BAB I
A. Latar Belakang
Era globalisasi bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi
transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan
antar bangsa. Disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa,
berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti Negara,
konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, sekularisme, juga industri dan
perusahaan media massa. 1
Kata globalisasi merupakan serapan dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris
globalization. Kata globalization berasal dari kata global yang berarti universal yang mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai proses. Bila melihat asal mula katanya, globalisasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran
unsur-unsur baru baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun teknologi secara
mendunia. Globalisasi diartikan sebagai suatu proses dimana batas-batas suatu
negara menjadi semakin sempit karena kemudahan interaksi antara negara baik
berupa pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, gaya hidup dan
bentuk-bentuk interaksi yang lain.2
Penyebaran unsur baru yang dibawa oleh globalisasi tersebut, tentu akan
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Manusia sebagai mahkluk sosial,
maksudnya adalah bahwa manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam
1
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 3.
2
kehidupannya, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Karena itu,
seorang manusia pasti akan melakukan interaksi dengan orang lain. Globalisasi
juga akan mempengaruhi dan menimbulkan efek terhadap interaksi manusia
tersebut.
Dengan adanya globalisasi, teknologi semakin lama semakin canggih.
Namun, bagaimana bila teknologi yang sangat canggih tersebut digunakan untuk
kejahatan ? Semakin berkembang masyarakat, maka kejahatan juga semakin
berkembang. Hal tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh
Achmad Sodiki, yaitu mengingat kejahatan itu setua usia kehidupan manusia,
maka tingkat dan ragam kejahatan juga mengikuti realitas perkembangan
kehidupan manusia. Kecenderungannya terbukti, bahwa semakin maju dan
modern kehidupan masyarakat, maka semakin maju dan semakin modern pula
jenis dan modus operandi kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.3
Lebih lanjut Achmad Sodiki menyatakan, bahwa dalam setiap perubahan,
pasti ada komunitas yang gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman yang
berorientasi pada penegakan nilai-nilai positif. Kegagalan beradaptasi ini,
merupakan cermin dari kondisi pluralitas masyarakat yang memang tidak selalu
sama kapabilitas ekonomi, moral, dan psikologisnya. Ada individu atau
sekelompok orang yang bisa dengan mudah membaca dan beradaptasi dengan
perubahan tanpa harus meninggalkan norma-norma yang berlaku atau
mengikatnya, namun ada juga individu dan komunitas yang gagal menyesuaikan
3
diri atau takluk dengan perubahan-perubahan yang terjadi.4
Disamping efek negatif, kemajuan teknologi sebagai efek dari globalisasi,
juga membawa dampak positif yang sangat besar terhadap perkembangan dunia,
tidak terkecuali di Negara Indonesia. Ditengah kondisi negara yang sedang
berkembang, kemajuan teknologi memegang peranan penting. Misalnya dari segi
pembangunan sarana dan prasarana umum. Apabila pembangunan jalan tol atau
jembatan besar dilakukan tanpa menggunakan alat-alat berat, tentu akan memakan
waktu yang sangat lama dan menguras tenaga para pekerja serta menambah resiko Individu dan
komunitas yang gagal inilah yang akan menimbulkan permasalahan dalam
masyarakat, termasuk masalah hukum. Perkembangan teknologi yang semakin
maju, tidak digunakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga
menyebabkan bentuk-bentuk kejahatan menjadi semakin beragam.
Untuk mengatasi masalah kejahatan yang semakin beragam tersebut,
diperlukan norma hukum yang memadai. Yang menjadi masalah adalah bahwa
perkembangan norma hukum selalu terlambat apabila dibandingkan dengan
perkembangan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat akan selalu
berkembang dan semakin berkembang, sedangkan norma hukum berkembang
dengan mengikuti perkembangan masyarakat. Otomatis hal ini menyebabkan
norma hukum selalu terlambat dalam mengatasi permasalahan hukum di
tengah-tengah masyarakat yang berkembang. Oleh karena itu, para penegak hukum dan
pemerintah yang terlibat dalam pembentukan norma hukum harus sigap dan
tanggap dalam mengatasi perkembangan zaman ini.
kerja. Dengan adanya alat-alat berat dan truk-truk pengangkut, maka waktu,
tenaga, dan resiko kerja dapat diminimalisir. Hal tersebut akan mempercepat
proses pembangunan di Indonesia.
Demikian halnya dalam perkembangan hukum di Indonesia. Kemajuan
Ttknologi tidak hanya berdampak negatif seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, tetapi juga memberikan dampak positif. Teknologi juga dapat
digunakan untuk membantu menyelesaikan suatu kasus. Dalam dunia hukum,
perkembangan teknologi informasi telah melahirkan suatu rezim hukum baru yang
dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Secara Internasional, Hukum
siber atau cyber law digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dalam hal hukum
pidana. Tindak pidana pengalahgunaan teknologi informasi yang terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik telah
menimbulkan beberapa masalah hukum, khususnya dalam hal pembuktian.5
Salah satu peran teknologi dalam hal pembuktian adalah sebagai alat bukti
dalam proses persidangan, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana yang sangat
sulit untuk dibuktikan. Penyidik dan penegak hukum lainnya sering mengalami
kesulitan dalam hal menemukan bukti dan dalam hal membuktikan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal yang
didakwakan kepadanya. Hal tersebut disebabkan karena banyak faktor, misalnya
tidak ada saksi yang melihat langsung perbuatan tindak pidana tersebut, atau
5
kejahatan dilakukan melalui dunia maya. Bagaimana mungkin penegak hukum
dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila perbuatannya tidak tampak
secara nyata.
Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara
(pidana) di pengadilan. Melalui ‘ruang’ yang disebut pembuktian itu, persidangan
dilakukan dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran. Pembuktian
dibatasi oleh ketentuan tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.6
6 Ibid.
Bila tidak terbukti
dikarenakan kurang atau tidak adanya adanya alat bukti yang sah dan
meyakinkan, maka terdakwa akan dibebaskan. Dengan berbagai kemajuan
teknologi, terutama teknologi informasi dan transaksi elektronik seperti sekarang,
tentu akan meringankan tugas-tugas para penegak hukum, dan
hambatan-hambatan dalam pembuktian seperti diatas dapat teratasi.
