• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANDRE FISIP Upaya Greenpeace Mendorong Majelis Umum PBB Untuk Membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement Periode 2006 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANDRE FISIP Upaya Greenpeace Mendorong Majelis Umum PBB Untuk Membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement Periode 2006 2015"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA GREENPEACE MENDORONG MAJELIS

UMUM PBB UNTUK MEMBENTUK

UN OCEAN

BIODIVERSITY AGREEMENT

PERIODE 2006 - 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Andre

1113113000044

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis upaya Greenpeace mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement. UN Ocean Biodiversity Agreement atau yang dikenal dengan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS, dinegosiasikan di dalam UN Ad Hoc Open-ended Informal Working Group Biodiversity on Beyond National Jurisdiction (BBNJ) pada periode 2006 - 2015. Di awal pertemuan Kelompok Kerja BBNJ, terdapat penolakan dari beberapa negara, seperti AS, Rusia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Islandia, dan Norwegia, terkait gagasan pembentukan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS tersebut. Namun, di dalam pertemuan Kelompok Kerja BBNJ terakhir serta sidang Majelis Umum PBB ke-69 pada tahun 2015, Majelis Umum PBB, melalui konsensus, berhasil mengadopsi Resolusi Majelis Umum PBB 69/292 Tahun 2015 (A/RES/69/292) yang menindaklanjuti negosiasi perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS ke proses selanjutnya, yaitu Preparatory Committee (PrepCom). Oleh karena itu, pertanyaan penelitian dari skripsi ini ialah bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006-2015? Dalam menganalisis upaya Greenpeace, skripsi ini menggunakan Green Political Theory beserta konsep desentralisasi dan peran non-governement organization, activist group, dan global environment movements. Sedangkan, skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data, yaitu studi pustaka dan wawancara. Skripsi ini menemukan bahwa upaya Greenpeace, antara lain: Penelitian dan Analisis (Research and Analysis); Pengawasan dan Respon Cepat (Watch-Dogging and Rapid Response); Mempertunjukkan Fungsi Operasional (Performing Operational Functions); Pengembangan Kebijakan dan Pengaturan Agenda (Policy Development and Agenda Setting); Melaporkan Proses Negosiasi (Negotiations Reporting); dan Menyebarkan Sinyal Domestik (Enhancing Domestic Signaling).

(6)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrrahim, dengan memanjatkan puji serta syukur kepada Allah SWT, penguasa alam semesta. Atas segala rakhmat dan hidayat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis di Universitas Islam Negeti Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Selain itu, skripsi ini juga didedikasikan untuk kemajuan organisasi Greenpeace dengan mengevaluasi dan memberikan rekomendasi terhadap upaya Greenpeace, khususnya upaya pembentukan suaka laut global melalui UN Ocean Biodiversity Agreement. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada:

1. Keluarga penulis, Ayahanda Setiawan Prasetyo, Ibunda Agustini, serta kakak-kakak penulis, Melisa Prasetyo dan Melinda Prasetyo, yang senantiasa memberikan doa, motivasi, nasehat kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Irfan R. Hutagalung, LL.M., selaku dosen seminar proposal skripsi sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan bimbingannya kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

3. Seluruh dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta yang turut serta dalam memberikan ilmu kepada penulis selama menjadi mahasiswa di FISIP UIN Jakarta.

(7)

vi

5. Seluruh staff Greenpeace Indonesia yang yang turut serta dalam memberikan dukungan kepada penulis selama menjadi menjadi relawan dan magang Greenpeace Indonesia.

6. Seluruh narasumber, antara lain: Richard Page, selaku Ocean Sanctuaries Project Leader Greenpeace Internasional; Veronica Frank, Nathalie Rey, dan Sofia Tsenikli, selaku delegasi Greenpeace Internasional di Kelompok Kerja BBNJ; Arifsyah Nasution, John Hocevar, Magnus Eckeskog, Frida Bengtsson, Sarah King, Taehyun Park, dan Kazue Komatsubara, selaku Oceans Campaigner Greenpeace NROs; Haryo Budi Nugroho, Budi Atyasa, Elizabeth Kim, dan Prof. Tullio Scovazzi, selaku delegasi negara di Working Group dan Preparatory Committee BBNJ; serta Mufti Petala Patria dan Prof. Ann Powers, selaku pakar dari isu-isu yang berkaitan dengan skripsi ini.

7. Affalia Maydi Hatika, yang senantiasa memberikan dukungan, motivasi, serta doa kepada penulis selama dua tahun terakhir.

8. Sahabat mahasiswa HI UIN 2013, antara lain: Kartika, Shabrina, Riri, dan Ina; Auzan, Faris, Zhafir, Ghalib, dan Iqbal, selaku kawan-kawan dari Kajian Rumah Ojan; Auzan, Faris, Zhafir, Luthfan, Opin, Arum, Nurul, Sarah, Innes, Tata, Hanna, dan Madinna, selaku kawan-kawan dari Regionalismile, serta kawan-kawan mahasiswa HI UIN 2013 lainnya.

9. Sahabat relawan di Greenpeace Indonesia, antara lain: Faris, Zulfa, Maydi, Mazaya, Luthfi, Cici, Hasna, Tiorys, Elena, Arshie, Jessika, Rafa, Siska, Ka Sapi, Silo, Echa, Ayya, Akmal, Habib, Farhan, Ka Rilin, Nugo, serta kawan-kawan Greenpeace Indonesia lainnya.

(8)

vii

11.Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama proses penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga atas segala bantuan serta dukungannya mendapatkan ridha dan berkah dari Allah SWT.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis terima demi perbaikan penelitian ini di masa mendatang. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktik.

Jakarta, 5 Juli 2017

(9)

viii

2. Konsep Peran Non-Government Organization, Activist Group, dan Global Environment Movements ... 13

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT GREENPEACE A. Profil Greenpeace ... 19

1. Sejarah Pembentukan Greenpeace ... 19

2. Prinsip Dasar Organisasi Greenpeace ... 22

3. Struktur Organisasi Greenpeace ... 24

4. Status Greenpeace di dalam Sistem PBB ... 25

B. Profil Kampanye Laut Greenpeace ... 28

1. Pencapaian Kampanye Laut Greenpeace ... 28

a. Menghentikan Ujicoba Nuklir Perancis di Pasifik Selatan ... 28

b. Menghentikan Perburuan dan Perdagangan Paus ... 29

c. Melindungi Antartika dari Eksploitasi... 31

d. Menghentikan Pembuangan Limbah Radioaktif di Laut ... 32

2. Kampanye Perlindungan Laut Lepas “Oceans Sanctuaries” Greenpeace ... 33

BAB III PROSES NEGOSIASI PEMBENTUKAN UN OCEAN BIODIVERSITY AGREEMENT DI DALAM PERTEMUAN INTERNASIONAL PBB A. Profil Kelompok Kerja Biodiversity on Beyond National Jurisdiction (BBNJ) ... 37

1. Pembentukan Kelompok Kerja BBNJ ... 37

2. Fungsi dan Tugas Kelompok Kerja BBNJ ... 39

B. Proses Negosiasi Pembentukan UN Ocean Biodiversity Agreement .. 41

1. Pertemuan Kelompok Kerja BBNJ ... 41

(10)

ix

b. Pertemuan Keempat (31 Mei - 3 Juni 2011) ... 44 c. Pertemuan Kesembilan (20-23 Januari 2015)... 46 2. Pertemuan Internasional di Luar Kelompok Kerja BBNJ ... 50

a. UN Conference on Sustainable Development (KTT Rio+20) pada 20-22 Juni 2012 ... 50 b. Sidang Majelis Umum PBB (19 Juni 2015) ... 51

BAB IV UPAYA GREENPEACE MENDORONG PEMBENTUKAN

SUAKA LAUT GLOBAL MELALUI UN OCEAN BIODIVERSITY

AGREEMENT

A.Upaya Greenpeace ... 53 1. Penelitian dan Analisis (Research and Analysis) ... 55 2. Pengawasan dan Respon Cepat

(Watch-Dogging and Rapid Response) ... 60 3. Mempertunjukkan Fungsi Operasional

(Performing Operational Functions) ... 62 4. Pengembangan Kebijakan dan Pengaturan Agenda

(Policy Development and Agenda-Setting) ... 65 a. Level Internasional ... 66

1) Menyediakan Keahlian Ilmiah dan Hukum

(Providing Scientific and Legal Expertise) ... 68 2) Memastikan Kontinuitas pada Negosiasi

(Providing Continuity Throughout the Negotiations) ... 71 3) Hubungan Personal (P ersonal Relations) ... 73 4) Pembentukan Koalisi (Coalition Formation) ... 75 5) Memprotes Pembatasan Partisipasi

