DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Syamsuddin Meliala, A. Qirom, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1985.
Prodjodikoro, Wirjono, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, Bandung : PT Bale, 1986.
Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit Alumni, 1986.
Subekti, R, Hukum Perjanjian. Jakarta : PT Intermasa, 1985.
---, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1996. Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana,
2008.
Finz, Steven R., Product Liability, Larchmont, NY : Emanuel Law Outlines,Inc,1993.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1990.
---, Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 2006.
Badrulzaman, Mariam Darus, K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung : Alumni, 1996.
Satrio, J., Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999.
Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung : Mandar Maju, 1994. Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008. V. Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu,
Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948.
BAB III
TANGGUNG JAWAB AGEN PEMASARAN ATAS PERJANJIAN CRUDE PALM OIL (CPO) ANTARA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI KOTA MEDAN DENGAN PT. KHARISMA PEMASARAN BERSAMA
NUSANTARA
A.Akibat Hukum Dari Perjanjian Keagenan Pemasaran
Para pihak dalam perjanjian keagenan mempunyai hubungan hukum yang
mengikat diantara para pihak yang meliputi perjanjian keagenan, dengan
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara para pihak
sebagaimana biasanya dengan berdasarkan kepada Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang
berbunyi :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.49
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukannya. Maka klausula perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengikat kepada para pihak yang melakukan
perjanjian keagenan. Para pihak telah mengikat perjanjian keagenan dan telah
memenuhi ketentuan yang berlaku maka secara otomatis para pihak yang
49
mengikat perjanjian keagenan mengikat kedua belah pihak dan padaseketikan
muncul hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengikat perjanjian keagenan.
1. Berlakunya Suatu Perjanjian
Dalam teori suatu perjanjian akan berlaku apabila adanya kata sepakat.
Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua pihak
haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu
tekanan yang mengakibatkan adanya “cacad” bagi perujudan kehendak tersebut.
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui
(overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak ada beberapa ajaran yaitu :
a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran.
d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dainggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan.50
Dalam praktek perjanjian keagenan berlaku sejak tanggal 4 Januari 2010
dan berlangsung selama tidak dilakukannya pemutusan atau perubahan atas
perjanjian ini. Perjanjian ini dapat dibatalkan sebelum jangka waktu perjanjian ini
berakhir apabila terjadi perubahan dalam “Perjanjian Para Pemegang Saham”
yang mengharuskan pembatalan perjanjian ini. Segala hak dan kewajiban yang
timbul antara para pihak akibat dari pelaksanaan perjanjian ini dituntaskan
terlebih dahulu sebelum pengakhiran perjanjian ini. Perjanjian ini dapat diubah
atau di-addendum atas kesepakatan para pihak.
2. Hak dan Kewajiban
1) Hak dan Kewajiban PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) :
a. Hak :
(1) Pihak pertama bersama-sama dengan pihak kedua menetapkan
formulasi Perkiraan Harga;51
(2) Pihak pertama menetapkan alokasi dan volume komoditas yang akan
dijual melalui pihak kedua;
50
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1996), hal. 98.
51
(3) Pihak pertama menerima pembayaran hasil penjualan bersih setelah
dipotong biaya-biaya dan Imbal Jasa;
(4) Pihak pertama menerima faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan
komoditas dari pihak kedua.
b. Kewajiban :
(1) Pihak pertama menjual komoditas yang diproduksi minimal 80% dari
jumlah produknya melalui pihak kedua;
(2) Pihak pertama memberiakan kuasa khusus kepada pihak kedua untuk
melakukan penjualan komoditas52
(3) Pihak pertama menampaikan informasi mengenai ketersediaan
komoditas yang siap jual meliputi jenis dan mutu komoditas, alokasi
volume, jadwal penyerahan/pengapalan;
milik pihak pertama;
(4) Pihak pertama setiap bulan menyampaikan jumlah produk yang akan
dijual melaui pihak kedua;
(5) Pihak pertama menjamin ketersediaan komoditas yang sudah terjual
(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);
(6) Pihak pertama menjamin penyerahan komoditas yang sudah terjual
(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);
(7) Pihak pertama menyampaikan laporan kepada pihak kedua tentang
realisasi pembayaran dan penyerahan barang atas kontrak-kontrak
yang diterbitkan oleh pihak kedua;
52
(8) Pihak pertama bertanggung jawab dan menjamin mutu (quality assurance) komoditas sesuai informasi yang diberikan kepada pihak kedua;
(9) Pihak pertama membayar Imbal Jasa53
(10) Pihak pertama menyelesaikan klaim sesuai tanggung jawabnya
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian jual beli dan tata cara
penjualan komoditas.
penjualan komoditas kepada
pihak kedua;
2) Hak dan Kewajiban PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN)
:
a. Hak :
(1) Pihak kedua menetapkan tata cara penjualan, atau dengan nama dan
istilah lain;
(2) Pihak kedua membuat dan menandatangani Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) untuk pihak pertama sesuai surat kuasa dari pihak pertama; (3) Pihak kedua menerbitkan surat perintah penyerahan dan pengapalan
komoditas yang sudah terjual;
(4) Pihak kedua melakukan penagihan atas Imbal Jasa penjualan
komoditas milik pihak pertama yang sudah terjual;
53
(5) Pihak kedua memperoleh informasi mengenai realisasi penyerahan
barang yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pembeli lokal;
b. Kewajiban :
(1) Pihak kedua melakukan penjualan komoditas milik pihak pertama
sebagai kuasa untuk dan atas nama pihak pertama;
(2) Pihak kedua membuat penawaran penjualan (offering) kepada calon pembeli atau rekanan;
(3) Pihak kedua melaporkan realisari setiap terjadi penjualan atas
komoditas pihak pertama;
(4) Pihak kedua menyampaikan kepada pihak pertama tebusan Perjanjian
Jual Beli (Sales Contract) atas penjualan komoditas;
(5) Pihak kedua menyerahkan faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan
komoditas kepada pihak pertama;
(6) Pihak kedua menetapkan Formula Perkiraan Harga berdasarkan
formula harga yang ditetapkan;
(7) Pihak kedua menjaga kerahasiaan Perkiraan Harga;
(8) Pihak kedua melakukan pengurusan dokumen penjualan baik local
maupun ekspor;
(9) Pihak kedua melakukan transfer hasil penjualan kepada pihak pertama
dalam hal pembayaran melaui pihak kedua.
Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut
bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal
demi hukum. Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut
melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang
membuat perjanjian.
Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat, dikenal juga cara penfsiran perjanjian oleh pengadilan untuk mengisi kekosongan
hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Uniform Commercial Code
menyebutkan tiga cara untuk melakukan interpretasi hukum, yaitu Course of performance, Course of dealing, dan Usage of trade.54
1. Course of performance adalah bagaimana para pihak bertindak melaksanakan perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian distributor dijelaskan
bahwa kualitas produk yang disalurkan secara kesinambungan adalah the highest grade oil. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai kualitas minyak, maka yang menjadi dasar untuk menentukan kualitas minyak
yang diperjanjikan adalah minyak yang diterima pada pengiriman pertama.
Dengan demikian tindakan para pihak dalam melaksanakan kontrak
berlaku sebagai bukti tentang maksud para pihak.
2. Course of dealing adalah bagaimana para pihak melaksanakan kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi acuan untuk menyelesaikan
sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku antara mereka.
Misalnya, dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan kewajiban para
54
pihak. Bukti yang ada hanya selembar kuitansi tanda terima. Akan tetapi,
kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang tersebut adalah
sebagai setoran modal dalam suatu kontrak agribisnis.
3. Usage of trade adalah praktik bisnis yang sudah terjadi berulang-ulang menurut pola yang sama. Misalnya, dalam pelaksanaan kontrak sudah
menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan pemasok barang atau
distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit
kepada pelanggan.
Teori hukum perjanjian yang tradisional mempunyai ciri-ciri menekankan
pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama suatu kontrak adalah untuk memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara
para pihak, sehingga prinsip-prinsip itikad baik dalam sietem hukum civil law dan
promissory estopel dalam sistem hukum common law hanya dapat diberlakukan jika perjanjian sudah menentukan syarat sahnya perjanjian. Sebaliknya, teori
hukum perjanjian yang modern mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan
formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substantial.
Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin
promissory estopel serta asas itikad baik dalam proses negoisasi adalah contoh yang jelas dari teori hukum perjanjian yang modern. 55
55
Out Put Contract dan Requirement adalah suatu perjanjian yang dapat diterima legalitasnya oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena
meskipun pada saat ditandatanganinya perjanjian jumlah barang yang menjadi
objek perjanjian belum pasti, tetapi jumlah tersebut dapat dihitung atau dipastikan
kemudian pada saat pelaksanaan perjanjian dan hal ini dimungkinkan berdasarkan
ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Akan tetapi pelaksanaan perjanjian harus didasarkan pada pada asas itikad
baik sebagai ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Di samping itu, pengadilan melaui metode penafsiran dapat mengisi
kekosongan hukum, jika para pihak yang membuat perjanjian tidak jelas mengatur
hukum yang berlaku atas hal yang menjadi sengketa.56
56
Ibid., hal. 21.
Perjanjian keagenan
memenuhi ketentuan yang telah disepakati antara para pihak menimbulkan hak
dan kewajiban yang tergambar jelas pada kontrak perjanjian keagenan. Dalam
ketentuan undang-undang, pelanggaran terhadap isi tercantum yang telah
disepakati akan mengakibatkan munculnya wanprestasi dari salah satu pihak.
Maka dengan sendirinya pihak lain akan menuntut ganti rugi yang diakibatkan
B.Tanggung Jawab Para Pihak
Sesuai dengan ketentuan yang ada para pihak wajib bertangggung jawab
atas segala perjanjian dan isi kontrak keagenan yang telah disepakati sebelumnya.
Isi perjanjian keagenan yang telah disepakati dibuat secara tertulis dan disepakati
oleh para pihak melai para pihak yang membuat perjanjian bertanggung jawab
sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Ketentuan-ketentuan yang
ada dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengikat para pihak untuk
saling mematuhi hak dan kewajiban nya masing-masing.
Tanggung jawab pihak pertama atau PT. Perkebunan Nusantara II
(PERSERO) yaitu :
1. Pihak pertama bersama-sama dengan pihak kedua menetapkan formulasi
Perkiraan Harga;
2. Pihak pertama menetapkan alokasi dan volume komoditas yang akan
dijual melalui pihak kedua;
3. Pihak pertama menerima pembayaran hasil penjualan bersih setelah
dipotong biaya-biaya dan Imbal Jasa;
4. Pihak pertama menerima faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan
komoditas dari pihak kedua;
5. Pihak pertama menjual komoditas yang diproduksi minimal 80% dari
jumlah produknya melalui pihak kedua;
6. Pihak pertama memberiakan kuasa khusus kepada pihak kedua untuk
7. Pihak pertama menampaikan informasi mengenai ketersediaan komoditas
yang siap jual meliputi jenis dan mutu komoditas, alokasi volume, jadwal
penyerahan/pengapalan;
8. Pihak pertama setiap bulan menyampaikan jumlah produk yang akan
dijual melaui pihak kedua;
9. Pihak pertama menjamin ketersediaan komoditas yang sudah terjual
(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);
10.Pihak pertama menjamin penyerahan komoditas yang sudah terjual
(traded) sesuai Perjanjian Jual Beli (Sales Contract);
11.Pihak pertama menyampaikan laporan kepada pihak kedua tentang
realisasi pembayaran dan penyerahan barang atas kontrak-kontrak yang
diterbitkan oleh pihak kedua;
12.Pihak pertama bertanggung jawab dan menjamin mutu (quality assurance)
komoditas sesuai informasi yang diberikan kepada pihak kedua;
13.Pihak pertama membayar Imbal Jasa penjualan komoditas kepada pihak
kedua;
14.Pihak pertama menyelesaikan klaim sesuai tanggung jawabnya
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian jual beli dan tata cara penjualan
komoditas.