Seiring dengan perkembangan peraturan hukum di Indonesia, alat bukti
yang dapat digunakan, kini tidak terbatas pada alat bukti yang terdapat dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ayat 1
menyatakan:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah merupakan alat bukti yang sah.
Pada ayat 2 dinyatakan:
cetaknya tersebut adalah merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Dengan berlakunya alat bukti elektronik ini, maka proses pembuktian
dalam pengadilan akan sangat terbantu karena tidak dibatasi oleh hukum acara
sebelumnya, baik dalam hukum acara pidana maupun hukum acara lainnya.
Penggunaan alat bukti elektronik sangat diperlukan mengingat terbatasnya
alat bukti yang terdapat dalam KUHAP dalam proses pembuktian tindak pidana
seperti Tindak Pidana Siber (Cyber Crime). Tidak hanya tindak pidana siber, penggunaan alat bukti elektronik juga bermanfaat untuk membuktikan tindak
pidana lainnya. Josua Sitompul mengutip pendapat Peter Sammer yang
menyatakan:7
Berdasarkan pendapat Peter Sammer diatas, maka dapat diketahui bahwa
dengan adanya alat bukti elektronik, hampir segala bentuk tindak pidana akan
dipermudah pembuktiannya, termasuk tindak pidana korupsi. Tindak Pidana
Korupsi yang merupakan kejahatan yang tergolong extraordinary crime, dalam pembuktiannya membutuhkan banyak alat bukti termasuk alat bukti elektronik.
Mengingat bahwa teknik-teknik yang dilakukan para pelaku korupsi agar tidak “The need for digital evidence is not confined to obvious cybercrime events such as hacking, fraud and denial of service attacks, … it’s also required when transactions are disputed, in employee disputes, and almost all forms of non-cyber crime, including murder, forgery, industrial espionage and terrorism. With the vast proliferation of computer ownership and usage plus the growth of low-cost always-on broadband connectivity, all organizations require a Forensic Readliness Program.”
7
diketahui oleh para penegak hukum semakin beragam, maka alat bukti yang
diperlukan untuk membuktikan perbuatannya juga semakin banyak.
Pada tanggal 07 September 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut
adalah hasil Pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan keabsahan alat
bukti elektronik dalam UU ITE dan UU Tipikor. Pengujian Undang-Undang
tersebut dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto yang
diwakili oleh tim kuasa hukumnya. Pada amar putusannya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Putusan tersebut menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 25 November 2016.
Selain terhadap pasal UU ITE, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan
permohonan pemohon yang memohon memberikan tafsiran terhadap Pasal 26A
UU Tipikor. Bunyi amarnya yaitu, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik” dalam pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Indonesia sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi
penegak hukum lainnya.
Latar belakang diajukannya permohonan pengujian undang-undang ini
memiliki keterkaitan dengan rekaman pembicaraan Setya Novanto yang akan
dijadikan alat bukti. Perekaman tersebut dilakukan tanpa persetujuan dan tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), tindakan perekaman secara diam-diam adalah merupakan penyadapan.
Penyadapan adalah proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam
informasi orang lain atau pembicaraan orang lain yang dilakukan dengan sengaja
secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan orang lain orang yang bersangkutan.8
Salah satu bentuk alat bukti elektronik adalah rekaman CCTV. Saat ini
rekaman CCTV sudah banyak dipergunakan sebagai alat bukti untuk mengungkap
atau membuktikan berbagai tindak pidana. Pemasangan kamera CCTV bertujuan
untuk alasan pengawasan atau pengamanan di tempat-tempat publik seperti di
pusat perbelanjaan, bandara, jalan raya, dan tempat-tempat umum lainnya. Kini,
pengawasan dengan CCTV juga sudah banyak dilakukan di tempat-tempat seperti
ruang kerja, rumah, ruangan pejabat dan sebagainya. Perekaman dengan CCTV
sangat bermanfaat, terutama dalam hal pengawasan atau sebagai bukti apabila
telah terjadi tindak pidana. Namun, perekaman CCTV berpotensi mengancam hak
8
privasi orang yang terekam di dalamnya. Hal tersebut disebabkan oleh
perkembangan perangkat CCTV yang semakin canggih. Kini, CCTV dapat
dipasang secara tersembunyi, dan juga dapat merekam suara.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016,
lantas Apakah rekaman CCTV sah sebagai alat bukti ? Apakah hal tersebut
termasuk tindakan intersepsi ? Lantas, bagaimana kekuatan pembuktiannya bila
rekaman CCTV digunakan sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus korupsi ?
Bagaimana pula kedudukannya setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 20/PUU-XIV/2016. Oleh Karena itu Penulis tertarik untuk meneliti hal
tersebut dan menulis skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016”. Penulis merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam rumusan masalah sebagai berikut.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pengaturan Alat Bukti dan Alat Bukti Elektronik dalam
Hukum Acara Pidana di Indonesia ?
2. Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Korupsi ?
3. Bagaimanakah Kedudukan Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak
pidana korupsi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami mengenai Pengaturan alat bukti dan alat bukti
elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, serta memahami sistem
pembuktian yang ada di Indonesia
2. Mengetahui dan memahami kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam
penyelesaian tindak pidana korupsi.
3. Mengetahui dan memahami kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti
dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya putusan mahkamah konstitusi
nomor 20/PUU-XIV/2016.
