• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Obesitas dengan Kejadian Dermatitis Atopik di SD St. Antonius Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Obesitas dengan Kejadian Dermatitis Atopik di SD St. Antonius Medan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik merupakan peradangan kulit yang disertai dengan rasa gatal, berlangsung kronis dan berulang dan merupakan salah satu penyakit kulit tersering pada anak. Penyakit ini sering kali muncul bersamaan dengan penyakit atopik lainnya seperti asma dan rhinitis alergi (Watson et al., 2011, Bieber, 2008).

Gambaran utama penyakit dermatitis atopik adalah gatal, kulit kering, dan timbulnya eksim. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda dan bekas garukan yang diikuti oleh kelainan- kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis (Kariosentono, 2007).

2.1.2 Epidemiologi Dermatitis Atopik

Prevalensi dermatitis atopik dalam tiga dekade telah meningkat tidak hanya di negara berpendapatan tinggi tetapi juga di negara berpendapatan menengah ke bawah. Diperkirakan sekitar 10-20 % anak dan 1-3% orang dewasa di negara berkembang menderita dermatitis atopik (Hamid dkk., 2013, Lawton, 2013).

Berdasarkan laporan morbiditas sepuluh penyakit terbanyak divisi dermatologi pediatrik se-Indonesia, dermatitis atopik menempati posisi kedua 19, 83% (309 kasus) setelah skabies 20, 98% (327 kasus). Data ini diambil dari lima rumah sakit di Indonesia antara lain RSHS Bandung, RSUP Haji Adam Malik Medan, RSU Dr. Soetomo Surabaya, RSCM Jakarta, dan RSUP DR. Kariadi Semarang pada bulan Januari sampai dengan Desember 2011.

(2)

memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda sensitisasi IgE-mediated. Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik (Bieber, 2008).

2.1.3 Etiopatogenesis

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik belum semuanya diketahui tetapi banyak faktor yang berpengaruh antara lain (Bieber, 2008, Santosa, 2010, Welsh, 2003, Watson, 2011, Sularsito dkk., 2010 ). 2.1.3.1 Genetik

Angka kejadian dermatitis atopik lebih besar pada kembar monozigot yaitu sekitar (77%) dibandingkan dengan kembar dizigot yaitu sekitar (15%). Ketika kedua orangtua menderita dermatitis atopik kesempatan anak menderita penyakit yang sama adalah 81%, jika salah seorang orangtua menderita dermatitis atopik disertai respiratorik atopik yang lain kemungkinan anak menderita dermatitis atopik adalah 59%, dan jika salah satu orangtua menderita dermatitis atopik kemungkinan anak menderita dermatitis atopik adalah 56%. Dermatitis atopik merupakan penyakit kompleks genetik yang timbul dari interaksi dari gen-gen dan gen-lingkungan. Gen yang terkait terdiri dari dua kelompok utama yaitu gen yang mengkodekan epidermis atau struktur protein lain di epidermis, dan gen yang mengkodekan elemen-elemen utama dalam sistem imun.

(3)

chymase gene, dan pada kromosom 16p11.2-12 yang memacu aktivitas reseptor. Seluruh gen diatas terlibat dalam mengkodekan sitokin-sitokin yang meregulasi sintesis IgE yaitu interleukin-4, interleukin5, interleukin-12, interleukin-13, dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin-sitokin ini diproduksi oleh dua T limfosit utama, yaitu Type 2 helper T cell (Th2) yang memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13, yang mana sitokin ini merupakan yang mempunyai sifat up-regulation dari produksi IgE. Type 1 helper T cell (Th1) memproduksi IL-12 dan interferon- gamma yang menurunkan produksi dari IgE dan menstimulasi produksi dari antibodi IgG. Polimorfisme dari gen-gen yang mengkodekan sitokin-sitokin di atas atau polimorfisme dari gen yang mengkodekan reseptor sistem imun berkontribusi dalam ketidakseimbangan antara Th1 dan Th2. Dominasi Th2 pada dermatitis atopik menyebabkan maturasi dari sel B dan mengubah IgM menjadi IgE. Filagrin gen (FLG) pada kromosom 1q21.3 yang mengkodekan protein kunci pada diferensiasi epidermis juga berperan dalam munculnya gejala klinis pada dermatitis atopik yaitu kulit kering dan kulit yang bersisik . Mutasi dari FLG terjadi pada onset awal dermatitis

(4)

Gambar 2.1 Paradigma Th1 dan Th2 (Bieber, 2008) 2.1.3.2Fungsi barrier kulit

Abnormalitas barrier kulit berhubungan dengan mutasi dalam gen filagrin yang mengkodekan sebuah protein struktural yang penting dalam formasi barrier kulit. Kulit seseorang yang mengalami dermatitis atopik juga menunjukkan kekurangan dalam ceramide (molekul lemak) dan cathelicidin (antimikroba) yang merupakan lini pertama pertahan kulit terhadap agen-agen infeksi. Abnormalitas ini memicu keluarnya air dari dalam tubuh melalui epidermis ke luar tubuh dan meningkatkan perlekatan mikroba dan alergen ke dalam kulit. Agen infeksi yang paling sering terlibat dalam dermatitis atopik adalah Staphylococcus aureus (S. aureus), yang mana koloni nya terdapat dalam 90% pasien dermatitis atopik. Gambar 2.2 Proses sensitisasi pada barrier kulit abnormal (Bieber, 2008)

2.1.3.3 Reaksi imunologis pada kulit

(5)

IL-5, GM-CSF (granulocyte- macrophage colony- stimulating factor), IL-12 dan INFγ lebih tinggi dibandingkan pada dermatitis atopik akut.

Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFNγ yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.

Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-CSF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNFα dan IFNγ pada dermatitis atopik memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNFα dan IFNγ pada dermatitis akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNFα dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit penderita dermatitis atopik.

4, sel mast dan basofil meningkatkan perkembangan Th2, sedangkan IL-12, IFNα dan IFNγ yang diproduksi oleh makrofag, sel dendrit, atau eosinofil, menginduksi Th1.

Sel mononuklear penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas cyclic – adenosine monophospate (CAMP)- phospodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan dengan penghabat PDE (PDE inhibitor).

Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita dermatitis atopik adalah abnormal, dapat secara langsung menstimulasi sel Th tanpa adanya antigen. Secara selektif dapat mengaktivasi sel Th menjadi fenotip Th2. SL yang mengandung IgE meningkat dan sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap alergen akan mengaktifkan sel Th2 memori di kulit penderita atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T naive sehingga jumlah sel Th2 bertambah banyak.

(6)

dipermudah. Hal ini mempercepat absorpsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respon Th2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.

2.1.3.4 Reaksi imunologis sistemik

Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah: a. Sintesis IgE meningkat

b. IgE spesifik antigen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen

c. Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat

d. Pelepasan histamin dari basofil meningkat e. Respon hipersensitivitas tipe lambat terganggu f. Eosinofilia

g. Sekresi IL4, IL5, dan IL13 oleh sel Th2 meningkat h. Sekresi IFNγ oleh sel Th1 menurun

i. Kadar reseptor IL2 yang dapat larut meningkat

j. Kadar CAMP-PDE monosit meningkat, disertai peningkatan IL10 dan PGE2.

2.1.4 Faktor Pencetus

Beberapa faktor yang mencetuskan terjadinya dermatitis atopik (Santosa, 2010). 2.1.4.1Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge, hampir 40% bayi dan anak dengan dermatitis atopik sedan dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Diperlukan uji provokasi dan uji eliminasi untuk memastikan adanya alergi terhadap makanan tersebut.

(7)

Alergen hirup sebagai penyebab dermatitis atopik dapat lewat kontak langsung, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita dermatitis atopik, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita dermatitis atopik mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR. Alergen hirup lainnya yang mencetuskan dermatitis atopik seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara empat musim.

2.1.4.3 Infeksi kulit

Penderita dengan dermatitis atopik mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh kuman umumnya Staphilococcus aureus, virus dan jamur. Akibat infeksi kuman Staphilococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin.

2.1.5 Gejala Klinis

Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum bayi berumur enam bulan dan jarang terjadi di bawah usia delapan minggu. Dermatitis atopik dapat sembuh seiring dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik sulit diramalkan (Santosa, 2010).

Gejala klinis dermatitis atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya eksim yang berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis (Kariosentono, 2007).

(8)

erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrusta sering didapat pada kelainan yang lanjut.

