BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan adalah daging kuda umur1-2 tahun jenis
kelamin jantan sebanyak 3 ekor dan akan diambil 3 bagian otot yaitu Longissimus
dorsi, Semitendinosus, dan Pectoralis profundus, asap cair 10%, plastik klip,
tissue, kertas label, tali rafia.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, baskom,
timbangan analitik, CD-shear force, water bath dan talenan
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2015 di
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Sumatera
Utara dan lokasi pengambilan sampel di RPH Siborong-borong
Metode Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan metode RAL pola faktorial 3 x 5
dengan 3 kali ulangan. Faktor-faktor yang diteliti adalah
Faktor A (Jenis otot): Faktor B (Level asap cair) :
A1 : Longissimus dorsi, B1 : Penambahan asap cair 0%
A2 : Semitendinosus, B2 : Penambahan asap cair 0,5%
A3 : Pectoralis profundus, B3 : Penambahan asap cair 1,0%
B4 : Penambahan asap cair 1,5%
B5 : Penambahan asap cair 2%
Prosedur Penelitian
Perolehan sampel dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH)
Siborong-borong, yaitu otot Longissimus dorsi, Semitendinosus, Pectoralis profundus yang
mewakili otot empuk, sedang dan kurang empuk. Ketiga jenis otot yang
memasuki fase pascarigor dibagi menjadi lima bagian masing-masing seberat 200
g, kemudian ditambahkan 5 level asap cair pada masing-masing sampel setelah
itu lalu disimpan di lemari pendingin (20C) selama 3 hari. Kemudian dilakuka n pengukuran daya putus daging (daging masak), susut masak dan uji organoleptik
daging masak (keempukan awal, kebasahan, sisa residu dan flavor).
Prosedur penelitian (Soeparno,2005)meliputi beberapa tahap yang
disajikan secara sederhana pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Daging Asap Cair
Pembagian ke tiga jenis otot pascarigor menjadi lima bagian
masing-masing seberat 200 gr/
l
Penambahkan asap pada daging yang telah ditimbang dengan level
masing-masing 0, 0.5, 1, 1.5, dan 2 %
Daging yang telah diberi asap cair kemudian
dimasukkan kedalam lemari pendingin 2 – 5o C
dengan lama penyimpanan 3 hari
Analisis Sampel
1. Pengukuran Keempukan
Pengukuran keempukan dilakukan dengan dilakukan dengan menggunakan
alat CD Shear Force (Creozut dan Dumont dalam Abustam, 1993) pengukuran
dilakukan pada daging segar dan daging masak. Semakin rendah nilai daya putus
daging, menunjukkan daging tersebut semakin empuk, sebaliknya semakin tinggi
nilai daya putus daging maka semakin alot. Prosedur pengukuran keempukan
daging adalah :
a. Sampel dipotong dengan panjang 1 cm,diameter 1,27 cm
b. sampel dimasukkan pada lubang CD Shear Force
c. Sampel dipotong tegak lurus dengan serat daging
d. Perhitungan daya putus daging sesuai pembacaan pada CD Shear Force
dengan menggunakan rumus
Pengukuran susut masak berdasarkan Soeparno (2005) dilakukan pada
sampel daging yang mengalami pemasakan pada suhu 800C selama 30 menit Berat sebelum pengukusan - Berat sesudah Pengukusan
Susut masak = x 100%
Berat sebelum pengukusan
3. Pengukuran Flavour dan Aroma
Penilaian Flavor dan aroma daging masak pascarigor meliputi rasa,
s/d 6 (Metode yang disesuaikan di Labolatorium THT), dimana semakin tinggi
skor maka semakin positif terhadap penilaian yang dimaksud. Adapun deskpripsi
penilaian produk yang di amati dapat dilihat di bawah ini :
a). Flavour
1 2 3 4 5 6
Rasa daging Rasa asap
b). Aroma
1 2 3 4 5 6
Berbau Daging Berbau Asap
Analisis Data
Semua data diolah dengan analysis of variance (ANOVA) dilanjutkan uji
BNT jika terdapat perbedaan nyata berdasarkan (Gaspersz, 1991) dengan
menggunakan bantuan program SPSS.
Yijk = µ + αi +β j + (αβ)ij + €ij
Yijk = Nilai pengamatan daging kuda ke- k yang memperoleh penambahan asap cair ke-i dan lama penyimpanan ke-j.