Adapun manfaat dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap bahwa pengetahuan
masyarakat mengenai rekaman CCTV sebagai alat bukti dapat bertambah,
terutama dalam penyelesaian tindak pidana korupsi setelah dikeluarkannya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Penulis juga berharap
bahwa dengan membaca skripsi ini, pembaca tidak lagi salah pengertian terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seperti pendapat beberapa orang yang
penulis kemukakan dalam tinjauan pustaka angka 7 skripsi ini.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan penulis adalah agar penggunaan
dalam hal pengambilan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
tersebut, haruslah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku saat ini, sehingga
keabsahan alat bukti elektronik tersebut dapat diakui oleh pengadilan. Dan tidak
melanggar hak hak asasi masyarakat mengenai privasi mereka, sesuai dengan
pertimbangan hakim dalam Putusan MK no. 20/PUU-XIV/2016.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini dengan judul “Kedudukan Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti
dalam Tindak Pidana korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 20/PUU-XIV/2016 sudah pasti memiliki keterkaitan dengan penulisan
yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Judul skripsi yang hampir mirip dengan
judul skripsi penulis, yaitu Informasi Dan Dokumen Elektronik Sebagai Alat
Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Dibandingkan Dengan UU No. 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Analisi Putusan
No:64/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn). Skripsi ini ditulis oleh Oktanta Ginting Suka
(NIM: 110200248) yang membahas tentang penggunaan informasi dan dokumen
elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi baik
dalam UU nomor 31 Tahun 1999 jo. UU nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam UU nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik a) Informasi Elektronik
bentuk yang memiliki arti atau makna bagi si penerima dan bermanfaat bagi
pengambilan keputusan saat ini ataupun di masa yang akan datang.9 Menurut Tata Sutabri, informasi dapat diartikan sebagai data yang telah diklasifikasikan atau
dikelompokkan atau diolah atau diinterpretasikan untuk dipergunakan dalam
proses pengambilan keputusan. Anton Meliono mendefinisikan informasi sebagai
data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud
adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan.10 Rahmani, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Telematika menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan informasi adalah data yang mencakup semua fakta yang direpresentasikan
sebagai input yang berbentuk untaian kata (teks), angka (numeric), gambar pencitraan (images), suara (voice), ataupun gerak(sensor), yang telah diproses atau telah mengalami perubahan bentuk atau penambahan nilai menjadi suatu bentuk
yang lebih berarti atau bermaanfaat.11
Secara umum, pengertian elektronik adalah ilmu yang mempelajari alat
listrik yang dioperasikan dengan cara mengontrol aliran elektron atau partikel Berdasarkan definisi informasi yang diungkapkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa informasi adalah data atau sekumpulan data yang data yang
merupakan fakta-fakta yang telah diolah sedemikian rupa sesuai fakta yang ada
atau bahkan yang telah dimanipulasi untuk keperluan tertentu ke dalam berbagai
bentuk yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya, serta dipergunakan untuk tujuan tertentu.
9
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit. hal. 175. 10
Ibid. 11
bermuatan listrik lainnya dalam suatu alat seperti katup termionik dan semi
konduktor.12 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, elektronik adalah alat-alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika atau benda
yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika.13
Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik menurut UU ITE adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegrams, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Menurut penulis, kedua definisi elektronik diatas berbeda, namun
memiliki keterkaitan. Definisi pertama menyatakan bahwa elektronik adalah ilmu,
sedangkan definisi yang kedua menyatakan elektronik adalah suatu hal atau suatu
benda. Meskipun berbeda, penulis beranggapan bahwa keduanya adalah satu
kesatuan. Elektronik adalah alat atau benda atau sesuatu hal yang menerapkan
ilmu elektonik sebagaimana yang terdapat pada definisi pertama. Berdasarkan
pengertian informasi dan elektronik diatas, maka dapat dikatakan informasi
elektronik adalah informasi atau data yang memiliki berbagai bentuk yang diambil
atau diperoleh atau diolah dengan alat-alat elektronik.
14
12
Ibid, hal. 178.
Dengan demikian dapat
ditarik suatu definisi informasi elektronik, yaitu informasi atau data berbentuk
13
14
elektronik yang memiliki berbagai jenis dan bentuk yang diambil atau diperoleh
dari suatu alat elektronik..
b) Dokumen Elektronik
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.15
2. Pengertian Rekaman CCTV
Artinya, dokumen
elektronik adalah setiap informasi elektronik yang telah diolah kembali agar
dapat dilihat atau dapat diterima oleh indera manusia melalui komputer atau
sistem elektronik.
CCTV merupakan sebuah perangkat sistem komputer menggunakan
kamera video untuk menampilkan dan merekam gambar pada waktu dan tempat
dimana kamera tersebut terpasang. CCTV adalah singkatan dari kata Closed Circuit Television, artinya televisi yang menggunakan sinyal yang bersifat tertutup atau rahasia. Televisi biasa pada umumnya menggunakan broadcast signal, atau sinyal yang tersebar, tidak hanya pada satu monitor. CCTV pada umumnya digunakan sebagai pelengkap sistem keamanan dan banyak digunakan
15
di berbagai lokasi seperti bandara, kemiliteran, kantor, pabrik, dan toko. Bahkan,
CCTV sudah dipasang dalam lingkungan rumah pribadi.16 Secara umum, yang dimaksud dengan CCTV adalah sebuah kamera pengawasan atau keamanan yang
menghasilkan audio visual yang menjadikan kita mampu untuk mengetahui
hal-hal yang direkam atau ditangkap oleh kamera CCTV. Beberapa ahli juga
memberikan definisi CCTV, yaitu:17
1) Menurut Ansel Adams, CCTV adalah sebuah media audio visual yang sangat kuat. Dan CCTV sangat menawarkan berbagai persepsi yang menawarkan sebuah interpretasi dan eksekusi yang tak terbatas. CCTV menjadi bentuk kamera pengamanan dan pemonitoran akan segala kejadian.
2) Menurut Elliot Erwint, CCTV adalah sebuah alat untuk mengeksplorasi seni observasi yang akan menemukan sebuah hal yang luar biasa pada tempat yang memungkinkan akan segala kejadian. Dengan fotografi juga akan menjadikan sebuah tempat dengan visual yang biasa akan menjadi sebuah hal yang lebih klasik dan unik. CCTV juga bisa menjadi sebuah bentuk perbedaaan antara kebanyakan orang lihat dan apa yang kamu lihat.
3) Menurut Amir Hamzah, CCTV adalah sebuah bentuk alat untuk merekam dan juga memfoto akan segala kejadian yang terjadi pada sebuah tempat.
Menurut Herman Dwi Surjono, Closed Circuit Television (CCTV) merupakan alat perekaman yang menggunakan satu atau lebih kamera video dan
menghasilkan data video atau audio. CCTV memiliki manfaat sebagai dapat
merekam segala aktifitas dari jarak jauh tanpa batasan jarak, dapat memantau dan
merekam segala bentuk aktifitas yang terjadi dilokasi pengamatan dengan
menggunakan laptop atau komputer secara real time dari mana saja, dan dapat
16
diakses tanggal 21 November 2016.
