8 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Motivasi Belajar
2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan
anak di dalam belajar. Begitu pentingnya peran motivasi, maka banyak ahli yang mendefinisikan apa arti dari motivasi, bagaimana mengembangkan motivasi,
apakah macam-macam motivasi tersebut menentukan prestasi yang dicapai anak, dan bagaimana pendidik dalam memberikan penghargaan hingga meningkatkan
motivasi tersebut
Kata Motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Ide tentang pergerakan ini tercermin dalam ide-ide (common
sense) mengenai motivasi, seperti sebagai sesuatu yang membuat kita memulai pengerjaan tugas, menjaga diri kita tetap mengerjakannya dan membantu diri kita
menyelesaikannya (Schunk, 2012) .Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi
digunakan untuk menjelas keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan dan penyelesaian atau prestasi yang
9 9memengaruhi apa yang kita pelajari, kapan kita belajar, dan bagaimana cara kita belajar (Schunk, 1995). Anak yang termotivasi memelajari suatu topik cenderung
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang diyakininya akan membantu dirinya belajar belajar, seperti memperhatikan pelajaran secara seksama, secara mental
mengorganisasikan dan menghafal materi yang harus dipelajari, mencatat untuk memfasilitasi aktivitas belajar berikutnya, memeriksa level pemahamannya dan meminta bantuan ketika dirinya tidak memahami materi tersebut. Selain itu, anak
juga memiliki keterlibatan yang lebih banyak dalam aktivitas belajarnya, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan materi,
mau berusaha ekstra untuk menyelesaikan tugas-tugas, dan ada rasa senang ketika mau belajar. Motivasi belajar adalah suatu hubungan resiprokal dengan
pemelajaran dan kinerja: yakni, motivasi memengaruhi pemelajaran dan kinerja, dan hal-hal yang dilakukan dan dipelajari oleh murid memengaruhi motivasinya (Pintrich, 2003; Schunk 1995)
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan.
Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategis yang berkaitan dalam mencapai ntujuan belajar tersebut (Pintrich, dalam Schunk 2012 : 142)
2.1.2 Macam-macam Motivasi
Dilihal dari sumbernya Meece (dalam Schunk, 2012) mengemukakan
10 Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena adanya dorongan dalam dirinya untuk melakukan
tanpa diminta oleh orang lain. Individu-individu yang termotivasi secara intrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati bahwa tugas
tersebut bukanlah sebuah beban akan tetapi merupakan sebuah hal yang menyenangkan. Terdapat dua motivasi intrinsik yaitu :
1. Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal
Pengalaman yang optimal kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu dan berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu
aktivitas serta terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu mudah.
2. Motivasi Intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan personal Murid ingin percaya bahwa mereka melalukan sesuatu karena kemauannya sendiri, bukan karena kesuksesan atau
imbalan eksternal. Minat intrinsik siswa akan meningkat jika mereka mempunyai pilihan dan peluang untuk mengambil
tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka. b) Motivasi Ekstrinsik,
Motivasi Ektrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah
aktivitas sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan. Rangsangan dari luar itu berupa reward atau punishmen. Misalnya seseorang belajar karena akan
11 oleh guru dan temannya atau mendapatkan reward yang dijanjikan oleh orang tuanya apabila ujiannya mendapatkan nilai yang baik.
2.1.3 Aspek-Aspek Motivasi Belajar
Terdapat beberapa aspek dalam motivasi, menurut Schunk (1995:65).
antara lain yaitu :
a. Minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran
Minat adalah sebuah keinginan, kehendak dan kesukaan yang
dilakukan memang karena dari dalam diri benar-benar suatu hal yang menyenangkan. Kegiatan yang diminati seseorang terus diperhatikan
dengan rasa senang. Minat dibentuk melalui perhatian dan belajar. Apabila seseorang memperhatikan sesuatu hal secara sukarela dan cenderung untuk
mengingatnya, maka apa yang diingatnya tersebut merupakan petunjuk munculnya minat. Maka dari itu minat adalah gejala kejiwaan subjek terhadap suatu objek yang menunjukan kecenderungan yang tetap untuk
memperhatikan dan melihat objek tersebut.
b. Semangat siswa untuk melakukan tugas-tugas belajar
Siswa memiliki semangat, kemauan untuk mengerjakan tugas
dengan maksimal, dan apabila mendapati kesulitan siswa tidak mudah putus asa ataupun merasa tidak mampu. Akan ada usaha yang akan
12 pedoman lain, ataupun bertanya kepada lingkungan sekitar yang dirasa
mampu untuk memberikan pengajaran.
c. Tanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugas belajar
Ketika mendapatkan tugas anak lebih memprioritaskan untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya terlebih dahulu dibandingkan untuk kegiatan lainnya karena tanpa ada rasa tanggung jawab anak juga tidak
akan mendapatkan hasil yang maksimal pula. Anak akan tidak akan mengutamakan tugasnya, lebih bahayanya anak akan merasa biasa apabila
anak belum mengerjakan tugas yang seharusnya mereka selesaikan.
d. Rasa senang dalam mengerjakan tugas dari guru
Bagi siswa tugas dari guru kadang tidak menyenangkan. Hal tersebut dikarenakan anak merasa bahwa keadaan fisik capek, merasa bahwa
seharusnya waktunya bermain bukan malah mengerjakan tugas. Padahal dengan adanya tugas yang diberikan, anak diberikan pelajaran untuk
meningkatkan motivasi belajarnya ketika di luar sekolah akan tetapi banyak yang merasa bahwa ini satu hal yang mengakibatkan anak merasa
tambah beban ketika di luar sekolah.
e. Reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
Proses interaksi antara guru dengan siswa dapat terjadi karena guru
13 ketika guru sedang mengajar di kelas, siswa bertanya dan guru menjawab. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi di dalam kelas
dapat dilihat pada saat sesi tanya jawab antara guru dan siswa ketika terjadi komunikasi dua arah antara guru dan siswa untuk membahas materi
pelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi belajar adalah tanggung jawab untuk melakukan tugas-tugas belajar,
semangat siswa untuk melaksanakan tugas-tugas belajar, minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran, rasa senang dalam mengerjakan
tugas dari guru, serta reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar menurut Zimmerman (dalam Schunk 2012: 158) ada enam faktor yaitu: 1) sikap, 2)
kebutuhan, 3) rangsangan, 4) afeksi, 5) kompetensi, 6) penguatan. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing faktor yaitu:
a. Sikap
Sikap mempengaruhi motivasi karena respon yang dihasilkan oleh sikap akan memberi pengaruh terhadap tujuan perilaku. Respon yang
14 memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran matematika, sebagai hasil dari sikap tersebut siswa memiliki respon menyenangkan terhadap
mata pelajaran tersebut sehingga ia memiliki tujuan untuk menguasai mata pelajaran tersebut. Sebagai hasilnya akhirnya siswa memiliki
motivasi untuk mempelajari matematika. Akan tetapi apabila sebaliknya siswa tetap tidak akan memiliki sikap positif terhadap mata pelajaran matematika karena siswa tersebut tidak memiliki sikap yang
positif sehingga tidak aka nada niatan untuk berusaha belajar mata pelajaran matematika.
b. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan kondisi yang dialami oleh individu sebagai kekuatan internal yang memandu siswa untuk mencapai tujuan.
Semakin kuat seseorang merasakan kebutuhan, semakin besar peluangnya untuk mengatasi perasaan yang menekan di dalam
memenuhi kebutuhannya. Tekanan ini dapat diterjemahkan ke dalam suatu keinginan ketika individu menyadari adanya perasaan dan berkeinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila siswa
membutuhkan atau menginginkan sesuatu untuk dipelajari, mereka cenderung sangat termotivasi. Apabila kebutuhan yang paling rendah
telah relatif terpenuhi setelah itu baru muncul motivasi untuk memenuhi kebutuhan pada jenjang selanjutnya . Jadi, kebutuhan pada jenjang terendah harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum munculnya motivasi
15 c. Rangsangan
Setiap siswa memiliki keinginan untuk mempelajari sesuatu dan
memiliki sikap positif terhadap materi pelajaran. Apabila mereka tidak menemukan proses pembelajaran yang merangsang maka akan
mengakibatkan siswa yang pada mulanya termotivasi untuk belajar pada akhirnya menjadi bosan dan perhatiannya akan menurun, misalnya apabila guru menggunakan metode belajar yang sama terus menerus
maka siswa akan merasa bosan dan menjadi tidak termotivasi.
d. Afeksi
Konsep afeksi berkaitan dengan pengalaman emosional-kecemasan, kepedulian, dan pemilikan dari individu atau kelompok
pada waktu belajar. Siswa merasakan sesuatu saat belajar, dan emosi siswa tersebut dapat memotivasi perilakunya kepada tujuan, misalnya siswa memiliki emosi yang negatif saat kegiatan belajar maka hal
tersebut akan menurunkan motivasi belajarnya. Sebaliknya apabila emosi yang muncul adalah emosi positif seperti rasa senang dan rasa
tertantang maka siswa akan termotivasi dalam kegiatan belajarnya. Afeksi dapat menjadi motivator intrinsik. Apabila emosi bersifat positif pada waktu kegiatan belajar berlangsung, maka emosi mempu
16 terpadu yang positif, sehingga akan menimbulkan kegiatan belajar yang
efektif.
e. Kompetensi
Kompetensi merupakan merupakan karakteristik yang menonjol
bagi seseorang dan menjadi cara-cara berprilaku, berfikir, dalam segala situasi, dan berlangsung dalam periode tertentu.
Siswa secara intrinsik termotivasi untuk menguasai lingkungan dan
mengerjakan tugas-tugas secara berhasil agar menjadi puas. Dalam situasi pembelajaran, rasa kompetensi pada diri siswa itu akan timbul
apabila menyadari bahwa pengetahuan atau kompetensi yang diperoleh telah memenuhi standar yang telah ditentukan. Perolehan kompetensi
dari belajar baru itu selanjutnya menunjang kepercayaan diri, yang selanjutnya dapat menjadi faktor pendukung dan motivasi belajar yang lebih luas, misalnya seorang siswa yang mampu menguasai matematika
akan lebih termotivasi untuk mempelajari matematika dari pada siswa yang tidak menguasainya.
f. Penguatan
Penguatan merupakan peristiwa yang mempertahankan atau meningkatkan kemungkinan respon. Penggunaan peristiwa penguatan
17 perilaku siswa diulang, sedangkan penguatan negatif akan mencegah siswa mengulang perilaku yang tidak diinginkan, misalnya dengan
memberikan siswa pujian pada saat siswa mendapat nilai yang baik dan memberikan teguran saat siswa melanggar peraturan sekolah.
Penguatan-penguatan tersebut akan mempengaruhi kecenderungan perilaku yang selanjutnya muncul.
Dalam kegiatan belajar faktor-faktor di atas akan mempengaruhi
motivasi belajar, sehingga berdampak pada proses belajar. Kontrol terhadap faktor-faktor tersebut diperlukan sehingga dapat memberi
pengaruh positif terhadap motivasi belajar.
2.1.5 Cara Meningkatkan Motivasi Belajar
Motivasi mempengaruhi proses belajar serta hasil belajar siswa, menurut Meece ( dalam Schunk 2012 : 160) strategi memotivasi siswa dalam belajar adalah sebagai berikut:
a. Menghindari penekanan berlebihan pada motivasi ekstrinsik
Penekanan yang berlebihan pada motivasi ekstrinsik mengakibatkan siswa akan menjadi tidak mandiri dalam kegiatan
belajarnya. Kaitannya dengan pengaturan diri siswa yang diajari mengatur dirinya sendiri akan terlepas dari ketergantungan terhadap
18 b. Penyandaran diri pada minat dan nilai intrinsik siswa
Teori kebutuhan dan motivasi menekankan pentingnya
penyandaran diri pada minat dan nilai intrinsik siswa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam proses pembelajaran,
contohnya dengan menggunakan nama siswa, atau menggunakan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari siswa sebagai contoh. Selain itu siswa dibebaskan untuk mengembangkan minatnya dan nilai-nilai
intrinsiknya. Kaitannya dengan pengaturan diri, siswa yang diberi kebebasan untuk mengatur kegiatan belajarnya sendiri maka ia akan
bebas mengembangkan minat dan nilai intrinsik dalam kegiatan belajarnya karena kendali atas kegiatan belajar ada pada dirinya sendiri.
Dengan demikian motivasi belajar siswa dapat meningkat.
c. Meyakini kapabilitas siswa dan memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang dapat diubah
Ada banyak hal yang dibawa siswa ke sekolah, yang tidak dapat banyak diubah oleh guru. Sebagai contoh guru hanya memiliki sedikit
pengaruh terhadap kepribadian siswa, kehidupan dirumahnya serta pengalaman masa kecilnya. Sayangnya, sebagian guru hanya memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek semacam ini, dan perhatian
semacam itu kebanyakan tidak produktif. Oleh karena itu untuk meningkatkan motivasi belajar siswa guru harus fokus pada kapabilitas
19 adalah kelemahan fisik siswa serta watak yang dimiliki siswa. Untuk itu guru harus fokus pada aspek-aspek yang dapat diubah misalnya,
kedisiplinan, keteraturan, ketekunan serta kemandirian.
