• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 PUU-XIV 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 PUU-XIV 2016"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

A. Latar Belakang

Era globalisasi bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi

transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan

antar bangsa. Disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa,

berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti Negara,

konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, sekularisme, juga industri dan

perusahaan media massa. 1

Kata globalisasi merupakan serapan dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris

globalization. Kata globalization berasal dari kata global yang berarti universal yang mendapat imbuhan -lization yang bisa dimaknai sebagai proses. Bila melihat asal mula katanya, globalisasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran

unsur-unsur baru baik berupa informasi, pemikiran, gaya hidup maupun teknologi secara

mendunia. Globalisasi diartikan sebagai suatu proses dimana batas-batas suatu

negara menjadi semakin sempit karena kemudahan interaksi antara negara baik

berupa pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, gaya hidup dan

bentuk-bentuk interaksi yang lain.2

Penyebaran unsur baru yang dibawa oleh globalisasi tersebut, tentu akan

mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Manusia sebagai mahkluk sosial,

maksudnya adalah bahwa manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam

1

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 3.

2

(2)

kehidupannya, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Karena itu,

seorang manusia pasti akan melakukan interaksi dengan orang lain. Globalisasi

juga akan mempengaruhi dan menimbulkan efek terhadap interaksi manusia

tersebut.

Dengan adanya globalisasi, teknologi semakin lama semakin canggih.

Namun, bagaimana bila teknologi yang sangat canggih tersebut digunakan untuk

kejahatan ? Semakin berkembang masyarakat, maka kejahatan juga semakin

berkembang. Hal tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh

Achmad Sodiki, yaitu mengingat kejahatan itu setua usia kehidupan manusia,

maka tingkat dan ragam kejahatan juga mengikuti realitas perkembangan

kehidupan manusia. Kecenderungannya terbukti, bahwa semakin maju dan

modern kehidupan masyarakat, maka semakin maju dan semakin modern pula

jenis dan modus operandi kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.3

Lebih lanjut Achmad Sodiki menyatakan, bahwa dalam setiap perubahan,

pasti ada komunitas yang gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman yang

berorientasi pada penegakan nilai-nilai positif. Kegagalan beradaptasi ini,

merupakan cermin dari kondisi pluralitas masyarakat yang memang tidak selalu

sama kapabilitas ekonomi, moral, dan psikologisnya. Ada individu atau

sekelompok orang yang bisa dengan mudah membaca dan beradaptasi dengan

perubahan tanpa harus meninggalkan norma-norma yang berlaku atau

mengikatnya, namun ada juga individu dan komunitas yang gagal menyesuaikan

3

(3)

diri atau takluk dengan perubahan-perubahan yang terjadi.4

Disamping efek negatif, kemajuan teknologi sebagai efek dari globalisasi,

juga membawa dampak positif yang sangat besar terhadap perkembangan dunia,

tidak terkecuali di Negara Indonesia. Ditengah kondisi negara yang sedang

berkembang, kemajuan teknologi memegang peranan penting. Misalnya dari segi

pembangunan sarana dan prasarana umum. Apabila pembangunan jalan tol atau

jembatan besar dilakukan tanpa menggunakan alat-alat berat, tentu akan memakan

waktu yang sangat lama dan menguras tenaga para pekerja serta menambah resiko Individu dan

komunitas yang gagal inilah yang akan menimbulkan permasalahan dalam

masyarakat, termasuk masalah hukum. Perkembangan teknologi yang semakin

maju, tidak digunakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku sehingga

menyebabkan bentuk-bentuk kejahatan menjadi semakin beragam.

Untuk mengatasi masalah kejahatan yang semakin beragam tersebut,

diperlukan norma hukum yang memadai. Yang menjadi masalah adalah bahwa

perkembangan norma hukum selalu terlambat apabila dibandingkan dengan

perkembangan masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat akan selalu

berkembang dan semakin berkembang, sedangkan norma hukum berkembang

dengan mengikuti perkembangan masyarakat. Otomatis hal ini menyebabkan

norma hukum selalu terlambat dalam mengatasi permasalahan hukum di

tengah-tengah masyarakat yang berkembang. Oleh karena itu, para penegak hukum dan

pemerintah yang terlibat dalam pembentukan norma hukum harus sigap dan

tanggap dalam mengatasi perkembangan zaman ini.

(4)

kerja. Dengan adanya alat-alat berat dan truk-truk pengangkut, maka waktu,

tenaga, dan resiko kerja dapat diminimalisir. Hal tersebut akan mempercepat

proses pembangunan di Indonesia.

Demikian halnya dalam perkembangan hukum di Indonesia. Kemajuan

Ttknologi tidak hanya berdampak negatif seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, tetapi juga memberikan dampak positif. Teknologi juga dapat

digunakan untuk membantu menyelesaikan suatu kasus. Dalam dunia hukum,

perkembangan teknologi informasi telah melahirkan suatu rezim hukum baru yang

dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Secara Internasional, Hukum

siber atau cyber law digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan

pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dalam hal hukum

pidana. Tindak pidana pengalahgunaan teknologi informasi yang terkait dengan

penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik telah

menimbulkan beberapa masalah hukum, khususnya dalam hal pembuktian.5

Salah satu peran teknologi dalam hal pembuktian adalah sebagai alat bukti

dalam proses persidangan, terutama dalam kasus-kasus tindak pidana yang sangat

sulit untuk dibuktikan. Penyidik dan penegak hukum lainnya sering mengalami

kesulitan dalam hal menemukan bukti dan dalam hal membuktikan bahwa

terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal yang

didakwakan kepadanya. Hal tersebut disebabkan karena banyak faktor, misalnya

tidak ada saksi yang melihat langsung perbuatan tindak pidana tersebut, atau

5

(5)

kejahatan dilakukan melalui dunia maya. Bagaimana mungkin penegak hukum

dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila perbuatannya tidak tampak

secara nyata.

Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara

(pidana) di pengadilan. Melalui ‘ruang’ yang disebut pembuktian itu, persidangan

dilakukan dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran. Pembuktian

dibatasi oleh ketentuan tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.6

6 Ibid.

Bila tidak terbukti

dikarenakan kurang atau tidak adanya adanya alat bukti yang sah dan

meyakinkan, maka terdakwa akan dibebaskan. Dengan berbagai kemajuan

teknologi, terutama teknologi informasi dan transaksi elektronik seperti sekarang,

tentu akan meringankan tugas-tugas para penegak hukum, dan

hambatan-hambatan dalam pembuktian seperti diatas dapat teratasi.