Dalam perjanjian keagenan ini PT. Perkebunan Nusantara II (PERSERO)
yang selaku pihak pertama setuju memberikan Imbal Jasa atas penjualan
komoditas milik pihak pertama yang dilakukan PT. Kharisma Pemasaran Bersama
luar PPN dikalikan persentase masing-masing komoditas Kelapa Sawit dan hasil
turunannya, Karet, Kakao dan Gula Tetes yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Imbal Jasa sebagaimana tertulis sebelumnya belum termasuk PPN atas jasa dan
belum dipotong PPh Pasal 23 yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan yang berbunyi :
(1)Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; 3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3)Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya; g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.57
Untuk penjualan komoditas yang pengapalan atau penyerahannya
dilaksanakan secara gabungan beberapa produsen, hasil penjualannya dimasukkan
ke dalam rekening pihak kedua kemudian ditransfer kepada pihak pertama setelah
dipotong biaya Imbal Jasa, termasuk PPN atas jasa dan PPh Pasal 23.
57
Tanggung jawab pihak kedua atau PT. Kharisma Pemasaran Bersama
Nusantara yaitu :
1. Pihak kedua menetapkan tata cara penjualan, atau dengan nama dan istilah
lain;
2. Pihak kedua membuat dan menandatangani Perjanjian Jual Beli (Sales Contract) untuk pihak pertama sesuai surat kuasa dari pihak pertama; 3. Pihak kedua menerbitkan surat perintah penyerahan dan pengapalan
komoditas yang sudah terjual;
4. Pihak kedua melakukan penagihan atas Imbal Jasa penjualan komoditas
milik pihak pertama yang sudah terjual;
5. Pihak kedua memperoleh informasi mengenai realisasi penyerahan barang
yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pembeli lokal;
6. Pihak kedua melakukan penjualan komoditas milik pihak pertama sebagai
kuasa untuk dan atas nama pihak pertama;
7. Pihak kedua membuat penawaran penjualan (offering) kepada calon pembeli atau rekanan;
8. Pihak kedua melaporkan realisari setiap terjadi penjualan atas komoditas
pihak pertama;
9. Pihak kedua menyampaikan kepada pihak pertama tebusan Perjanjian Jual
Beli (Sales Contract) atas penjualan komoditas;
10.Pihak kedua menyerahkan faktur pajak PPN atas Imbal Jasa penjualan
11.Pihak kedua menetapkan Formula Perkiraan Harga berdasarkan formula
harga yang ditetapkan;
12.Pihak kedua menjaga kerahasiaan Perkiraan Harga;
13.Pihak kedua melakukan pengurusan dokumen penjualan baik local
maupun ekspor;
14.Pihak kedua melakukan transfer hasil penjualan kepada pihak pertama
dalam hal pembayaran melaui pihak kedua.
Tangung jawab pihak ketiga atau suatu badan usaha atau badan hukum
yang memenuhi kualifikasi dan persyaratan sebagai rekanan (pembeli) yaitu :
1. Setelah memenuhi kualifikasi dan persyaratan maka suatu badan usaha
atau badan hukum tersebut diperbolehkan melakukan transaksi pembelian;
2. Membayar sesuai harga yang sudah di sepakati antara pihak kedua dengan
pihak ketiga;
3. Membayar harga barang beserta dengan PPN yang sudah disepakati oleh
pihak kedua dengan pihak ketiga;
4. Mengikuti tata cara yang sudah disepakati oleh pihak kedua dengan pihak
C.Tanggung Jawab Agen Pemasaran Atas Perjanjian Crude Palm Oil (CPO)
Dalam hal ini yang selaku agen pemasaran atau PT. Kharisma Pemasaran
Bersama Nusantara menetapkan beberapa ketentuan meliputi :
1. Waktu dan tempat dalam melakukan lelang/tender/auction dalam penjualan komoditi;
2. Agen pemasaran menentukan syarat-syarat dalam menjadi pembeli atau
selaku pihak ketiga baik dalam negeri maupun luar negeri.
3. Agen pemasaran bertanggung jawab dalam pernyataan dan jaminan atas
seluruh dokumen perusahaan yang diserahkan kepada PT. Kharisma
Pemasaran Bersama Nusantara serta sebagai pihak yang berwenang untuk dan
atas nama perusahaan mendatangani kontrak penjualan juga kebenaran
kedudukan (domisili) dari PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara itu
sendiri.
4. Agen pemasaran menentukan cara penjulan dan juga mekanisme penjualan
yang meliputi :
(1) Mekanisme Penjualan Melalui Tender, yaitu penjualan yang dilakukan
pada waktu yang telah ditentukan, yang dilaksanakan secara terbuka
dengan peserta yang telah terdaftar dan memenuhi syarat. Pengajuan
penawaran dilakukan secara tertulis dalam amplop tertutup. (Tender ini
(2) Mekanisme Penjualan Melalui Lelang, yaitu proses transaksi yang
pelaksanaannya sama dengan tender, lazim diterapkan pada komoditi
gula;
(3) Mekanisme Penjualan Melalui Auction, yaitu penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, yang dilaksanakan
secara terbuka, dengan peserta yang telah terdaftar. Penawaran
dilakukan langsung secara lisan/verbal;
(4) Mekanisme Penjualan Melalui Bid Offer, yaitu terbagi menjadi Bid dan
Offer yang merupakan Bid adalah pengajuan harga yang diajukan pembeli atas kesanggupan membyar barang, sedangkan Offer adalah harga barang penawaran dari pihak penjual atas suatu barang. Jadi Bid Offer adalah proses penjualan yang dilakukan antara pembeli (pengaju
Bid) dan penjual (pengaju Offer). Dalam pelaksanaannya pengajuan
Bid Offer selain mencantumkan harga juga volume, mutu dan hal-hal lain yang dipandang perlu.