(Protesting Against Restriction Participation) ... 77 b. Level Domestik ... 78

1) Memberikan Masukan dalam Pembangunan Kebijakan

(Providing Inputs into Policy Development) ... 79 2) “Name and Shame” melalui Kampanye publiks ... 83 5. Melaporkan Proses Negosiasi (Negotiations Reporting) ... 87 6. Menyebarkan Sinyal Domestik

(Enhancing Domestic Signaling) ... 88 B. Kendala-Kendala dalam Upaya Greenpeace ... 90

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ... 94

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1Hak Istimewa (Priveleges) dalam Status Konsultatif dari

ECOSOC ... xxvi Lampiran 2 Diagram Partisipasi Delegasi pada Pertemuan

Kelompok Kerja BBNJ ... xxviii Lampiran 3 Skema Upaya Greenpeace ... xxix Lampiran 4 Diagram dan Tabel Pengeluaran Kampanye Laut Greenpeace

„Worlwide‟ Periode 2006-2015 ... xxx

Lampiran 5 Diagram dan Tabel Pemasukan Greenpeace

„Worlwide‟ Periode 2006-2015 ... xxxi

Lampiran 6 Tabel Posisi Aliansi / Blok pada Pertemuan

Kelompok Kerja BBNJ ... xxxii Lampiran 7 Tabel Posisi Negara pada Pertemuan

Kelompok Kerja BBNJ ... xxxvii Lampiran 8 Tabel Posisi Greenpeace pada Pertemuan

Kelompok Kerja BBNJ ... l Lampiran 9 Tabel Wawancara ... li Lampiran 10 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Nathalie Rey

melalui Email pada 15 Juni 2017 ... liii Lampiran 11 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Veronica Frank

melalui Email pada 5 Juni 2017 ... liv Lampiran 12 Pemberian Dokumen Internal Greenpeace oleh Sofia Tsenikli

(12)

xi

DAFTAR SINGKATAN

ABMT Area-based Management Tool

ABNJ Area Beyond National Jurisdiction

ABS Acces and Benefit-Sharing

AS Amerika Serikat

ASEAN Association of Southeast Asian Nations ASOC Antarctic and Southern Ocean Coalition BBNJ Biodiversity Beyond National Jurisdiction

CARICOM Caribbean Community

CBD Convention on Biological Diversity

CCAMLR Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources

CFP EU Common Fisheries Policy

CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora

CMS Convention on Migratory Species

CoP Conference of Parties

CRAMRA Convention on the Regulation of Antarctic Mineral Resource Activities

EBSA Ecologically and Biologically Sensitive Area ECOSOC UN Economic and Social Council

EIA Environmental Impact Assessment

ENB Earth Negotiations Bulletin

FAO UN Food and Agriculture Organitation

G-77 Group of 77

GEF Global Environment Facility

GPT Green Political Theory

LDC Least Developed Countries

IISD International Institute for Sustainable Development IGO International Governmental Organization

IMO International Maritime Organisation IPR Intellectual Property Right

ISA International Seabed Authority

IUCN International Union for Conservation of Nature IUU Illegal, Unregulated, and Unreported

IWC International Whaling Commission

KTT Konferensi Tingkat Tinggi

MEA Multilateral Environment Agreement

MGR Marine Genetic Resource

MPA Marine Protected Area

MSR Marine Scientific Research

NAFO Northwest Atlantic Fisheries Organization NEAFC North East Atlantic Fisheries Commission

(13)

xii

NPT Non-Proliferation Treaty

NRDC Natural Resources Defense Council NRO National / Regional Office

OECD Organisation for Economic Cooperation and Development

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PrepCom Preparatory Committee

RFMO Regional Fisheries Management Organization SIDS Small Island Developing States

SEA Stategic Impact Assessment

SDG Sustainable Development Goals

SGC Stichting Greenpeace Council

UE Uni Eropa

UN United Nations

UNCLOS UN Law of the Sea Convention

UNCSD UN Conference on Sustainable Development

UNEP United Nations Environment Programme

UNFSA UN Fish Stocks Agreement

UNICPOLOS UN Consultative Process on Oceans and the Law of the Sea WIPO World Intellectual Property Organization

WSSD World Summit on Sustainable Development

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas tentang upaya Greenpeace mendorong Majelis Umum

PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement pada periode

2006-2015. Skripsi ini menganalisis bagaimana upaya Greenpeace untuk mendorong

negara-negara Majelis Umum PBB, dimulai dari pertemuan pertama dari Ad Hoc

Open-ended Informal Working Group Biodiversity on Beyond National

Jurisdiction (BBNJ) pada tahun 2006, yang dibentuk melalui Resolusi MU 59/24

Tahun 2004 (A/RES/59/24), hingga persetujuan MU PBB terhadap rekomendasi

dari Kelompok Kerja BBNJ melalui Resolusi Majelis Umum PBB 69/292 Tahun

2015 (A/RES/69/292).

Suaka laut global atau ocean sanctuaries adalah salah satu jenis dari

kawasan laut lindung atau marine protected areas (MPAs), yaitu area lautan di

mana semua pemanfaatan yang bersifat konsumtif dan ekstraktif, termasuk

penangkapan ikan, secara efektif dilarang serta praktik campur tangan manusia

lainnya diminimalisir,1 sedangkan kawasan laut lindung (MPAs) adalah area

intertidal (zona yang terendam ketika air laut sedang pasang dan terlihat ketika air

laut sedang surut) maupun subtidal (zona yang selalu terendam air laut baik saat

pasang maupun surut) beserta dengan air yang melapisinya, flora, fauna, fitur

sejarah dan budaya yang berkaitan, yang telah dilindungi oleh hukum atau cara

(15)

2

lainnya yang secara efektif bertujuan melindungi bagian dari lingkungan tersebut.2

Dalam beberapa forum internasional, kebutuhan untuk menciptakan MPAs di

wilayah laut lepas semakin disuarakan dengan maksud untuk melindungi

keanekaragaman hayati di laut lepas.3 Hal tersebut dikarenakan laut lepas adalah

wilayah di mana pengaturan dan perlindungannya paling minim di dunia.4

Fakta yang menggambarkan minimnya perlindungan laut lepas adalah

hingga tahun 2016, hanya 3% wilayah dari laut lepas dunia yang diatur dalam

hukum internasional dan hanya 1% yang benar-benar dilindungi secara kuat

dengan dijadikan sebagai suaka laut,5 meskipun laut lepas memiliki luas 64% dari

total luas lautan di seluruh dunia.6 Laut lepas berada di luar batas yurisdiksi

nasional dan diatur oleh UN Law of the Sea Convention (UNCLOS) yang masih

mengutamakan hak kebebasan untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya

laut lepas untuk semua negara. Hal tersebut memungkinkan bagi negara untuk

melakukan navigasi, mengadakan penelitian, menangkap ikan, memasang kabel

dan pipa bawah laut, hingga membuat instalasi lain seperti kilang pengeboran dan

bahkan pulau-pulau buatan.7 Atas dasar fakta tersebut, akhirnya Majelis Umum

PBB memutuskan untuk mulai mendiskusikan isu konservasi dan pemanfaatan

berkelanjutan keanekaragaman laut di luar wilayah yurisdiksi nasional.

2

Sobel dan Dalgren, Marine Reserves, Hal. 22 3

Yoshifumi Tanaka, A Dual Approach to Ocean Governance: The Cases of Zonal and Integrated Management in International Law of the Sea (Burlington: Ashagate Publishing, 2008), Hal. 163 4

Callum M. Roberts, dkk., Roadmap to Recovery: A Global Network of Marine Reserves (York: University of York, 2006), Hal. 9

5

Daniel Mittler, Protecting What Protects Us (2016) dari

http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/protecting-what-protects-us/blog/58177/ diakses pada 7 Desember 2016

6

Greenpeace, The Need for A High “eas Biodi ersit Agree e t: No More Wild West O ea s (Amsterdam: Greenpeace, 2013), Hal. 3

7

(16)

3

Pada tahun 2004, Majelis Umum PBB akhirnya membentuk sebuah Ad Hoc

Open-ended Informal Working Group of the General Assembly to study issues

relating to the conservation and sustainable use of marine biological diversity

beyond areas of national jurisdiction melalui Resolusi Majelis Umum 59/24.8

Rapat pertama Kelompok Kerja tersebut diselenggarakan pada 13-17 Februari

2006, dan dilanjutkan pada tahun 2008, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 (dua kali),

dan 2015.9 Selain itu, di luar Kelompok Kerja BBNJ, pada 2012, PBB

menyelenggarakan UN Conference on Sustainable Developmentatau yang dikenal

dengan KTT Rio+20 yang diadakan di Rio de Janeiro. Awalnya, KTT tersebut

memberikan harapan akan lahirnya suatu instrumen hukum baru untuk melindungi

laut lepas yang menjadi target dari CoP ketujuh CBD pada tahun 2004.10

Meskipun di dalam KTT tersebut muncul koalisi dari mayoritas negara anggota

yang mendukung dibentuknya perjanjian yang mengatur dan melindungi laut

lepas, akan tetapi, kesepakatan untuk meluncurkan negosiasi formalgagal dicapai

hingga pada akhirnya, konferensi tersebut menunda keputusan untuk

menegosiasikan UN Ocean Biodiversity Agreement hingga batas tahun 2015.11

Menindaklanjuti penundaan keputusan pada KTT Rio+20, Kelompok

Kerja BBNJ di dalam pertemuan kesembilannya pada Januari 2015, mengeluarkan

8

UN, Marine Biological Diversity Beyond Areas of National Jurisdiction: Legal and Policy Frameworkdari

http://www.un.org/depts/los/biodiversityworkinggroup/webpage_legal%20and%20policy.pdf

diakses pada 24 April 2016. 9

UN, Marine Biological Diversity Beyond Areas of National Jurisdiction.

