• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Guru Kelas Autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Guru Kelas Autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan anggota lebih dari satu kelompok sosial. Dalam melakukan kegiatan di setiap kelompok, manusia dapat mengalami stres (Munandar, 2008). Menurut Sopiah (2008), stres merupakan suatu respon adaptif terhadap suatu situasi yang dirasakan menantang atau mengancam kesehatan seseorang. Apabila seseorang kurang mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya, maka manusia tersebut akan cenderung mengalami stres (Anoraga, 2001). Tingkah laku manusia tidak luput dari pengaruh alam sekelilingnya. Sedangkan alam sekitar itu bermacam-macam adanya. Tingkah laku manusia, berubah-ubah menurut situasi dan ruang serta keadaaan psikis manusia itu sendiri (Fudyartanta, 2011).

(2)

meningkatkan kinerjanya perlu memahami dan memiliki kompetensi dasar sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan dapat dicapai sekolah. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru pendidikan khusus didasari oleh tiga kemampuan, yaitu; (1) kemampuan umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic ability), dan (3) kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan umum adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik pada umumnya (anak normal), kemampuan dasar adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik berkebutuhan khusus, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik berkebutuhan khusus jenis tertentu.

Masalah-masalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktivitas kerja karyawan. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stres juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya (Sucipto, 2014).

Jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut mengalami stres kerja (Samosir dan Syahfitri, 2008).

(3)

sehat guna mendorong individu-individu dalam suatu organisasi untuk memberikan tanggapan positif terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi. Pada kondisi sebaliknya, stres yang berlebihan sudah tidak mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh. Akibatnya ia tidak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan kadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen, dan lain-lain. Akhirnya selama stres ini belum teratasi, maka tingkat produktivitas/prestasi kerja cenderung dan terus menurun. Kondisi yang sama, dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stres sama sekali. Karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang membosankan dan menjemukan.

Stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh terhadap stres. Jika stres telah mengganggu fungsi dan keberadaan diri seseorang, maka dinamakan distress. Distress dirasakan orang jika situasi yang menekan berlangsung terus menerus. Stres kebanyakan tidak disadari oleh orang yang bersangkutan, banyak dari mereka yang pergi mengunjungi dokter karena mengalami berbagai macam keluhan fisik. Biasanya mereka tidak memperlihatkan problem emosional. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat mengkaitkan problem emosional dengan keluhan fisik yang diderita (Wangsa, 2010).

(4)

menyatakan hampir semua penyakit dan kematian dini dapat dihubungkan dengan distress. Tidaklah sulit untuk percaya ketika anda mempertimbangkan bahwa stres memengaruhi semua sistem tubuh termasuk pertahanan dan mekanisme kekebalan tubuh kita (Looker dan Gregson, 2005).

Berdasarkan pendapat Azmi (2014) yang mengutip hasil penelitian Paul dan Tobias, didapatkan hasil bahwa stres pada guru autis berkurang setelah diberikan training selama penelitian. Ia menjelaskan bahwa ada 80% guru autis yang melaporkan bahwa mereka memiliki stressor yang tinggi dalam mengajar anak autis.

Menurut Azmi (2014) yang mengutip pendapat Ervasti dalam jurnal penelitiannya yang dilakukan antara guru biasa dengan guru yang mengajari anak-anak dengan kebutuhan khusus didapatkan hasil bahwa guru anak-anak dengan kebutuhan khusus meiliki tingkat stres yang tinggi terutama fisik dan emosional.

Segala macam bentuk “stres” pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian manusia akan keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stres (Anoraga 2001).

(5)

di tempat kerja. Stres yang dialami secara terus-menerus dan tidak terkendali, bisa menyebabkan terjadinya burn-out yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi (Saragih, 2010).

Hal ini juga terjadi pada guru kelas autis, salah satu sekolah yang diteliti adalah Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi yang terletak di jalan Karya Ujung – Helvetia Timur, Medan Helvetia.

Survei pendahuluan yang dilakukan di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi dengan metode wawancara pada guru kelas autis, diketahui bahwa para guru sering diserang secara tiba-tiba oleh anak-anak yang berperilaku autistik. Saat saya melakukan observasi, pernah juga anak autis tersebut mengamuk ketika dipaksa oleh Gurunya untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Individu autistik itu langsung mengangkat kursi yang tak jauh darinya dan melemparnya, hingga Guru tersebut terlihat kewalahan dan cemas dalam menghadapi individu autistik. Hingga pada akhirnya salah satu guru masuk ke ruang kelas dan mengatakan bahwa sebaiknya anak tersebut tidak dipaksa ketika ia tidak mau melakukan kegiatan belajar. Perilaku autistik berbeda dengan perilaku normal, anak yang berperilaku autistik tidak dapat mengungkapkan apa yang mereka rasakan, maka dari itu mereka sering melakukan suatu tindakan yang bahkan mereka tidak tahu apakah itu baik atau buruk.