d. Menciptakan situasi belajar yang memiliki feeling tone positif
Untuk memotivasi siswa dalam belajar suasana pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin sehingga siswa memiliki perasaan yang positif terhadap kegiatan belajar di kelas. Proses pembelajaran yang
menarik tercipta apabila siswa dilibatkan secara aktif dalam kegiatan belajarnya. Siswa akan tertarik terhadap kegiatan belajarnya apabila
tujuan dan strategi belajar yang digunakan sesuai dengan minat belajarnya. Oleh karena itu salah satu cara menciptakan feeling tone
yang positif dalam kegiatan belajar adalah dengan membebaskan siswa mengatur kegiatan belajarnya sendiri misalnya dengan pengaturan tujuan belajar serta strategi belajar oleh dirinya sendiri. Contoh cara
untuk membangun feeling tone yang positif di dalam adalah dengan menjalin keakraban antara guru dan murid, membangun komunikasi dua
arah di kelas serta materi pembelajaran yang dimodifikasi agar menarik minat siswa.
Untuk meningkatkan motivasi belajar diperlukan peran guru serta
siswa itu sendiri. Oleh karena itu untuk memotivasi kegiatan belajar siswa salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melibatkan
20 2.2 Konseling Kelompok Gestalt
2.2.1 Konseling Kelompok
Konseling kelompok dikembangkan dalam proses konseling didasarkan atas pertimbangan bahwa pada dasarnya kelompok dapat membantu
memecahkan masalah individu atau sejumlah individu yang bermasalah. Konseling kelompok sebagai salah satu bentuk konseling dipandang memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan konseling individual. Kelebihan
tersebut antara lain adalah kemampuannya dalam membantu menangani suatu permasalahan yang timbul dengan lebih efisien tanpa mengesampingkan
efektifitasnya. Sisi efisien yang dimaksud adalah kemampuan konseling kelompok dalam menghemat waktu, biaya, dan tenaga konselor dalam
membantu dan mengatasi permasalahan-permasalahan siswa yang banyak timbul di kehidupannya (Winkel, 2006)
Konseling kelompok menurut Corey (2012: 28) adalah “preventive as well as
remedial aims. Generally, the counseling group has specific focus which maybe
educational, career social and personal. Group works emphasizes interpersonal
comunication of counscoius thought, feelings, and behavior wihin here and now
time frame. Counseling group are often problem oriented, and the members largely determine their content and aims.”
Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai suatu layanan yang dapat mencegah atau memperbaiki baik pada bidang pribadi,sosial belajar ataupun karir.
21 sekarang. Konseling kelompok biasanya berorientasi pada masalah dan anggota kelompok sebagaian besar dipengaruhi oleh isi dan tujuan mereka.
2.2.2 Pengertian konseling kelompok Gestalt
Kata gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang dalam bahasa Inggris berarti
form, shape, configuration, whole; dalam bahasa Indonesia berarti “bentuk” atau
“konfigurasi”, “hal”, “peristiwa”, “pola”, “totalitas”, atau “bentuk keseluruhan”
Terapi ini diprakarsai oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an.
Pendekatan ini mengajarkan konselor dan konseli metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana memahami, merasakan, dan bertindak serta
membedakannya dengan interpretasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu.
Menurut Pearls (1995) individu itu selalu aktif sebagai keseluruhan. Individu bukanlah jumlah dari bagian-bagian atau organ-organ semata. Individu yang sehat adalah yang seimbang antara ikatan organisme dengan lingkungan.
Karena itu pertentangan antara keberadaan sosial dengan biologis merupakan konsep dasar terapi gestalt.
Terapi gestalt menekankan pada “apa” dan “bagaimana” dari pengalaman masa kini untuk membantu klien menerima perbedaan-perbedaan mereka. Konsep pentingnya adalah holisme, proses pembentukan figur, kesadaran, unfinished
business dan penolakan, kontak dan energi.
Selain itu, terapi gestalt juga menekankan pada pentingnya tanggung
22
diri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Eleaner O‟Leary dalam Konseling dan
Psikoterapinya Stephen Palmer bahwa:
“Bertanggung jawab pada diri sendiri adalah inti terapi gestalt. Klien
dibantu untuk berpindah dari posisi ketergantungan pada orang lain,
termasuk pada terapis, ke keadaan yang bisa mendukung diri sendiri. Klien didorong untuk melakukan banyak hal secara mandiri. Awalnya klien melihat perasaan, emosi, dan masalahnya sebagi sesuatu di luar dirinya;
digunakan frasa-frasa seperti “ia membuat aku merasa sangat bodoh‟. Klien tidak bertanggung jawab atas dirinya, dan dalam pandangannya tak
ada yang bisa dilakukan terhadap situasi itu kecuali menerima begitu saja. Klien tidak melihat dirinya telah punya masukan atau kendali atas
kehidupannya. Klien dibantu menyadari bahwa ia bertanggung jawab atas hal yang taerjadi pada dirinya. “Dialah yang harus memutuskan apakah
harus mengubah situasi kehidupannya atau membiarkan tidak berubah.”
Jadi, terapi gestalt adalah sebuah terapi yang didasari oleh aliran psikoanalisis, fenomenologis, dan eksistensialisme, serta psikologi gestalt yang
mengutamakan pada tanggung jawab diri dan keutuhan atau totalitas organisme seorang individu, individu bukanlah organisme yang terpotong-potong pada bagian tertentu dalam menjalani kehidupannya.
2.2.3 Pandangan Tentang Manusia
Asumsi dasar pendekatan gestalt tentang manusia adalah bahwa individu
23 sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memiliki masalah karena menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan gestalt mempersiapkan
individu dengan intervensi dan tantangan untuk membantu konseli mencapai integrasi diri dan menjadi lebih autentik.
Area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling menurut pendekatan ini adalah pemikiran dan perasaan yang individu alami pada saat sekarang. Perilaku yang normal dan sehat terjadi bila individu bertindak dan
bereaksi sebagai organisme yang total, yaitu memiliki kesadaran pada pemikiran, perasaan dan tindakan pada masa sekarang. Banyak orang yang memisahkan
kehidupannya dan berkonsentrasi serta memfokuskan perhatiannya pada poin poin dan kejadian-kejadian tertentu dalam kehidupannya. Hal ini menyebabkan
fragmentasi dalam diri yang dapat terlihat dari gaya hidup yang tidak efektif yang berakibat pada produktifitasyang rendah bahkan membuat masalah kehidupan yang lebih serius. Menurut Pendekatan Gestalt, area yang paling penting yang
harus diperhatikan dalam konseling adalah pemikiran dan perasaan yang individu alami pada saat sekarang.
Pendekatan gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara mental adalah:
a. Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh
berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan
24 b. Individu yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada pencampuran
dengan fantasi-fantasi.
c. Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat
diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
d. Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya. Individu yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu waktu
sambil menghubungkannya dengan kebutuhan yang lain (the ground), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt yang sudah
lengkap.
Menurut Pearl (1995), individu menyebabkan dirinya terjerumus pada
masalah-masalah tambahan karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik pada kategori di bawah ini:
a. Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan
memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan. b. Confluence, yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai
lingkungan pada dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian lingkungan yang mengontrol dirinya.
c. Unfinished business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak
terpenuhi, perasaan yang tidak terekspresikan dan situasi yang belum selesai yang mengganggu perhatiannya (yang mungkin dimanifestasikan
25 d. Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk menemukan atau menolak
kebutuhan, seperti kebutuhan agresi.
e. Topdog/underdog, orang yang mengalami perpecahan dalam
kepribadiannya, yaitu antara apa yang mereka pikir “harus” dilakukan
(topdog) dan apa yang meeka “inginkan” (underdog).
f. Polaritas/dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “bingung dan tidak
dapat berkata-kata (speecheless)” pada saat terjadi dikotomi pada dirinya
seperti antara tubuh dan pikiran (body and mind), antara diri dan lingkungan (self-external world), antara emosi dan kenyataan
(emotionreality) dan sebagainya.
Terdapat lima tipe polaritas, yaitu sebagai berikut:
a) Polaritas fisik, yaitu polaritas maskulin dan feminin.
b) Polaritas emosi, yaitu polaritas antara kesenangan dan kesakitan, antara kesenangan (excitement) dan depresi, serta antara cinta dan
benci.
c) Polaritas mental, yaitu polaritas antar ego orang tua dan ego anak,
antara eros (perasaan) dan logos (akal sehat), serta antara yang harus dilakukan (topdog) dan yang diinginkan (underdog).
d) Polaritas spiritual, yaitu polaritas antara keraguan intelektual dan
dogma agama.
e) Polaritas interindividual, yaitu polaritas antara laki-laki dan
26 Menurut Pearl (1995), area yang paling penting yang harus diperhatikan dalam konseling adalaha pemikiran dan perasaan yang individu
alami pada saat sekarang.
Menurut Perls, manusia yang sehat adalah mereka yang dapat bertindak
secara produktif dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan pemeliharaan, dan secara intuitif bergerak menuju pertumbuhan dan pemeliharaan diri (
self-preservation). Setiap manusia dapat menangani dengan berhasil masalah dalam hidupnya jika mereka tahu siapa dirinya dan dapat mengorganisasikan (mengintegrasikan) semua kemampuannya ke dalam suatu rajutan
tindakan-tindakan yang efektif. Oleh karena itu, dalam konseling, konselor perlu perlu mengarahkan konseli untuk mengembangkan kesadaran (awareness), menemukan
dukungan dari dalam dirinya sendiri (inner support), dan mengembangkan perasaan mampu (self-sufficiency) sehingga mereka dapat mengakui bahwa kemampuan yang mereka butuhkan untuk membantu dirinya pada dasarnya
berada di dalam diri mereka sendiri dan bukan di dalam diri orang lain (konselor) Manusia dapat melakukan banyak cara untuk mencapai kesadaran, salah satunya
adalah dengan melakukan kontak dengan lingkungan. Kontak ini dilakukan melalui tujuh fungsi indera, yaitu melihat, mendengar, menyentuh, berbicara, bergerak, tersenyum, dan merasakan. Melalui kontak dengan lingkungan
seseorang dapat belajar tentang diri dan lingkungan, dan itu akan membantunya untuk merasa menjadi bagian dari lingkungan, di samping memperoleh batasan
27 mereka sedang membentuk hambatan pertumbuhan dan aktualisasi diri. Konseling gestalt juga menekankan pada pentingnya manusia untuk mengambil tanggung
jawab pribadi bagi kehidupannya sendiri, tidak menyerahkan nasibnya pada orang lain atau lingkungan, dan tidak menyalahkan orang lain bagi kekecewaan atau
kegagalannya.
2.2.4 Tujuan Konseling Gestalt
Tujuan konseling gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan konseli
untuk membantu konseli dalam:
a. Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka
melakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap
pilihannya.
b. Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain.
c. Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan,
pikiran dan keyakinan dirinya.
Terapi gestalt ini juga bertujuan mendampingi klien dalam mencapai
28 2.2.5 Peran dan Fungsi Konselor Pada Konseling Gestalt
Dalam proses konseling gestalt, konselor memiliki peran dan fungsi
yang unik, yaitu:
a. Konselor memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh,
hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai keasadaran yang ada pada konseli.
b. Konselor adalah “artistic partisipant” yang memiliki peranan dalam
menciptakan hidup baru konseli.
c. Konselor berperan sebagai projection screen.
d. Konselor harus dapat membaca dan menginterpretasi bentuk-bentuk bahasa yang dilontarkan konseli.
2.2.6 Tahap-Tahap Konseling Gestalt
Proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor
dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahapan-tahapan tersebut adalah: a. Tahap pertama (the beginning phase)
Pada tahap ini konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis, mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli
untuk mengembangkan dukungan pribadi (personal support) dan lingkungannya (Joyce & Sill 2011 dalam Safari 2005, p. 84-85)
29 a) Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk
proses konseling.
b) Mengembangkan hubungan kolaboratif (working alliance).
c) Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran
kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologis.
d) Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli. e) Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
f) Meningkatkan self-support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri yang rentan.
g) Mengidentifiksi dan mengklarifikasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah yang muncul.
h) Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
i) Mempertimbangkan isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan potensial antara konselor dan konseli serta mempengaruhi
proses konseling.
j) Konselor mempersiapkan rencana untuk menghadapi kondisi-kondisi
dari konseli, seperti menyakiti diri sendiri, kemarahan yang berlebihan, dan sebagainya.
k) Bekerjasama dengan konseli untuk membuat rencana konseling.
b. Tahap kedua (clearing the ground)
Pada tahap ini konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih
30 kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian konseli
mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam rangka katarsis dan menawarkan konseli untuk melakukan berbagai
eksperimentasi untuk meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab pribadi dan memahami unfinished business. Adapun proses tahap ini meliputi:
a) Mengeksplorasi introyeksi-introyeksi dan modifikasi kontak. b) Mengatasi urusan yang tidak selesai (unfinished business).
c) Mendukung ekspresi-ekspresi konseli atau proses katarsis.
d) Melakukan eksperimentasi perilaku baru dan memperluas
pilihan-pilihan bagi konseli.
