• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Pernyataan Orisinalitas. Jurnal ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Halaman Pernyataan Orisinalitas. Jurnal ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Halaman Pernyataan Orisinalitas

Jurnal ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Saraswati Tri Octaningrum

NPM : 0906491433

Tanda Tangan :

(2)
(3)
(4)
(5)

COSPLAY SEBAGAI SOFT POWER JEPANG

Saraswati Tri Octaningrum, Diah Madubrangti

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Abstrak

Jurnal ini membahas tentang bagaimana Cosplay digunakan sebagai soft power Jepang. Makalah ini menggunakan metode analisis dekriptif dengan landasan teori soft power yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye Jr. dan budaya populer oleh John Storey. Hasil analisis dalam jurnal ini menunjukan bahwa dengan memanfaatkan cosplay sebagai budaya populer, Jepang mampu menjalin kerjasama dengan dunia internasional termasuk Indonesia. Dengan mendukung acara cosplay berskala internasional yaitu World Cosplay Summit, pemerintahan Jepang merubah citranya dari negara yang berhaluan militer dan berekonomi kuat, menjadi negara yang juga memiliki budaya dan intelektualitas yang kuat. Selain merubah citranya di mata internasional, dengan cosplay, Jepang berusaha membuat negara lain mengerti lebih dalam tentang negri mereka sehingga nantinya tidak akan menimbulkan kesalah pahaman. Hal ini kemudian memberikan hasil yang baik dalam bidang diplomasi antara Jepang dengan Negara lain.

Kata kunci: Budaya Populer; Cosplay; Soft Power

COSPLAY AS JAPANESE SOFT POWER

Abstract

This paper explains about how Japan use cosplay as its soft power. This paper use descriptive analysis as a method and using the concept of soft power by Joseph S. Nye Jr. and the concept of Pop culture by John Storey. The result of the analysis on this paper shows that by utilizing pop culture, in this case cosplay, Japan able to work together with international world, including Indonesia. By supporting international cosplay event that called as World Cosplay Summit, the Japanese government change its image from country that known as military country and has powerful economy, to a country that also has a strong culture and intellect. In addition to changing its image in the international community, with cosplay, the Japanese tried to make other countries understand more about their country so that they would not inflict misunderstanding. It will gives good results in the field of diplomacy between Japan and other countries.

(6)

1. Latar Belakang

Jepang telah dikenal sebagai salah satu negara maju dalam bidang industri dan memiliki sistem ekonomi yang kuat. Jepang mampu mengembangkan industrinya dan menguasai pasar dunia dengan teknologi yang canggih. Berbeda dengan pengaruh Jepang dalam bidang ekonomi yang tergolong dalam hard power, pengaruh Jepang dalam bidang budaya populer yang telah menarik perhatian masyarakat negara lain merupakan suatu bentuk dari soft power.

Jepang selain memelihara budaya tradisional juga mengembangkan budaya populernya. Beberapa budaya populer yang dimiliki Jepang banyak dikenal secara luas. Budaya populer Jepang yang menyebar luas ke seluruh dunia beragam bentuknya mulai dari anime (animasi Jepang), game (mayoritas merupakan produksi Jepang), manga (komik Jepang), dorama (drama Jepang), tokusatsu (super hero Jepang), Jpop dan lain-lain. Budaya populer tersebut merupakan budaya yang diproduksi dan dikonsumsi secara luas terutama dikalangan remaja.

Salah satu budaya populer Jepang yang menyebar dan diterima oleh masyarakat di luar Jepang ialah Cosplay. Cosplay ( コス プ レ ) merupakan istilah bahasa Inggris yang menjadi bahasa Jepang (wasei eigo) dan merupakan pergabungan dua kata yaitu costum dan play. Cosplay diartikan menjadi hobi mengenakan kostum serta aksesoris dan rias wajah menyerupai dengan tokoh anime, manga, game dan sebagainya. Orang yang melakukan cosplay biasa disebut sebagai cosplayer, layer, atau coser. 1

Cosplay muncul di Jepang pertama kali pada tahun 1970-an ketika tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah sampai ke Jepang. Sebenarnya konsep cosplay sendiri bukan merupakan asli budaya tradisional Jepang. Cosplay menyerupai budaya Amerika Serikat yaitu masquerade atau pesta topeng seperti dalam perayaan Haloween dan paskah. Sejak paruh kedua tahun 1960-an penggemar cerita dan film fiksi ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konvensi fiksi ilmiah. Banyak dari peserta konvensi mengenakan kostum seperti yang yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi ilmiah seperti Star Trek. Tradisi ini kemudian sampai ke Jepang dalam bentuk acara peragaan kostum (costume Show) pada tahun 1970-an.

(7)

Peragaan cosplay pertama di Jepang dilangsungkan di Ashinoko prefektur Kanagawa pada tahun 1978 dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17. Pada saat itu, seorang kritikus fiksi ilmiah bernama Mari Kotani dan seorang novelis bernama Hikawa Reiko hadir dengan mengenakan kostum yang mirip dengan tokoh dalam sampul buku “A Fighting Man of Mars” karya Edgar Rice Burrough yang diilustrasikan oleh Takebe Motoichiro2. Tidak hanya Mari Kotani dan Hikawa Reiko saja yang menghadiri konveksi ilmiah tersebut dengan ber-cosplay, direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda

juga hadir dengan mengenakan kostum Star Wars3.

Pada waktu itu peserta yang datang ke konvensi fiksi ilmiah menyangka bahwa Mari Kotani mengenakan kostum dalam tokoh manga karya Osamu Tezuka yang berjudul “Triton of the Sea”. Mari Kotani tidak membantah ketika ditanya apakah kostum yang ia kenakan merupakan kostum yang dikenakan oleh tokoh manga karya Osamu Tezuka, sehingga media massa sering menuliskan bahwa kostum dari Triton of the Sea merupakan kostum cosplay pertama yang dikenakan di Jepang. Kemudian pada tahun 1980 tepatnya ketika Nihon SF Taikai ke-19, Cosplay menjadi acara tetap dalam Nihon SF Taikai. Sejak saat itu terlihat banyak peserta konvensi datang dengan menggunakan kostum tokoh Superman, Atom Boy

karya Osamu Tezuka, serta tokoh dalam Toki wo Kakeru Shoujo dan Virus4.