(6)

tersebut dibagi dalam 3 kelas di mana kelas pertama terdapat 4 siswa yang berusia sekitar 10 hingga 11 tahun. Di kelas kedua terdapat 4 siswa yang berusia 12 hingga 15 tahun, dan di kelas ketiga terdapat 4 siswa yang berusia sekitar 18 hingga 22 tahun.

Guru yang mengajari individu autistik pada tingkat SD kelas pertama yaitu siswa yang berusia 10 hingga 11 tahun, mengeluh bahwa salah satu siswanya pernah BAB (Buang Air Besar) dikelas dan itu bukan hanya sekali bahkan berkali-kali dan guru tersebut harus membersihkannya sendiri, apalagi ruang kelas untuk mengajar tidak begitu luas (ruang kelas memiliki panjang 2 meter x 2.5 meter yang di isi dengan 4 siswa dan satu orang guru, dengan satu lemari, 2 meja belajar, 4 kursi siswa dan satu kursi guru) dan sirkulasi udara yang kurang, menyebabkan suasana menjadi pengap. Kotoran udara disekitar kita dapat dirasakan dengan sesaknya pernapasan, ini tidak boleh dibiarkan, karena akan berpengaruh terhadap kesehatan tubuh (tubuh menjadi cepat lelah). Kondisi tersebut juga dapat memicu timbulnya stres. Berdasarkan survei pendahuluan penulis melalui wawancara dengan guru kelas autis, mengenai perilaku individu autistik disekolah mengenai peristiwa mengamuk, menjerit, menyepak, dan menggigit dikelas, guru tersebut mengatakan bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi, namun selama ini masih bisa diatasi oleh guru.

(7)

emosional, fisik dan sosial. Perubahan fisik tersebut diantaranya mulai tumbuh rambut di wajah, ketiak dan didaerah kemaluan, perubahan suara pada pria dan wanita juga mulai menstruasi. Meski demikian, perubahan emosional bagi anak kebutuhan khusus prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan. Ketika individu autistik mendapatkan pertentangan terhadap apa yang mereka inginkan, maka individu tersebut cenderung berperilaku tantrum. Guru yang mengajari individu autistik dikelas kedua, harus lebih ekstra dalam mendampingi mereka, karena individu autistik tidak dapat menyalurkan apa yang mereka inginkan individu autistik tersebut lebih agresif dan terkadang suka mencakar dan memukul.

Berbeda halnya dengan siswa kelas pertama dan kelas kedua, individu autistik dikelas ketiga yaitu siswa yang berusia sekitar 18 hingga 22 tahun lebih agresif lagi, mereka akan mengamuk ketika apa yang mereka inginkan tidak dapat dipenuhi, kekuatan mereka pun juga bertambah besar. Guru kelas autis tersebut, terlihat jauh lebih cemas dari pada guru kelas autis di kelas pertama dan kelas kedua. Hal ini dilihat dari usia individu autistik yang dihadapi. Guru tersebut pernah mengeluh, kalau beliau pernah ditolak dari lantai dua saat salah seorang siswanya tiba-tiba mengamuk dan menyerangnya, jika beliau tidak berpegangan dengan pagar pembatas mungkin guru tersebut sudah jatuh. Guru tersebut juga cemas jika hal tersebut terulang kembali. Keluhan-keluhan ini memperlihatkan perbedaan-perbedaan stres kerja yang dialami oleh guru-guru kelas autis.

(8)

tersendiri bagi guru yang akan berdampak pada psikologis guru dan akan mempengaruhi kesehatannya. Maka peneliti tertarik ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan stres kerja pada guru kelas autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apa saja faktor - faktor penyebab stres kerja pada guru kelas autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui faktor - faktor penyebab stres kerja pada guru kelas autis di Unit Pelaksana Teknis SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Tahun 2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjadi bahan atau dasar yang dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain.

1.4.2 Manfaat Praktis

(9)

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “PENGEMBANGAN EKOWISATA KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL TAHUN 2014 – 2016 (Implementasi untuk Bahan Ajar Mata

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada a, b, c atau d pada j awaban yang benar.. Pada saat mendorong kekuat an t erl et ak

Peserta yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada Pokja ULP dalam waktu yang

[r]

bagaimana kemampuan anak didik dalam pembelajaran yang sudah dilakukan.. Alur pelaksanaan penelitian tindakan kelas dapat digambarkan

Pembuatan padang rumput campuran dapat dilakukan dengan menyebar biji rumput yang dicampur dengan biji leguminosa (Mc Ilroy, 1976) atau seperti yang dinyatakan

Kriteria bagi sesuatu merupakan standar atau norma atau persyaratan yang harus dipenuhi, agar sesuatu yang bersangkutan menjadi benar dan dapat

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan diktat ini khususnya kepada Bapak Bu Bondan yang telah memberikan izin,