UPAYA GREENPEACE MENDORONG MAJELIS
UMUM PBB UNTUK MEMBENTUK
UN OCEAN
BIODIVERSITY AGREEMENT
PERIODE 2006 - 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Andre
1113113000044
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis upaya Greenpeace mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement. UN Ocean Biodiversity Agreement atau yang dikenal dengan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS, dinegosiasikan di dalam UN Ad Hoc Open-ended Informal Working Group Biodiversity on Beyond National Jurisdiction (BBNJ) pada periode 2006 - 2015. Di awal pertemuan Kelompok Kerja BBNJ, terdapat penolakan dari beberapa negara, seperti AS, Rusia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Islandia, dan Norwegia, terkait gagasan pembentukan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS tersebut. Namun, di dalam pertemuan Kelompok Kerja BBNJ terakhir serta sidang Majelis Umum PBB ke-69 pada tahun 2015, Majelis Umum PBB, melalui konsensus, berhasil mengadopsi Resolusi Majelis Umum PBB 69/292 Tahun 2015 (A/RES/69/292) yang menindaklanjuti negosiasi perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS ke proses selanjutnya, yaitu Preparatory Committee (PrepCom). Oleh karena itu, pertanyaan penelitian dari skripsi ini ialah bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006-2015? Dalam menganalisis upaya Greenpeace, skripsi ini menggunakan Green Political Theory beserta konsep desentralisasi dan peran non-governement organization, activist group, dan global environment movements. Sedangkan, skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data, yaitu studi pustaka dan wawancara. Skripsi ini menemukan bahwa upaya Greenpeace, antara lain: Penelitian dan Analisis (Research and Analysis); Pengawasan dan Respon Cepat (Watch-Dogging and Rapid Response); Mempertunjukkan Fungsi Operasional (Performing Operational Functions); Pengembangan Kebijakan dan Pengaturan Agenda (Policy Development and Agenda Setting); Melaporkan Proses Negosiasi (Negotiations Reporting); dan Menyebarkan Sinyal Domestik (Enhancing Domestic Signaling).
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, dengan memanjatkan puji serta syukur kepada Allah SWT, penguasa alam semesta. Atas segala rakhmat dan hidayat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam Negeti Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Selain itu, skripsi ini juga didedikasikan untuk kemajuan organisasi Greenpeace dengan mengevaluasi dan memberikan rekomendasi terhadap upaya Greenpeace, khususnya upaya pembentukan suaka laut global melalui UN Ocean Biodiversity Agreement. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada:
1. Keluarga penulis, Ayahanda Setiawan Prasetyo, Ibunda Agustini, serta kakak-kakak penulis, Melisa Prasetyo dan Melinda Prasetyo, yang senantiasa memberikan doa, motivasi, nasehat kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Irfan R. Hutagalung, LL.M., selaku dosen seminar proposal skripsi sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan bimbingannya kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
3. Seluruh dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta yang turut serta dalam memberikan ilmu kepada penulis selama menjadi mahasiswa di FISIP UIN Jakarta.
vi
5. Seluruh staff Greenpeace Indonesia yang yang turut serta dalam memberikan dukungan kepada penulis selama menjadi menjadi relawan dan magang Greenpeace Indonesia.
6. Seluruh narasumber, antara lain: Richard Page, selaku Ocean Sanctuaries Project Leader Greenpeace Internasional; Veronica Frank, Nathalie Rey, dan Sofia Tsenikli, selaku delegasi Greenpeace Internasional di Kelompok Kerja BBNJ; Arifsyah Nasution, John Hocevar, Magnus Eckeskog, Frida Bengtsson, Sarah King, Taehyun Park, dan Kazue Komatsubara, selaku Oceans Campaigner Greenpeace NROs; Haryo Budi Nugroho, Budi Atyasa, Elizabeth Kim, dan Prof. Tullio Scovazzi, selaku delegasi negara di Working Group dan Preparatory Committee BBNJ; serta Mufti Petala Patria dan Prof. Ann Powers, selaku pakar dari isu-isu yang berkaitan dengan skripsi ini.
7. Affalia Maydi Hatika, yang senantiasa memberikan dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis selama dua tahun terakhir.
8. Sahabat mahasiswa HI UIN 2013, antara lain: Kartika, Shabrina, Riri, dan Ina; Auzan, Faris, Zhafir, Ghalib, dan Iqbal, selaku kawan-kawan dari Kajian Rumah Ojan; Auzan, Faris, Zhafir, Luthfan, Opin, Arum, Nurul, Sarah, Innes, Tata, Hanna, dan Madinna, selaku kawan-kawan dari Regionalismile, serta kawan-kawan mahasiswa HI UIN 2013 lainnya.
9. Sahabat relawan di Greenpeace Indonesia, antara lain: Faris, Zulfa, Maydi, Mazaya, Luthfi, Cici, Hasna, Tiorys, Elena, Arshie, Jessika, Rafa, Siska, Ka Sapi, Silo, Echa, Ayya, Akmal, Habib, Farhan, Ka Rilin, Nugo, serta kawan-kawan Greenpeace Indonesia lainnya.
vii
11.Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama proses penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas segala bantuan serta dukungannya mendapatkan ridha dan berkah dari Allah SWT.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis terima demi perbaikan penelitian ini di masa mendatang. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktik.
Jakarta, 5 Juli 2017
viii
2. Konsep Peran Non-Government Organization, Activist Group, dan Global Environment Movements ... 13
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT GREENPEACE A. Profil Greenpeace ... 19
1. Sejarah Pembentukan Greenpeace ... 19
2. Prinsip Dasar Organisasi Greenpeace ... 22
3. Struktur Organisasi Greenpeace ... 24
4. Status Greenpeace di dalam Sistem PBB ... 25
B. Profil Kampanye Laut Greenpeace ... 28
1. Pencapaian Kampanye Laut Greenpeace ... 28
a. Menghentikan Ujicoba Nuklir Perancis di Pasifik Selatan ... 28
b. Menghentikan Perburuan dan Perdagangan Paus ... 29
c. Melindungi Antartika dari Eksploitasi... 31
d. Menghentikan Pembuangan Limbah Radioaktif di Laut ... 32
2. Kampanye Perlindungan Laut Lepas “Oceans Sanctuaries” Greenpeace ... 33
BAB III PROSES NEGOSIASI PEMBENTUKAN UN OCEAN BIODIVERSITY AGREEMENT DI DALAM PERTEMUAN INTERNASIONAL PBB A. Profil Kelompok Kerja Biodiversity on Beyond National Jurisdiction (BBNJ) ... 37
1. Pembentukan Kelompok Kerja BBNJ ... 37
2. Fungsi dan Tugas Kelompok Kerja BBNJ ... 39
B. Proses Negosiasi Pembentukan UN Ocean Biodiversity Agreement .. 41
1. Pertemuan Kelompok Kerja BBNJ ... 41
ix
b. Pertemuan Keempat (31 Mei - 3 Juni 2011) ... 44 c. Pertemuan Kesembilan (20-23 Januari 2015)... 46 2. Pertemuan Internasional di Luar Kelompok Kerja BBNJ ... 50
a. UN Conference on Sustainable Development (KTT Rio+20) pada 20-22 Juni 2012 ... 50 b. Sidang Majelis Umum PBB (19 Juni 2015) ... 51
BAB IV UPAYA GREENPEACE MENDORONG PEMBENTUKAN
SUAKA LAUT GLOBAL MELALUI UN OCEAN BIODIVERSITY
AGREEMENT
A.Upaya Greenpeace ... 53 1. Penelitian dan Analisis (Research and Analysis) ... 55 2. Pengawasan dan Respon Cepat
(Watch-Dogging and Rapid Response) ... 60 3. Mempertunjukkan Fungsi Operasional
(Performing Operational Functions) ... 62 4. Pengembangan Kebijakan dan Pengaturan Agenda
(Policy Development and Agenda-Setting) ... 65 a. Level Internasional ... 66
1) Menyediakan Keahlian Ilmiah dan Hukum
(Providing Scientific and Legal Expertise) ... 68 2) Memastikan Kontinuitas pada Negosiasi
(Providing Continuity Throughout the Negotiations) ... 71 3) Hubungan Personal (P ersonal Relations) ... 73 4) Pembentukan Koalisi (Coalition Formation) ... 75 5) Memprotes Pembatasan Partisipasi
(Protesting Against Restriction Participation) ... 77 b. Level Domestik ... 78
1) Memberikan Masukan dalam Pembangunan Kebijakan
(Providing Inputs into Policy Development) ... 79 2) “Name and Shame” melalui Kampanye publiks ... 83 5. Melaporkan Proses Negosiasi (Negotiations Reporting) ... 87 6. Menyebarkan Sinyal Domestik
(Enhancing Domestic Signaling) ... 88 B. Kendala-Kendala dalam Upaya Greenpeace ... 90
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ... 94
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1Hak Istimewa (Priveleges) dalam Status Konsultatif dari
ECOSOC ... xxvi Lampiran 2 Diagram Partisipasi Delegasi pada Pertemuan
