi kebutuhan

manusia dalam masyarakat akan tetapi tidak mengabaikan

kebutuhan individual.

c. Kongkrit, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu

menggunakan simbol-simbol nyata sebagai wujud atau bukti dari

tindakan atau perbuatan dan kehendak seseorang.

d. Kontan, artinya Hukum Adat dan masyarakat adat selalu merespon

dengan segera terhadap setiap prestasi yang diterima dengan

imbalan berupa kontra prestasi.

Hukum Adat menurut Iman Sudiyat mempunyai tiga sifat, yaitu :

a. Sifat statis, artinya Hukum Adat selalu memelihara dan

mempertahankan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh leluhurnya.

b. Sifat dinamis artinya Hukum Adat selalu mengikuti perubahan

dan perkembangan zaman.

c. Sifat elastic/plastis, artinya Hukum Adat dapat beradaptasi dengan

berbagai keadaan dalam masyarakat, termasuk dengan kasus-kasus

(9)

Dasar Hukum berlakunya Hukum Adat dan Perkembangannya sejak 1945

sampai sekarang antara lain :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 segala

peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda, untuk sementara waktu

dipertahankan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar 1945.24

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku selama

belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

2. UUDS Tahun 1945

Di dalam Pasal 104 ayat 1, ditentukan :

“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam

perkara hukuman menyebut aturan undang-undang dan

aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.”

Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional berlakunya hukum

adat itu sampai sekarang belum diberi peraturan penyelenggara atau

pelaksanaannya.25

3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama

24

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Bandung : Penerbit Alumni, 1991, hal. 78

(10)

a. I.S. (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undang-undang

yang selengkapnya berbunyi : “Wet op de Staatsinrichting van

Nederlands-Indie”.

b. R.R. (Regerings-Reglement) adalah singkatan dari

Undang-Undang yang selengkapnya berbunyi : “Reglement op Het Beleid

der Regering van Nederlands-Indie.”

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang

berasal dari jaman colonial dan yang pada masa sekarang

(sampai UU No. 19 Tahun 1964) masih tetap berlaku adalah :

I.S. Pasal 131 ayat 2 sub b :

Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum

Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat

mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka

membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi; yaitu suatu peraturan

hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif Pusat/Gubernur

Jenderal bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan

bagi mereka :

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama dan apabila

(11)

d. Hukum Baru, yaitu : Hukum yang merupakan synthese

antara hukum adat dan hukum Eropa26

4. I.S. Pasal 134

Disamping Pasal 131, maka I.S. memuat lagi suatu ketentuan

perundang-undangan mengenai berlakunya Hukum Adat, yaitu Pasal 134 ayat 2.

Menurut ketentuan itu maka : “Dalam hal timbul perkara hukum

perdata antara orang-orang Muslim, dan Hukum Adat mereka meminta

penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan

oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain.”

5. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14

tahun 1970

Setelah Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman (UU No. 19 Tahun 1964) diundangkan, maka ketentuan

di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang

berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan lain-lain Badan Kehakiman” telah dipenuhi

penyelenggaraannya menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 19 Tahun

1964 dimaksud diatas beserta penjelasannya, sehingga hukum yang

dipakai adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang

sifat-sifatnya berakar pada kepribadian Bangsa.

Dalam Pasal 3 tersebut diatas tidak disebut Hukum Adat. Menurut

Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan juga sesuai

26

(12)

dengan penjelasan dari pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tertulis

dan hukum yang tidak tertulis.27

Undang-Undang No.14 Tahun 1970 adalah Undang-Undang tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal yang penting

yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, antara lain :

a. Pasal 23 (1) yang berbunyi :

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

b. Pasal 27 (1) yang berbunyi :

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.”

Selain pasal-pasal tersebut diatas, maka penjelasan umum terhadap

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 bagian 7 memberi petunjuk

kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Tak Tertulis”

dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Adat.

Bagian 7 dari penjelasan umum Undang-Undang ini berbunyi

sebagai berikut :

“Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud

(13)

masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis akan berjalan secara wajar.”