10 Sofia Tsenikli,Rio+20 Not the Oceans Summit but High Seas Protection Gains Support and

Prominence (2012)dari

http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/rio20-not-the-oceans-summit-but-high-seas-pro/blog/41156/ diakses pada 24 April 2016.

11

(17)

4

rekomendasi kepada Majelis Umum PBB untuk memulai negosiasi perjanjian

pelaksanaan di bawah UNCLOS untuk membentuk suaka atau wilayah konservasi

di laut lepas. Selain itu, Majelis Umum PBB secara resmi mengakui bahwa

pengaturan laut adalah tentang perlindungan, bukan hanya tentang 'pengelolaan

eksploitasi' sumber daya lautan.12

Rekomendasi dari Kelompok Kerja BBNJ akhirnya diadopsi lebih awal pada

Juni 2015 dari jadwal sebelumnya, pada September 2015, dengan menghasilkan

konsensus dari negara-negara anggota Majelis Umum PBB untuk mengadopsi

Resolusi MU PBB 69/292 dan mengembangkan perjanjian pelaksanaan di bawah

UNCLOS,13yang mengikat secara hukum untuk pelestarian kehidupan laut di luar

wilayah yurisdiksi nasional,14 yang dikenal dengan UN Ocean Biodiversity

Agreement (Perjanjian Keanekaragaman Hayati Laut Lepas),15 atau berdasarkan

Resolusi MU PBB 69/292 yang disebut dengan International Legally Binding

Instrument under the UNCLOS on the Conservation and Sustainable Use of

Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction.16 Di dalam

resolusi tersebut, Majelis Umum PBB memutuskan untuk membentuk

12 Tsenikli, Rio+20 Not the Oceans Summit. 13

Implementing Agreement under UNCLOS adalah istilah yang muncul dalam diskusi pada pertemuan Working Group BBNJ.

14 High Seas Alliances, UN General Assembly Adopts Resolution to Develop New Marine Biodiversity Treaty for

the High Seas and Beyond (2015) dari

http://highseasalliance.org/content/un-general-assembly-adopts-resolution-develop-new-marine-biodiversity-treaty-high-seas-and diakses pada 25 April 2016.

15

UN Ocean Biodiversity Agreement adalah istilah yang digunakan oleh NGO untuk mengartikan hasil akhir dari Implementing Agreement under UNCLOS, seperti UN Fish Stock Agreement. 16

International Legally Binding Instrument under the UNCLOS on the Conservation and

Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction adalah istilah resmi berdasarkan Resolusi MU PBB 69/292 untuk didiskusikan pada pertemuan Preparatory Committee BBNJ.

UN, General Assembly Resolution 69/292, Para. 1,dari

https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N15/187/55/PDF/N1518755.pdf?OpenElement diakses pada 25

(18)

5

Preparatory Committee (PrepCom), sebelum penyelenggaraan konferensi

antar-pemerintah, yang bertugas untuk menyiapkan rekomendasi substantif terkait

elemen-elemen dari rancangan teks perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS,

yang akan dilaporkan kembali pada akhir 2017 kepada Majelis Umum PBB.17 Di

dalam proses pengakuan negara-negara anggota Majelis Umum PBB atas

pentingnya perlindungan laut lepas hingga Majelis Umum PBB mengadopsi

rekomendasi dari Kelompok Kerja BBNJ, Greenpeace secara aktif ikutserta dalam

mendorong Majelis Umum PBB untuk menciptakan suaka laut global.

Greenpeace sebagai International Non-Governmental Organization (INGO)

yang berfokus pada isu-isu lingkungan hidup telah menyerukan perlunya dibentuk

instrumen hukum internasional untuk menjaga dan menjamin kelestarian

keanekaragaman hayati di lautan. Suaka laut global yang diajukan Greenpeace

adalah perlindungan zona laut lepas di luar yurisdiksi negara seluas 40% dari laut

global untuk menjadi zona bebas praktik eksploitasi sumber daya alam,18 yang

kemudian diimplementasikan dengan mendorong negara-negara anggota Majelis

Umum PBB membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement.19

Greenpeace baik secara mandiri maupun kolektif dengan aliansi antar-NGO

lingkungan lainnya selalu aktif menghadiri pertemuan Kelompok Kerja BBNJ

serta konferensi PBB lainnya yang membahas tentang isu kelautan dan aktif

17

UN, General Assembly Resolution 69/292, Para. 1 (a). 18 Greenpeace. Ocean Sanctuaries dari

http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/oceans/marine-reserves/ diakses pada

25 April 2016.

19 Greenpeace, The Need for An A itious UN O ea Biodi ersit Agree e t: No More Wild

(19)

6

melobi negara-negara anggota Majelis Umum PBB untuk membuat UN Ocean

Biodiversity Agreement untuk melindungi laut lepas. Greenpeace tercatat telah

mengirimkan delegasinya untuk menghadiri dan berperan aktif mendorong

negara-negara yang hadir dalam pertemuan Kelompok Kerja BBNJ sejak

pertemuan pertama yang diselenggarakan pada 13-17 Februari 200620 hingga

pertemuan kesembilan Kelompok Kerja BBNJ yang diselenggarakan pada 20-23

Januari 2015.21 Dari kesembilan pertemuan tersebut, Kelompok Kerja BBNJ telah

menghasilkan konsensus untuk menghasilkan rekomendasi kepada Majelis Umum

PBB yang diadopsi pada sidang Majelis Umum PBB ke-69 untuk

mengembangkan intrumen internasional yang mengikat secara hukum di bawah

UNCLOS.22 Meskipun begitu, di dalam proses perundingan pada Kelompok Kerja

BBNJ maupun pada forum internasional lainnya, Greenpeace menghadapi

berbagai penolakan dari negara-negara yang memiliki kepentingan di laut lepas.

Pengaturan akses hingga pelarangan eksploitasi sumber daya di laut lepas,

dipandang oleh beberapa negara bertentangan dengan kepentingan nasionalnya,

sehingga dalam beberapa forum internasional PBB, di mana, upaya negosiasi

formal perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS diajukan, seringkali muncul

penolakan dari beberapa negara. Sejak awal pertemuan Kelompok Kerja BBNJ

20

IISD, Summary of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 13-17 February 2006 dalam Earth Negotiations Bulletin Vol. 25 No. 25 (IISD, 2006) dari http://www.iisd.ca/download/pdf/enb2525e.pdf diakses pada 10 Mei 2016.

21

IISD, Summary The Ninth Meeting of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 20-23 January 2015 dalam Earth Negotiations Bulletin Vol. 25 No. 94

(IISD, 2015) dari http://www.iisd.ca/download/pdf/enb2594e.pdf diakses pada 10 Mei 2016. 22

(20)

7

pada 2004, AS, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Islandia, dan Rusia menyatakan

penolakannya terhadap proposal Uni Eropa yang mengajukan pembentukan

perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS,23 hingga pertemuan ketujuh pada

tahun 2014, AS, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Norwegia, Islandia, dan Rusia

masih menyatakan keraguannya akan kebutuhan dibentuknya instrumen hukum

baru.24 Selain itu, di dalam penyelenggaraan KTT Rio+20 pada 2012 AS, Kanada,

Rusia, Tiongkok, Jepang, dan Venezuela juga menyatakan penolakannya atas

upaya negosiasi formal perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS.25

Meskipun di dalam pembahasan perjanjian pelaksanaan di bawah UNCLOS

begitu banyak penolakan dan hambatan yang ditunjukkan oleh negara-negara

yang memiliki kepentingan nasional terhadap sumber daya alam di laut lepas, atas

berbagai upaya Greenpeace untuk mendorong negara-negara anggota Majelis

Umum PBB yang dilakukan baik di dalam dan di luar pertemuan Kelompok Kerja

BBNJ, akhirnya, pada 19 Juni 2015, sidang Majelis Umum PBB berhasil

menghasilkan konsensus untuk mengadopsi rekomendasi dari Kelompok Kerja

BBNJ dan menyetujui untuk menindaklanjuti negosiasi UN Ocean Biodiversity

Agreement ke tahap berikutnya, yaitu Preparatory Committee (PrepCom), melalui

Resolusi MU 69/292.