Kelompok Kerja BBNJ ... xxviii Lampiran 3 Skema Upaya Greenpeace ... xxix Lampiran 4 Diagram dan Tabel Pengeluaran Kampanye Laut Greenpeace
„Worlwide‟ Periode 2006-2015 ... xxx
Lampiran 5 Diagram dan Tabel Pemasukan Greenpeace
„Worlwide‟ Periode 2006-2015 ... xxxi
Lampiran 6 Tabel Posisi Aliansi / Blok pada Pertemuan
Kelompok Kerja BBNJ ... xxxii Lampiran 7 Tabel Posisi Negara pada Pertemuan
Kelompok Kerja BBNJ ... xxxvii Lampiran 8 Tabel Posisi Greenpeace pada Pertemuan
Kelompok Kerja BBNJ ... l Lampiran 9 Tabel Wawancara ... li Lampiran 10 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Nathalie Rey
melalui Email pada 15 Juni 2017 ... liii Lampiran 11 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Veronica Frank
melalui Email pada 5 Juni 2017 ... liv Lampiran 12 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Sofia Tsenikli
xi
DAFTAR SINGKATAN
ABMT Area-based Management Tool
ABNJ Area Beyond National Jurisdiction
ABS Acces and Benefit-Sharing
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of Southeast Asian Nations ASOC Antarctic and Southern Ocean Coalition BBNJ Biodiversity Beyond National Jurisdiction
CARICOM Caribbean Community
CBD Convention on Biological Diversity
CCAMLR Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources
CFP EU Common Fisheries Policy
CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
CMS Convention on Migratory Species
CoP Conference of Parties
CRAMRA Convention on the Regulation of Antarctic Mineral Resource Activities
EBSA Ecologically and Biologically Sensitive Area ECOSOC UN Economic and Social Council
EIA Environmental Impact Assessment
ENB Earth Negotiations Bulletin
FAO UN Food and Agriculture Organitation
G-77 Group of 77
GEF Global Environment Facility
GPT Green Political Theory
LDC Least Developed Countries
IISD International Institute for Sustainable Development IGO International Governmental Organization
IMO International Maritime Organisation IPR Intellectual Property Right
ISA International Seabed Authority
IUCN International Union for Conservation of Nature IUU Illegal, Unregulated, and Unreported
IWC International Whaling Commission
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
MEA Multilateral Environment Agreement
MGR Marine Genetic Resource
MPA Marine Protected Area
MSR Marine Scientific Research
NAFO Northwest Atlantic Fisheries Organization NEAFC North East Atlantic Fisheries Commission
xii
NPT Non-Proliferation Treaty
NRDC Natural Resources Defense Council NRO National / Regional Office
OECD Organisation for Economic Cooperation and Development
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PrepCom Preparatory Committee
RFMO Regional Fisheries Management Organization SIDS Small Island Developing States
SEA Stategic Impact Assessment
SDG Sustainable Development Goals
SGC Stichting Greenpeace Council
UE Uni Eropa
UN United Nations
UNCLOS UN Law of the Sea Convention
UNCSD UN Conference on Sustainable Development
UNEP United Nations Environment Programme
UNFSA UN Fish Stocks Agreement
UNICPOLOS UN Consultative Process on Oceans and the Law of the Sea WIPO World Intellectual Property Organization
WSSD World Summit on Sustainable Development
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini membahas tentang upaya Greenpeace mendorong Majelis Umum
PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement pada periode
2006-2015. Skripsi ini menganalisis bagaimana upaya Greenpeace untuk mendorong
negara-negara Majelis Umum PBB, dimulai dari pertemuan pertama dari Ad Hoc
Open-ended Informal Working Group Biodiversity on Beyond National
Jurisdiction (BBNJ) pada tahun 2006, yang dibentuk melalui Resolusi MU 59/24
Tahun 2004 (A/RES/59/24), hingga persetujuan MU PBB terhadap rekomendasi
dari Kelompok Kerja BBNJ melalui Resolusi Majelis Umum PBB 69/292 Tahun
2015 (A/RES/69/292).
Suaka laut global atau ocean sanctuaries adalah salah satu jenis dari
kawasan laut lindung atau marine protected areas (MPAs), yaitu area lautan di
mana semua pemanfaatan yang bersifat konsumtif dan ekstraktif, termasuk
penangkapan ikan, secara efektif dilarang serta praktik campur tangan manusia
lainnya diminimalisir,1 sedangkan kawasan laut lindung (MPAs) adalah area
intertidal (zona yang terendam ketika air laut sedang pasang dan terlihat ketika air
laut sedang surut) maupun subtidal (zona yang selalu terendam air laut baik saat
pasang maupun surut) beserta dengan air yang melapisinya, flora, fauna, fitur
sejarah dan budaya yang berkaitan, yang telah dilindungi oleh hukum atau cara
2
lainnya yang secara efektif bertujuan melindungi bagian dari lingkungan tersebut.2
Dalam beberapa forum internasional, kebutuhan untuk menciptakan MPAs di
wilayah laut lepas semakin disuarakan dengan maksud untuk melindungi
keanekaragaman hayati di laut lepas.3 Hal tersebut dikarenakan laut lepas adalah
wilayah di mana pengaturan dan perlindungannya paling minim di dunia.4
Fakta yang menggambarkan minimnya perlindungan laut lepas adalah
hingga tahun 2016, hanya 3% wilayah dari laut lepas dunia yang diatur dalam
hukum internasional dan hanya 1% yang benar-benar dilindungi secara kuat
dengan dijadikan sebagai suaka laut,5 meskipun laut lepas memiliki luas 64% dari
total luas lautan di seluruh dunia.6 Laut lepas berada di luar batas yurisdiksi
nasional dan diatur oleh UN Law of the Sea Convention (UNCLOS) yang masih
mengutamakan hak kebebasan untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya
laut lepas untuk semua negara. Hal tersebut memungkinkan bagi negara untuk
melakukan navigasi, mengadakan penelitian, menangkap ikan, memasang kabel
dan pipa bawah laut, hingga membuat instalasi lain seperti kilang pengeboran dan
bahkan pulau-pulau buatan.7 Atas dasar fakta tersebut, akhirnya Majelis Umum
PBB memutuskan untuk mulai mendiskusikan isu konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan keanekaragaman laut di luar wilayah yurisdiksi nasional.
2
Sobel dan Dalgren, Marine Reserves, Hal. 22 3
Yoshifumi Tanaka, A Dual Approach to Ocean Governance: The Cases of Zonal and Integrated Management in International Law of the Sea (Burlington: Ashagate Publishing, 2008), Hal. 163 4
Callum M. Roberts, dkk., Roadmap to Recovery: A Global Network of Marine Reserves (York: University of York, 2006), Hal. 9
5
Daniel Mittler, Protecting What Protects Us (2016) dari
http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/protecting-what-protects-us/blog/58177/ diakses pada 7 Desember 2016
6
Greenpeace, The Need for A High “eas Biodi ersit Agree e t: No More Wild West O ea s (Amsterdam: Greenpeace, 2013), Hal. 3
7
3
Pada tahun 2004, Majelis Umum PBB akhirnya membentuk sebuah Ad Hoc
Open-ended Informal Working Group of the General Assembly to study issues
relating to the conservation and sustainable use of marine biological diversity
beyond areas of national jurisdiction melalui Resolusi Majelis Umum 59/24.8
Rapat pertama Kelompok Kerja tersebut diselenggarakan pada 13-17 Februari
2006, dan dilanjutkan pada tahun 2008, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 (dua kali),
dan 2015.9 Selain itu, di luar Kelompok Kerja BBNJ, pada 2012, PBB
menyelenggarakan UN Conference on Sustainable Developmentatau yang dikenal
dengan KTT Rio+20 yang diadakan di Rio de Janeiro. Awalnya, KTT tersebut
memberikan harapan akan lahirnya suatu instrumen hukum baru untuk melindungi
laut lepas yang menjadi target dari CoP ketujuh CBD pada tahun 2004.10
Meskipun di dalam KTT tersebut muncul koalisi dari mayoritas negara anggota
yang mendukung dibentuknya perjanjian yang mengatur dan melindungi laut
lepas, akan tetapi, kesepakatan untuk meluncurkan negosiasi formalgagal dicapai
hingga pada akhirnya, konferensi tersebut menunda keputusan untuk
menegosiasikan UN Ocean Biodiversity Agreement hingga batas tahun 2015.11
Menindaklanjuti penundaan keputusan pada KTT Rio+20, Kelompok
Kerja BBNJ di dalam pertemuan kesembilannya pada Januari 2015, mengeluarkan
8
UN, Marine Biological Diversity Beyond Areas of National Jurisdiction: Legal and Policy Frameworkdari
http://www.un.org/depts/los/biodiversityworkinggroup/webpage_legal%20and%20policy.pdf
diakses pada 24 April 2016. 9
UN, Marine Biological Diversity Beyond Areas of National Jurisdiction.