Seiring dengan perkembangan peraturan hukum di Indonesia, alat bukti

yang dapat digunakan, kini tidak terbatas pada alat bukti yang terdapat dalam

Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ayat 1

menyatakan:

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah merupakan alat bukti yang sah.

Pada ayat 2 dinyatakan:

(6)

cetaknya tersebut adalah merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Dengan berlakunya alat bukti elektronik ini, maka proses pembuktian

dalam pengadilan akan sangat terbantu karena tidak dibatasi oleh hukum acara

sebelumnya, baik dalam hukum acara pidana maupun hukum acara lainnya.

Penggunaan alat bukti elektronik sangat diperlukan mengingat terbatasnya

alat bukti yang terdapat dalam KUHAP dalam proses pembuktian tindak pidana

seperti Tindak Pidana Siber (Cyber Crime). Tidak hanya tindak pidana siber, penggunaan alat bukti elektronik juga bermanfaat untuk membuktikan tindak

pidana lainnya. Josua Sitompul mengutip pendapat Peter Sammer yang

menyatakan:7

Berdasarkan pendapat Peter Sammer diatas, maka dapat diketahui bahwa

dengan adanya alat bukti elektronik, hampir segala bentuk tindak pidana akan

dipermudah pembuktiannya, termasuk tindak pidana korupsi. Tindak Pidana

Korupsi yang merupakan kejahatan yang tergolong extraordinary crime, dalam pembuktiannya membutuhkan banyak alat bukti termasuk alat bukti elektronik.

Mengingat bahwa teknik-teknik yang dilakukan para pelaku korupsi agar tidak “The need for digital evidence is not confined to obvious cybercrime events such as hacking, fraud and denial of service attacks, … it’s also required when transactions are disputed, in employee disputes, and almost all forms of non-cyber crime, including murder, forgery, industrial espionage and terrorism. With the vast proliferation of computer ownership and usage plus the growth of low-cost always-on broadband connectivity, all organizations require a Forensic Readliness Program.

7

(7)

diketahui oleh para penegak hukum semakin beragam, maka alat bukti yang

diperlukan untuk membuktikan perbuatannya juga semakin banyak.

Pada tanggal 07 September 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut

adalah hasil Pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan keabsahan alat

bukti elektronik dalam UU ITE dan UU Tipikor. Pengujian Undang-Undang

tersebut dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto yang

diwakili oleh tim kuasa hukumnya. Pada amar putusannya, Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas

permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.

Putusan tersebut menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE

yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 25 November 2016.

Selain terhadap pasal UU ITE, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan

permohonan pemohon yang memohon memberikan tafsiran terhadap Pasal 26A

UU Tipikor. Bunyi amarnya yaitu, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik” dalam pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

(8)

Indonesia sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti yang dilakukan dalam rangka

penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi

penegak hukum lainnya.

Latar belakang diajukannya permohonan pengujian undang-undang ini

memiliki keterkaitan dengan rekaman pembicaraan Setya Novanto yang akan

dijadikan alat bukti. Perekaman tersebut dilakukan tanpa persetujuan dan tanpa

sepengetahuan yang bersangkutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), tindakan perekaman secara diam-diam adalah merupakan penyadapan.

Penyadapan adalah proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam

informasi orang lain atau pembicaraan orang lain yang dilakukan dengan sengaja

secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan orang lain orang yang bersangkutan.8

Salah satu bentuk alat bukti elektronik adalah rekaman CCTV. Saat ini

rekaman CCTV sudah banyak dipergunakan sebagai alat bukti untuk mengungkap

atau membuktikan berbagai tindak pidana. Pemasangan kamera CCTV bertujuan

untuk alasan pengawasan atau pengamanan di tempat-tempat publik seperti di

pusat perbelanjaan, bandara, jalan raya, dan tempat-tempat umum lainnya. Kini,

pengawasan dengan CCTV juga sudah banyak dilakukan di tempat-tempat seperti

ruang kerja, rumah, ruangan pejabat dan sebagainya. Perekaman dengan CCTV

sangat bermanfaat, terutama dalam hal pengawasan atau sebagai bukti apabila

telah terjadi tindak pidana. Namun, perekaman CCTV berpotensi mengancam hak

8

(9)

privasi orang yang terekam di dalamnya. Hal tersebut disebabkan oleh

perkembangan perangkat CCTV yang semakin canggih. Kini, CCTV dapat

dipasang secara tersembunyi, dan juga dapat merekam suara.

Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016,

lantas Apakah rekaman CCTV sah sebagai alat bukti ? Apakah hal tersebut

termasuk tindakan intersepsi ? Lantas, bagaimana kekuatan pembuktiannya bila

rekaman CCTV digunakan sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus korupsi ?

Bagaimana pula kedudukannya setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 20/PUU-XIV/2016. Oleh Karena itu Penulis tertarik untuk meneliti hal

tersebut dan menulis skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SETELAH KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XIV/2016”. Penulis merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam rumusan masalah sebagai berikut.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Pengaturan Alat Bukti dan Alat Bukti Elektronik dalam

Hukum Acara Pidana di Indonesia ?

2. Bagaimanakah Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Penyelesaian

Tindak Pidana Korupsi ?

3. Bagaimanakah Kedudukan Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak

pidana korupsi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

(10)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui dan memahami mengenai Pengaturan alat bukti dan alat bukti

elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, serta memahami sistem

pembuktian yang ada di Indonesia

2. Mengetahui dan memahami kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam

penyelesaian tindak pidana korupsi.

3. Mengetahui dan memahami kedudukan rekaman CCTV sebagai alat bukti

dalam tindak pidana korupsi setelah keluarnya putusan mahkamah konstitusi

nomor 20/PUU-XIV/2016.