(5) Mekanisme Penjualan Melalui Long Term Contract (LTC), yaitu kontrak penjualan jangka panjang dari hasil transaksi yang berdasarkan
pada kesepakatan volume, formula harga dan masa penyerahan barang
(kurang lebih selama 6 bulan sampai 1 tahun).
5. Agen pemasaran membuat kontrak penjualan berdasarkan hasil penjualan
yang ditetapkan. Kontrak mengacu kepada tata cara dan ketentuan penjualan
komoditi agen pemasaran yang merupakan bagian yang tidak dapat
secara jelas perihal harga, volume, mutu, cara pembayaran, kondisi
penyerahan, bulan penyerahan/pengapalan dan keterangan-keterangan lain
yang diperlukan. Kontrak ditandatangani oleh pembeli dan penjual sesuai
ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Pembeli
sangat bertanggung jawab atas kontrak penjualan yang telah ditandatangani.
Dalam hal ini penjual hanya berhubungan dengan pihak pembeli yang
menandatangani kontrak penjualan atau yang ditunjuk/mewakili pembeli.
Sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku menyangkut transaksi
perdagangan di Indonesia, maka kepada pembeli dalam negeri akan
diterbitkan kontrak penjualan lokal yang mencantumkan PPN, kepada
pembeli berdomisili di luar negeri akan diterbitkan kontrak penjualan ekspor
dan pembayaran dilaksanakan langsung dari luar negeri. Kontrak penjualan
tidak diperkenankan untuk dialihkan atau dipindah tangankan kepada pihak
lain.
6. Agen pemasaran menentukan cara pembayaran yang meliputi :
(1) Irrevocable Sight Letter of Credit (L/C) adalah salah satu alat pembayaran berupa surat kredit berdokumen yang tidak dapat diubah
secara sepihak. Pembayran dilaksanakan secara langsung kepada
penjual setelah dokumen ekspor diterima secara lengkap dan benar
oleh pihak bank. Irrevocable Sight Letter of Credit (L/C) melalui bank utama di luar negeri. L/C dibuka langsung ke bank penjual/produsen.
Dalam L/C dibuka pada bank lain, maka biaya pengalihan L/C menjadi
15 (lima belas) hari sebelum pengapalan dilaksanakan. Jika
menyimpang dari ketentuan tersebut maka semua kibat yang timul
menjaditanggung jawab pembeli;
(2) Telegraphic Transfer/Cash before Delivery adalah kiriman sejumlah uang oleh bank pengirim (bank luar negeri) dengan memerintahkan
bank pembayar untuk membayarkan jumlah tersebut kepada penerima;
(3) Alat pembayaran lainnya yang dapat dipergunakan pada perdagangan
internasional, dengan memperhatikan segi kelaziman, keamanan,
keterpercayaan (credibility) dan mendapatkan persetujuan dari pengurus tender komoditi masing-masing;
(4) Untuk penjualan ekspor menggunakan mata uang US$ (US Dollar) dan
pembayaran berasal dari bank luar negeri secara langsung;
(5) Untuk penjualan lokal pembayarannya diatur dalam ketentuan
komoditi masing-masing.
7. Agen pemasaran menentukan penyerahan dan pengapalan barang meliputi :
(1) Penyerahan
a. Waktu penyerahannya diatur pada penjualan komoditi
masing-masing.
b. Syarat penyerahan ekspor, meliputi :
semua biaya pengankutan barang sampai Container Yard58
b) FOB (Free on Board) adalah syarat-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan bahwa
risiko dan semua biaya pengangkutan barang sampai ke atas
kapal di pelabuhan muat ditanggung oleh penjual. ditanggung oleh penjual.
c) C & F (Cost and Freight) adalah syarat penyerahan barang sebagai dasar dalam menentukan harga suatu barang,
meliputi semua biaya hingga barang itu tiba di pelabuhan
pembeli ditanggung oleh penjual, kecuali biaya asuransi.
d) CIF (Cost, Insurance & Freight) adalah syarat penyerahan barang sebagai dasar dalam menentukan harga suatu barang,
meliputi semua biaya hingga barang itu tiba di pelabuhan
pembeli termasuk biaya asuransi ditanggung oleh penjual.
c. Syarat penyerahan lokal, meliputi :
a) Loco59
b) Franco
Gudang penjual;
60
c) Franco Gudang Pelabuhan; Gudang Pembeli;
d) Franco Pabrik Pembeli;
58
CY (Container Yard) adalah fasilitas tempat di pelabuhan untuk menerima dan mengambil kontainer.
59
Loco adalah syarat-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan semua ongkos sejak pengambilan barang dari tempat penjual atau tempat lain yang disebut ditanggung pembeli.
60
e) Loco Gudang Kebun;
f) Loco Tangki Timbun Pelabuhan;
g) FOT (Free On Truck) adalah syara-syarat penyerahan barang dalam penentuan harga yang menyatakan bahwa
risiko dan semua biaya pengangkutan barang sampai ke atas
truk di pemberangkatan barang yang akan dikirim
ditanggung oleh penjual;
h) FOB (Free On Board) atau FCA (Free Carrier).
(2) Pelaksanaan pengapalan diatur pada penjualan komoditi
masing-masing.
8. Apabila terjadi perselisihan maka agen pemasaran menentukan penyelesaian
perselisihan yang meliputi :
(1) Apabila terjadi perselisihan yang timbul atas kontrak penjualan yang
penyelesaiannya belum secara jelas diatur dalam kesepakatan, maka
perselisihan tersebut akan diselesaikan secara musyawarah dan
mufakat.