Sebelum istilah cosplay digunakan oleh media massa elektronik, asisten penyiar Minky Yasu sudah sering melakukan cosplay. Kostum tokoh Minky Momo sering dikenakan Minky Yasu dalam acara “mami no RADI-karu communication” yang disiarkan oleh Radio Tōkai sejak tahun 1984. Selanjutnya, acara radio yang sama mulai mengadakan kontes cosplay. Dari tahun 1989 hingga 1995, di tv asahi ditayangkan ranking kostum cosplay yang sedang populer dalam acara Hanakin Data Land.

Majalah anime di Jepang sedikit demi sedikit mulai memuat berita tentang acara cosplay di pameran dan penjualan terbitan doujinshi. Liputan secara luas pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan Agustus 1980. Edisi tersebut memuat berita secara khusus tentang munculnya kelompok baru anak muda yang disebut Tominoko-zoku

yang ber-cosplay di kawasan Harajuku dengan mengenakan kostum Gundam5.

2

Takeda, Yasuhiro (April 2002). No-tenki tsushin: Evangelion o tsukutta otokotachi. Wani Books. Hlm. 34 3 Ibid,. Hlm. 102

4 Komatsu, Sakyō (Juni 1982). Komatsu Sakyō no SF Seminar. Shūeisha-Shūeisha Bunko. hlm. 31 5 Gundam adalah salah satu unit Mobile Suit yang diciptakan oleh Sunrise Studio pada tahun 1979.( http://sdgo.megaxus.com/page/apa-itu-sdgo)

(8)

zoku sendiri dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi Takenoko-zoku6. Istilah Tominoko-zoku diambil dari nama sutradara film animasi Gundam yaitu Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan parodi dari istilah Takenoko-zoku. Foto peserta cosplay yang menari-nari sambil mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat di majalah tersebut. Walaupun sebenarnya artikel tentang Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut justru menjadikan cosplay sebagai istilah umum di kalangan penggemar anime.

Dalam jurnal ilmiah tentang anime dan manga, Theresa Winge (2006) menyatakan bahwa tidak seperti berdandan dan mengenakan kostum seperti yang ada pada pesta kostum atau Halloween, cosplayer menghabiskan uang yang tidak terhitung jumlahnya dan waktu dalam membuat dan membeli kostum, mempelajari pose dan dialog khas karakter yang akan mereka perankan dan tampil di acara-acara cosplay sebagaimana mereka merubah diri mereka dari identitas “dunia yang sebenarnya” menjadi karakter yang mereka pilih. Ini merupakan bentuk performatif dari konsumsi budaya populer, dimana tidak hanya mengenakan kostum saja tetapi orang-orang ini juga mengadopsi identitas baru.

Dalam konsumsi budaya populer, seringkali cenderung terbentuk kelompok atau komunitas penggemar yang biasa disebut dengan fandom7 tak terkecuali cosplay yang komunitasnya secara pesat tumbuh dalam fandom anime dan manga. Perkembangan komunitas cosplay yang pesat tidak hanya membuat cosplay terkenal di Jepang saja namun juga sampai ke Asia, Eropa dan Amerika. Perkembangan ini membuat berbagai macam kompetisi cosplay berskala internasional diadakan diberbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.

Perkembangan cosplay yang pesat membuat pemerintahan Jepang tidak hanya memfokuskan perhatiannya pada budaya tradisional saja. Sebuah kompetisi cosplay di Jepang yang dikenal sebagai World Cosplay Summit (世界コスプレサミット), mendapat dukungan dari beberapa kementrian pemerintahan Jepang yaitu the Ministry of Foreign Affair (MOFA)8, the Ministry of Land, Infrastructure and Transport (MLIT)9, dan the Ministry of

6

kelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu meramaikan kawasan Harajuku

7 Fan kependekan dari fanatic dan akhiran –dom seperti yang ada dalam kata freedom, boredom dan kingdom 8 Ministry of foreign affair of Japan http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/

9 Ministry of Land, Infrastructure and Transportation diakses pada 21 Mei 2013

(9)

Economy, Trade and Industry (METI)10. Pada awal diadakannya World Cosplay Summit pada tahun 2003, kompetisi yang diadakan di Nagoya ini hanya diikuti oleh tiga negara saja yaitu Jerman, Perancis dan Italia. Namun World Cosplay Summit terus berkembang pesat hingga pada tahun 2012 negara yang berpartisipasi bertambah menjadi 20 negara termasuk Indonesia.

Pada tahun 2012 Indonesia pertama kali ikut berpartisipasi dalam World Cosplay Summit. Indonesia merupakan negara ke-20 yang terpilih sebagai peserta World Cosplay Summit, setelah Inggris dan Rusia. Tahun lalu, hanya 17 negara saja yang mengikuti World Cosplay Summit dan pada tahun 2012 Indonesia masuk menjadi peserta cosplay internasional

karena prestasi dan perkembangan cosplay yang semakin meningkat11. Cosplay di Indonesia

memiliki kendala yaitu keterbatasan material, namun keterbatasan tersebut membuat cosplayer Indonesia menjadi lebih kreatif untuk membuat karya yang lebih memukau. Peserta yang menjadi perwakilan Indonesia dalam mengikuti kompetisi cosplay berskala internasional tersebut harus mengikuti babak penyisihan yaitu Indonesia Cosplay Grand Prix atau biasa disingkat menjadi ICGP. Indonesia Cosplay Grand Prix yang bernaung dibawah Kedutaan besar Jepang, The Japan Foundation dan JETRO (Japan External Trade Organization)12 bekerja sama dengan World Cosplay Summit berupaya untuk mengedukasi masyarakat khususnya Indonesia tentang anime dan manga melalui cosplay13. Hal ini memperjelas bahwa hubungan Jepang dengan negara lain termasuk Indonesia juga dapat didukung oleh budaya populer yang dimilikinya. Dengan diadakannya World Cosplay Summit yang memiliki tujuan untuk mempromosikan pertukaran budaya populer Jepang melalui cosplay, menunjukan bahwa pemerintah Jepang telah memanfaatkan budaya populer Cosplay sebagai soft power-nya dalam menjalin hubungan dengan dunia internasional.

