• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintah Daerah Dalam Prespektif Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemerintah Daerah Dalam Prespektif Hukum"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat. Provinsi dan kabupaten/kota yang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan UU.

Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam GBHN1. Secara teknis masih terdapat sejumlah besar persiapan yang

harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif.2

Dan Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah, telah dipraktekkan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara. Semenjak wafatnya Rasulullah Saw, Islam tampil dalam bentuk yang nyata

1 Garis-Garis Besar Haluan Negara

(2)

sebagai institusi Negara. Dalam banyak hal, bisa ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksistensi Negara, terutama semenjak berdirinya Daulah Bani Umayyah hingga hancurnya Khilafah Turki Utsmani.

Dari kenyataan sejarah yang panjang sejak abad 7 hingga abad ke-21 M, umat islam telah mempraktikkan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan. Lebih-lebih sejak terbebasnya dunia Islam dari kolonialisme Barat, dunia Islam telah mempraktikkan sistem politik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat dari kenyataan sejarah, umat islam telah mempraktikkan bentuk Negara kesatuan dan Negara federal.3

Dan disini kami akan mencoba untuk mengulas lebih jauh tentang kepemerintahan daerah di Indonesia dan menghubungkannya dengan sistem kepemerintahan dalam islam, apakah dalam islam sendiri mengenal adanya sistem kepemerintahan daerah seperti di Indonesia ini atau tidak?.

BAB II

(3)

PEMBAHASAN A. Siyasah Syar’iyyah

Kelahiran qanun terlebih dahulu melalui proses siyasah syar’iyyah (politik hukum islam), yakni proses penyerapan, pembahasan, dan penetapan materi hukum islam tertentu untuk di format ke dalam bentuk qanun atau undang-undang. Dengan demikian berarti ada kaitan yang sangat erat antara siyasah syar’iyyah pada satu sisi dengan qanun pada sisi yang lainnya. Supaya dapat diperoleh pemahaman yang memadai mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kedua istilah tersebut, maka sebelum disajikan pembahasan tentang qanun, ada baiknya jika lebih dulu diuraikan pembahasan mengenai siyasah syar’iyyah.4

1. Definisi Siyasah Syar’iyyah

a. Definisi Siyasah Syar’iyyah Menurut Bahasa

Secara etimologis siyasah syar’iyyah itu terdiri dari dua kata, yaitu “siyasah” dan “syar’iyyah”. Kata siyasah merupakan bentuk masdar dari tashrif kata sasa-yasusu-siyasatan, yang berarti mengatur, mengurus, mengemudikkan, memimpin, dan memerintah. Di samping itu, kata siyasah dapat pula diartikan sebagai politik dan penetapan suatu bentuk kebijakan. Sedangkan kata syar’iyyah merupakan bentuk nisbah (kata sifat) dari syar’un, yang berarti menurut ‘Abd al-ahmad ‘uthwah, berarti sesuai dengan hokum syari’at dan dengan kaidah-kaidahnya yang bersifat umum.

Berdasarkan analisis etimologis tersebut, siyasah syar’iyyah dapat di artikan sebagai politics based on sharia5 atau dapat juga disebut dengan politik islami.

b. Definisi Siyasah Syar’iyyah menurut istilah

4 Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) hal. 93-94

(4)

1) Definisi Siyasah Secara Umum

Dalam kepustakaan politik banyak definisi siyasah yang telah dikemukakan oleh para yuris muslim. Sebagai acuan teoretis berikut ini disajikan empat buah definisi siyasah yang diformulasikan oleh empat orang ulama yang berbeda. Keempat buah definisi siyasah yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Pertama, menurut Ibn Manzhur yang dimaksud dengan siyasah itu adalah mengatur sesuatu dengan dengan cara yag membawa kepada kemaslahatan. Kedua, menurut ‘Abd al-wahhab khallaf yang dimaksud dengan siyasah itu adalah Undang-undang yang dibuat untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta untuk mengatur berbagai hal. Ketiga, menurut ‘Abd al-rahman taj, yang dimaksud siyasah itu adalah hokum-hukum dan kebijakan-kebijakan yang mengatur berbagai urusan umat/masyarakat dalam bidang pemerintahan, peradilan, dan dalam seluruh jajaran institusi eksekutif dan administrasi, serta hubungan internasional dengan bangsa-bangsa lain. Keempat, menurut Husayn fawzi al-najjar siyasah adalah pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.

