• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Setting Lingkungan Fisik Terhadap Perseptual Calon Imam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Setting Lingkungan Fisik Terhadap Perseptual Calon Imam"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TEORI PERSEPSI

2.1.1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan proses terintegrasi dari individu terhadap

stimulus yang diterimanya, yaitu sebagai proses pengorganisasian dan

penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu

(Moskowitz dan Orgel 1969).

Begitu juga menurut Atkinson, Rita, L, dkk 1983, menyatakan

bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penafsiran

terhadap stimulus yang diberikan lingkungan. Lebih lanjut Sarwono (1995),

menerangkan bahwa stimulus yang berupa rangsangan dari luar diri

manusia diterima melalui sel-sel saraf reseptor (pengindraaan) kemudian

disatukan dikoordinasikan didalam syaraf pusat (otak) sehungga manusia

dapat mengenali dan menilai untuk memberikan makna terhadap obyek

atau lingkungan fisik.

Menurut Sarwono, Sarlito Wirawan (1992), prilaku manusia

merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan

lingkungannya. Manusia mengindrakan obyek dilingkungannya, hasil

pengindraanya akan diproses hingga timbul makna tentang obyek tersebut,

ini dinamakan persepsi, yang selanjutnya menibulkan reaksi, Proses

(2)

melalui pengindaraanya sampai terjadi reaksi digambarkan dalam skema

persepsi berikut ini.

Gambar 2.1 Skema Persepsi

Sumber: Psikologi Lingkungan, 1992

Dalam skema terlihat bahwa tahap paling awal dari hubungan

manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu

obyek-obyek di lingkungannya. Obyek tampil dengan kemanfaatannya

masing-masing, sedangkan individu tampil dengan sifat-sifat individunya,

pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan berbagai ciri

kepribadiannya masing-masing.

Lebih lanjut Atkinson, Rita, L. dkk (1993) menuturkan individual

sebagai faktor internal dapat ditunjukan dengan adanya minat, respon dan

harapan dari individu tersebut Hasil interaksi individu dengan obyek

menghasilkan persepsi, persepsi individu tentang obyek itu. Jika persepsi itu

dalam batas-batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan

homeostatis, yaitu keadaan serba seimbang, keadaan ini sering

(3)

menyenangkan, tidak merasa tertekan (stress). Sebaliknya , jika obyek

dipersepsikan sebagai diluar optimal, diluar kemampuan individu, misal

terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan

sebagainya, maka individu tersebut akan mengalami stres dalam dirinya,

perasaannya tidak enak, tidak nyaman, tekanan energi dalam dirinya

meningkat sehingga orang perlu melakukan coping untuk menyesusikan

dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya, penyesuaian

diri individu terhadap lingkungannya didebut sebagai adaptasi, sedangkan

penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment. Bila individu

tidak dapat menyesuaikan dirinya maka stres akan tetap berlanjut.

2.1.2. Teori Persepsi Lingkungan

Setiawan B. Haryadi (1995), menyatakan enviromental perception

atau persepsi lingkungan adalah interpersepsi tentang suatu seting oleh

individu, berdasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu

tersebut. Setiap individu mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda,

karena latar belakang budaya yang berbeda, namun dimungkinkan beberapa

kelompok individu tertentu, mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan

yang sama atau mirip karena kemiripan latar belakang budaya , nalar dan

pengalamanannya. Tujuan utama kajian arsitektur lingkungan dan prilaku

sebenarnya adalah untuk memahami keragaman persepsi lingkungan agar

perbendahaaran tentang persepsi lingkungan semakin bertambah.

Menurut Rapoport (1986), dalam konteks kajian arsitektur

(4)

sangat penting karena keputuasan-keputusan atau pilihan perancangan akan

ditentukan persepsi lingkungan perancang.

Didalam konteks studi Antropologi lingkungan, yang dimaksud

mengenai persepsi lingkungan akan menyangkut dua hal aspek yaitu aspek

emic dan aspek etic. Aspek Emic, menggambarkan bagaimana suatu

lingkungan dipersepsikan oleh kelompok, sedangkan Apek Etic,

menggambarkan tentang bagaimana pengamat atau outsider (misalnya

perancang) mempersepsikan lingkungan yang sama. Dengan demikian

apabila perancang kurang memahami persepsi lingkungan, yang dia

rencanakan lingkungannya, dimungkinkan akan terjadi kualitas

pereancanagan lingkungan yang kurang optimal. Lebih lanjut B. Setiawan

Haryadi (1995), menyatakan perceived enviromental atau lingkungan yang

terpersepsikan merupakan produk atau bentuk dari persepsi lingkungan

seseorang atau sekelompok orang. Mempelajari persepsi lingkungan berati

mepelajari tentang proses kognitif (cognitive), afeksi (affecitive), serta

kognisi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Proses

kognisi adalah proses yang meliputi penerimaan (perceiving), pemahaman

(understanding) dan pemikiran (thinking) tentang suatu lingkungan. Proses

afeksi, adalah meliputi proses perasaan (feeling) dan emosi (emotions),

keinginan (desires), serta nilai-nilai (values) tentang lingkungan Proses

kognisi, adalah meliputi muncul tindakan, perlakuan terhadap lingkungan

sebagai respon dari proses kognisi dan afeksi. Keseluruhan proses ini

menghasilkan lingkungan yang terpersepsikan (perceived enviromental),

(5)

bentuk lingkungan yang berbeda sesuai dengan proses persepsinya

masing-masing.

2.1.3. Perseptual Calon Imam

2.1.3.1. Pengantar Calon Imam

Calon imam merupakan calon pemimpin umat katolik dimasa

mendatang. Pada hakikatnya seorang imam bertugas memimpin umat

katolik, lebih dari pada itu imam menjadi pemimpin masyarakat pada

umumnya. Untuk itu model pendidikan para calon imam harus dapat

membentuk pribadi menjadi calon imam yang kemudian menjadi imam

atau pemimpin masyarakat yang mempunyai visi. Pemimpin yang

visioner merupakan pemimpin yang mempunyai tujuan yang jelas,

strategi, taktik, dan penerapan yang sesuai dengan kondisi. Untuk

mewujudkan idealisme ini, maka calon imam harus ditempa sejak ia

masuk tempat pembinaannya yaitu hidup membiara. Dalam hal ini

postulat menjadi biara bagi para calon imam.

Postulat menjadi tempat dimana seseorang dididik menjadi pribadi

yang berintelek dan beriman serta memiliki raga yang kuat. Selain itu

juga dituntut untuk peka dengan situasi sosial masyarakat.

Untuk menghadirkan kerajaan Allah di tengah masyarakat,

seorang calon imam harus membuka diri dengan apa yang ada di luarnya

dan mempunyai kemampuan intelektual yang baik serta memiliki

kehidupan rohani yang matang. Untuk itu pada lembaga pembinaan calon

imam, para calon imam ditempa baik dari sisi kerohanian, kepribadian

(6)

berkompeten dan dapat mengayomi umat yang dipimpinnya. Maka

dengan itu calon imam dapat menghadirkan kerajaan Allah di

tengah umat.

2.1.3.2. Aspek Pembinaan Calon Imam

Berdasarkan pedoman pembinaan dan pendidikan seminari Lalian

pada 2010, disampaikan bahwa calon imam harus memiliki aspek-aspek

yang mendukung kehidupan seorang imam, yaitu:

1. Sanctitas (kekudusan)

Kekudusan merupakan suatu yang mutlak dan harus ada

dalam diri seorang calon imam. Sehingga dalam pembinaan bagi para

calon imam di lingkungan seminari, calon imam diajarkan, dituntun dan

dikembangkan untuk menghayati kekudusan. Pada dasarnya kekudusan

dalam diri seseorang itu ada karena ia membiarkan Allah menjiwai

hidupnya, orang menjadi transparan bagi Allah dan dengan demikian

membantu orang lain untuk menyadari akan kesalahannya dari dan

keterarahannya kepada Allah. Kekudusan ini diperoleh dari satu

pembinaan relasi yang mendalam dan jujur dengan Allah.

Relasi yang mendalam dengan Allah dapat terjalin dengan

baik dengan cara membiarakan Allah berkarya dalam diri kita dan kita

selalu mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan doa atau pun meditasi

dan kegitan rohani lainnya. Sehingga pembinaan kerohanaan bagi seorang

calon imam sangat mutlak dilakukan karena nantinya ia menjadi contoh

(7)

imam tidak dapat menuntun mereka pada hidup rohani yang baik. Untuk

itu seorang siswa seminari ditempa agar ia dapat menghayatinya.

Para calon imam dibimbing untuk beriman dan mengikuti

Kristus serta meneladan Bunda Maria dalam menghayati panggilan hidup.

Lewat pembinaan sanctitas, calon imam didampingi agar berkembang

dalam hidup rohani dan panggilan serta dalam hidup menggereja dan

memasyarakat.

a. Pembinaan hidup rohani

1) Calon imam diperkenalkan dengan tradisi doa dan devosi

antara lain melalui kegiatan sadhana, meditasi, pujian,

ziarah.

2) Calon imam terlibat dalam liturgi dengan mempersiapkan,

menyelenggarakan, dan menghayati ekaristi, tobat, ibadat

sabda, completorium (ibadat malam), dan renungan.

3) Calon imam didampingi untuk berkembang dalam iman,

harapan, dan kasih melalui bimbingan rohani, retret,

rekoleksi, Legio Mariae, refleksi, konferensi, instruksi,

bacaan rohani, KKS, puncta, dan fraterna correctio (koreksi

persaudaraan dan sumbangan rohani).

b. Pembinaan hidup panggilan

1) Calon imam didampingi agar tumbuh dan berkembang ke

(8)

semakin mampu mengambil keputusan hidup sesuai dengan

panggilannya.

2) Calon imam didampingi agar mengenali panggilan Tuhan

dengan menelusuri sejarah hidupnya. Oleh karena itu,

mereka diminta menulis sejarah hidup dan panggilan.

Mereka juga harus menggali motivasi panggilannya.

Motivasi panggilan yang masih berorientasi fungsi dan status

dimurnikan ke arah motivasi rohani dan apostolik.

3) Calon imam didampingi untuk mengenal corak hidup imam

diosesan dan religius, antara lain dengan membaca dan

mendalami dokumen Gereja serta mendengarkan ceramah

sehingga pada waktunya mampu membuat keputusan yang

tepat sesuai dengan panggilannya. Mereka juga didampingi

agar mengenal, dan mulai menghidupi tiga nasihat injili yang

merupakan tuntutan radikal kehidupan kristiani dan imam.

4) Calon imam perlu menyelenggarakan "Aksi Panggilan"

untuk memberikan kesaksian panggilannya sebagai calon

imam, mengenal Gereja dan jemaat setempat, dan

menumbuhkan semangat merasul.

5) Orang tua dan keluarga dilibatkan dalam pembinaan

panggilan calon imam. Keterlibatan itu dilaksanakan pada

saat calon imam berlibur, pada Hari Orang Tua, pada hari

kunjungan orang tua, dan melalui surat-menyurat.

(9)

1) Sebagai calon imam dan bagian dari Gereja dan masyarakat,

calon imam perlu diberi pembinaan ke arah kehidupan

menggereja dan memasyarakat.

2) Calon imam didampingi agar berkembang dalam semangat

pelayanan dan kerasulan. Sarananya antara lain:

a) menjadi petugas liturgi (kor, lektor) dalam Ekaristi di

paroki sekitar Seminari Mertoyudan,

b) terlibat dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) di

lingkungan-lingkungan paroki Santo Yusup

Mertoyudan.

c) mengikuti ceramah yang diselenggarakan oleh Seminari

Mertoyudan atau pihak luar sejauh oleh staf dilihat

bermanfaat.

3) Calon imam didorong untuk membangun kerjasama dengan

pemeluk agama, kepercayaan, dan kelompok lain. Bentuk

kerjasama itu diwujudkan antara lain dengan: sarasehan,

ceramah, kunjungan, diskusi, dan dialog.

4) Calon imam didampingi agar rasa sosial dan kepekaannya

akan keadilan berkembang. Mereka juga dididik untuk

memiliki pandangan yang sehat dan benar tentang

masyarakat. Maka, calon imam didorong untuk mengamati

dan membaca situasi masyarakat dan asrama; tekun,

analitis-kritis, dan reflektif dalam menyerap informasi melalui multi

(10)

5) Calon imam berlatih memimpin dan berorganisasi dengan

dijiwai oleh semangat melayani dan rela berkorban. Untuk

itu, setiap calon imam diberi tugas kebidelan dan tugas lain

dalam asrama atau kuliah

6) Calon imam dibimbing agar memiliki ketrampilan menjalin

hubungan antar pribadi yang baik dan dewasa, dengan pria dan

wanita. Mereka dibina agar mampu mengembangkan empati,

mengungkapkan emosi secara benar, menghargai kebaikan

orang lain, memperhatikan sopan santun dalam menggunakan

telepon, mengirim dan menerima surat, serta bertamu dan

menerima tamu.

2. Socialitas

Socialitas merupakan sesuatu keterarahan kepada orang lain dan

kesedian untuk dibentuk oleh orang lain. Diamasa mendatang, calon

imam pasti hidup dengan orang lain. Itu artinya bahwa ia akan dan selalu

bersosialisasi dengan orang lain. Socialitas ini juga mengugkapkan dua

nilai dasar yaitu kerterbukaan dengan orang lain baik dalam kesusahan,

kegembiraan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Lebih dari pada itu socialias bertujuan untuk menumbuhkan kepekaan

seminari dengan lingkuannya. Kepekaan ini menumbuhkan rasa peduli

(11)

3. Sanitas (kesehatan)

Menjadi seorang imam bukanlah suatu tugas ringan. Dalam

melaksanakan tugasnya, seorang calon imam harus memiliki kondisi fisik

dan psikis yang baik. Kehatan fisik menunjukan daya tahan untuk

melaksanakan tugas, sementara kesehatan psikis adalah kematangan

psiko-emosional dalam penghayatan panggilan. Kematangan ini memungkinkan

seseorang untuk menghadapi secara dewasa dan jujur kekuatan dan

kelemahan dirinya dan berhadapan dengan orang sebagai rekan kerja yang

bermartabat. Tanpa kematang psiko-emosional seseorang akan mudah

kehilangan kepercayaan diri, dan gampang mencari perlingdungan pada

orang lain, tempat dan kebiasaan yang tidak semestinya. Salah satu nilai

dari sanitas adalah kepercayaan diri yang sehat. Kepercyaan diri yang

sehat ini memungkinkan seseorang menghargai panggilannya dan

menyadari sumbangan yang patut diberikan dalam perkembangan hidup

umat dan dunia. Namun kepercayaan diri ini tidak mengarah kepada sikap

merendahkan dan menyepelekan peran dan sumbangan orang lain.

Dalam menghadapi tugas dan pelayanan bagai orang lain di masa

mendatang maka pembinaan sanitas dalam lingkup seminari terutama

seminari menegah sangat ditekankan. Memiliki kesehatan fisik dan mental

yang baik merupakan modal yang penting dalam karya pewartaan. Apalah

jadinya jika seorang imam memiliki kesehatan fisik dan mental yang

kurang baik. Karya pewartaan tentunya akan terhambat.

Demi keseimbangan kepribadian dan demi imamat, calon imam

(12)

a. Pembinaan kesehatan badan

1) Calon imam yang diterima di Seminari harus dinyatakan

sehat oleh dokter. Untuk menjaga kesehatan, diadakan

tindakan pencegahan berupa vaksinasi hepatitis B. Bagi

calon imam yang sakit, disediakan kamar sakit dengan

pengawasan Suster Perawat. Bila sakit cukup berat, calon

imam dibawa ke rumah sakit supaya mendapatkan

pemeriksaan dan perawatan. Biaya perawatan dan

pengobatan ditanggung orang tua calon imam.

2) Seminari menyediakan makanan dan minuman yang sehat

dan memenuhi standar gizi agar pertumbuhan dan kesehatan

badan calon imam terdukung. Selain itu, kesempatan makan

minum merupakan sarana untuk berlatih hidup bersama,

berlatih mengendalikan diri, serta mengatur selera dan

kenikmatan.

3) Seminari menyediakan sarana dan kesempatan berolahraga,

antara lain: sepak bola, basket, volley, bulutangkis, tenis

meja, dan bela diri.

4) Setiap hari, pada opera (kerja tangan) pagi dan sore, calon

imam membersihkan rumah dan lingkungan. Pada

waktu-waktu tertentu, diadakan opera magna (kerja besar).

5) Untuk menjaga kesegaran badan dan jiwa, calon imam perlu

berekreasi dan beristirahat secukupnya. Calon imam dilatih

(13)

waktu tidur, serta diberi kesempatan untuk ambulatio

(jalan-jalan).

6) Liburan diberikan kepada calon imam secara berkala agar

dipakai untuk menjalin relasi dengan keluarga, kenalan, dan

masyarakat serta untuk mendapatkan kesegaran baru.

b.Pembinaan kedewasaan manusiawi

1) Calon imam dibimbing agar mengenal diri, menerima

keadaan diri, serta keluarga dan lingkungan yang

membesarkannya. Maka, mereka diminta menulis sejarah

hidup yang kemudian diolah bersama pembimbing rohani

dan staf kepamongan.

2) Setiap calon imam wajib memiliki seorang pembimbing

rohani, yaitu seorang imam yang dipilih sendiri dan disetujui

oleh Rektor. Hendaklah ia rajin mengadakan bimbingan

rohani.

3) Calon imam dibimbing agar mempunyai kemampuan

berelasi secara sehat. Usaha itu ditempuh antara lain melalui

Basis Wilayah, Basis Karya, Basis Vertikal, dan pergaulan

dengan staf (Rama/Frater/Suster, guru), karyawan, dan

teman-teman. Melalui sarana tersebut, calon imam

mengembangkan keterbukaan, kemampuan berdialog,

solidaritas, kerja sama, rasa menghargai, perhatian kepada

yang sakit, belas kasih, kerelaan bergaul dengan semua

(14)

4) Calon imam dibimbing dalam menghayati seksualitasnya,

antara lain dengan ceramah tentang seksualitas yang

diberikan di KPP dan KPA. Pembinaan itu dimaksudkan

untuk membantu penghayatan seksualitas dan pergaulan

yang sehat.

5) Calon imam dibimbing dalam mengembangkan kemerdekaan

hati dan tanggungjawab. Oleh karena itu, perlu ditanamkan

sikap-sikap disiplin dalam segala hal, tekun dan kerja keras,

jujur dan terbuka dalam membawakan diri, dan siap sedia

menjalankan tugas.

4. Scientia/ intelektual

Aspek yang tidak kalah penting dalam proses pembinaan bagi

para calon imam adalah aspek intelektual. Seorang calon imam harus

memiliki kemampuan intektual yang baik. Para calon imam harus dibekali

oleh pengetahuan yang mendasar agar ia memiliki pegangaan dalam tugas

pewartaanya.

Pembinaan scientia berupa pengembangan terbimbing bagi calon

imam dalam bidang pengetahuan, ketrampilan, dan organisasi. Pembinaan

ini dimaksudkan agar calon imam memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi

membaca dan studi yang kuat, serta semangat untuk mengembangkan

potensi-potensinya.

(15)

1) Calon imam mengikuti program pendidikan Seminari yang

terbagi menjadi tiga, yakni:

a) Kelas Persiapan Pertama (KPP) yaitu kelas untuk calon

imam lulusan SLTP. Kelas ini dimaksudkan sebagai

tahun penyesuaian dan persiapan masuk SMU Seminari.

Lamanya satu tahun, dan sistemnya gugur.

b) SMU Seminari yaitu tingkatan pendidikan formal SMU.

Tingkat SMU Seminari meliputi kelas I, II, dan III.

Tingkatan ini mengikuti kurikulum Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, serta ditambah dengan

kurikulum Seminari (bahasa Latin, Kitab Suci, bahasa

Daerah).

c) Kelas Persiapan Atas (KPA) yaitu kelas untuk calon

imam lulusan SLTA. Kelas ini dimaksudkan sebagai

tahun persiapan ke jenjang pendidikan lebih tinggi ke

arah imamat. Lamanya satu tahun.

2) Calon imam diberi waktu studi setiap hari pada sore dan

malam hari. Diharapkan, para calon imam berinisiatif

memanfaatkan waktu-waktu luang untuk mengembangkan

pengetahuan, bakat, minat, dan ketrampilan.

3) Diharapkan, calon imam memiliki minat baca yang tinggi.

Untuk mencapai tujuan itu, Seminari menyediakan antara

lain buku sekolah dan perpustakaan, majalah, dan koran

(16)

4) Calon imam diberi kesempatan mengikuti ceramah atau

seminar agar terdukung usahanya mengembangkan

pengetahuan dan manajemen acara resmi.

b.Pengembangan ketrampilan

1) Untuk mengembangkan kemampuan calon imam dalam

mengarang, Seminari menyediakan guru mengarang,

mengadakan pelatihan jurnalistik dan karang-mengarang,

serta memberi wadah berlatih mengarang dalam DKM

(Dewan Koordinasi Majalah). Kecuali itu, calon imam

didorong untuk ikut serta dalam lomba mengarang yang

diselenggarakan instansi lain.

2) Calon imam dilatih agar mempunyai ketrampilan berbicara

di depan umum secara logis, runtut, tajam, dan terpola;

antara lain melalui forum Sidang Akademi dan konferensi

medan.

3) Untuk mencapai penguasaan bahasa Inggris, beberapa

langkah ditempuh antara lain dengan mengefektifkan

pelajaran bahasa Inggris, Sidang Akademi, Misa, dan

rekreasi dalam bahasa Inggris.

4) Calon imam diberi wadah untuk mengembangkan

ketrampilan dan olah seni drama, tari, podium (tata

(17)

5) Calon imam juga diberi wadah pengembangan seni musik

melalui pelajaran cantus di kelas, olah vokal (kor), orkes

gesek, orkes besar, musik tiup, dan karawitan.

6) Calon imam dilatih mengetik secara betul dan berirama

dengan sistem buta dan sepuluh jari. Di samping itu, calon

imam dilatih supaya trampil menggunakan komputer.

c.Pengembangan kemampuan berorganisasi

Calon imam dilatih memimpin dan berorganisasi antara lain

melalui kebidelan, Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD),

kepengurusan Sidang Akademi, dan kepanitiaan dalam acara-acara

(18)

2.2. SETTING LINGKUNGAN

2.2.1. Pengertian Setting Lingkungan

Rapoport (1976) menjelaskan bahwa Setting adalah tata letak dari

suatu interaksi antar manusia dengan lingkungannya dimana manusia dapat

mengetahui tempat dan situasi dengan apa mereka berhubungan.

Komponen kelompok Setting meliputi semua skala pelataran mulai dari

skala kamar sampai skala dunia.

Secara umum setiap individu pemakai bangunan tidak begitu

peduli dan tidak berniatuntuk merubah struktur setting lingkungannya. Jika

suatu setting telah dibuat dalam rangka pemenuhan keinginan secara

optimal namun ketidaknyamanan person terhadap setting tersebut tetap

tinggi maka hal akan menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan terhadap

pemakaian bangunan oleh pengguna bangunan dipengaruhi oleh dua hal,

yakni persepsi lingkungan dan kognisi. Hariyadi dan Setiawan (1996)

menjelaskan bahwa persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu

setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan

pengalaman individu tersebut. Jadi setiap individu akan mempunyai

persepsi lingkungan yang berbeda yang disebabkan oleh latar belakang

budaya, nalar, serta pengalamannya. Sedangkan kognisi meliputi proses

penerimaan, pemahaman, dan pemikiran tentang suatu lingkungan. Proses

kognisi meliputi munculnya tindakan, perlakuan terhadap lingkungan

sebagai respon dari proses kognisi.

Disisi lain Windley & Scheidt (1980) menyebutkan, terdapat

(19)

perilaku pemakai bangunan. Sebelas atribut tersebut yakni: stimulasi

sensorik, legibilitas, kenyamanan, privasi, sosialitas, fisibilitas,

aksesibilitas, adaptabilitas, kontrol, kesesakan, serta makna.

2.2.2. Teori Setting

Penggunaan istilah seting dipakai dalam kajian arsitektur

lingkungan (fisik) dan perilaku, yang menunjuk pada hubungan integrasi

antara ruan ( lingkungan fisik secara spasial ) dengan segala aktivitas

individu/ sekelompok individu dalam kurun waktu tertentu. Setiawan ,

1995.

Menurut Schoggen dalam Sarwono, 2001, pengertian seting

diartikan sebagai tatanan suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi

prilaku manusia, artinya ditempat yang sama, perilaku manusia dapat

berbeda kalau setingnya (tatanannya) berbeda.

2.2.3. Elemen- Elemen Pada Setting Lingkungan Fisik

Berdasarkan elemen pembentuknya, setting dapat dibedakan atas :

(Rapoport, 1982).

1. Elemen fixed, merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau

perubahannya jarang. Secara spasial elemen-elemen ini dapat di

organisasikan ke dalam ukuran, lokasi, urutan dan susunan. Tetapi

dalam suatu kasus fenomena, elemen-elemen ini bisa dilengkapi oleh

elemn-elemen yang lain

2. Elemen semi fixed, merupakan elemen-elemen agak tetap tapi tetap

(20)

iklan, etalase toko dan elemen-elemen urban lainnya. Perubahannya

cukup cepat dan mudah.

3. Elemen non Fixed, merupakan elemen yang berhubungan langsung

dengan tingkah laku atau perilaku yang di tujukan oleh manusia itu

sendiri yang selalu tidak tetap, seperti posisi tubuh dan postur tubuh

serta gerak anggota tubuh.

2.3. PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN (ENVIRONMENT

PERCEPTION)

Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu seting oleh

individo, didasarkan latar belakang budaya, nalar dan pengalaman individu

tersebut. Setiap individu dengan demikian akan mempunyai persepsi

lingkungan yang berda, karena latar belakang budaya, nalar serta

pengalamannya berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa

kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang

sama atau mirip, karena kemiripan latar belakang budaya, nalar serta

pengalamannya. Di dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku,

konsep ini menjadi sangat dominan oleh karena kajian atsitektur

lingkungan dan perlikahu justru menekankan padaragam dan kesamaan

environmental perception beberapa individu atau beberapa kelompok

individu.

Dalam konteks perancangan lingkungan, dikatakan oleh Rapoport

(1977) bahwa peran persepsi lingkungan sangat penting, oleh karena

(21)

persepsi perancang. Dengan kata lain, apabila perancang tidak mencoba

memahami persepsi lingkungan masyarakat yang ia rancang

lingkungannya., dimungkinkan tidak akan terjadi suatu kualitas

perancangan lingkungan yang baik. Di dalam konteks studi antropologi

lingkungan, isi mengenai persepsi lingkungan ini akan menyangkut apa

yang disebut sebagai aspek emic dan etic. Emic menggambarkan bagaimana

suatu lingkungan dipersepsikan oleh kelompok di dalam sistem tersebut

(bagaimana suatu kelompok mempersepsikan lingkungannya), sedangkan

etic adalah bagaimana pengamat atau outsider (misalnya perancang)

mempersepsikan lingkungan yang sama.

2.3.1. Pandangan dalam Tatanan lingkungan Nasrani

Tatanan lingkungan Nasrani berkembang setelah keruntuhan

Kekaisaran Romawi dan dikembangkan oleh biarawan pada awal masa abad

kegelapan (5 M). Tatanan lingkungan Nasrani sendiri tidak berkembang di

kawasan Timur Tengah (Israel, Jordania) karena saat itu kebudayaan Yahudi

masih mendominasi.

Pada Masa Kegelapan itu yang bermain peranan adalah biarawan

karena biara-biara Kristen yang muncul pada abad ke-4 M menjadi penting

karena sebagai sumber kebudayaan dan pembelajaran. Tatanan

lingkungan/taman Kristiani sendiri berkembang karena biara harus

menghidupi dirinya sendiri sehingga pertanian dan hortikultur menjadi

sangat penting. Biarawan tidak saja harus mengetahui ilmu-ilmu agama

tetapi juga harus menguasai ilmu tumbuhan dan obat-obatan herbal.

(22)

dari pertukaran pengetahuan dan tanaman dari para musafir dan peziarah

yang singgah di biara.

Taman pertama yang muncul memang berada di dalam lingkungan

dinding biara dengan tanaman berupa sayuran, anggur dan buah-buahan lain.

Bunga ditanam sebagai dekorasi gereja. Pada perkembangannya,

bunga-bunga menjadi elemen penting dalam taman gereja bahkan dipaki dalam

dekorasi altar. Bunga selanjutnya menjadi simbolisme yang diasosiasikan

dengan Bunda Maria dan putranya Jesus. Bunga yang terkenal adalah Lilium

candidum yang kemudian dikenal dengan Lili Madonna sebagai symbol

kesuciannya. Sedangkan mawar sebagai symbol atribut dari Ratu Surga yang

melekat pada Maria. Selanjutnya, mawar disimbolisasikan sebagai darah

Kristus.

Pada sebuah biara selalu terdapat ruang terbuka yang berpagar, dan

biasanya menempel di sebelah selatan gereja. Pada ruang terbuka ini

biasanya para biarawan bercengkerama dan menikmati sinar matahari dan

udara segar. Ruang terbuka ini disebut cloistered garthbiasanya berbentuk

segi empat dan dibagi kembali menjadi 4 bagian oleh persilangan jalan

setapak. Pada pertemuan persilangan biasanya terdapat sumur, air mancur

atau kolam kecil tempat sumber air untuk mengairi taman ini. Pada 4 bagian

ruang terbukaini, ditanami oleh tanaman-tanaman yang diperlukan untuk

kehidupan sehari-hari biara atau tanaman hias dan herbal.

Sebenarnya tidak ada kaidah khusus dari tatanan lingkungan

Nasrani ini. Yang ada sebatas tipikal taman-taman yang ada dalam

(23)

menggunakan kaidah-kaidah yang ada dalam kitab suci. Kebebasan desain

tetap berlaku, bahkan ada beberapa yang mencoba mengasimilasikan desain

lay-out taman biara tersebut dengan tanaman-tanaman yang ada disebutkan

di kitab Injil. Dan pola penanamannya menggunakan pola segi empat yang

dihasilkan dari membagi cloistered garth tersebut menjadi 4 bagian.

2.3.2. Persepsi dan Pemaknaan dalam Arsitektur Gereja Katolik

Hershberger (2004), mengatakan bahwa ada dua kategori makna

dalam arsitektur, yaitu makan respresentasi (representational meanings)

dan makna responsif (responsive meanings). Kedua makna ini

(representational dan responsive) penting dalam membuat prediksi

perilaku. Arsitek harus mempunyai pengertian yang baik mengenai

representasi yang dipakai pengguna bangunannya. Kemudian, belajar

mengenal reaksi apa yang akan muncul (perasaan, emosi, valuasi,

preskripsi) terhadap representasi yang dilihatnya itu.

Gambar 2.2. Skema Makna Arsitektural

Sumber: Arsitektur Dan Perilaku Manusia, 2004 Stimulasi

Objek Representasi Respon

(24)

Dalam kajian teori arsitektur, Capon dan Salura (1999; 2010, 2012)

menempatkan bentuk, fungsi dan makna sebagai tiga aspek utama yang

selalu ada dalam komposisi arsitektur. Pengertian makna (meaning) dalam

Merriam-Webster (1999) menunjukkan bahwa makna selalu terkait dengan

perasaan/emosi manusia dan pertumbuhan pengalaman manusia. Meaning

-“The layers of emotional feelings that one has experienced and the

significance they attach to it. Implication of a hidden or special

significance.” Menurut Cassirer (1953) manusia tidak pernah mendapatkan

dalam kesadarannya sesuatu yang tidak bermakna dan dirujuk di luar

dirinya. Pikiran manusia selalu membubuhkan makna pada apapun yang

diberikan kepadanya; menjadikan makna sebagai kebutuhannya, sehingga

makna menjadi bagian fundamental dan imanen bagi perkembangan

kemanusiaannya. Arsitektur gereja sebagai arsitektur sakral memiliki

makna yang dibentuk dan membentuk komunitasnya3

Dalam arsitektur, makna diekspresikan melalui media spasial,

temporal dan fisikal. Makna berhubungan dengan interpretasi terhadap

fungsi dan bentuk arsitektur, namun hubungan makna dan bentuk arsitektur

juga dipengaruhi oleh berbagai aspek yang berada di luar arsitektur.

Meskipun manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan adaptasi

sangat tinggi, tetapi persepsinya mengenai lingkungan fisik juga .

3

(25)

dipengaruhi oleh hal-hal yang sudah dikenalnya (Lang, 1997), termasuk

nilai-nilai agama yang diyakininya. Persepsi seseorang terhadap lingkungan

arsitektur gereja dapat diartikan sebagai proses memperoleh informasi dari

lingkungan tersebut, melalui proses penginderaan dan interpretasi

pengalamannya. Respons emosional yang diberikan pengamat atas

persepsinya, mempengaruhi apa yang dirasakan, dipikirkannya, dan juga

mempengaruhi pemaknaan yang dibentuk dan dikenalinya dari kualitas

tatanan arsitektur gereja tersebut. Makna dalam arsitektur seakan adalah

segenap pesan yang terkandung di dalam tatanannya. Dalam tatanan

arsitektur tersebut terdapat sejumlah makna yang dapat diklasifkasikan ke

dalam dua kelompok. Pertama, adalah makna yang melekat pada bentuk

arsitekturnya tanpa perlu interpretasi dari manusia pengamat atau

penggunanya (makna konkrit). Kelompok kedua adalah sejumlah makna

yang terkait erat dengan pemikiran manusia, baik yang dibubuhkan pada

tatanan arsitektur oleh perancangnya maupun makna yang lahir dari

pengalaman penggunanya. Makna yang dibubuhkan perancang pada

arsitektur gereja atau makna yang dimunculkan oleh pemerhati arsitektur

gereja, merupakan makna teoritis yang terbentuk melalui perencanaan

sesuai prinsip-prinsip tatanan dan teori arsitektur religi. Sedangkan makna

yang lahir dari pengguna adalah makna aktual yang terbentuk melalui

pengalaman langsungnya baik melalui proses penginderaan maupun

interpretasi pengalamannya.

Makna fungsional arsitektur Gereja Katolik dapat dirasakan seseorang

(26)

dengan baik. Demikian pula makna simbolik yang selalu menjadi bagian

pada arsitektur Gereja dapat dirasakan seseorang melalui persepsi

sensorinya dan keterkaitan dengan simpanan pengetahuannya.

2.4. LINGKUNGAN DAN RELIGIOSITAS (KEROHANIAN)

Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion

(Inggris), religie (Belanda), religio (latin) dan Dien (Arab). Menurut

Drikarya (1987) kata “religi” berasal dari bahasa latin religio yang akar

katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu

kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang

kesemuan yaitu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri

seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau

sesama manusia, serta alam sekitarnya. Selanjutnya Adisubroto (1987)

menjelaskan bahwa manusia religius adalah manusia yang struktur mental

keseluruhannya secara tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak,

memuaskan dan tertinggi yaitu Tuhan.

Menurut penelitian Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup

(1987) dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Glock dan Stark (dalam

Poloutzian, 1996), ada lima dimensi religiusitas yaitu:

a) Religious practice (the ritualistic dimension)/ Tingkatan sejauh

mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam

(27)

b) Religious belief (the ideological dimension)/Aspek Iman Sejauh

mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran

agamanya.

c) Religious knowledge (the intellectual dimension)/Aspek ilmu

Seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal

ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui

ajaran-ajaran dalam agamanya.

d) Religious feeling (the experiental dimension)/Aspek Ikhsan

Dimensi yang terdiri dari perasaanperasaan dan

pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami.

Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa

takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan,

dan sebagainya.

e) Religious effect (the consequential dimension)/Aspek Amal

Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang

dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya.

Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut

melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.

Religiusitas seseorang tidak hanya ditampakkan dengan sikap yang

tampak, namun juga sikap yang tidak tampak yang terjadi dalam hati

seseorang. Oleh sebab itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

religiusitas seseorang. Faktor-faktor yang sudah diakui bisa menghasilkan

(28)

pengaruh-pengaruh sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan dan proses

pemikiran.

Thouless (1997), menyebutkan beberapa faktor yang mungkin ada

dalam perkembangan sikap keagamaan akan dibahas secara lebih rinci,

yaitu:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

(faktor sosial). Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai

pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari

pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai

pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi

yang kita terima dari masa lampau.

b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama

pengalaman-pengalaman mengenai:

1) Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor

alami). Pada pengalaman ini yang dimaksud faktor alami

adalah seseorang mampu menyadari bahwa segala sesuatu

yang ada di dunia ini adalah karena Tuhan, misalnya

seseorang sedang mengagumi keindahan laut, hutan dan

sebagainya.

2) Konflik moral (faktor moral), pada pengalaman ini

seseorang akan cenderung mengembangkan perasaan

bersalahnya ketika dia berperilaku yang dianggap salah oleh

pendidikan sosial yang diterimanya, misalnya ketika

(29)

atas perbuatan mencurinya tersebut karena jelas bahwa

mencuri adalah perbuatan yang dilarang.

3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif), dalam

hal ini misalnya ditunjukkan dengan mendengarkan khutbah

di masjid pada hari minggu, mendengarkan khotbah dan

ceramah-ceramah agama.

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari

kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama

kebutuhan-kebutuhan terhadap: 1) keamanan, 2) cinta kasih, 3) harga diri, dan

4) ancaman kematian. Pada faktor ini, untuk mendukung ke empat

kebutuhan yang tidak terpenuhi yang telah disebutkan, maka

seseorang akan menggunakan kekuatan spiritual untuk mendukung.

Misal dalam ajaran agama Katolik dengan berdoa meminta

keselamatan dari Tuhan.

Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Dalam hal

ini berfikir dalam bentuk kata-kata sangat berpengaruh untuk

mengembangkan sikap keagamaannya, misalnya ketika seseorang mampu

mengeluarkan pendapatnya tentang yang benar dan yang salah menurut

ajaran agamanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa religiusitas atau

keberagamaan seseorang ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya

keluarga yang mempengaruhi keberagamaan seseorang yang sejak kecil

mengenalkan atau tidak mengenalkan tentang agama, namun juga banyak

(30)

seseorang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang

Gambar

Gambar 2.1 Skema Persepsi
Gambar 2.2. Skema Makna Arsitektural

Referensi

Dokumen terkait

Variabel penelitiannya adalah tingkat kandungan kesadahan air sumur gali sebelum dan sesudah proses filtrasi menggunakan media pasir silika, batu kerikil, zeolit,

Telaah tersebut, diperlukan oleh peneliti untuk mengungkapkan filosofis hukum dan pola pikir yang melahirkan sesuatu peraturan perundang-undangan, sebagai

Tujuan dari tesis ini yaitu untuk menganalisis dan membandingkan besarnya beban maksimum pondasi tiang bor dengan menggunakan analisis tiang tunggal dengan menggunakan data bored

Dalam persamaan model regresi linier yang diperoleh, maka antara nilai Y.. dengan ̂ akan menimbulkan perbedaan hasil yang sering disebut

■ kesulitan kami disini yang terlihat besar selain dari sumberdaya yang belum mencukupi dari guru dan siswa yang rata-rata Sumber Daya Manusianya berada

menunjukkan, bahwa rataan denyut nadi domba yang diberi ransum K1 memiliki hasil pengukuran yang lebih tinggi dari K2, serta pemberian pakan dua kali memiliki pengukuran denyut

Enzim SOD tanaman kedelai diperoleh pada kombinasi perlakuan G 1 A 0 sebesar 1325,36 unit/protein yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan lainnya.Hal ini

Paritas adalah keadaan seorang ibu yang melahirkan janin lebih dari satu orang.Sueheilif Paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang pernah