Masalah penelitian yang diangkat dalam jurnal ini ialah bagaimana cosplay sebagai budaya populer menjadi soft power Jepang dalam menjalin kerja sama dengan dunia internasional. Jurnal ini bertujuan untuk memahami dan menyampaikan mengenai budaya populer cosplay yang dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang sebagai soft power dalam menjalin kerjasama dengan dunia internasional termasuk Indonesia. Metode yang digunakan

10Ministry of Economy, Trade and Industry diakses pada 21 Mei 2013 http://www.meti.go.jp/english/press/2012/pdf/0413_01a.pdf

11

Yuki.2012. “Festival Ennichisai 2012 Akan Hadirkan "Indonesian Cosplay Grand Prix" “.

http://www.halojepang.com/berita-utama/4427-festival (17 april 2012) 12 Indonesia Cosplay Grand Prix. Diakses pada 6 Juni 2013 http://icgp.net/

(10)

dalam penelitian ini ialah metode deskriptif analitik. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2007:72) “Penelitian Deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling dasar”. Ditujukan untuk mendeskripsikan atau mengambarkan fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiyah maupun rekayasa manusia. Metode deksriptif memiliki ciri-ciri menurut Winarno Surakhmad (1990:140):

1. Memusatkan diri pada pemecahan-pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang dan masalah-masalah aktual

2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisa karena itu metode ini disebut metode analitik

Landasan teori dalam penelitian ini menggunakan teori soft power yang dikemukan oleh Joseph S. Nye Jr. Nye menjelaskan bahwa soft power sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai tujuannya dengan lebih mengutamakan daya tarik (attraction) dari pada paksaan (coercion) dan pembayaran (payment). Salah satu sumber soft power adalah budaya. Budaya adalah “the set of values and practices that create meaning for a society” (Nye, 2004). Budaya dalam konteks ini tidak selalu high culture yang bertujuan untuk menarik kalangan elit14, tetapi juga budaya populer yang lebih berupa hiburan.

Di dalam bukunya yang berjudul Teori Budaya dan Budaya Pop, John Storey mengutip penjelasan Raymond Williams mengenai definisi budaya dan budaya populer. Williams memberikan tiga definisi budaya, yaitu: budaya dapat digunakan untuk mengacu pada “suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetis”. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh dengan mengacu pada perkembangan budaya Jepang dibidang intelektual, spiritual, estetis para penyair-penyair besar, filsuf dan senimanya. Kedua, budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat periode atau kelompok tertentu.” Dalam definisi ini tidak hanya faktor intelektual dan estetisnya saja yang berkembang, tetapi juga sastra, hiburan, olah raga, dan upacara religiusnya juga ikut berkembang. Ketiga, budaya bisa merujuk pada “karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistik.” Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukan, menandakan, memproduksi, atau terkadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tertentu. 15

14 High Culture adalah budaya yang dihasilkan dari kreativitas individu sehingga mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih dari masyarakat (Storey, 1993)

(11)

Williams juga mengemukakan empat makna kata popular, yaitu “banyak disukai orang”,”jenis kerja rendahan”16, “karya yang dilakukan atau dibuat untuk menyenangkan

orang”, “budaya yang memang dibuat oleh masyarakat untuk diri mereka sendiri”.17

kita bisa melihat bahwa budaya popular memang merupakan budaya yang menyenangkan atau disukai oleh banyak orang, sebagai contohnya ialah penjualan novel ataupun penjualan album penyanyi terkenal yang laku di kalangan masyarakat. Berdasarkan makna kata popular yang dikemukakan oleh Williams tersebut, John Storey mendefinisikan enam definisi budaya populer, dan dalam penjelasannya tersebut, Storey mendefinisikan budaya populer sebagai “budaya massa”18

Budaya populer sebagai budaya massa memiliki pengertian budaya yang diproduksi secara massa untuk dikonsumsi massa dan audiensnya merupakan sosok yang tidak memilih. Budaya itu sendiri dianggap sebagai sesuatu rumusan belaka dikonsumsi tanpa pikir panjang dan manipulatif. Teks dan praktik budaya populer lebih dianggap sebagai fantasi publik dan hanya dilihat sebagai dunia impian yang kolektif. Definisi tersebut menjelaskan bahwa budaya pop merupakan budaya yang diproduksi secara massa sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang dari kalangan manapun sehingga penyebarannya lebih luas.

Di dalam buku Handbook of Japanese Popular Culture, Hidetoshi Kato menjelaskan tentang budaya populer Jepang. Menurut Kato, budaya populer dalam bahasa Jepang lebih tepat bila disebut sebagai taishuu bunka atau “budaya massa”. Selain taishuu bunka, terdapat juga istilah minshuu bunka yang berarti budaya rakyat dan minzoku bunka atau budaya bangsa. Kedua kata tersebut memiliki pengertian yang hampir sama, namun menurut Kato

keduanya kurang tepat untuk menjelaskan istilah budaya populer19. Budaya massa memiliki

pengertian suatu bentuk budaya yang banyak disukai oleh masyarakat, tidak hanya masyarakat Jepang saja tetapi juga masyarakat dari negara-negara lain.

2. Cosplay sebagai soft power Jepang

Menurut Nye, Jepang merupakan negara yang memiliki budaya populer yang dapat dimanfaatkan sebagai soft power. Nye mengungkapkan bahwa Jepang memiliki sumber-sumber soft power yang lebih potensial dibandingkan negara-negara lain di Asia. Salah satu

16

Jenis kerja rendahan mengacu pada pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi massal. (Storey,1993)

17 Ibid., 10 18 Ibid., 15

(12)

sumber soft power tersebut adalah budaya populer Jepang yang tetap menjadi sumber soft power yang potensial bahkan setelah ekonomi Jepang melemah.

“Japan has more potential soft power resources than any other Asian countries....Japan’s popular culture was still producing potential soft power resources even after its economy slowed down”20

Jepang merupakan negara yang memiliki citra perekonomian yang maju dan memiliki tiga sumber soft power yang dapat dikembangkan. Ketiga sumber soft power tersebut adalah kebudayaan, nilai politik dan kebijakan luar negri. Dari segi kebudayaan, Jepang memiliki budaya populer yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai soft power. Budaya populer Jepang mulai dari musik, masakan hingga fashion menyebar secara luas dan memberikan pengaruh pada negara lain. Sebagai contoh adalah anime dan manga Doraemon yang dikenal di berbagai dunia dan ditayangkan diberbagai negara termasuk Indonesia. Art style manga dan anime dipelajari di berbagai negara dan mempengaruhi beberapa seniman komik maupun pembuat animasi diseluruh dunia. Bahkan ketenaran manga di dunia internasional membuat Jepang mengadakan International Manga Award (Kokusai Manga

Shou) bagi mangaka yang bukan berasal dari Jepang21. Daya tarik budaya Jepang tidak hanya

terbatas pada budaya populernya saja, budaya tradisional Jepang pun mendapat perhatian dunia. Salah satu contohnya adalah chanoyu, Ikebana dan berbagai jenis seni bela diri Jepang seperti Judo, aikido dan kendo.