23

IISD, Summary of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction.

24

IISD, Summary The Seventh Meeting of The Working Group on Marine Biodiversity Beyond Areas of National Jurisdiction: 1-4 April 2014 dalam Briefing Note on UNGA WG on Marine Biodiversity (IISD, 2014) dari

http://www.iisd.ca/oceans/marinebiodiv7/brief/brief_marinebiodiv7e.pdf diakses pada 6 April

2017. 25

(21)

8

B. Pertanyaan Masalah

Oleh karena itu, peneliti membuat pertanyaan penelitian dalam skripsi ini

yaitu, Bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB

untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006 - 2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan menganalisis upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum

PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement periode 2006 - 2015,

skripsi ini memiliki tujuan secara teoritis untuk mem-verifikasi asumsi dari Kate

O‟Neill bahwa Non-Government Organization, Activist Group, dan Global

Environment Movements memainkan peran penting dalam menyoroti masalah

lingkungan global, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata

kelola lingkungan global,26 sedangkan secara praktis tujuan dari skripsi ini ialah

menjadi referensi untuk NGO, baik Greenpeace maupun NGO lainnya, dalam

membuat upaya yang ditujukan untuk mendorong aktor negara untuk membuat

kebijakan terkait isu-isu lingkungan hidup tertentu.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang peran maupun upaya NGO lingkungan secara umum telah

dilakukan sebelumnya, seperti pada beberapa jurnal di bawah ini:

Remi Parmentier, Role and Impact of International NGOs in Global Ocean

Governance. Jurnal ini menjelaskan setidaknya ada lima jenis intervensi NGO

terhadap pengaturan lingkungan maritim dunia, antara lain: (1) pembangunan

(22)

9

kebijakan dan pengaturan agenda; (2) pembangunan pengetahuan, kapabilitas, dan

kesadaran publik; (3) manajemen lingkungan hidup dan konservasi; (4) ilmu

pengetahuan; serta (5) pengawasan dan respon secara cepat.

Katherine M. Crosman, The Roles of Non-Governmental Organization in

Marine Conservation. Jurnal ini menjelaskan empat peran keterlibatan NGO

dalam upaya konservasi maritim dengan menganalisis peran organisasi tersebut,

antara lain, sebagai advocate, expert, manager, watchdog, dan enabler. Katherine

M. Crosman juga menjelaskan motivasi NGO untuk terlibat sebagai pendorong

dalam upaya konservasi maritim, antara lain, misi organisasi, konteks konservasi,

dan kebutuhan untuk mengamankan dana mereka.

Kal Raustiala, States, NGOs, and International Environmental Institutions.

Jurnal menjelaskan setidaknya ada enam peranan NGO dalam kerjasama dan

hukum lingkungan hidup internasional, antara lain, melakukan penelitian dan

pengembangan kebijakan, mengawasi komitmen negara, sebagai alarm, membuat

laporan tentang negosiasi yang sedang berjalan, menyebarkan respon domestik,

hingga memfasilitasi ratifikasi. Kal Raustiala juga menjelaskan tentang pola dan

tren partisipasi NGO, yaitu dengan mengelaborasi pola NGO secara umum serta

menganalisis studi kasus pola partisipasi NGO di dalam Global Environment

Facility (GEF).

Barbara Gemmill dan Abimbola Bamidele-Izu, The Role of NGOs and Civil

Society in Global Environmental Governance. Jurnal ini menjelaskan setidaknya

(23)

10

antara lain: mengumpulkan, menyebarkan, dan menganalisis informasi;

memberikan masukan dalam proses pengaturan agenda dan pembangunan

kebijakan; menjalankan fungsi operasional; mengukur kondisi lingkungan hidup

dan memantau kepatuhan perjanjian lingkungan hidup; dan advokasi keadilan

lingkungan.

Jurnal-jurnal di atas sangat membantu skripsi ini dengan memberikan

gambaran tentang peran NGO secara umum dalam tata kelola lingkungan hidup

global. Hasil penelitian-penelitian tersebut juga akan digunakan sebagai referensi

terkait upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis Umum PBB untuk

membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement. Skripsi ini menindaklanjuti

penelitian di atas dalam menganalisis upaya Greenpeace secara spesifik,

dikarenakan tidak semua NGO memiliki upaya yang sama satu sama lain,

melainkan masing-masing NGO memiliki perbedaan objektif maupun upaya yang

berbeda-beda.

E. Kerangka Teoritis

1. Green Political Theory

Di antara berbagai asumsi-asumsi dari Green Political Theory, GPT

memiliki posisi yang berkaitan dengan pertanyaan tentang tatanan dunia, yaitu

kritik GPT terhadap sistem negara. Implikasi dari argumen GPT terhadap struktur

politik global cukup jelas. O'Riordan menyajikan tipologi posisi yang yang

muncul dari “limits to growth account of sustainability” yang diadopsi oleh GPT.

Pertama, aktor negara terlalu besar dan terlalu kecil untuk melindungi lingkungan

(24)

11

dengan desentralisasi di dalam negara) diperlukan untuk melindungi lingkungan

hidup secara efektif.27

Posisi kedua, apa yang O'Riordan sebut sebagai „centralised

authoritarianism.‟ Gagasan ini pada umumnya mengikuti logika „tragedy of the

commons‟ dari Garrett Hardin, yang menunjukkan bahwa sumber daya yang

dimiliki bersama akan dimanfaatkan secara berlebih. Metafora ini menghasilkan

argumen bahwa struktur politik global terpusat diperlukan untuk memaksa

perubahan perilaku untuk mencapai keberlanjutan. Dalam beberapa versi, gagasan

ini mengadopsi apa yang disebut dengan „lifeboat ethics‟, di mana kelangkaan

ekologi berarti bahwa negara-negara kaya harus melakukan ujicoba triage dalam

skala global untuk „pull up the ladder behind them.‟ Argumen ini, secara garis

besar merupakan versi ekologis dari proposal versi 'idealis' pemerintahan dunia

dari liberal internationalism yang telah ditolak oleh GPT.28

Posisi ketiga, serupa dengan hal di atas yang menunjukkan bahwa

authoritarianism mungkin diperlukan, namun menolak gagasan bahwa hal ini

dapat dilakukan dalam skala global. Visi dari posisi ini adalah untuk komunitas

berskala kecil dan erat yang berjalan sesuai dengan garis hierarkis dan konservatif

dengan prinsip swasembada dalam penggunaan sumber daya mereka. Posisi

ketiga ini memiliki pandangan yang sama dengan posisi sebelumnya, bahwa

kebebasan dan egoisme yang telah menyebabkan krisis lingkungan, dan bahwa

27

Scott Burchill, dkk., Theories of International Relations, Third Edition (New York: Palgrave Macmillan, 2005), Hal. 242

28

(25)

12

kecenderungan ini perlu dikendalikan untuk menghasilkan masyarakat yang

berkelanjutan.29

Posisi terakhir yang dijabarkan oleh O'Riordan disebut dengan „anarchist

solution.‟ Hal ini telah menjadi posisi yang diadopsi oleh GPT sebagai interpretasi

terbaik dari implikasi batas pertumbuhan ekonomi. Istilah 'anarkis' digunakan

secara umum dalam tipologi ini yang berarti bahwa GPT membayangkan jaringan

global komunitas swadaya dalam skala kecil. Posisi ini biasanya mengaitkan

gagasan dari para pakar seperti E. F. Schumacher, serta bioregionalis seperti

Kirkpatrick Sale yang berpendapat bahwa masyarakat ekologi harus diorganisir

dengan fitur lingkungan alami seperti daerah aliran sungai yang membentuk

batas-batas antara masyarakat.30

GPT juga sering mengkritik aktor negara karena alasan anarkis. Misalnya,

Spretnak dan Capra mengemukakan bahwa anarkis adalah ciri yang diidentifikasi

oleh Weber sebagai sifat dasar kenegaraan yang merupakan masalah dalam sudut

pandang GPT. Kemudian, Bookchin memberikan argumen serupa, menunjukkan

bahwa negara adalah institusi hierarki tertinggi yang mengkonsolidasikan semua

institusi hierarkis lainnya. Di lain pihak, Carter mengemukakan bahwa negara

adalah bagian dari dinamika masyarakat modern yang telah menyebabkan krisis

lingkungan saat ini. Dia menguraikan tentang 'dinamika lingkungan yang

berbahaya,' di mana „negara yang terpusat, pseudo-representative, dan

quasi-democratic berusaha untuk menstabilsasi hubungan ekonomi inegaliter dan

29 Burchill, Theories of International Relations, Hal. 243 30

(26)

13

kompetitif untuk mengembangkan teknologi “tidak ramah” dan menyebabkan

kerusakan berat pada lingkungan, di mana produktivitasnya mendukung (secara

nasionalistik dan militeristik) kekuatan koersif yang memberdayakan negara.'

