TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)
Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis amoinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar
badan 5-5, 5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari
panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala
bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan
tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).
Limbah ikan gabus pasir terdiri atas kepala, isi perut. Limbah ikan gabus
pasir diolah menjadi tepung dengan cara dipanaskan (cooking), dipressing, dioven dan digrinder menjadi tepung ikan. Tepung ikan mengadung protein yang tinggi
dan dapat meingkatkan produksi dan nilai gizi telur dan daging
(Stevie et al., 2009). Ikan laut adalah sumber utama asam lemak omega 3 (Farrell,
1998; Mu’nisa, 2003)
Tabel 1. Komposisi nutrisi tepung limbah ikan gabus pasir
Jenis Nutrisi Kandungan
Gross Energi (K.cal/g) 3,6341a
Kadar air (%) 7,17b
Sumber: aLaboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014) dan b
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014).
sebesar 1,67%, arginin sebesar 1,34%, dan leusin sebesar 1,13% dan mengandung
albumin sebesar 45,29% (bb) atau 82,78% (bk) dari total protein.
Tepung Ikan
Menurut Afifah (2006), menjelaskan bahwa bahan baku pakan yang dapat
mengurangi penggunaan tepung ikan dalam pakan harus memiliki kriteria utama
antara lain kandungan protein yang tinggi sekitar 30-60%, ketersediaan ikan yang
akan dijadikan tepung ikan melimpah dan harga tepung ikan alternatif murah
dibandingkan tepung ikan impor (Afrianto, 2005).
Tabel 2. Komposisi nutrisi tepung ikan komersil lokal
Nutrisi Kandungan
Gross Energi (K.kal/g) 2.2130a
Protein kasar (%) 45,7b
Lemak kasar (%) 6,49b
Serat kasar (%) 3c
Abu (%) 5,20b
Sumber: a
Laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong (2014), bLaboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak (2014) dan cSNI (1997).
Asal Usul Itik
Itik adalah salah satu jenis unggas air (water fowls) yang termasuk dalam
kelas aves, ordo anseriformes, famili anatidae sub famili anatinae, tribus
anatinae dan genus anas (Srigandono, 1997). Itik merupakan unggas air yang
cenderung mengarah pada produksi telur, dengan ciri-ciri umum : tubuh ramping,
berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah (Rasyaf, 2002). Menurut Windhyarti
(2002), hampir seluruh itik asli Indonesia adalah itik tipe petelur. Itik Indian
Runner (Anas javanica) disebut juga itik jawa karena banyak tersebar dan berkembang di daerah-daerah di pulau Jawa. Itik-itik ini mempunyai beberapa
nama sesuai dengan nama daerah itik tersebut berkembang, seperti itik tegal, itik
Karakteristik itik
Itik mempunyai karakteristik khas unggas petelur, tubuh langsing ,
matabersinar, berdiri hampir tegak, lincah dan mampu berjalan jauh
(Rasyaf,1993). Itik liar secara alami berkembang biak dengan cara mengeram
sendiri,dengan jumlah telur berkisar antara 10 sampai 15 butir setiap periode.
Pengeraman sampai menetas dan mengasuh anaknya dilakukan oleh induk. Akibat
pengaruh domestikasi dan mutasi alamiah, maka sifat mengeram itik liar menjadi
berkurang dan bahkan hilang sama sekali seperti itik yang adapada saat ini
(Srigandono, 1997).
Kebutuhan nutrisi itik petelur
Dalam penyusunan ransum formula untuk pakan induk, lipida merupakan
komponen yang sangat menentukan bagi fungsi reproduksi dari induk betina,
demikian pula perkembangan embrio serta kelangsungan hidup pada saat
penyerapan kuning telur (Mazorra et al., 2003)
Table 3. kebutuhan nutrisi itik petelur
Enrollment in local colleges, 2005 Kandungan nutrien (Nutrient contents)
Energi metabolism 2900
Protein kasar (Crude Protein) (%) 15
Kalsium (Calsium) (%) 2.75
Fosfor (Phosphorus) (%) 0.6
Source: Fictitious data, for illustration purposes only (Source : NRC (1994)
Pelaksanaan Penetasan
Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai
menetas. Penetasan telur itik dapat dilakukan secara alami atau buatan
penetasan alami, dengan kapasitasnya yang lebih besar. Penetasan dengan mesin
tetas juga dapat meningkatkan daya tetas telur karena temperaturnya dapat diatur
lebih stabil tetapi memerlukan biaya dan perlakuan lebih tinggi dan intensif
(Jayasamudera dan Cahyono, 2005).