17
merekam seluruh kejadian secara 24 jam, atau dapat merekam ketika terjadi
gerakan dari daerah yang terpantau. CCTV merupakan penggunaan kamera video
yang mentransmisi sinyal atau penyiaran tertuju kepada lingkup perangkat
tertentu, yakni kepada seperangkat monitor ‘spesifik-terbatas’. Penyiaran CCTV
tidak secara ‘bebas’ dapat ditangkap oleh monitor lain selain monitor
‘spesifik-terbatas’ yang telah disediakan. CCTV kini sudah sering dimanfaatkan untuk
melakukan pengawasan pada suatu area tertentu, terutama untuk keperluan
pengamanan dan pengamatan kondisi suatu tempat tertentu.18
Di zaman yang semakin modern, CCTV semakin beragam. CCTV terbagi
atas beberapa jenis atau bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut :
Berdasarkan pengertian dan penjelasan tentang CCTV diatas , maka dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan rekaman CCTV adalah merupakan
rekaman atau hasil dari kegiatan perekaman yang dilakukan oleh perangkat
CCTV. Perlu digaris bawahi, gambar yang didapatkan dari pemasangan kamera
CCTV tersebut hanya dapat dilihat oleh pemilik CCTV atau orang yang menjaga
monitor, karena sifatnya yang Closed Sircuit atau sirkuit tertutup, tidak seperti televisi yang menyiarkan berita dan sebagainya.
19
1) Ptz Camera
PTZ adalah singkatan dari Pan Tilt Zoom
18
. PAN adalah kemampuan kamera untuk dapat bergerak ke kiri dan ke kanan. Tilt adalah kemampuan kamera dapat bergerak ke atas dan kebawah, dan Zoom adalah kemampuan
diakses
tanggal 21 November 2016. 19
kamera untuk memperbesar gambar hingga beberapa kali lipat. Kamera PTZ biasa digunakan untuk memantau wilayah yang luas dengan menggunakan 1 kamera. Ini akan memudahkan pengawas CCTV dalam mengawasi dengan menggunakan 1 kamera.
2) Dome Camera
Kemera ini memiliki nama Dome karena bentuknya yang seperti kubah. Tujuan kamera ini berbentuk adalah agar arah dari kamera CCTV tidak terlihat atau tersembunyi, tapi perangkatnya terlihat oleh kasat mata.
Dome Camera ada beberapa tipe, diantaranya adalah tipe fix camera yaitu kamera yang hanya mengarah ke 1 arah dan ada juga yang dapat berputar dengan cepat, yaitu
3) Bullet Camera
Speed Dome.
CCTV ini biasanya digunakan di dalam ruangan (indoor) dan diluar ruangan (outdoor). Bullet Camera dipasang pada dinding ataupun langit-langit suatu ruangan. Kamera jenis ini tidak dirancang untuk memiliki pan / tilt / zoom control
4) Box Camera
merupakan kamera tipe fix dengan tujuan menangkap gambar dari area yang tetap.
Box Camera mempunyai kemampuan zoom dengan penempatan pemasangan pada bidang vertikal. Kekurangan kamera jenis ini membutuhkan pencahayaan untuk dapat menangkap gambar dengan jelas. Sesuai dengan namanya, kamera ini memiliki bentuk seperti box atau kotak.
5) Board Camera
Board Camera biasanya terhubung pada media komputer. Board Camera pada umumnya memiliki resolusi yang rendah, karena biasanya
board camera
6) Day/Night Camera
digunakan untuk aplikasi teleconference standar.
Kelebihan kamera tipe day/night
.
adalah dapat merubah berbagai kondisi cahaya untuk disesuaikan dengan sinar matahari langsung.
7) Spy Camera
Dinamakan spy camera atau convert camera
8) Ip Camera / Network Camera
karena memang bertujuan untuk memata-matai. Bentuknya terbagi dalam berbagai variasi seperti jam, smoke detector, pulpen dan sebagainya.
Kamera jenis ip / network baik dengan kabel ataupun wireless cabel
dapat dipasang dengan mudah. Pada umumnya, ip camera mempunyai tingkat resolusi gambar yang lebih tinggi dibandingkan kamera CCTV analog. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan ip camera, seperti area lokasi yang akan dipasang ip cam tipe
wireless harus tersambung dengan jaringan wireless internet, dan untuk tipe ip camera dengan kabel jarak penarikan kabel ke switch hub / router
hanya 80-100meter dengan menggunakan kabel UTP. Beberapa kekurangan ip camera
9) Wireless Camera
: 1. karena mempunyai resolusi yang tinggi membutuhkan kapasitas hard drive yang lebih besar, 2. Membutuhkan alat tambahan untuk penguat penerima sinyal untuk lokasi yang jauh, 3. membutuhkan pengertian konfigurasi internet bila memasang ip camera
dalam jumlah banyak.
Tidak semua kamera wireless CCTV berbasis IP , beberapa dari kamera jenis wireless dapat menggunakan model alternatif dalam transmisi wireless. Seperti namanya, kamera CCTV ini tidak menggunakan kabel untuk menyampaikan gambar ke monitor.
10) HD (High-definition) Camera
Kamera dengan spesifikasi HD memiliki kualitas gambar yang sangat baik. Kamera High-Definition memiliki kemampuan digital zoom yang
11) Outdoor Camera
membantu untuk memperbesar gambar dengan sangat jelas.
Outdoor camera adalah sebuah kamera yang mampu bertahan disegala kondisi cuaca, mempunyai bahan material yang baik, tahan air, kedap udara terhindar dari masuknya debu.
12) Varifocal Camera
13) IR (Infrared Camera)
Infrared Camera disebut juga night vision camera
3. Pengertian Kedudukan Rekaman CCTV
. Kamera ini mampu melihat pada malam hari bahkan gelap gulita dengan menggunakan lampu
IR LED. Infrared Camera menghasilkan gambar hitam putih pada saat malam hari.