Dengan demikian, dalam sudut pandang GPT, negara tidak hanya tidak

diperlukan, namun juga tidak diinginkan secara positif. Selain itu, salah satu

slogan politik GPT yang paling terkenal adalah „think globally, act locally‟ yang

berasumsi bahwa sementara masalah lingkungan dan sosial-ekonomi global

beroperasi dalam skala global, mereka dapat dengan sukses merespons hanya

dengan menghancurkan struktur kekuatan global yang dihasilkan melalui tindakan

lokal dan pembangunan komunitas politik skala kecil dan ekonomi mandiri. 31

Argumen-argumen dari Green Political Theory di atas membantu

menjelaskan bagaimana peran aktor non-negara, khususnya Greenpeace, sebagai

komunitas masyarakat sipil menjadi bentuk dari desentralisasi di dalam negara, di

mana Greenpeace memainkan peran-perannya dalam mengadvokasikan

perlindungan lingkungan maupun melindungi lingkungan melalui kegiatan

konservasi. Selain itu, tekait dengan „centralised authoritarianism,‟ juga

diperjuangkan oleh Greenpeace atas pembentukan UN Oceans Biodiversity

Agreement, sebagai rezim internasional yang dapat mengatur dan mencegah

kegiatan-kegiatan destruktif di laut lepas.

2. Peran NGO, Activist Group, dan Global Environment Movements

Kelompok aktivis lingkungan memainkan peran penting dalam menyoroti

masalah lingkungan global, dan secara langsung atau tidak langsung

31

(27)

14

mempengaruhi tata kelola lingkungan global.32 Banyak jenis kelompok, yang

mewakili banyak kepentingan yang berbeda, yang aktif di kancah politik dunia,

dari NGO profesional hingga kelompok-kelompok lokal kecil yang membuat

jaringan satu sama lain melalui internet. Kelompok-kelompok ini berbeda secara

luas dalam ideologi, upaya, bentuk organisasi, dan target (tidak semua dari

mereka bahkan akan mendefinisikan diri mereka fokus pada "lingkungan"), tapi

berbagi perhatian atas kondisi lingkungan global dan peran serta hak manusia

terhadap lingkungan, dan kebutuhan akan suara yang berbeda untuk didengar

dalam proses pemerintahan global.33 Aktivisme lingkungan hidup global telah

berpengaruh dalam beberapa cara. Pertama, banyak kelompok, di antaranya,

Greenpeace, WWF, Climate Action Network, telah memusatkan perhatian mereka

pada masalah-masalah global secara eksplisit. Kedua, kelompok lingkungan

sangat aktif menghadiri negosiasi internasional dan pada KTT global. Ketiga,

munculnya jaringan advokasi transnasional dan masyarakat global telah menjadi

salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam studi aktivisme dan

gerakan sosial selama dekade terakhir.34

Selain itu, komunitas aktivis selalu memberikan perhatian terhadap tata

kelola lingkungan global dan telah melakukan beberapa fungsi penting dalam

proses negosiasi.35 Pertama, NGO telah memainkan peran kunci dalam pengaturan

agenda, dengan cara membawa masalah pada perhatian masyarakat internasional,

dan mendorong solusi tertentu. Kedua, NGO telah berfungsi sebagai "conscience

32

O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 57 33

O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 57 34 O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 58-59 35

(28)

15

keeper" masyarakat internasional, dengan tidak sekadar menyoroti masalah moral

dan etika untuk memecahkan masalah lingkungan global, namun juga terus

mendorong partisipasi yang lebih luas dalam pertimbangan ini, mengingatkan

penyelenggara dan peserta negosiasi tentang masyarakat yang menyaksikan secara

luas. Ketiga, mereka membawa banyak keahlian untuk menghadapi masalah dan

dampak lingkungan global.36 Mereka melobi para delegasi untuk mengambil

posisi tertentu, menyusun rancangan bahasa perjanjian (yang terkadang diadopsi

ke dalam teks final), dan menghasilkan laporan harian, dan terkadang setiap jam,

tentang kegiatan pertemuan, yang dengan cepat dan disebarluaskan.37

Konsep peran NGO sangat relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian

ini dikarenakan GPT mengakui adanya peran aktor non-negara yang memiliki

andil yang cukup besar dalam menyuarakan pelestarian lingkungan hingga

menjadi isu global. Menurut O‟Neill, NGO juga memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi aktor negara untuk menegosiasikan isu-isu lingkungan ke dalam

forum-forum dunia. Dalam konteks penelitian ini, GPT dapat membantu peneliti

untuk menjelaskan bagaimana upaya Greenpeace dalam mendorong Majelis

Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity Agreement.

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.

Prosedur-prosedur kualitatif memiliki pendekatan yang lebih beragam dalam

penelitian akademik ketimbang metode-metode kuantitatif. Penelitian kualitatif

36 O'Neill, The Environment and International Relations, Hal. 91-92 37

(29)

16

juga memiliki asumsi-asumsi filosofis, upaya-upaya penelitian, dan

metode-metode pengumpulan, analisis, dan interpretasi data yang beragam.38 Adapun

beberapa karakteristik penelitian kualitatif menurut John W. Creswell, antara lain:

(1) lingkungan alamiah; (2) peneliti sebagai instrument kunci; (3) beragam

sumber data; (4) analisis data induktif; (5) makna dari partisipan; (6) rancangan

yang berkembang; (7) perspektif teoritis; (8) bersifat penafsiran; dan (9)

pandangan menyeluruh.39 Oleh karena itu, dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif, peneliti dapat menganalisis upaya Greenpeace mendorong

pembentukan suaka laut global melalui UN Ocean Biodiversity Agreement secara

mendalam.

Menurut John W. Creswell, ada empat prosedur pengumpulan data di dalam

metode kualitatif, antara lain: (1) observasi kualitatif; (2) wawancara kualitatif; (3)

dokumen-dokumen kualitatif; serta (4) materi audio dan visual,40 sedangkan, di

dalam skripsi ini, peneliti mengumpulkan data melalui studi pustaka

dokumen-dokumen terkait (seperti dokumen-dokumen resmi PBB, laporan Greenpeace, Earth

Negotiation Bulletin, jurnal, serta dokumen-dokumen lainnya) dan melakukan

wawancara terhadap aktor-aktor terkait, antara lain: Oceans Sanctuaries Project

Leader Greenpeace Internasional, yaitu Richard Page; Political Advisor

Greenpeace Internasional sekaligus Chair of Greenpeace Delegation, yaitu

Nathalie Rey, Sofia Tsenikli, dan Veronica Frank; Oceans Campaigner

Greenpeace national/regional offices (NROs), yaitu John Hocevar, Magnus

38

David Silverman, Doing Qualitative Research: A Practical Handbook (London: SAGE Publication, 2000), Hal. 8

39 Creswell, Research Design,Hal. 261-263 40

(30)

17

Eckeskog, Frida Bengtsson, Sarah King, Arifsyah Nasution, Taehyun Park, dan

Kazue Komatsubara; delegasi negara-negara pada Kelompok Kerja BBNJ, yaitu

Haryo Budi Nugroho, Budi Atyasa, Elizabeth Kim, dan Prof. Tullio Scovazzi;

serta para pakar hukum laut internasional dan biologi kelautan, yaitu Prof. Ann

Powers dan Dr. rer. nat. Mufti Petala Partia, M.Sc. Akan tetapi, dalam skripsi ini

penulis menyadari adanya kekurangan narasumber, yaitu dari pihak PBB untuk

diwawancarai.