Adapun manfaat dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap bahwa pengetahuan

masyarakat mengenai rekaman CCTV sebagai alat bukti dapat bertambah,

terutama dalam penyelesaian tindak pidana korupsi setelah dikeluarkannya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016. Penulis juga berharap

bahwa dengan membaca skripsi ini, pembaca tidak lagi salah pengertian terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seperti pendapat beberapa orang yang

penulis kemukakan dalam tinjauan pustaka angka 7 skripsi ini.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan penulis adalah agar penggunaan

(11)

dalam hal pengambilan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

tersebut, haruslah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku saat ini, sehingga

keabsahan alat bukti elektronik tersebut dapat diakui oleh pengadilan. Dan tidak

melanggar hak hak asasi masyarakat mengenai privasi mereka, sesuai dengan

pertimbangan hakim dalam Putusan MK no. 20/PUU-XIV/2016.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini dengan judul “Kedudukan Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti

dalam Tindak Pidana korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 20/PUU-XIV/2016 sudah pasti memiliki keterkaitan dengan penulisan

yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Judul skripsi yang hampir mirip dengan

judul skripsi penulis, yaitu Informasi Dan Dokumen Elektronik Sebagai Alat

Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Dibandingkan Dengan UU No. 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Analisi Putusan

No:64/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn). Skripsi ini ditulis oleh Oktanta Ginting Suka

(NIM: 110200248) yang membahas tentang penggunaan informasi dan dokumen

elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus tindak pidana korupsi baik

dalam UU nomor 31 Tahun 1999 jo. UU nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam UU nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik a) Informasi Elektronik

(12)

bentuk yang memiliki arti atau makna bagi si penerima dan bermanfaat bagi

pengambilan keputusan saat ini ataupun di masa yang akan datang.9 Menurut Tata Sutabri, informasi dapat diartikan sebagai data yang telah diklasifikasikan atau

dikelompokkan atau diolah atau diinterpretasikan untuk dipergunakan dalam

proses pengambilan keputusan. Anton Meliono mendefinisikan informasi sebagai

data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud

adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan.10 Rahmani, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Telematika menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan informasi adalah data yang mencakup semua fakta yang direpresentasikan

sebagai input yang berbentuk untaian kata (teks), angka (numeric), gambar pencitraan (images), suara (voice), ataupun gerak(sensor), yang telah diproses atau telah mengalami perubahan bentuk atau penambahan nilai menjadi suatu bentuk

yang lebih berarti atau bermaanfaat.11

Secara umum, pengertian elektronik adalah ilmu yang mempelajari alat

listrik yang dioperasikan dengan cara mengontrol aliran elektron atau partikel Berdasarkan definisi informasi yang diungkapkan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa informasi adalah data atau sekumpulan data yang data yang

merupakan fakta-fakta yang telah diolah sedemikian rupa sesuai fakta yang ada

atau bahkan yang telah dimanipulasi untuk keperluan tertentu ke dalam berbagai

bentuk yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya, serta dipergunakan untuk tujuan tertentu.

9

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit. hal. 175. 10

Ibid. 11

(13)

bermuatan listrik lainnya dalam suatu alat seperti katup termionik dan semi

konduktor.12 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, elektronik adalah alat-alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika atau benda

yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronika.13

Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik menurut UU ITE adalah satu

atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegrams, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Menurut penulis, kedua definisi elektronik diatas berbeda, namun

memiliki keterkaitan. Definisi pertama menyatakan bahwa elektronik adalah ilmu,

sedangkan definisi yang kedua menyatakan elektronik adalah suatu hal atau suatu

benda. Meskipun berbeda, penulis beranggapan bahwa keduanya adalah satu

kesatuan. Elektronik adalah alat atau benda atau sesuatu hal yang menerapkan

ilmu elektonik sebagaimana yang terdapat pada definisi pertama. Berdasarkan

pengertian informasi dan elektronik diatas, maka dapat dikatakan informasi

elektronik adalah informasi atau data yang memiliki berbagai bentuk yang diambil

atau diperoleh atau diolah dengan alat-alat elektronik.

14

12

Ibid, hal. 178.

Dengan demikian dapat

ditarik suatu definisi informasi elektronik, yaitu informasi atau data berbentuk

13

14

(14)

elektronik yang memiliki berbagai jenis dan bentuk yang diambil atau diperoleh

dari suatu alat elektronik..

b) Dokumen Elektronik

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,

diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.15

2. Pengertian Rekaman CCTV

Artinya, dokumen

elektronik adalah setiap informasi elektronik yang telah diolah kembali agar

dapat dilihat atau dapat diterima oleh indera manusia melalui komputer atau

sistem elektronik.

CCTV merupakan sebuah perangkat sistem komputer menggunakan

kamera video untuk menampilkan dan merekam gambar pada waktu dan tempat

dimana kamera tersebut terpasang. CCTV adalah singkatan dari kata Closed Circuit Television, artinya televisi yang menggunakan sinyal yang bersifat tertutup atau rahasia. Televisi biasa pada umumnya menggunakan broadcast signal, atau sinyal yang tersebar, tidak hanya pada satu monitor. CCTV pada umumnya digunakan sebagai pelengkap sistem keamanan dan banyak digunakan

15

(15)

di berbagai lokasi seperti bandara, kemiliteran, kantor, pabrik, dan toko. Bahkan,

CCTV sudah dipasang dalam lingkungan rumah pribadi.16 Secara umum, yang dimaksud dengan CCTV adalah sebuah kamera pengawasan atau keamanan yang

menghasilkan audio visual yang menjadikan kita mampu untuk mengetahui

hal-hal yang direkam atau ditangkap oleh kamera CCTV. Beberapa ahli juga

memberikan definisi CCTV, yaitu:17

1) Menurut Ansel Adams, CCTV adalah sebuah media audio visual yang sangat kuat. Dan CCTV sangat menawarkan berbagai persepsi yang menawarkan sebuah interpretasi dan eksekusi yang tak terbatas. CCTV menjadi bentuk kamera pengamanan dan pemonitoran akan segala kejadian.

2) Menurut Elliot Erwint, CCTV adalah sebuah alat untuk mengeksplorasi seni observasi yang akan menemukan sebuah hal yang luar biasa pada tempat yang memungkinkan akan segala kejadian. Dengan fotografi juga akan menjadikan sebuah tempat dengan visual yang biasa akan menjadi sebuah hal yang lebih klasik dan unik. CCTV juga bisa menjadi sebuah bentuk perbedaaan antara kebanyakan orang lihat dan apa yang kamu lihat.

3) Menurut Amir Hamzah, CCTV adalah sebuah bentuk alat untuk merekam dan juga memfoto akan segala kejadian yang terjadi pada sebuah tempat.

Menurut Herman Dwi Surjono, Closed Circuit Television (CCTV) merupakan alat perekaman yang menggunakan satu atau lebih kamera video dan

menghasilkan data video atau audio. CCTV memiliki manfaat sebagai dapat

merekam segala aktifitas dari jarak jauh tanpa batasan jarak, dapat memantau dan

merekam segala bentuk aktifitas yang terjadi dilokasi pengamatan dengan

menggunakan laptop atau komputer secara real time dari mana saja, dan dapat

16

diakses tanggal 21 November 2016.