Kedudukan dapat diartikan sebagai berarti status. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kedudukan sering dibedakan antara pengertian kedudukan (status) dan
kedudukan sosial (status sosial). Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat
seseorang dalam lingkungan pergaulannya, serta hak-hak dan kewajibannya. Kedua
istilah tersebut memiliki arti yang sama dan digambarkan dengan kedudukan (status)
saja. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu tempat tertentu.
Kedudukan dapat juga diartikan sebagai keadaan yang sebenarnya.20
20
Berdasarkan pengertian kedudukan diatas, yang dimaksud dengan kedudukan
rekaman CCTV dalam skripsi ini adalah status dan keadaan sebenarnya rekaman
CCTV. Bila dikaitkan dengan judul skripsi ini, secara jelasnya dapat dipahami bahwa
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status atau keadaan sebenarnya
mengenai rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, setelah
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 20/PUU-XIV/2016.
4. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti a) Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang
penegakan hukum pidana. Pada pembuktian dipertaruhkan nasib terdakwa, dan
pada pembuktian ini pula titik sentral pertanggungjawaban hakim dalam segala
bidang, yakni intelektual, moral, ketepatan hukum, dan yang tidak kalah penting
ialah pertanggungjawabannya kepada Tuhan Yang Maha Esa mengenai putusan
yang diambilnya. Bagaimana amar putusan yang akan ditetapkan oleh hakim,
seluruhnya bergantung pada hasil pekerjaan pembuktian di dalam sidang
pengadilan.21 Hal senada diungkapkan oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
sidang di pengadilan. Pembuktian menentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang “tidak cukup”
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa
“dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, maka terdakwa
dinyatakan “bersalah” dan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, hakim harus
hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembukt ian.22
21
Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia , (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 358.
22
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 273.
Andi Hamzah juga menegaskan bahwa pembukt ian adalah bagian yang terpenting
hak asasi manusia.23
Secara etimologis, kata “pembuktian” berasal dari kata “bukti” artinya
“sesuatu yang dapat menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, kemudian mendapat
awalan “pem” dan akhiran “an”, artinya proses perbuatan, cara membuktikan
sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.24
Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan pembuktian adalah
suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran
tentang suatu peristiwa. Kegiatan yang dijalankan dalam sidang pengadilan, pada
dasarnya adalah upaya untuk merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu
peristiwa yang sudah berlalu. Sempurna tidaknya rekonstruksi tersebut bergantung
pada proses pembuktian.25 Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan, ataupun dipertahankan sesuai
hukum acara yang berlaku.26 Menurut J.C.T. Simorangkir, pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak
mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar
supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan.27
Dalam kamus hukum yang disusun oleh Rocky marbun dkk, pembuktian
diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim
yang memeriksa suatu perkara, guna memberikan kepastian tentang kebenaran
23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 249.
24
Andi Softan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 230.
25
Adami Chazawi, Loc.Cit. 26
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm. 7. 27
peristiwa yang dikemukakan.28
M. Yahya Harahap memberikan pengertian pembuktian yang ditinjau dari
segi hukum acara pidana yakni, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan
dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut
umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara
dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Penegak hukum tidak
dibenarkan bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Bila ditinjau dari segi sistem peradilan hukum
pidana, pengertian tersebut cakupannya lebih sempit. Alasannya adalah karena
dari penggunaan kata “penyajian alat bukti kepada hakim”, maka pembuktian
dianggap sebagai pekerjaan penuntut umum, penasihat hukum, dan terdakwa.
Kenyataannya, dalam proses pembuktian sidang pidana hakim bersifat aktif dalam
menemukan fakta-fakta dan bukti baru di persidangan. Misalnya, dalam
memperoleh fakta baru melalui keterangan saksi, hakim memiliki hak untuk
bertanya dan mencari sendiri kebenarannya. Oleh karena itu, pembuktian tidak
hanya pekerjaan penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, dan terdakwa saja,
tetapi juga hakim. Namun, bila yang ditinjau adalah proses pembuktian dalam
sistem peradilan perdata, maka pengertian tersebut sudah tepat. Dalam
persidangan perdata, kedua belah pihak mengumpulkan dan mengemukakan alat
bukti sebanyak-banyaknya, lalu hakim menilai berdasarkan alat-alat bukti
tersebut. Dalam persidangan perdata, hakim bersifat pasif.
28
Terdakwa tidak bisa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya bear tanpa
mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang.29
b) Pengertian Alat Bukti
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka pembuktian dalam perspektif
hukum acara pidana, dapat diartikan sebagai proses untuk membuktikan benar
tidaknya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dengan menggunakan
alat-alat bukti baik yang disajikan oleh penuntut umum, penasihat hukum
terdakwa, dan terdakwa sendiri maupun bukti-bukti baru yang ditemukan selama
persidangan, yang keseluruhan prosesnya ditentukan oleh undang-undang,
sehingga proses pembuktian dilakukan dengan benar dan sah sesuai hukum yang
berlaku.
Masalah pembuktian tidak terlepas dari hal-hal yang disebut sebagai alat
bukti. Alat bukti adalah suatu hal yang digunakan dalam hal pembuktian dalam
suatu perkara atau peradilan. Alat bukti memegang peranan penting untuk
mempengaruhi penilaian hakim dalam proses pembuktian tersebut. Alat bukti
yang kuat dan sah tentu akan memudahkan hakim menilai apakah terdakwa
bersalah atau tidak atau pihak manakah yang bersalah.
Hari Sasangka dan Lily Roswita dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, menyatakan bahwa pengertian alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana
dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
29
guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan terdakwa.30 Menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan
penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di
dalam pengadilan.31 Sedangkan menurut kamus hukum, alat bukti adalah alat yang sudah ditentukan di dalam hukum formal yang dapat digunakan sebagai
pembuktian di dalam acara persidangan. Berarti, di luar dari ketentuan tersebut
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.32
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Alat bukti dikenal dalam setiap hukum acara, baik hukum acara perdata,
hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yang berlaku di Indonesia.
Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah adalah bukti surat, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sedangkan dalam hukum acara pidana,
dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
33
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.34
30
Pengertian dari surat menurut hukum acara pidana tidak
secara definitif diatur dalam satu pasal khusus, namun dari beberapa pasal dalam
pada tanggal 14 November 2016.
diakses pada tanggal 14 November 2016.
32
Rocky Marbun, dkk, Op.Cit., hal. 14. 33
Pasal 185 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 34
KUHAP tetang alat bukti surat, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
surat adalah alat bukti tertulis yang harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya.35 Keterangan Terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri dan alami
sendiri.36
5. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yakni corruption atau corruptus
yang disalin ke berbagai bahasa. Corruptus, disalin ke dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt. Dalam bahasa Prancis, disalin menjadi
corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda itu lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.37
Coruptie juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda, artinya adalah perbuatan korup dan/atau penyuapan. Secara harfiah, istilah tersebut berarti
segala macam pebuatan yang tidak baik. Andi Hamzah mengartikan korupsi
sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.38
35
Pasal 188 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 36
Pasal 189 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 37
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 1991), hal. 7. 38
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 1.
yang secara terminologi berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada
hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan.39
Dalam arti sosial, masyarakat mengartikan korupsi sebagai penggelapan
uang, baik milik Negara atau kantor, dan menerima suap yang berhubungan
dengan jabatan atau kedudukannya. Namun, dari sudut pandang hukum, hal
tersebut tidak sederhana seperti itu. Dari sudut pandang hukum, banyak syarat
atau unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perbuatan agar dapat dikualifikasikan
sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam undang-undang.40
Beberapa ahli berpendapat bahwa, korupsi adalah penyimpangan tugas
formal dalam kedudukan resmi pemerintah, bukan hanya jabatan eksekutif tetapi
juga legislatif, partai politik, auditif, BUMN/BUMD, hingga lingkungan pejabat
di sektor swasta.41
39
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di luar KUHP, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 60.
40
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 2. 41
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk Mencegah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 10.
Subekti dan Tjirosoedibio mengartikan corruptive adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Selanjutnya
menurut Sudarto, secara harfiah kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang
rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan keuangan. Henry Campbel
mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.42
Menurut Sayed Hudin Alatas, korupsi adalah subordinasi kepentingan
umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran
norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,
pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang
diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah
untuk kepentingan pribadi. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Jeremi Pope
yang menyatakan korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk
kepentingan pribadi. Korupsi juga dapat dilihat sebagai perilaku yang tidak
mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan keputusan
di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan atau bersama-sama, baik oleh
swasta maupun publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.
Jika prinsip ini dilanggar dan keputusan yang dibuat dipengaruhi oleh hubungan
pribadi atau keluarga, maka korupsi akan timbul. Misalnya, konflik kepentingan
dan nepotisme.43
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta, korupsi
diartikan sebagai pebuatan curang, dapat disuap dan tidak bermoral. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
uang Negara atau perusahaaan atau orang lain. Sedangkan berdasarkan Black Law
Dictionary, definisi korupsi yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah
42
Ruslan Renggong, Op.Cit. hal. 60-61. 43
maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan
tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Dengan kata lain, suatu perbuatan
yang sesuatu yang tidak resmi/sah, atau dengan cara melanggar hukum,
memanfaatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan tugas dan norma yang berlaku.44
6. Pengertian Intersepsi atau Penyadapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyadapan diartikan sebagai
proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam informasi orang lain
secara diam-diam dan penyadapan itu sendiri berarti suatu proses, suatu cara, atau
perbuatan menyadap.45 Ada banyak istilah yang dipergunakan untuk menyatakan penyadapan, salah satunya adalah wiretapping. Menurut Black Law Dictionary,
wiretapping adalah suatu bentuk dari cara menguping secara elektronik. Tindakan ini dilakukan berdasarkan perintah pengadilan, yang dilakukan secara resmi,
dengan cara mendengarkan pembicaraan melalui telepon. Istilah lain yang sering
digunakan adalah interception atau intersepsi. Oxford Dictionary, mendefinisikan
intercept sebagai alat untuk memotong atau memutus komunikasi.46
Di Indonesia, istilah intersepsi dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE). Intersepsi atau
penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,
mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan
44
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Loc.Cit. 45
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 179. 46
jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran
elektromagnetis atau radio frekuensi.47
Dalam intersepsi, ada 2 istilah yang dikenal, yakni lawful interception dan
unlawful interception. Yang dimaksud dengan lawful interception adalah intersepsi yang dilakukan sesuai dengan aturan hukum atau penyadapan yang
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, yang dilakukan oleh otoritas atau
pihak yang berwenang untuk itu.
Bila dibandingkan dengan penegetian
intersepsi yang ada dalam Oxford Dictionary, maka dapat diketahui bahwa istilah
Intersepsi yang digunakan UU ITE lebih luas maknanya bila dibandingkan dengan
istilah wiretapping yang hanya merupakan tindakan menguping pembicaraan melalui telepon secara elektronik.
48
Sedangkan yang dimaksud dengan unlawful interception adalah intersepsi atau penyadapan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum dan prosedur atau tata cara yang berlaku.49
Pada dasarnya, tindakan intersepsi atau penyadapan adalah tindakan yang
dilakukan untuk mencari alat bukti yang dapat membantu dalam mencegah atau
menyelesaikan suatu kasus tindak pidana. Agar hasil intersepsi menjadi alat bukti
yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka prosedur atau tata cara
pelaksanaannya dan pihak yang melakukan intersepsi atau penyadapan harus
sesuai ketentuan undang-undang. Dengan kata lain, tindakan intersepsi yang
dibenarkan adalah lawfull interception. Dalam UU ITE suatu tindakan intersepsi
47
Penjelasan pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Iinformasi dan Transaksi Elektronik.