Jepang tidak hanya mengembangkan daya tarik di bidang kebudayaannya saja, tetapi Jepang juga mulai mengembangkan nilai nilai politik22 dan kebijakan internasionalnya23 sebagai soft power. Sekitar tahun 1970-an politik luar negri Jepang bersifat ragu-ragu dan menarik diri, akan tetapi, Jepang kini lebih aktif dalam sistem internasionalnya ataupun dalam pertemuan dengan negara lain24. Jepang menyadari bahwa untuk memperkuat soft power dibutuhkan dukungan dari ekonomi yang merupakan bentuk dari hard power. Jepang

20 Joseph S. Nye Jr., Soft Power The Means to Succsess in World Politics, (New York: Public Affairs, 2004), 85-86

21

International Manga Award. Diakses pada 18 Juni 2013 http://www.manga-award.jp/en/whats.html

22 Nilai nilai politik yang dimaksudkan ialah nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, keterbukaan, persamaan, anti rasis dan lain sebagainya.

23 Sebagai contoh adalah kerjasama dalam masalah lingkungan seperti global warming, penanggulangan penyakit menular, serta kebijakan-kebijakan yang mendukung penegakan hak asasi manusia dan terciptanya dunia. Kebijakan internasional ini bertujuan untuk menjalin kerja sama dengan negara lain karena dalam prakteknya kebijakan internasional tidak memiliki unsur paksaan.

24 Joseph S. Nye Jr. Bound to Lead : The Changing Nature of American Power (New York : Basic Book Inc. 1990), 167

(13)

juga menyadari bahwa bidang militer bukanlah hal yang harus dikembangkan untuk memperkuat kedudukannya di mata internasional. Hal ini membuat Jepang tidak lagi menjadi negara yang mengedepankan perkembangan Militer sebagai sarana hubungannya dengan negara lain. Heizo Takenaka, mantan mentri Ekonomi dan Kebijakan Fiskal Jepang mengatakan bahwa soft power merupakan kekuatan yang sangat kuat dan akan menjadi lebih kuat apabila memiliki kepemimpinan politik yang benar.

“Soft power is a very strong force. If we have the right political leadership, it can be even more powerful”25

Menurut presiden The Japan Foundation, Kazuo Ogura, sejarah Jepang pada zaman modern adalah untuk mencapai ekonomi yang maju dan kematangan demokrasi tanpa meninggalkan identitas budaya dan tradisi26. Walaupun Jepang merupakan negara yang masih berbentuk kerajaan, namun hal itu tidak menghalangi Jepang untuk mengembangkan nilai demokratis dalam sistem politiknya. Selain nilai politisnya, Jepang juga memiliki kebijakan luar negeri sebagai sumber soft power. Kebijakan luar negri tersebut seperti program kerjasama dan pertukaran antar negara, diplomasi publik dan the Japan Foundation.

Sebuah dokumen yang dikeluarkan kementrian Jepang pada tahun 2010 memperlihatkan adanya penyempitan makna soft power Jepang. Dalam dokumen tersebut, Jepang menyebutkan akan menyebarkan citra “Cool Japan” dan dalam usahanya ini Jepang akan menyebarkan “ Fashion of young people in Shibuya and Harajuku, high-performance electrical appliance in Akihabara, manga and anime with attractive stories and delicious food that reflects the high standards of quality control and traceability” (METI 2010). Jepang akhirnya menyempitkan makna soft power menjadi penyebaran fashion, kecanggihan teknologi, manga, anime dan makanan.

Jepang memiliki salah satu sumber soft power yaitu daya tarik budaya melalui budaya populernnya. Dari berbagai macam budaya populer Jepang, anime dan manga merupakan budaya populer Jepang yang paling terkenal. Pemerintah Jepang menunjuk Doraemon sebagai duta animasi Jepang dan juga mengadakan pemberian penghargaan internasional tahunan untuk seniman manga terbaik di seluruh dunia. Pemerintah Jepang tidak hanya memfokuskan perhatiannya ke anime dan manga saja. Sejak tahun 2006, pemerintah Jepang

25 Beech, Hannah. “Japan Reach Out”. (Time Magazine Online,20 November 2008), hlm. 1

(14)

juga memberikan dukungan pada bidang cosplay dengan mensponsori kompetisi yang diadakan setiap tahun untuk penggemar Cosplay di Seluruh dunia.

Cosplay pertama kali masuk ke Jepang dalam bentuk pesta topeng konvensi fiksi Ilmiah Nihon SF Taikai pada tahun 1978 di Ashinoko prefektur kanagawa. Cosplay sendiri pada saat itu menjadi terkenal karena para peserta konvensi kagum akan kostum yang dikenakan Mari Kotani dan mereka mulai tertarik untuk mencoba mengenakan kostum seperti yang ada dalam tokoh fiksi. Hal ini membuat cosplay kemudian menjadi acara yang tetap dan selalu diadakan pada konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai. Sejak ditetapkannya cosplay sebagai acara tetap pada konvensi fiksi Ilmiah Nihon SF Taikai, mulai banyak para peserta konvensi yang ber-cosplay. Banyak peserta yang mulai datang ke konvensi fiksi ilmiah dengan mengenakan kostum Superman, Atom boy dan tokoh tokoh dalam film fiksi lainnya. Sekitar tahun 1985, cosplay semakin meluas dan terkenal di Jepang. Pada waktu tokoh Kapten Tsubasa sedang populer, dan hanya dengan T-shirt pemain bola yang dimodifikasi hingga seperti kostum tokoh Kapten Tsubasa maka orang sudah bisa ber-cosplay27. Kegiatan cosplay dikabarkan mulai menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986 dan Sejak itu pula mulai bermunculan fotografer amatir (disebut kamera-kozō) yang senang memotret kegiatan cosplay hingg pada awal tahun 2000 cosplay semakin meluas di Jepang. Para cosplayer mulai membuat websitenya sendiri dan membuat porto-folio yang berisikan foto-foto cosplay mereka maupun kostum-kostum yang telah mereka buat sendiri. Selain memuat fotonya di website, mereka juga membuat photo book sendiri dan bisanya ditemukan di acara-acara seperti comic market atau doujin event.