µ = Nilai rata – rata umum
αi = Pengaruh jenis otot ke- i terhadap parameter yang diamati.
βj = Pengaruh level asap cair ke-j terhadap parameter yang diamati.
(αβ)ij = Pengaruh interaksi jenis otot ke –i dan level asap cair ke –j.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Susut Masak Daging
Nilai susut masak sebelum pengukusan pada daging dengan penambahan
asap cair dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Nilai Susut masak sebelum pengukusan
Level Asap Cair P Profundus L Dorsi SemitendinosusRataan
Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat
pemasakan dan merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan daging. Daging
dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan persentase susut masak yang tinggi.Hal ini karena terjadi
kehilangan nutrisi selama proses pemasakan yang lebih sedikit. Dari hasil
penelitian terlihat bahwa bagian otot longissimus Dorsi dengan penambahan asap
cair 1% mengalami penyusutan yang lebih tinggidikarenakan pengaruh letak
anatomis bagian otot tersebut, dimana bagian otot yang paling banyak digerakkan
oleh ternak tersebut mengalami kealotan daging yang lebih keras dibandingkan
dengan otot yang jarang atau tidak sama sekali digerakkan oleh hewan ternak
tersebut.
Kemudian untuk melihat apakah ada pengaruh asap cair tersebut untuk
mempengaruhi nilai susut masak daging tersebut dapat kita lihat pada tabel 2 di
Tabel 2. Nilai Susut Masak Setelah Pengukusan
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa otot yang mengalami penyusutan
adalah bagian otot longissimus dorsi yang diberi perlakuan asap cair 1% .Hal ini
berkorelasi dengan letak anotomis otot pada tubuh hewan dimana bagian otot
yang mengalami pergerakan lebih sedikit akan menghasilkan keempukan daging
yang lebih lembut sedangkanbagian otot yang paling banyak bergerak
menghasilkan keempukan yang kurang. Otot yang terdapat pada bagian daging
tersebut telah mengalami perubahan yang cepat dalam hal penyerapan dan
pengurasan energi yang disimpan pada otot tersebut seperti pada otot
semitendinosus dan pectoralis profundus.
Nilai susut masak yang dihasilkan selanjutnya dikonversi dalam bentuk %
yang mana dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil nilai susut masak (%)
Level Asap Cair P Profundus L Dorsi SemitendinosusRataan
Setelah dilakukan analisis keragaman Anova dua faktor tanpa ulangan
Tabel 4. Hasil Uji Anova Susut Masak
Semitendinosus 5 246.82 49.364 1.12733
Dari Tabel 4 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nilai F untuk level
pemberian asap cair terhadap kualitas daging kuda tidak berpengaruh secara
signifikan hal ini terlhat bahwa nilai F yang dihasilkan bernilai 0.249549 lebih
besardari nilai F kritis yang bernilai 3.8378 sementara untuk nilai F jenis otot
daging kuda tersebut memiliki nilai F kritis 4.4589.
Pengaruh jenis otot yang berbeda terhadap susut masak daging pascarigor
nilai susut masak otot Longissimus dorsi terlihat sangat nyata lebih rendah dari
pada jenis otot Semitendinosus dan otot Pectoralis profundus, sedangkan susut
masak otot Semitendinosus tidak berbeda nyata dari otot Pectoralis profundus.
Hal ini dikarenakan kemampuan mengikat air pada otot Longissimus dorsi yang
tinggi dibandingkan Semitendinosus dan Pectoralis profundus.
Susut masak juga dipengaruhi oleh pH daging, dimana kenaikan pH
daging akan menurunkan susut masak daging. Hal ini mendukung pendapat
Soeparno (2005) bahwa pada umumnya susut masak bervariasi.Sifat mekanik
daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan
Pada temperatur pemasakan 800 C, daging yang mengalami pemendekan dingin pada pH normal 5,4 - 5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar dari pada
susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama.
Adanya perbedaan kemampuan dari setiap jenis otot dalam mengikat air
dikarenakan adanya perbedaan solubilitas protein yang terdapat dalam setiap jenis
otot. Hal ini mendukung pendapat Lawrie (2003) bahwa kemampuan daging
dalam mengikat air dipengaruhi oleh protein yang ada dalam urat daging, faktor
diferensiasi intrinsik secara anatomis yaitu urat-urat daging yang dapat dibagi
menjadi urat daging merah dan putih atau yang kerjanya secara stabil.
Protein sarkoplasma merupakan protein larut air karena umumnya dapat
diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan
miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini
memiliki sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi
protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin terjadi
koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya.
Keempukan
Tekstur daging merupakan suatu fungsi ukuran dari berkas berkas serat ke
dalam dimana septa perimisium dari tenunan pengikat membagi-bagi urat daging
secara longitudional. Urat daging yang disusun dengan pola kasar (diameter besar)
mempunyai tingkat pertumbuhan pasca lahir yang besar, demikian pula dengan
serabut yang berukuran kecil mempunyai pertumbuhan yang kecil. Ukuran
diameter serabut akan meningkat bersamaan dengan umur, sesuai dengan
pertumbuhan ternaknya, tetapi urat daging dengan tekstur halus tidak nampak
daging yang lebih kasar dibanding yang betina, demikian pula dengan hewan yang
berkerangka besar (Lawrie 1995).
Otot adalah penyusun utama daging, termasuk jaringan ikat, epitel, dan
jaringan syaraf serta jaringan lain yang terdapat di dalamotot(Aberle et al. 2001).
Otot dan jaringan ikat serta keberadaan lemak didalamnya merupakan penentu
karakteristik kualitatif dan kantitatif daging. Daging adalah semua jaringan hewan
dan produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Organ organ
seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot
termasuk dalam defenisi ini ( Soeparno 19992). Namun demikian dalam batasan
umum, yang dimaksud daging adalah urat daging yang dikonfersi menjadi daging
setelah hewan dipotong.
Keempukan sebagai salah satu hal yang sangat diperhatikan untuk
mengetahui apakah daging tersebut memiliki kualitas daging yang berkualitas
baik ataukah sebaliknya daging yang memiliki keempukan yang berkualitas baik
ditandai dengan seberapa besar tingkat kealotan daging tersebut dimana untuk
mendapatkan nilai keempukan daging yang diteliti di ukur dengan menggunakan
alat penetrometer adapun cara yang digunakan adalah dengan menghitung jumlah
perbandingan nilai daya putus sebelum dan sesudah pengukusan kemudian dibagi
daya putus sebelum pengukusan dikalikan dengan 100. Hasil yang diperoleh
Tabel 5. Hasil Pengukuran keempukan Sebelum Pengukusan
Dari Tabel 5 diatas dapat di lihat bahwa otot yang memiliki keempukan
paling lembut ditunjukkan pada bagian otot Pectoralis Profundus dengan jumlah
rataan yang didapatkan 330,533 kemudian disusul dengan otot semitendinosus
dan Longissimus Dorsi yaitu 328,533 dan 326,673 kemudian setelah dilakukan
pengukusan maka nilai susut masak yang dihasilkan adalah seperti yang terlihat
Tabel 6. Hasil Pengukuran keempukan Setelah Pengukusan
Dari tabel 6 diatas dapat kita lihat bahwa bagian otot yang mengalami nilai
keempukan yang paling baik adalah bagian otot longissismus dorsi dengan nilai
310,967 kemudian otot semitendinosus dan pectoralis profundus dengan nilai
305,366 dan 294,233. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh asap cair setelah
pengukusan menyebabkan bagian otot tertentu mengalami pengaruh terhadap nilai
asap cair yang diberikan terutama pada bagian otot longissismus dorsi tersebut.
Tabel 7. Hasil Pengukuran keempukan Setelah Pengukusan
Setelah dilakukan perhitungan maka dengan uji keragaman atau uji Anova maka
nilai yang didapatkan adalah
Tabel 8. Hasil analisis Anova keempukan daging
SUMMARY SS d F P-Value F-Crit
Level Asap Cair 1539.944 4 1.886874396 0.138615 2.689628
Jenis Otot 3333.6457 2 8.169347777 0.001471 3.31583
Interaction 2013.9608 8 1.233840366 0.314036 2.266163
Galat (Error) 6121.01 30
Total 13008.5644 44
Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai F yang dihasilkan lebih kecil
dari nilai F kritis sehingga level asap cair tidak meberikan pengaruh terhadap
kualitas keempukan daging kuda.Sementara jenis otot daging kuda tersebut
sebagai komponen utama daging terdiri atas berkas berkas otot atau fasikuli
(muscle bundle). Fasikuli ini tersusun dari serabut-serabut otot (muscle fiber),
sedangkan serabut otot tersusun dari banyak filamen dan disebut miofibril.