48
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 183. 49
atau penyadapan hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang
ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam UU Perubahan Atas UU ITE yang
diberlakukan sejak tanggal 25 November 2016, pada pasal 31 ayat (4) berbunyi:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana diatur dalam ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, maka saat ini kita tidak mempunyai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang khusus tentang tata cara intersepsi atau
penyadapan. Dalam prakteknya saat ini, tata cara intersepsi atau penyadapan
tersebar kedalam berbagai peraturan perundangan baik dalam
undang-undang yang telah ada sebelum UU ITE maupun undang-undang-undang-undang yang berlaku
setelah adanya UU ITE. Di Indonesia tindakan penyadapan untuk mencari alat
bukti telah dilegitimasi dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang yang
mengatur tata cara intersepsi atau penyadapan diantaranya adalah sebagai
berikut:50
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan dalam undang-undang ini
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, 51
50
Ibid, hal. 57-88. 51
Sedangkan bila dilihat dari penjelasan pasal tersebut, dengan tegas dinyatakan,52
2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping).
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa kewenangan yang
dimiliki seorang penyidik dalam rangka membuat terang suatu peristiwa dan
menemukan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, adalah dengan
melakukan tindakan penyadapan. Alat bukti yang didapatkan melalui hasil
penyadapan tersebut diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Hal ini
dapat dilihat pada pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU
nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada
intinya menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk dapat
diperoleh dari alat bukt i lain berupa informasi yang dikirim, diterima, disimpan,
secara elektronik.
Berdasarkan uraian diatas maka diketahui bahwa UU Pemberantasan
Tindak Pidana memperbolehkan penyidik melakukan tindakan penyadapan dalam
hal mencegah atau menemukan tindak pidana korupsi dan hasil penyadapan
berupa alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.
Terkait dengan tindakan penyadapan, Undang-Undang Tindak Pidana
52
Terorisme telah mengatur secara tegas dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b yang
menyatakan,53
Pasal 31 ayat (2) UU Terorisme ini menyatakan,
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (4), penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.
54
Ayat (3) menyatakan,
Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun;
55
a. Tindakan penyadapan baru dapat dilakukan ketika mendapat bukti permulaan
yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) sampai (4) UU ini. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Berdasarkan ketentuan yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui
bahwa tindakan penyadapan dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana
terorisme apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dengan tegas oleh
undang-undang tersebut. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
b. Tindakan penyadapan dilakukan atas pembicaraan melalui telepon atau alat
komunikasi lain
53
Pasal 31 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
54
Pasal 31 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
55
c. Penyadapan harus ditujukan terhadap orang atau sekelompok orang yang
diduga sedang mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana
terorisme.
d. Tindakan penyadapan dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
e. Tindakan penyadapan dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan, yaitu
paling lama 1 (satu) tahun.
f. Tindakan penyadapan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan
dengan memberikan atau membuat laporan kepada atasan penyidik.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Tindakan penyadapan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 31
ayat (1) UU Pemberantasn Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyatakan
dengan tegas,56
Dan ayat (2) menyatakan,
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang menyadap telepon dan alat komunikasi lain yang digunakan mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.”
57
Bila diperhatikan dengan seksama, maka dapat dilihat bahwa pengaturan
atau ketentuan tentang penyadapan pada UU Perdagangan Orang ini mirip dengan
pengaturan penyadapan pada UU Terorisme. Syarat-syaratnya pun hampir sama. Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis Ketua Pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
56
Pasal 31 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
57
Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan ketentuan penyidik di
masing-masing UU tersebut.
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Terkait dengan tindakan penyadapan, di dalam Undang-Undang tentang
Narkotika, yaitu dalam ketentuan Pasal 75 I. dikemukakan dengan tegas bahwa,58
Dalam pasal 77 secara singkat ditentukan bahwa:
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.
59
a. Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan
dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan
diterima penyidik.
b. Penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari Ketua Pengadilan.
c. Penyadapan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu
yang sama, yaitu 3 bulan.
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindakan penyadapan dapat dilakukan dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut dinyatakan secara tegas
dalam Pasal 44 ayat (1) huruf h UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yaitu bahwa,60
58
Pasal 75 I UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 59
Pasal 77 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 60
Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam undang-undang ini
yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan terhadap dugaan adanya
tindak pidana pencucian uang adalah instansi penegak hukum, bukan PPATK.
PPATK hanya merekomendasikan pentingnya untuk melakukan intersepsi atau
penyadapan.
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
Pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan dal undang-undang ini
terdapat dalam pasal 31, yang menyatakan bahwa,61
a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, buda ya, pertahanan dan keamanan dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan/atau Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan:
b. Kegiatan terorisme, separatism, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang
menjalani proses hukum.
Pada pasal 32 ayat (2) ditentukan bahwa,62
a. Untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;
Penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dalam pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:
b. Atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan
61
Pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. 62
c. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
Yang terakhir, pada pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa,63
7. Tanggapan-Tanggapan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang intelijen diatas, dapat
diketahui bahwa, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara,
sasarannya ditentukan secara limitatif atau terbatas sesuai dengan pasal 31 yang
telah dikemukakan, dan juga harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang
terdapat dalam pasal 32 tersebut.
Undang-undang yang telah disebutkan diatas, secara tegas mengakui
diperbolehkannya melakukan tindakan intersepsi atau penyadapan. Namun, tidak
semua undang-undang mengatur secara jelas dan terperinci mengenai tata cara
tindakan penyadapan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus
mengenai intersepsi atau penyadapan yang dibuat dalam suatu ketentuan
perundang-undangan tersendiri agar tidak terjadi ketidakpastian hukum dan
dualisme norma dalam pelaksanaannya.
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016,
menimbulkan beberapa tanggapan terkait putusan tersebut terhadap keabsahan
rekaman CCTV. Pendapat-pendapat inilah yang semakin mendorong penulis
untuk meneliti dan menulis skripsi ini. Diantaranya adalah :
63
1) Tanggapan Jaksa Agung HM Prasteyo
Jaksa Agung HM Prasetyo memberikan tanggapan terkait Putusan MK
nomor 20/PUU-XIV/2016 sebagai berikut64
2) Hotman Paris Hutapea
.
"Dikabulkannya gugatan tentang keabsahan dari informasi elektronik atau dokuken dalam bentuk rekaman dan sebagainya dimana dinyatakan di sana bahwa bukti rekaman baru dinyatakan sah kalau diminta resmi oleh jaksa, polisi atau penegak hukum lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi kesulitan bagi pemutus hukum, " papar dia. "Begitu pun dengan rekaman CCTV itu tidak bisa dipergunakan untuk jadi alat bukti sah karena atau kalau tidak diminta oleh penegakan hukum. Alat elektronik Itu kan petunjuk yang sangat bermanfaat untuk proses penegakkan hukum," imbuh Prasetyo.