Sejak tahun 2000, cosplay semakin dikenal di luar Jepang berkat perkembangan teknologi yang semakin maju. Cosplay mulai dilakukan tidak hanya di Jepang, tetapi di Negara-negara Lain seperti Amerika, China, Eropa, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Perkembangan cosplay yang pesat ini dapat memberikan pejelasan bahwa Cosplay memiliki sesuatu yang menarik sehingga membuat masyarakat negara lain menerimanya dan mau melakukan cosplay tersebut. Menurut Alexander Vuving pada bukunya yang berjudul “How Soft power Works” (2009) terdapat 3 currencies yang membuat soft power sampai kepada recipient. 3 Currencies tersebut adalah Beauty, Brilliance dan Benignity. Pada cosplay, currency yang terlihat jelas ialah Brilliance. Brilliance didefinisikan Vuving sebagai “an aspect of the agent’s relations with its work. It

27

Minoura.「daijuukou kosupureshi」『kokusai otaku daigaku 1998 nen saizensen kara nokenkyuu houkoku』 hlm. 228-232

(15)

refers to the high performance that you accomplish when you do things”. Brilliance menghasilkan keinginan untuk belajar dari kesuksesan orang lain, melalui adanya kekaguman dengan negara yang sukses tersebut. Hasil brilliance pada recipient terlihat dari adanya kekaguman, imitasi perilaku, pengadopsian budaya serta nilai-nilainya juga pemihakan dan pengidentikan diri. Dalam cosplay, kekaguman para cosplayer yang bukan masyarakat Jepang terhadap daya tarik cosplay membuat mereka rela melakukan cosplay. cosplay dianggap menjadi sesuatu yang membedakan mereka dan menjadi identitas diri mereka.

Dalam perkembangannya, cosplay tidak hanya sebatas hobi seorang fans mengenakan kostum serupa dengan tokoh anime atau manga saja tetapi cosplay dijadikan sebagai suatu identitas diri yang lain dan cosplay juga menjadi suatu lahan bisnis yang sangat potensial. Menurut tujuannya, cosplay dapat dibagi menjadi dua yaitu pertama cosplay yang bertujuan untuk diperlihatkan yang biasanya mengacu pada yunikosu. Cosplay di Jepang pada awalnya merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk meniru tokoh anime, manga dan lainnya-lainnya28, tetapi kemudian dengan ber-cosplay menenakan seragam, seorang pelayan suatu restoran dapat menarik pengunjung yang banyak. Yunikosu umumnya adalah cosplay yang mengenakan seragam-seragam tertentu yang sudah umum dikenal di masyarakat. Biasanya seragam-seragam tersebut berhubungan dengan profesi, contohnya adalah cosplay yang mengenakan baju maid (メイド服コスプレ), serafuku (baju seragam sailor), butler (バトラ ー服コスプレ) dan lain sebagainya. Cosplay ini erat hubungannya dengan dunia usaha yang pada umumnya menjual penampilan sebagai layanan kepada tamu pelanggannya. Contoh yang telah menjadi fenomena terkenal di Jepang sekarang ini adalah Meido Kissa (Maid Cafe) yang banyak ditemukan di Jepang khususnya daerah akihabara dan butler cafe di Shibuya. Walaupun pada umumnya cosplay yang bertujuan untuk diperlihatkan ini mengacu pada yunikosu, tetapi pada akhir tahun 1990-an bermunculan juga film-film porno yang pemainnya ber-cosplay seperti tokoh anime. film film tersebut laku dipasaran karena para fans terutama fans dari tokoh yang diperankan tersebut merasa bahwa tokoh-tokoh yang mereka sukai itu menjadi hidup dan bukan sekedar dua dimensi saja. Hal ini membuat apa yang difantasikan dan dipikirkan oleh para fans menjadi nyata.

Selain cosplay untuk diperihatkan, tujuan cosplay yang lain ialah cosplay untuk memerankan tokoh atau biasa disebut sebagai kyarakosu. Kyarakosu biasanya mengacu pada

28 Cosplay tidak sebatas meniru tokoh anime dan manga saja, tetapi juga game, dengan meniru gaya idol dan penyanyi Jepang juga termasuk dalam cosplay. Bahkan gaya harajuku menjadi satu aliran cosplay tersendiri.

(16)

keinginan seorang fans untuk mengenakan kostum dan atribut yang sama dengan tokoh yang ia kenakan. Tapi dalam praktisnya, kyarakosu tidak hanya sekedar meniru dan mengenakan kostum beserta atribut yang dikenakan sebuah tokoh, tetapi juga menciptakan originalitas sendiri berdasarkan karakter atau tokoh yang ada di dalam anime, manga, game, dan lainnya. Dengan berbasis kepada kostum dan aksesoris suatu tokoh, cosplayer mencoba memodifikasi kostum yang ia buat sendiri, atau bahkan membuat kostum hasil imajinasinya sendiri. Hal inilah yang membuat para cosplayer tertantang untuk melakukan cosplay. Karena selain mereka harus sebisa mungkin meniru kostum beserta atribut suatu tokoh, mereka juga diharapkan bisa menjadi karakter tersebut, hingga seperti membuat karakter tersebut hidup dengan memberikan kesan originalitas dari mereka.

Dalam bukunya yang berjudul “Cosplay Naze Nihonjin wa Seifuku ga suki na no ka”, Fukiko Mitamura (2008:4) memberikan pengertian cosplay sebagai berikut:

「コスプレ」 とは 「コスチュームプレイ」 の略で、マンガ や ア ニメ、ゲーム などの キャラ が身につけているのと同じような衣 服を制作・着用して、そのキャラになりきる行為のことです。 Dapat dengan mudah menjadi peran atau tokoh. Dapat dengan cepat menjadi apa yang diinginkan oleh dirinya, atau menjadi peran yang dibutuhkan. Inilah yang disebut cosplay.