17

(16)

merekam seluruh kejadian secara 24 jam, atau dapat merekam ketika terjadi

gerakan dari daerah yang terpantau. CCTV merupakan penggunaan kamera video

yang mentransmisi sinyal atau penyiaran tertuju kepada lingkup perangkat

tertentu, yakni kepada seperangkat monitor ‘spesifik-terbatas’. Penyiaran CCTV

tidak secara ‘bebas’ dapat ditangkap oleh monitor lain selain monitor

‘spesifik-terbatas’ yang telah disediakan. CCTV kini sudah sering dimanfaatkan untuk

melakukan pengawasan pada suatu area tertentu, terutama untuk keperluan

pengamanan dan pengamatan kondisi suatu tempat tertentu.18

Di zaman yang semakin modern, CCTV semakin beragam. CCTV terbagi

atas beberapa jenis atau bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut :

Berdasarkan pengertian dan penjelasan tentang CCTV diatas , maka dapat

dipahami bahwa yang dimaksud dengan rekaman CCTV adalah merupakan

rekaman atau hasil dari kegiatan perekaman yang dilakukan oleh perangkat

CCTV. Perlu digaris bawahi, gambar yang didapatkan dari pemasangan kamera

CCTV tersebut hanya dapat dilihat oleh pemilik CCTV atau orang yang menjaga

monitor, karena sifatnya yang Closed Sircuit atau sirkuit tertutup, tidak seperti televisi yang menyiarkan berita dan sebagainya.

19

1) Ptz Camera

PTZ adalah singkatan dari Pan Tilt Zoom

18

. PAN adalah kemampuan kamera untuk dapat bergerak ke kiri dan ke kanan. Tilt adalah kemampuan kamera dapat bergerak ke atas dan kebawah, dan Zoom adalah kemampuan

diakses

tanggal 21 November 2016. 19

(17)

kamera untuk memperbesar gambar hingga beberapa kali lipat. Kamera PTZ biasa digunakan untuk memantau wilayah yang luas dengan menggunakan 1 kamera. Ini akan memudahkan pengawas CCTV dalam mengawasi dengan menggunakan 1 kamera.

2) Dome Camera

Kemera ini memiliki nama Dome karena bentuknya yang seperti kubah. Tujuan kamera ini berbentuk adalah agar arah dari kamera CCTV tidak terlihat atau tersembunyi, tapi perangkatnya terlihat oleh kasat mata.

Dome Camera ada beberapa tipe, diantaranya adalah tipe fix camera yaitu kamera yang hanya mengarah ke 1 arah dan ada juga yang dapat berputar dengan cepat, yaitu

3) Bullet Camera

Speed Dome.

CCTV ini biasanya digunakan di dalam ruangan (indoor) dan diluar ruangan (outdoor). Bullet Camera dipasang pada dinding ataupun langit-langit suatu ruangan. Kamera jenis ini tidak dirancang untuk memiliki pan / tilt / zoom control

4) Box Camera

merupakan kamera tipe fix dengan tujuan menangkap gambar dari area yang tetap.

Box Camera mempunyai kemampuan zoom dengan penempatan pemasangan pada bidang vertikal. Kekurangan kamera jenis ini membutuhkan pencahayaan untuk dapat menangkap gambar dengan jelas. Sesuai dengan namanya, kamera ini memiliki bentuk seperti box atau kotak.

5) Board Camera

Board Camera biasanya terhubung pada media komputer. Board Camera pada umumnya memiliki resolusi yang rendah, karena biasanya

board camera

6) Day/Night Camera

digunakan untuk aplikasi teleconference standar.

Kelebihan kamera tipe day/night

.

adalah dapat merubah berbagai kondisi cahaya untuk disesuaikan dengan sinar matahari langsung.

(18)

7) Spy Camera

Dinamakan spy camera atau convert camera

8) Ip Camera / Network Camera

karena memang bertujuan untuk memata-matai. Bentuknya terbagi dalam berbagai variasi seperti jam, smoke detector, pulpen dan sebagainya.

Kamera jenis ip / network baik dengan kabel ataupun wireless cabel

dapat dipasang dengan mudah. Pada umumnya, ip camera mempunyai tingkat resolusi gambar yang lebih tinggi dibandingkan kamera CCTV analog. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan ip camera, seperti area lokasi yang akan dipasang ip cam tipe

wireless harus tersambung dengan jaringan wireless internet, dan untuk tipe ip camera dengan kabel jarak penarikan kabel ke switch hub / router

hanya 80-100meter dengan menggunakan kabel UTP. Beberapa kekurangan ip camera

9) Wireless Camera

: 1. karena mempunyai resolusi yang tinggi membutuhkan kapasitas hard drive yang lebih besar, 2. Membutuhkan alat tambahan untuk penguat penerima sinyal untuk lokasi yang jauh, 3. membutuhkan pengertian konfigurasi internet bila memasang ip camera

dalam jumlah banyak.

Tidak semua kamera wireless CCTV berbasis IP , beberapa dari kamera jenis wireless dapat menggunakan model alternatif dalam transmisi wireless. Seperti namanya, kamera CCTV ini tidak menggunakan kabel untuk menyampaikan gambar ke monitor.

10) HD (High-definition) Camera

Kamera dengan spesifikasi HD memiliki kualitas gambar yang sangat baik. Kamera High-Definition memiliki kemampuan digital zoom yang

11) Outdoor Camera

membantu untuk memperbesar gambar dengan sangat jelas.

Outdoor camera adalah sebuah kamera yang mampu bertahan disegala kondisi cuaca, mempunyai bahan material yang baik, tahan air, kedap udara terhindar dari masuknya debu.

12) Varifocal Camera

(19)

13) IR (Infrared Camera)

Infrared Camera disebut juga night vision camera

3. Pengertian Kedudukan Rekaman CCTV

. Kamera ini mampu melihat pada malam hari bahkan gelap gulita dengan menggunakan lampu

IR LED. Infrared Camera menghasilkan gambar hitam putih pada saat malam hari.

Kedudukan dapat diartikan sebagai berarti status. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kedudukan sering dibedakan antara pengertian kedudukan (status) dan

kedudukan sosial (status sosial). Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi

seseorang dalam suatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat

seseorang dalam lingkungan pergaulannya, serta hak-hak dan kewajibannya. Kedua

istilah tersebut memiliki arti yang sama dan digambarkan dengan kedudukan (status)

saja. Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu tempat tertentu.

Kedudukan dapat juga diartikan sebagai keadaan yang sebenarnya.20

20

Berdasarkan pengertian kedudukan diatas, yang dimaksud dengan kedudukan

rekaman CCTV dalam skripsi ini adalah status dan keadaan sebenarnya rekaman

CCTV. Bila dikaitkan dengan judul skripsi ini, secara jelasnya dapat dipahami bahwa

yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status atau keadaan sebenarnya

mengenai rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi, setelah

Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 20/PUU-XIV/2016.