Namun demikian esensi yang dikehendaki oleh keempat definisi tersebut pada prinsipnya sama. Yaitu sama-sama menyatakan bahwa “siyasah” merupakan sebuah cara yang biasa digunakan untuk konsep pengaturan tata kehidupan umat manusia dalam konteks berbangsa dan bernegara yang diorientasikan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.

2) Definisi Siyasah Syar’iyyah Secara Redaksional

(5)

Timbulnya perbedaan semacam ini juga antara lain disebabkan karena latar belakang dan sudut pandang yang digunakan oleh ulama yang satu relative berbeda dengan yang lainnya. Berikut ini disajikan lima definisi siyasah syar’iyyah yang dirumuskan oleh lima orang ulama yang berbeda. Kelima definisi siyasah syar’iyyah yang di maksud adalah sebagai berikut.6

Pertama, menurut ‘Abd al-wahhab khallaf yang dimaksud dengan siyasah syar’iyyah adalah pengaturan urusan-urusan umum Negara islam yang menjamin terealisasinya kemaslahatan dan terhindarkannya kemudharatan mengenai hal-hal yang tidak melanggar batas-batas dan prinsip-prinsip syari’at yang bersifat umum, kendatipun rumusan aturan tersebut berbeda dengan pendapat para mujtahid. Kedua, menurut ‘Abd al-rahman taj , siyasah syar’iyyah adalah nama bagi hokum-hukum yang mengatur alat kelengkapan Negara dan urusan-urusan umat yang sejalan dengan jiwa dan prinsip-prinsip syari’at yang bersifat universal guna merealisasikan tujuan-tujuan social kemasyarakatan, kendatipun hal tersebut tidak diatur dalam nash-nash al-Qur’an ataupun sunnah yang bersifat rinci. Ketiga,

menurut Abu al-wafa ibn ‘Aqil, siyasah syar’iyyah itu berarti suatu kebijakan yang dapat membawa rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan, kendatipunRasulullah tidak pernah menetapkannya dan juga tidak pernah diturunkan wahyu untuk mengaturnya. Keempat, menurut para fuqaha, siyasah syar’iyyah berarti otoritas pemerintah untuk membuat kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu yang mengaturnya. Kelima, sedangkan menurut para ulama selain fuqaha, mengartikan siyasah syar’iyyah berarti pengaturan kemaslahatan umat sesuai dengan ketentuan syariat.

(6)

Dari kelima definisi di atas dapat ditarik konklusi bahwa para pemegang tampuk kekuasaan (pemerintah), disamping punya kompetensi untuk menerapkan hokum-hukum allah, juga memiliki otoritas untuk membuat berbagai peraturan hokum berkenaan dengan hal-hal yang tidak diatur secara eksplisit dan rinci dalam syari’at.7

2. Objek Studi dan Pembidangan Siyasah Syar’iyyah

Objek studi siyasah syar’iyyah menurut ‘Abd al-rahman taj, adalah seluruh perbuatan mukallaf (subjek hokum) dan hal ihwal yang berkaitan dengan tata cara pengaturan masyarakat dan Negara sesuai dengan jiwa dan tujuan syari’at, kendatipun hal yang diatur tidak pernah disinggung baik dalam al-qur’an maupun sunnah. Dengan kata lain, objek studi siyasah syar’iyyah adalah berbagai aspek perbuatan mukallaf sebagai sebagai subjek hokum yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diatur berdasarkan ketentuan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar nas syari’at yang bersifat universal. Dan ‘Abd al-wahhab khallaf menyatakan, objek studi siyasah syar’iyyah adalah berbagai peraturan dan undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatur Negara, sesuai dengan pokok ajaran agama guna merealisasikan kemaslahatan umat manusia dan membantunya memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.8