Mitamura berpendapat bahwa cosplay merupakan kegiatan ketika seseorang merubah diri menjadi peran yang dibutuhkan atau status yang diinginkan, terlepas dari apakah orang tersebut memang berprofesi sebagai peran yang sedang dibawakannya atau tidak. Dengan kata lain, seseorang dapat menjadi bagian dari suatu peran hanya dengan mengenakan kostum yang menandai peran tersebut, sehingga dia akan merasa menjadi seperti apa yang diperankannya dan merasa berkewajiban untuk memiliki kemampuan sesuai dengan yang dituntut oleh peran yang ia bawakan seiring dengan kostum yang ia kenakan. Singkatnya dengan bercosplay, maka para cosplayer dapat menjadi peran yang atau karater yang berbeda dari karakter asli mereka. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi cosplayer sehingga mereka mau bercosplay.

Sudah menjadi suatu kewajiban bagi cosplayer bahwa kreativitas dalam menghidupkan karakter dengan menciptakan kostumnya merupakan hal yang paling penting karena hal tersebut merupakan upaya untuk membuat orang yang melihat mereka tertarik dan

(17)

menyukai karakter yang mereka perankan. Banyak kostum cosplay khususnya kostum yang berasal dari game dan tokusatsu, merupakan kostum yang sulit untuk dibuat dan biasanya memakan biaya yang sangat mahal. Tetapi para cosplayer tetap berusaha untuk membuat kostum yang mereka inginkan. Tak jarang dari mereka berusaha menjahit kostum mereka dengan tangan mereka sendiri untuk menekan biaya. Selain melakukan semuanya dengan tangan sendiri, mereka juga memikirkan bagaimana mengganti bahan kostum mereka dari yang mahal menjadi bahan yang murah harganya tanpa mengurangi kualitas kostum cosplay mereka. Sebagai contoh, para cosplayer tokusatsu sering mengadakan workshop pembuatan helm dan kostum yang dikenakan pada cosplay tokusatsu dan dalam workshop tersebut biasanya helm dibuat dengan menggunakan busa hati (Styrofoam) yang mudah didapat dengan harga murah bila dibandingkan dengan pembuatan helm dengan resin maupun fiberglass.

Dalam pembuatan kostum, para cosplayer tidak diharuskan membuat kostumnya dengan menggunakan bahan-bahan yang mahal. Cosplayer tidak harus tampil mirip seperti aslinya yang mereka lihat dalam anime, manga, game dan sebagainya. Cosplayer menciptakan kostum mereka sebagai wujud dari kecintaan mereka terhadap tokoh yang mereka sukai. Tak jarang dari cosplayer berusaha membuat kostum tokoh yang menjadi idolanya ketika ia masih kecil dengan harapan bahwa mereka ingin mewujudkan impian mereka saat dulu ingin menjadi tokoh tersebut.

Cosplayer mempunyai kebebasan dalam menunjukan kreativitas mereka tidak hanya dari kostum mereka saja, melainkan dari bagaimana ia masuk kedalam tokoh yang ia perankan. Sering dari cosplayer menggunakan kostum yang jauh dari aslinya tetapi tetap terlihat seperti tokoh yang ia perankan, inilah yang mereka sebut sebagai penghayatan karakter. Cosplayer bisa saja menjadi robot Gundam hanya dengan menggunakan kardus dan gerak-gerik yang mirip dengan Gundam.

Dari penjelasan diatas secara sederhana cosplay memiliki pengertian sebagai bermain-main dengan kostum, dimana kostum tersebut dapat memberikan suatu personifikasi terhadap orang yang mengenakannya, sehingga orang tersebut merasa menjadi tokoh yang kostumnya ia kenakan, dan orang lain juga jadi bisa mengenali dirinya melalui kostum yang dikenakan olehnya. Daya tarik cosplay yang membuat pelakunya (cosplayer) dapat memerankan tokoh atau karakter sebebas dan sesuka mereka ini kemudian dilihat sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber soft power.

(18)

Melihat antusias para cosplayer yang berasal dari luar Jepang, maka Tv Aichi pada tahun 2003 mengadakan World Cosplay Summit di Nagoya. The World Cosplay Summit pertama ini awalnya hanya diikuti oleh 5 peserta dari 3 negara saja yaitu Jerman. Italia, dan Prancis. The World Cosplay Summit diadakan untuk mendukung ketenaran manga dan anime

melalui cosplay dan juga untuk meramaikan Expo yang pada saat itu diadakan di Nagoya29.

Dalam website resmi The World Cosplay Summit mengatakan bahwa anime dan manga bisa dinikmati tidak hanya dengan dibaca atau dilihat saja, tetapi juga dengan memerankan tokoh karakter tersebut maka kita juga dapat menemukan kesenangan tersendiri. Hal inilah yang menjadi daya tarik dari cosplay. dengan ber-cosplay, kita dapat menghidupkan dan memerankan tokoh yang kita sukai. Benda yang hanya bersifat 2D maupun 3D dapat kita jadikan nyata dengan membuat kostum dan atribut-atribut mereka. Tokoh-tokoh yang sebelumya hanya merupakan fantasi yang tidak nyata dapat diwujudkan menjadi tokoh yang hidup dan bahkan kita sendiri yang menjadi tokoh tersebut. Hal inilah yang berhasil menarik berbagai masyarakat di dunia untuk melakukan cosplay. Event yang bertujuan untuk mendukung ketenaran anime dan manga dalam mengenalkan budaya populer Jepang melalui cosplay ini terus berkembang hingga The World Cosplay Summit pada tahun 2012 diikuti oleh 40 Perserta dari 20 negara termasuk Indonesia.