Miofibril tersusun dari banyak filament dan disebut miofilamen. Jaringan
ikat otot terdiri atas epimisium yang mengelilingi otot, perimisium terletak
diantara fasikuli otot, dan endomisium yang terdapat disekeliling sel atau serabut
otot. Endomisium yang mengelilingi otot,perimisium terletak diantara fasikuli otot
dan endomisium yang terdapat disekeliling sel atau serabut otot. Endomisium
melapisi membrane sel, ukurannnya sangat kecil, sering disebut retikuler
(Soeparno 1992).
Serat atau sel otot dicirikan bentuk panjang, silindris, dan bentuk inti
(multinucleat), dengan inti terdapat pada permukaan di bawah sarkolema. Setiap
sel mempunyai diameter sekitar 10-100 µm dengan panjang dapat mencapai
ukuran millimeter sampai centimeter. Umumnya daging dari ternak mempunyai
diameter antara 40- 60 µm. Serabut otot mempunyai bentuk silindris, meskipun
penampang melintang serabut biasanya polygonal atau bentuk tidak teratur
karena pengaruh tekanan oleh massa otot atau tekanan dari perimisium
sekelilingnya.
Secara kimiawi daging terdiri atas air, protein, lemak, karbohidrat,
mineral, asam nukleat dan bahan organik lainnya. Menurut Pearson dan Young
(1989) kandungan masing masing bahan tersebut secara umum adalah 75% air,
18-20% protein, 1 % karbohidrat, 0,5 – 1% (minimal) lemak,dam sekitar 3 -5%
Menurut Soeparno (1992) kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum
dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi
kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral),
dan stress. Sedangkan faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas
daging antara lain adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan,
pH, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik,
lemak intra muskuler atau marbling, metode penyimpanaan macam otot daging,
dan lokasi otot daging serta lokasi pada satu otot daging.
Karakteristik kualitas daging dipengaruhi oleh struktur daging, komposisi
kimia, interaksi antara komponen kimia, perubahan jaringan otot setelah
pemotongan, pengaruh stress atau lainnya sebelum pemotongan, penanganan
daging, pengolahan dan penyimpanan, jenis dan jumlah mikroba, dan pemasakan
daging (Miller 1994a). Namun demikian yang nyata pengaruhnya terhadap
kualitas daging setelah pemotongan adalah perubahan warna, kandungan lemak,
jaringan ikat, karakteristik serat otot, serta kondisi dan suhu penyimpanan
Faktor kualitas daging yang mempengaruhi penerimaan daging oleh
konsumen meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavaor dan aroma, termasuk
bau dan cita rasa serta kesan jus daging (juiciness). Disamping itu lemak
intrmuskular susut masak (cooking loss), referensi cairan dan Ph, ikut
menentukan kualitas daging (Soeparno 1992).
Menurut Milller (1994b) bahwa persepsi warna daging, baik dalam
keadaan menah maiopun telah dimasa k, mempengaruhi tingkat penerimaan oleh
dalam setiap ternal, umur ternak, dan kondisi penganganan dan penyimpanan
.Namun demikian warna daging pada dasarnya dipengaruhi oleh kandungan
mioglobin otot, suatu pigmen warna yang terdapat pada otot hewan. Peningkatan
kandungan mioglobin, meningkatkan intensitas warna dari warna keunguan
menjadi merah gelap.
Flavour/Rasa
Rasa seringkali diartikan sebagai citarasa atau sensasi rasa yang dihasilkan
suatu produk makanan tertentu termasuk daging hasil olahan seperti daging kuda
memiliki aroma dan rasa yang berbeda beda dapat dihasilkan tergantung dari
bahan dan cara pengolahan dan penanganan pasca dan sesudah pengolahan yang
dilakuan terhadap produk mentah tersebut, umunya memiliki rasa yang berbeda
beda antara produk yang satu terhadap produk hasil olahan dari daging hewan
lainnya. Asap cair sebagai pengawet sekaligus penambah cita rasa/aroma yang
dilakukan pada daging kuda ini memiliki pengaruh yang baik terhadap
pengawetan daging kuda yang dilakukan, hal ini dikarenakan pada perlakuan
daging dengan asap cair memungkinkan daging kuda yang mau diawetkan
memiliki kemampuan lebih awet dan tahan lama di simpan pada suatu kondisi dan
waktu tertentu lebih lama dibandingkan tanpa perlakuan apapun pada daging yang
sama, ini dikarenakan kandungan asap cair terdiri dari: Fenol, karbonil, senyawa
asam, dan senyawa Hidrokarbon Pirilosis Aromatis (HPA).
Jika dilihat dari unsur pembentuk asap cair tersebut senyawa asam seperti:
asam asetat, propinoat, butirat memiliki peran sebagai anti bakteri dan membentuk
olahan tersebut lebih tahan lama dan lebih awet untuk disimpan, namun suatu
produk tertentu yang digunakan untuk mengawetkan bahan yang akan digunakan
umumnya masih memiliki kekurangan, sama halnya dengan asap cair ini yang
memiliki senyawa HPA tersebut ternyata memiliki pengaruh buruk karena bersifat
karsinogen (Girard 1992).
Level asap cair yang digunakan pada perlakuan ini memiliki pengaruh
berbeda terhadap rasa yang akan dihasilkan oleh perlakuan daging kuda tersebut,
dimana semakin bertambahnya level asap cair semakin bertambah rasa asap dan
semakin berkurang rasa daging yang bisa dirasakan oleh indra pengecap daging
yang diasapi tersebut dan sebaliknya semakin berkurang level asap cair yang
digunakan maka semakin berkurang rasa asap dan semakin bertambah rasa daging
yang bisa dirasakan oleh indra pengecap. Level penambahan asap cair tertentu
dalam daging untuk proses pengawetan dan menghasilkan aroma yang diinginkan
pada suatu daging olahan memiliki level pemberian asap cair yang berbeda beda
pula, seperti dengan level penambahan asap cair pada penelitian ini menunjukkan
bahwa pada level 1% pemberian asap cair pada daging kuda memiliki pengaruh
yang cukup baik terhadap keempukan, susut masak dan aroma daging yang
dihasilkan.
Berikut hasil aroma yang didapatkan dengan melakukan metode survey terhadap
Tabel 9. Hasil Pengujian Rasa dengan Level Penambahan Asap Cair 1-2 %
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian asap cair pasa level 1 persen
memberikan pengaruh yang cukup baik digunakan untuk proses pengawetan
dalam daging kuda hasil olahan tersebut.
Aroma
Aroma yang dihasilkan setelah suatu bahan mentah diolah menjadi produk
makanan tertentu menjadi salah satu faktor yang ikut mempengaruhi konsumen
untuk membeli suatu produk sebelum mencicipinya, karena sebelum membeli
biasanya konsumen lebih tanggap hendak memilih produk yang akan di beli
dengan melakukan penciuman terhadap aroma yang dihasilkan oleh produk yang
hendak di beli oleh konsumen tersebut, bau amis suatu daging yang dihasilkan
daging tertentu sebelum dilakukan perlakuan menjadi kendala yang dihadapi oleh
pengolah daging yang hendak dijual kepada konsumen, dikarenakan bau amis
daging tertentu seperti daging : kambing, itik, kerbau, dan kuda kurang di senangi
oleh konsumen,sehingga di perlukan suatu perlakuan tertentu untuk mengurangi
bahkan bila memungkinkan untik menghilangkan bau amis yang terkandung di
dalam daging tersebut termasuk dengan perlakuan pemberian asap cair dengan
level yang berbeda terhadap daging kuda tersebut. Berikut hasil uji Aroma Daging
Tabel 10.Hasil Aroma Daging kuda level penambahan level asap cair 0-2 %
Level Asap Cair P Profundus L Dorsi Semitendinosus
Level Asap cair 0 % 13 13 12
Level Asap cair 0.5 % 14 20 12
Level Asap cair 1 % 16 16 18
Level Asap cair 1.5 % 33 25 17
Level Asap cair 2 % 29 31 27
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa daging kuda yang diberi level asap cair
1 % memberikan pengaruh yang baik terhadap keempukan, susut masak, rasa dan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian level asap cair 1-2% terhadap otot Longissimus dorsi,
Semitendinosus ,Pectoralis profundus kurang memberikan respon yang positif
terhadap kualitas otot daging tersebut,namun bagian otot tertentu memberikan
respon yang positif terhadap keempukan dan susut masak daging kuda tersebut.
Saran
Disarankan level penggunaan asap cair yang baik pada level 0-1%
sementara,jenis otot yang digunakan untuk memperoleh hasil yang signifikan