G. Sistematika Penulisan

BAB 1: PENDAHULUAN

Bab 1 merupakan pendahuluan dari skripsi ini. Pada Bab 1 menjelaskan

beberapa bagian, antara lain, pernyataan masalah yang menjelaskan terkait

signifikansi masalah dalam skripsi ini, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat

penelitian, kerangka teoritis yang menjelaskan terkait landasan teori dalam skripsi

ini, tinjauan pustaka yang menjelaskan terkait penelitian-penelitian terdahulu;

metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II: PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT

GREENPEACE

Pada Bab 2 dijelaskan tentang profil keorganisasian, yang terdiri dari

sejarah pembentukan Greenpeace, prinsip dasar organisasi Greenpeace, struktur

organisasi Greenpeace, dan status Greenpeace di dalam sistem PBB, serta profil

kampanye perlindungan laut Greenpeace, yang terdiri dari pencapaian kampanye

laut Greenpeace dan kampanye perlindungan laut lepas “ocean sanctuaries”

(31)

18

BAB III: PROSES NEGOSIASI PEMBENTUKAN UN OCEAN

BIODIVERSITY AGREEMENT DI PBB

Pada Bab 3 dijelaskan bagaimana proses pembentukan negosiasi UN

Ocean Biodiversity Agreement baik di dalam pertemuan pertama hingga

kesembilan Kelompok Kerja BBNJ maupun di dalam pertemuan internasional

lainnya, yaitu UN Conference on Sustainable Development (Rio+ 20) dan sidang

Majelis Umum PBB Ke-69. Bab 3 juga menunjukkan bagaimana perubahan

posisi beberapa negara yang awalnya menentang pembentukan perjanjian

pelaksanaan di bawah UNCLOS hingga akhirnya Majelis Umum PBB berhasil

mengadopsi Resolusi MU PBB 69/292 Tahun 2015 melalui konsesus.

BAB IV: UPAYA GREENPEACE MENDORONG PEMBENTUKAN

SUAKA LAUT GLOBAL MELALUI UN OCEAN

BIODIVERSITY AGREEMENT

Di dalam Bab 4, penulis menganalisis upaya Greenpeace dalam upayanya

mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk UN Ocean Biodiversity

Agreement. Upaya yang dianalisis tidak hanya yang dilakukan oleh Greenpeace di

dalam pertemuan-pertemuan Kelompok Kerja BBNJ, melainkan juga upaya

Greenpeace secara keseluruhan yang berkaitan dengan upaya perlindungan laut

lepas serta upaya Greenpeace kepada negara-negara anggota Majelis Umum PBB.

Bab 4 ini juga menjelaskan tentang kendala-kendala yang dialami oleh

Greenpeace dalam upayanya mendorong Majelis Umum PBB untuk membentuk

UN Ocean Biodiversity Agreement.

(32)

19

BAB II

PROFIL ORGANISASI DAN KAMPANYE LAUT GREENPEACE

Pada Bab 2 ini dijelaskan tentang profil keorganisasian, yang terdiri dari

sejarah pembentukan Greenpeace, prinsip dasar organisasi Greenpeace, struktur

organisasi Greenpeace, dan status Greenpeace di dalam sistem PBB, serta profil

kampanye perlindungan laut Greenpeace, yang terdiri dari pencapaian kampanye

laut Greenpeace dan kampanye perlindungan laut lepas “Ocean Sanctuaries”

Greenpeace. Penjelasan tersebut diuraikan untuk memperkuat asumsi dari Kate

O‟Neill dari studi kasus perjalanan kontribusi Greenpeace sebagai

Non-Governement Organization dalam upaya perlindungan laut melalui pembentukan

perjanjian lingkungan internasional, seperti Non-Proliferation Treaty (NPT) pada

1 Mei 1996, moratorium perburuan paus komersil oleh IWC pada tahun 1982,

Protocol on Environmental Protection to the Antarctic Treaty pada tahun 1991,

hingga amandemen London Dumping Convention pada tahun 1993.

A. Profil Greenpeace

1. Sejarah Pembentukan Greenpeace

Greenpeace adalah organisasi yang lahir dari pergerakan yang pada awalnya

menentang invasi Amerika Serikat ke Vietnam pada tahun 1960an, yang

menimbulkan 150.000 penentang yang akhirnya pindah ke Kanada.41 Pergerakan

tersebut semakin meningkat sejak bulan Agustus 1969, ketika AS mengumumkan

pengujian bom nuklir berkekuatan satu megaton, bernama “Milrow,” yang

(33)

20

diledakan pada bulan Oktober di Pulau Amcithka dan menghasilkan gempa

sebesar 6,9 SR.42 Sayangnya, ambisi pemerintah AS untuk melakukan ujicoba

nuklir masih berlanjut, hingga pada bulan November 1969, Kementerian

Pertahanan AS kembali mengumumkan ujicoba termo-nuklir berkekuatan lima

megaton, bernama “Cannikin,” yang dijadwalkan pada musim gugur 1971.43

Sebagai respon terhadap pengumuman tersebut, kelompok untuk memprotes

rencana tersebut yang bernama “Don‟t Make a Wave Committee,” melakukan

pelayaran menggunakan kapal Phyllis Cormack yang dimulai pada 15 September

1971 dari Vancouver.44 Dalam pelayarannya, di saat kru kapal Phyllis Cormack

meninggalkan Pulau Akutan dan melanjutkan pelayaran menuju Amchitka, pada

tanggal 30 September, mereka ditahan oleh Kapal Penjaga Pantai AS Confidence

atas tuduhan melanggar UU Tarif AS Tahun 1930 karena tidak melapor kepada

Bea Cukai AS dengan waktu maksimal 48 jam setelah memasuki wilayah AS.45

Oleh karena itu, Phyllis Cormack diperintahkan untuk beralih ke Kepulauan

Shumagin, yang letaknya jauh dari Amchitka, untuk menyelesaikan urusan

kepabeanan di sana.46 Dengan kegagalan pelayaran tersebut untuk mencapai

lokasi ujicoba di Amchitka, menjadi misi terakhir bagi kapal Phyllis Cormack

yang kembali digunakan sebagai kapal ikan dan digantikan dengan Edgewater

42

Marc Montgomery, History: Sept 15, 1971, the Canadian origins of Greenpeace (2015) dari

http://www.rcinet.ca/en/2015/09/16/history-sept-15-1971-the-canadian-origins-of-greenpeace/

diakses pada 19 Maret 2017. 43

Montgomery, History: Sept 15, 1971.

44

Greenpeace, The Founders of Greenpeace dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/founders/ diakses pada 19 Maret

2017. 45

Rex Weyler, Greenpeace: How A Group of Ecologists, Journalists, and Visionaries Changed the World (Vancouver: Raincoast Books, 2004), Hal. 115

46

(34)

21

Fortune, yang dikenal sebagai Greenpeace Too. Kapal Greenpeace Too kemudian

melanjutkan misi untuk mengejar batas waktu ujicoba nuklir yang akan dilakukan

pada 4 November.47 Akan tetapi, pada 6 November bom hidrogen berkekuatan 5

megaton diledakkan dengan kedalaman 1,8 km di bawah permukaan Amchitka.48

Karena Phyllis Cormack tidak pernah mencapai Amchitka, dan kehadiran

Edgewater Fortune tidak menggoyahkan pemerintah AS, anggota Don‟t Make a

Wave Committee mengira bahwa semua upaya mereka akhirnya berujung

sia-sia.49 Akan tetapi, pada kenyataannya, dengan menggunakan taktik dramatis yang

terinspirasi oleh, filosofi konfrontasi tanpa kekerasan yang berakar pada konsep

“bearing witness” dari Quaker,50 dan juga konsep intervensi tanpa kekerasan dari

Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr, ditambah pula dengan taktik "mind

bomb" dari Robert Hunter,51 dapat memicu oposisi publik terhadap ujicoba nuklir

dan melahirkan kampanye perlucutan senjata yang pada akhirnya membuat

Komisi Energi Atom AS menghentikan ujicoba nuklir Amchitka pada bulan

Februari 1972,52 serta mengembalikan status dan fungsi Pulau Amchitka sebagai

suaka margasatwa.53

47 Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11 48

Nuclear Risks, Amchitka, USA: Nuclear Weapons Test Site dari

http://www.nuclear-risks.org/en/hibakusha-worldwide/amchitka.html diakses pada 19 Maret 2017.

49

Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11 50

University of Wollongong, Case Study: Greenpeace dari

https://www.uow.edu.au/~sharonb/STS300/environment/case/artcase5.html diakses pada 19

Maret 2017.

51 Bill Kovarik, Greenpeace darihttp://environmentalhistory.org/people/greenpeace/ diakses pada 16 Januari 2017.

52

Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 11

(35)

22

2. Prinsip Dasar Organisasi Greenpeace

Misi Greenpeace adalah organisasi kampanye yang bersifat independen,

yang menggunakan konfrontasi kreatif non-kekerasan dalam memecahkan

masalah lingkungan global, dan untuk menawarkan solusi yang penting untuk

masa depan yang hijau dan damai. Selain itu, tujuan dari Greenpeace adalah untuk

memastikan kemampuan bumi untuk memelihara kehidupan dalam segala

keragamannya. Oleh karena itu, untuk mencapai misi dan tujuan tersebut,

Greenpeace berkampanye untuk:54

 melindungi keanekaragaman hayati dalam segala bentuknya

 mencegah pencemaran dan penyalahgunaan laut, tanah, udara, dan air di bumi  mengakhiri semua ancaman nuklir

 mempromosikan perdamaian, perlucutan senjata, dan non-kekerasan secara

global.