Hukum tidak tertulis yang diterapkan/diselenggarakan oleh

Pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat adalah Hukum Adat. Dengan

demikian maka dapat disimpulkan, bahwa sekarang yang menjadi dasar

perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis

adalah legkapnya : Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 UUD

1945 dan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.28

Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pulalah

peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hukum Adat juga

telah diatur pada beberapa Undang-Undang Republik Indonesia, antara lain :

1. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria

- Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan

wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat untuk

melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyarakat

Hukum Adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai

Negara atas untuk mengelola tanah yang ada di wilayahnya.

- Pasal 3 UUPA mengatur bahwa pelaksanaan hak ulayat

masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya

harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan

nasional dan Negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak

28

(14)

boleh bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan

yang lebih tinggi.

- Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang

berlaku atas bumi, air, udara, dan ruang angkasa adalah

Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional, Negara, sosisalisme, dan

undang-undang.29

2. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat,

Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan

untuk mendapat manfaat dari hutan secara langsung atau tidak

langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi

tercapainya tujuan yang dimaksud oleh Undang-Undang ini.

3. Undang No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

- Pasal 25 ayat (1) yang isinya segala putusan pengadilan selain

harus memuat dasar-dasar putusan, juga harus memuat

pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber

hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

29

(15)

- Pasal 28 ayat (1) yang isinya tentang hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan wajib menggali dan mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

4. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah

Susun, mengangkat Lembaga Hukum Adat dengan cara

dimasukkan ke dalam Undang-Undang tersebut, yaitu asas

pemisahan h dengan cara dimasukkan ke dalam

Undang-Undang tersebut, yaitu asas pemisahan horizontal.30

5. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1977

PP No. 4 Tahun 1977 merupakan penyempurnaan PP No. 10

Tahun1961. Peraturan Pemerintah ini mengangkat dan

memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu Lembaga

Rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan

menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu itikad

baik selama 20 tahun berturut-turut tanpa ada gangguan/tuntutan

dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat).31

Melihat status tanah dalam perspektif hukum adat sebenarnya

mengkaji keberadaan hak ulayat diantaranya yang perlu diperhatikan disini

ialah soal siapa pemegang hak ulayat. Pemegang persekutuan atas tanah

adalah Raja yang bertindak sebagai pengurus, pengatur dan pengawas agar

pemakaian tanah dalam wilayahnya tidak bertentangan, merugikan hak-hak

30 Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

(16)

persekutuan, hak-hak perseorangan atas tanah, serta yang dimanfaatkan

untuk kepentingan pengelolaan hutan.32

Disamping itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah

ulayat yang dikenal di Negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang

menjelaskan bahwa tanah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah

ulayat masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata karena

kedermawanan sang Raja, sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah

sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, seperti :

1. Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan dengan cara apapun

sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan

2. Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik

pribadi/perorangan

3. Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh

memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan atau

kewajiban-kewajibannya yang perlu ditaati, seperti memberikan

sebagian hasilnya kepada Kepala Desa menjadi penghasilan desa.

B. Pandangan Umum tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif

Asal mula sengketa biasanya bermula pada suatu situasi dimana ada

pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini diawali oleh

perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat

dialami perorangan maupun kelompok hubungan konfliktual ini

berkelanjutan, perasaan tidak puas muncul ke permukaan.

32

(17)

Jika hal ini berkelanjutan pihak yang merasa dirugikan

menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila pihak

kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesailah

hubungan konfliktual tersebut. Sebaliknya jika reaksi dari pihak kedua

menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda,

maka terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa.

Proses sengketa mulai karena tidak adanya titik temu antara

pihak-pihak yang bersangkutan. Secara potensial, dua pihak-pihak yang mempunyai

pendirian/pendapat yang berbeda beranjak ke situasi sengketa. Secara umum

orang tidak akan memilih untuk mengutarakan pendapat yang

mengakibatkan konflik terbuka. Ini disebabkan oleh kemungkinan

konsekuensi yang tidak menyenangkan, yaitu dimana pribadi atau sebagai

wakil kelompoknya harus menghadapi situasi yang rumit yang mengundang

ketidaktentuan sehingga dapat mengubah kedudukan yang stabil atau aman.

Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang

berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai

kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur

komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar

tanpa memikirkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya.

Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal lama adalah melalui

proses litigasi di pengadilan. Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah

baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses

(18)

zaman, proses terbuka untuk umum. Seiring dengan perkembangan zaman,

proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan pun ikut berkembang.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan bersifat tertutup untuk

umum (close door session) dan kerahasiaan para pihak terjamin

(confidentiality), proses beracar lebih cepat dan efisien. Proses penyelesaian

sengketa di luar pengadilan ini menghindari kelambatan yang diakibatkan

procedural dan administrative sebagaimana beracara di pengadilan umum dan

win-win solution. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dinamakan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.33

Sejarah munculnya Alternatif Penyelesaian Sengketa dimulai pada

tahun 1976 ketika Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Werren Burger

mempelopori ide ini pada suatu konferensi di Saint Paul, Minnesota

Amerika Serikat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor gerakan

reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam

bidang hukum dan masyarakat akademisi mulai merasakan adanya

keprihatinan yang serius mengenai efek-efek negatif semakin meningkat dari

litigasi di pengadilan. Akhirnya American Bar Assosiation (ABA)

merealisasikan rencana itu dan selanjutnya menambahkan komite Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS) pada sekolah hukum di Amerika Serikat dan

juga pada sekolah ekonomi.34

33

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 9

(19)

Sebenarnya jiwa dari alternative penyelesaian sengketa itu sudah ada

dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal itu sebagaimana terlihat nyata

dalam budaya musyawarah untuk mencapai mufakat yang masih sangat

terihat di masyarakat pedesaan di Indonesia, dimana ketika ada sengketa di

antara mereka, cenderung masyarakat tidak membawa permasalahan tersebut

ke pengadilan, namun diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila sengketa

tersebut tidak dapat diselesaikan antara pihak yang bersengketa, maka

mereka akan membawa sengketa mereka tersebut di hadapan Kepala Desa.

Dengan semangat “musyawarah untuk mencapai mufakat” yang sudah

mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia, Alternatif Penyelesaian Sengketa

mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dan digunakan

oleh para praktisi hukum di Indonesia. Pentingnya peran Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS) dalam menyelesaikan sengketa semakin besar

dengan diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.35

Nilai kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul

di mana saja di Indonesia. Pada masyarakat Batak yang relatif memiliki

nilai ligious, Indonesia masih mengandalkan forum runggun adat, yang

intinya penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Di

Minangkabau, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian yang secara umum

berperan sebagai mediator dan konsiliator. Konsep pembuatan keputusan

dalam pertemuan desa pada suku jawa tidak didasarkan atas suara

35

(20)

mayoritas, tetapi dibuat oleh keseluruhan yang hadir sebagai suatu

kesatuan.36

Selain daripada budaya Alternatif Penyelesaian Sengketa yang

memang sudah melekat dalam masyarakat Indonesia, Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS) juga mempunyai potensi yang beesarsar untuk berkembang

di Indonesia karena alasan-alasan sebagai berikut37 :

1. Faktor ekonomis ; Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki potensi

sebagai sarana penyelesaian sengketa yang lebih ekonomis, baik dari

sudut pandang biaya maupun waktu.

2. Faktor ruang lingkup yang dibahas ; Alternatif Penyelesaian Sengketa

memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara

lebih luas, komprehensiif, dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena

aturan main dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang

bersengketa sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Alternatif

Penyelesaian Sengketa memiliki potensi untuk menyelesaikan

konflik-konflik yang sangat rumit (polycentris) yang disebabkan oleh substansi

kasus yang sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah (scientifically

complicated).

3. Faktor pembinaan hubungan baik ; Alternatif Penyelesaian Sengketa

(APS) yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat

cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan

baik antar manusia yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

36 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hal. 38

37

(21)

Pemanfaatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik di luar

maupun di dalam negeri telah menimbulkan suatu kesan bahwa ada satu

kelompok atau aliran pemikiran yang mengarah pada perkembangan proses

Alternatif Penyelesaian sengketa dan dipandang sebagai cakupan berbagai

usaha yang ditarik dari berbagai sumber yang berbeda dan yang

masing-masing memiliki filsafah, budaya, dan cara penerapan khusus.38 Seiring dengan

berkembangnya zaman, para pelaku bisnis berupaya untuk mengembangkan

mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai solusi dari litigasi di

pengadilan. Kini, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 30 tahun

1999, pelaku bisnis menyadari bahwa putusan menang dan kalah melalui

jalurn litigasi belum tentu menjadi solusi yang terbaik, dan putusan yang

demikian membuat tujuan-tujuan umum dari business yang mereka lakukan

tersebut tidak tercapai. Solusi litigasi melalui pengadilandemikian membuat

tujuan-tujuan umum dari bisnis yang mereka lakukan tersebut tidak tercapai.

Solusi litigasi melalui pengadilan negeri yang memenangkan negeri

yang memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya, ini

dapat dikatakan sebagai suatu metode penyelesaian sen salah satu pihak dan

mengalahkan pihak lainnya, ini dapat dikatakan sebagai suatu metode

penyelesaian sengketa yang dapat membawa efek negatif atas perkembangan

business seorang pelaku bisnis.

Hal ini karena dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa

dimungkinkan untuk dilaksanakannya suatu penyelesaian sengketa secara

(22)

informal, sukarela, dengan kerjasama langsung antara kedua belah pihak

yang bersengketa, dan dapat tercapainya kebutuhan maupun kepentingan dari

pihak yang bersengketa (win-win solution). Alhasil, banyak dari para pelaku

bisnis tersebut ingin agar sengketa-sengketa keperdataan yang timbul di

antara mereka diselesaikan dengan hasil win-win solution.

Di sinilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) timbul untuk

menjawab kebutuhan-kebutuhan para pelaku bisnis tersebut. Namun dalam

perkembangannya, Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak hanya digunakan

oleh pelaku bisnis, melainkan juga telah digunakan secara umum dalam

upaya menjawab perselisihan-perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat,

seperti konflik horizontal antara kelompok masyarakat.39

Untuk adanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, maka

kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan dan

didengarkan. Setelah itu baru proses dialog dan pencarian titik temu dapat

dimulai, dimana kondisi ini merupakan kondisi dimana proses penyelesaian

sengketa dapat berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses

penyelesaian sengketa tidak akan berjalan dengan baik.

Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa,

yaitu :

1) Kepentingan (interest),

2) Hak-Hak (rights),

3) Status Kekuasaan (power)

39

(23)

Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai,

hak-haknya dipenuhi serta ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan,

dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang

bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut

diatas. Bila menyimak sejarah perkembangan Penyelesaian Sengketa

Alternatif di Amerika Serikat, perkembangannya dilatarbelakangi oleh

kebutuhan sebagai berikut :

1. Untuk mengurangi kemacetan di Pengadilan. Banyaknya kasus yang

diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali

berkepanjangan. Proses seperti ini memakan biaya yang tinggi dan

sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.

2. Untuk meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian

sengketa.

3. Untuk memperlancar serta memperluas akses ke Pengadilan

4. Untuk memberi kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa

yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima dan dapat

memuaskan semua pihak.

Proses penyelesaian sengketa dimana para pihak mengembangkan

penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar pada sistem

pengaturan sendiri (self governing system) yang dapat ditemukan di Negara

Indonesia.40

(24)

Masyarakat Adat memiliki pandangan yang berbeda terhadap

Penyelesaian Sengketa Alternatif. Masyarakat Adat menilai bahwa sebagian

besar dari penduduk Indonesia hidup di pedesaan, mereka merasa dirinya

sebagai bagian dari alam sekitarnya, yaitu alam semesta. Dengan kata lain,

untuk mencapai kebahagiaan hidup, penduduk senantiasa harus menyesuaikan

perilakunya dengan tata sebagaimana ditentukan oleh alam semesta.

Sehubungan dengan itu, di dalam perilaku mereka harus memperhitungkan

ketentuan-ketentuan ghaib yang tidak tampak.

Jika timbul sengketa antara penduduk pada masyarakat pedesaan

menyangkut masalah-masalah tersebut diatas, jarang sekali masalah dibawa

ke pengadilan Negara untuk diselesaikan. Mereka yang bersengketa dengan

senang hati dan lebih suka membawa ke lembaga yang tersedia pada

masyarakat adat untuk diselesaiakan secara damai. Dalam masyarakat hukum

adat, penyelesaian sengketa biasa dilakukan di hadapan Kepala Desa atau

Hakim Adat.

Hal ini perlu disadari bahwa secara historis kultural, masyarakat

Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan consensus. Pengembangan

penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme pengambilan

keputusan tradisional dan penyelesaian sengketa secara adat. Alasan Kultural

bagi eksistensi dan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di

Indonesia, tampaknya lebih kuat daripada alasan ketidakefisienan proses

(25)

Di Indonesia, proses penyelesaian melalui alternatif bukanlah sesuatu

yang baru dalam nilai-nilai budaya kita yang berjiwa kooperatif. Nilai

kooperatif dan kompromi dalam penyelesaian sengketa muncul dimana saja

di Indonesia. Di masyarakat Batak yang relative memiliki nilai litigious,

masih mengandalkan forum runggun adat yang intinya penyelesaian sengketa

secara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau dikenal dengan

Lembaga Hakim Perdamaian, yang secara umum peranannya sebagai

mediator dan konsiliator. Di Suku Jawa, konsep pembuatan keputusan dalam

pertemuan desa tidak didasarkan atas suara mayoritas tetapi dibuat oleh

keseluruhan yang hadir sebagai suatu kesatuan. Mayoritas dan minoritas

dapat membatasi pendapat mereka sehingga dapat saling sejalan.

Indonesia mempunyai beragam metode pengambilan keputusan dan

penyelesaian sengketa, baik tradisional maupun mengambil dari metode luar.

Metode ini dapat dibagi ke dalam 2 prosedur, yaitu sebagai berikut :

a. Prosedur Administratif atau Prosedur Judicial, dimana sanksi dari

pihak ketiga dapat berupa rekomendasi atau keputusan yang

mengikat. Prosedur ini berakar pada proses pengadilan pada Zaman

Kerajaan, Kesultanan dan Adat setempat atau Pemuka Adat Desa,

serta Prosedur Administratif Pengadilan Zaman Kolonial Belanda.

b. Proses Konsensus Sukarela, dimana para pihak mengembangkan

penyelesaian yang dapat diterima bersama. Proses ini berakar dari

(26)

kita. Ditemukan pula beberapa persamaan pada masyarakat Indonesia,

antara lain seperti berikut ini :

1) Banyak Sengketa yang diselesaikan oleh prosedur judicial,

dimana ada otoritas dari pengambil keputusan, seperti pemuka

adat, memfasilitasi sebuah pertemuan antar pihak yang

bersengketa dan juga membantu mereka untuk bernegosiasi

dengan memakai standar dan criteria adat atau kerangka

penyelesaian menurut saran pemuka adat.

2) Banyak suku yang telah mempunyai atau masih mempertahankan

prosedur consensually-based untuk menyelesaiakan sengketa.

Bentuk consensually-base kurang lebih diartikan ke dalam

musyawarah untuk mencapai mufakat (consensus).41

Beberapa alasan pengembangan Penyelesaian Sengketa Alternatif di

Indonesia, selain alasan di atas dapat dilihat sebagai suatu peluang, seperti

berikut ini:

1) Faktor Ekonomis

Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki potensi sebagai sarana

penyelesaian yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya dan

waktu.

2) Faktor Ruang Lingkup yang dibahas

Penyelesaian Sengketa Alternatif memiliki kemampuan untuk membahas

ruang lingkup atau agenda permasalahan secara lebih luas,

41

(27)

komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main

dikembangkan serta ditentukan oleh para pihak, sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. Penyelesaian

Sengketa Alternatif memiliki potensi untuk menyelesaikan

konflik-konflik yang sangat rumit, disebabkan oleh substansi kasus yang

sarat dengan persoalan-persoalan ilmiah.