Pemilihan Telur Tetas
Agromedia (2002) menyatakan bahwa telur adalah suatu bentuk tempat
penimbunan zat gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air
yang diperlukan untuk pertumbuhan embrio selama pengeraman. Untuk dapat
ditetaskan telur-telur itik harus diseleksi.
Menurut Kortlang (1985), seleksi telur yang baik untuk ditetaskan dapat
meningkatkan daya tetas sebesar 5%. Berat telur itik yang baik untuk ditetaskan
antara 65 - 75 gram dengan bentuk yang normal.
Penetasan Dengan Mesin Tetas
Ada beberapa tahapan dalam penetasan buatan, antara lain adalah pemilihan
telur tetas, pembersihan telur tetas, fumigasi mesin tetas, pengaturan suhu dan
kelembaban, dan candling atau peneropongan serta turning atau pemutaran posisi
telur. Pemilihan telur tetas yang baik adalah telur tetas berasal dari hasil
perkawinan induk jantan dan betina, bersih tanpa cuci, tidak ada kerusakan
cangkang, berat, warna, dan bentuk harus normal. Fumigasi pada mesin tetas
biasanya menggunakan bahan kimia berupa KMnO4 dan formalin guna
menseterilkan mesin dari mikroorganisme yang dimungkinkan dapat menurunkan
daya tetas. Sebelum mesin tetas digunakan, suhu dan kelembaban harus diatur dan
distabilkan selama 2x24 jam, hal ini ditujukan agar suhu dipastikan tidak
Temperatur Mesin Tetas
Temperatur dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk
mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus
dan Moutney (1998) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada
pada temperatur antara 94-104°F (36-40°C). Embrio tidak toleran terhadap
perubahan temperatur yang drastis. Kelembaban mesin tetas sebaiknya
diusahakan tetap pada 70 %.
Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban
mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir
pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan
dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal,
embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Peningkatan dan
penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan
kematian embrio (Ningtyas, dkk., 2013).
Neka (2010) yang menyatakan bahwa bertambahnya umur telur tetas juga
mengakibatkan penguapan cairan dan gas-gas dari dalam telur lebih banyak, telur
yang lebih lama disimpan akan kehilangan cairan yang memiliki fungsi
melarutkan zat-zat nutrisi dalam telur dimana zat-zat tersebut digunakan untuk
makanan embrio selama ada didalam telur. Selain membutuhkan zat-zat nutrisi
embrio juga membutuhkan gas dari dalam telur lebih banyak, maka akan
menghambat perkembangan embrio bahkan dapat menyebabkan kematian embrio.
Pemutaran
Pembalikan telur tetas dilakukan sebanyak 3-5 kali sehari dengan interval
diterima telur selama periode penetasan, dan mencegah agar embrio tidak lengket
pada salah satu sisi kerabang (Roni, 2012).
Fertilitas
Semakin tinggi angka yang diperoleh maka semakin baik pula
kemungkinan daya tetasnya. Hal-hal yang mempengaruhi fertilitas antara lain asal
telur (hasil dari perkawinan atau tidak), ransum induk, umur induk, kesehatan
induk, rasio jantan dan betina, umur telur, dan kebersihan telur (Septiwan, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina,
pakan induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono, 1997),
jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan dan umur induk
(Solihat et al., 2003).
Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan bahwa daya tunas telur
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya kualitas sperma, umur induk,
status nutrisi induk, waktu perkawinan, rasio jantan-betina. Fertilitas diartikan
sebagai persentase telur-telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio
dari sejumlah telur yang ditetaskan tanpa memperhatikan telur tersebut menetas
atau tidak (Sinabutar, 2009). Telur tetas itik yang fertil dihasilkan melalui proses
dari perkawinan antara itik jantan dengan itik betina dan memiliki benih embrio.