Gejala klinis berdasarkan usia (Kariosentono, 2007, Santosa, 2010, Sularsito, 2010):

• Bentuk infantil

Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia dua tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sesudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Pada kurang dari setengah kasus kelainan kulit akan menyembuh pada usia 18 bulan, dan sisanya akan berlanjut menjadi bentuk anak.

• Bentuk anak

Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya terdapat satu periode remisi. Lesi dermatitis atopik pada anak berlangsung kronik akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksinya adalah pada daerah flexura antekubiti, poplitea, tangan, lipat siku, kaki, leher dan periorbita. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi eksudatif dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada kulit anak lebih kering dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi menjadi hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi.

• Bentuk dewasa

(9)

Gambar 2.3 Gejala klinis

(A) Lesi onset dini pada bayi di pipi dan kulit kepala (B) lesi di leher pada dermatitis atopik bentuk dewasa (C) lesi kronis berupa likenifikasi (Bieber, 2008)

2.1.6 Stigmata pada dermatitis atopik

Terdapat beberapa stigmata yang terjadi pada dermatitis atopik, yaitu (Santosa, 2010):

a. White dermatographism

Goresan pada kulit penderita dermatitis atopik akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya. b. Reaksi vascular paradoksal

Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis atopik mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.

c. Lipatan telapak tangan

Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.

d. Garis Morgan atau Dennie

(10)

Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat gatal. f. ‘Allergic shiner’

Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.

g. Hiperpigmentasi

Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus. h. Kulit kering atau xerosis

Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air, dan xerosis terutama pada musim panas.

i. ‘Delayed blanch’

Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopik akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebakan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.

j. Keringat berlebihan

Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah.

k. Gatal dan garukan berlebihan

Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penerita dermatitis atopik gatal dapat bertahan selama 45 menit.

l. Variasi musim

(11)

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja di Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994) ( Sularsito dkk., 2010).

Kriteria mayor • Pruritus

• Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak • Dermatitis di flexura pada dewasa

• Dermatitis kronis atau residif

• Riwayat atopuk pada penderita atau keluarganya Kriteria minor

• Xerosis

• Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes silpleks) • Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki

• Iktiosis/ hiperlinear palmaris/keratosis pilaris • Ptiriasis alba

• Dermatitis di papila mame

White dermographism dan delayed blanch response • Keilitis

• Lipatan infra orbital Dennie-Morgan • Konjungtivitis berulang

• Keratokonus

• Katarak subkapsular anterior • Orbita menjadi gelap

• Muka pucat atau eritem • Gatal bila berkeringat

• Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak • Aksentuasi perifolikular

• Hipersensitif terhadap makanan

(12)

• Tes kulit alergi tipe dadakan positif • Kadar IgE di dalam serum meningkat • Awitan pada usia dini

Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu: Tiga kriteria mayor berupa:

• Riwayat atopik pada keluarga • Dermatitis di muka atau ekstensor • Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor:

• Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris • Aksentuasi perifolikular

• Fisura belakang telinga • Skuama di skalp kronis

(13)

Pedoman diagnosis dermatitis atopik yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:

a. Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tua nya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

b. Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:

1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipatan siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).

2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita ( atau riwayat penyakit atopik pada keluarga tingkat pertama anak di bawah 4 tahun). 3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.

4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan ( atau dermatitis pada pipi/ dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).

5. Awitan di bawah usia 2 tahun ( tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).

Organisasi internasional International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) juga mampu menggambarkan prevalensi dan perburukan penyakit- penyakit alergi. ISAAC terdiri dari tiga tahap yaitu Tahap 1 untuk menilai prevalensi penyakit dan tingkat keparahan penyakitnya, Tahap 2 untuk menyelidiki faktor etiologi, terutama yang disarankan oleh temuan di Tahap 1. Lalu Tahap 3 merupakan pengulangan Tahap 1 setelah tiga tahun (Asher, et al., 1995).

(14)

2.1.8 Diagnosis Banding

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Atopik (Correale et al, 1999).