3) Faktor pembinaan hubungan baik

Penyelesaian Sengketa Aternatif yang mengandalkan cara-cara

penyelesaian yang kooperatif sangatcocok bagi mereka yang menekankan

pentingnya pembinaan hubungan baik antar manusia, yang telah

berlangsung maupun yang akan datang.

Penyelesaian Sengketa Alternatif mempunyai daya tarik yang khusus

di Indonesia karena keserasian dengan sistem sosial-budaya tradisional yang

berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah ini merupakan

keuntungan dalam memilih Penyelelesaian Sengketa Alternatif :

1) Sifat kesukarelaan dalam proses

Para pihak percaya bahwa Penyelesaian engketa Alternatif memberikan

jalan keluar yang potensial untuk menyelesaiakan masalah dengan

lebih baik daripada melakukannya dengan prosedur litigasi dan

prosedur lainnya, yang melibatkan para pembuat keputusan dari pihak

(28)

2) Prosedur yang cepat

Karena prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bersifat kurang

formal, maka pihak-pihak terlibat mampu untuk menegosiasikan

syarat-syarat penggunaannya. Hal ini mencegah penundaan dan

mempercepat proses penyelesaiannya.

3) Keputusan non-judicial

Wewenang untuk membuat keputusan dipertahankan oleh pihak-pihak

yang terlibat daripada didelegasikan kepada pembuat keputusan dari

pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak terlibat mempunyai

lebih banyak control dan dapat meramalkan hasil-hasil sengketa.

4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi

Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif menempatkan keputusan di

tangan orang yang mempunyai posisi baik untuk menafsirkan

tujuan-tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari organisasi yang

terlibat, dan dampak-dampak positif dan negatif dari setiap pilihan

penyelesaian masalah tertentu. Pembuatan keputusan oleh pihak

ketiga seringkali meminta bantuan seorang hakim, juri, arbiter untuk

membuat keputusan yang mengikat mengenai suatu isu.

5) Prosedur Rahasia

Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif memberikan jaminan

kerahasiaan bagi para pihak sama besar. Pihak-pihak menjajaki

pilihan-pilihan sengketa yang potensial dan tetap melindungi hak-hak

(29)

6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah

Prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif bisa juga memberikan

fleksibilitas yang lebih besar bagi parameter-parameter isu yang

sedang didiskusikan dan cakupan dari penyelesaian masalah.

Memungkinkan pengembangan cara penyelesaian yang lebih

komprehensif untuk membahas penyebab persengketaan. Prosedur ini

menghindarkan ganjalan dari kendala prosedur judicial yang sangat

terbatas pada pembuatan keputusan pengadilan yang didasarkan pada

titik sempit hukum, seperti misalnya apakah prosedur yang tepat

sudah diikuti atau belum.

7) Hemat Waktu

Dengan kelambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian

tanggal persidangan, prosedur Penyelesaian Sengketa Alternatif

menawarkan kesempatan yang lebih untuk menyelesaiakan sengketa

tanpa harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan

litigasi.

8) Hemat Biaya

Biaya ditentukan oleh kegunaan dan besarnya waktu yang dipakai,

dan pihak ketiga yang netral rata-rata memasang tarif yang lebih

rendah untuk mengganti waktu mereka habiskan daripada membayar

(30)

9) Pemeliharaan hubungan

Cara penyelesaian menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang

dinegosiasikan yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak

terlibat. Lebih jauh mampu untuk mempertahankan

hubungan-hubungan kerja yang sekarang sedang berjalan maupun untuk waktu

mendatang daripada menang/kalah seperti misalnya litigasi.

10)Tinggi kemungkinan kesepakatan dilaksanakan

Para pihak yang telah mencapai kesepakatan pada umumnya

cenderung untuk mengikuti dan memenuhi syarat-syarat kesepakatan,

dan ketika sebuah ketika sebuah kesepakatan kesepakatan telah

ditentukan oleh pengambil keputusan pihak ketiga. Faktoraktor ini

membantu para peserta dalam prosedur Penyelesaian Sengketa

Alternatif untuk menghindari litigasi yang tidak efektif.