Tidak semua telur fertil bisa menetas. Hal ini dikarenakan kualitas fertilitas telur
tetas yang tidak sama.
Suprijatna et all (2005) menyatakan bahwa mineral utama yang terlbat
dalam proses embrional yaitu calcium. Pada telur infertile tidak terjadi
defesiensi akan mineral maka berdampak pada fertilitas dari telur yang ditetaskan,
hal ini juga berpengaruh pada pembentukan embrional.
Daya tetas
Dalam penyusunan ransum formula untuk pakan induk, lipida merupakan
komponen yang sangat menentukan bagi fungsi reproduksi dari induk betina,
demikian pula perkembangan embrio serta kelangsungan hidup pada saat
penyerapan kuning telur (Mazorra et al., 2003)
Lipida yang dimaksud di atas terutama golongan PUFA. Seperti
elcosapentaenoic acid (20:5 n-3; EPA) dan docosahexaenoic acid (22:6 n-3;
DHA). ( Watanabe & Vassallo-Agius, 2003)
Daya tetas dan kualitas telur tetas dipengaruhi oleh: cara penyimpanan,
lama penyimpanan, tempat penyimpanan, suhu lingkungan, suhu mesin tetas,
pembalikan selama penetasan. Penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan
kualitas dan daya tetas menurun sehingga telur sebaiknya disimpan tidak lebih
dari 7 hari (Raharjo, 2004).
Studi yang dilakukan oleh Kortlang (1985) menunjukkan bahwa penyimpanan
pada suhu tinggi (30°C) cocok untuk jangka pendek 1-3 hari, sedangkan
penyimpanan pada suhu rendah (15°C) dapat digunakan pada penyimpanan 5-7
hari. Mayes dan Take ball (1984) menambahkan bahwa dampak dari periode
penyimpanan yang semakin lama adalah hilangnya kelembaban, perubahan pH,
dan terjadi penurunan bobot telur akibat dehidrasi dan penguapan sehingga
Mortalitas
Tunas, cadangan makanan, makhluk lain dan lingkungan mempengaruhi
usaha penetasan. Jika kelalaian pengelolaan penetasan akan menyebabkan telur
yang fertil tidak menetas atau gagal menetas (mortalitas embrio). Kematian
embrio banyak terjadi dalam keadaan kritis selama penetasan. Ada dua periode
kritis pada masa penetasan: selama tiga hari pertama dari masa penetasaan
umumnya disebabkan karna embrio dan masa akan menetas (Rasyaf, 1993).
Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkemmbangan embrio dengan
mamalia. Perkembangan embrio pada unggas terjadi diluar tubuh sehingga
dilakukan intervensi, dan perkembangan embrio pada unggas lebih cepat
dibandingkan dengan mamalia. Perkembangan embrio pada telur terjadi pada tiga
tahapan waktu yang berbeda yaitu, sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk
betina, waktu pengeluaran hingga masa inkubasi dan selama masa inkubasi
berlangsung (Ningtyas, dkk, 2013).
Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada embrio saat
didalam cangkang atau belum menatas. Hal ini biasanya disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu, penyimpanan telur lebih dari tujuh hari, telur dalam kondisi
kotor sehingga mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melalui pori-pori
(Rasyaf, 1990).
Kematian embrio dapat terjadi karena pakan induk mengalami defisiensi zat
gizi seperti vitamin dan mineral, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio
menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, pada ransum induk perlu
ditambahkan suplemen vitamin dan mineral yang banyak dijual dipasaran
Pada telur yang busuk dan organ rusak disebabkan oleh kontaminasi bakteri
(North and Bell 1990). Kontaminasi bakteri disebabkan karena kondisi kerabang
telur yang kotor sehingga berpeluang masuknya bakteri ke dalam telur melalui
pori-pori telur (Setioko 1992)
Kandungan CO2 terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kematian embrio.
Aktifnya metabolisme embrio menyebabkan akumulasi CO2 didalam ruang
penetasan. Selain dapat menyebabkan kematian embrio, jumlah CO2 yang terlalu
banyak dapat menyebabkan anakitik yang berhasil menetas menjadi lemas dan
lemah. Ventilasi atau aliran udara yang tidak baik menjadi faktor utama terjadinya