Hotman Paris memberikan tanggapan terkait Putusan MK nomor
20/PUU-XIV/2016 yang dikaitkannya dengan alat bukti rekaman CCTV pada kasus “kopi
sianida” yang dihadapi oleh Jessica Kumala Wongso. Berikut adalah tanggapan
Hotman Paris65
Hotman mengatakan hal itu dengan merujuk putusan ,
dijadikan bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebuah kasus. "Jika merujuk dari putusan MK itu, maka rekaman CCTV kasus dengan terdakw Rekaman CCTV baru sah sebagai alat bukti kalau rekaman dibuat atas permintaan penegak hukum," kata Hotman, melalui pernyataan tertulis yang telah dikonfirmasi Kompas.com
3) Muzakir
, Jumat (7/10/2016) pagi.
Muzakir menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
20/PUU-XIV/2016 pada saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada persidangan
kasus “kopi sianida” Jessica Kumala Wongso mengenai rekaman CCTV yang
dijadikan alat bukti. Berikut adalah tanggapan Muzakir66
1. Jenis Penelitian
.
Muzakir menerangkan hasil uji materi Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah. Menurutnya, dokumen dan informasi elektronik saat ini tak bisa lagi dipakai jika yang mengambil bukan aparat penegak hukum.
“Ini tentang konstitusionalitas pasal 5, maka kesimpulan MK, dokumen informasi dan elektronik itu bisa jadi alat bukti jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaann penyidik atau penuntut umum,” katanya.
Menurut Muzakir, putusan MK tentang pasal yang mengatur dokumen elektronik tersebut bisa membuat rekaman CCTV tak bisa dipakai sebagai alat bukti. “Kalau dulu cukup dikatakan sebagai alat bukti yang sah, sekarang ada syaratnya. Yaitu, [CCTV] bisa jadi alat bukti apabila dilakukan atas permintaan penyidik atau penegak hukum,” katanya.
“Jadi kalau ada rekaman CCTV atau dokumen elektronik, penggunaannya tidak bisa jadi alat bukti kecuali atas permintaan penyidik. Jadi ini masalahnya soal intepretasi,” tegasnya.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normative), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normatif ini disebut juga penelitian
hukum doctrinal, sebagaimana dikemukakan oleh Wigjoesoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut:
66
a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi huku m positif.
b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah
(dogma atau doktrinal) hukum positif.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.
Jhony Ibrahim memberikan pendapat bahwa dalam melakukan penelitian
normatif dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu:
a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) b. Pendekatan Analisis (analytical approach)
c. Pendekatan Historis (historical approach) d. Pendekatan Fisafat (philosophical approach) e. Pendekatan Kasus (case approach)
Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian hukum yuridis normatif dengan
melakukan pendekatan terhadap perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan dalam skripsi ini (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena dalam skripsi ini membahas tentang kedudukan suatu
alat bukti berdasarkan dari suatu keputusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi melakukan pengujian terhadap pasal atau ayat pada suatu
undang-undang tertentu apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 atau tidak. Selain itu pendekatan perundang-undangan ini diperlukan
pemasalahan skripsi ini terdapat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Republik Indonesia.
Selain pendekatan perundang-undangan, skripsi ini juga menggunakan
pendekatan analisis atau analytical approach, untuk mengetahui makna-makna yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait guna
menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
2. Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder.
Data-data sekunder tersebut diperoleh dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen-dokumen peraturan yang berkaitan
dengan permasalahan skripsi ini, yang berlaku serta mengikat yang ada di
Republik Indonesia, yaitu Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 11 Tahun 2008
tentang ITE, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU ITE, UU
No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen-dokumen yang merupakan
informasi atau bahan kajian yang berkaitan dengan alat bukti dan alat bukti
elektronik, berupa buku, jurnal, karya tulis yang berkaitan dengan alat bukti
elektronik baik dalam tindak pidana korupsi atau tindak pidana lainnya, dan
beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu dokumen-dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini digunakan metode Penelitian
Kepustakaan atau Library Research, yaitu penelitian yang memanfaatkan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah,
internet, pendapat sarjana, jurnal, dan bahan yang lain yang dapat membantu
penulisan skripsi ini. Penulis juga mencantumkan sumber dari bahan yang di kutip
atau diambil, karena hal tersebut adalah prosedur yang dituntut untuk dipenuhi
secara tertib dalam metode pengumpulan atau pengambilan data.67
4. Analisis Data
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dikumpulkan, diurutkan,
kemudian dibentuk dalam suatu pola, kategori, dan uraian dasar. Analisa data
dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif, yaitu menganalisa secara
lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, buku, informasi dari internet dan sumber lainnya yang
diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi
ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:
67
BAB I adalah Bab Pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan,tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB II membahas tentang pengaturan alat bukti dan alat bukti elektonik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia, dalam bab ini juga akan
dibahas mengenai sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia.
BAB III membahas tentang kekuatan pembuktian rekaman CCTV yang merupakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sebagai alat bukti
dalam tindak pidana korupsi, dan mengemukakan kasus-kasus korupsi yang
menggunakan rekaman CCTV sebagai alat buktinya.
BAB IV membahas tentang kedudukan rekaman CCTV tersebut dalam tindak pidana korupsi setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan
Nomor 20/PUU-XIV/2016. Dalam bab IV akan membahas analisis kasus yang
menyebabkan diajukannya permohonan uji materi tersebut, pertimbangan dan
putusan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bagaimana
kedudukan alat bukti rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi setelah
keluarnya putusan tersebut. Penulis tidak bermaksud membandingkan kedudukan
rekaman CCTV antara sebelum dan sesudah keluarnya putusan MK tersebut,
melainkan penulis ingin mengkaji maksud daripada putusan tersebut dan meneliti
pengaruhnya kepada alat bukti elektronik yang berbentuk berbentuk rekaman
Dan yang terakhir, BAB V berisi kesimpulan dan saran dari penulis. Jumlah kesimpulan dibuat berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan