• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D Pada Kerentanan Terhadap Tuberkulosis Paru Suku Batak Di Medan Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D Pada Kerentanan Terhadap Tuberkulosis Paru Suku Batak Di Medan Chapter III VI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

53 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah kasus-kontrol yang menilai hubungan antara faktor risiko dengan kejadian penyakit, dengan cara membandingkan sekelompok orang yang menderita TB paru (kasus) dan sekelompok orang yang tidak berpenyakit (kontrol).

3.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Populasi

Populasi kasus

Populasi target pada penelitian ini adalah pasien TB paru suku Batak di Medan, sedangkan populasi terjangkau adalah pasien TB paru suku Batak yang berobat ke RS H. Adam Malik Medan, BP4 dan rumah sakit lainnya.

Populasi kontrol

(2)

54 3.2.2. Sampel

Sampel kasus

Sampel penelitian adalah pasien TB paru suku Batak yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut.

Kriteria inklusi:

1. Pasien TB paru kasus baru yang belum diobati, dengan kuman BTA positip dalam dahak dengan cara pemeriksaan hapusan langsung.

2. Pasien TB paru laki-laki dan perempuan umur 16-55 tahun. 3. Bersedia untuk mengikuti penelitian yang dinyatakan secara

tertulis setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian ini (informed consent).

Kriteria eksklusi

1. Menderita HIV, Diabetes Melitus, dan penyakit berat lainnya seperti penyakit ginjal, liver dan penyakit sistemik lainnya.

2. Sedang mengkonsumsi obat imunosupresive seperti kortikosteroid dan kemoterapi kanker.

Sampel kontrol

(3)

55

petugas radiologi yang bertugas di rumah sakit yang diperkirakan pernah atau sering terpajan dengan pasien TB paru. Pada kelompok kontrol dilakukan foto toraks untuk memastikan kontrol tidak menderita TB paru dan test tuberkulin untuk mengetahui apakah individu kontrol penah terinfeksi TB.

3.2.3. Besar sampel

Besar sampel untuk perhitungan hubungan polimorfisme FokI dan

BsmI dengan terjadinya TB paru ditentukan dengan menggunakan

rumus studi kasus kontrol berpasangan (Madiyono B dalam Sastroasmoro S, 2002)

Keterangan :

R atau OR = 2, karena untuk penelitian longitudinal nilai OR = 2 baru dianggap merupakan faktor risiko.

(4)

56

Setelah dimasukkan ke dalam rumus sampel di atas, maka jumlah sampel untuk menentukan peran polimorfisme FokI dan BsmI gen reseptor vitamin D dan TB paru adalah: n1 = n2 = 68 orang

Maka jumlah sampel minimal kasus 68 orang dan jumlah kontrol 68 orang. 3.2.4.Teknik pengambilan sampel

Untuk mengambil kasus dan kontrol, dilakukan:

Sampel kasus diambil secara consecutive sampling, semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

Individu pada kelompok kontrol diambil berdasarkan daftar petugas kesehatan yang terdapat di tempat mereka bekerja.

3.3.Variabel Penelitian

Untuk menilai hubungan antara gen Reseptor Vitamin D (RVD) dengan kerentanan timbulnya penyakit TB paru maka ada 2 jenis variabel yaitu:

1. Variabel bebas (independen) :

- polimorfisme FokI gen Reseptor Vitamin D

- polimorfisme BsmI gen Reseptor Vitamin D 2. Variabel tergantung (dependen) : - TB paru

3.4. Definisi Operasional Variabel

(5)

57

mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing dan Angkola.

Yang dimaksud kasus dan kontrol bersuku Batak adalah:

kasus dan kontrol yang mempunyai ayah, ibu, kakek dan nenek dari pihak kedua orang tua murni bersuku Batak atau minimal ayah dan ibu kasus dan kontrol bersuku Batak.

2. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru.

(6)

58

toraks tuberkulosis paru adalah bayangan berawan/nodular, kavitas dan lain-lain.

Didiagnosis tuberkulosis paru pada penelitian ini jika dijumpai gejala klinis, kelainan paru pada pemeriksaan radiologis toraks, dan dijumpai kuman BTA pada pemeriksaan sputum hapusan langsung.

3. Polimorfisme gen Reseptor Vitamin D

Polimorfisme adalah suatu variasi pada urutan nukleotida dari gen yang sama pada individu yang berbeda. Polimorfisme yang diteliti adalah FokI dan BsmI.

Polimorfisme FokI gen Reseptor Vitamin D

FokI menunjukkan transisi C-T (ACG-ATG) pada daerah pertama

dari dua daerah potensial inisiasi translasi di exon II. Individu dengan alel C ditandai dengan dengan F. Individu dengan alel T ditandai dengan f.

Cara pengukuran: Polimorfisme diketahui dengan pemeriksaan menggunakan teknik PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction -

Restriction Fragmenth Length Polymorphism) yang menggunakan

enzim restriksi.

Alat ukur: visualisasi band (pita) amplifikat pada geldoc menunjukkan genotip polimorfisme yang ada.

Hasil ukur:

Homozigot FF menghasilkan pita atau band 265 bp;

(7)

59

heterozigot Ff jika terdapat tiga pita yaitu 265 bp, 169 bp dan 96 bp Skala ukur: Skala ordinal

Polimorfisme BsmI gen Reseptor Vitamin D

BsmI ditemukan di intron 8 (antara ekson VIII dan IX),

menghasilkan perubahan G-A, alel G ditandai dengan B dan alel A ditandai dengan b.

Cara pengukuran: Polimorfisme diketahui dengan pemeriksaan menggunakan teknik PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction -

Restriction Fragmenth Length Polymorphism) yang menggunakan

enzim restriksi.

Alat ukur: visualisasi band (pita) amplifikat pada geldoc menunjukkan genotip polimorfisme yang ada.

Hasil ukur:

Homozigot BB menghasilkan pita atau band 825 bp;

homozigot bb menghasilkan pita atau band 175 bp dan 650 bp heterozigot Bb jika ada tiga pita yaitu 825 bp, 175 bp dan 650 bp Skala ukur: skala ordinal.

4. Luas lesi pada foto toraks adalah luas kelainan atau kerusakan yang terjadi di paru yang terlihat pada foto toraks yang ditentukan oleh 2 dokter yaitu 1 orang dokter spesialis paru dan 1 orang dokter spesialis radiologi.

(8)

60

• Lesi minimal jika proses mengenai sebagian dari satu atau

dua paru dengan luas tak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5) serta tidak dijumpai kavitas.

• Lesi sedang jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal

tetapi tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses tuberkulosis tersebut mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal, maka luas proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga luas satu paru; jika ada kavitas diameter total tidak melebihi 4 cm.

• Lesi luas jika kelainan lebih luas dari lesi sedang.

Skala Ukur: Skala Ordinal.

5. Uji tuberkulin adalah test untuk mengetahui apakah seseorang sedang atau pernah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dengan cara menyuntikkan tuberkulin PPD RT 23 dengan kekuatan 2 TU secara intra kutan dengan menggunakan semprit tuberkulin 1 cc dan jarum nomor 26. Pembacaan dilakukan 48-72 jam kemudian. Diukur diameter transversal indurasi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter.

(9)

61

• 0-4 mm : uji tuberkulin negatip • 5-9 mm : uji tuberkulin meragukan.

Uji tuberkulin dengan indurasi ≥5 mm dinyatakan positip pada individu:

- Dengan infeksi HIV

- Pada foto toraks terlihat gambaran fibrosis yang sesuai dengan TB terdahulu

- Pasien dengan transplantasi organ dan obat imunosupresive

• ≥10 mm : uji tuberkulin positip pada individu berikut ini:

- Pengguna obat-obat suntik

- Pegawai atau orang yang tinggal di tempat berisiko tinggi seperti fasilitas perawatan jangka panjang, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, bersama pasien HIV/AIDS dan penampungan tunawisma

- Pekerja laboratorium

- Orang dengan kondisi klinis yang dapat meningkatkan risiko progresi menjadi TB

• ≥ 15 mm : uji tuberkulin positip pada individu yang tidak

mempunyai faktor risiko untuk TB

(10)

62

kontrol yaitu petugas kesehatan) pernah atau sedang terinfeksi oleh M. tuberculosis tapi tidak menderita TB paru.

Skala ukur: Skala Ordinal

6. Merokok adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat penelitian dilakukan.

Alat ukur: kuesioner. Hasil ukur: Merokok.

Tidak merokok. Skala ukur: Skala ordinal.

7. Minum Alkohol adalah orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman keras.

Alat ukur: kuesioner

Hasil ukur: Konsumsi alkohol

(11)

63 TB Paru Suku Batak

Analisis Test HIV (-), DM (-)

TB Paru (kasus) Orang sehat (kontrol)

Pengambilan darah Isolasi

DNA

Isolasi DNA

Orang sehat Suku Batak

Test Tuberkulin 3.5. Kerangka Operasional Penelitian

3.6. Prosedur Penelitian

1. Sebelum penelitian dimulai, peneliti telah memperoleh keterangan lolos kaji etik (ethical clearance) kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks, sputum

Pengambilan darah

PCR & RFLP

Polimorfisme FokI dan BsmI Gen VDR

Anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks

Polimorfisme FokI dan

BsmI Gen VDR

Hasil

(12)

64

2. Setiap penderita yang diikutsertakan dalam penelitian telah dibuat surat informed consent, yang ditandatangani oleh penderita dan peneliti

3. Penderita TB paru yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak kuman Basil Tahan Asam (BTA) positip melalui hapusan langsung serta memenuhi kriteria inklusi diikut sertakan dalam penelitian.

4. Dilakukan pemeriksaan test HIV dan kadar gula darah (KGD). Pasien yang menderita HIV dan DM tidak diikut-sertakan dalam penelitian.

5. Setiap penderita TB paru (kasus) dicari kontrolnya yang sepadan menurut umur dan jenis kelamin. Kelompok kontrol ditentukan berdasarkan anamesis dan pemeriksaan foto toraks. 6. Dilakukan juga anamnesis kebiasaan merokok dan konsumsi

alkohol

7. Kemudian diambil darah penderita TB (kasus) dan darah orang sehat (kontrol) dari vena mediana kubiti. Pada orang sehat (kontrol) dilakukan test tuberkulin.

8. Dilakukan isolasi DNA terhadap darah yang diambil.

9. Hasil isolasi DNA kemudian disimpan di kulkas pada suhu -200C.

(13)

65

dengan teknik PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-

Restriction Fragment Length Polymorphism).

11. Hasil data yang didapat dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisa.

3.7. Analisis Statistik

Data yang berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer dengan perangkat lunak komputer menggunakan program Epi Info.

a. Analisis Univariat

Analisis data dimulai dengan melakukan analisis variabel dengan mendeskripsikan tiap variabel yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi distribusi.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan dari hasil analisis dapat diketahui variabel bebas manakah yang berhubungan dengan variabel terikat.

(14)

66

teknik analisis conditional logistic regression. Kemaknaan hasil uji statistik ditentukan berdasarkan p<0,05 dan 95% Confidence Interval (CI).

c. Analisis multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan polimorfisme FokI dan BsmI bersama-sama dengan variabel perancu (kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol) dengan kejaadian TB paru melalui analisis conditional multiple logistic

regression.

Uji statistik untuk mengetahui apakah genotip kelompok kasus dan kontrol pada polimorfisme FokI dan BsmI berada dalam keadaan keseimbangan Hardy Weinberg (Hardy Weinberg Equilibrium), digunakan alat test yang online ( web tool HWE Testing calculator). Jika didapat nilai p<0,05 berarti genotip pada masing-masing polimorfisme FokI dan BsmI kelompok kasus dan kontrol signifikan dalam keadaan disequilibrium (Rodriguez et al.). Pada studi genetic association, informasi apakah frekuensi genotip berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg sangat penting.

3.8. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium

3.8.1. Protokol isolasi “genomic DNA” dari “whole blood” dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU Medan.

(15)

67

1. Diambil darah dan dimasukkan ke tabung EDTA lebih kurang 3 cc. Darah dimasukkan ke tabung EDTA dengan diinjeksikan perlahan-lahan.

2. Darah EDTA dibolak balik perlahan supaya bergabung dengan EDTA.

3. Darah EDTA disentrifuse 3.000 rpm dalam 10-15 menit.

4. Dipisahkan plasmanya dan diambil lekositnya sebanyak 300 μl pada tabung microcentrifuge 1,5 ml (waktu mengambil leukosit, ujung mikropipet dipotong sedikit) lalu ditambah EL Buffer 900 μl,

dibolak-balik perlahan.

5. Diinkubasi kira-kira 10 menit dalam kulkas lalu disentrifus dalam 13.000 rpm selama 3 menit.

6. Supernatant dibuang, saat buang supernatan dilakukan dengan hati-hati dan perlahan jangan sampai endapannya ikut terbuang (diulangi bisa sampai 5 kali), sampai warna supernatant jernih dan endapan sudah berwarna putih.

7. Setelah didapat endapan putih atau cairan sudah jernih, supernatant dibuang, endapan divortex selama 20 detik.

8. Ditambahkan 300 μl Nucleic Lysis Solution dan dicampurkan dengan bolak-balik.

9. Ditambahkan 100 μl Protein Precipitation dan divortex selama 20 menit.

(16)

68

11. Supernatant dibuang ke dalam tabung microsentrifuge 1,5 ml steril yang telah berisi 300 μl Isopropanolol. Kemudian tabung divortex

tapi tidak lama kira-kira 3 detik atau dibolak-balik sampai terlihat benang-benang DNA.

12. Disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit, dan tampak pellet putih. 13. Supernatant dibuang dan ditambahkan 300 μl Etanol 70%.

14. Disentrifugasi 13.000 rpm selama 1 menit.

15. Dengan hati-hati diaspirasikan etanol dengan menggunakan pipet (biasanya dituang pelan-pelan dan disisakan sedikit di tabung) dan dikeringkan sampai 1 jam.

16. Ditambahkan 100 μl DNA Rehydration Solution dan disimpan pada suhu 40C selama 1 malam. Setelah itu baru disimpan di freezer (-200C).

3.8.2. Prosedur pemeriksaan polimorfisme gen reseptor vitamin D dikerjakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

a. Prosedur PCR-RFLP gen reseptor vitamin D polimorfisme FokI

1. Primer yang digunakan untuk PCR adalah Primer Forward: 5’-AGC TGG CCC TGG CAC TGA CTC TGC TCT-3’. Primer Reverse: 5’-ATG GAA ACA CCT TGC TTC TTC TCC CTC-3’.

2. Reaksi campuran terdiri dari 1 μl Primer Reverse dan 1 μl Primer

Forward dengan konsentrasi masing-masing 10 μM, 2 μl DNA

(17)

69

master mix 2x; dengan total reaksi 25 μl. Go Taq green master mix

isinya adalah reaction buffer ph 8,5, masing-masing 400 μM dATP,

dGTP, dCTP, dTPP, 3mM MgCl2, Taq DNA polimerase dan loading

dye (Promega, USA).

3. Dilakukan optimasi suhu anealing 570C- 620C, didapat suhu optimal 610C.

4. Sampel DNA diamplifikasi dengan parameter bersiklus sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 940C selama 5 menit diikuti dengan 35 siklus pada suhu 940C selama 30 detik, 610C selama 30 detik, diikuti oleh 720C selama 1 menit, dan perpanjangan terakhir pada suhu 720C selama 7 menit.

5. Hasil amplifikasi (PCR) dielektroforesis menggunakan agar 2% didapat pita DNA pada 265 bp.

6. Setelah amplifikasi sisi inisiasi terjemahan gen reseptor vitamin D dideteksi dengan cara RFLP (Restriction Fragment Length

Polymorphism) menggunakan enzim restriksi endonuklease FokI

(Takara, Bio-Inc, Jepang) pada suhu 370C selama 3 jam.

7. Fragmen restriksi yang dicerna dipisahkan pada 2% (w/v) gel

agarose (Promega, USA).

8. Fragmen dideteksi dengan pewarnaan etidium bromide.

9. Pita divisualisasikan pada sebuah alat Gel Documentation System. 10. Genotip yang dihasilkan tergantung dari pola hasil cerna.

(18)

70

sempurna menjadi pita 169 bp dan 96 bp dan heterozigot Ff jika terdapat tiga pita (265 bp, 169 bp dan 96 bp).

b. Prosedur PCR-RFLP gen reseptor vitamin D polimorfisme BsmI

1. Primer yang digunakan untuk PCR adalah Primer Forward 5’CAA CCA AGA CTA CAA GTA CCG CGT CAG TGA-3’ dan Primer

Reverse: 5’AAC CAG CGG GAA GAG GTC AAG GG-3’.

2. Reaksi campuran terdiri dari 1 μl Primer Reverse dan 1 μl Primer

Forward dengan konsentrasi masing-masing 10 μM, 2 μl DNA

template, Nuclease Free Water 8,5 μl dan 12,5 μl Go Taq green

master mix 2x; dengan total reaksi 25 μl. Go Taq green master mix

isinya adalah reaction buffer ph 8,5, masing-masing 400 μM dATP, dGTP, dCTP, dTPP, 3mM MgCl2, Taq DNA polimerase dan loading

dye (Promega, USA).

3. Dilakukan optimasi suhu anealing 600C-650C, didapat suhu optimal 610C.

4. Sampel DNA diamplifikasi dengan parameter bersiklus sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 940C selama 5 menit diikuti dengan 35 siklus pada suhu 940C selama 30 detik, 610C selama 30 detik, diikuti oleh 720C selama 1 menit, dan perpanjangan terakhir pada suhu 720C selama 7 menit.

5. Hasil amplifikasi (PCR) dielektroforesis menggunakan agar 2% didapat pita DNA pada 825 bp.

(19)

71

Polymorphism) menggunakan enzim restriksi endonuklease BsmI

(Thermo Scientific, Lithuania) pada suhu 370C selama 4 jam.

7. Fragmen restriksi yang dicerna dipisahkan pada 2% (w/v) gel

agarose (Promega, USA).

8. Fragmen dideteksi dengan pewarnaan etidium bromide.

9. Pita divisualisasikan pada sebuah alat Gel Documentation System. 10. Genotip yang dihasilkan tergantung dari pola hasil cerna.

Homozigot BB untuk tidak adanya sisi BsmI yang dicerna dengan band 825 bp; homozigot bb untuk adanya sisi BsmI yang dicerna sempurna menjadi pita 175 bp dan 650 bp dan heterozigot Bb jika terdapat tiga pita (825 bp, 175 bp dan 650 bp)

3.8.3. Prosedur pemeriksaan sediaan hapus langsung kuman Bakteri Tahan Asam dari sputum.

a. Persiapan pasien:

1. Pasien dianjurkan untuk menggosok gigi dan berkumur sebanyak 3 kali dengan mengganti air hangat setiap kali berkumur. Jika memakai gigi palsu, lepaskan dan kumur dengan air hangat.

(20)

72

3. Bila dahak kental dan sulit dikeluarkan dapat diberikan obat mukolitik atau ekspektoransia pada malam sebelum pengambilan sputum atau dapat juga dilakukan inhalasi.

b. Waktu pengumpulan dahak

1. Sewaktu hari-1. Spesimen pertama dikumpul pada saat penderita datang ke laboratorium

2. Pada hari -2. Penderita mengumpulkan dahak pada hari kedua segera setelah bangun tidur dan dibawa ke laboratorium.

3. Sewaktu hari ke -3. Spesimen kedua dikumpulkan di laboratorium pada hari kedua dengan membawa dahak pagi.

c. Cara mengumpulkan spesimen Beri petunjuk kepada penderita untuk:

1. Tarik nafas dalam-dalam 2-3 kali pada setiap kali hembuskan nafas dengan kuat.

2. Batukkan dengan keras dari dalam dada.

3. Letakkan pot yang sudah dibuka dekat dengan mulut dan keluarkan dahak ke dalam pot.

4. Tutup pot dengan ketat dengan cara memutar tutupnya 5. Segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa

(21)

73

1. Diambil sputum yang kental (hijau kekuningan) / pilih bagian dari dahak yang purulen atau yang berdarah saja dengan lidi.

2. Spesimen dihapuskan pada bagian tengah kaca sediaan dengan ukuran 2x3 cm dengan cara membuat bulatan seperti spiral.

3. Dikeringkan pada suhu kamar.

4. Difiksasi 3X dengan cara melidah apikan.

5. Preparat dituangi dengan larutan Karbol Fuchsin sehingga menutupi seluruh kaca sediaan

6. Preparat dipanaskan sampai timbul uap, jangan sampai mendidih 7. Dibiarkan selama 5 menit

8. Dicuci dengan air mengalir sampai bersih

9. Preparat dituangi dengan asam alkohol 3% selama 2 menit, ulangi bila masih terlihat warna merah

10. Preparat dicuci dengan air mengalir sampai bersih 11. Dituangi dengan methylen blue 0,3% selama 10-20 detik 12. Dicuci dengan air mengalir sampai bersih

13. Dikeringkan di rak pengering 14. Preparat siap dibaca

e. Pembacaan sediaan hapus secara mikroskopis dengan International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUATL&LD Modification)

- Tidak dijumpai BTA per 300 lapang pandang (LP) : negatip

- 1-9 BTA per 100 LP : ditulis jumlah BTA

(22)

74

- 1-10 BTA per 1 LP, periksa minimal 50 LP : 2+ - >10 BTA per 1 LP, periksa minimal 20 LP : 3+ -

3.9. Jadwal Penelitian

Jadwal Bulan

Uraian I II III IV V VI VII VIII IX X XI Persiapan √ √

Pengumpulan Data

√ √ √ √

Analisa Data √

Penulisan Laporan

√ √ √

Seminar √

3.10. Biaya Penelitian

Pengumpulan kepustakaan Rp. 200.000 Pembuatan proposal Rp. 200.000 Seminar proposal Rp 2.000.000 Bahan habis pakai:

 Test HIV dengan menggunakan stick Rp. 1.600.000  Ekstraksi DNA dari darah tepi dan pemeriksaan

polimorfisme dengan teknik PCR-RFLP Rp. 30.000.000  Pemeriksaan sputum Bakteri Tahan Asam

(23)

75

 Foto toraks PA Rp. 15.000.000  Test tuberkulin Rp. 6.000.000  Pemeriksaan laboratorium lainnya

(faal hati, faal ginjal dan kadar gula darah) Rp. 7.500.000  Kuesioner Rp. 250.000

Pendukung penelitian Rp. 6.000.000 Pembuatan laporan (4 kali) Rp. 1.000.000 Penggandaan laporan (4 kali) Rp. 2.000.000 Seminar penelitian (3 kali) Rp. 10.000.000 Total biaya Rp. 82.500.000

(24)

76 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode kasus kontrol dengan pasien tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan petugas kesehatan di rumah sakit sebagai kelompok kontrol. Data penelitian untuk menetapkan kelompok kasus diambil dengan cara anamnesis, pemeriksaan kuman BTA hapusan langsung dan foto toraks. Dilakukan juga pemeriksaan KGD sewaktu dan ditanyakan riwayat menderita diabetes melitus serta dilakukan pemeriksaan test HIV dengan

rapid test menggunakan stick. Individu dengan BTA positif dan kasus TB

paru yang baru atau belum pernah diobati, tidak pernah menderita DM dan KGD sewaktu dalam batas normal, test HIV negatif, tidak menderita sakit berat lainnya dan tidak mengkonsumsi obat bersifat imunosupresif diikutkan dalam penelitian sebagai kelompok kasus.

(25)

77

Dilakukan penyetaraan (sample matching) dalam hal kelompok umur, jenis kelamin dan etnis antara kelompok kasus dan kontrol.

Kelompok kasus sebanyak 76 orang berasal dari RS H Adam Malik Medan, BP4 Medan, dan praktek pribadi dokter spesialis paru yang menggunakan sistem DOTS. Sedangkan kelompok kontrol sebanyak juga 76 orang didapat dari petugas kesehatan di RS H Adam Malik Medan dan beberapa rumah sakit swasta di Medan.

Semua subjek penelitian adalah individu bersuku Batak yang didapat dengan cara anamnesis menggunakan pohon silsilah keluarga. Subjek penelitian adalah bersuku Batak mulai generasi kakek dan neneknya atau minimal ibu dan bapak subjek penelitian bersuku Batak.

(26)

78

4.1. Karakteristik Sampel Penelitian Kasus dan Kontrol. 4.1.1. Karakterisik berdasarkan umur, jenis kelamin dan etnik

Karakterisik berdasarkan umur dan jenis kelamin kelompok kasus atau penderita TB paru dan kontrol dapat dilihat pada tabel 4.1. Karena dilakukan matching jenis kelamin, kelompok umur dan etnik, maka didapatkan jumlah perempuan dan laki-laki yang sama dan jumlah yang sama terhadap kelompok umur serta etnik yang sama antara kelompok kasus dan kontrol

Tabel 4.1. Karakteristik berdasarkan umur, jenis kelamin dan etnik.

Karakteristik

Kasus (TB Paru)

n (%)

Kontrol (Tidak TB Paru)

n (%)

Jenis kelamin

Laki-laki 53 (69,7) 53 (69,7)

Perempuan 23 (30,3) 23 (30,3)

Umur (tahun)

16-25 22 (28,9) 22 (28,9)

26-35 32 (42,1) 32 (42,1)

36-45 14 (18,4) 14 (18,4)

46-55 8 (10,5) 8 (10,5)

Etnik

(27)

79

Jenis kelamin terbanyak pada penelitian ini adalah laki-laki yaitu 53 orang (69,7%) pada kelompok kasus dan kontrol, sedangkan kelompok umur terbanyak adalah 26-35 tahun sebanyak 32 orang (42,1%) pada kelompok kasus dan kontrol, dan semuanya bersuku Batak.

4.1.2. Karakteristik kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol serta pengaruhnya terhadap TB paru

Tabel 4.2. Karakteristik kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.

Kebiasaan

Terdapat perbedaan proporsi kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol dengan yang tidak merokok dan tidak konsumsi alkohol yang bermakna secara statistik antara kelompok kasus dan kontrol (p<0,05).

(28)

80

Tabel 4.3. Pengaruh kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol terhadap TB paru

Didapatkan hasil yaitu subjek yang mempunyai kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol 14 kali risikonya untuk menderita TB paru.

4.1.3. Karakteristik berdasarkan luas lesi dan uji tuberkulin

Distribusi penilaian luas lesi pada foto toraks pasien TB paru dan distribusi uji tuberkulin pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.4. Luas lesi terbanyak adalah lesi sedang pada 40 orang (52,6%) kasus TB paru, luas lesi minimal berjumlah 11 orang (14,5%), dan lesi luas 25 orang (32,9%).

(29)

81

sehingga hasil uji tuberkulin ≥ 10 mm dinyatakan positif. Hasil uji tuberkulin dinyatakan positif pada 47 orang (61,9%).

Tabel 4.4. Karakteristik berdasarkan luas lesi foto toraks dan uji tuberkulin

Karakteristik

Kasus (TB Paru)

n (%)

Kontrol (Tidak TB Paru)

n (%) Luas lesi

Minimal 11 (14,5) -

Sedang 40 (52,6) -

Luas 25 (32,9) -

Total 76 (100) -

Uji tuberkulin (milimeter)

0-4 - 16 (21,0)

5-9 - 13 (17,1)

10-14 - 18 (23,7)

≥15 - 29 (38,2)

Total - 76 (100)

4.2. Pemeriksaan Faktor Genotip

(30)

82

produk PCR polimorfisme FokI berupa pita DNA sebesar 265 bp dapat dilihat pada gambar 4.1.

M 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46

Gambar 4.1. Foto elektroforesis produk PCR gen RVD polimorfisme

FokI. Tampak pita DNA pada posisi 265 bp kelompok pasien P

32-P46.

4.2.1. Analisis polimorfisme FokI gen RVD

Setelah produk PCR gen RVD polimorfisme FokI didapat, selanjutnya produk PCR dipotong oleh enzim restriksi FokI. Apabila terpotong maka pada gambaran elektroforesis akan terlihat pita DNA 169 dan 96 bp. Jika tidak terpotong akan terlihat pita DNA 265 bp. Adanya daerah restriksi ditandai dengan huruf kecil “f” dan tidak adanya daerah restriksi ditandai dengan huruf besar “F”. Homozigot FF menghasilkan pita 265 bp, homozigot ff menghasilkan pita 169 bp dan 96 bp, heterozigot Ff jika terdapat tiga pita yaitu 265 bp, 169 bp dan 96 bp (gambar 4.2).

M UC 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70

200 bp 100 bp 500 bp 300 bp

265bp 169bp 96 bp 200 bp

100 bp 500 bp

(31)

83

Gambar 4.2. Foto RFLP polimorfisme FokI pada sampel kontrol. M=marker. UC=uncut. Genotip FF pada sampel K68 mempunyai 1 pita (265 bp), genotip ff pada sampel K67 mempunyai 2 pita (169 dan 96 bp), dan genotip Ff pada sampel K70 mempunyai 3 pita (265, 169 dan 96 bp).

4.2.2. Analisis polimorfisme BsmI gen RVD

Hasil elektroforesis produk PCR gen reseptor RVD polimorfisme BsmI berupa pita DNA pada posisi 825 bp dapat dilihat pada gambar 4.3. Kemudian produk PCR dipotong oleh enzim restriksi BsmI seperti terlihat pada gambar 4.4. Apabila terpotong maka pada gambaran elektroforesis akan terlihat pita DNA pada 650 dan 175 bp. Jika tidak terpotong akan terlihat pita DNA 825 bp. Adanya daerah restriksi ditandai dengan huruf kecil “b” dan tidak adanya daerah restriksi ditandai dengan huruf besar “B”. Homozigot BB menghasilkan pita 825 bp, homozigot bb menghasilkan pita 650 bp dan 175 bp, heterozigot Bb jika terdapat tiga pita yaitu 825 bp, 650 bp dan 175bp.

Gambar 4.3. Foto hasil produk PCR gen RVD polimorfisme BsmI. K=Kontrol. Tampak pita DNA pada posisi 825 bp kelompok kontrol 51-64.

M K 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64

300 bp 200 800 bp 500 bp

(32)

84

Gambar 4.4. Foto RFLP polimorfisme BsmI pada sampel kontrol. M= marker, UC= uncut. Genotip BB pada sampel K59 mempunyai 1 pita

(825 bp), genotip bb pada sampel K66 mempunyai 2 pita (650 dan 175 bp), genotip Bb pada sampel K70 mempunyai 3 pita (825, 650 dan 175 bp)

4.3. Analisis Distribusi Frekuensi Alel dan Genotip Polimorfisme FokI dan

BsmI Gen RVD

(33)

85 Alel

F 96 (63,2) 94 (61,8) 0,054 0,816 f 56 (36,8) 58 (38,2)

Total 152 (100) 152 (100)

BsmI

Genotip BB 0 2 (2,6) 20,480 <0,001 Bb 52 (68,4) 18 (23,7)

bb 24 (31,6) 56 (73,7) Total 76 (100) 76 (100) Alel

B 52 (34,2) 22 (14,5) 13,918 <0,001 b 100 (65,8) 130 (85,5)

Total 152 (100) 152 (100)

Distribusi genotip dan alel polimorfisme FokI dan BsmI gen Reseptor Vitamin D dapat dilihat pada tabel 4.5. Kelompok kasus yang mempunyai genotip Ff sebanyak 42 orang (55,3%), FF 27 orang (35,5%) dan genotip ff 7 orang (9,2%). Kelompok kontrol yang mempunyai genotip Ff sebanyak 34 orang (44,7%), genotip ff 12 orang (15,8%) dan genotip FF 30 orang (39,5%). Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal distribusi genotip gen RVD polimorfisme FokI antara kelompok kasus dan kontrol (p>0,05).

(34)

86

kelompok kontrol sebanyak 94 (61,8%) dan alel f sebanyak 58 (38,2%). Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal frekuensi alel F dan f polimorfisme FokI gen RVD antara kelompok kasus dan kontrol (p>0,05).

Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kasus dan kontrol polimorfisme BsmI gen reseptor vitamin D dalam hal distribusi genotip (p<0.001). Genotip terbanyak pada kelompok kasus adalah Bb (68,4%) sedangkan genotip terbanyak pada kelompok kontrol adalah bb (73,7%). Terdapat juga perbedaan yang bermakna dalam hal frekuensi alel polimorfisme BsmI gen reseptor vitamin D (p<0,001). Frekuensi alel B terbanyak pada kelompok kasus (34,2%) dibandingkan kelompok kontrol (14,5%); frekuensi alel b terbanyak pada kelompok kontrol (85,5%) dibandingkan kelompok kasus (65,8%).

Tabel 4.6. Keseimbangan Hardy-Weinberg kelompok kasus dan kontrol polimorfisme FokI dan BsmI

(35)

87

HWE, Hardy-Weinberg Equilibrium; p<0,05 menyatakan signifikan disequilibrium.

Dilakukan juga perhitungan untuk mengetahui apakah genotip polimorfisme FokI dan BsmI dalam keadaan keseimbangan

(Hardy-Weinberg Equilibrium) atau tidak (tabel 4.6). Genotip polimorfisme FokI

(36)

88

sedangkan genotip polimorfisme BsmI pada kelompok kasus tidak pada keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg (p<0,05).

4.4. Analisis Pengaruh Polimorfisme FokI dan BsmI Gen RVD terhadap Kerentanan terjadinya TB Paru.

Setelah mengetahui distribusi genotip dan alel dari polimorfisme

Fok I dan BsmI gen reseptor vitamin D pada kelompok kasus dan kontrol,

selanjutnya dicari pengaruh genotip masing-masing polimorfisme terhadap risiko menderita TB paru. Analisis multivariat dilakukan dengan status penyakit sebagai variabel dependen dan masing-masing polimorfisme sebagai varabel independen. Sebagai pembanding pada polimorfisme

FokI adalah genotip FF, sedangkan pada polimorfisme BsmI gabungan

genotip BB + Bb adalah sebagai pembanding karena pada kelompok kasus tidak ada subjek yang mempunyai genotip BB.

Tabel 4.7. Analisis pengaruh polimorfisme FokI dan BsmI terhadap kerentanan terjadinya TB paru

Polimorfisme

Kasus (TB Paru)

n (%)

Kontrol (Tidak TB

Paru) n (%)

OR (95% CI) p

FokI

(37)

89

Ff 42 (55,3) 34 (44,7) 1,39 (0,70– 2,77)

0,352

ff 7 (9,2) 12 (15,8) 0,65 (0,22 – 1,86)

0,419

BsmI

Genotip BB+Bb

52 (68,4) 20 (26,3) 1

bb 24 (31,6) 56 (73,7) 0,22 (0,11 – 0,45)

<0,001

Hasil analisis pada polimorfisme FokI gen RVD yaitu tidak ada perbedaan risiko untuk menderita TB paru antara subjek yang mempunyai variasi genetik (Ff dan ff) dengan subjek tanpa variasi genetik (FF), dengan nilai OR 1,39, 95% CI: 0,70-2,77 untuk genotip Ff dan OR 0,65, 95% CI: 0,22-1,86 untuk genotip ff.

Analisis polimorfisme BsmI gen RVD dilakukan dengan menggabung genotip BB dan Bb karena pada kelompok kasus tidak ada yang mempunyai genotip BB. Ada perbedaan risiko untuk menderita TB paru antara subjek yang mempunyai variasi genetik homozigot (bb) dibandingkan dengan subjek yang mempunyai genotip BB + Bb. Genotip bb berhubungan dengan penurunan risiko atau merupakan faktor protektif terhadap TB paru (OR 0,22, 95% CI: 0,11-0,45).

(38)

90

Merokok dan konsumsi alkohol adalah faktor yang signifikan berbeda antara kelompok kasus dan kontrol. Karena itu dilakukan analisis peran faktor genotip polimorfisme FokI dan BsmI terhadap kerentanan terjadinya TB paru dengan mengontrol faktor merokok dan konsumsi alkohol untuk mendapatkan nilai adjusted Odds Ratio.

Tabel 4.8. Analisis pengaruh polimorfisme FokI dan BsmI terhadap kerentanan terjadinya TB paru setelah mengendalikan faktor kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

Polimorfisme Adjusted OR OR (95% CI) p

FokI

Genotip FF 1

Ff 0,79 0,29 - 2,11 0,633 ff 0,53 0,14 – 2,06 0,361

BsmI

Genotip BB+Bb 1

bb 0,31 0,13 - 0,73 0,008

Setelah faktor merokok dan konsumsi alkohol di adjust, hasilnya tetap sama yaitu tidak ada perbedaan risiko untuk menderita TB paru pada subjek yang mempunyai variasi genetik dan yang tidak mempunyai variasi genetik pada analisis polimorfisme FokI dengan nilai Adjusted OR 0,79, 95% CI: 0,29-2,11 untuk genotip Ff dan Adjusted OR 0,53, 95% CI: 0,14-2,06 untuk genotip ff. Hasil analisis pada polimorfisme BsmI setelah faktor merokok dan konsumsi alkohol di adjust juga sama seperti sebelum di adjust yaitu didapatkan hubungan yang signifikan antara polimorfisme

(39)

91

0,31, 95% CI: 0,13-0,73) atau dengan kata lain genotip bb adalah faktor protektif terhadap TB paru, baik pada yang merokok maupun yang mengkonsumsi alkohol.

4.6. Analisis Luas Lesi Foto Toraks berdasarkan Genotip pada Kelompok Kasus

4.6.1. Analisis luas lesi foto toraks berdasarkan genotip polimorfisme FokI gen RVD kelompok kasus

Tabel 4.9. Polimorfisme FokI gen RVD berdasarkan luas lesi foto toraks pada kelompok kasus

Genotip

Luas lesi Minimal

n (%)

Sedang n (%)

Luas n (%)

χ2

p

FF 3 (27,3) 13 (32,5) 11 (44,0)

Ff 8 (72,7) 22 (55,0) 12 (48,0) 137,41 0,956 ff 0 (0) 5 (12,5) 2 (8,0)

Total 11 (100) 40 (100) 25 (100)

Hasil analisis genotip polimorfisme FokI gen RVD berdasarkan luas lesi foto toraks pada kelompok kasus memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara genotip polimorfisme FokI dan luas lesi dengan nilai p>0,05.

(40)

92

Tabel 4.10. Polimorfisme BsmI gen RVD berdasarkan luas lesi foto toraks pada kelompok kasus

Genotip

Luas lesi

χ2

p Minimal

n (%)

Sedang n (%)

Luas n (%)

BB 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 137,50 0,712 Bb 7 (63,6) 32 (80,0) 13 (52,0)

bb 4 (36,4) 8 (20,0) 12 (48,0) Total 11 (100) 40 (100) 25 (100)

(41)

93 BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subjek Penelitian

5.1.1. Jenis kelamin

Jumlah penderita TB paru laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu masing-masing pada kelompok kasus dan kontrol 53 orang (69,7%) laki-laki dan 23 orang (30,3%) perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol dan bukan mencari prevalensi, maka tidak dapat disimpulkan secara langsung bahwa penderita TB laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Laporan WHO dalam WHO Report 2012, pada penderita TB paru kasus baru BTA hapusan langsung positip, ratio penderita laki-laki terhadap perempuan secara global adalah 1,9. Ratio di Indonesia adalah 1,5, sedangkan pada negara dengan kasus yang tinggi ratio ini dilaporkan bervariasi dari 0,5 di Afganistan hingga 3,0 di Vietnam (WHO, 2012).

(42)

94

BB polimorfisme BsmI dan genotip AA polmorfisme ApaI berhubungan dengan ketahanan terhadap TB paru pada laki-laki (Selvaraj, et al., 2003).

Dilakukan matching jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan pada penelitian ini sehingga pengaruh jenis kelamin tidak dapat dibandingkan lagi.

5.1.2. Umur

Kelompok umur penderita TB terbanyak pada penelitian ini adalah 26-35 tahun yaitu 32 orang (42,1%), diikuti oleh kelompok umur 16-25 tahun sebanyak 22 orang (28,9%) dan 36-45 tahun sebanyak 14 orang (18,4%), sedangkan kelompok umur 46-55 tahun hanya 8 orang (10,5%). Menurut laporan WHO, di Indonesia persentase kelompok umur penderita TB paru kasus baru BTA positip pada segala usia terbanyak adalah usia 15-44 tahun sebesar 58,45%, diikuti kelompok umur 45-64 tahun sebesar 34,06%, ≥65 tahun sebesar 6,6,% dan sisanya adalah umur 0-14 tahun. Proporsi berdasarkan kelompok umur secara global di seluruh dunia juga didapatkan hampir sama dengan Indonesia (WHO, 2012).

Proporsi berdasarkan kelompok umur pada penelitian ini tidak dapat diperbandingkan secara langsung dengan laporan WHO atau studi prevalensi lainnya karena disain penelitian ini adalah kasus kontrol.

(43)

95

sakit dan mencapai puncak kedua pada usia 20-30 tahun. Peranan interaksi antara hormon terhadap infeksi TB menjelaskan perbedaan terjadinya penyakit TB pada beberapa tingkatan usia. Interaksi antara dehydroepiandrosterone (DHEA) dan glukokortikoid mempengaruhi beberapa fungsi limfosit. Konsentrasi dehydroepiandrosterone sulphat (DHEAS), metabolit dari DHEA, setelah tetap rendah hingga usia 7 tahun, mulai meningkat bersamaan dengan dimulainya pubertas. Karena perempuan lebih cepat masa awal pubertasnya, konsentrasi DHEAS meningkat lebih cepat pada perempuan hingga mencapai puncaknya antara usia 20-24 tahun dan menurun sejalan dengan bertambahnya usia (Donald, et al., 2010). Penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi plasma DHEA berkorelasi dengan kadar interferon gamma. Penyakit TB aktif ditandai dengan peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar DHEA. Gangguan rasio kortisol terhadap DHEA mengakibatkan perubahan konsentrasi sitokin kunci pada TB yaitu interferon gamma (Bozza, et al., 2007).

Uraian di atas memaparkan hal-hal yang memungkinkan mengapa pada kelompok umur tertentu lebih banyak menderita TB. Dilakukan

matching kelompok umur pada penelitian ini sehingga pengaruh umur

tidak dapat dibandingkan lagi. Jika dihubungkan dengan polimorfisme gen RVD, maka umur dan jenis kelamin tidak berhubungan dengan polimorfisme yang dimiliki seseorang.

(44)

96

Distribusi luas lesi untuk kelompok kasus adalah 11 orang (14,5%) lesi minimal, 40 orang (52,6%) lesi sedang, 25 orang (32,9%) adalah lesi luas. Jika pembagian luas lesi berdasarkan pedoman PDPI yang membagi luas lesi atas dua yaitu lesi minimal dan lesi luas (PDPI, 2011), maka distribusi luas lesi foto toraks pada penelitian ini adalah lesi minimal sebanyak 11 orang (14,5%) dan lesi luas adalah 65 orang (85,5%). Hal yang hampir sama sering didapatkan dari beberapa penelitian.

Penelitian di Aceh, dari 34 penderita TB paru, luas lesi foto toraks minimal sebesar 17,6%, lesi sedang 35,3% dan lesi luas 47,1% (Mulyadi,

et al., 2011). Penelitian di Makasar, dari 60 orang penderita TB paru, 0%

lesi minimal, 53,3% lesi sedang dan 47,7% lesi luas (Djaharuddin, 2012).

Walaupun penelitian-penelitian yang disebutkan di atas tidak secara khusus untuk mencari distribusi frekuensi luas lesi, tetapi terlihat distribusi frekuensi lesi minimal selalu yang paling rendah dibandingkan lesi sedang dan luas. Penyebabnya tidak diketahui, apakah memang penderita datang terlambat atau terlambat didiagnosis sehingga kerusakan paru sudah meluas atau strain kuman adalah yang virulensinya tinggi misalnya strain Beijing.

(45)

97

Parwati, 2010). Genotipe Beijing adalah strain M. tuberculosis yang merupakan penyebab Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Strain ini lebih virulen dibandingkan genotip lain dan cepat menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan tersebar global (Glynn, et al., 2002; López, et al., 2003). Prevalensi tertinggi genotip Beijing di Asia Tenggara adalah Vietnam (53%), Thailand (44%) dan Indonesia (34%) (Glynn, et al., 2002).

5.1.4. Hasil test tuberkulin kelompok kontrol.

Selain pemeriksaan foto toraks, pada kelompok kontrol juga dilakukan test tuberkulin. Hasil test tuberkulin ≥ 10 milimeter dianggap positip pada petugas kesehatan sesuai dengan panduan CDC (Centers for Disease Control and Prevention)(CDC, 2013). Hasil ≥ 10 mm didapat pada 47 orang (61,9%) dari kelompok kontrol, dengan kata lain dari penelitian ini didapatkan 61,9% kelompok kontrol telah terinfeksi TB, yang berarti kelompok kontrol terbukti pernah terpajan TB. Hal ini penting untuk studi kasus kontrol penelitian seperti ini, karena berarti kelompok kontrol juga mempunyai kesempatan yang tinggi untuk menderita TB paru akibat pernah terpajan TB paru.

5.1.5. Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

(46)

98

alkoholnya dan kebiasaan ini merupakan faktor risiko terhadap terjadinya TB paru dengan nilai OR 14,00, 95% CI: 3,34 – 58,76.

Penelitian Hasmiller dengan cara mereview 34 penelitian dari berbagai negara membuktikan merokok berhubungan dengan peningkatan risiko terinfeksi oleh M. tuberculosis, risiko berkembangnya tuberkulosis, berkembangnya tuberkulosis yang berat dan risiko kematian akibat tuberkulosis (Hasmiller, 2006). Penelitian meta analisis dari 24 penelitian yang berbeda dengan cara melakukan analisis terpisah yaitu infeksi TB (6 penelitian), penyakit TB (13 penelitian) dan kematian oleh TB (5 penelitian). Meta analisis ini mendapatkan hubungan merokok dengan terinfeksi TB (RR 1,73; 95% CI 1,46-2,04), dengan terjadinya tuberkulosis setelah jenis kelamin, umur dan faktor perancu lain diadjust (RR 2,33; 95% CI 1,81-3.01) dan risiko mortalitas TB tidak berhubungan dengan merokok (Bates, et al., 2007).

Penelitian meta analisis oleh Lönnroth, et al. (2008) menyimpulkan bahwa Risiko Relative untuk peminum alkohol berat dengan batasan di atas 40 gram alkohol perhari adalah 2,94, 95% CI: 1,89-4,59. Hasil yang sama didapatkan dalam penelitian meta-analisis lain dengan hasil alkohol mempengaruhi insidens terjadinya TB dan hasil pengobatan TB, tingginya angka reinfeksi, putus berobat dan terjadinya TB resisten obat. Berdasarkan data yang ada, diperkirakan sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan alkohol (Rehm, et al., 2010).

(47)

99

Distribusi frekuensi genotip polimorfisme FokI gen Reseptor Vitamin D kelompok kasus adalah genotip FF 35,5%, genotip Ff 55,3% dan genotip ff 9,2%. Distribusi frekuensi alel pada kelompok kasus yaitu alel F 63,2% dan alel f 36,8%. Distribusi frekuensi pada kelompok kontrol adalah genotip FF 39,5%,genotip Ff 44,7% dan genotip ff 15,8%. Distribusi frekuensi alel pada kelompok kontrol yaitu alel F sebanyak 61,8% dan alel f sebanyak 38,2%.

Distribusi frekuensi polimorfisme FokI gen RVD di dunia berbeda antar populasi atau etnik. Alel f polimorfisme FokI gen RVD frekuensinya lebih rendah pada ras Afrika (24%) jika dibandingkan dengan 34% pada Kaukasia dan 51% pada Asia (Uitterlinden, et al., 2004).

Tabel 5.1. memperlihatkan distribusi frekuensi genotip polimorfisme

FokI gen RVD kelompok kasus dan kontrol hasil penelitian ini

dibandingkan dengan negara / etnik yang berbeda.

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi genotip polimorfisme FokI gen RVD pada berbagai populasi

Negara Etnik N

Kasus

Genotip (%)

Kontrol

Genotip (%)

Referensi

FF Ff ff FF Ff ff

Indonesia

Asia

(Batak)

152 35,5 55,3 9,2 39,5 44,7 15,8 Studi ini

Korea Asia 208 39 41 20 29,1 56,3 14,6 Kang

(48)

100

Cina Asia

(Han) 360 24,2 52,5 23,3 35,4 50 14,6 Liu

Cina

Asia

(Kazakh)

424 33,8 45,1 21,1 47,9 41,7 10,4 Wu

Paraguai Amerika

(Ache) 178 64,8 35,2 0 0,8 33,9 65,3 Wilbur

Gambia,

Guinea-Bissau,

Guinea

Afrika 1134 62 33,2 4,8 61,8 33,7 4,5 Bornman

Iran Asia 204 59,1 38,4 6,1 30 60 10 Marashian

Iran Asia 122 50 35 15 46,8 43,5 9,7 Banoei

Iran Asia 177 57,3 39,3 3,4 58,3 41,7 0 Merza

Terlihat adanya perbedaan distribusi frekuensi genotip FokI pada tiap negara / etnik yang berbeda. Penelitian di Paraguay oleh Wilbur, et

al., (2007) mendapatkan frekuensi genotip ff kelompok kontrol sangat

(49)

101

pada kelompok kasus penelitian ini. Perbedaan distribusi genotip polimorfisme FokI pada populasi lainnya dapat dilihat pada tabel 5.1.

5.3. Analisis Distribusi Alel dan Genotip Polimorfisme BsmI Gen RVD

Distribusi frekuensi genotip polimorfisme BsmI gen Reseptor Vitamin D kelompok kasus didapatkan hasil genotip BB 0%, genotip Bb 68,4% dan genotip bb 31,6% sedangkan pada kelompok kontrol genotip BB 2,6%, genotip Bb 23,7% dan genotip bb 73,7%. Didapatkan juga frekuensi alel B 34,2% pada kelompok kasus dan 14,5% pada kelompok kontrol. Frekuensi alel b 65,8% pada kelompok kasus dan 85,5% pada kelompok kontrol.

Seperti polimorfisme FokI, frekuensi alel polimorfisme BsmI gen RVD di dunia juga berbeda antar etnik. Frekuensi alel B pada ras Asia (7%), lebih rendah jika dibandingkan dengan Afrika (36%) dan Kaukasia (42%) (Uitterlinden, et al., 2004). Penelitian lain mendapatkan hasil frekuensi genotip bb polimorfisme BsmI 2% pada populasi Asia, 55% pada Afrika Amerika dan 17% pada Kaukasia (Zmuda, et al., 2000).

Tabel 5.2. berikut menunjukkan frekuensi genotip polimorfisme

BsmI gen RVD kelompok kasus dan kontrol pada penelitian ini

dibandingkan dengan negara dan etnik yang berbeda.

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi genotip polimorfisme BsmI gen RVD pada berbagai populasi

Negara Etnik N Kasus Genotip (%)

Kontrol

Genotip (%) Referensi

(50)

102

Indonesia

Asia

(Batak)

152 0 68,4 31,6 2,6 23,7 73,7 Studi ini

Korea Asia 233 1,3 8,7 90,0 0 9,6 90,4 Kang

India Asia 110 34,8 52,2 13,0 28,1 42,2 29,7 Selvaraj

India Asia 326 31,7 51,5 16,8 25,3 59,6 15,1 Shing

Malawi Afrika 890 61,4 35,7 2,9 57,6 35,2 7,2 Fitness

Venda Afrika 221 5,8 36,5 57,7 7,7 27,3 65 Lombard

Gambia,

Guinea-Bissau,

Guinea

Afrika 977 5,8 31,5 62,7 6,2 32,8 61 Bornman

Iran Asia 177 5,9 57,3 36,8 21,7 35 43,3 Merza

Iran Asia 122 21,7 45 33,3 50 41,9 8,1 Banoei

Turki Asia 208 21,9 53,1 25 6,2 47,5 46,3 Ates

Sama seperti genotip FokI, pada tabel ini juga terlihat adanya distribusi frekuensi yang berbeda pada tiap negara. Frekuensi genotip bb pada kelompok kontrol adalah yang terbanyak yaitu sebesar 73,7% pada penelitian ini, dibandingkan penelitian di Iran oleh Banoei yang mendapatkan genotip BB adalah yang terbanyak sebesar 50% (Banoei, et

al., 2010). Distribusi frekuensi genotip polimorfisme BsmI pada kelompok

(51)

103

Secara umum, semua polimorfisme diawali sebagai mutasi yang kemungkinan terjadi berhubungan karena kerusakan DNA yang kemudian berkembang frekuensinya dalam populasi dan menjadi polimorfisme sesungguhnya. Jadi, perbedaan frekuensi alel pada kelompok etnik kemungkinan besar akibat dari proses evolusi dan perilaku genetik populasi (Uitterlinden, et al., 2004). Seleksi alam, perkawinan non random,

gene flow pada peristiwa migrasi dan genetic drift adalah hal lain yang

dapat menyebabkan perubahan frekuensi alel pada populasi (Andrews, 2010).

Dilakukan juga perhitungan apakah genotip kelompok kasus dan kontrol berada pada keseimbangan Hardy-Weinberg (Hardy-Weinberg Equilibrium / HWE). Suatu populasi dikatakan berada pada keseimbangan Hardy‐Weinberg jika proporsi genotip atau alel tetap konstan dari generasi ke generasi. Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi populasi yang sangat besar, adanya pernikahan random, tidak ada migrasi ke dalam atau ke luar dari populasi, tidak terjadi seleksi alam pada genotip spesifik, dan tidak terjadi mutasi (Andrews, 2010).

(52)

104

pada kelompok kontrol pada pada studi kasus kontrol menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg. Adanya penyimpangan dari HWE dapat menunjukkan adanya bias dalam pengambilan sampel, kesalahan pengerjaan pemeriksaan genotip atau stratifikasi populasi (Salanti, et al., 2005; Trikalinos, et al., 2006).

Genotip polimorfisme FokI pada kelompok kasus dan kontrol dan genotip polimorfisme BsmI pada kelompok kontrol pada penelitian ini berada pada keseimbangan Hardy-Weinberg (p>0.05), sedangkan genotip polimorfisme BsmI pada kelompok kasus tidak pada keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg (p<0.05).

5.4. Analisis Pengaruh Polimorfisme FokI Gen RVD terhadap Kerentanan Terjadinya TB paru

(53)

105

Dilakukan adjusted dengan analisis conditional multiple logistic

regrssion untuk kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol karena faktor

kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol merupakan faktor perancu pada penelitian ini. Faktor kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol terbukti merupakan faktor perancu karena selisih nilai OR sebelum dan sesudah faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan adalah >10% (Newman, 2001).

Faktor genotip ff pada penelitian ini tidak bersifat sebagai faktor risiko, walaupun ada bukti yang memperlihatkan bahwa aktivasi trankripsi pada alel F 1,7 kali lebih besar dibandingkan alel f (Arai, et al., 1997). Jurutka et al. (2007) mendapatkan alel F berinteraksi lebih efisien dengan faktor transkripsi TFIIB sehingga transkripsi protein reseptor vitamin D yang dihasilkan lebih poten. Eksperimen transfeksi pada sel imun oleh Van Etten et al. (2007), adanya alel F RVD menyebabkan NF kappaB dan

NFAT-driven transcription yang lebih tinggi, sama tingginya dengan

IL-1240 promotor-driven transcription. Sejalan dengan hal itu, pada sel monosit dan dendritik manusia dengan genotip FF, ekspresi IL-12 (mRNA dan protein) lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang menpunyai genotip ff. Selain itu, limfosit dengan genotip FF berploriferasi lebih kuat dalam merespon fitohemaglutinin.

Hasil yang sama yaitu tidak adanya hubungan antara polimorfisme

FokI dan kerentanan terhadap TB paru juga didapatkan di Korea (Kang, et

al., 2011) dan Iran (Banoei, et al., 2009) dan pada TB spinal di India

(54)

106

mendapatkan hubungan yang bermakna antara polimorfisme FokI dan kerentanan terhadap TB (Olesen, et al., 2007; Bornman, et al., 2007; Lombard, et al., 2006). Hal yang sama didapatkan pada penelitian di Amerika Selatan (Wilbur, et al., 2007).

Beberapa penelitian meta analisis mendapatkan adanya hubungan antara polimorfisme FokI dengan kerentanan terhadap TB. Meta analisis di Cina pada etnik Han mendapatkan adanya hubungan antara polimorfisme FokI gen RVD genotip ff dengan kerentanan terhadap TB paru dengan Fixed effect model: OR 1,91, 95% CI 1,44-2,52 dan Random

effect model: OR 1,91, 95% CI 0,94-3,88 (Shang, et al., 2012.) Penelitian

meta analisis oleh Gao et al. (2010) berdasarkan pengelompokan etnis, mendapatkan hasil adanya hubungan polimorfisme gen reseptor vitamin D

FokI genotip ff dengan kerentanan terhadap TB pada populasi Asia.

Penelitian meta analisis lain pada 13 studi mendapatkan adanya kerentanan terhadap TB disebabkan varian FokI pada empat model yaitu alel f vs F, genotip ff vs FF dan genotip ff vs Ff+FF (Quian, et al., 2011). Meta analisis pada 29 studi kasus kontrol lainnya menunjukkan adanya hubungan antara geniotip ff dan kerentanan terhadap TB paru pada etnik Cina tapi tidak pada etnik lainnya (Chen, et al., 2013 ).

(55)

107

5.5. Analisis Pengaruh Polimorfisme BsmI Gen RVD terhadap Kerentanan Terjadinya TB paru

Penelitian ini mendapatkan polimorfisme BsmI gen RVD berpengaruh terhadap kerentanan terjadinya TB paru sebelum dan sesudah faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan (di adjust). Nilai odds ratio sebelum faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan adalah OR 0,22, 95% CI: 0,11-0,45 untuk genotip bb, sedangkan nilai odds ratio (adjusted odds ratio) sesudah faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan adalah Adjusted OR 0,31, 95% CI: 0,13-0,73 untuk genotip bb.

Dilakukan juga adjusted pada analisis polimorfisme BsmI, hasilnya adalah faktor kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol terbukti merupakan faktor perancu karena selisih nilai OR sebelum dan sesudah faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan adalah >10% (Newman, 2001).

Ini berarti genotip bb berhubungan dengan penurunan risiko atau merupakan faktor protektif terhadap TB paru baik pada yang merokok maupun yang mengkonsumsi alkohol.

(56)

108

homozygot bb vs BB, model resesif bb vs Bb+BB dan model dominan bb+Bb vs BB. Didapatkan hasil yang bermakna untuk populasi Asia pada keempat model tersebut yaitu adanya penurunan risiko terhadap TB. Dari Turki dilaporkan genotip bb bersifat protektif dan genotip BB berhubungan dengan kerentanan terhadap TB paru dan ekstra paru (Ates, et al., 2011).

Banoei et al. (2010) di Iran mendapatkan genotip bb berhubungan dengan kerentanan terhadap TB paru, sementara Merza et al. (2009) mendapatkan genotip Bb + bb berhubungan dengan kerentanan terhadap TB. Penelitian Bornman et al. (2004), Lombard et al. (2006) dan Fitnes et

al. (2004) di Afrika tidak mendapatkan adanya hubungan antara

polimorfisme BsmI dengan kerentanan dan ketahanan terhadap TB. Dari Asia dilaporkan hal yang sama oleh Shing et al. (2011) dari India dan Kang et al. (2011) dari Korea.

(57)

109

dimiliki yaitu mRNA alel t pada polimorfisme TaqI gen RVD lebih tinggi dibanding mRNA alel T (Yamagata, et al., 1999).

Determinasi SNP secara fungsional dan fenotip biokemikal seperti ekspresi dan fungsi molekul imunitas antara lain reseptor, sitokin dan lainnya oleh host adalah penting. Kebanyakan penelitian klinis yang bersifat asosiasi tidak diikuti dengan studi molekular seperti pada penelitian ini. Selvaraj et al. (2009) membandingkan level ex vivo protein Reseptor Vitamin D pada penderita TB paru dan tidak menderita TB paru. Pada orang sehat yang tidak menderita TB paru, dijumpai penurunan level ex vivo protein Reseptor Vitamin D pada subjek dengan genotip BB polimorfisme BsmI dan genotip tt polimorfisme TaqI; sedangkan pada polimorfisme ApaI level protein Reseptor Vitamin D tidak berbeda. Pada penderita TB paru level protein Reseptor Vitamin D tidak berbeda pada polimorfisme BsmI, TaqI dan ApaI. Tampaknya penelitian efek fungsional variasi pada daerah untranslated gen RVD ini masih sangat diperlukan.

Selain polimorfisme FokI dan BsmI, masih dijumpai polimorfisme RVD lain yaitu TaqI dan ApaI, yang dibuktikan dengan menggunakan enzim restriksi. Pada penelitian ini tidak dicari hubungan antara polimorfisme TaqI dan ApaI gen RVD dengan kerentanan terhadap TB paru, karena berdasarkan penelitian meta analisis oleh Gao et al. (2010) pada populasi Asia, yang berhubungan dengan kerentanan atau ketahanan terhadap TB adalah polimorfisme FokI dan BsmI.

(58)

110

berbeda memberikan hasil yang berbeda-beda. Adanya hasil yang berbeda disebabkan karena TB adalah penyakit yang kompleks, faktor lingkungan dan sosio ekonomi berpengaruh di dalamnya dan dapat menjadi faktor perancu dalam penelitian genetik. Selain itu beberapa hal lain seperti perbedaan etnik, penentuan kelompok kasus dan kontrol, interaksi gen-gen, dan faktor epigenetik dapat berpengaruh.

Perbedaan etnik dapat mempengaruhi hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian pada populasi lain disebabkan adanya distribusi frekuensi alel yang berbeda pada populasi atau etnik yang berbeda. Seperti sudah dijelaskan di atas distribusi frekuensi alel berbeda pada populasi yang berbeda.

Seleksi alam pada nenek moyang etnik yang berbeda dapat menjelaskan variasi pada kerentanan terhadap tuberkulosis. Eliminasi dari orang-orang yang rentan terhadap tuberkulosis sebelum mereka dapat berketurunan akan berlanjut bertahun-tahun dan tekanan selektif yang signifikan untuk menjadi resisten terhadap M. tuberculosis (Stead, 2001).

(59)

111

mendefinisikan kelompok kasus penderita TB paru dengan pemeriksaan kuman BTA hapusan langsung yang negatif. Hal ini mungkin saja dapat memberikan perbedaan dalam keparahan kasus sehingga definisi kasus tidak seragam antara beberapa penelitian (Stein, 2011).

Seleksi kontrol dapat menjadi masalah karena perbedaan defenisi kontrol di setiap penelitian. Pada penelitian mengenai TB, kontrol sebaiknya diusahakan sama dengan kasus kecuali adanya penyakit. Pada penelitian TB berarti kontrol seharusnya terpajan dengan kasus TB sehingga mempunyai kesempatan untuk terinfeksi dan berkembang menjadi penyakit. Pada penelitian ini kontrol adalah petugas kesehatan yang tidak menderita TB paru berdasarkan klinis dan pemeriksaan radiologis foto toraks. Dipilih petugas kesehatan karena petugas kesehatan kerap terpajan oleh kuman M. tuberculosis penyebab TB paru sehingga kesempatan untuk menderita tuberkulosis paru tinggi kemungkinannya. Hal ini terbukti dari hasil test tuberkulin yang positip pada 47 orang (61,9%) dari kelompok kontrol penelitian ini. Beberapa penelitian lain menggunakan populasi sebagai kontrol seperti pendekatan yang dilakukan pada studi asosiasi genome yang besar yang memakai bank darah donor. Hal ini dapat menyebabkan bias misklasifikasi karena ada peluang kontrol tidak pernah terpajan TB (Stein, 2011).

(60)

112

dengan gen Interferon Gamma Receptor 1 (IFNGR1) dan TLR4 pada kerentanan terhadap TB. Yang menarik adalah kedua gen yaitu IFNGR1 dan TLR4 tidak terbukti mempunyai efek yang signifikan terhadap kejadian TB jika tidak berinteraksi dengan gen NOS2A (Velez, et al., 2009). Hal yang sama didapatkan yaitu interaksi gen-gen antara varian gen SLCA11A dan TLR2 pada orang Afrika-Amerika (Velez, et al., 2009), gen SLCA11A1 dan IFNGR1 pada populasi di Afrika Selatan (de Wit E, et

al., 2011), serta gen TNF dan IL-10 pada populasi di Tunisia (Ben-Selma,

et al., 2011), yang menunjukkan adanya hubungan dengan TB.

Pendekatan multi gen dan multi lokus ini dapat mengidentifikasi varian atau polimorfisme yang mempengaruhi dengan kuat insidens TB sewaktu dikombinasikan dengan varian gen lain, yang jika satu gen saja tidak memenuhi ktriteria signifikan secara statistik. Namun hal ini dapat menimbulkan hasil positip palsu karena banyaknya kombinasi gen yang memungkinkan. Statistik yang teliti adalah sangat esensial, tetapi dapat juga menghasilkan hasil yang tidak valid akibat terlalu memaksakan banyak keketatan dalam hal statistik (Azad, et al., 2012).

Penelitian ini hanya meneliti dua polimorfisme dari satu gen yaitu gen reseptor vitamin D, sehingga belum diketahui jika dilakukan pemeriksaan gen lain bersama gen reseptor vitamin D apakah didapat hasil yang berbeda akibat interaksi gen-gen.

(61)

113

intensitas dan lamanya sinar matahari yang berbeda pada setiap negara. Adanya fasilitas kesehatan yang mendukung dan mudah dicapai juga dapat mempengaruhi. Faktor non genetik lain yang mempengaruhi fungsi dari polimorfisme gen adalah diabetes, malnutrisi, umur, dan faktor lingkungan lainnya. Selain itu status HIV pada berbagai penelitian juga berbeda, ada yang HIV negatip, ada yang positip dan ada yang tidak diketahui. Penelitian van der Eijk et al. (2007) pada orang kembar mendapatkan bahwa faktor lingkungan memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan faktor hereditar untuk berkembangnya TB.

Kebiasaan diet dan lamanya terpapar sinar matahari tidak diketahui pada penelitian ini sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian belum diketahui.

(62)

114

Dilaporkan adanya polimorfisme miRNA dihubungkan dengan patogenesis TB, di mana SNP pada 146a (rs2910194G/C), yang meregulasi TLR signaling pathway, berhubungan dengan meningkatnya risiko TB paru pada populasi Cina. SNP ini bekerja dengan cara mengubah seleksi target miRNA dan atau ekspresinya, yang mengakibatkan perubahan fungsional dan atau fenotip (Li, et al., 2011). Dibutuhkan studi lainnya untuk mengetahui regulasi epigenetik gen imunitas inat melalui miRNAs yang dapat berhubungan dengan TB.

Contoh lainnya adalah miR-125 diekspresikan sangat tinggi dalam respon terhadap infeksi M. tuberculosis dan mengakibatkan penurunan produksi TNF oleh makrofag manusia (Rajaram, et al., 2011), sehingga genetik dari miR-125 seharusnya diteliti lagi untuk mengetahui apakah ada polimorfisme tempat target miR-125.

Penelitian lain menemukan bahwa sinyal M. tuberculosis atau 19-kDa lipoprotein nya, menginhibisi IFN-γ yang diinduksi oleh ekspresi class II transactivator (CIITA) dan proses ini berhubungan dengan deasitilasi histon pada gen CIITA (Pennini, et al., 2006).

Lingkungan adalah faktor penting yang dapat menyebabkan variasi epigenetik, seperti faktor nutrisi, faktor kimia, fisik dan usia. (Weidman, et

al., 2007). Beberapa faktor yang telah diteliti yang mempengaruhi

(63)

115

Beberapa penelitian menunjukkan merokok dapat menyebabkan perubahan epigenetik yang mengakibatkan terjadinya penyakit. Mekanisme epigenetik kemungkinan besar terlibat pada kontrol dari ekspresi gen penyakit paru kronik, seperti idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) dan PPOK, khususnya berhubungan dengan merokok dan perubahan epigenetik karena rokok pada metilasi DNA, modifikasi histon dan miRNAs (Yang & Schwartz, 2011).

Efek konsumsi alkohol terhadap epigenetik telah diteliti di antaranya mengakibatkan fetal alcohol spectrum disorders pada ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol ( Kobor & Weinberg, 2011), penyakit liver akibat alkohol (Mandrekar, 2011), kanker liver (French).

Perubahan atau modulasi epigenetik akibat merokok dan konsumsi alkohol terhadap terjadinya TB paru berdasarkan literatur yang ada, sejauh ini belum diketahui. Perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai efek merokok dan konsumsi alkohol terhadap epigenetik yang dapat menyebabkan terjadinya TB paru karena pada penelitian ini kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya TB paru.

(64)

116

metilasi pada reseptor vitamin D yang dapat mempengaruhi ekspresi gen. Pada populasi Afrika Selatan, perbedaan metilasi berhubungan dengan status TB. Didapatkan juga adanya interaksi antara genotip SNP TaqI gen reseptor vitamin D dengan terjadinya TB dihubungkan dengan variasi epigenetik gen reseptor vitamin D dan etnik yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi variasi genetik (genotip) dan variasi epigenetik (epigenotip) harus dipertimbangkan pada studi asosiasi dengan populasi yang berbeda.

5.6. Hubungan Faktor Genotip dengan Luas Lesi pada Foto Toraks Kelompok Kasus.

Penelitian ini tidak mendapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor genotip polimorfisme FokI dan BsmI gen Reseptor Vitamin D penderita TB paru dan luas lesi pada foto toraks kelompok kasus.

Luasnya kerusakan jaringan paru dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor inflamasi, co-morbid dan nutrisi. Penelitian Nugroho (2004) mendapatkan adanya hubungan yang substansial antara status gizi dan luas lesi radiologis pada penderita TB paru. Penelitian Ghulam et al. (2009) mendapatkan bahwa kadar Zinc dalam serum penderita TB paru berhubungan dengan luas lesi pada foto toraks, dengan penurunan kadar Zinc yang sangat progresif pada kelompok penderita TB paru dengan lesi

far advanced (lesi luas). Tidak hanya zinc, tapi juga mikronutrien lain,

(65)

117

eksperimental mendapatkan bahwa malnutrisi dapat menyebabkan imunodefisiensi sekunder yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi. Peningkatan risiko menderita TB dapat diakibatkan oleh perubahan fungsi protektif individu akibat interaksi dan kerjasama antara makrofag, sel T limfosit dan sitokin yang terganggu karena malnutrisi. Reaktivasi TB laten dapat terjadi karena gangguan status nutrisi. Malnutrisi protein telah diidetifikasi sebagai faktor risiko yang penting untuk predisposisi infeksi intraselular yang mengakibatkan kematian (Gupta, et al., 2009).

Dua kondisi co-morbid yang paling sering ditemukan pada TB adalah Diabetes Melitus disusul oleh PPOK (Aktoğu, et al., 1996; Wang,

et al., 2005). Faktor co-morbid dapat mempengaruhi luas lesi pada foto

toraks penderita TB paru. Penelitian Jiménez-Corona et al. (2012) mendapatkan bahwa penderita TB paru disertai DM mempunyai gambaran radiologis foto toraks yang lebih berat (gambaran kavitas dengan ukuran berapapun) dibandingkan penderita TB paru tanpa DM (OR 1,80, 95% CI 1,35-2,41).

(66)

118

(67)

119

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

1. Frekuensi alel F polimorfisme FokI gen reseptor vitamin D pada suku Batak penderita TB paru adalah 63,2% sedangkan frekuensi alel f adalah 36,8%. Pada populasi normal penelitian ini frekuensi alel F adalah 61,8% sedangkan frekuensi alel f adalah 38,2%. Frekuensi alel F dan f polimorfisme FokI gen RVD tidak berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p>0.05).

2. Frekuesi genotip FF polimorfisme FokI gen reseptor vitamin D pada suku Batak penderita TB paru adalah 35,5% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 39,5%. Frekuensi genotip Ff pada penderita TB paru adalah 55,3% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 44,7%. Frekuensi genotip ff pada penderita TB paru adalah 9,2% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 15,8%. Distribusi genotip polimorfisme FokI gen RVD tidak berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p>0.05).

(68)

120

4. Frekuesi genotip BB polimorfisme BsmI gen reseptor vitamin D pada suku Batak penderita TB paru adalah 0% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 2,6%. Frekuensi genotip Bb pada penderita TB paru adalah 68,4% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 23,7%. Frekuensi genotip bb pada penderita TB paru adalah 31,6% sedangkan pada populasi normal penelitian ini adalah 73,7%. Frekuensi genotip polimorfisme BsmI gen reseptor vitamin D berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p<0,001).

5. Polimorfisme FokI gen reseptor vitamin D tidak terbukti berperan sebagai faktor risiko atau faktor protektif terhadap TB paru suku Batak sebelum dan sesudah faktor merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan, dengan nilai Adjusted OR 0,79, 95% CI: 0,29 - 2,11 untuk genotip Ff dan Adjusted OR 0,53, 95% CI: 0,14 - 2,06 untuk genotip ff.

6. Polimorfisme BsmI gen resptor vitamin D genotip bb terbukti berperan sebagai faktor protektif terhadap TB paru sebelum dan sesudah faktor risiko merokok dan konsumsi alkohol dikendalikan, dengan nilai Adjusted OR 0,31, 95% CI: 0,13 - 0,73.

7. Hasil analisis genotip polimorfisme FokI gen RVD berdasarkan luas lesi foto toraks pada kelompok kasus memperlihatkan polimorfisme

FokI gen RVD tidak menentukan luas lesi pada foto toraks pasien

Gambar

Tabel 4.1. Karakteristik berdasarkan umur, jenis kelamin dan etnik.
Tabel 4.2. Karakteristik kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Tabel 4.3. Pengaruh kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol terhadap
Tabel 4.4. Karakteristik berdasarkan luas lesi foto toraks dan uji tuberkulin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data disajikan dalam tabel distribusi dan variabel yang diteliti meliputi pola konsumsi ikan yang terdiri dari jenis ikan yang dikonsumsi, jumlah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Agus Suprijono, Cooperatif Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.. Dilaksanakan secara kelompok yang beranggotakan dua orang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan mengajar guru, mendeskripsikan peningkatan dan mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa

Gambar 4.12 Diagram Hasil Observasi Keterampilan Guru Siklus I pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan Menggunakan Model Pembelajaran Think Pair Share

Karakter Debitur, Lama Usaha Debitur, SDM Debitur, Pengalaman Debiturmerupakan beberapa hal yang akan mempengaruhi keputusan pemberian kredit.Dari beberapa hal

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa melalui model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Penerapan Model