Adapun di setiap aktivitas kampanye untuk mencapai misi dan tujuan

organisasi, Greenpeace memiliki prinsip dasar (core value), antara lain:55

a. Tanggung Jawab Pribadi dan Tanpa Kekerasan

Dalam aksi-nya, aktivis Greenpeace mengambil tanggung jawab pribadi atas

tindakan mereka, dan berkomitmen terhadap prinsip non-kekerasan.

Prinsip-prinsip ini terinspirasi dari konsep “bearing witness” milik kelompok Quaker,

yaitu tentang mengambil tindakan berdasarkan hati nurani dan tanggung

jawab pribadi.

54

Greenpeace, Our Core Value dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/our-core-values/ diakses pada 16 Januari 2017.

55

(36)

23

b. Independen

Greenpeace menjamin independensi keuangan dari kepentingan politik

maupun komersial. Greenpeace tidak menerima dana dari salah satu

perusahaan atau pemerintah. Kontribusi individu serta yayasan hibah adalah

satu-satunya sumber pendanaan Greenpeace. Prinsip independen tersebut

memberikan otoritas yang dibutuhkan untuk menghadapi kekuasaan dan

membuat perubahan yang nyata dapat terjadi. Dengan begitu,

kampanye-kampanye yang dilakukan oleh Greenpeace juga terhindar dari kepentingan

pihak perusahaan maupun politik.

c. Tidak Memiliki Aliansi maupun Musuh Permanen

Dalam mengungkap ancaman dan mencari solusi terhadap lingkungan,

Greenpeace tidak memiliki aliansi maupun musuh permanen. Jika pemerintah

ataupun perusahaan bersedia untuk berubah dan berkomitmen untuk menjadi

lebih baik, Greenpeace akan bekerjasama (di luar kerjasama finansial) dengan

mereka untuk mencapai tujuannya. Namun, jika pemerintah ataupun

perusahaan melanggar komitmennya, Greenpeace akan kembali

mengkonfrontir pihak tersebut.

d. Mempromosikan Solusi

Greenpeace mencari solusi dan mempromosikannya secara terbuka terkait

pilihan lingkungan kepada masyarakat. Greenpeace tidak bekerja untuk

mengelola masalah lingkungan, melainkan bekerja untuk menyelesaikannya.

Oleh karena itu, untuk menunjang kampanye-nya Greenpeace

mengembangkan penelitian dan mempromosikan langkah-langkah konkret

(37)

24

mengembangkan roadmap untuk menyelamatkan laut melalui pembentukan

Marine Reserves dan cetak biru Energy [R] evolution yang menunjukkan cara

menuju ekonomi bersih.

3. Struktur Organisasi Greenpeace

Greenpeace adalah organisasi lingkungan global, yang terdiri dari

Greenpeace Internasional (Stichting Greenpeace Council) di Amsterdam, dan 26

kantor nasional dan regional atau yang dikenal dengan national/regional offices

(NROs) independen di seluruh dunia yang mencakup kampanye di lebih dari 55

negara.56 NROs tersebut bersifat independen dalam melaksanakan upaya

kampanye global dalam konteks lokal dan mencari dukungan finansial dari

donatur untuk mendanai pekerjaan mereka.57

Nama resmi Greenpeace Internasional, yaitu Stichting Greenpeace Council

berasal dari istilah Belanda “Stichting” (terjemahan yang mendekati ialah

yayasan) yang berbasis di Amsterdam, Belanda.58 Objektif dari Stichting adalah

untuk mempromosikan konservasi alam dengan melakukan tugasnya, antara lain:

(1) mengkoordinir national organizations dalam pelaksanaan objective mereka,

(2) untuk meminjamkan bantuan bila diperlukan, dan untuk melayani semua

kepentingan mereka di arti luas; serta (3) melakukan semua tugas-tugas lain untuk

56

Greenpeace, Greenpeace Worlwide dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/worldwide diakses pada 16 Januari 2017.

57

Greenpeace, Greenpeace Structure and Organization dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/how-is-greenpeace-structured/ diakses

pada 16 Januari 2017. 58

Greenpeace, Stichting Greenpeace Council: Rules of Procedure (2016) dari

http://www.greenpeace.org/international/Global/international/publications/greenpeace/2014/S

(38)

25

mencapai objektif-nya.59 Stichting juga memiliki anggota yang terdiri dari tiga

jenis organisasi, antara lain:60

a. Organisasi Nasional: ini adalah lembaga-lembaga nasional yang diakui oleh

resolusi Board of the Stichting yang disahkan melalui konsensus pada rapat di

mana seluruh anggota Board of the Stichting hadir;

b. Organisasi Regional: Lembaga yang beroperasi di lebih dari satu negara,

diakui oleh resolusi Board of the Stichting yang disahkan melalui konsensus

pada rapat di mana seluruh anggota Board of the Stichting hadir. Organisasi

Regional memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dengan Organisasi

Nasional;

c. Organisasi Kandidat: ini adalah anggota yang diakui oleh Board of the

Stichting sebagai Organisasi Kandidat.

4. Status Greenpeace di dalam Sistem PBB

NGO telah aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan di PBB sejak didirikan

pada tahun 1945, dengan berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan PBB termasuk

penyebaran informasi, peningkatan kesadaran, pengembangan edukasi, advokasi

kebijakan, proyek operasional bersama, partisipasi dalam proses antar-pemerintah,

serta kontribusi jasa dan keahlian teknis.61 Pasal 71 dari Piagam PBB, yang

membentuk UN Economic and Social Council (ECOSOC), menyatakan bahwa:

“ECOSOC dapat membuat sistem pengaturan yang sesuai untuk konsultasi

dengan organisasi-organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu-isu dalam

59

Greenpeace, Stichting Greenpeace Council.

60 Greenpeace, Stichting Greenpeace Council. 61

(39)

26

kewenangan ECOSOC.”62 Pasal tersebut membuka pintu untuk memberikan

pengaturan yang sesuai untuk konsultasi dengan organisasi-organisasi

non-pemerintah. Hubungan konsultatif dengan ECOSOC diatur pada Resolusi

ECOSOC 1996/31, yang menguraikan persyaratan untuk status konsultatif, hak

dan kewajiban dari NGO di status konsultatif, prosedur untuk penarikan atau

penangguhan status konsultatif, peran dan fungsi Komite ECOSOC terhadap

NGO, serta tanggungjawab dari Sekretariat PBB dalam mendukung hubungan

konsultatif.63 Pada tahun 1946, setidaknya sebanyak 41 NGO diberikan status

konsultatif oleh ECOSOC, kemudian, pada tahun 1992 lebih dari 700 NGO telah

mendapatkan status konsultatif dan jumlahnya terus meningkat hingga lebih dari

3.400 organisasi pada saat ini.64

Adapun NGO yang telah memiliki status konsultatif dapat berkontribusi

dengan menggunakan keahlian dan pengalamannya di dalam sistem PPB, antara

lain: (1) menyediakan analisis pakar terkait suatu isu langsung dari pengalaman di

lapangan; berperan sebagai early warning agent; (2) membantu pengawasan dan

pelaksanaan perjanjian internasional; (3) membantu peningkatan kesadaran publik

tentang isu-isu yang relevan; (4) memainkan peran besar dalam memajukan tujuan

dan sasaran PBB; (5) berkontribusi dengan informasi penting di acara-acara

organisasi. Selain itu, ECOSOC juga memberikan kesempatan NGO yang telah

memiliki status konsultatif untuk mendapatkan akses, antara lain: (a) menghadiri

62 UN, Working with ECOSOC, Hal. 1 63

UN, Economic and Social Council Resolution 1996/31: Consultative Relationship Between the United Nations and Nongovernmental Organizations dari

http://www.un.org/documents/ecosoc/res/1996/eres1996-31.htm diakses pada 10 Mei 2016.