Mengenai pembidangan siyasah syar’iyyah dikalangan pakar siyasah syar’iyyah terjadi perbedaan pendapat. Namun, pembidangan yang beragam tersebut dapat dipersempit kepada empat bidang saja. Yaitu bidang fiqih siyasah dusturiyah, fiqih siyasah maliyah, fiqih siyasah dauliyah, dan fiqih siyasah harbiyah.9

7 Ibid,. hal. 98-99

8 Ibid,. hal. 115

(7)

B. Sistem Pemerintahan Daerah

Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.10 Dengan istilah Negara Kesatuan

itu, dimaksud bahwa susunan Negaranya hanya terdiri dari satu Negara saja dan tidak dikenal adanya Negara di dalam Negara seperti halnya pada suatu Negara Federal11.

Dalam territorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturen delandchappen12 dan volksgemeen schappen13, seperti desa di

Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.14

Ketentuan tentang Pemerintah Daerah ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 yang telah diamandemen, yaitu:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap

10 Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I, II, III, IV, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2009), hal. 4

11 Negara serikat atau Federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan dengan Negara serikat, dengan sendirinya Negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada Negara Serikat. Penyerahan kekuasaan dari negara-negara bagian kepada nagara serikat tersebut dikenal dengan istilah limitative (satu demi satu) dimana hanya kekuasaan yang diberikan oleh Negara-Negara bagian saja (delagated powers) yang menjadi kekuasaan Negara Serikat. Namun pada perkembangan selanjutnya, negara serikat mengatur hal yang bersifat strategis seperti kebijakan politik luar negeri, keamanan dan pertahanan negara. (C. S. T. Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 2004), hal. 136)

12 Berpemerintahan sendiri

13 Komunitas rakyat

(8)

provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur UU.

2. Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD

yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah.

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam UU.

Dalam pasal 18A UUD 1945, mengatur tentang:

1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi, kabupaten serta kota, diatur dengan UU dengan memerhatikan kekhususan dan keragamaan daerah.

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU

Demikian pula dalam pasal 18B UUD 1945, mengatur tentang:

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. 2. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat-masyarakat

(9)

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.15

Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan Negara sampai kepada seluruh pelosok daerah Negara, maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah ini sebenarnya menyelenggarakan pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan masyarakatnya.

Kedudukan Pemerintah daerah bertingkat-tingkat, ada yang tingkatannya di atas Pemerintah Daerah lainnya dan ada yang tingkatannya di bawahnya, sehingga suatu Pemerintah Daerah dapat meliputi beberapa pemerintahan daerah bawahan. Antara Pemerintah Daerah yang satu dengan yang lainnya terdapat pembagian wilayah yang menentukan pula batas wewenang masing-masing. Dan Pemerintah Daerah ini memiliki 2 macam bentuk, yaitu:

1. Pemerintah Daerah Administratif

Pemerintah Daerah administratif dibentuk karena Pemerintah Pusat tidak mungkin dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan Negara seluruhnya dari pusat sendiri. Untuk itu, maka perlu dibentuk pemerintahan di daerah yang akan menyelenggarakan segala urusan pusat di daerah. Pemerintah Daerah ini merupakan wakil dari pusat dan tugasnya menyelenggarakan pemerintahan di daerah atas perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk Pemerintah Pusat. Karena itu tugasnya hanya sebagai pelenyelenggara administratif saja, sehingga Pemerintah daerahnya disebut sebagai Pemerintah Daerah Administratif.16

Pemerintah Daerah ini dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang berkedudukan sebagai pegawai Pemerintah Pusat yang ditetapkan di daerah administratif yang bersangkutan dan dibantu oleh pegawai-pegawai

15 Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I, II, III, IV, hal. 41-42

(10)

Pemerintah Pusat lainnya yang ditempatkan di kantor-kantor atau jawatan-jawatan pusat.