Penyakit Karakter pembeda

Dermatitis seboroik Berminyak, lesi bersisik, tidak adanya riwayat atopik pada keluarga

Psoriasis Patch terlokalisasi di ekstensor,

permikaan kulit kepala, pantat; kuku berbintik-bintik

Neurodermatitis Biasanya terletak satu tempat gatal-gatal, tidak ada riwayat atopik pada keluarga

Dermatitis Kontak Riwayat terpapar positif, ruam di daerah paparan, tidak ada riwayat atopik pada keluarga

Skabies Papula, keterlibatan finger wen, scraping kulit positif

Penyakit sistemik Penemuan riwayat penyakit yamg lengkap dan pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan penyakit

Dermatitis herpetiformis Vesikel di daerah ekstensor dan enteropati yang terkait

Infeksi dermatofit Plak serpiginous dengan bagian tengah yang bersih, positif pada pemeriksaan kalium hidroksida

(15)

2.2 Obesitas

2.2.1 Defenisi obesitas

Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak.

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).

2.2.2 Epidemiologi obesitas

Prevalensi obesitas pada anak telah mengalami peningkatan secara cepat diseluruh dunia dalam dua dekade terakhir, terlebih lagi di negara berpendapatan menengah ke bawah (Luo, 2013). Hal ini disebabkan oleh karena negara berpendapatan menengah ke bawah kemungkinan terpapar makanan yang kadar gula tinggi, kadar lemak tinggi, kadar garam tinggi, makanan padat, dan makanan rendah asupan mikronutrien, yang mana makan tersebut lebih murah namun kualitas nutrisinya buruk.

Menurut RISKESDAS 2013, secara nasional prevalensi obesitas pada anak di Indonesia masih tinggi yakni 11,9 % yang menunjukkan penurunan dari 14,0 % di tahun 2010. Dan Sumatera Utara menempati urutan kedelapan setelah Lampung, Sumatera Selatan dan lain-lain.

Obesitas pada masa anak-anak akan memiliki kecenderungan untuk menjadi obesitas pada masa dewasa muda yang berhubungan dengan masalah kesehatan (Ariani, dkk, 2007).

(16)

Gambar 2.4 Prevalensi Kegemukan (IMT/U) anak umur 5-12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013

`

2.2.3 Penilaian Obesitas

Untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas atau tidak, ada berbagai cara yang bisa digunakan. Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) atau dikenal juga dengan Quetelet Index, merupakan salah satu cara yang sering digunakan. Cara mengukur IMT, yaitu BB/TB2, di mana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter.

Berdasarkan penelitian di beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, gender yang sama, menunjukkan bahwa IMT di tiap wilayah berbeda. Hal ini memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas yang spesifik untuk populasi tertentu. Menurut WHO (2000) klasifikasi obesitas adalah jika IMT ≥ 30 kg/m² pada wilayah Eropa dan Amerika. Wilayah Asia Pasifik mengusulkan kriteria obesitas adalah jika IMT ≥ 25 kg/m² (Sugondo, 2009).

(17)

Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO (2000)

Klasifikasi IMT(kg/m2)

Berat Badan Kurang <18,5

Kisaran Normal 18,5-24,9

Berat Badan Lebih >25,0

Pre-Obes 25,0-29,9

Obes- Tingkat I 30,0-34,9

Obes- Tingkat II 35,0-39,9 Obes- Tingkat III >40,0

Tabel 2.3 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (2000)

Risiko ko-morbiditas lingkar perut

Klasifikasi IMT (kg/m2) <90 cm (Laki-Laki) ≥90 cm (Laki-Laki)

< <80 cm (Perempuan) ≥80cm(Perempuan)

Berat Badan Kurang <18,5 Rendah (risiko meningkat Sedang pada masalah klinis lain)

Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat Berat Badan Lebih ≥23,0

Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat

Obes I 25,0-29,9 Moderat Berat

Obes II ≥30,0 Berat Sangat Berat

(18)

Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan semikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang sama pada semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang umum mengenai derajat kegemukan pada populasi, terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena variasi lean body mass (Sugondo, 2009).

Cara lain untuk menilai obesitas adalah dengan mengukur lingkar perut (LP). WHO menganjurkan LP sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subjek diminta untuk tidak menahan perutnya. Menurut kriteria Asia Pasifik (2000), pria dengan LP ≥90 cmdan wanita dengan LP ≥80 cm masuk kategori obesitas (Sugondo, 2009).

Lemak tubuh juga dapat ditentukan in vivo dengan cara menimbang di bawah permukaan air, Dual Energy X-Ray Absorptiometri (DEXA) atau dengan mengukur tebal lipatan kulit (Sugondo, 2009).