64

(40)

27

konferensi dan acara internasional; (b) membuat laporan tertulis dan lisan di acara

internasional; (c) menyelenggarakan side event; (d) akses ke kantor-kantor PBB;

serta (e) memiliki kesempatan untuk menambah jaringan dan melakukan lobi. 65

Status yang diberikan kepada NGO pun dibagi menjadi tiga kategori, antara

lain:66 (1) General Consultative Status, yang dapat diajukan oleh organisasi yang

wilayah kerjanya melingkupi sebagian besar dari agenda ECOSOC, yang

diharapkan dapat memberikan kontribusi substantif dan secara berkelanjutan, di

mana keanggotaannya secara luas mewakili mayoritas masyarakat di banyak

negara di berbagai wilayah di dunia; (2) Special Consultative Status, yang dapat

diajukan oleh organisasi yang memiliki kompetensi dan lingkup kerja yang

terbatas pada beberapa bidang khusus dalam kegiatan ECOSOC; (3) Roster

Consultative Status, dapat diajukan oleh organisasi yang tidak memenuhi kriteria

di atas, namun dapat memberikan kontribusi dalam satu kesempatan yang berguna

bagi pekerjaan ECOSOC.67

Greenpeace yang merupakan salah satu NGO yang telah mendapatkan

“General Consultative Status” pada tahun 1998 di dalam daftar milik ECOSOC68

yang memungkinkan beberapa partisipasi langsung dalam proses perundingan

65

UN, Working with ECOSOC,Hal. 7 66

Hak istimewa dari tiga jenis status konsultatif dari ECOSOC tersedia di Lampiran 1. 67

Jurij Daniel Aston, The United Nations Committee on Non-Governmental Organizations: Guarding the Entrance to A Politically Divided House dalam(European Journal of International Law, 2001) Hal. 947

68

UN, List of Non-Governmental Organizations in Consultative Status with the Economic and Social Council as of 1 September 2014 (2014) dari

(41)

28

antar-pemerintah.69 Di dalam Resolusi ECOSOC 31 Tahun 1996 (ECOSOC/Res

E/2996/31), pada Bagian IV: Cosultation with the Council, 70 menjelaskan NGO

yang telah terakreditasi sebagai “General Consultative Status” mendapat hak,

antara lain:71

 Mengirimkan delegasi untuk menghadiri pertemuan internasional;  Menyampaikan laporan tertulis dalam penyelenggaraan sidang;  Membuat pernyataan lisan;

 Menemui delegasi resmi pemerintah dan perwakilan NGO lainnya;

 Mengatur dan menghadiri acara paralel yang berlangsung selama

penyelenggaraan sidang;

 Berpartisipasi dalam debat, dialog interaktif, diskusi panel, dan pertemuan

informal.

B. Profil Kampanye Laut Greenpeace

1. Pencapaian Kampanye Perlindungan Laut Greenpeace

a. Menghentikan Ujicoba Nuklir Perancis di Pasifik Selatan

Perancis, yang menolak untuk meratifikasi Partial Test Ban Treaty pada

tahun 1963 bersama dengan India dan Cina, mulai melakukan ujicoba nuklir

atmosfer-nya di Atoll Moruroa dan Kepulauan Fangataufa di Polinesia Perancis

pada tahun 1963.72 Oleh karena itu, dalam upayanya untuk menghentikan ujicoba

69

Aline Baillat, NGO Status at the UN (2000) dari

https://www.globalpolicy.org/ngos/links-and-resources-on-ngos/31833-ngo-status-at-the-un.html diakses pada 10 Mei 2016.

70

UN, Economic and Social Council Resolution 1996/31. 71

UN, Working with ECOSOC, Hal. 11 72

Bruce E. Barnes, The French Nuclear Test in The South Pacific: Case Study of An International Environmental Dispute(Ho olulu: Progra o Co flict ‘esolutio U i ersity of Ha ai i at Ma oa,

(42)

29

tersebut, Greenpeace kembali melakukan pelayaran yang dilakukan oleh David

McTaggart dengan menggunakan yacht-nya, yaitu 'Vega.‟73 Di dalam

pelayarannya, Ann-Marie Horne bertugas untuk merekam misi tersebut dengan

menggunakan kamera tersembunyi, yang berhasil merekam aksi penganiayaan

oleh para personil militer Perancis kepada McTaggart dan kru-nya, Nigel Ingram,

yang kemudian disebarkan secara luas dan berhasil mempengaruhi opini publik

terhadap ujicoba nuklir Perancis.74

Atas tindakan penganiayaan tersebut, McTaggart pun menjalani proses

pengadilan panjang melawan pemerintah Perancis, hingga akhirnya, pada tahun

1974, McTaggart memenangkan kasusnya, di mana keputusan pengadilan

Perancis menyatakan bahwa pemerintah Perancis terbukti bersalah. Pada tahun

yang sama pula, Perancis mengumumkan bahwa mereka akan mengakhiri

program ujicoba nuklir atmosfer-nya.75 Perancis akhirnya menghentikan ujicoba

nuklir secara keseluruhan pada Februari 1996 dan menandatangani

Non-Proliferation Treaty (NPT) pada 1 Mei 1996.76

b. Menghentikan Perburuan dan Perdagangan Paus

Pada tahun 1970, jumlah total paus biru, paus humpback, dan spesies

lainnya, menurun menjadi kurang secara drastis. Banyaknya kapal pemburu yang

dilengkapi dengan tombak harpoon menjadi penyebab dari pembantaian populasi

73

Greenpeace, 1974 - France Ends Atmospheric Nuclear Tests in the South Pacific dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/Victories-timeline/nuclear-testing/

diakses pada 21 Maret 2017. 74

Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 24-25 75

Greenpeace, 1974 - France Ends Atmospheric Nuclear Tests in the South Pacific.

76 Tish Falco, French Nuclear Test in South Pacific dari

(43)

30

paus di dunia.77 Oleh karena itu, Greenpeace meluncurkan kampanye

anti-perburuan ikan paus pada tahun 1973.78 Kemudian, pada Juni 1975, dengan

menggunakan Phyllis Cormack, Greenpeace mengkronfontir armada kapal

pemburu paus Rusia di dekat pesisir California.79 Dokumentasi dari aksi tersebut

pun langsung dipublikasikandan menciptakan kesadaran publik tentang realitas

perburuan paus secara komersil hingga membuat opini publik untuk menentang

industri pemburu paus.80

Ketika aksi penghadangan dan pengambilan dokumentasi yang dilakukan di

laut, Greenpeace berkampanye di seluruh dunia untuk menghimpun dukungan

publik di darat, dengan cara menyebarkan selebaran dan mengumpulkan petisi

untuk mendesak pemerintah nasional untuk merespon tekanan internasional

tersebut.81 Upaya lobi terbayar ketika pada tahun 1982, IWC akhirnya menyetujui

pembentukan moratorium penangkapan ikan paus secara komersil yang mulai

berlaku pada tahun 1986,82 meskipun hanya berlaku untuk perburuan paus

komersial, sedangkan perburuan paus untuk kepentingan penelitian serta yang

dilakukan oleh Suku Aborigin masih diperbolehkan.83

77

Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64

78 Greenpeace, 1982 - Moratorium Puts an End to Commercial Whaling dari

http://www.greenpeace.org/international/en/about/history/Victories-timeline/whaling-moratorium/ diakses pada 27 Maret 2017.

79

Summer Miller Walfish, Greenpeace Campaigns Against Whaling, 1975-1982 (2010) dari

http://nvdatabase.swarthmore.edu/content/greenpeace-campaigns-against-whaling-1975-1982

diakses pada 27 Maret 2017. 80

Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64 81 Erwood, The Greenpeace Chronicles, Hal. 64 82

IWC, Catch Limits and Catches Taken dari https://iwc.int/catches diakses pada 27 Maret 2017. 83

SBS, At-A-Glance: Whaling Moratorium (2010) dari

http://www.sbs.com.au/news/article/2010/06/21/glance-whaling-moratorium diakses pada 27

Gambar

tabel pemasukan Greenpeace tersedia di Lampiran 5. 292

Referensi

Dokumen terkait

Bagian Virologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa

Kariadinata ( 2014 ) menyampaikan dalam merancang perangkat lunak (software) pembelajaran matematika berbasis multimedia terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan

1 orang x Rp.215.000,- = Rp.215.000,- Target Tercapai Penyuluhan kesehatan jiwa meningkatkan pelayanan dan pengobatan kesehatan jiwa masyarakat secara optimal Keluarga

Nurjanah, Fitriani, & Nani (2016) mengemukakan bahwa pendekatan open-ended dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kegiatan- kegiatan kreatif

Upaya yang dilakukan pemerintah Aceh dengan pemberian makanan tambahan pada balita kurus sebanyak 45,5%.Tujuan penelitian melakukan Evaluasi Program Pemberian Makanan

Keempat, Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan. Standart proses merupakan bentuk aplikasi dari konsep yang terdapat pada standart isi dan standart

Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan karena tidak meneliti tema-tema yang pernah diteliti yakni dengan

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah penambahan tepung keong mas dalam ransum sampai taraf 9 % tidak berpengaruh terhadap kualitas telur