(2) Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat tersebut, penjual dan
pembeli akan menyelesaikannya melaui Badan Arbitrase Nasional
9. Force Majeure juga sudah ditetapkan oleh agen pemasaran meliputi :
(1) Force Majeure adalah suatu peristiwa atau keadaan yang terjadi diluar kekuasaan para pihak yang menyebabkan para pihak tidak dapat
melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah dibuat
dan disepakati yang meliputi antara lain; gempa bumi, banjir, tsunami,
tanah longsor, penyakit epidemik, bencana alam lainnya, pemogokan
umum, huru hara, perang, pemberontakan, perubahan kebijakan
pemerintah dan peristiwa atau keadaan lainnya diluar kekuasaan para
pihak yang berdampak langsung kepada pelaksana perjanjian ini;
(2) Apabila terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia
dalam bidang moneter, wabah hama/penyakit dan/atau terjadi bencana
alam yang menyebabkan perjanjian kerjasama ini tidak dapat
dilaksanakan dimana hal ini merupakan force majeure, maka kedua belah pihak tidak dapat saling menuntut kerugian;
(3) Apabila salah satu pihak, walaupun telah melakukan suatu upaya yang
layak, berada dalam keadaan tidak dapat melakukan kewajibannya
yang ditentukan berdasarkan kontrak penjualan, baik sebagian maupun
seluruhnya, disebabkan oleh suatu keadaan memaksa (force majeure),
yang dibuktikandengan sah berdasarkan surat keterangan dari
pihak-pihak yang berwenang, maka pihak-pihak yang terkena kedaan memaksa
tersebut wajib dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam segera
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya tentang
(4) Apabila para pihak tidak dapat menyelesaikan dan/atau menyepakati
jalan keluar untuk mengatasi keadaan memaksa, maka pihak yang
dipengaruhi oleh keadaan memaksa, maka pihak yang dipengaruhi
oleh keadaan memaksa tersebut berhak mengakhiri perjanjian ini
dengan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak lainnya tanpa
menghapuskan seluruh hak dan kewajiban yang sudah ada sebelum
BAB IV
AKIBAT HUKUM APABILA SALAH SATU PIHAK MELAKUKAN WANPRESTASI
A.Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda
“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik
perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul
karena undang-undang.61
Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan
wanprestasi dapat diketahui melalui 3 (tiga) keadaan berikut :
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak
yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak
yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak
pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
62
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya
untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban
yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena
undang-undang.
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru,
61
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
62
Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau
apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana
mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut
kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya,
Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian tidak dipenuhi.
R. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.
Bentuk wanprestasi PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terhadap PT.
Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) sebenarnya tidak ada diatur
dalam surat perjanjian keagenan tetapi akan timbul wanprestasi apabila hak dan
kewajiban para pihak tidak terlaksana. Dalam kenyataannya selama ini belum
terjadinya wanprestasi antara para pihak. Karena para pihak melakukan
kewajibannya masing-masing.
Bentuk wanprestasi PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terhadap
pihak ketiga yaitu adanya keterlambatan pengiriman barang, maka PT.
Perkebunan Nusantara II (PTPN II) sebagai produsen barang dikenakan overdue interest. Apabila kedatangan kapal pada pengapalan barang belum cukup tersedia sehingga kapal harus menunggu, sepanjang pemberitahuan kedatangan kapal
Perkebunan Nusantara II (PTPN II) selaku produsen dapat dikenakan demurrage
selama hari menunggu sesuai dengan tarif umum yang berlaku. Dalam
kenyataannya belum terjadi wanprestasi antara PT. Perkebunan Nusantara II
(PTPN II) dengan pihak ketiga.
Bentuk wanprestasi pihak ketiga selaku pembeli terhadap PT. Perkebunan
Nusantara II (PTPN II) selaku produsen yaitu, apabila pihak pembeli dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari belum melunasi maka akan dikenakan overdue interest. Selama overdue interest, pembeli yang bersangkutan tidak dapat mengikuti tender dan membeli produk lainnya dari penjual/produsen. Apabila
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dari batas waktu pembayaran pembeli tidak
melunasi pembayaran, maka PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT.
KPBN) selaku penjual dapat membatalkan kontrak dan penjual berhak
mencairkan jaminan pembayaran. Kenyataannya belum pernah terjadi wanprestasi
antara para pihak.
B.Sebab Wanprestasi
Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan
dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang
dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau
kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.
Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian.63
Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur
kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur
yang dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau
kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian
adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga,
bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. Dikatakan orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia
sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik
dengan tidak berbuat atau berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat
dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu kesemuanya dengan memperhitungan
keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.
64
Disini debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi
sebagai orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan kemungkinan
munculnya kerugian tersebut.65 Dengan demikian kesalahan disini berkaitan
dengan masalah “dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan
“dapat menduga” (akan timbulnya kerugian).66
63
J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999, hal. 90.
64
Ibid., hal. 91.
65
Ibid.
66
2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh
pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa
mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan.67 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih
dahulu.68 Dalam hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan
dengan istilah “frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan
(perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.69
Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena
keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur.
Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda
yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena
perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan
diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa
menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total.70
67
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 27.
68
Ibid., hal. 31.
69
Ibid., hal. 27.
70
Sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur memenuhi
prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap.71
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :72
1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda
yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap;
2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan
karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)
Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya
wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai
keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang
bersifat objektif dan subjektif. Yang mana ajaran mengenai keadaan memaksa
(overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum Romawi, yang berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu.73 Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya
kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi hapus, tetapi
prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.74
71
Ibid.
72
Ibid.
73
J. Satrio, Op. cit., hal. 254
74
Ibid.
dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam
perkembangannya, kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang
bersifat subjektif.
1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif
Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat
dipenuhi oleh siapapun.75 Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan
adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya).76 Jadi keadaan
memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi
prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya
“orang” (pada umumnya) tidak bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa
berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapan, keadaannya, kemampuan
finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada
umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.77 Dasar ajaran ini
adalah ketidakmungkinan.78 Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini dengan
istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar
kesalahan debitur.79
Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak
mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat terjadi perubahan dalam
hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat itu menjadi
75
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 28.
76
J. Satrio, Loc. cit.
77
Ibid., hal. 255.
78
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
79
melawan hukum jika dilaksanakan.80 Dalam keadaan yang seperti ini secara
otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena tidak mungkin
dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan memaksa
disini bersifat tetap.81
2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif
Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri,
menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau
kemampuan debitur.82 Salah seorang sarjana yang terkenal mengembangkan teori
tentang keadaan memaksa adalah houwing. Menurut pendapatnya keadaan
memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala upaya yang menurut ukuran
yang berlaku dalam masyarakat yeng bersangkutan patut untuk dilakukan,sesuai
dengan perjanjian tersebut.83
Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang
bersangkutan. Disini tidak dipakai ukuran “debitur pada umumnya”(objektif),
tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran
adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari
pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri- cirinya” atau
dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur
yang bersangkutan turut diperhitungkan.
84
80
Ibid., hal. 29.
81
Ibid.
82
Ibid.
83
J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999, hal. 263, dikutip dari V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122.
84
Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan.85 Menurut ajaran ini debitur itu masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau
menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.86
Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah
diuraikan di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan pengaturan
secara umum dalam undang-undang.
Oleh karenanya perikatan
tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan prestasi oleh
debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan pelaksanaan prestasi tersebut sudah
tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi diteruskan.
87
85
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 30.
86
Ibid.
87
Ibid., hal. 31.
Karena itu hakim berwenang menilai fakta
yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa
(overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi tersebut.
Dalam prakteknya antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan
PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) atau sebaliknya yaitu
tidak terlaksananya hak dan kewajiban para pihak. Antara PT. Perkebunan
Nusantara II (PTPN II) dengan pihak ketiga yaitu keterlambatan dalam
pengiriman barang. Antara pihak ketiga dengan PT. Perkebunan Nusantara II
(PTPN II) yaitu terjadinya keterlambatan dalam pembayaran. Tetapi sampai
C.Akibat Wanprestasi
a. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur
Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai
tidak memenuhi prestasi ? hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi
tersebut memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui
sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan
apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang
pelaksanaan pemenuhan prestasi.
Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan
sesuatu pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.88 Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk
memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut
ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan.89
88
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 21.
89
Ibid., hal. 22
Pasal 1238 KUHPerdata berbunyi :
Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2
cara, yaitu sebagai berikut :90
1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan
waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak
menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang
wanprestasi debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut
tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Jadi pada intinya ada
pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini dikatakan surat perintah atau akta
sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan atau pemberitahuan
kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan
wanprestasi.
2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka
waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu
tersebut, dia telah wanprestasi.
Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan
untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada
ketentuan spesifik semacam Pasal ini. Namun ketentuan Pasal ini dapat juga
diikuti oleh perikatan untuk berbuat sesuatu.91
90
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal. 8.
91
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
Sebaiknya ketentuan Pasal 1238
KUHPerdata ini dapat diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu.
ini dapat ditiru dan meliputi perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan
untuk berbuat sesuatu.92
Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak
berbuat sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu
dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan
itu berlaku dan selama perikatan tersebut berlaku, kemudian debitur melakukan
perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).93 Adapun akibat
hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau
sanksi sebagai berikut :94
1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).
Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud
dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran
ganti kerugian tersebut, dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang
Pasal 1243 KUHPerdata yang berbunyi :
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan
ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :
92
Ibid.
93
Ibid., hal. 23.
94
1. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti
kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi
tetap melalaikannya.
2. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut.95
Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul
karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah
dihitung berdasarkan nilai uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang.
Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur,
yakni :
1. Ongkos – ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
2. Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur
akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan
penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga
merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya.
95
Dalam ganti kerugian itu tidak senantiasa ketiga unsur itu harus ada.
Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh
kreditur (unsur b).96
Pasal ini sebagai penegasan tentang pembatasan ganti kerugian yang dapat
dituntut dari debitur, yaitu kerugian yang nyata-nyata telah dapat diperhitungkan
pada saat perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak.
Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan
diharuskan membayar sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih
memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti kerugian yang
sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur.
Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan terhadap
debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur. Pembatasan-pembatasan
tersebut dapat kita liat pada Pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata. Pasal 1247
KUHPerdata yang berbunyi :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
97
96
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 40.
97
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit., hal. 16. Pasal 1248 KUHPerdata yang berbunyi :
Pasal ini sebenarnya memberikan juga perlindungan kepada debitur yang
walaupun melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus
dibayarnya hanya meliputi kerugian langsung sebagai akibat wanprestasinya
debitur.98
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.
Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan
kerugian :
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).99
Selain pembatasan seperti yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi
pembatasan pembayaran ganti rugi itu, yaitu dalam perjanjian yang prestasinya
berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal
1250 KUHPerdata. Pasal 1250 ayat KUHPerdata yang berbunyi :
“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.
Penggantian biaya, rugi, dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari ia diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum”.
Maksud Pasal ini adalah bahwa setiap tagihan yang berupa uang, yang
pembayarannya terlambat dilakukan oleh pihak debitur, maka tuntutan ganti
98
Ibid.
99
kerugian tidak boleh melebihi ketentuan bunga moratorium (bunga menurut
undang-undang).100
Bunga yang harus dibayar karena lalai ini disebut “moratoir interest”, sebagai hukuman bagi debitur.101Moratoir berasal dari kata “mora” bahasa Latin yang berarti lalai. Pembayaran ganti kerugian sebesar bunga moratorium tersebut
semata-mata digantungkan pada keterlambatan pembayaran tersebut sehingga
kreditur tidak perlu dibebani untuk membuktikan dasar penuntutan ganti kerugian
tersebut.102
Penghitungan besarnya ganti kerugian tersebut terhitung bukan pada saat
utang tersebut tidak dibayar atau lalainya debitur, melainkan mulai dihitung sejak
tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan, kecuali jika dalam keadaan tertentu
undang-undang memberikan kemungkinan bahwa penghitungan bunga tersebut
berlaku demi hukum (mulai saat terjadinya wanprestasi).103
2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
Pasal 1266 KUHPerdata yang berbunyi :
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
100
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit., hal.18.
101
Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 43.
102
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Loc. cit.
103
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap
sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan
karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui
pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam
perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak
dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak
yang wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang
waktu yang tidak lebih dari satu bulan.104
3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
1237 ayat 2 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan
untuk memberikan sesuatu.
Pasal 1237 KUHPerdata berbunyi :
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya”.
Berdasarkan pasal ini dapat kita lihat bahwa kelalaian debitur dalam
menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya.
104
4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat
1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam
perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata). Ini
berlaku untuk semua perikatan.
Pasal 1267 KUHPerdata yang berbunyi :
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”.
Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi
dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu :105
1. Menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut
dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau
2. Menuntut pembatalan perjanjian.
Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau
ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti
kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 1267 ini.
Berdasarkan Pasal inilah sehingga banyak sarjana menguraikan pilihan tuntutan
kreditur tersebut menjadi lima kemungkinan tuntutan, yaitu :106
1. Pemenuhan perjanjian;
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
105
Ibid., hal. 30.
106
3. Ganti kerugian saja;
4. Pembatalan perjanjian;
5. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.
Kemungkinan tersebut di atas, sebenarnya terdapat kekeliruan karena
seharusnya tidak ada tuntutan ganti kerugian yang dapat berdiri sendiri, karena
ganti kerugian itu hanya dapat menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan
perjanjian atau membatalkan perjanjian sehingga hanya ada empat kemungkinan,
yaitu :107
1. Pemenuhan perjanjian;
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
3. Pembatalan perjanjian;
4. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.
b. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena keadaan memaksa
Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis
mengakhiri perikatan, dalam arti kata perikatan itu batal.
D.Akibat Hukum Para Pihak Dalam Wanprestasi
1. PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II)
107
Dalam hal wanprestasi maka PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II)
menetukan cara penyelesaian perseisihan yang meliputi :
(1) Perselisihan yang timbul akibat perjanjian atau terkait dengan perjanjian
atau pelaksaan perjanjian yang diabuat atau disepakati antara PT.
Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran
Bersama Nusantara (PT. KPBN), dari segi pengertian maupun
interprestasinya dilakukan dengan cara musyawarah melalui pembicaraan
perundingan antara pihak;
(2) Dalam hal musyawarah tidak memperoleh kesepakatan maka para pihak
sepakat menyerahkan kepada pengadilan;
(3) Para pihak sepakat memilih kedudukan (domisili) hukum ang tetap dan
tidak berubah pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tugas PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) apabila melakukan
wanprestasi meliputi :
(1) Apabila PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) terlambat
menyerahkan/mengapalkan barang selambat-lambatnya 15 (lima belas)
hari dari tanggal penerbitan Intruksi Penerbitan, maka untuk setiap hari
(2) Apabila penyerahan barang mengalami keterlambatan yang disebabkan
oleh keterbatasan daya tamping gudang pembeli, maka PT. Perkebunan
Nusantara II (PTPN II) tidak dapat dikenakan penalti atau klaim mutu;
(3) Apabila pada saat kedatangan kapal pada bulan pengapalan barang belum
cukup tersedia sehingga kapal harus menunggu, sepanjang pemberitahuan
kedatangan kapal sudah diterima oleh penjual 7 (tujuh) hari sebelum kapal
tiba, PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dikenakan demurrage selama hari menunggu sesuai dengan tariff umum yang berlaku;
(4) Terhadap kontrak penjualan yang telah dibayar atau L/C-nya telah dibuka,
namun sampai dengan maksimal 2 (dua) bulan dari jangka waktu
penyerahan/pengapalan barang belum dikapalkan, maka segala resiko
yang timbul diluar tanggung jawab penjual.
2. PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN)
Dalam hal wanprestasi dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama
Nusantara (PT. KPBN) maka menetukan cara penyelesaian perseisihan yang
meliputi :
(1) Apabila terjadi perselisihan yang timbul atas kontrak penjualan yang
penyelesaiannya belum secara jelas diatur dalam kesepakatan, maka
(2) Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat tersebut, penjual dan
pembeli akan menyelesaikannya melaui Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan/atau kantor pengadilan setempat.
Tugas PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) apabila
melakukan wanprestasi adalah melakukan segala tuntutan atau ganti kerugian
kepada PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) sesuai dengan kesepakatan para
pihak yang terkait.
Apabila terjadi wanprestasi atau perselisihan, maka wanprestasi atau
perselisihan tersebut akan diselesaikan secara musyawarah melalui pembicaraan
perundingan para pihak. Apabila tidak tercapai musyawarah melalui pembicaraan
dan perundingan tersebut, maka para pihak akan menyelesaikan melalui Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan/atau meyerahkan kepada pengadilan.
Pada prakteknya belum pernah terjadi wanprestasi atau perselisihan antara PT.
Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama
Nusantara (PT. KPBN) atau sebaliknya. Antara PT. Perkebunan Nusantara II
(PTPN II) dengan pihak ketiga atau pembeli dan sebaliknya.
Dalam prakteknya apabila terjadi wanprestasi diantara para pihak, maka
akan timbul ganti rugi. Antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) dengan
PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) tidak adanya ganti rugi
dikarenakan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) adalah
anak perusahaan dari semua PT. Perkebunan Nusantara termsuklah di dalamnya
PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Antara PT. Perkebunan Nusantara II
(PTPN II) dikenakan overdue interest dan demurrage. Antara pihak ketiga atau pembeli dengan PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yaitu, pihak ketiga atau
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab terdahulu sebagai intisari dari skripsi ini dapat
diambil beberapa kesimpulan pokok, antara lain :
1. Prosedur perjanjian keagenan atas penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT.
Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) adalah terdapatnya
ketentuan yang berisi waktu dan tempat, syarat-syarat pembeli, tata cara
penjualan, kontrak penjualan, cara pembayaran, penyerahan/pengapalan,
klaim dan sanksi. Semua ketentuan tersebut dibuat dan disepakati oleh
para pihak.