Sistem daerah administratif ini berdasarkan atas asas “Dekonsentrasi”17. Ada pun latar belakang politik pelaksanaan asas

dekonsentrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sejak tahun 1903 menurut Amrah Muslimin disebabkan oleh “Ethische Politiek” yang dianut oleh Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia dengan maksud tujuan meninggikan tingkat kecerdasan dan kehidupan ekonominya.18

2. Pemerintahan Daerah Otonom

Disamping sistem pemerintahan daerah administratif, terdapat pula sistem pemerintahan daerah otonom yang berasaskan pada “Desentralisasi”19. Dikatakan demikian karena Pemerintah Pusat dalam

beberapa hal tertentu menyerahkan kekuasaannya kepada daerah masing-masing untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri juga berarti bahwa rakyat di daerah diikutsertakan dalam menyelenggarakan kepentingan masyarakat di daerah dan ini adalah sesuai dengan cita-cita Negara yang demokratis. Mengurus rumah tangga sendiri, berarti masyarakat atau daerah mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan kepentingannya menurut inisiatif dan kebijaksanaan sendiri.

Karena itu dalam daerah-daerah otonom, pemerintahnya dilengkapi dengan badan-badan legislatif daerah yang akan mengatur urusan rumah tangga sendiri itu sesuai dengan keinginan masyarakat daerah itu. Jadi

17 Pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada aparat Pemerintah Pusat yang ada di daerah untuk melaksanakan tugas Pemerintah Pusat di daerah dengan kata lain

“Dekonsentrasi” adalah perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah.

18 Amrah Muslimin, Ichtisat Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958, (Jakarta: Penerbit Jembatan: 1960), hal. 8-9

(11)

berbeda dengan pemerintahan di daerah menurut garis kebijaksanaan pusat, maka Pemerintah Daerah Otonom menyelenggarakan pemerintahan menurut kebijaksanaan daerah masing-masing, asal tidak menyimpang dari kepentingan pusat.20

Tentang pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri dibahas pada Undang-Undang No. 5 tahun 197421, yang mana ini adalah merupakan

pelaksanaan dari prinsip pokok yang telah digariskan dalam Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat No. IV/MPR/1973.22

Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintahan di atas, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan penetapan strategi dibawah ini:

Pertama, peningkatan pelayanan. Pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak-haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga Negara yang baik. Bentuk-bentuk layanan pemerintahan tersebut, antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan, dan sebagainya.

Kedua, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perencana, pengusaha jasa, pengembang, dalam menyusun konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada memfasilitasi dan mediasi.

20 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, hal. 257

21 “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diserahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.”

(12)

Ketiga, peningkatan daya saing daerah. Guna tercapainya keunggulan local dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud

resultant keunggulan daya saing nasional. Di samping itu daya saing nasional akan menunjang system ekonomi nasional yang bertumpu pada strategi kebijakan perekonomian kerakyatan.23

Di samping itu, kebijakan politik hukum pemerintah guna efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, diperlukan peningkatan dengan lebih memerhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Dengan politik hukum itu maka yang paling esensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat otonomi ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban tertentu. Hubungan antar pemerintahan, yakni hubungan antara pemerintahan pusat, pemerintah daerah provinsi, dengan pemerintah kabupaten/kota, di era awal pemberlakuan otonomi daerah, kebiasaan-kebiasan penyelenggaraan pemerintahan daerah telah terjadi salah tafsir yang berimplikasi pada hubungan masing-masing kepala daerah. Adapun hubungan antar pemerintahan daerah , khususnya hubungan antara pemerintah daerah dengan badan legislatif daerah sering terjadi disharmonisasi sehingga mengganggu sistem kemitraan antara pemerintah daerah dan legislatif daerah. Atas dasar itulah, UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan UU No.32 tahun 2004.24

23 H. Siswanto Sunarno, hal. 3

(13)

Perjalanan otonomi daerah yang ditandai dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999 dalam sejarah penyelenggaraan otonomi daerah, kelihatannya hanya mampu bertahan selama lima tahun akibat adanya perubahan dinamis dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan UU No.22 tahun 1999, akibat implikasi dengan adanya amandemen UUD 1945 mulai perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat. Di samping itu, juga memerhatikan ketetapan-ketetapan MPR-RI, yang harus dijabarkan dalam bentuk UU.25

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, sistem pemerintahan di Indonesia meliputi:

1. Pemerintahan pusat, yakni pemerintah

2. Pemerintahan daerah, yang meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

3. Pemerintahan desa

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara, sedangkan gubernur dan bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pemerintahan daerah. Berdasarkan ajaran trias politika oleh Montesquieu, dimana kekuasaan pemerintahan yang dipisahkan menjadi kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.

Sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal istilah pemisahan kekuasaan, namun terjadi sistem pembagian kekuasaan yang meliputi kekuasaan menjalankan fungsi pemerintahan dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan oleh presiden beserta menteri-menterinya. Kekuasaan membuat UU atau legislatif dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif atau bidang peradilan, dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta perangkat di daerah.26

25 H. Siswanto Sunarno, hal. 4

(14)

C. Sistem Pemerintah Daerah di Indonesia Dalam Konsep Hukum Islam

Dalam praktik sejarah politik umat islam, sejak zaman Rasulullah hingga Khulafa Rasyidin jelas tampak bahwa Islam dipraktikkan di dalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada pemerintah pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh Khalifah.

Baik di masa pemerintahan daerah masih “imarah khashah” di zaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, maupun sesudah menjadi “imarah ‘ammah” yang dimulai oleh Khalifah Umar, Negara Islam masih tetap merupakan Negara kestuan.

Tetapi, setelah pemerintahan daerah menjadi “imarah istila” barulah berubah bentuk menjadi Negara federasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah di zaman Khalifah Mansur, masih tetap desentralisasi atau daerah-daerah otonom.27

Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain, yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Uluwiyah di Mesir dan Daulah Umawiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, akan tetapi kaum muslimin sebagai umat dimana saja dia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk, dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain. Oleh karena itu, walaupun dunia Islam pada waktu itu terpacah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada di dalam wilayah darul Islam.28

Model Negara kesatuan Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat muslim di zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk Negara yang wilayahnya berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu,

27 Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Jakarta: Iqro Pustaka, 1956), hal. 182-183

(15)

melainkan dalam bentuk Negara bangsa (nation-state). Kini, umat Islam mempraktikkan Negara kesatuan Islam dalam bentuk Negara bangsa (nation-state) sebagai respons terhadap konteks Negara-Negara yang berkembang di masa sekarang.29

Dan Indonesia adalah salah satu Negara yang mempraktikkan Negara kesatuan dalam bentuk Negara bangsa dan menganut sistem kepemerintahan yang sama seperti masa ketika islam masih menjadi Negara kesatuan di masa kejayaannya yaitu dengan desentralisasi atau otonom.

Jika dilihat dalam kajian fiqh siyasah, maka persoalan tentang kepemerintahan daerah ini akan masuk dalam pembahasan siyasah dusturiyah, karena siyasah dusturiyah membahas tentang hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya.30

29 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, hal. 201

Referensi

Dokumen terkait

Desain permukaan/reka latar (surface design), berarti merancang, menciptakan, dan membuat sesuatu bentuk motif yang berbentuk dua dimensi diatas permukaan

Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Wiyono (2005) Fitri (2007) Setiawan (2009) Anam (2011) Penelitian ini Tujuan penelitian Mengetahui pengaruh

Angka cakupan kunjungan ulang pemeriksaan ibu hamil (K4) adalah ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit 4 kali dengan distribusi

TT : Tinggi tanaman (cm), JA : Jumlah anakan (batang per rumpun), UB : Umur berbunga (hst), UP : Umur panen (hst), BK : Bobot kering brangkasan (gram), DH : Daya hasil (ton

Metode deteksi tgt pd bgmn sinyal optis DICAMPUR dgn osilator lokal (homodyne atau heterodyne) dan sinyal listrik DIDETEKSI (sinkron dan asinkron):.. PENCAMPURAN sinyal informasi

Kelemahan pemahaman masyarakat di dalam memaknai asas hukum pertanahan yaitu hak atas tanah bersifat mutlak, kuat dan abadi, sehingga pemikiran mereka hak

Hukum perizinan merupakan hukum publik yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah di pusat maupun di daerah sebagai aparatur penyelenggaraan negara mengingat

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 maka kebijaksanaan politik hukum yang ditempuh oleh