World cosplay Summit yang biasa disingkat sebagai WCS merupakan acara yang sejak tahun 2006 mendapat dukungan dari pemerintah Jepang yaitu the Ministry of Foreign Affair (MOFA), the Ministry of Land, Infrastructure and Transport (MLIT), dan the Ministry of Economy, Trade and Industry (METI). Kompetisi cosplay berskala internasional in setiap tahun diadakan di Nagoya dan di sponsori oleh tv Aichi. Tujuan diadakannya world cosplay summit ialah untuk mempromosikan budaya anime dan manga melalui cosplay. World Cosplay Summit pada awalnya hanya sebuah acara yang diadakan pada akhir minggu, namun karena perkembangannya yang pesat dan didukung oleh pemerintah Jepang serta banyaknya negara yang ikut berpartisipasi, World Cosplay Summit berubah menjadi acara yang diadakan selama satu minggu penuh. Acara World Cosplay Summit diisi dengan parade para cosplayer dengan mengenakan kostum tokoh yang di-cosplay-kan dan World Cosplay Championship dimana para cosplayer dari masing-maing negara tersebut berlomba untuk menjadi pemenang dengan menunjukan kemampuannya dalam memerankan tokoh yang mereka perankan. Selain diisi dengan parade dan World Cosplay Championship, para perwakilan masing-masing negara diajak untuk berkeliling mengunjungi daerah-daerah

(19)

Jepang termasuk Akihabara, Kyoto dan Sendai dengan tujuan untuk memperkenalkan kebudayaan Jepang. Dalam kegiatan selama satu minggu ini para cosplayer perwakilan masing-masing negara tidak hanya diperkenalkan kebudayaan populer Jepang saja, namun kebudayaan tradisional, tempat bersejarah serta mencoba makanan makanan tradisional Jepang dan membuat kerajinan tangan Jepang. Bahkan pada World Cosplay Summit 2011 yang pada tahun tersebut Jepang mengalami musibah gempa dan Tsunami, cosplayer yang berpartisipasi sebagai perwakilan masing-masing negara dijadwalkan untuk mengunjungi Sendai dan Aizuwakamatsu, sebagai bagian dari acara untuk memberikan support kepada wilayah Tohoku30.

Gambar 1 Cosplayer yang berasal dari 3 negara yang baru berpartisipasi dalam World Cosplay Summit 2012 yaitu Russia, Inggris dan Indonesia berfoto bersama Ryuji Yamane, Parliamentary Senior Vice Minister MOFA

(sumber:http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/image/wcs2 012_02.jpg)

Dengan diadakannya World Cosplay Summit yang didukung oleh pemerintah Jepang dan diikuti oleh berbagai negara, menunjukan bahwa Jepang telah memanfaatkan budaya populernya sebagai alat diplomasi dalam bentuk soft power. Pemanfaatan budaya populer sebagai soft power Jepang memiliki tujuan untuk membangun citra positif. Jepang berusaha membangun citra positifnya dimata internasional dengan menggunakan soft power yang dimilikinya. Bagi Jepang yang memiliki sejarah sebagai negara yang mengutamakan militer, sangat penting untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa kini Jepang sudah berubah. Sejak

30 Ministry of Foreign Affair of Japan. Diakses pada 6 Juni 2013 http://www.mofa.go.jp/announce/event/2011/8/0808_01.html

(20)

tahun 1950 hingga awal tahun 1960, Jepang memperkuat posisinya di mata dunia dengan memfokuskan perubahan citra dari negara yang berhaluan militerisme menjadi negara yang mengutamakan perdamaian dunia hingga sejak pertengahan 1960-an, Jepang akhirnya mendapatkan citra sebagai negara yang memiliki perekonomian kuat dan berpengaruh di dunia internasional.

Seiring perkembangan zaman, Jepang menyadari bahwa citranya sebagai negara yang memiliki perekonomian kuat harus diimbangi dengan citra sebagai negara yang memiliki

kekuatan budaya dan intelektualitas31. Kekuatan ekonomi Jepang yang merupakan salah satu

yang terkuat di dunia memberikan sedikit citra yang negatif karena kekuatan ekonomi termasuk dalam golongan hard power yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, bagi Jepang, perubahan citra dari negara yang berhaluan militerisme menjadi negara yang memiliki citra sebagai negara berekonomi kuat dan berpengaruh, harus diimbangi dengan citra positif yang dapat diraih melalui pengembangan soft power-nya. Soft power yang dikembangkan Jepang melalui daya tarik budaya populernya membantu meningkatkan citra positif Jepang di mata internasional. Citra positif yang diraih melalui cosplay sebagai soft power ini dibutuhkan Jepang untuk dapat lebih diterima di masyarakat internasional sehingga dapat memperlancar hubungan kerjasama dengan negara-negara lain yang akan sangat menguntungkan bagi kedua negara khususnya bagi Jepang.

Selain membentuk citra positif, memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Jepang juga merupakan tujuan pemanfaatan cosplay sebagai soft power Jepang. Soft power yang dikembangkan oleh Jepang memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat internasional mengenai negara Jepang. Untuk membangun kerjasama dan hubungan yang baik antar negara, diperlukannya pemahaman dan komunikasi yang baik antara negara yang satu dengan lainnya. Jepang menyadari pentingnya untuk membangun pemahaman yang baik tentang negaranya untuk mempermudah Jepang dalam menjalin hubungan internasional. Jepang menyadari bahwa melalui soft power, pemahaman mengenai Jepang dari masyarakat internasional dapat diraih tanpa paksaan.

World Cosplay Summit yang diseenggarakan di Nagoya, Jepang tidak hanya sekedar acara untuk parade kostum sedunia, tetapi juga acara untuk mengenalkan Jepang kepada negara lain. Serangkaian acara yang diadakan selama satu minggu penuh diisi dengan mengenalkan budaya tradisional maupun populer Jepang, sejarah Jepang, makanan tradisional,

(21)

karya seni tradisional Jepang, keadaan wilayah Jepang serta bagaimana masyarakat di Jepang sendiri. Hal itu membuat para peserta World Cosplay Summit yang diikuti oleh berbagai negara tersebut melihat sendiri bagaimana keadaan di Jepang dan bukan hanya dari cerita saja. Pengetahuan yang lebih baik mengenai Jepang dapat membantu menghindari kesalah pahaman mengenai negara tersebut yang dapat mempersulit jalinan hubungan kerja sama.

Tidak hanya membentuk citra positif dan memberikan pemahaman lebih baik tentang Jepang, cosplay yang merupakan budaya populer Jepang sebagai bentuk soft power telah menambah alat diplomasi untuk Jepang. Setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya yang disampaikan kepada dunia internasional melalui politik luar negrinya. Dalam menjalankan politik luar negrinya tersebut suatu negara membutuhkan jalur diplomasi. Menurut Nye, soft power yang tidak memaksa secara militer maupun pembayaran atau ekonomi, memberikan nuansa yang baik dalam diplomasi suatu negara. Dengan adanya World Cosplay Summit yang diikuti dan bekerja sama dengan berbagai negara, maka Jepang telah menjalin hubungan dengan negara-negara lain yang membantu Jepang dalam pelaksanaan politik internasionalnya. Daya tarik budaya populer cosplay telah berhasil menarik perhatian masyarakat dunia internasional. Cosplay diterima dengan baik tanpa adanya paksaan karena dengan cosplay, para cosplayer dapat lebih mengenal Jepang dengan cara yang lebih menyenangkan yaitu dengan mencoba menghidupkan dan menjadi karakter dalam anime dan manga tersebut.