2. Tanggung jawab agen pemasaran atas perjanjian Crude Palm Oil (CPO)
antara PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di kota Medan dengan PT.
Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN). Dimana sudah
ditentukan tanggung jawabnya kepada pihak pertama maupun pihak ketiga
yang mana ketentuan tersebut sudah di sepakati para pihak. Tanggung
jawab tersebut berisi tentang hak dan kewajiban para pihak ang harus di
penuhi. Oleh karena itu, adanya ketentuan yang mengatur tanggung jawab
dari para pihak.
3. Akibat hukum apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi yakni
(PTPN II) antara PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT.
KPBN) yang telah di sepakati kedua belah pihak. Dimana apabila salah
satu pihak melakukan wanprestasi maka akan munculnya sengketa antara
pihak dan timbul kerugian pada salah satu pihak. Maka, apabila terjadi
wanprestasi salah satu pihak wajib membayar ganti rugi akibat suatu
perbuatannya. Apabila wanprestasi tidak dapat diselesaikan melalui
musyawarah antara para pihak yang terkait, maka akan dilakukannya
proses yang lebih lanjut yaitu melalui pengadilan atau BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia). Tetapi selama ini belum pernah terjadi
wanprestasi antara para pihak.
B.Saran
1. Dalam hal ini sudah sesuai dengan kesepakatan para pihak yang dimana
telah ditentukannya kewajiban dan hak para pihak. Hanya diperlukan
beberapa tambahan pada ketentuan pada prosedur dalam hal ini yaitu
perlunya pengawasan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan para
pihak. Pengawasan yang ketat merupakan kunci yang perlu dalam hal
tanggung jawab agen pemasaran dikarenakan tanggung jawab merupakan
suatu hal yang penting. Apabila suatu tanggung jawab tidak terlaksana
maka tidak adanya hak yang dapat dituntut dan mengakibatkan terjadinya
2. Dalam perjanjian sudah seharusnya terdapat ganti rugi apabila terjadi
wanprestasi yang dialami oleh salah satu pihak. Dikarenakan setiap pihak
yang melakukan suatu perjanjian tidak ingin mengalami kerugian, maka
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa,
termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia adalah
pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai
menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk
beras, sawit, teh, kopi, rempah-rempah dan karet.1
Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang berpotensi untuk
dikembangkan menjadi berbagai bahan pangan fungsional. Kelapa sawit
merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dengan
curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32 oC. Saat ini 5,5 juta Ha lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah memproduksi minyak sawit mentah
atau Crude Palm Oil (CPO) dengan kapasitas minimal 16 juta ton per tahun dan merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia.2
Semua dikelola oleh pemerintah maupun swasta, salah satu pengelola
produk perkebunan sawit adalah PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II)
Sumatera Utara yang terdiri dari penanaman sampai penjualan hasil yang disebut
dengan Crude Palm Oil (CPO). Dalam pengelolaan produk hasil Crude Palm Oil (CPO) dapat menjadi pati alkohol yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pati
1
Januari 2011 jam 10.00 wib.
2
alkohol diperoleh dari hasil minyak inti sawit yang akan menghasilkan asam
lemak (fatty acid) dan gliserin.3
Dalam kegenan dapat lahir dari perjanjian maupun lahir demi hukum,
biasanya berdasarkan undang-undang. Demikian pula R. Subekti dalam bukunya
Perbandingan Hukum Pedata menyebutkan bahwa perwakilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
mencakup perwakilan bedasarkan undang-undang sebagaimna ditentukan dalam
Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu perwakilan sukarela dan
perwakilan berdasarkan perjanjian seperti pemberian kuasa.
4
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengenal perbedaan antara
perwakilan langsung dan tidak langsung, yaitu makelar yang bertindak atas nama
orang lain dalam komisioner yang bertindak atas nama sendiri. Dengan demikian
keagenan mempunyai persamaan dengan pemberian kuasa, di mana penerina
kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; mewakili pemberi kuasa.5
3
Koran Waspada, Selasa/02 november 2010
4
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 41.
5
Ibid,. hal. 42.
Maka PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II) memproduksi Crude Palm Oil (CPO) dari hasil penanaman dan dijual sebagai hasil usaha oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II). Dalam penjualan ini PT. Perkebunan Nusantara (PTPN II)
melakukan perjanjia keagenan dengan PT. Kharisma Pemasaran Bersama
Nusantara (PT. KPBN) yang mana PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara
(PT. KPBN) sebagai agen pemasaran yang telah diberikan kuasa oleh PT.
Proses penjualan Crude Palm Oil (CPO) antara PTPN II melalui kuasa PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT. KPBN) kepada agen melalui proses
yang sudah disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam perjanjian keagenan
oleh para pihak dan apabila ketentuan-ketentuan atas isi perjanjian yang sudah
ada, para pihak dapat memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
kedua belah pihak secara tertulis dan baku. Para pihak harus memenuhi segala
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam akta perjanjian keagenan.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku maka masing-masing
pihak akan bertanggung jawab.
Agen merupakan orang atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas
pihak lain yang disebut prinsipal yang memberikan kuasa sebagai agen
kepadanya.6 Sedangkan keagenan merupakan hubungan hukum antara prinsipal
dan agen dalam hal mana agen hanya akan melakukan perbuatan hukum dengan
pihak ketiga untuk dan atas nama prinsipalnya, perbuatan hukum tersebut
mengikat prinsipal.7 Menurut KRMT. Titodiningrat, agen adalah orang yang
mempunyai perusahaan untuk memberika