10 Sofia Tsenikli,Rio+20 Not the Oceans Summit but High Seas Protection Gains Support and
Prominence (2012)dari
http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/rio20-not-the-oceans-summit-but-high-seas-pro/blog/41156/ diakses pada 24 April 2016.
11
4
rekomendasi kepada Majelis Umum PBB untuk memulai negosiasi perjanjian
pelaksanaan di bawah UNCLOS untuk membentuk suaka atau wilayah konservasi
di laut lepas. Selain itu, Majelis Umum PBB secara resmi mengakui bahwa
pengaturan laut adalah tentang perlindungan, bukan hanya tentang 'pengelolaan
eksploitasi' sumber daya lautan.12
Rekomendasi dari Kelompok Kerja BBNJ akhirnya diadopsi lebih awal pada
Juni 2015 dari jadwal sebelumnya, pada September 2015, dengan menghasilkan
konsensus dari negara-negara anggota Majelis Umum PBB untuk mengadopsi
Resolusi MU PBB 69/292 dan mengembangkan perjanjian pelaksanaan di bawah
UNCLOS,13yang mengikat secara hukum untuk pelestarian kehidupan laut di luar
wilayah yurisdiksi nasional,14 yang dikenal dengan UN Ocean Biodiversity
Agreement (Perjanjian Keanekaragaman Hayati Laut Lepas),15 atau berdasarkan
Resolusi MU PBB 69/292 yang disebut dengan International Legally Binding
Instrument under the UNCLOS on the Conservation and Sustainable Use of
Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction.16 Di dalam
resolusi tersebut, Majelis Umum PBB memutuskan untuk membentuk
12 Tsenikli, Rio+20 Not the Oceans Summit. 13
Implementing Agreement under UNCLOS adalah istilah yang muncul dalam diskusi pada pertemuan Working Group BBNJ.
14 High Seas Alliances, UN General Assembly Adopts Resolution to Develop New Marine Biodiversity Treaty for
the High Seas and Beyond (2015) dari
http://highseasalliance.org/content/un-general-assembly-adopts-resolution-develop-new-marine-biodiversity-treaty-high-seas-and diakses pada 25 April 2016.
15
UN Ocean Biodiversity Agreement adalah istilah yang digunakan oleh NGO untuk mengartikan hasil akhir dari Implementing Agreement under UNCLOS, seperti UN Fish Stock Agreement. 16
International Legally Binding Instrument under the UNCLOS on the Conservation and
Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction adalah istilah resmi berdasarkan Resolusi MU PBB 69/292 untuk didiskusikan pada pertemuan Preparatory Committee BBNJ.
UN, General Assembly Resolution 69/292, Para. 1,dari
https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N15/187/55/PDF/N1518755.pdf?OpenElement diakses pada 25
5
Preparatory Committee (PrepCom), sebelum penyelenggaraan konferensi
antar-pemerintah, yang bertugas untuk menyiapkan rekomendasi substantif terkait
elemen-elemen dari rancangan teks perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS,
yang akan dilaporkan kembali pada akhir 2017 kepada Majelis Umum PBB.17 Di
dalam proses pengakuan negara-negara anggota Majelis Umum PBB atas
pentingnya perlindungan laut lepas hingga Majelis Umum PBB mengadopsi
rekomendasi dari Kelompok Kerja BBNJ, Greenpeace secara aktif ikutserta dalam
mendorong Majelis Umum PBB untuk menciptakan suaka laut global.
Greenpeace sebagai International Non-Governmental Organization (INGO)
yang berfokus pada isu-isu lingkungan hidup telah menyerukan perlunya dibentuk
instrumen hukum internasional untuk menjaga dan menjamin kelestarian
keanekaragaman hayati di lautan. Suaka laut global yang diajukan Greenpeace
adalah perlindungan zona laut lepas di luar yurisdiksi negara seluas 40% dari laut
global untuk menjadi zona bebas praktik eksploitasi sumber daya alam,18 yang
kemudian diimplementasikan dengan mendorong negara-negara anggota Majelis
Umum PBB membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement.19
Greenpeace baik secara mandiri maupun kolektif dengan aliansi antar-NGO
lingkungan lainnya selalu aktif menghadiri pertemuan Kelompok Kerja BBNJ
serta konferensi PBB lainnya yang membahas tentang isu kelautan dan aktif
17
UN, General Assembly Resolution 69/292, Para. 1 (a). 18 Greenpeace. Ocean Sanctuaries dari
http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/oceans/marine-reserves/ diakses pada
25 April 2016.
19 Greenpeace, The Need for An A itious UN O ea Biodi ersit Agree e t: No More Wild
6
melobi negara-negara anggota Majelis Umum PBB untuk membuat UN Ocean
Biodiversity Agreement untuk melindungi laut lepas. Greenpeace tercatat telah
mengirimkan delegasinya untuk menghadiri dan berperan aktif mendorong
negara-negara yang hadir dalam pertemuan Kelompok Kerja BBNJ sejak
pertemuan pertama yang diselenggarakan pada 13-17 Februari 200620 hingga
pertemuan kesembilan Kelompok Kerja BBNJ yang diselenggarakan pada 20-23
Januari 2015.21 Dari kesembilan pertemuan tersebut, Kelompok Kerja BBNJ telah
menghasilkan konsensus untuk menghasilkan rekomendasi kepada Majelis Umum
PBB yang diadopsi pada sidang Majelis Umum PBB ke-69 untuk
mengembangkan intrumen internasional yang mengikat secara hukum di bawah
UNCLOS.22 Meskipun begitu, di dalam proses perundingan pada Kelompok Kerja
BBNJ maupun pada forum internasional lainnya, Greenpeace menghadapi
berbagai penolakan dari negara-negara yang memiliki kepentingan di laut lepas.
Pengaturan akses hingga pelarangan eksploitasi sumber daya di laut lepas,
dipandang oleh beberapa negara bertentangan dengan kepentingan nasionalnya,
sehingga dalam beberapa forum internasional PBB, di mana, upaya negosiasi
formal perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS diajukan, seringkali muncul
penolakan dari beberapa negara. Sejak awal pertemuan Kelompok Kerja BBNJ
20
IISD, Summary of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 13-17 February 2006 dalam Earth Negotiations Bulletin Vol. 25 No. 25 (IISD, 2006) dari http://www.iisd.ca/download/pdf/enb2525e.pdf diakses pada 10 Mei 2016.
21
IISD, Summary The Ninth Meeting of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 20-23 January 2015 dalam Earth Negotiations Bulletin Vol. 25 No. 94
(IISD, 2015) dari http://www.iisd.ca/download/pdf/enb2594e.pdf diakses pada 10 Mei 2016. 22
7
pada 2004, AS, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Islandia, dan Rusia menyatakan
penolakannya terhadap proposal Uni Eropa yang mengajukan pembentukan
perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS,23 hingga pertemuan ketujuh pada
tahun 2014, AS, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Norwegia, Islandia, dan Rusia
masih menyatakan keraguannya akan kebutuhan dibentuknya instrumen hukum
baru.24 Selain itu, di dalam penyelenggaraan KTT Rio+20 pada 2012 AS, Kanada,
Rusia, Tiongkok, Jepang, dan Venezuela juga menyatakan penolakannya atas
upaya negosiasi formal perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS.25
Meskipun di dalam pembahasan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS
begitu banyak penolakan dan hambatan yang ditunjukkan oleh negara-negara
yang memiliki kepentingan nasional terhadap sumber daya alam di laut lepas, atas
berbagai upaya Greenpeace untuk mendorong negara-negara anggota Majelis
Umum PBB yang dilakukan baik di dalam dan di luar pertemuan Kelompok Kerja
BBNJ, akhirnya, pada 19 Juni 2015, sidang Majelis Umum PBB berhasil
menghasilkan konsensus untuk mengadopsi rekomendasi dari Kelompok Kerja
BBNJ dan menyetujui untuk menindaklanjuti negosiasi UN Ocean Biodiversity
Agreement ke tahap berikutnya, yaitu Preparatory Committee (PrepCom), melalui
Resolusi MU 69/292.
23
IISD, Summary of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction.
24
IISD, Summary The Seventh Meeting of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 1-4 April 2014 dalam Briefing Note on UNGA WG on Marine Biodiversity (IISD, 2014) dari
http://www.iisd.ca/oceans/marinebiodiv7/brief/brief_marinebiodiv7e.pdf diakses pada 6 April
2017. 25
8
B. Pertanyaan Masalah
Oleh karena itu, peneliti membuat pertanyaan penelitian dalam skripsi ini
yaitu, Bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB
untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006 - 2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan menganalisis upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum
PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006 - 2015,
skripsi ini memiliki tujuan secara teoritis untuk mem-verifikasi asumsi dari Kate
O‟Neill bahwa Non-Government Organization, Activist Group, dan Global
Environment Movements memainkan peran penting dalam menyoroti masalah
lingkungan global, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata
kelola lingkungan global,26 sedangkan secara praktis tujuan dari skripsi ini ialah
menjadi referensi untuk NGO, baik Greenpeace maupun NGO lainnya, dalam
membuat upaya yang ditujukan untuk mendorong aktor negara untuk membuat
kebijakan terkait isu-isu lingkungan hidup tertentu.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang peran maupun upaya NGO lingkungan secara umum telah
dilakukan sebelumnya, seperti pada beberapa jurnal di bawah ini:
Remi Parmentier, Role and Impact of International NGOs in Global Ocean
Governance. Jurnal ini menjelaskan setidaknya ada lima jenis intervensi NGO
terhadap pengaturan lingkungan maritim dunia, antara lain: (1) pembangunan
9
kebijakan dan pengaturan agenda; (2) pembangunan pengetahuan, kapabilitas, dan
kesadaran publik; (3) manajemen lingkungan hidup dan konservasi; (4) ilmu
pengetahuan; serta (5) pengawasan dan respon secara cepat.
Katherine M. Crosman, The Roles of Non-Governmental Organization in
Marine Conservation. Jurnal ini menjelaskan empat peran keterlibatan NGO
dalam upaya konservasi maritim dengan menganalisis peran organisasi tersebut,
antara lain, sebagai advocate, expert, manager, watchdog, dan enabler. Katherine
M. Crosman juga menjelaskan motivasi NGO untuk terlibat sebagai pendorong
dalam upaya konservasi maritim, antara lain, misi organisasi, konteks konservasi,
dan kebutuhan untuk mengamankan dana mereka.
Kal Raustiala, States, NGOs, and International Environmental Institutions.
Jurnal menjelaskan setidaknya ada enam peranan NGO dalam kerjasama dan
hukum lingkungan hidup internasional, antara lain, melakukan penelitian dan
pengembangan kebijakan, mengawasi komitmen negara, sebagai alarm, membuat
laporan tentang negosiasi yang sedang berjalan, menyebarkan respon domestik,
hingga memfasilitasi ratifikasi. Kal Raustiala juga menjelaskan tentang pola dan
tren partisipasi NGO, yaitu dengan mengelaborasi pola NGO secara umum serta
menganalisis studi kasus pola partisipasi NGO di dalam Global Environment
Facility (GEF).
Barbara Gemmill dan Abimbola Bamidele-Izu, The Role of NGOs and Civil
Society in Global Environmental Governance. Jurnal ini menjelaskan setidaknya
10
antara lain: mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisis informasi;
memberikan masukan dalam proses pengaturan agenda dan pembangunan
kebijakan; menjalankan fungsi operasional; mengukur kondisi lingkungan hidup
dan memantau kepatuhan perjanjian lingkungan hidup; dan advokasi keadilan
lingkungan.
Jurnal-jurnal di atas sangat membantu skripsi ini dengan memberikan
gambaran tentang peran NGO secara umum dalam tata kelola lingkungan hidup
global. Hasil penelitian-penelitian tersebut juga akan digunakan sebagai referensi
terkait upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB untuk
membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement. Skripsi ini menindaklanjuti
penelitian di atas dalam menganalisis upaya Greenpeace secara spesifik,
dikarenakan tidak semua NGO memiliki upaya yang sama satu sama lain,
melainkan masing-masing NGO memiliki perbedaan objektif maupun upaya yang
berbeda-beda.
E. Kerangka Teoritis
1. Green Political Theory
Di antara berbagai asumsi-asumsi dari Green Political Theory, GPT
memiliki posisi yang berkaitan dengan pertanyaan tentang tatanan dunia, yaitu
kritik GPT terhadap sistem negara. Implikasi dari argumen GPT terhadap struktur
politik global cukup jelas. O'Riordan menyajikan tipologi posisi yang yang
muncul dari “limits to growth account of sustainability” yang diadopsi oleh GPT.
Pertama, aktor negara terlalu besar dan terlalu kecil untuk melindungi lingkungan
11
dengan desentralisasi di dalam negara) diperlukan untuk melindungi lingkungan
hidup secara efektif.27
Posisi kedua, apa yang O'Riordan sebut sebagai „centralised
authoritarianism.‟ Gagasan ini pada umumnya mengikuti logika „tragedy of the
commons‟ dari Garrett Hardin, yang menunjukkan bahwa sumber daya yang
dimiliki bersama akan dimanfaatkan secara berlebih. Metafora ini menghasilkan
argumen bahwa struktur politik global terpusat diperlukan untuk memaksa
perubahan perilaku untuk mencapai keberlanjutan. Dalam beberapa versi, gagasan
ini mengadopsi apa yang disebut dengan „lifeboat ethics‟, di mana kelangkaan
ekologi berarti bahwa negara-negara kaya harus melakukan ujicoba triage dalam
skala global untuk „pull up the ladder behind them.‟ Argumen ini, secara garis
besar merupakan versi ekologis dari proposal versi 'idealis' pemerintahan dunia
dari liberal internationalism yang telah ditolak oleh GPT.28
Posisi ketiga, serupa dengan hal di atas yang menunjukkan bahwa
authoritarianism mungkin diperlukan, namun menolak gagasan bahwa hal ini
dapat dilakukan dalam skala global. Visi dari posisi ini adalah untuk komunitas
berskala kecil dan erat yang berjalan sesuai dengan garis hierarkis dan konservatif
dengan prinsip swasembada dalam penggunaan sumber daya mereka. Posisi
ketiga ini memiliki pandangan yang sama dengan posisi sebelumnya, bahwa
kebebasan dan egoisme yang telah menyebabkan krisis lingkungan, dan bahwa
27
Scott Burchill, dkk., Theories of International Relations, Third Edition (New York: Palgrave Macmillan, 2005), Hal. 242
28
12
kecenderungan ini perlu dikendalikan untuk menghasilkan masyarakat yang
berkelanjutan.29
Posisi terakhir yang dijabarkan oleh O'Riordan disebut dengan „anarchist
solution.‟ Hal ini telah menjadi posisi yang diadopsi oleh GPT sebagai interpretasi
terbaik dari implikasi batas pertumbuhan ekonomi. Istilah 'anarkis' digunakan
secara umum dalam tipologi ini yang berarti bahwa GPT membayangkan jaringan
global komunitas swadaya dalam skala kecil. Posisi ini biasanya mengaitkan
gagasan dari para pakar seperti E. F. Schumacher, serta bioregionalis seperti
Kirkpatrick Sale yang berpendapat bahwa masyarakat ekologi harus diorganisir
dengan fitur lingkungan alami seperti daerah aliran sungai yang membentuk
batas-batas antara masyarakat.30
GPT juga sering mengkritik aktor negara karena alasan anarkis. Misalnya,
Spretnak dan Capra mengemukakan bahwa anarkis adalah ciri yang diidentifikasi
oleh Weber sebagai sifat dasar kenegaraan yang merupakan masalah dalam sudut
pandang GPT. Kemudian, Bookchin memberikan argumen serupa, menunjukkan
bahwa negara adalah institusi hierarki tertinggi yang mengkonsolidasikan semua
institusi hierarkis lainnya. Di lain pihak, Carter mengemukakan bahwa negara
adalah bagian dari dinamika masyarakat modern yang telah menyebabkan krisis
lingkungan saat ini. Dia menguraikan tentang 'dinamika lingkungan yang
berbahaya,' di mana „negara yang terpusat, pseudo-representative, dan
quasi-democratic berusaha untuk menstabilsasi hubungan ekonomi inegaliter dan
29 Burchill, Theories of International Relations, Hal. 243 30
13
kompetitif untuk mengembangkan teknologi “tidak ramah” dan menyebabkan
kerusakan berat pada lingkungan, di mana produktivitasnya mendukung (secara
nasionalistik dan militeristik) kekuatan koersif yang memberdayakan negara.'
Dengan demikian, dalam sudut pandang GPT, negara tidak hanya tidak
diperlukan, namun juga tidak diinginkan secara positif. Selain itu, salah satu
slogan politik GPT yang paling terkenal adalah „think globally, act locally‟ yang
berasumsi bahwa sementara masalah lingkungan dan sosial-ekonomi global
beroperasi dalam skala global, mereka dapat dengan sukses merespons hanya
dengan menghancurkan struktur kekuatan global yang dihasilkan melalui tindakan
lokal dan pembangunan komunitas politik skala kecil dan ekonomi mandiri. 31
Argumen-argumen dari Green Political Theory di atas membantu
menjelaskan bagaimana peran aktor non-negara, khususnya Greenpeace, sebagai
komunitas masyarakat sipil menjadi bentuk dari desentralisasi di dalam negara, di
mana Greenpeace memainkan peran-perannya dalam mengadvokasikan
perlindungan lingkungan maupun melindungi lingkungan melalui kegiatan
konservasi. Selain itu, tekait dengan „centralised authoritarianism,‟ juga
diperjuangkan oleh Greenpeace atas pembentukan UN Oceans Biodiversity
Agreement, sebagai rezim internasional yang dapat mengatur dan mencegah
kegiatan-kegiatan destruktif di laut lepas.
2. Peran NGO, Activist Group, dan Global Environment Movements
Kelompok aktivis lingkungan memainkan peran penting dalam menyoroti
masalah lingkungan global, dan secara langsung atau tidak langsung
31
14
mempengaruhi tata kelola lingkungan global.32 Banyak jenis kelompok, yang
mewakili banyak kepentingan yang berbeda, yang aktif di kancah politik dunia,
dari NGO profesional hingga kelompok-kelompok lokal kecil yang membuat
jaringan satu sama lain melalui internet. Kelompok-kelompok ini berbeda secara
luas dalam ideologi, upaya, bentuk organisasi, dan target (tidak semua dari
mereka bahkan akan mendefinisikan diri mereka fokus pada "lingkungan"), tapi
berbagi perhatian atas kondisi lingkungan global dan peran serta hak manusia
terhadap lingkungan, dan kebutuhan akan suara yang berbeda untuk didengar
dalam proses pemerintahan global.33 Aktivisme lingkungan hidup global telah
berpengaruh dalam beberapa cara. Pertama, banyak kelompok, di antaranya,
Greenpeace, WWF, Climate Action Network, telah memusatkan perhatian mereka
pada masalah-masalah global secara eksplisit. Kedua, kelompok lingkungan
sangat aktif menghadiri negosiasi internasional dan pada KTT global. Ketiga,
munculnya jaringan advokasi transnasional dan masyarakat global telah menjadi
salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam studi aktivisme dan
gerakan sosial selama dekade terakhir.34
Selain itu, komunitas aktivis selalu memberikan perhatian terhadap tata
kelola lingkungan global dan telah melakukan beberapa fungsi penting dalam
proses negosiasi.35 Pertama, NGO telah memainkan peran kunci dalam pengaturan
agenda, dengan cara membawa masalah pada perhatian masyarakat internasional,
dan mendorong solusi tertentu. Kedua, NGO telah berfungsi sebagai "conscience
32
O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 57 33
O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 57 34 O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 58-59 35
15
keeper" masyarakat internasional, dengan tidak sekadar menyoroti masalah moral
dan etika untuk memecahkan masalah lingkungan global, namun juga terus
mendorong partisipasi yang lebih luas dalam pertimbangan ini, mengingatkan
penyelenggara dan peserta negosiasi tentang masyarakat yang menyaksikan secara
luas. Ketiga, mereka membawa banyak keahlian untuk menghadapi masalah dan
dampak lingkungan global.36 Mereka melobi para delegasi untuk mengambil
posisi tertentu, menyusun rancangan bahasa perjanjian (yang terkadang diadopsi
ke dalam teks final), dan menghasilkan laporan harian, dan terkadang setiap jam,
tentang kegiatan pertemuan, yang dengan cepat dan disebarluaskan.37
Konsep peran NGO sangat relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian
ini dikarenakan GPT mengakui adanya peran aktor non-negara yang memiliki
andil yang cukup besar dalam menyuarakan pelestarian lingkungan hingga
menjadi isu global. Menurut O‟Neill, NGO juga memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi aktor negara untuk menegosiasikan isu-isu lingkungan ke dalam
forum-forum dunia. Dalam konteks penelitian ini, GPT dapat membantu peneliti
untuk menjelaskan bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis
Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement.
F. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.
Prosedur-prosedur kualitatif memiliki pendekatan yang lebih beragam dalam
penelitian akademik ketimbang metode-metode kuantitatif. Penelitian kualitatif
36 O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 91-92 37
16
juga memiliki asumsi-asumsi filosofis, upaya-upaya penelitian, dan
metode-metode pengumpulan, analisis, dan interpretasi data yang beragam.38 Adapun
beberapa karakteristik penelitian kualitatif menurut John W. Creswell, antara lain:
(1) lingkungan alamiah; (2) peneliti sebagai instrument kunci; (3) beragam
sumber data; (4) analisis data induktif; (5) makna dari partisipan; (6) rancangan
yang berkembang; (7) perspektif teoritis; (8) bersifat penafsiran; dan (9)
pandangan menyeluruh.39 Oleh karena itu, dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif, peneliti dapat menganalisis upaya Greenpeace mendorong
pembentukan suaka laut global melalui UN Ocean Biodiversity Agreement secara
mendalam.
Menurut John W. Creswell, ada empat prosedur pengumpulan data di dalam
metode kualitatif, antara lain: (1) observasi kualitatif; (2) wawancara kualitatif; (3)
dokumen-dokumen kualitatif; serta (4) materi audio dan visual,40 sedangkan, di
dalam skripsi ini, peneliti mengumpulkan data melalui studi pustaka
dokumen-dokumen terkait (seperti dokumen-dokumen resmi PBB, laporan Greenpeace, Earth
Negotiation Bulletin, jurnal, serta dokumen-dokumen lainnya) dan melakukan
wawancara terhadap aktor-aktor terkait, antara lain: Oceans Sanctuaries Project
Leader Greenpeace Internasional, yaitu Richard Page; Political Advisor
Greenpeace Internasional sekaligus Chair of Greenpeace Delegation, yaitu
Nathalie Rey, Sofia Tsenikli, dan Veronica Frank; Oceans Campaigner
Greenpeace national/regional offices (NROs), yaitu John Hocevar, Magnus
38
David Silverman, Doing Qualitative Research: A Practical Handbook (London: SAGE Publication, 2000), Hal. 8
39 Creswell, Research Design,Hal. 261-263 40
17
Eckeskog, Frida Bengtsson, Sarah King, Arifsyah Nasution, Taehyun Park, dan
Kazue Komatsubara; delegasi negara-negara pada Kelompok Kerja BBNJ, yaitu
Haryo Budi Nugroho, Budi Atyasa, Elizabeth Kim, dan Prof. Tullio Scovazzi;
serta para pakar hukum laut internasional dan biologi kelautan, yaitu Prof. Ann
Powers dan Dr. rer. nat. Mufti Petala Partia, M.Sc. Akan tetapi, dalam skripsi ini
penulis menyadari adanya kekurangan narasumber, yaitu dari pihak PBB untuk
diwawancarai.
G. Sistematika Penulisan
BAB 1: PENDAHULUAN
Bab 1 merupakan pendahuluan dari skripsi ini. Pada Bab 1 menjelaskan
beberapa bagian, antara lain, pernyataan masalah yang menjelaskan terkait
signifikansi masalah dalam skripsi ini, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teoritis yang menjelaskan terkait landasan teori dalam skripsi
ini, tinjauan pustaka yang menjelaskan terkait penelitian-penelitian terdahulu;
metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II: PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT
GREENPEACE
Pada Bab 2 dijelaskan tentang profil keorganisasian, yang terdiri dari
sejarah pembentukan Greenpeace, prinsip dasar organisasi Greenpeace, struktur
organisasi Greenpeace, dan status Greenpeace di dalam sistem PBB, serta profil
kampanye perlindungan laut Greenpeace, yang terdiri dari pencapaian kampanye
laut Greenpeace dan kampanye perlindungan laut lepas “ocean sanctuaries”
18
BAB III: PROSES NEGOSIASI PEMBENTUKAN UN OCEAN
BIODIVERSITY AGREEMENT DI PBB
Pada Bab 3 dijelaskan bagaimana proses pembentukan negosiasi UN
Ocean Biodiversity Agreement baik di dalam pertemuan pertama hingga
kesembilan Kelompok Kerja BBNJ maupun di dalam pertemuan internasional
lainnya, yaitu UN Conference on Sustainable Development (Rio+ 20) dan sidang
Majelis Umum PBB Ke-69. Bab 3 juga menunjukkan bagaimana perubahan
posisi beberapa negara yang awalnya menentang pembentukan perjanjian
pelaksanaan di bawah UNCLOS hingga akhirnya Majelis Umum PBB berhasil
mengadopsi Resolusi MU PBB 69/292 Tahun 2015 melalui konsesus.
BAB IV: UPAYA GREENPEACE MENDORONG PEMBENTUKAN
SUAKA LAUT GLOBAL MELALUI UN OCEAN
BIODIVERSITY AGREEMENT
Di dalam Bab 4, penulis menganalisis upaya Greenpeace dalam upayanya
mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity
Agreement. Upaya yang dianalisis tidak hanya yang dilakukan oleh Greenpeace di
dalam pertemuan-pertemuan Kelompok Kerja BBNJ, melainkan juga upaya
Greenpeace secara keseluruhan yang berkaitan dengan upaya perlindungan laut
lepas serta upaya Greenpeace kepada negara-negara anggota Majelis Umum PBB.
Bab 4 ini juga menjelaskan tentang kendala-kendala yang dialami oleh
Greenpeace dalam upayanya mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk
UN Ocean Biodiversity Agreement.
19
BAB II
PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT GREENPEACE
Pada Bab 2 ini dijelaskan tentang profil keorganisasian, yang terdiri dari
sejarah pembentukan Greenpeace, prinsip dasar organisasi Greenpeace, struktur
organisasi Greenpeace, dan status Greenpeace di dalam sistem PBB, serta profil
kampanye perlindungan laut Greenpeace, yang terdiri dari pencapaian kampanye
laut Greenpeace dan kampanye perlindungan laut lepas “Ocean Sanctuaries”
Greenpeace. Penjelasan tersebut diuraikan untuk memperkuat asumsi dari Kate
O‟Neill dari studi kasus perjalanan kontribusi Greenpeace sebagai
Non-Governement Organization dalam upaya perlindungan laut melalui pembentukan
perjanjian lingkungan internasional, seperti Non-Proliferation Treaty (NPT) pada
1 Mei 1996, moratorium perburuan paus komersil oleh IWC pada tahun 1982,
Protocol on Environmental Protection to the Antarctic Treaty pada tahun 1991,
hingga amandemen London Dumping Convention pada tahun 1993.
A. Profil Greenpeace
1. Sejarah Pembentukan Greenpeace
Greenpeace adalah organisasi yang lahir dari pergerakan yang pada awalnya
menentang invasi Amerika Serikat ke Vietnam pada tahun 1960an, yang
menimbulkan 150.000 penentang yang akhirnya pindah ke Kanada.41 Pergerakan
tersebut semakin meningkat sejak bulan Agustus 1969, ketika AS mengumumkan
pengujian bom nuklir berkekuatan satu megaton, bernama “Milrow,” yang
20
diledakan pada bulan Oktober di Pulau Amcithka dan menghasilkan gempa
sebesar 6,9 SR.42 Sayangnya, ambisi pemerintah AS untuk melakukan ujicoba
nuklir masih berlanjut, hingga pada bulan November 1969, Kementerian
Pertahanan AS kembali mengumumkan ujicoba termo-nuklir berkekuatan lima
megaton, bernama “Cannikin,” yang dijadwalkan pada musim gugur 1971.43
Sebagai respon terhadap pengumuman tersebut, kelompok untuk memprotes
rencana tersebut yang bernama “Don‟t Make a Wave Committee,” melakukan
pelayaran menggunakan kapal Phyllis Cormack yang dimulai pada 15 September
1971 dari Vancouver.44 Dalam pelayarannya, di saat kru kapal Phyllis Cormack
meninggalkan Pulau Akutan dan melanjutkan pelayaran menuju Amchitka, pada
tanggal 30 September, mereka ditahan oleh Kapal Penjaga Pantai AS Confidence
atas tuduhan melanggar UU Tarif AS Tahun 1930 karena tidak melapor kepada
Bea Cukai AS dengan waktu maksimal 48 jam setelah memasuki wilayah AS.45
Oleh karena itu, Phyllis Cormack diperintahkan untuk beralih ke Kepulauan
Shumagin, yang letaknya jauh dari Amchitka, untuk menyelesaikan urusan
kepabeanan di sana.46 Dengan kegagalan pelayaran tersebut untuk mencapai
lokasi ujicoba di Amchitka, menjadi misi terakhir bagi kapal Phyllis Cormack
yang kembali digunakan sebagai kapal ikan dan digantikan dengan Edgewater
42
Marc Montgomery, History: Sept 15, 1971, the Canadian origins of Greenpeace (2015) dari
http://www.rcinet.ca/en/2015/09/16/history-sept-15-1971-the-canadian-origins-of-greenpeace/
diakses pada 19 Maret 2017. 43
Montgomery, History: Sept 15, 1971.
44
Greenpeace, The Founders of Greenpeace dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/founders/ diakses pada 19 Maret
2017. 45
Rex Weyler, Greenpeace: How A Group of Ecologists, Journalists, and Visionaries Changed the World (Vancouver: Raincoast Books, 2004), Hal. 115
46
21
Fortune, yang dikenal sebagai Greenpeace Too. Kapal Greenpeace Too kemudian
melanjutkan misi untuk mengejar batas waktu ujicoba nuklir yang akan dilakukan
pada 4 November.47 Akan tetapi, pada 6 November bom hidrogen berkekuatan 5
megaton diledakkan dengan kedalaman 1,8 km di bawah permukaan Amchitka.48
Karena Phyllis Cormack tidak pernah mencapai Amchitka, dan kehadiran
Edgewater Fortune tidak menggoyahkan pemerintah AS, anggota Don‟t Make a
Wave Committee mengira bahwa semua upaya mereka akhirnya berujung
sia-sia.49 Akan tetapi, pada kenyataannya, dengan menggunakan taktik dramatis yang
terinspirasi oleh, filosofi konfrontasi tanpa kekerasan yang berakar pada konsep
“bearing witness” dari Quaker,50 dan juga konsep intervensi tanpa kekerasan dari
Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr, ditambah pula dengan taktik "mind
bomb" dari Robert Hunter,51 dapat memicu oposisi publik terhadap ujicoba nuklir
dan melahirkan kampanye perlucutan senjata yang pada akhirnya membuat
Komisi Energi Atom AS menghentikan ujicoba nuklir Amchitka pada bulan
Februari 1972,52 serta mengembalikan status dan fungsi Pulau Amchitka sebagai
suaka margasatwa.53
47 Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11 48
Nuclear Risks, Amchitka, USA: Nuclear Weapons Test Site dari
http://www.nuclear-risks.org/en/hibakusha-worldwide/amchitka.html diakses pada 19 Maret 2017.
49
Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11 50
University of Wollongong, Case Study: Greenpeace dari
https://www.uow.edu.au/~sharonb/STS300/environment/case/artcase5.html diakses pada 19
Maret 2017.
51 Bill Kovarik, Greenpeace darihttp://environmentalhistory.org/people/greenpeace/ diakses pada 16 Januari 2017.
52
Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11
22
2. Prinsip Dasar Organisasi Greenpeace
Misi Greenpeace adalah organisasi kampanye yang bersifat independen,
yang menggunakan konfrontasi kreatif non-kekerasan dalam memecahkan
masalah lingkungan global, dan untuk menawarkan solusi yang penting untuk
masa depan yang hijau dan damai. Selain itu, tujuan dari Greenpeace adalah untuk
memastikan kemampuan bumi untuk memelihara kehidupan dalam segala
keragamannya. Oleh karena itu, untuk mencapai misi dan tujuan tersebut,
Greenpeace berkampanye untuk:54
melindungi keanekaragaman hayati dalam segala bentuknya
mencegah pencemaran dan penyalahgunaan laut, tanah, udara, dan air di bumi mengakhiri semua ancaman nuklir
mempromosikan perdamaian, perlucutan senjata, dan non-kekerasan secara
global.
Adapun di setiap aktivitas kampanye untuk mencapai misi dan tujuan
organisasi, Greenpeace memiliki prinsip dasar (core value), antara lain:55
a. Tanggung Jawab Pribadi dan Tanpa Kekerasan
Dalam aksi-nya, aktivis Greenpeace mengambil tanggung jawab pribadi atas
tindakan mereka, dan berkomitmen terhadap prinsip non-kekerasan.
Prinsip-prinsip ini terinspirasi dari konsep “bearing witness” milik kelompok Quaker,
yaitu tentang mengambil tindakan berdasarkan hati nurani dan tanggung
jawab pribadi.
54
Greenpeace, Our Core Value dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/our-core-values/ diakses pada 16 Januari 2017.
55
23
b. Independen
Greenpeace menjamin independensi keuangan dari kepentingan politik
maupun komersial. Greenpeace tidak menerima dana dari salah satu
perusahaan atau pemerintah. Kontribusi individu serta yayasan hibah adalah
satu-satunya sumber pendanaan Greenpeace. Prinsip independen tersebut
memberikan otoritas yang dibutuhkan untuk menghadapi kekuasaan dan
membuat perubahan yang nyata dapat terjadi. Dengan begitu,
kampanye-kampanye yang dilakukan oleh Greenpeace juga terhindar dari kepentingan
pihak perusahaan maupun politik.
c. Tidak Memiliki Aliansi maupun Musuh Permanen
Dalam mengungkap ancaman dan mencari solusi terhadap lingkungan,
Greenpeace tidak memiliki aliansi maupun musuh permanen. Jika pemerintah
ataupun perusahaan bersedia untuk berubah dan berkomitmen untuk menjadi
lebih baik, Greenpeace akan bekerjasama (di luar kerjasama finansial) dengan
mereka untuk mencapai tujuannya. Namun, jika pemerintah ataupun
perusahaan melanggar komitmennya, Greenpeace akan kembali
mengkonfrontir pihak tersebut.
d. Mempromosikan Solusi
Greenpeace mencari solusi dan mempromosikannya secara terbuka terkait
pilihan lingkungan kepada masyarakat. Greenpeace tidak bekerja untuk
mengelola masalah lingkungan, melainkan bekerja untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu, untuk menunjang kampanye-nya Greenpeace
mengembangkan penelitian dan mempromosikan langkah-langkah konkret
24
mengembangkan roadmap untuk menyelamatkan laut melalui pembentukan
Marine Reserves dan cetak biru Energy [R] evolution yang menunjukkan cara
menuju ekonomi bersih.
3. Struktur Organisasi Greenpeace
Greenpeace adalah organisasi lingkungan global, yang terdiri dari
Greenpeace Internasional (Stichting Greenpeace Council) di Amsterdam, dan 26
kantor nasional dan regional atau yang dikenal dengan national/regional offices
(NROs) independen di seluruh dunia yang mencakup kampanye di lebih dari 55
negara.56 NROs tersebut bersifat independen dalam melaksanakan upaya
kampanye global dalam konteks lokal dan mencari dukungan finansial dari
donatur untuk mendanai pekerjaan mereka.57
Nama resmi Greenpeace Internasional, yaitu Stichting Greenpeace Council
berasal dari istilah Belanda “Stichting” (terjemahan yang mendekati ialah
yayasan) yang berbasis di Amsterdam, Belanda.58 Objektif dari Stichting adalah
untuk mempromosikan konservasi alam dengan melakukan tugasnya, antara lain:
(1) mengkoordinir national organizations dalam pelaksanaan objective mereka,
(2) untuk meminjamkan bantuan bila diperlukan, dan untuk melayani semua
kepentingan mereka di arti luas; serta (3) melakukan semua tugas-tugas lain untuk
56
Greenpeace, Greenpeace Worlwide dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/worldwide diakses pada 16 Januari 2017.
57
Greenpeace, Greenpeace Structure and Organization dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/how-is-greenpeace-structured/ diakses
pada 16 Januari 2017. 58
Greenpeace, Stichting Greenpeace Council: Rules of Procedure (2016) dari
http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/greenpeace/2014/S
25
mencapai objektif-nya.59 Stichting juga memiliki anggota yang terdiri dari tiga
jenis organisasi, antara lain:60
a. Organisasi Nasional: ini adalah lembaga-lembaga nasional yang diakui oleh
resolusi Board of the Stichting yang disahkan melalui konsensus pada rapat di
mana seluruh anggota Board of the Stichting hadir;
b. Organisasi Regional: Lembaga yang beroperasi di lebih dari satu negara,
diakui oleh resolusi Board of the Stichting yang disahkan melalui konsensus
pada rapat di mana seluruh anggota Board of the Stichting hadir. Organisasi
Regional memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dengan Organisasi
Nasional;
c. Organisasi Kandidat: ini adalah anggota yang diakui oleh Board of the
Stichting sebagai Organisasi Kandidat.
4. Status Greenpeace di dalam Sistem PBB
NGO telah aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di PBB sejak didirikan
pada tahun 1945, dengan berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan PBB termasuk
penyebaran informasi, peningkatan kesadaran, pengembangan edukasi, advokasi
kebijakan, proyek operasional bersama, partisipasi dalam proses antar-pemerintah,
serta kontribusi jasa dan keahlian teknis.61 Pasal 71 dari Piagam PBB, yang
membentuk UN Economic and Social Council (ECOSOC), menyatakan bahwa:
“ECOSOC dapat membuat sistem pengaturan yang sesuai untuk konsultasi
dengan organisasi-organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu-isu dalam
59
Greenpeace, Stichting Greenpeace Council.
60 Greenpeace, Stichting Greenpeace Council. 61
26
kewenangan ECOSOC.”62 Pasal tersebut membuka pintu untuk memberikan
pengaturan yang sesuai untuk konsultasi dengan organisasi-organisasi
non-pemerintah. Hubungan konsultatif dengan ECOSOC diatur pada Resolusi
ECOSOC 1996/31, yang menguraikan persyaratan untuk status konsultatif, hak
dan kewajiban dari NGO di status konsultatif, prosedur untuk penarikan atau
penangguhan status konsultatif, peran dan fungsi Komite ECOSOC terhadap
NGO, serta tanggungjawab dari Sekretariat PBB dalam mendukung hubungan
konsultatif.63 Pada tahun 1946, setidaknya sebanyak 41 NGO diberikan status
konsultatif oleh ECOSOC, kemudian, pada tahun 1992 lebih dari 700 NGO telah
mendapatkan status konsultatif dan jumlahnya terus meningkat hingga lebih dari
3.400 organisasi pada saat ini.64
Adapun NGO yang telah memiliki status konsultatif dapat berkontribusi
dengan menggunakan keahlian dan pengalamannya di dalam sistem PPB, antara
lain: (1) menyediakan analisis pakar terkait suatu isu langsung dari pengalaman di
lapangan; berperan sebagai early warning agent; (2) membantu pengawasan dan
pelaksanaan perjanjian internasional; (3) membantu peningkatan kesadaran publik
tentang isu-isu yang relevan; (4) memainkan peran besar dalam memajukan tujuan
dan sasaran PBB; (5) berkontribusi dengan informasi penting di acara-acara
organisasi. Selain itu, ECOSOC juga memberikan kesempatan NGO yang telah
memiliki status konsultatif untuk mendapatkan akses, antara lain: (a) menghadiri
62 UN, Working with ECOSOC, Hal. 1 63
UN, Economic and Social Council Resolution 1996/31: Consultative Relationship Between the United Nations and Nongovernmental Organizations dari
http://www.un.org/documents/ecosoc/res/1996/eres1996-31.htm diakses pada 10 Mei 2016.
64
27
konferensi dan acara internasional; (b) membuat laporan tertulis dan lisan di acara
internasional; (c) menyelenggarakan side event; (d) akses ke kantor-kantor PBB;
serta (e) memiliki kesempatan untuk menambah jaringan dan melakukan lobi. 65
Status yang diberikan kepada NGO pun dibagi menjadi tiga kategori, antara
lain:66 (1) General Consultative Status, yang dapat diajukan oleh organisasi yang
wilayah kerjanya melingkupi sebagian besar dari agenda ECOSOC, yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi substantif dan secara berkelanjutan, di
mana keanggotaannya secara luas mewakili mayoritas masyarakat di banyak
negara di berbagai wilayah di dunia; (2) Special Consultative Status, yang dapat
diajukan oleh organisasi yang memiliki kompetensi dan lingkup kerja yang
terbatas pada beberapa bidang khusus dalam kegiatan ECOSOC; (3) Roster
Consultative Status, dapat diajukan oleh organisasi yang tidak memenuhi kriteria
di atas, namun dapat memberikan kontribusi dalam satu kesempatan yang berguna
bagi pekerjaan ECOSOC.67
Greenpeace yang merupakan salah satu NGO yang telah mendapatkan
“General Consultative Status” pada tahun 1998 di dalam daftar milik ECOSOC68
yang memungkinkan beberapa partisipasi langsung dalam proses perundingan
65
UN, Working with ECOSOC,Hal. 7 66
Hak istimewa dari tiga jenis status konsultatif dari ECOSOC tersedia di Lampiran 1. 67
Jurij Daniel Aston, The United Nations Committee on Non-Governmental Organizations: Guarding the Entrance to A Politically Divided House dalam(European Journal of International Law, 2001) Hal. 947
68
UN, List of Non-Governmental Organizations in Consultative Status with the Economic and Social Council as of 1 September 2014 (2014) dari
28
antar-pemerintah.69 Di dalam Resolusi ECOSOC 31 Tahun 1996 (ECOSOC/Res
E/2996/31), pada Bagian IV: Cosultation with the Council, 70 menjelaskan NGO
yang telah terakreditasi sebagai “General Consultative Status” mendapat hak,
antara lain:71
Mengirimkan delegasi untuk menghadiri pertemuan internasional; Menyampaikan laporan tertulis dalam penyelenggaraan sidang; Membuat pernyataan lisan;
Menemui delegasi resmi pemerintah dan perwakilan NGO lainnya;
Mengatur dan menghadiri acara paralel yang berlangsung selama
penyelenggaraan sidang;
Berpartisipasi dalam debat, dialog interaktif, diskusi panel, dan pertemuan
informal.
B. Profil Kampanye Laut Greenpeace
1. Pencapaian Kampanye Perlindungan Laut Greenpeace
a. Menghentikan Ujicoba Nuklir Perancis di Pasifik Selatan
Perancis, yang menolak untuk meratifikasi Partial Test Ban Treaty pada
tahun 1963 bersama dengan India dan Cina, mulai melakukan ujicoba nuklir
atmosfer-nya di Atoll Moruroa dan Kepulauan Fangataufa di Polinesia Perancis
pada tahun 1963.72 Oleh karena itu, dalam upayanya untuk menghentikan ujicoba
69
Aline Baillat, NGO Status at the UN (2000) dari
https://www.globalpolicy.org/ngos/links-and-resources-on-ngos/31833-ngo-status-at-the-un.html diakses pada 10 Mei 2016.
70
UN, Economic and Social Council Resolution 1996/31. 71
UN, Working with ECOSOC, Hal. 11 72
Bruce E. Barnes, The French Nuclear Test in The South Pacific: Case Study of An International Environmental Dispute(Ho olulu: Progra o Co flict ‘esolutio U i ersity of Ha ai i at Ma oa,
29
tersebut, Greenpeace kembali melakukan pelayaran yang dilakukan oleh David
McTaggart dengan menggunakan yacht-nya, yaitu 'Vega.‟73 Di dalam
pelayarannya, Ann-Marie Horne bertugas untuk merekam misi tersebut dengan
menggunakan kamera tersembunyi, yang berhasil merekam aksi penganiayaan
oleh para personil militer Perancis kepada McTaggart dan kru-nya, Nigel Ingram,
yang kemudian disebarkan secara luas dan berhasil mempengaruhi opini publik
terhadap ujicoba nuklir Perancis.74
Atas tindakan penganiayaan tersebut, McTaggart pun menjalani proses
pengadilan panjang melawan pemerintah Perancis, hingga akhirnya, pada tahun
1974, McTaggart memenangkan kasusnya, di mana keputusan pengadilan
Perancis menyatakan bahwa pemerintah Perancis terbukti bersalah. Pada tahun
yang sama pula, Perancis mengumumkan bahwa mereka akan mengakhiri
program ujicoba nuklir atmosfer-nya.75 Perancis akhirnya menghentikan ujicoba
nuklir secara keseluruhan pada Februari 1996 dan menandatangani
Non-Proliferation Treaty (NPT) pada 1 Mei 1996.76
b. Menghentikan Perburuan dan Perdagangan Paus
Pada tahun 1970, jumlah total paus biru, paus humpback, dan spesies
lainnya, menurun menjadi kurang secara drastis. Banyaknya kapal pemburu yang
dilengkapi dengan tombak harpoon menjadi penyebab dari pembantaian populasi
73
Greenpeace, 1974 - France Ends Atmospheric Nuclear Tests in the South Pacific dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/Victories-timeline/nuclear-testing/
diakses pada 21 Maret 2017. 74
Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 24-25 75
Greenpeace, 1974 - France Ends Atmospheric Nuclear Tests in the South Pacific.
76 Tish Falco, French Nuclear Test in South Pacific dari
30
paus di dunia.77 Oleh karena itu, Greenpeace meluncurkan kampanye
anti-perburuan ikan paus pada tahun 1973.78 Kemudian, pada Juni 1975, dengan
menggunakan Phyllis Cormack, Greenpeace mengkronfontir armada kapal
pemburu paus Rusia di dekat pesisir California.79 Dokumentasi dari aksi tersebut
pun langsung dipublikasikandan menciptakan kesadaran publik tentang realitas
perburuan paus secara komersil hingga membuat opini publik untuk menentang
industri pemburu paus.80
Ketika aksi penghadangan dan pengambilan dokumentasi yang dilakukan di
laut, Greenpeace berkampanye di seluruh dunia untuk menghimpun dukungan
publik di darat, dengan cara menyebarkan selebaran dan mengumpulkan petisi
untuk mendesak pemerintah nasional untuk merespon tekanan internasional
tersebut.81 Upaya lobi terbayar ketika pada tahun 1982, IWC akhirnya menyetujui
pembentukan moratorium penangkapan ikan paus secara komersil yang mulai
berlaku pada tahun 1986,82 meskipun hanya berlaku untuk perburuan paus
komersial, sedangkan perburuan paus untuk kepentingan penelitian serta yang
dilakukan oleh Suku Aborigin masih diperbolehkan.83
77
Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64
78 Greenpeace, 1982 - Moratorium Puts an End to Commercial Whaling dari
http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/Victories-timeline/whaling-moratorium/ diakses pada 27 Maret 2017.
79
Summer Miller Walfish, Greenpeace Campaigns Against Whaling, 1975-1982 (2010) dari
http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/greenpeace-campaigns-against-whaling-1975-1982
diakses pada 27 Maret 2017. 80
Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64 81 Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64 82
IWC, Catch Limits and Catches Taken dari https://iwc.int/catches diakses pada 27 Maret 2017. 83
SBS, At-A-Glance: Whaling Moratorium (2010) dari
http://www.sbs.com.au/news/article/2010/06/21/glance-whaling-moratorium diakses pada 27