11)Kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil

Pihak-pihak yang menegosiasikan penyelesaian sengketa sendiri

mempunyai lebih banyak kontrol terhadap hasil-hasil atau akibat

sengketa. Keuntungan dan kerugian lebih mudah diperkirakan dalam

cara penyelesaian yang dinegosiasikan atau melalui mediasi daripada

jika kasus tersebut diselesaikan atau melalui arbitrase atau

diselesaikan di depan seorang hakim.

12)Keputusan bertahan sepanjang waktu

Penyelesaian sengketa dengan prosedur Penyelesaian Sengketa

(31)

dikemudian hari persengketaan itu menimbulkan masalah, maka

pihak-pihak terlibat kelihatannya mau memanfaatkan bentuk

pemecahan masalah yang kooperatif untuk menyelesaikan perbedaan

kepentingan daripada menerapkan pendekatan adversial atau

pertentangan.

C. Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Alternatif

Merujuk pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,

Penyelesaian Sengketa Alternatif terdiri dari penyelesaian di luar pengadilan

dengan menggunakan metode, antara lain42 :

a. Konsultasi ; suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu

pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak

konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya

kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.

b. Negosiasi ; suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa

melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan

bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.43

c. Mediasi ; cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

meditor.

42

Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa (Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional), Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hal. 7

(32)

d. Konsiliasi ; Penengah akan bertindak sebagai konsiliator dengan

kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat

diterima.

e. Penilaian Ahli ; pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat

teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.

Metode Penyelesaian Sengketa Alternatif yang paling sering

digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah metode Mediasi dan Negosiasi.

Dibawah ini penulis akan memberikan penekanan pada metode mediasi dan

negosiasi ini.

1. Mediasi

Mediasi merupakan suatu prosedur penengahan di mana seseorang

bertindak sebagai “kenderaan” untuk berkomunikasi antar para pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat

dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggungjawab utama tercapainya

suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Defenisi

tersebut tidak jauh dari defenisi yang dinyatakan dalam Black’s Law

Dictionary yang mendefinisikan mediasi sebagai : A method of non-binding

dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the

disputing parties rech a mutually agreeable solution.

Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2008)

(33)

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

mediator.44

Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator

yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus

dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan

seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam

kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam

proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang

mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan,

menyelenggarakan seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang

mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan,

menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah,

merumuskan kesepakatan dalam para pihak, serta membantu para pihak

untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk

dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan.45

Berbeda dengan arbitrase maupun litigasi yang memiliki produk

hukum putusan yang mengikat dan berkekuatan eksekutorial, produk hukum

dari suatu proses mediasi adalah kesepakatan para pihak yang berbentuk

perjanjian. Perjanjian yang menjadi produk dari mediasi tersebut tidak

memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan. Hal ini

terkadang menyebabkan susahnya dilakukan penegakan atas isi dari apa

yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi. Permasalahan

44 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

45

(34)

yang timbul adalah sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat bagi para pihak? Bagaimana apabila sudah tercapai

kesepakatan namun ternyata salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) atas

perjanjian perdamaian mediasi, apakah akibat hukumnya?

Dalam hal tercapai kesepakatan, maka merujuk pada Pasal 6 ayat (7)

dan ayat (8) UU No. 30 Tahun 1999, kesepakatan yang telah diraih dan

dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan

i’tikad baik (te geode trouw) dan wajib didaftarkan ke pengadilan negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian sengketa tersebut

wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah didaftarkannya

kesepakatan ke pengadilan negeri. Dengan didaftarkannya suatu kesepakatan

tertulis mediasi ke pengadilan negeri, maka kesepakatan tersebut akan

menjadi suatu kesepakatan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Pendaftaran

yang dimaksud di sini adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan

cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi

(kesepakatan perdamaian) tersebut di pengadilan negeri yang berwenang.

Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian

yang memiliki kekuatan eksekutorial.46

2. Negosiasi

Kata negosiasi berasal dari kata negotiation, yang berarti

perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut

46

(35)

negosiator (negotiator). Negosiasi merupakan proses penyelesaian sengketa

yang paling umum. Bernegosiasi sudah menjadi bagian dari aktivitas

kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari, tawar-menawar, harga, gaji,

dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa negosiasi secara umumnya

adalah suatu proses tarik ulur dan adu argumentasi di antara kedua belah

pihak yang berbeda kepentingan atas persoalan yang sama. Secara umum,

negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para

pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan

bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.47 Di dalam

proses negosiasi, para pihak yang bersengketa akan berhadapan secara

langsung dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi.

Secara sederhana, defenisi dari negosiasi adalah suatu proses

tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui

proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan

penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung.

Dengan demikian, negosiasi merupakan suatu pilihan upaya Alternatif

Penyelesaian Sengketa yang dilaksanakan secara mandiri melalui proses

interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tuujuan untuk mendapatkan

penyelesaian atau jalan keluar atas persengketaan perdata yang sedang

berlangsung.

47

(36)

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang di desain` untuk

mencapai suatu kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai

kepentingan yang sama atau berbeda. Berbeda dengan mediasi, komunikasi

yang dilaksanakan dalam proses negosiasi tersebut dibangun oleh para pihak

tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Kualitas dari sebuah

negosiasi bergantung pada negosiator yang melakukannya. Dalam hal ini,

yang dimaksudkan dengan negosiator adalah pihak itu sendiri ataupun

penerima kuasa yang mewakili pihak yang bernegosiasi. Penerima kuasa

yang dimaksud disini misalnya advokat.

Hasil akhir proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan

tersebut ke dalam suatu perjanjian dalam bentuk tertulis untuk dilaksanakan

oleh para pihak. Menunda pelaksanaan hasil kesepakatan bisa mengakibatkan

perubahan persepsi para pihak yang terlibat, yang dapat menghancurkan

kesepakatan yang telah dicapai dalam negosiasi. Namun demikian, dalam

hal tercapai kesepakatan, maka sama seperti mediasi, merujuk pada Pasal 6

ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan

yang telah diraih dan dibuat dalam bentuk tertulis mengikat para pihak

untuk dilaksakan dengan i’tikad baik (te geode trouw) dan harus didaftarkan

ke pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

penandatanganan. Pelaksanaan kesepakatan dalam alternatif penyelesaian

sengketa tersebut wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah

(37)

Negosiasi biasanya dilakukan dalam perkara yang tidak terlalu rumit.

Suatu hal yang penting dalam bernegosiasi adalah suatu i’ tikad baik dari

para pihak untuk secara bersama-sama duduk dan menyelesaikan masalah.

Dalam hal kepercayaan maupun keinginan untuk mendapatkan suatu

kesepakatan di antara para pihak telah luntur, maka negosiasi akan menjadi

suatu upaya yang sia-sia. Namun demikian, jika para pihak dapat duduk

secara bersama-sama dengan i’tikad baik dan niat untuk mencari suatu

kesepakatan, maka negosiasi akan menjadi suatu metode Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS) yang sangat tepat, sederhana, dan

menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).48

48

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang sifat-sifat pelabelan cordial dan e-cordial pada beberapa jenis graf sederhana,

Untuk menuliskan tipe data ini cukup dengan klik cell yang akan diisi data, kemudian ketikkan angka akan ditampilkan.. Penulisan karaktek koma(dalam format Indonesia) atau

Dari hasil analisis data dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain tingkat ketepatan pengetahuan istilah siswa pada materi permainan bola besar sebagian besar

A common way to evaluate these errors consist in positionning the sensor parallel to a wall at different known distances.. The M8 LIDAR system is intended to be use both indoor

Demikian atas perhatian Bapak/Ibu dan kerjasama yang baik kami mengucapkan

[r]

Sistem ini dapat memberikan kemudahan kepada pengguna yang akan melakukan seleksi fitur pada dokumen teks berbahasa Indonesia, dapat membantu mengurangi fitur untuk

dilakukan oleh penganyam serat lontar maupun pembuat kapal phinisi agar dapat.. menjangkau masyarakat luas, dilakukan melalui kegiatan pameran budaya