2.2.4 Penyebab obesitas

Menurut Sartika (2011), penyebab dan faktor resiko obesitas yaitu: a. Konsumsi energi

Konsumsi makanan yang berlebihan terutama yang mengandung karbohidrat dan lemak menyebabkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan jumlah energi yang dibutuhkan. Kelebihan energi ini akan disimpan ke dalam tubuh dalam bentuk jaringan lemak, yang apabila terus menerus dalam jumlah banyak tertumpuk akan menyebabkan obesitas.

b. Aktivitas fisik

(19)

Aktivitas fisik yang dimaksudkan adalah pergerakan tubuh khususnya otot yang membutuhkan energi dan olahraga. Rekomendasi Physical Activity and Health menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang seperti berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu.

c. Perilaku makan

Perilaku makan yang salah dapat disebabkan oleh kebiasaan dalam keluarga, yang cenderung ditiru oleh anak misalnya makan dalam porsi banyak, frekuensi makan sering, terlebih lagi frekuensi mengemil yang tinggi dan konsumsi sayur dan buah yang kurang.

d. Riwayat keluarga

Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa anak yang memiliki ayah obesitas memiliki peluang obesitas sekitar 1,2 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah tidak obesitas. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetik atau herediter. Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight (kelebihan berat badan) maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40-50%. Apabila kedua orang tua menderita obesitas kemungkinan anaknya menjadi obesitas sebesar 70-80%.

2.3. Hubungan obesitas dan kejadian dermatitis atopik

Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan lipogenesis. Leptin membatasi penyimpanan lemak tidak hanya dengan mengurangi masukan makanan, tetapi juga dengan mempengaruhi jalur metabolik yang spesifik di adiposa dan jaringan lainnya. Leptin merangsang pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan menstimulasi oksidasi asam lemak dan lipogenesis (Sugondo, 2009).

(20)

jumlah reseptor leptin, dan juga gangguan transpor leptin ke dalam sistem saraf pusat. Keadaan resistensi leptin akan menyebabkan leptin tidak mampu bekerja pada reseptornya. Resistensi leptin akan menyebabkan supresi produksi sitokin Th1 dan peningkatan sekresi sitokin Th2, seperti IL-4, IL- 5, dan IL-13. Sekresi IL-4 akan menyebabkan proses switching pada limfosit B yang kemudian menghasilkan imunoglobulin E (IgE) spesifik. IgE spesifik adalah suatu penanda atopik. Kadar IgE total merupakan prediktor atopik yang baik.Kadar yang lebih tinggi dapat ditemukan pada penderita atopik yang secara genetik mempunyai predisposisi peningkatan IgE. Jika kedua orangtua memiliki penyakit atopik, maka kadar IgE dalam darah anak kemungkinan lebih tinggi (Setiabudiawan dkk., 2013).

Gambar

Gambar 2.2 Proses sensitisasi pada barrier kulit abnormal (Bieber, 2008)
Gambar 2.3 Gejala klinis
Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Atopik (Correale et al, 1999).
Gambar 2.4 Prevalensi Kegemukan (IMT/U) anak umur 5-12 tahun
+2

Referensi

Dokumen terkait

(2) Perpindahan Peserta Didik dari sekolah di luar lingkungan Dinas Pendidikan atau sekolah yang tidak diselenggarakan dan tidak dibina oleh Pemerintah Indonesia

Bantuan subsidi pelayanan kesehatan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2007;a. Bantuan subsidi pelayanan kesehatan dimaksudkan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dipandang perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Pemberian Tambahan Penghasilan

a) Tafsir ini berbahasa Indonesia sehingga dapat memudahkan para pembaca dalam memahami al-Qur’an sebagai pedoman atau petunjuk bagi manusia. Memberi warna yang

Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat

Uji coba skala kecil dilakukan dengan maksud untuk menguji kualitas produk yang telah dikembangkan. Responden dari uji skala kecil adalah peserta didik kelas XI

Berdasarkan karakteristik responden dengan dimensi tipe kepribadian menunjukkan tidak terdapatnya hubungan antara tipe kepribadian introvert dan ektrovert dengan

 Formalisasi Pengembangan Sistem Informasi adalah pemberitahuan akan tahap-tahap dari proses pengembangan sistem yang tercatat secara sistematik, dan secara aktif