(20)

4. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti a) Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah pekerjaan yang paling utama di antara proses panjang

penegakan hukum pidana. Pada pembuktian dipertaruhkan nasib terdakwa, dan

pada pembuktian ini pula titik sentral pertanggungjawaban hakim dalam segala

bidang, yakni intelektual, moral, ketepatan hukum, dan yang tidak kalah penting

ialah pertanggungjawabannya kepada Tuhan Yang Maha Esa mengenai putusan

yang diambilnya. Bagaimana amar putusan yang akan ditetapkan oleh hakim,

seluruhnya bergantung pada hasil pekerjaan pembuktian di dalam sidang

pengadilan.21 Hal senada diungkapkan oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

sidang di pengadilan. Pembuktian menentukan nasib terdakwa. Apabila hasil

pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang “tidak cukup”

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa

“dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat

dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, maka terdakwa

dinyatakan “bersalah” dan dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, hakim harus

hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembukt ian.22

21

Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia , (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 358.

22

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 273.

Andi Hamzah juga menegaskan bahwa pembukt ian adalah bagian yang terpenting

(21)

hak asasi manusia.23

Secara etimologis, kata “pembuktian” berasal dari kata “bukti” artinya

“sesuatu yang dapat menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, kemudian mendapat

awalan “pem” dan akhiran “an”, artinya proses perbuatan, cara membuktikan

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.24

Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan pembuktian adalah

suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran

tentang suatu peristiwa. Kegiatan yang dijalankan dalam sidang pengadilan, pada

dasarnya adalah upaya untuk merekonstruksi atau melukiskan kembali suatu

peristiwa yang sudah berlalu. Sempurna tidaknya rekonstruksi tersebut bergantung

pada proses pembuktian.25 Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan, ataupun dipertahankan sesuai

hukum acara yang berlaku.26 Menurut J.C.T. Simorangkir, pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak

mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar

supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan.27

Dalam kamus hukum yang disusun oleh Rocky marbun dkk, pembuktian

diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim

yang memeriksa suatu perkara, guna memberikan kepastian tentang kebenaran

23

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 249.

24

Andi Softan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 230.

25

Adami Chazawi, Loc.Cit. 26

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm. 7. 27

(22)

peristiwa yang dikemukakan.28

M. Yahya Harahap memberikan pengertian pembuktian yang ditinjau dari

segi hukum acara pidana yakni, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan

dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut

umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara

dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Penegak hukum tidak

dibenarkan bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam

mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Bila ditinjau dari segi sistem peradilan hukum

pidana, pengertian tersebut cakupannya lebih sempit. Alasannya adalah karena

dari penggunaan kata “penyajian alat bukti kepada hakim”, maka pembuktian

dianggap sebagai pekerjaan penuntut umum, penasihat hukum, dan terdakwa.

Kenyataannya, dalam proses pembuktian sidang pidana hakim bersifat aktif dalam

menemukan fakta-fakta dan bukti baru di persidangan. Misalnya, dalam

memperoleh fakta baru melalui keterangan saksi, hakim memiliki hak untuk

bertanya dan mencari sendiri kebenarannya. Oleh karena itu, pembuktian tidak

hanya pekerjaan penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, dan terdakwa saja,

tetapi juga hakim. Namun, bila yang ditinjau adalah proses pembuktian dalam

sistem peradilan perdata, maka pengertian tersebut sudah tepat. Dalam

persidangan perdata, kedua belah pihak mengumpulkan dan mengemukakan alat

bukti sebanyak-banyaknya, lalu hakim menilai berdasarkan alat-alat bukti

tersebut. Dalam persidangan perdata, hakim bersifat pasif.

28

(23)

Terdakwa tidak bisa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya bear tanpa

mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang.29

b) Pengertian Alat Bukti

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka pembuktian dalam perspektif

hukum acara pidana, dapat diartikan sebagai proses untuk membuktikan benar

tidaknya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dengan menggunakan

alat-alat bukti baik yang disajikan oleh penuntut umum, penasihat hukum

terdakwa, dan terdakwa sendiri maupun bukti-bukti baru yang ditemukan selama

persidangan, yang keseluruhan prosesnya ditentukan oleh undang-undang,

sehingga proses pembuktian dilakukan dengan benar dan sah sesuai hukum yang

berlaku.

Masalah pembuktian tidak terlepas dari hal-hal yang disebut sebagai alat

bukti. Alat bukti adalah suatu hal yang digunakan dalam hal pembuktian dalam

suatu perkara atau peradilan. Alat bukti memegang peranan penting untuk

mempengaruhi penilaian hakim dalam proses pembuktian tersebut. Alat bukti

yang kuat dan sah tentu akan memudahkan hakim menilai apakah terdakwa

bersalah atau tidak atau pihak manakah yang bersalah.

Hari Sasangka dan Lily Roswita dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, menyatakan bahwa pengertian alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana

dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian

29

(24)

guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana

yang telah dilakukan terdakwa.30 Menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan

penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di

dalam pengadilan.31 Sedangkan menurut kamus hukum, alat bukti adalah alat yang sudah ditentukan di dalam hukum formal yang dapat digunakan sebagai

pembuktian di dalam acara persidangan. Berarti, di luar dari ketentuan tersebut

tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.32

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Alat bukti dikenal dalam setiap hukum acara, baik hukum acara perdata,

hukum acara pidana, maupun hukum acara lainnya yang berlaku di Indonesia.

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah adalah bukti surat, bukti saksi,

persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sedangkan dalam hukum acara pidana,

dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah adalah keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

33

Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.34

30

Pengertian dari surat menurut hukum acara pidana tidak

secara definitif diatur dalam satu pasal khusus, namun dari beberapa pasal dalam

pada tanggal 14 November 2016.

diakses pada tanggal 14 November 2016.

32

Rocky Marbun, dkk, Op.Cit., hal. 14. 33

Pasal 185 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 34

(25)

KUHAP tetang alat bukti surat, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

surat adalah alat bukti tertulis yang harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.35 Keterangan Terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri dan alami

sendiri.36

5. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yakni corruption atau corruptus

yang disalin ke berbagai bahasa. Corruptus, disalin ke dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt. Dalam bahasa Prancis, disalin menjadi

corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda itu lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.37

Coruptie juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda, artinya adalah perbuatan korup dan/atau penyuapan. Secara harfiah, istilah tersebut berarti

segala macam pebuatan yang tidak baik. Andi Hamzah mengartikan korupsi

sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak

bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.38

35

Pasal 188 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 36

Pasal 189 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 37

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 1991), hal. 7. 38

Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 1.