3. Kesimpulan

Jepang merupakan Negara yang memiliki citra sebagai Negara berekonomi kuat dengan teknologi dan industri yang maju pesat. Sejarah Jepang yang memberikan citra bahwa Jepang merupakan Negara berhaluan militer, membuat Jepang dikenal di mata internasional sebagai Negara yang berpegangan pada hard powernya. Melihat hal ini, Jepang menyadari bahwa citra mereka yang seperti itu harus diubah untuk menjalin kerjasama dalam bidang internasional. Untuk mengubah citra Jepang, maka usaha yang dilakukan ialah mengembangkan soft power yang dikatakan sebagai suatu bentuk yang digunakan untuk mencapai tujuan Negara tanpa melalui pemaksaan dan pembayaran (dalam hal ini ekonomi). Jepang memiliki soft power yang bila dikembangkan akan menjadi sesuatu yang sangat kuat. Soft power tersebut adalah budaya popular. Budaya popular Jepang yang banyak di sukai oleh masyarakat di berbagai Negara dilihat sebagai sesuatu yang berpotensi untuk mencapai tujuan Jepang mengubah citranya. Salah satu budaya popular yang dimanfaatkan Jepang untuk

(22)

mengubah citranya ialah cosplay. Cosplay menjadi sarana dalam memperkenalkan budaya popular Jepang kepada dunia Internasional. Melalui cosplay, pemerintah Jepang melihat adanya potensi untuk memperkenalkan budaya populer Jepang ke dunia internasional sehingga mereka mendukung adanya acara tahunan cosplay yaitu World Cosplay Summit. Dengan World Cosplay Summit, Jepang tidak hanya memperkenalkan budaya populernya saja, tetapi juga budaya tradisional serta keadaan Jepang dalam kenyataannya. Hal ini membuat Jepang memperkenalkan negaranya kepada Negara lain sehingga menimbulkan pemahaman yang mndalam terhadap Jepang dan menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Bila Negara lain telah mengenal Jepang dengan baik, kesalah pahaman akan terhindari dan diplomasi Jepang dengan Negara lain akan berjalan lancar. Hal ini menunjukan bahwa dengan cosplay sebagai soft powernya, Jepang dapat mewujudkan apa yang ingin dicapai oleh negaranya.

4. Saran

Meskipun Jepang memanfaatkan budaya popularnya sebagai soft power merupakan suatu langkah yang tepat, tetapi terdapat sisi negatifnya juga. Dalam hal ini di mata dunia yang pertama kali dilihat adalah budaya popular yang dimiliki Jepang dan bukan budaya tradisionalnya. Bila pemanfaatan ini tidak dikontrol dengan baik, maka dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam memahami negara Jepang. Selain kesalah pahaman, perbedaan penangkapan citra tentang Jepang dapat pula terjadi. Sebagai contoh ialah, melalui cosplay, bisa saja semua masyarakat dunia menganggap bahwa semua warga Jepang suka melakukan cosplay dan menganggap cosplay sebagai suatu kebudayaan yang sehari-hari dilakukan oleh masyarakat Jepang. Padahal dalam kenyataannya tidak semua warga Jepang melakukan cosplay dan menjadikannya sebuah kegiatan yang sehari-hari dilakukan. Hal ini harus diperhatian pemerintah Jepang dalam mengembangkan cosplay sebagai soft powernya.

Daftar Pustaka

Mitamura,Fukiko.2008.Cosupure Naze Nihonjin ha seifuku ga suki na no ka. Jepang : Shoudensha Shinsho.

Nye Jr., Joseph S. Soft Power: The Means To Success In World Politics. New York: Public Affairs, 2004.

(23)

Powers, Richard Gid and Hidetoshi Kato, ed. Handbook of Japanese op Culture. Westport: Greenwood Press, 1989.

Sandika, Edria.2010.Dinamika Konsumsi dan Budaya Penggear Komunitas Tokusatsu Indonesia. Indonesia: Universitas Indonesia.

Storey, John. Teori Budaya dan Budaya Pop. Trans. Elli El Fajri. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004. Trans. Of An Introductory Guide to Cultural Theory and Pop Culture, 1993 Winge, Theresa. 2006. Machademia vol 1: Emerging Worlds of Anime and Manga. Costuming the Imagination:Origins of Anime and Manga Cosplay. United States: University of Minnestoa Press.

Wulansuci, Yolana.2010. Budaya populer Manga dan Anime Sebagai Soft Power Jepang.Indonesia: Universitas Indonesia.

Sumber Online:

Doujin Yougo no Kiso Chishiki. “cosplay/costum play”. http://www.paradisearmy.com/doujin/pasok3n.htm Feldmann, Stacey Lee.”The History of Cosplay”. http://www.strangelandcostumes.com/history.html

Festival Ennichisai 2012 Akan Hadirkan "Indonesian Cosplay Grand Prix" . http://www.halojepang.com/berita-utama/4427-festival

Kosupure. http://www.Ja.wikipedia.org/wiki/コスプレ

Indonesia Cosplay Grand Prix. Diakses pada 6 Juni 2013 http://icgp.net/ Ministry of Economy, Trade and Industry.

http://www.meti.go.jp/english/press/2012/pdf/0413_01a.pdf

Ministry of foreign affair of Japan. http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/ Ministry of Foreign Affair of Japan. http://www.mofa.go.jp/announce/event/2011/8/0808_01 Ministry of Land, Infrastructure and Transportation.

http://www.mlit.go.jp/kokudokeikaku/souhatu/h18seika/01anime/01_sousei_09honpen3.pdf World Cosplay Summit official Website. http://www.tv-aichi.co.jp/wcs/what/

Gambar

Gambar 1 Cosplayer yang berasal dari 3 negara yang baru berpartisipasi  dalam  World  Cosplay  Summit  2012  yaitu  Russia,  Inggris  dan  Indonesia  berfoto  bersama  Ryuji  Yamane,  Parliamentary  Senior  Vice  Minister  MOFA

Referensi

Dokumen terkait