e) Terlibat secara terus menerus dalam hubungan yang dialogis. c. Tahap ketiga (the existentian encounter)
Pada tahap ini ditandai dengan aktifitas yang dilakukan konseli dengan mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat
perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini konseli menghadapi kecemasan kecemasannya sendiri, ketidak pastian dan ketakutan-ketakutan yang
selama ini terpendam dalam diri. Selain itu konseli menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan harapan untuk
31 ragu-ragu menghadapi masalahnya. Pada tahap ini terdapat beberapa langkah yaitu:
a) Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organismik klien untuk berkembang.
b) Memiliki kembali bagian dari diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
c) Memuat suatu keputusan eksistensial untuk hidup dan terus berjalan.
d) Bekerja secara sistematis dan teru-menerus dalam mengatasi keyakinan konseli yang destruktif, tema-tema kehidupan klien yang
negatif.
e) Memilih hidup dengan keberanian menghadapi ketidakpastian.
f) Berhubungan dengan makna-makna spiritual.
g) Mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus menerus berkembang (Joyce & sill 2001 dalam safari 2005, p. 87)
d. Tahap keempat (integration)
Pada tahap ini konseli sudah mulai mengatasi krisis-krisis yang
dialami sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri (self), pengalaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Konseli telah mampu menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya, serta
menerima tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah di antaranya yaitu:
32 b) Memfokuskan pada pembuatan kontrak relasi yang memuaskan. c) Berhubungan dengan masyarakat dan komunitas secara luas.
d) Menerima ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilkan makna-makna baru.
e) Menerima tanggung jawab untuk hidup ( Joyce dan Sill 2001 dalam Safaria 2005, p. 88).
e. Tahap kelima (ending)
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai dengan
proses sebagai berikut:
a) Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan
konseling yang telah usai.
b) Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada. c) Merayakan apa yang telah dicapai.
d) Menerima apa yang belum tercapai.
e) Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa depan.
33 2.2.7 Teknik dan Ketrampilan Konseling Gestalt
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan dalam konseling gestalt, antara lain:
a. Kursi Kosong
Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dan intrapersonal (Thompson, et.sl., 2004, p. 191). Pada
teknik ini konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian
berpindah ke kursi lainnya dan menjadi underdog. Dialog dilakukan secara berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi
akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaannya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986, p.
136). Teknik kursi kosong merupakan intervensi yang kuat, yang dapat digunakan untuk membantu konseli segala umur yang memiliki konflik
dengan orang ketiga yang tidak hadir dalam proses konseling. Teknik ini biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti : introyeksi diri orang tua versus diri anak, bagian diri yang bertanggung jawab versus bagian diri
yang implusif, orang yang puritan versus orang yang ekspresif, orang yang agresif versus orang yang pasif, diri yang otonom versus diri yang
34 Greenberg dan Malcolm (2002) menjelaskan empat langkah dalam menggunakan teknik kursi kosong, yaitu :
a) Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber
unfinished business.
b) Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
c) Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya
resolusi untuk menyelesaikan unfinished business.
d) Konseli memahami unfinished business dari figure to ground
dalam kesadaran konseli ( Thompson, et. al,. 2004, p. 192) b. Topdog versus Underdog
Topdog adalah perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai dengan nilai dan norma moral (righteous), authoritarian, dan mengetahui yang terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatannya untuk
menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu harus”
dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog manipulative dengan
menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi. Underdog bekerja
dengan kata “ saya mau” dan mencari alasan seperti “ saya sudah berusaha
keras” (Thompson, et. al., 2004, p. 190).
Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi
konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kursi
35 terbaik dengan posisi topdog (yang seharusnya) dan pindah ke kursi underdog (yang saya inginkan). Kemudian konseli diminta untuk
berargumen sampai mencapai poin dimana konseli mencapai integrasi dari apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang diingkan (underdog)
(Thompson, el.al., 2004, p.190). c. Membuat Serial
Membuat serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu
untuk berbicara atau melakukan sesuatu kepada orang lain dalam kelompok. Tujuan teknik ini adalah untuk melakukan konfrontasi,
mengambil resiki, untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru untuk melakukan perubahan (Corey, 1986, p. 137)
d. Saya bertanggung jawab atas … “
Teknik ini bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan mempersonalisasi perasaan dan tingkah laku serta mengambil tanggung
jawab atas perasaan dan tingkah lakunya. Konseli diminta untuk mengisi bagian kosong seperti cara mengevaluasi tanggung jawab personal dan
bagaimana konseli mengatur hidupnya. e. Bermain Proyeksi (Playing Projection)
Dinamika proyeksi adalah individu yang melihat secara jelas pada orang
lain apa yang tidak ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu tersebut bekerja keras untuk menolak perasaannya dan menyalahkan orang
36 (Corey, 1986, p. 138). Pada konseling ini konselor meminta konseli yang sering berkata bahwa ia tidak dapat mempercayai orang lain untuk
bermain peran sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. Dengan bermain peran, konseli diharapkan dapat menemukan tingkat ketidakpercayaannya
pada orang lain. Dengan kata lain konselor meminta konseli untuk berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang ia lontarkan tentang seberapa besar dan berat tingkat ketidakpercayaannya kepada orang lain
(Corey, 1986, p. 138). f. Pembalikan
Asumsi teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu sering kali merepresentasikan impuls-impuls yang ditekan dan late nada
dalam diri individu. Teknik ini bertujuan untuk mengajak konseli mengambil resiko terhadap ketakutan, kecemasan, dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu
konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa yang dikatakan.
g. Latihan Gladiresik
Menurut Perls, pikiran individu banyak diulang-ulang. Individu cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalan
harapan-harapan dari lingkungannya. Sehingga ketika individu berada dalam lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak
37 mengatakan pada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakana dan ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakan secara
verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspetasi orang lain. Hal ini
membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya (Corey, 1986, p. 138)
h. Latihan melebih-lebihkan
Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada
tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan, postur tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang memiliki makna yang
signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulang kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu.
i. Tetap pada perasaan
Sebagian besar konseli cenderung melarikan diri dari perasaan
yang tidak menyenangkan dan menghindari situasi yang mengarahkan pada perasaan yang tidak menyenangkan. Pada teknik ini konselor meminta konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan
merasakannya pada proses konseling.. Konselor mendorong konseli untuk merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan
38
keinginan untuk menguasai kesakitan. Hal ini dimungkinkan karena konseli
membuka diri untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk
melangkah ke arah yang lebih positif (Corey, 1986, p. 139)
j. Bahasa “Saya”
Konselor mendorong konseli untuk menggunakan kata “saya”
ketika konseli mengeneralisasikan kata “kamu” dalam berbicara. Contohnya ketika konseli berkata “kamu tau bahwa kamu tidak mengerti matematika”.
Konseli diminta untuk mengganti kata kamu dengan saya, “saya tau bahwa
saya tidak mengerti matematika”. Ketika konseli berusaha mengganti dengan
kata “saya” diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaiman
pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan membantu konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya (Thompson,
et.al., 2004, p.188).
2.3 Hasil Penelitian Yang Relevan
Berikut mengenai penelitian terdahulu yang menjadi landasan bagi penelitian ini :
Setiawan (2007) melakukan penelitian terhadap anak yang mempunyai
motivasi belajar yang rendah dengan judul “Meningkatkan motivasi belajar
anak dengan menggunakan layanan konseling kelompok gestalt pada anak kelas
VII SMP Negeri 2 Semarang” Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi
belajar anak sebelum memperoleh layanan berupa konseling kelompok, sebesar
35,6% kategori rendah. Setelah diberi layanan konseling kelompok gestalt, motivasi belajar anak meningkat menjadi kategori sedang sebesar 61,4%. Hal
39 belajar pada anak kelas VII di SMP 2 Negeri Semarang. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sebelum diberikan
layanan konseling kelompok gestalt motivasi belajar anak sebesar 35,6 % kategori rendah. Setelah diberikan layanan konseling kelompok Gestalt
motivasi belajar anak sebesar 61,4%. Sehingga terjadi peningkatan motivasi belajar setelah diadakan layanan konseling kelompok Gestalt.
2.4 Kerangkan Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Sebelum melakukan sebuah penelitian, dilakukan pre test terlebih dahulu
untuk mengetahui motivasi belajar anak PPA Immanuel kelompok usia 12-19 tahun.
Setelah mengetahui hasil pretes didapatkan sebagian besar pada kategori lemah dan
agak lemah, kemudian dilanjutkan untuk membagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dilanjutkan dengan memberikan
treatment konseling kelompok gestalt kepada kelompok eksperimen. Setelah semua
treatment selesai diberikan, dilakukan post test untuk mengetahui perbedaan hasil
dari kelompok eksperimen yang diberikan treatment dengan kelompok kontrol yang
tidak diberikan treatment.