(26)

yang secara terminologi berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada

hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak

dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan.39

Dalam arti sosial, masyarakat mengartikan korupsi sebagai penggelapan

uang, baik milik Negara atau kantor, dan menerima suap yang berhubungan

dengan jabatan atau kedudukannya. Namun, dari sudut pandang hukum, hal

tersebut tidak sederhana seperti itu. Dari sudut pandang hukum, banyak syarat

atau unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perbuatan agar dapat dikualifikasikan

sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah dirumuskan

dalam undang-undang.40

Beberapa ahli berpendapat bahwa, korupsi adalah penyimpangan tugas

formal dalam kedudukan resmi pemerintah, bukan hanya jabatan eksekutif tetapi

juga legislatif, partai politik, auditif, BUMN/BUMD, hingga lingkungan pejabat

di sektor swasta.41

39

Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di luar KUHP, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 60.

40

Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 2. 41

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk Mencegah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 10.

Subekti dan Tjirosoedibio mengartikan corruptive adalah perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. Selanjutnya

menurut Sudarto, secara harfiah kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang

rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan keuangan. Henry Campbel

mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara

(27)

keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan

kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.42

Menurut Sayed Hudin Alatas, korupsi adalah subordinasi kepentingan

umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran

norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,

pengkhianatan, penipuan, dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang

diderita oleh masyarakat. Singkatnya, korupsi adalah penyalahgunaan amanah

untuk kepentingan pribadi. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Jeremi Pope

yang menyatakan korupsi adalah menyalahgunakan kepercayaan untuk

kepentingan pribadi. Korupsi juga dapat dilihat sebagai perilaku yang tidak

mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan keputusan

di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan atau bersama-sama, baik oleh

swasta maupun publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.

Jika prinsip ini dilanggar dan keputusan yang dibuat dipengaruhi oleh hubungan

pribadi atau keluarga, maka korupsi akan timbul. Misalnya, konflik kepentingan

dan nepotisme.43

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta, korupsi

diartikan sebagai pebuatan curang, dapat disuap dan tidak bermoral. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan

uang Negara atau perusahaaan atau orang lain. Sedangkan berdasarkan Black Law

Dictionary, definisi korupsi yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah

42

Ruslan Renggong, Op.Cit. hal. 60-61. 43

(28)

maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan

tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Dengan kata lain, suatu perbuatan

yang sesuatu yang tidak resmi/sah, atau dengan cara melanggar hukum,

memanfaatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan tugas dan norma yang berlaku.44

6. Pengertian Intersepsi atau Penyadapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyadapan diartikan sebagai

proses dengan sengaja mendengarkan dan/atau merekam informasi orang lain

secara diam-diam dan penyadapan itu sendiri berarti suatu proses, suatu cara, atau

perbuatan menyadap.45 Ada banyak istilah yang dipergunakan untuk menyatakan penyadapan, salah satunya adalah wiretapping. Menurut Black Law Dictionary,

wiretapping adalah suatu bentuk dari cara menguping secara elektronik. Tindakan ini dilakukan berdasarkan perintah pengadilan, yang dilakukan secara resmi,

dengan cara mendengarkan pembicaraan melalui telepon. Istilah lain yang sering

digunakan adalah interception atau intersepsi. Oxford Dictionary, mendefinisikan

intercept sebagai alat untuk memotong atau memutus komunikasi.46

Di Indonesia, istilah intersepsi dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE). Intersepsi atau

penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan,

mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan

44

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Loc.Cit. 45

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 179. 46

(29)

jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran

elektromagnetis atau radio frekuensi.47

Dalam intersepsi, ada 2 istilah yang dikenal, yakni lawful interception dan

unlawful interception. Yang dimaksud dengan lawful interception adalah intersepsi yang dilakukan sesuai dengan aturan hukum atau penyadapan yang

sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, yang dilakukan oleh otoritas atau

pihak yang berwenang untuk itu.

Bila dibandingkan dengan penegetian

intersepsi yang ada dalam Oxford Dictionary, maka dapat diketahui bahwa istilah

Intersepsi yang digunakan UU ITE lebih luas maknanya bila dibandingkan dengan

istilah wiretapping yang hanya merupakan tindakan menguping pembicaraan melalui telepon secara elektronik.

48

Sedangkan yang dimaksud dengan unlawful interception adalah intersepsi atau penyadapan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum dan prosedur atau tata cara yang berlaku.49

Pada dasarnya, tindakan intersepsi atau penyadapan adalah tindakan yang

dilakukan untuk mencari alat bukti yang dapat membantu dalam mencegah atau

menyelesaikan suatu kasus tindak pidana. Agar hasil intersepsi menjadi alat bukti

yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka prosedur atau tata cara

pelaksanaannya dan pihak yang melakukan intersepsi atau penyadapan harus

sesuai ketentuan undang-undang. Dengan kata lain, tindakan intersepsi yang

dibenarkan adalah lawfull interception. Dalam UU ITE suatu tindakan intersepsi

47

Penjelasan pasal 31 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Iinformasi dan Transaksi Elektronik.

48

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 183. 49

(30)

atau penyadapan hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas

permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang

ditetapkan berdasarkan undang-undang. Dalam UU Perubahan Atas UU ITE yang

diberlakukan sejak tanggal 25 November 2016, pada pasal 31 ayat (4) berbunyi:

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana diatur dalam ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.

Dengan demikian, maka saat ini kita tidak mempunyai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang khusus tentang tata cara intersepsi atau

penyadapan. Dalam prakteknya saat ini, tata cara intersepsi atau penyadapan

tersebar kedalam berbagai peraturan perundangan baik dalam

undang-undang yang telah ada sebelum UU ITE maupun undang-undang-undang-undang yang berlaku

setelah adanya UU ITE. Di Indonesia tindakan penyadapan untuk mencari alat

bukti telah dilegitimasi dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang yang

mengatur tata cara intersepsi atau penyadapan diantaranya adalah sebagai

berikut:50

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan dalam undang-undang ini

dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, 51

50

Ibid, hal. 57-88. 51

(31)

Sedangkan bila dilihat dari penjelasan pasal tersebut, dengan tegas dinyatakan,52

2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping).

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa kewenangan yang

dimiliki seorang penyidik dalam rangka membuat terang suatu peristiwa dan

menemukan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, adalah dengan

melakukan tindakan penyadapan. Alat bukti yang didapatkan melalui hasil

penyadapan tersebut diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Hal ini

dapat dilihat pada pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU

nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada

intinya menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk dapat

diperoleh dari alat bukt i lain berupa informasi yang dikirim, diterima, disimpan,

secara elektronik.

Berdasarkan uraian diatas maka diketahui bahwa UU Pemberantasan

Tindak Pidana memperbolehkan penyidik melakukan tindakan penyadapan dalam

hal mencegah atau menemukan tindak pidana korupsi dan hasil penyadapan

berupa alat bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan.

Terkait dengan tindakan penyadapan, Undang-Undang Tindak Pidana

52

(32)

Terorisme telah mengatur secara tegas dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b yang

menyatakan,53

Pasal 31 ayat (2) UU Terorisme ini menyatakan,

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (4), penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

54

Ayat (3) menyatakan,

Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun;

55

a. Tindakan penyadapan baru dapat dilakukan ketika mendapat bukti permulaan

yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) sampai (4) UU ini. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

Berdasarkan ketentuan yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui

bahwa tindakan penyadapan dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana

terorisme apabila telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dengan tegas oleh

undang-undang tersebut. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.

b. Tindakan penyadapan dilakukan atas pembicaraan melalui telepon atau alat

komunikasi lain

53

Pasal 31 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

54

Pasal 31 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

55

(33)

c. Penyadapan harus ditujukan terhadap orang atau sekelompok orang yang

diduga sedang mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana

terorisme.

d. Tindakan penyadapan dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

e. Tindakan penyadapan dilakukan dalam jangka waktu yang ditentukan, yaitu

paling lama 1 (satu) tahun.

f. Tindakan penyadapan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan

dengan memberikan atau membuat laporan kepada atasan penyidik.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Tindakan penyadapan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 31

ayat (1) UU Pemberantasn Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyatakan

dengan tegas,56

Dan ayat (2) menyatakan,

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang menyadap telepon dan alat komunikasi lain yang digunakan mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.”

57

Bila diperhatikan dengan seksama, maka dapat dilihat bahwa pengaturan

atau ketentuan tentang penyadapan pada UU Perdagangan Orang ini mirip dengan

pengaturan penyadapan pada UU Terorisme. Syarat-syaratnya pun hampir sama. Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis Ketua Pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

56

Pasal 31 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

57

(34)

Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan ketentuan penyidik di

masing-masing UU tersebut.

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Terkait dengan tindakan penyadapan, di dalam Undang-Undang tentang

Narkotika, yaitu dalam ketentuan Pasal 75 I. dikemukakan dengan tegas bahwa,58

Dalam pasal 77 secara singkat ditentukan bahwa:

Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.

59

a. Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan

dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan

diterima penyidik.

b. Penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari Ketua Pengadilan.

c. Penyadapan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk jangka waktu

yang sama, yaitu 3 bulan.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tindakan penyadapan dapat dilakukan dalam rangka mencegah dan

memberantas tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut dinyatakan secara tegas

dalam Pasal 44 ayat (1) huruf h UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, yaitu bahwa,60

58

Pasal 75 I UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 59

Pasal 77 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 60

(35)

Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam undang-undang ini

yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan terhadap dugaan adanya

tindak pidana pencucian uang adalah instansi penegak hukum, bukan PPATK.

PPATK hanya merekomendasikan pentingnya untuk melakukan intersepsi atau

penyadapan.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.

Pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan dal undang-undang ini

terdapat dalam pasal 31, yang menyatakan bahwa,61

a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, buda ya, pertahanan dan keamanan dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan/atau Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan:

b. Kegiatan terorisme, separatism, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang

menjalani proses hukum.

Pada pasal 32 ayat (2) ditentukan bahwa,62

a. Untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen;

Penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dalam pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

b. Atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan

61

Pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. 62

(36)

c. Jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

Yang terakhir, pada pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa,63

7. Tanggapan-Tanggapan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016

Penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri.

Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang intelijen diatas, dapat

diketahui bahwa, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara,

sasarannya ditentukan secara limitatif atau terbatas sesuai dengan pasal 31 yang

telah dikemukakan, dan juga harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang

terdapat dalam pasal 32 tersebut.

Undang-undang yang telah disebutkan diatas, secara tegas mengakui

diperbolehkannya melakukan tindakan intersepsi atau penyadapan. Namun, tidak

semua undang-undang mengatur secara jelas dan terperinci mengenai tata cara

tindakan penyadapan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus

mengenai intersepsi atau penyadapan yang dibuat dalam suatu ketentuan

perundang-undangan tersendiri agar tidak terjadi ketidakpastian hukum dan

dualisme norma dalam pelaksanaannya.

Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016,

menimbulkan beberapa tanggapan terkait putusan tersebut terhadap keabsahan

rekaman CCTV. Pendapat-pendapat inilah yang semakin mendorong penulis

untuk meneliti dan menulis skripsi ini. Diantaranya adalah :

63

(37)

1) Tanggapan Jaksa Agung HM Prasteyo

Jaksa Agung HM Prasetyo memberikan tanggapan terkait Putusan MK

nomor 20/PUU-XIV/2016 sebagai berikut64

2) Hotman Paris Hutapea

.

"Dikabulkannya gugatan tentang keabsahan dari informasi elektronik atau dokuken dalam bentuk rekaman dan sebagainya dimana dinyatakan di sana bahwa bukti rekaman baru dinyatakan sah kalau diminta resmi oleh jaksa, polisi atau penegak hukum lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi kesulitan bagi pemutus hukum, " papar dia. "Begitu pun dengan rekaman CCTV itu tidak bisa dipergunakan untuk jadi alat bukti sah karena atau kalau tidak diminta oleh penegakan hukum. Alat elektronik Itu kan petunjuk yang sangat bermanfaat untuk proses penegakkan hukum," imbuh Prasetyo.

Hotman Paris memberikan tanggapan terkait Putusan MK nomor

20/PUU-XIV/2016 yang dikaitkannya dengan alat bukti rekaman CCTV pada kasus “kopi

sianida” yang dihadapi oleh Jessica Kumala Wongso. Berikut adalah tanggapan

Hotman Paris65

Hotman mengatakan hal itu dengan merujuk putusan ,

dijadikan bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sebuah kasus. "Jika merujuk dari putusan MK itu, maka rekaman CCTV kasus dengan terdakw Rekaman CCTV baru sah sebagai alat bukti kalau rekaman dibuat atas permintaan penegak hukum," kata Hotman, melalui pernyataan tertulis yang telah dikonfirmasi Kompas.com

3) Muzakir

, Jumat (7/10/2016) pagi.

Muzakir menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor

20/PUU-XIV/2016 pada saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli pada persidangan

(38)

kasus “kopi sianida” Jessica Kumala Wongso mengenai rekaman CCTV yang

dijadikan alat bukti. Berikut adalah tanggapan Muzakir66

1. Jenis Penelitian

.

Muzakir menerangkan hasil uji materi Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah. Menurutnya, dokumen dan informasi elektronik saat ini tak bisa lagi dipakai jika yang mengambil bukan aparat penegak hukum.

“Ini tentang konstitusionalitas pasal 5, maka kesimpulan MK, dokumen informasi dan elektronik itu bisa jadi alat bukti jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaann penyidik atau penuntut umum,” katanya.

Menurut Muzakir, putusan MK tentang pasal yang mengatur dokumen elektronik tersebut bisa membuat rekaman CCTV tak bisa dipakai sebagai alat bukti. “Kalau dulu cukup dikatakan sebagai alat bukti yang sah, sekarang ada syaratnya. Yaitu, [CCTV] bisa jadi alat bukti apabila dilakukan atas permintaan penyidik atau penegak hukum,” katanya.

“Jadi kalau ada rekaman CCTV atau dokumen elektronik, penggunaannya tidak bisa jadi alat bukti kecuali atas permintaan penyidik. Jadi ini masalahnya soal intepretasi,” tegasnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normative), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi. Penelitian yuridis normatif ini disebut juga penelitian

hukum doctrinal, sebagaimana dikemukakan oleh Wigjoesoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut:

66

(39)

a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi huku m positif.

b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah

(dogma atau doktrinal) hukum positif.

c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

Jhony Ibrahim memberikan pendapat bahwa dalam melakukan penelitian

normatif dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu:

a. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) b. Pendekatan Analisis (analytical approach)

c. Pendekatan Historis (historical approach) d. Pendekatan Fisafat (philosophical approach) e. Pendekatan Kasus (case approach)

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian hukum yuridis normatif dengan

melakukan pendekatan terhadap perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan dalam skripsi ini (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena dalam skripsi ini membahas tentang kedudukan suatu

alat bukti berdasarkan dari suatu keputusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah

Konstitusi melakukan pengujian terhadap pasal atau ayat pada suatu

undang-undang tertentu apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945 atau tidak. Selain itu pendekatan perundang-undangan ini diperlukan

(40)

pemasalahan skripsi ini terdapat di dalam berbagai peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Republik Indonesia.

Selain pendekatan perundang-undangan, skripsi ini juga menggunakan

pendekatan analisis atau analytical approach, untuk mengetahui makna-makna yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait guna

menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder.

Data-data sekunder tersebut diperoleh dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen-dokumen peraturan yang berkaitan

dengan permasalahan skripsi ini, yang berlaku serta mengikat yang ada di

Republik Indonesia, yaitu Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 11 Tahun 2008

tentang ITE, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU ITE, UU

No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen-dokumen yang merupakan

informasi atau bahan kajian yang berkaitan dengan alat bukti dan alat bukti

elektronik, berupa buku, jurnal, karya tulis yang berkaitan dengan alat bukti

elektronik baik dalam tindak pidana korupsi atau tindak pidana lainnya, dan

beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan

(41)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu dokumen-dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder seperti kamus hukum, dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini digunakan metode Penelitian

Kepustakaan atau Library Research, yaitu penelitian yang memanfaatkan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah,

internet, pendapat sarjana, jurnal, dan bahan yang lain yang dapat membantu

penulisan skripsi ini. Penulis juga mencantumkan sumber dari bahan yang di kutip

atau diambil, karena hal tersebut adalah prosedur yang dituntut untuk dipenuhi

secara tertib dalam metode pengumpulan atau pengambilan data.67

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dikumpulkan, diurutkan,

kemudian dibentuk dalam suatu pola, kategori, dan uraian dasar. Analisa data

dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif, yaitu menganalisa secara

lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder seperti peraturan

perundang-undangan, buku, informasi dari internet dan sumber lainnya yang

diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi

ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:

67

(42)

BAB I adalah Bab Pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan,tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian

serta sistematika penulisan.

BAB II membahas tentang pengaturan alat bukti dan alat bukti elektonik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia, dalam bab ini juga akan

dibahas mengenai sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia.

BAB III membahas tentang kekuatan pembuktian rekaman CCTV yang merupakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, sebagai alat bukti

dalam tindak pidana korupsi, dan mengemukakan kasus-kasus korupsi yang

menggunakan rekaman CCTV sebagai alat buktinya.

BAB IV membahas tentang kedudukan rekaman CCTV tersebut dalam tindak pidana korupsi setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan

Nomor 20/PUU-XIV/2016. Dalam bab IV akan membahas analisis kasus yang

menyebabkan diajukannya permohonan uji materi tersebut, pertimbangan dan

putusan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bagaimana

kedudukan alat bukti rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi setelah

keluarnya putusan tersebut. Penulis tidak bermaksud membandingkan kedudukan

rekaman CCTV antara sebelum dan sesudah keluarnya putusan MK tersebut,

melainkan penulis ingin mengkaji maksud daripada putusan tersebut dan meneliti

pengaruhnya kepada alat bukti elektronik yang berbentuk berbentuk rekaman

(43)

Dan yang terakhir, BAB V berisi kesimpulan dan saran dari penulis. Jumlah kesimpulan dibuat berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan

Referensi

Dokumen terkait

berkomunikasi siswa; 2) pengembangan modul sains berbasis DJP Model divalidasi oleh para ahli materi, disain dan penyajian, perangkat pembelajaran, bahasa, praktisi

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama

“I didn’t think so.” He glanced around, as if come for the first time to a new place.. “No one is likely to pass down these corridors,

According to the records of 98 lecturer work- ing permanently at the selected institutions, only 44 of them have collected working experiences in journalism and 50 lecturers

Fokus yang harus ditingkatkan dalam integrasi transportasi antarmoda di bandar udara antara lain perluasan fasilitas pendaftaran calon penumpang pesawat udara sebelum

Fitriana Subair 2019, Model Pembelajaran Ngaji Sugih (Studi Kasus di Pondok Pesantren Mukmin Mandiri Sidoarjo). Model pembelajaran ngaji sugih merupakan model

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mendeskripsikan pelaksanaan penerapan media edmodo dalam pembelajaran akuntansi di SMK N 6 Surakarta, 2) mendeskripsikan